Sabtu, 20 Juli 2013, 10:17 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO
-- Dua orang tewas dan tujuh orang cedera dalam bentrokan pada Jumat
malam (19/7) antara pendukung dan penentang presiden Mesir yang dikudeta
Muhammad Mursi di Mesir Utara, demikian laporan edisi daring media
resmi, Ahram, Sabtu.
Di Kota
Mansoura di Delta Nil, seorang perempuan dan seorang anak perempuan yang
berusia 13 tahun ditembak hingga tewas, sementara tujuh orang menderita
luka serius akibat penembakan dan penikaman, kata laporan tersebut.
Ketujuh orang yang cedera telah dipindahkan ke rumah sakit terdekat.
Bentrokan itu terjadi saat
sejumlah pendukung Mursi turun ke jalan sesudah Shalat Jumat, dan
menyerukan pemulihan presiden terguling Mesir tersebut sebagai pemimpin
sah negeri itu, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di
Jakarta, Sabtu.
Penentang Mursi mendukung
Angkatan Bersenjata dan peta jalannya. Mereka menyalahkan pendukung
Moursi atas kerusuhan baru-baru ini.
Sementara itu, di dalam satu
pernyataan yang dikeluarkan pada Jumat malam, Menteri Dalam Negeri Mesir
Muhammad Ibrahim kembali menyampaikan komitmennya untuk melindungi
pemrotes damai dan pawai mereka sejalan dengan Angkatan Bersenjata.
Ia juga memperingatkan warga agar
tidak melakukan kerusuhan dan pengrusakan, dan menambahkan Angkatan
Bersenjata serta polisi Mesir takkan membiarkan setiap orang yang
berupaya melanggar hukum, merusak jalan, membuat sesak lembaga negara
atau menduduki kompleks penting.
Redaktur : Heri Ruslan |
Sumber : Antara |
Polisi Mesir 'Berpakaian Preman' Serbu Kantor TV Iran
AP/Manu Brabo
REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pasukan keamanan Mesir, Sabtu malam (20/7), menyerbu kantor stasiun TV Iran, Al Alam, di Kairo dan menahan direkturnya untuk dimintai keterangan. Demikian kata seorang koresponden Al Alam kepada Xinhua.
"Sebanyak 20 polisi, tidak berseragam, menyerbu kantor kami di Kairo. Mereka menggeledah semuanya serta mengambil semua rekaman dan perlengkapan teknik. Mereka menuduh kantor beroperasi tanpa izin," kata Mohamed Amin, koresponden Al Alam, di Ibu Kota Mesir, Kairo.
''Pasukan keamanan itu berasal dari Departemen Kepolisian pemantau karya seni dan media,'' kata Amin. Ia menyatakan mereka bertindak baik pada staf Al Alam. Tapi, mereka berkeras akan menutup kantor itu karena tak memiliki izin sah.
Amin mengatakan Direktur Al Alam, Ahmed As-Seyoufi, diinterogasi di satu kantor polisi yang berdekatan. Amin menambahkan kantor Al Alam di Kairo telah diserbu oleh polisi pada pertengahan Mei 2012 selama kekuasaan sementara dewan militer.
"Laporan kami netral dan tidak memihak," kata Amin. Ia menegaskan Al Alam meliput aksi protes oleh pendukung dan penentang presiden terguling Muhammad Mursi secara berimbang dan profesional.
Iran telah mengecam tindakan militer yang menggulingkan Mursi pada 3 Juli sebagai tindakan yang tak bisa diterima dan mengganggu.
"Sebanyak 20 polisi, tidak berseragam, menyerbu kantor kami di Kairo. Mereka menggeledah semuanya serta mengambil semua rekaman dan perlengkapan teknik. Mereka menuduh kantor beroperasi tanpa izin," kata Mohamed Amin, koresponden Al Alam, di Ibu Kota Mesir, Kairo.
''Pasukan keamanan itu berasal dari Departemen Kepolisian pemantau karya seni dan media,'' kata Amin. Ia menyatakan mereka bertindak baik pada staf Al Alam. Tapi, mereka berkeras akan menutup kantor itu karena tak memiliki izin sah.
Amin mengatakan Direktur Al Alam, Ahmed As-Seyoufi, diinterogasi di satu kantor polisi yang berdekatan. Amin menambahkan kantor Al Alam di Kairo telah diserbu oleh polisi pada pertengahan Mei 2012 selama kekuasaan sementara dewan militer.
"Laporan kami netral dan tidak memihak," kata Amin. Ia menegaskan Al Alam meliput aksi protes oleh pendukung dan penentang presiden terguling Muhammad Mursi secara berimbang dan profesional.
Iran telah mengecam tindakan militer yang menggulingkan Mursi pada 3 Juli sebagai tindakan yang tak bisa diterima dan mengganggu.
Tapi Menteri Luar Negeri Iran, Ali Akbar Salehi, belakangan mendesak
kelompok politik Mesir agar mewujudkan persatuan nasional dan
menyuarakan dihormatinya pilihan yang dibuat oleh rakyat Mesir.
Islamis Vs Liberalis
Sabtu, 20 Juli 2013, 09:54 WIB
http://www.republika.co.id/berita/kolom/fokus/13/07/20/mq7s2s-islamis-vs-liberalis
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah/Tweter: @nashihn
Entah kebetulan atau tidak, film Mesir yang berjudul Toyor el-Zalam, atau ‘Burung Kegelapan’ laksana sebuah prediksi, menggambarkan
situasi terkini yang terjadi di Mesir. Film keluaran 1995 itu
mengisahkan tentang persaingan ego dan kepentingan antara dua sahabat
yang saling berseberangan secara ideologi dan tradisi.
Adil
Imam memerankan Fathi Naufal yang liberal pemikiran dan tindakan,
sedangkan Riyadh al-Khuly bertindak sebagai Ali az-Zanati yang mewakili
kelompok islamis. Tak dikisahkan secara tegas, kubu manakah yang unggul
dalam film yang juga dibintangi oleh aktris kenamaan, Yusra itu. Di akhir kisah, kedua sahabat itu, hanya diceritakan saling berebut dan berambisimenendang bola.
Alur
film ini cukup menggelitik. Sekaligus mengungkapkan fakta dan realita
yang terjadi di Mesir. Bukan hanya pascatergulingnya Mursi, tapi sejak
Mesir beralih menjadi negara Republik.
Pertarungan antara islamis dan liberalis, menjadi dialektika tak
bermuara di negeri piramid itu. Sebut saja misalnya, Ali Abdur Raziq, muncul dengan bukunya yang sangat kontroversial dan menyebabkan ia dikucilkan oleh mayoritas ulama Mesir. Al-Islam wa Ushul al-Hukm, sebuah teori yang memisahkan agama dari negara.
‘Pertarungan’
yang sama, saat nasionalis Gamal Abd el-Nasir, Anwar Sadat, atau Husni
Mubarak, menekan eksistensi Ikhanul Muslimin (IM) dan gerakan islamis
lainnya, seperti Jamaah Islamiyyah. Maka, di saat Mursi terpilih
kesempatan ini, diakui atau pun tidak, digunakan untuk memukul balik rival abadi IM, para liberalis.
Nyaris,
tiap lini dari pemerintahan adalah orang-orang terdekat IM. Semua
sepakat, bahwa cara pelengseran Mursi adalah inkonstitusional. Tetapi,
upaya ‘IM-isasi’, setuju atau tidak, telah mencederai demokrasi itu
sendiri. IM hendak mengegolkan rezim//Alakhwanah//, sindiran kubu oposisi atas ‘IM-isasi’ pemerintah.
Maka,
di masa pemerintahan transisi Perdana Menteri el-Bablawi, tak ada
satupun wakil islamis di rezimnya. Rezimnya hanya dipenuhi oleh kalangan
teknokrat dan liberalis. Sekalipun, ia selalu menekankan akan melibatkan islamis, tetapi itu akan berakhir sebatas retorika politik semata.
Partai
Kebebasan dan Keadilan yang merupakan sayap politik IM dan Partai
Pembangunan dan Pengembangan, sayap politik Jamaah Islamiyyah, sejak
tragedi 30 Juni menolak legalitas pemerintahan transisi yang berdiri di
atas kudeta militer. Sementara, Partai an-Nur dari Salafi, menilai
pemerintah telah gagal. Padahal, demokrasi,
bukan soal siapa menang dan siapa kalah, tetapi demokrasi, bagaimana
mewujudkan kepentingan bersama. Dalam konteks Mesir, kedua belah pihak
jauh dari konsep ideal itu.
Apa yang terjadi di Mesir dan mayoritas kawasan Timur Tengah, pada hakikatnya, tak berbeda jauh. Ini adalah perang ideologi, antara kubu islamis dan liberalis.
Soal di manakah meletakkan posisi agama yang proporsional dalam negara.
Dan sangat mungkin, beberapa dekade ke depan, episode ini akan tetap
mewarnai drama perpolitikan di Mesir. Satu fase masa, yang Indonesia
telah melewatinya itu tatkala peletakkan ideologi negara. Bedanya, ada
kompromi di sana. Seperti terlihat di Piagam Jakarta. Kompromi bukan
sekadar pada asas dan poin kesepakatan, tetapi juga pada penjabaran dari kompromi tersebut. Bukan untuk masalahat kelompok-an sih, tetapi mengesampingkan ego masing-masing kubu.Demi maslahat yang lebih besar: eksistensi negara.
Kegagalan
berkompromi ini, akan mengancam stabilitas nasional Mesir. Apalagi ini
diperburuk dengan aksi penangkapan terhadap pentolan IM. Dan,
kemungkinan kuat pula bahwa aksi ilegal dari militer itu akan tetap
berlangsung dengan berbagai dalih, pertama mencegah IM terlibat kembali
turut serta dalam Pemilu dengan ketiadaan para pimpinan tertinggi IM.
Dan kedua, penangkapan itu akan tetap dibenarkan oleh militer, atas
dakwaan provokasi dan propaganda kekerasan di berbagai wilayah oleh para
tertuduh itu.
Di
satu sisi, standar ganda AS, terlihat sudah. Negeri Paman Sam, mengecam
pelengseran Mursi tetapi di satu sisi mendukung percepatan Pemilu
sebagai solusi atas krisis Mesir. Inkonsistensi ini terlihat, dari
kegamangan AS untuk memberikan bantuan. Padahal, secara tegas
Undang-undang di AS melarang bantuan apapun ke negara yang terjadi
kudeta militer di dalamnya. Inkonsesitensi serupa saat AS ingin
mempersenjatai pejuang Suriah. Ini akibat keyakinan mereka akan
keberadaan jaringan Alqaeda di tengah-tengah para pemberontak itu.
Kondisi
ini, akan membuka episode lain dari drama politik di Mesir. Sejauhmana
konsistensi Barat dan negara-negara internasional, untuk implementasi
demokrasi. Tunisia, Uni Afrika, Prancis dan Turki, secara
terang-terangan mengecam tindakan inskonstitusional itu. Bahkan,
Pemerintahan Erdogan, hanya akan mengakui Mursi sebagai presiden Mesir.
Sikap tak sama ditunjukkan oleh Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Yordania dan Qatar. Sebanyak
14 miliar dolar AS, dikucurkan untuk pemerintahan transisi. Bantuan
yang tak pernah kunjung cair, semasa Mursi menjabat.
Di
penggalan kisah lainnya, jutaan simpatisan dan anggota IM atau para
pendukung Mursi, terus turun di jalan dan menuntut ‘singgasana’ Mursi di
kembalikan. Meskipun puluhan korban tertembak dalam aksi damai mereka,
untungnya mereka tak terpancing. Sempat dalam video yang beredar di
jejaring sosial, oknum IM tengah menjatuhkan orang tak dikenal dari
lokasi dengan ketinggian empat meter, tetapi itu begitulah propaganda
Media. Untungnya, kubu Mursi tak terpancing. Dan itu komitmen mereka.
Maka,
jika para pendukung mursi tersulut amarahnya lalu bereaksi serupa dan
timbul kekerasan seperti di Suriah—ini lah skenario yang
dikonspirasikan—, sebuah perang saudara. Maka paling diuntungkan dari perseteruan panjang ini adalah Israel, tentunya. Perhatian Timur Tengah bahkan dunia akan tersedot dari
penjajahan negara zionis itu di Palestina. Di saat, Dunia Arab tengah
terperangah dan terninabobokkan dengan hiruk pikuk demokrasi semu tak berkesudahan, jutaan unit pemukiman ilegal, secara diam-diam, tengah dibangun oleh Rezim Netanyahu. Di tanah merdeka, Bumi Palestina.
Redaktur : Heri Ruslan |
SIAPA YANG SEBENARNYA BERKUASA DI DUNIA? (2)
Menurut sebuah artikel yang dimuat di majalah Newscientist,
tentang sebuah studi terhadap lebih dari 40.000 perusahaan transnasional
yang dilakukan oleh Institut Teknologi Federal Swiss di Zurich,
ditemukan adanya satu kelompok inti dari bank-bank besar dan
perusahaan-perusahaan raksasa yang mendominasi sistem ekonomi di seluruh
dunia. Studi itu menemukan kelompok inti itu terdiri dari hanya 147
perusahaan yang bahkan masih saling berkaitan kepemilikannya satu sama
lain.
Sebagian besar perusahaan itu adalah bank-bank dan lembaga keuangan bukan bank. Berikut adalah daftar 25 perusahaan terbesar menurut studi tersebut.
1. Barclays plc
2. Capital Group Companies Inc
3. FMR Korporasi
4. AXA
5. State Street Corporation
6. JP Morgan Chase & Co
7. Hukum & General Group plc
8. Vanguard Group Inc
9. UBS AG
10. Merrill Lynch & Co Inc
11. Wellington Manajemen Co LLP
12. Deutsche Bank AG
13. Franklin Resources Inc
14. Credit Suisse Group
15. Walton Enterprises LLC
16. Bank of New York Mellon Corp
17. Natixis
18. Goldman Sachs Group Inc
19. T Rowe Price Group Inc
20. Legg Mason Inc
21. Morgan Stanley
22. Mitsubishi UFJ Financial Group Inc
23. Northern Trust Corporation
24. Société Générale
25. Bank of America Corporation
Para elit ultra-kaya sering bersembunyi di balik lapisan demi lapisan kepemilikan, tetapi kenyataannya adalah bahwa berkat hubungan kepemilikina yang saling terkait itu, elit global pada dasarnya mengontrol hampir seluruh perusahaan raksasa dunia. Jumlah kekayaan dan kekuasaan mereka sulit untuk digambarkan. Sayangnya, kelompok yang sama telah menjalani hal itu sejak masa yang sangat lama. Sebagaimana ditunjukkan oleh pidato yang menarik oleh Walikota New York John F. Hylan pada tahun 1922:
"Ancaman nyata dari Republik kita adalah pemerintah tak terlihat, yang seperti gurita raksasa dengan kaki-kaki berlendir membelit kota-kota, negara bagian, dan seluruh bangsa ini. Untuk tidak sekedar generalisasi belaka, saya katakan bahwa kepala dari gurita itu adalah kepentingan Rockefeller-Standar Oil dan sekelompok kecil bankir internasional. Mereka secara nyata mengendalikan pemerintah Amerika untuk tujuan mereka sendiri."
Mereka praktis mengontrol kedua partai Republik dan Demokrat, menulis platform politik, dan menentukan pejabat-pejabat tinggi yang sejalan dengan kepentingan bisnis korup mereka.
Mereka mengontrol mayoritas surat kabar dan majalah di negeri ini. Mereka menggunakan media-media itu untuk menekan pejabat-pejabat publik hingga menyerah pada kemauan mereka, atau mendepak mereka yang menolak kemauan mereka. Mereka beroperasi di balik layar yang diciptakan mereka dan menguasai semua pejabat publik, lembaga-lembaga legislatif, lembaga-lembaga pendidikan, pengadilan, dan semua lembaga yang dibuat untuk melindungi kepentingan publik.
Mereka menciptakan bank-bank sentral dan memanfaatkannya untuk menjebak pemerintahan negara-negara di dunia masuk dalam jeratan hutang yang tidak berujung. Hutang pemerintah adalah cara yang ampuh untuk merampok uang kita semua, mentransfernya ke pemerintah dan berakhir di kantong orang-orang super kaya."
Juga kecaman pedas yang dilakukan oleh anggota Kongres Louis T. McFadden yang disampaikan di hadapan sidang DPR AS pada tgl 10 Juni 1932:
"Bapak Ketua, di negara ini kita memiliki satu lembaga yang paling korup yang pernah dikenal di dunia. Saya merujuk kepada Bank Sentral (The Federal Reserve Bank) dan Dewan Gubernur Bank Sentral. Mereka telah menipu pemerintah dan seluruh rakyat Amerika untuk membayar hutang nasional yang tidak pernah bisa lunas. Mereka telah menghancurkan dan memiskinkan seluruh rakyat Amerika dan membangkrutkan pemerintah Amerika. Mereka melakukannya melalui aturan yang dibuat untuk memuluskan langkah mereka, melalui kejahatan administrasi yang dilakukan Dewan Gubernur, dan melalui praktik-praktik kotor manusia-manusia rakus yang mengawasinya."
Para pemilik saham dari 12 Bank Sentral Daerah yang membentuk bank sentral adalah para bankir swasta. Menurut penelitian terhadap kepemilikan bank-bank dan lembaga keuangan bukan bank di Wall Street, nama-nama yang sama muncul berulang-ulang dalam daftar kepemilikan bank-bank dan lembaga keuangan itu: Rockefeller, Rothschild, Warburg, Lazard, Schiff, dan juga beberapa keluarga bangsawan Eropa.
Namun orang-orang super kaya itu tidak hanya menguasai Amerika. Cara yang hampir sama juga diterapkan di seluruh dunia. Tujuan mereka adalah untuk menciptakan sebuah sistem keuangan global yang mereka kuasai.
Sejarahwan Georgetown University Prof. Carroll Quigley pernah menulis:
"Para penguasa kapitalisme memiliki tujuan yang lebih jauh lagi, tidak kurang dari menciptakan sistem keuangan global yang dikuasai para penguasa modal yang mendominasi sistem politik dan ekonomi dunia keseluruhan. Sistem ini harus dikontrol dengan model feudalis oleh bank-bank sentral yang bertindak bersama-sama sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan rahasia yang dihasilkan melalui pertemuan-pertemuan dan konperensi-konperensi. Bentuk final dari sistem itu nantinya adalah Bank for International Settlements di Basle, Swiss, suatu bank swasta yang dimiliki dan dikendalikan oleh bank-bank sentral di dunia yang karenanya juga menjadi lembaga swasta."
Orang-orang super kaya juga memainkan peran utama dalam membangun lembaga-lembaga internasional penting lainnya seperti PBB, IMF, Bank Dunia dan WTO. Bahkan tanah untuk kantor pusat PBB di New York dibeli dan disumbangkan oleh John D. Rockefeller. Para bankir internasional pun sangat bangga disebut sebagai "internasionalis".
Para elit juga mendominasi sistem pendidikan di banyak negara seperti Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun Yayasan Rockefeller dan organisasi elitis lainnya telah menggelontorkan sejumlah besar uang ke universitas-universitas elit "Ivy League". Saat ini Ivy League dianggap sebagai tolak ukur bagi semua perguruan tinggi dan universitas lain di Amerika.
Para elit juga mengarahkan sejumlah besar pengaruh melalui berbagai perkumpulan rahasia (Skull and Bones, Freemason dll), melalui beberapa lembaga think tank dan klub sosial (Council for Foreign Relation, Komisi Trilateral, Bilderberg Group, Bohemian Grove, Chatham House, Klub Roma, dll), dan melalui jaringan luas yayasan amal dan organisasi non-pemerintah (Rockefeller Foundation, Ford Foundation, WWF, (ICW?) dll).
Namun yang perlu menjadi perhatian penting adalah kekuatan media sebagai alat kekuasaan para elit. Mereka meliputi perusahaan surat kabar dan majalah, televisi, studio film, penerbit, label musik, situs internet, PH, dan sebagainnya. Mereka semua hanya dimiliki oleh 6 kelompok bisnis yaitu Time Warner, Walt Disney, Viacom, News Corp., CBS Corp., NBC Universal.
Mengingat fakta bahwa rata-rata manusia modern menghabiskan waktu berjam-jam setiap harinya duduk di depan televisi, atau menonton film dan membaca majalah, koran dan buku, maka pengaruh media massa begitu kuat dalam membentuk persepsi publik terhadap suatu hal atau masalah. Dan berikut adalah media-media raksasa global milik para elit dunia.
Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa berbagai hal maupun masalah seperti tidak pernah berubah, tak peduli siapa yang menjadi presiden? Mengapa perang Afghanistan tetap berkecamuk meski Presiden Obama telah menggantikan George W. Bush, bahkan melebar menjadi Perang Pakistan? Mengapa penjara Guantanamo yang dikritik keras masyarakat internasional tetap beroperasi? Atau mengapa pemerintah Indonesia yang terus menerapkan kebijakan defisit APBN dan menutupinya dengan berhutang? Atau mengapa kelompok seperti Ikhwanul Muslimin yang berkuasa di Mesir atau Turki, yang awalnya didirikan untuk membebaskan Palestina, justru bergandengan mesra dengan Israel dan meninggalkan rakyat Palestina seperti orang menjauhi penyakit campak?
Tentu saja karena para super-kaya menguasai nyaris segalanya di dunia.
Jika Tommy Winata yang kekayaannya "hanya" beberapa milyar dolar saja bisa mengorganisir "konvensi" para pemimpin redaksi media-media massa se Indonesia (dengan ketuanya Pemimpin Redaksi Tempo yang kantornya pernah diacak-acak dan para wartawannya dipukuli anak buah Tommy), tentu apa yang bisa dilakukan para bankir internasional pemilik bank-bank raksasa dan bank-bank sentral dunia itu jauh lebih besar lagi: mengorganisir konvensi Partai Demokrat (Amerika), misalnya.
SUMBER:
"Who Runs The World? Solid Proof That A Core Group Of Wealthy Elitists Is Pulling The Strings"; Michael Synder; The Economic Collapse; 29 Januari 2013
"Do the Rothschilds Own all Central Banks?"; Anthony Migchels; henrymakow.com; 15 Juli 2013
Sebagian besar perusahaan itu adalah bank-bank dan lembaga keuangan bukan bank. Berikut adalah daftar 25 perusahaan terbesar menurut studi tersebut.
1. Barclays plc
2. Capital Group Companies Inc
3. FMR Korporasi
4. AXA
5. State Street Corporation
6. JP Morgan Chase & Co
7. Hukum & General Group plc
8. Vanguard Group Inc
9. UBS AG
10. Merrill Lynch & Co Inc
11. Wellington Manajemen Co LLP
12. Deutsche Bank AG
13. Franklin Resources Inc
14. Credit Suisse Group
15. Walton Enterprises LLC
16. Bank of New York Mellon Corp
17. Natixis
18. Goldman Sachs Group Inc
19. T Rowe Price Group Inc
20. Legg Mason Inc
21. Morgan Stanley
22. Mitsubishi UFJ Financial Group Inc
23. Northern Trust Corporation
24. Société Générale
25. Bank of America Corporation
Para elit ultra-kaya sering bersembunyi di balik lapisan demi lapisan kepemilikan, tetapi kenyataannya adalah bahwa berkat hubungan kepemilikina yang saling terkait itu, elit global pada dasarnya mengontrol hampir seluruh perusahaan raksasa dunia. Jumlah kekayaan dan kekuasaan mereka sulit untuk digambarkan. Sayangnya, kelompok yang sama telah menjalani hal itu sejak masa yang sangat lama. Sebagaimana ditunjukkan oleh pidato yang menarik oleh Walikota New York John F. Hylan pada tahun 1922:
"Ancaman nyata dari Republik kita adalah pemerintah tak terlihat, yang seperti gurita raksasa dengan kaki-kaki berlendir membelit kota-kota, negara bagian, dan seluruh bangsa ini. Untuk tidak sekedar generalisasi belaka, saya katakan bahwa kepala dari gurita itu adalah kepentingan Rockefeller-Standar Oil dan sekelompok kecil bankir internasional. Mereka secara nyata mengendalikan pemerintah Amerika untuk tujuan mereka sendiri."
Mereka praktis mengontrol kedua partai Republik dan Demokrat, menulis platform politik, dan menentukan pejabat-pejabat tinggi yang sejalan dengan kepentingan bisnis korup mereka.
Mereka mengontrol mayoritas surat kabar dan majalah di negeri ini. Mereka menggunakan media-media itu untuk menekan pejabat-pejabat publik hingga menyerah pada kemauan mereka, atau mendepak mereka yang menolak kemauan mereka. Mereka beroperasi di balik layar yang diciptakan mereka dan menguasai semua pejabat publik, lembaga-lembaga legislatif, lembaga-lembaga pendidikan, pengadilan, dan semua lembaga yang dibuat untuk melindungi kepentingan publik.
Mereka menciptakan bank-bank sentral dan memanfaatkannya untuk menjebak pemerintahan negara-negara di dunia masuk dalam jeratan hutang yang tidak berujung. Hutang pemerintah adalah cara yang ampuh untuk merampok uang kita semua, mentransfernya ke pemerintah dan berakhir di kantong orang-orang super kaya."
Juga kecaman pedas yang dilakukan oleh anggota Kongres Louis T. McFadden yang disampaikan di hadapan sidang DPR AS pada tgl 10 Juni 1932:
"Bapak Ketua, di negara ini kita memiliki satu lembaga yang paling korup yang pernah dikenal di dunia. Saya merujuk kepada Bank Sentral (The Federal Reserve Bank) dan Dewan Gubernur Bank Sentral. Mereka telah menipu pemerintah dan seluruh rakyat Amerika untuk membayar hutang nasional yang tidak pernah bisa lunas. Mereka telah menghancurkan dan memiskinkan seluruh rakyat Amerika dan membangkrutkan pemerintah Amerika. Mereka melakukannya melalui aturan yang dibuat untuk memuluskan langkah mereka, melalui kejahatan administrasi yang dilakukan Dewan Gubernur, dan melalui praktik-praktik kotor manusia-manusia rakus yang mengawasinya."
Para pemilik saham dari 12 Bank Sentral Daerah yang membentuk bank sentral adalah para bankir swasta. Menurut penelitian terhadap kepemilikan bank-bank dan lembaga keuangan bukan bank di Wall Street, nama-nama yang sama muncul berulang-ulang dalam daftar kepemilikan bank-bank dan lembaga keuangan itu: Rockefeller, Rothschild, Warburg, Lazard, Schiff, dan juga beberapa keluarga bangsawan Eropa.
Namun orang-orang super kaya itu tidak hanya menguasai Amerika. Cara yang hampir sama juga diterapkan di seluruh dunia. Tujuan mereka adalah untuk menciptakan sebuah sistem keuangan global yang mereka kuasai.
Sejarahwan Georgetown University Prof. Carroll Quigley pernah menulis:
"Para penguasa kapitalisme memiliki tujuan yang lebih jauh lagi, tidak kurang dari menciptakan sistem keuangan global yang dikuasai para penguasa modal yang mendominasi sistem politik dan ekonomi dunia keseluruhan. Sistem ini harus dikontrol dengan model feudalis oleh bank-bank sentral yang bertindak bersama-sama sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan rahasia yang dihasilkan melalui pertemuan-pertemuan dan konperensi-konperensi. Bentuk final dari sistem itu nantinya adalah Bank for International Settlements di Basle, Swiss, suatu bank swasta yang dimiliki dan dikendalikan oleh bank-bank sentral di dunia yang karenanya juga menjadi lembaga swasta."
Orang-orang super kaya juga memainkan peran utama dalam membangun lembaga-lembaga internasional penting lainnya seperti PBB, IMF, Bank Dunia dan WTO. Bahkan tanah untuk kantor pusat PBB di New York dibeli dan disumbangkan oleh John D. Rockefeller. Para bankir internasional pun sangat bangga disebut sebagai "internasionalis".
Para elit juga mendominasi sistem pendidikan di banyak negara seperti Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun Yayasan Rockefeller dan organisasi elitis lainnya telah menggelontorkan sejumlah besar uang ke universitas-universitas elit "Ivy League". Saat ini Ivy League dianggap sebagai tolak ukur bagi semua perguruan tinggi dan universitas lain di Amerika.
Para elit juga mengarahkan sejumlah besar pengaruh melalui berbagai perkumpulan rahasia (Skull and Bones, Freemason dll), melalui beberapa lembaga think tank dan klub sosial (Council for Foreign Relation, Komisi Trilateral, Bilderberg Group, Bohemian Grove, Chatham House, Klub Roma, dll), dan melalui jaringan luas yayasan amal dan organisasi non-pemerintah (Rockefeller Foundation, Ford Foundation, WWF, (ICW?) dll).
Namun yang perlu menjadi perhatian penting adalah kekuatan media sebagai alat kekuasaan para elit. Mereka meliputi perusahaan surat kabar dan majalah, televisi, studio film, penerbit, label musik, situs internet, PH, dan sebagainnya. Mereka semua hanya dimiliki oleh 6 kelompok bisnis yaitu Time Warner, Walt Disney, Viacom, News Corp., CBS Corp., NBC Universal.
Mengingat fakta bahwa rata-rata manusia modern menghabiskan waktu berjam-jam setiap harinya duduk di depan televisi, atau menonton film dan membaca majalah, koran dan buku, maka pengaruh media massa begitu kuat dalam membentuk persepsi publik terhadap suatu hal atau masalah. Dan berikut adalah media-media raksasa global milik para elit dunia.
Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa berbagai hal maupun masalah seperti tidak pernah berubah, tak peduli siapa yang menjadi presiden? Mengapa perang Afghanistan tetap berkecamuk meski Presiden Obama telah menggantikan George W. Bush, bahkan melebar menjadi Perang Pakistan? Mengapa penjara Guantanamo yang dikritik keras masyarakat internasional tetap beroperasi? Atau mengapa pemerintah Indonesia yang terus menerapkan kebijakan defisit APBN dan menutupinya dengan berhutang? Atau mengapa kelompok seperti Ikhwanul Muslimin yang berkuasa di Mesir atau Turki, yang awalnya didirikan untuk membebaskan Palestina, justru bergandengan mesra dengan Israel dan meninggalkan rakyat Palestina seperti orang menjauhi penyakit campak?
Tentu saja karena para super-kaya menguasai nyaris segalanya di dunia.
Jika Tommy Winata yang kekayaannya "hanya" beberapa milyar dolar saja bisa mengorganisir "konvensi" para pemimpin redaksi media-media massa se Indonesia (dengan ketuanya Pemimpin Redaksi Tempo yang kantornya pernah diacak-acak dan para wartawannya dipukuli anak buah Tommy), tentu apa yang bisa dilakukan para bankir internasional pemilik bank-bank raksasa dan bank-bank sentral dunia itu jauh lebih besar lagi: mengorganisir konvensi Partai Demokrat (Amerika), misalnya.
SUMBER:
"Who Runs The World? Solid Proof That A Core Group Of Wealthy Elitists Is Pulling The Strings"; Michael Synder; The Economic Collapse; 29 Januari 2013
"Do the Rothschilds Own all Central Banks?"; Anthony Migchels; henrymakow.com; 15 Juli 2013
Otak-atik Angka untuk Menggulingkan Presiden Mursi
Republika/Daan
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/07/22/mqb1fi-otakatik-angka-untuk-menggulingkan-presiden-mursi
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Manshuri
Siapakah yang dinamakan rakyat itu? Dalam dunia politik, wabil khusus ketika sedang terjadi perebutan kekuasaan, tampaknya masing-masing pihak yang terlibat-baik yang sedang berkuasa maupun yang ingin merebut kekuasaan (oposisi)-sangat suka menggunakan kata rakyat. Atau, lebih tepatnya mereka mengklaim apa yang mereka lakukan adalah atas nama rakyat atau untuk kepentingan rakyat. Di sinilah rakyat seolah menjadi barang dagangan. Rakyat menjadi komoditas para politikus.
Sama halnya yang dilakukan militer Mesir yang bekerja sama sangat apik dengan kelompok oposisi ketika menggulingkan Presiden Mursi pada 3 Juli. Kudeta militer untuk mencopot Mursi dari jabatan presiden, membubarkan Majelis Syuro (MPR), dan membatalkan Konstitusi Negara, mereka bungkus rapi dengan istilah 'mengikuti kehendak rakyat banyak'. Padahal, Mursi dan anggota Majelis Syuro terpilih dalam pemilu yang sangat demokratis. Begitu juga Konstitusi Negara yang telah memperoleh suara mayoritas dalam sebuah referendum yang bersih. Artinya, Mursi menjadi presiden setahun lalu, dipilih oleh mayoritas rakyat.
Kini, tiba-tiba kelompok oposisi pendukung kudeta militer, sebagaimana ditulis Aljazirah.net, menyatakan apa yang dilakukan militer bukan kudeta, melainkan 'mengikuti kehendak rakyat' yang mereka sebut sebagai 'legalitas rakyat di jalanan' (Syar'iyatus Syari'). Yang mereka sebut terakhir ini tidak lain 'aksi unjuk rasa' yang dilakukan kelompok oposisi pada 30 Juni, tiga hari sebelum penggulingan Mursi.
Untuk mendukung demokrasi 'legalitas rakyat jalanan', kelompok oposisi lalu bermain-main dengan angka. Pada awalnya, mereka mengatakan demonstrasi akan diikuti oleh ribuan, kemudian jutaan. Berikutnya, mereka mengatakan angka 17 juta, lantas 30 juta, dan terakhir mereka mengatakan yang berdemo menentang Mursi berjumlah 40 juta. Bila angka terakhir ini benar, jumlahnya sudah melebihi separuh dari mereka yang berhak mengikuti pemilu atau hampir setengah dari jumlah penduduk Mesir yang berjumlah 82 juta.
Namun, bagaimana mengukur besaran atau jumlah peserta demonstrasi? Apalagi, bila jumlahnya mencapai puluhan juta?
Guna memperkuat angka yang disebut para tokoh oposisi tadi, militer Mesir menyertakan pesawat helikopter untuk mengantarkan seorang fotogragfer dan seorang cameraman memotret aksi-aksi unjuk rasa dari udara.
Hasil gambar dan video ini lalu digandakan dan didistribusikan ke sejumlah media internasional yang bersiaran secara langsung. Dalam gambar dan video yang dibagikan itu, memang tampak jumlah pendemo yang sangat besar, terutama yang dilakukan kelompok oposisi. Tapi, tulis Aljazirah.net, ada keanehan dalam video dan foto-foto itu. Sejumlah gambar ternyata diambil dari aksi demo kelompok pendukung Mursi. Sejumlah gambar lainnya diambil dari pengunjuk rasa besar ketika menjatuhkan Presiden Husni Mubarak pada 25 Januari 2011.
Menurut analisis Middle East Monitor (Memo) yang memantau aksi unjuk rasa besar-besaran kelompok oposisi pada 30 Juni, satu meter persegi tidak akan bisa memuat lebih dari empat pendemo. Berdasarkan data ini, dua lokasi demo oposisi di Lapangan Tahrir dan depan Istana Al Ittihadiyah,tidak akan bisa memuat lebih dari 632 ribu pendemo. Atau, kalau diambil angka optimistis, kedua tempat itu paling banyak hanya bisa menampung satu hingga dua juta orang, apabila ditambah dengan sejumlah pendemo di tempat lain. Pertanyaannya, tulis Memo yang dikutip Aljazirah.net, bagaimana jumlah pendemo bisa mencapai 30 juta atau bahkan 40 juta orang?
Sumber-sumber di militer dan sejumlah oposisi yang diwawancara BBC (Inggris) membantah kalau data itu bersumber dari mereka. Tapi, meski membantahnya, dalam berbagai kesempatan mereka-baik militer maupun oposisi-selalu mengulang-ulang tentang jumlah pendemo yang menuntut penggulingan Presiden Mursi sebesar lebih dari 30 juta orang. Tampaknya, mereka sudah belajar bahwa kebohongan yang disampaikan berkali-kali, lama-lama akan menjadi suatu kebenaran yang dipercaya masyarakat.
Permainan otak-atik angka itu juga menunjukkan adanya konspirasi antara militer dan kelompok oposisi untuk menggulingkan presiden yang memperjuangkan nilai-nilai Islam itu. Menurut media Amerika, The Wall Street Journal (TWSJ), sejak beberapa bulan lalu telah muncul skenerio yang dibuat oleh oposisi dan militer untuk menggulingkan Mursi. Skenerio itu dibuat dan dimatangkan dalam pertemuan para pemimpin oposisi dan sejumlah komandan militer secara rutin. Dalam pertemuan terakhir pada Juni lalu di Club Perwira, disepakati militer akan memaksa melengserkan Mursi apabila oposisi mampu menggerakkan aksi unjuk rasa yang cukup memadai. Di antara yang hadir dalam pertemuan itu, sebut TWSJ, adalah para tokoh kunci oposisi. Mereka adalah Mohammad Al Baradai, Amr Musa, dan Hamdin Shabahi.
Pertemuan oposisi dan militer itu juga melibatkan rezim fulul (orang-orang Husni Mubarak). Yang terakhir ini bertugas menyediakan dana dan aksi-aksi premanisme terhadap pendukung Presiden Mursi. Termasuk, serangan dan pembakaran terhadap kantor Ikhwanul Muslimin beberapa hari sebelum penggulingan Mursi. Anehnya, tulis TWSJ, ketika terjadi pembakaran sepertinya ada pembiaran dari pihak militer dan aparat keamanan lainnya.
Menurut Aljazirah.net, jumlah pengunjuk rasa pendukung Mursi bisa jadi lebih besar dari jumlah pendemo dari kelompok oposisi. Tapi, siapa peduli? Bagi politikus kotor dan rakus kekuasaan, ini menurut saya, rakyat tampaknya hanyalah komoditas. Rakyat hanyalah barang dagangan untuk meraih kekuasaan. Rakyat adalah otak-atik angka. Jumlah yang miskin dan rentan miskin sekian. Jumlah kelas menengah sekian, dan sebagainya. Setelah kekuasaan diraih, masa bodoh dengan nasib rakyat.
Siapakah yang dinamakan rakyat itu? Dalam dunia politik, wabil khusus ketika sedang terjadi perebutan kekuasaan, tampaknya masing-masing pihak yang terlibat-baik yang sedang berkuasa maupun yang ingin merebut kekuasaan (oposisi)-sangat suka menggunakan kata rakyat. Atau, lebih tepatnya mereka mengklaim apa yang mereka lakukan adalah atas nama rakyat atau untuk kepentingan rakyat. Di sinilah rakyat seolah menjadi barang dagangan. Rakyat menjadi komoditas para politikus.
Sama halnya yang dilakukan militer Mesir yang bekerja sama sangat apik dengan kelompok oposisi ketika menggulingkan Presiden Mursi pada 3 Juli. Kudeta militer untuk mencopot Mursi dari jabatan presiden, membubarkan Majelis Syuro (MPR), dan membatalkan Konstitusi Negara, mereka bungkus rapi dengan istilah 'mengikuti kehendak rakyat banyak'. Padahal, Mursi dan anggota Majelis Syuro terpilih dalam pemilu yang sangat demokratis. Begitu juga Konstitusi Negara yang telah memperoleh suara mayoritas dalam sebuah referendum yang bersih. Artinya, Mursi menjadi presiden setahun lalu, dipilih oleh mayoritas rakyat.
Kini, tiba-tiba kelompok oposisi pendukung kudeta militer, sebagaimana ditulis Aljazirah.net, menyatakan apa yang dilakukan militer bukan kudeta, melainkan 'mengikuti kehendak rakyat' yang mereka sebut sebagai 'legalitas rakyat di jalanan' (Syar'iyatus Syari'). Yang mereka sebut terakhir ini tidak lain 'aksi unjuk rasa' yang dilakukan kelompok oposisi pada 30 Juni, tiga hari sebelum penggulingan Mursi.
Untuk mendukung demokrasi 'legalitas rakyat jalanan', kelompok oposisi lalu bermain-main dengan angka. Pada awalnya, mereka mengatakan demonstrasi akan diikuti oleh ribuan, kemudian jutaan. Berikutnya, mereka mengatakan angka 17 juta, lantas 30 juta, dan terakhir mereka mengatakan yang berdemo menentang Mursi berjumlah 40 juta. Bila angka terakhir ini benar, jumlahnya sudah melebihi separuh dari mereka yang berhak mengikuti pemilu atau hampir setengah dari jumlah penduduk Mesir yang berjumlah 82 juta.
Namun, bagaimana mengukur besaran atau jumlah peserta demonstrasi? Apalagi, bila jumlahnya mencapai puluhan juta?
Guna memperkuat angka yang disebut para tokoh oposisi tadi, militer Mesir menyertakan pesawat helikopter untuk mengantarkan seorang fotogragfer dan seorang cameraman memotret aksi-aksi unjuk rasa dari udara.
Hasil gambar dan video ini lalu digandakan dan didistribusikan ke sejumlah media internasional yang bersiaran secara langsung. Dalam gambar dan video yang dibagikan itu, memang tampak jumlah pendemo yang sangat besar, terutama yang dilakukan kelompok oposisi. Tapi, tulis Aljazirah.net, ada keanehan dalam video dan foto-foto itu. Sejumlah gambar ternyata diambil dari aksi demo kelompok pendukung Mursi. Sejumlah gambar lainnya diambil dari pengunjuk rasa besar ketika menjatuhkan Presiden Husni Mubarak pada 25 Januari 2011.
Menurut analisis Middle East Monitor (Memo) yang memantau aksi unjuk rasa besar-besaran kelompok oposisi pada 30 Juni, satu meter persegi tidak akan bisa memuat lebih dari empat pendemo. Berdasarkan data ini, dua lokasi demo oposisi di Lapangan Tahrir dan depan Istana Al Ittihadiyah,tidak akan bisa memuat lebih dari 632 ribu pendemo. Atau, kalau diambil angka optimistis, kedua tempat itu paling banyak hanya bisa menampung satu hingga dua juta orang, apabila ditambah dengan sejumlah pendemo di tempat lain. Pertanyaannya, tulis Memo yang dikutip Aljazirah.net, bagaimana jumlah pendemo bisa mencapai 30 juta atau bahkan 40 juta orang?
Sumber-sumber di militer dan sejumlah oposisi yang diwawancara BBC (Inggris) membantah kalau data itu bersumber dari mereka. Tapi, meski membantahnya, dalam berbagai kesempatan mereka-baik militer maupun oposisi-selalu mengulang-ulang tentang jumlah pendemo yang menuntut penggulingan Presiden Mursi sebesar lebih dari 30 juta orang. Tampaknya, mereka sudah belajar bahwa kebohongan yang disampaikan berkali-kali, lama-lama akan menjadi suatu kebenaran yang dipercaya masyarakat.
Permainan otak-atik angka itu juga menunjukkan adanya konspirasi antara militer dan kelompok oposisi untuk menggulingkan presiden yang memperjuangkan nilai-nilai Islam itu. Menurut media Amerika, The Wall Street Journal (TWSJ), sejak beberapa bulan lalu telah muncul skenerio yang dibuat oleh oposisi dan militer untuk menggulingkan Mursi. Skenerio itu dibuat dan dimatangkan dalam pertemuan para pemimpin oposisi dan sejumlah komandan militer secara rutin. Dalam pertemuan terakhir pada Juni lalu di Club Perwira, disepakati militer akan memaksa melengserkan Mursi apabila oposisi mampu menggerakkan aksi unjuk rasa yang cukup memadai. Di antara yang hadir dalam pertemuan itu, sebut TWSJ, adalah para tokoh kunci oposisi. Mereka adalah Mohammad Al Baradai, Amr Musa, dan Hamdin Shabahi.
Pertemuan oposisi dan militer itu juga melibatkan rezim fulul (orang-orang Husni Mubarak). Yang terakhir ini bertugas menyediakan dana dan aksi-aksi premanisme terhadap pendukung Presiden Mursi. Termasuk, serangan dan pembakaran terhadap kantor Ikhwanul Muslimin beberapa hari sebelum penggulingan Mursi. Anehnya, tulis TWSJ, ketika terjadi pembakaran sepertinya ada pembiaran dari pihak militer dan aparat keamanan lainnya.
Menurut Aljazirah.net, jumlah pengunjuk rasa pendukung Mursi bisa jadi lebih besar dari jumlah pendemo dari kelompok oposisi. Tapi, siapa peduli? Bagi politikus kotor dan rakus kekuasaan, ini menurut saya, rakyat tampaknya hanyalah komoditas. Rakyat hanyalah barang dagangan untuk meraih kekuasaan. Rakyat adalah otak-atik angka. Jumlah yang miskin dan rentan miskin sekian. Jumlah kelas menengah sekian, dan sebagainya. Setelah kekuasaan diraih, masa bodoh dengan nasib rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar