Mencermati Pola Kolonialisme di Syria dan Mesir
OPINI | 06 September 2013 | 14:12
Pasca tergulingnya Mohamad Morsi oleh “kudeta” militer (3 Juli 2013),
tampaknya kadar
gejolak di Mesir lebih tinggi serta meluas daripada Arab
Spring kemarin. Dan prakiraan
waktu pun sepertinya belum dapat diterka
sama sekali. Kenapa demikian, oleh karena
aneka false flag operation
(operasi bendera palsu) terbaca begitu gencar dikibarkan
oleh Barat
dengan beragam kemasan. Kemudian dijelaskan sekilas pada awal catatan
ini,
maksud “Barat” ialah Amerika (AS) dan sekutu, termasuk Israel
selaku anak emas,
‘guru’, atau sekutu tradisional AS.
Tak pelak lagi, di sebuah kolonialisasi - selain modus false flag mampu
mendangkalkan
atau mengaburkan khalayak awam dalam melihat peta konflik
sesungguhnya, bahkan seringkali
juga menjerumuskan orang, kelompok,
ataupun golongan ke dalam kekeliruan (kerangka)
berpikir, misperception,
kesalahan langkah, dan lain-lain. Ini terlihat dari beberapa elemen
bangsa-bangsa yang memiliki solidaritas tinggi terhadap sesama muslim,
tetapi tidak
cukup pemahaman soal trend, tata cara, modus, ataupun
model-model deception
(penyesatan) dalam kolonialisme. Merujuk
judul artikel ini, sebaiknya dimulai dari
Syria yang sekarang kembali
bergolak kendati militer pemerintahan Bashar al Assad
dinilai banyak
pihak telah dianggap memenangkan peperangan melawan kaum pemberontak.
Pertanyaan menarik timbul: apakah kita mengetahui hakiki dan mapping
konflik di Syria?
Kalau sudah paham, syukurlah. Tapi bagi yang
‘setengah-setengah’ atau sekedar
mengira-ngira apalagi hanya
ikut-ikutan, semoga artikel sederhana ini bisa membuka
sedikit wawasan,
dan menguak pemahaman soal pola kolonialisasi yang sering
diterapkan
oleh Barat, kendati pada dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta,
sebenarnya telah banyak diulas beberapa penulis. Tulisan ini cuma
menebalkan saja.
Pemetaan Dina Y. Sulaeman misalnya, membagi kaum oposisi (pemberontak) di Syria ke
dalam tiga kelompok besar. Penelitian Dina, research associate GFI, menarik disimak.
Inilah mapping kelompok dimaksud, antara lain:
Pertama, kelompok yang lahir di Turki terdiri atas Syrian National Council (SNC)
dan Free Syrian Army (FSA). Perlu dicatat disini, bahwa pada diri FSA bernaung milisi
(sebagian menyebutnya ‘mujahidin’) termasuk al Qaida.
Kedua, National Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces.
Kelompok ini terbentuk di Doha, Qatar. Tak bisa dipungkiri, bahwa
Ikhwanul
Muslimin (IM) sebagai muslim moderat tergabung pada koalisi di
atas. Kelompok ini
didukung oleh Qatar, Arab Saudi, AS, Inggris dan
Prancis, koalisi negara-negara yang
selama ini membiayai, mengirim
senjata dan memfasilitasi para pasukan “jihad” dari berbagai
negara
seperti Arab, Libya dan lain-lain agar datang ke Syria membantu FSA.
Ketiga, kelompok berhaluan Hizbut Tahrir (HT) —meski
tidak mengatasnamakan HT—
tetapi mendapat dukungan berbagai cabangnya di
dunia, termasuk HT dari Indonesia.
Sikapnya mengecam koalisi yang
dibentuk di Qatar. Kelompok ini meliputi Gabhat al
Nousra, Ahrar Al Sham Kataeb, Liwaa al Tawhiid, dan Ahrar Souria. Ia cenderung
memisah dengan kelompok lain dan mendeklarasikan bahwa perjuangannya dalam
rangka membentuk khilafah di Syria.
Hal yang menarik, kendati ketiga oposisi seolah-olah terberai, tetapi
memiliki tekad dan
suara sama, yakni menumbangkan rezim Bashar al Assad.
Seperti ada invesible hand
meremot dinamika konflik dari kejauhan agar
para pemberontak tetap satu tujuan walau
berbeda cara dan jalan. Hal ini
terbukti ketika mereka ternyata saling ‘bekerjasama’
pada upaya
penciptaan opini publik: “betapa kejam dan brutalnya rezim Assad dalam
membantai rakyatnya sendiri”. Kemungkinan besar, inilah opini rekaan
ketiga oposisi yang
hasilnya sungguh-sungguh mengaburkan fakta
sebenarnya, atau istilahnya false flag
operation. Seakan-akan
bekerjasama padahal demi kepentingan musuh!
Jika disandingkan dengan kajian Dina, analisa Rijal Mumazziq Z tampak
lebih sederhana
meskipun substansi tak jauh beda. Ia mengatakan,
sesungguhnya hanya ada dua kubu
oposisi di Syria, yaitu Sekuler dan
Islamis. Tidak ada kubu lain. Keduanya sama-sama keras
kepala dan
terbagi dalam beberapa faksi. Yang top Jabhat an-Nushrah (kubu
Islamis)
karena merupakan cabang al-Qaidah. Model pemetaan oposisi ala
Rizal ini, selain memeta
kaum oposisi hanya menjadi dua golongan, juga
cenderung mencermati pola dan model
divide et impera (pecah
belah) —atau adu jangkrik— yang dimainkan AS serta sekutu
di banyak
negara, contohnya Syria. Beberapa hipotesa pun muncul. Misalnya,
apabila
Assad tumbang, mereka akan terus memasok senjata sembari menyaksikan
“adu jangkrik” berikutnya, yakni antara kubu Sekuler dalam FSA melawan
kelompok
Islamis.
Hipotesa selanjutnya, bila kubu Sekuler menang, ongkos yang dikeluarkan
pun tetap hemat.
Artinya selain laba sumber daya alam (SDA) yang
melimpah, (tambahan penulis)
penguasaan geopolitic of pipeline,
juga kubu Sekuler bakal disetir oleh “majikan”-nya
persis di Irak dan
Libya. Faktor lain yang terabaikan namun sesungguhnya tujuan
utama ialah
rebutan geostrategi posisi Syria yang tepat di simpul Jalur Sutera.
Itulah jalur
ekonomi dan militer legenda sejak dahulu kala, namun
sekarang justru banyak dilupakan
oleh orang (baca: Catatan Kecil tentang Jalur Sutera www.theglobal-review.com).
Sedang hipotesa terakhir, jika kubu Islamis menang, maka isue sektarian
Sunni-Syiah akan
semakin dikobarkan, lalu moncong meriam “mujahidin”
diarahkan ke Hizbullah di Lebanon.
Biarkan keduanya bertarung. Hizbullah
hanyalah target (sasaran) antara, karena sasaran
utama sebenarnya Iran.
Lagi-lagi, isue sektarian memang bumbu terlezat dalam citarasa
konflik
dan perang di Timur Tengah. Luar biasa!
Kajian keduanya baik Dina maupun Rizal, sepertinya ingin menjelaskan
makna
statement Moshe Yaalon, Menteri Pertahanan: “tidak melihat akhir
dari perang ini”.
Dengan kata lain, Israel tak ingin perang berakhir.
Bahkan ia akan melakukan apa
saja supaya peperangan terus berlangsung,
termasuk diantaranya tuduhan —bumbu
konflik— Yaalon kepada pemerintah
Syria ketika terjadi pembunuhan massal menggunakan
senjata kimia. Sekali
lagi, inilah salah satu langkah “false flag”-nya Barat.
Efektif memang,
selain membakar peperangan, juga sebagai dalih agar
segera diterbitkan mandat (resolusi)
PBB di Syria.
Dengan demikian jelas, bahwa perang berlarut di
Syria bukanlah konflik
etnis, ataupun perang agama,
tidak pula konflik antar mazhab sebagaimana
dikibarkan
oleh Barat dengan taktik false flag melalui media
mainstream, online, jejaring sosial, dan lain-lain. Bukan!
Syria hanya proxy war (medan tempur) dari
berbagai kepentingan para adidaya dunia!
Ketika Syria dituduh lagi, atau dicap kembali oleh Barat menggunakan
senjata kimia
membunuh rakyatnya sendiri, sebenarnya bukan sekedar
peristiwa berulang, namun
boleh dinilai sebagai isue kuno, atau stigma
basi. Kenapa demikian, karena sebelumnya,
Bashar al Assad, juga telah
menerima tuduhan dan stigma sama walau topiknya berbeda.
Tragedi Hawla
misalnya, dimana rakyat Syria dibantai dengan tata cara non militer
seperti
ditembak jarak dekat, ditusuk, digorok, dll hal mana perbuatan
tersebut dituduhkan kepada
militer Assad. Tetapi akhirnya tak terbukti
dan humanitarian intervention PBB pun gagal
‘mendarat’ di Syria;
selanjutnya pasca kekalahan milisi pemberontak (oposisi), pihak
Barat
kembali menebar stigma dan kali ini militer Assad dituduh menggunakan
senjata
kimia sarin.
Ya. Stigma berawal dari klaim London yang didukung Washington, bahwa
Badan
Intelijen Inggris (MI-6) menemukan sampel tanah Syria mengandung
bahan kimia
yang dituduhkan pada pasukan Assad. Namun betapa lucu, klaim
mengemuka ketika
sebelumnya, para penyelidik PBB justru menemukakan
fakta-fakta kebalikannya
bahwa senjata kimia digunakan oleh milisi
teroris anti-Assad. Mereka mendapatkan
kesaksian dari para korban dan
staf medis yang menunjukkan para milisi
oposisi bersenjata menggunakan
gas sarin.
Reuters Senin (6/5/13) melaporkan, Carla Del Ponte,
anggota Komisi
Independen PBB untuk Penyelidikan
di Syria mengatakan: “Kami tidak
menemukan bukti
bahwa pasukan pemerintah Damaskus menggunakan
senjata
kimia terhadap milisi bersenjata”. Dan
agaknya counter berita oleh Ponte dari Komisi
Independen PBB sempat meredakan suasana
beberapa jenak.
Tetapi tatkala stigma penggunaan kimia menguat
kembali dimarakkan oleh
Barat melalui media.
Inilah perang propaganda. Sebagaimana isyarat
Joseph Goebbels, Menteri Propaganda NAZI
(1942): “Sebarkan kebohongan
berulang-ulang
kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang,
akan
membuat publik menjadi percaya, dan kebohongan
yang paling besar ialah
kebenaran yang diubah
sedikit saja”. Lalu, pada kasus penggunaan senjata
kimia di atas, sesungguhnya siapa berbohong?
Dalam tahapan kolonialisme, penyebaran isue, stigma, atau propaganda dan
lain-lain
sejatinya hanya modus awal ataupun langkah permulaan karena
episode berikut niscaya
ada ‘tema’ yang akan dimunculkan. Sebagaimana
pola yang sudah-sudah, membaca
skenario kolonialisme Barat setelah
ditebar isue-isue di Syria, keniscayaan tema
yang bakal diangkat ialah
penerbitan Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB seperti
dulu mereka tabur di
Irak melalui (stigma) senjata pemusnah massal, atau di
Libya via isue “pelanggaran HAM”-nya Gaddafi, dll dimana muara keduanya ialah
‘humanitarian intervention’. Artinya entah peace keeper yang
mengawaki mandat
PBB nantinya, entah NATO, atau ISAF dan lain-lain,
tergantung situasi kondisi.
Kendati hingga kini senjata pemusnah massal
tak pernah ditemukan, tetapi Irak
terlanjur porak-poranda. Libya pun
demikian. Sekali lagi, siapa berbohong?
Sejenak keluar topik namun dalam koridor materi. Ya.
Apabila mandat PBB diberikan peace keeper
(pasukan
baret biru) biasanya bermuara pada jajak
pendapat, pemilu ulang,
referendum, dst yang
intinya memisah wilayah target dari negara induk.
Imperialis memang memiliki slogan: “Verdeel
en heers”—pecahkan dan kuasai. Ini yang sering
terjadi. Tak bisa tidak.
Tengoklah praktek di Sudan, model imperialisme melalui tata cara
referendum,
pemilu ulang dll akhirnya ‘sukses’ membelah Sudan menjadi
dua negara
(Sudan dan Sudan Selatan), atau Timor Timur (Leste) kini
menjadi negara merdeka,
dan lain-lain. Polanya sama. Ditebar duluan
isue, lalu diangkat sebuah tema, sedang
skemanya adalah “pendudukan”,
baik berupa penguasaan (pendudukan)
ekonomi maupun pencaplokan
sumberdaya (SDA) di daerah target. Dalam kolonialisme,
isue dan tema
boleh saja berubah-ubah sesuai keadaan, akan tetapi “skema” tetap
lestari, yakni penguasaan ekonomi dan pendudukan SDA di wilayah target.
Dan lazimnya ketika mandat turun ke NATO bakal berujung bombardier dan
pengerahan militer secara terbuka (NATO, ISAF). Ini pola (kolonialisme)
berulang. Kendati keduanya, baik peace keeper maupun tentara
koalisi sering
pula bersinergi di wilayah target. Bahkan seringkali
tanpa mandat PBB pun, AS dan
sekutu berani menyerbu kedaulatan negara
lain dengan alasan “Kepentingan
Nasional”-nya terancam. Invasi militer
Barat ke Irak (tahun 2003-an) merupakan contoh
aktual. Ya, berbekal preemtive strike doctrine
dan stigma bahwa Irak menyimpan
senjata pemusnah massal, Negeri 1001
Malam diobrak-abrik lalu Saddam Husein pun
digantung oleh AS dan sekutu.
Sekali lagi, awal penyerbuan Irak dahulu tanpa bekal
mandat dari PBB,
meski di tengah operasi akhirnya terbit resolusi PBB, namun secara
politis hanya melegitimasi serangan ilegal tersebut. Dan dunia membisu
seribu bahasa!
Kembali ke Syria. Isyarat William Hague, Menteri Luar Negeri Inggris,
negaranya
kemungkinan merespon penggunaan senjata kimia di Syria tanpa
perlu izin DK PBB,
karena Cina dan Rusia hampir pasti mem-veto
pemungutan suara di DK. Seketika
statement Hague mendapat respon
langsung dari Rusia. Sergei Lavrov, Menteri Luar
Negeri Rusia
menyatakan, bahwa intervensi militer ke Syria tanpa mandat DK PBB
merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Tetapi toh akhirnya
parlemen
Inggris tidak menyetujui rencana ‘invasi militer’ tersebut.
Menanggapi perang diplomasi antara Inggris dan
Rusia tersebut, Assad
berkata: “Adakah negara
yang menggunakan (senjata) kimia atau senjata
pemusnah massal di sebuah tempat dimana
pasukannya sendiri
terkonsentrasi disana? Bukankah
hal itu bertentangan dengan logika
dasar!”.
Lebih mengejutkan lagi, tanggapan Bashar al-Assad
seolah justru
menantang hegemoni Barat,
karena ia mengingatkan jika AS memilih opsi
serangan
militer ke Damaskus, maka Washington akan
mengalami bencana
seperti di Vietnam (Rueters,
Senin, 26 Agustus 2013). Sejak awal krisis,
kami telah menunggu musuh sejati kami
menampakkan dirinya,” kata Assad
kepada para
pejabat Damaskus seperti dikutip surat kabar
Lebanon al-Akhbar
pada Kamis (29/8).
Ia menambahkan, Damaskus akan menjadi pemenang
dalam
setiap konfrontasi militer yang mungkin terjadi
dengan Amerika Serikat
dan sekutu.
Pertanyaan menggelitik muncul: benarkah Paman Sam dan sekutu “nekad”
memilih
opsi militer ke Syria dengan atau tanpa resolusi PBB? Beberapa
analisa baik dari
pakar maupun pengamat memang berkembang menyikapi
kondisi aktual semacam ini.
Ada yang pro dan kontra. Tetapi tidak kami
bahas pro kontra dimaksud sebab kurang
signifikan.
Gelagatnya, memang AS sudah mengirim kapal-kapal tempur termasuk empat
kapal
perusak ke Laut Mediterania. Sementara Inggris juga telah
mengerahkan enam jet tempur
Typhoon ke pangkalan militer Akrotiri di
Siprus, walau opsi parlemennya menolak
serangan militer ke Syria.
Terlihat pertemuan DK PBB pun berakhir tanpa mencapai kesepakatan. Sudah
diduga,
sejumlah anggota DK mendorong resolusi penggunaan kekuatan
terhadap Syria, tetapi
Rusia dan Cina menentang keras setiap serangan
militer apapun. Bahkan sebelumnya,
sebuah memorandum telah dikeluarkan
kantor Kepresidenan Rusia (27/08/13) untuk
Angkatan Bersenjata Rusia
yang isinya untuk melakukan serangan militer besar-besaran
melawan Arab
Saudi jika Barat menyerang Suriah.
Tampaknya Putin sangat marah setelah
pertemuan dengan Bandar bin Sultan awal
Agustus lalu, karena Sultan
mengancam Rusia akan mengerahkan teroris Chechnya
jika Moskow menolak
permintaannya agar melepas dukungannya terhadap Syria.
Apalagi menurut
laporan FNA Selasa (27/8), bahwa Dinas Intelijen Saudi itu telah
mengalokasikan 70 juta dolar secara langsung untuk mendorong para
pejabat politik
keamanan AS menyerang Syria!
Merujuk judul artikel ini, kita tinggalkan soal
Syria mari mencermati
perihal konflik Mesir. Ya.
Seperti halnya peperangan di negerinya Bashar
al
Assad, perang di Mesir pun bukanlah konflik
agama sebagaimana
propaganda beberapa media
mainstream, bukan pula perang antar
mazhab
pada suatu agama tertentu, dan lain-lain. Konflik di
Mesir itu
murni persoalan politik dan kekuasaan,
sekali lagi bukan konflik agama.
Titik.
Bila menganalog kejatuhan Orde Baru oleh ‘kaum reformis’, atau
terjungkalnya
Gus Dur oleh kudeta parlemen, maka kunci solusi konflik di
Mesir adalah kelegowoan
Morsi dan IM. Seandainya dulu Pak Harto dan Gus
Dur tidak legowo, niscaya
Indonesia berlumuran darah dilanda perang
saudara tak berkesudahan. Maka
hemat penulis, gerakan Save Egypt yang
sempat marak di berbagai negara termasuk
Indonesia kemarin, boleh
dianggap sebagai virus baru pola ‘adu jangkrik’ —
sebagaimana pecah belah
di Syria— terhadap sesama muslim. Wong jelas-jelas
Morsi adalah produk Arab Spring bikinan Barat (silahkan baca: “Melacak Revolusi
Warna, Virus Ganti Rezim di Berbagai Negara”, dan beberapa analisis lainnya di
www.theglobal-review.com).
Dan bila menerapkan kajian Dina dan Rizal di awal
tulisan ini, seandainya konflik antara IM versus
militer (Jenderal Al Sisi) bisa diselesaikan secara
kompromi politis
pun, maka “bahan bakar” lainnya
untuk membakar kembali Mesir masih
relatif
banyak. Misalnya, mengadu antara Syiah
melawan Anti-Syiah, atau
dikobarkan sentimen
anti-Kristen Koptik, atau bisa juga dipicu antara
kelompok Islamis versus nasionalis-sekuler-liberal.
Hipotesa ini cuma
sebagai gambaran tentang
trik-trik adu jangkrik yang sering diremot oleh
Barat dari kejauhan, namun anehnya tanpa disadari
oleh para kelompok
—jangkrik-jangkrik— yang
diadu di sebuah negara.
* Analisa ini disarikan dari data-data berbagai sumber, terutama analisa
beberapa pakar dan pengamat di situs www.theglobal-review.com,
www.globalresearch.ca, dan diskusi-diskusi di Forum Terbatas Global
Future Institute, Jakarta pimpinan Hendrajit .
Perang Suriah
AS Butuh 75.000 Tentara untuk Amankan "Senjata Kimia" Suriah
Islam
Times-
Terbaru, menurut laporan intelijen Perancis, stok bahan untuk
senjata kimia Suriah, diperkirakan lebih dari 1.000 ton, dan diamankan
oleh pasukan khusus Suriah.
Tentara AS. Reuters/Hugh Gentry
http://www.islamtimes.org/vdcaeonuy49no61.h8k4.html
Potensi serangan AS di Suriah memicu kekhawatiran "senjata kimia" Damaskus bisa jatuh ke tangan yang salah jika pemerintah digulingkan. Demikian sebuah laporan kongres AS dan mengatakan membutuhkan sekitar 75.000 tentara untuk menjaga gudang WMD, demikian tulis Russia Today (RT), Kamis, 05/09/13.
Laporan Congressional Research Center (CRS) yang diterbitkan hanya sehari sebelum dugaan serangan senjata 21 Agustus di pinggiran kota Damaskus itu disusun untuk menanggapi skenario yang mungkin melibatkan penggunaan, peralihan tangan, atau hilangnya kontrol "senjata kimia" Suriah.
Terbaru, menurut laporan intelijen Perancis, stok bahan untuk senjata kimia Suriah, diperkirakan lebih dari 1.000 ton, dan diamankan oleh pasukan khusus Suriah.
"Karena urgensi pencegahan akses senjata oleh kelompok-kelompok yang tidak sah, termasuk teroris, pemerintah Amerika Serikat telah mempersiapkan skenario untuk mengamankan senjata itu, jika terjadi lenyapnya kontrol rezim Assad," tulis dokumen itu.
Saat bersaksi di depan Senat untuk Komite Angkatan Bersenjata pada tanggal 7 Maret 2012, Mantan Menteri Pertahanan Leon Panetta memperingatkan penggulingan Assad yang akan menyajikan skenario "100 kali lebih buruk dari apa yang kita tangani di Libya."
Dalam rangka untuk mengamankan 50 senjata kimia dan lokasi produksi yang tersebar di Suriah, selain untuk mengamankan penyimpanan dan fasilitas penelitian, Pentagon memperkirakan akan membutuhkan lebih dari 75.000 tentara untuk menetralisir senjata kimia," tambah dokumen pada Februari 2012 menurut laporan CNN.
Sementara itu, resolusi yang mendukung penggunaan kekuatan terhadap pemerintah Presiden Bashar Assad disepakati oleh Senat untuk Komite Hubungan Luar Negeri pada hari Rabu, meskipun bagian 3 dari draft iti seolah-olah mengesampingkan operasi tempur Angkatan Darat AS.
Kata-kata dari teks draft yang diajukan, sangat berpotensi untuk mengerahkan pasukan di lapangan untuk operasi non-ofensif, termasuk mengamankan stok senjata kimia dan fasilitas produksi. [IT/Onh/Ass]
Perang Suriah
http://www.islamtimes.org/vdcjoxe8muqehoz.bnfu.html
Al-Jazeera & Reuters Berdusta atas Nama Rakyat Suriah
Islam
Times- Kabar yang menyebut bahwa serangan senjata kimia oleh Rezim
Suriah diterbitkan oleh Al-Jazzera itu pukul 09: 28. Sementara di situs
teroris menulis, "Rezim Baath menggunakan senjata kimia di Timur Ghouta,
Damaskus, Jobar, Ain Tarma, Zamalka, Western Ghouta, Muaddamiyah
sekitar pukul 03: 30 am.
Berdusta
Berita mengenai penggunaan senjata kimia oleh militer Suriah pertama kali dipublih oleh al-Jazzera dan Reuters. Dimana kedua media itu menerbitkan berita pembantaian di Timor Ghouta, Damaskus satu hari sebelum pembantaian itu terjadi.
Bahkan puluhan video yang diupload di jejaring sosial diunggah satu hari sebelum pembantaian itu terjadi. Ini menunjukkan bahwa semua bukti-bukti mempertegas bahwa teroris didikan Arab Saudi, Qatar, Turki, AS dan Israel sebelumnya sebgaja membantai masyarakat sipil, kemudian merekam adegan itu untuk menipu masyarakat dunia.
Bukti-bukti menunjukkan pembantaian itu dilakukan oleh teroris takfiri di Suriah dan mereka memperjuangkan pembantaian itu untuk membuat orang percaya dan semua orang percaya bahwa Rezim Suriah di balik pembantaian sadis. Anda akan melihat bahwa teroris mengupload video bahkan sebelum pembantaian terjadi.
Kabar yang menyebut bahwa serangan senjata kimia oleh Rezim Suriah diterbitkan oleh Al-Jazzera itu pukul 09: 28. Sementara di situs teroris menulis, "Rezim Baath menggunakan senjata kimia di Timur Ghouta, Damaskus, Jobar, Ain Tarma, Zamalka, Western Ghouta, Muaddamiyah sekitar pukul 03: 30 am. Bahkan sumber tersebut mengatakan, korban tewas mungkin akan meningkat karena kurangnya peralatan dan sumber medis.
Sementara pada saat yang sama salah satu akun "SHAMSNN" pendukung teroris di youtube mengupload puluhan video dengan cepat antara pukul 03: 00 dan 04: 00. Bukti paling penting adalah, waktu upload itu dilakukan pada 20 Agustus, sementara para pengugat rezim Suriah mengetahui serangan itu terjadi pada 21 Agustus 2013.
Bahkan jika kita menganggap serangan kimia itu benar-benar terjadi pada pukul 03: 30, itu adalah mustahil untuk mengambil film dari adegan itu dan meng-upload puluhan video ... ini menunjukkan bahwa teroris sebelumnya sudah menyiapkan segala sesuatunya, membunuh warga dan adegan itu diunggah ke youtube kemudian menuduh rezim Suriah melakukan pembantaian. Harga yang murah meriah.
Semakin jelas, para teroris semakin brutal. Mereka bahkan tidak punya belas kasihan terhadap anak-anak dan menggunakan warga sipil hanya untuk menipu masyarakat dunia. Mereka mengumpulkan semua warga sipil, anak-anak, perempuan untuk daerah-daerah tertentu dan kemudian membunuh mereka secara brutal kemudian menuduh Rezim Suriah melegalkan brutalitas mereka.
Perhatikan, teroris di Suriah mengungah video itu pada 20 Agutus 2013 di Timor Ghouta, Damaskus dan kemudian menyalahkan pemerintah Suriah atas serangan yang terjadi pada awal 21 Agustus 2013. Jika kejahatan itu dilakukan pada 21 Sgutus 2013 lalu bagaimana caranya video tangal 20 AGutus itu didapat? Dan apakah mereka meng-upload video di youtube itu sehari sebelum terjadi kejahatan? [It/Onh/Ass]
Anda dapat menonton video dari sini: http://youtu.be/cO8_eZcZkNE
Berita dari Reuters: http://www.reuters.com/article/2013/08/21/us-syria-crisis-idUSBRE97K0EL20130821
http://blogs.aljazeera.com/topic/syria/dozens-people-have-been-killed-syria-nerve-gas-attack-government-forces-activists-said
Jumat, 20 September 2013
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/09/jaksa-turki-dakwa-pemberontak-syria.html#more
JAKSA TURKI DAKWA PEMBERONTAK SYRIA GUNAKAN SENJATA KIMIA
Setelah pengakuan mantan tawanan pemberontak asal Italia dan Belgia yang mengklaim pemberontaklah sebagai pelaku serangan senjata kimia, beberapa media internasional termasuk Russia Today, baru-baru ini melaporkan tentang tuntutan jaksa Turki terhadap para pemberontak Syria terkait kepemilikan senjata kimia gas sarin.
Dalam dakwaan yang dikirim kepada pengadilan di kota Adana di Selatan Turki itu disebutkan bahwa para pemberontak Syria telah memesan dan menerima bahan-bahan kimia berbahaya dari Turki. Tuntutan tersebut merupakan tindak lanjut dari kasus penyitaan tabung-tabung silinder berisi gas sarin milik para anggota kelompok Al Nusra Front (jaringan Al Qaida) di Selatan Turki, tgl 28 Mei lalu.
Menurut laporan berbagai media massa, benda-benda tersebut ditemukan di salah satu rumah yang ditempati anggota Al Nusra Front yang kini tengah menjalani penahanan penyidikan.
Sebanyak 5 warga Turki dan seorang warga Syria bernama Haitam Kassap, telah ditangkap dalam kasus ini. Jaksa penuntut selanjutnya mengajukan tuntutan setebal 132 halaman yang berisi bukti-bukti keterkaitan mereka dengan kelompok-kelompok teroris yang kini tengah berperang di Syria. Dalam dokumen tuntutan disebutkan juga bahwa beberapa kelompok teroris salafi berusaha membuat jaringan untuk melakukan serangan teroris di dalam wilayah Turki. Menurut penyidikan tersebut kelompok al-Nusra Front dan Ahrar al-Sham telah mencoba membeli sejumlah besar gas sarin dan bahan-bahan kimia berbahaya lainnya.
Jaksa percaya para pelaku telah mencoba mendapatkan bahan-bahan kimia itu dari Turki untuk selanjutnya mengirimkannya ke Syria. Berdasarkan sadapan komunikasi yang diperoleh jaksa, diketahui para pemberontak Syria itu mencoba membeli 10 ton bahan-bahan kimia berbahaya.
“Klaim bahwa mereka tidak mengetahui pembuatan gas sarin dari bahan-bahan kimia yang mereka beli itu terbantahkan setelah mereka memberikan kesaksian," tulis dokumen penuntutan tersebut.
Pemerintah Syria sendiri telah memberikan beberapa laporan kepada PBB tentang serangan-serangan senjata kimia oleh pemberontak serta temuan-temuan bahan-bahan kimia berbahaya miliki pemberontak. Namun pemerintah Syria justru mendapat tekanan politik dari Amerika dan sekutu-sekutunya setelah terjadinya peristiwa serangan senjata kimia yang menewaskan lebih dari 1.000 orang di Ghouta, Damaskus, tgl 21 Agustus lalu
MILITER AS AKUI PEMBERONTAK MILIKI SENJATA KIMIA
Berbeda dengan pernyataan pemerintahnya yang menganggap pemberontak tidak mungkin memiliki senjata kimia, para pejabat militer Amerika mengakui sebaliknya. Beberapa dokumen rahasia militer Amerika yang diperoleh "World Net Daily" baru-baru ini menunjukkan bahwa militer Amerika mengetahui pemberontak Syria memiliki senjata kimia. Dokumen tersebut juga terkait dengan penangkapan para anggota Al Qaida di Turki sebagaimana disebutkan di atas.
"Sebuah dokumen rahasia yang diterima WND menunjukkan bahwa militer Amerika membenarkan bahwa gas sarin yang disita awal tahun ini diperoleh dari anggota kelompok Jabhat al-Nusra Front, kelompok pemberontak Islam paling berpengaruh yang berperang di Syria," tulis "World Net Daily" dalam laporannya berjudul "U.S. Military Confirms Rebels Had Sarin" yang ditulis E Michael Maloof, tgl 12 September lalu.
Dokumen tersebut menunjukkan bahwa gas sarin dari kelompok al-Qaida di Irak telah dipindahkan ke Turki untuk diselundupkan ke Syria. Sebagian senjata-senjata itu diduga kuat telah digunakan dalam serangan terhadap penduduk dan militer Syria di Aleppo bulan Maret lalu. Dokumen yang diberi label "Rahasia/Noforn" (bukan untuk kalangan asing) diperoleh "World Net Daily" hari Selasa (10/9).
Dokumen itu membuka fakta bahwa kelompok-kelompok Al Qaida di Irak telah memiliki kemampuan meracik senjata kimia.
Sebuah sumber militer Amerika mengatakan bahwa Amerika telah melakukan serangkaian penyelidikan termasuk menginterogasi orang-orang yang diduga memiliki kaitan sengan masalah ini, dan terdapat "50 indikasi umum" untuk mengawasi gerak-gerik Al Qaida dan senjata kimianya.
Dokumen tersebut menyebutkan upaya serius Amerika menyelidikan kaitan Al Qaida dengan senjata kimia dipicu oleh tertangkapnya beberapa anggota Al Qaida di Iraq dan Turki antara bulan Maret hingga Mei lalu. Meski terjadi penangkapan-penangkapan, Amerika meyakini upaya Al Qaida mengembangkan senjata kimia tidak pernah berhenti.
Penyitaan dan penangkapan yang terjadi bulan Mei lalu muncul setelah pihak keamanan Turki menemukan silinder berbobot 2 kg yang berisi gas sarin. Benda itu ditemukan di beberapa rumah militan Islam pendukung pemberontakan Syria, di Provinsi Adana dan Mersia, Turki. Awalnya pihak keamanan Turki menangkap 12 orang tersangka yang oleh pihaka keamanan Turki disebut sebagai "kelompok pemberontak Syria yang paling agresif dan kuat".
Pada saat penangkapan itu Rusia langsung mengajukan tuntutan agar dilakukan penyelidikan menyeluruh untuk membuktikan keterkaitan pemberontak Syria dengan senjata kimia, khususnya gas sarin.
Penangkapan dan penyitaan senjata kimia itu terjadi menyusul terjadinya serangan senjata kimia oleh pemberontak di Khan al Assal, Aleppo, bulan Maret 2013. Dalam serangan itu sebanyak 26 orang warga sipil dan tentara Syria tewas akibat gas sarin yang ditembakkan menggunakan roket.
Saat itu Syria langsung menuntut PBB melakukan penyelidikan. Syria menuduh Al Qaida bertanggungjawab atas serangan itu sembari menuduh Turki terlibat dalam insiden itu.
“Roket (berisi gas sarin) itu ditembakkan dari wilayah yang dikuasai pemberontak yang berada tidak jauh dengan perbatasan Turki. Kita bisa simpulkan bahwa senjata itu berasal dari Turki,” demikian pernyataan pemerintah Syria kala itu. Meski tidak secara tegas menunjuk pemberontak sebagai pelaku serangan, laporan penyidikan PBB mengingikasikan dengan kuat pemberontak sebagai pelaku serangan kimia.
Namun laporan lebih mendetil diberikan oleh Rusia yang menyebutkan senjata kimia gas sarin itu dibuat di kawasan Sunni di Irak Utara, selanjutnya dikirimkan ke Turki sebelum akhirnya ditembakkan di Syria. ADapun bahah-bahannya, menurut laporan itu disuplai oleh mantan perwira tinggi Saddam Hussein, Izzat Ibrahim al-Douri. Al-Douri pernah menjadi orang terdekat Saddam Hussein sebelum diangkat menjadi Presiden Irak. Adapun pembuatan senjata-senjata kimia itu dilakukan oleh mantan pembantu Saddam Hussein lainnya, Brigjen (Purn) Adnan al-Dulaimi. Olehnya senjata-senjata itu disuplai untuk para "mujahilin" Al Nusra Front dan kelompok-kelompok lain yang didukung oleh loyalis Saddam Hussein, melalui kota Antakya di Provinsi Hatay, Turki.
Al-Dulaimi adalah figur penting dalam proyek pengembangan senjata kimia Irak era Saddam Hussein. Dunia pun mencatat Irak adalah negara pengguna senjata kimia terbesar di dunia kala memerangi Iran antara tahun 1980-1988. Ia kini menetap di kawasan Barat Laut Irak yang berbatasan dengan Syria, dimana para loyalis Saddam Hussein membangun basis kekuatannya bersama kelompok-kelompok militan Sunni anti pemerintahan Nuri al Maliki yang didukung Iran.
Laporan inteligen rahasia itu memperkuat analisis para ahli bahwa serangan senjata kimia tgl 21 Agustus lalu di luar kota Damaskus dilakukan para pemberontak untuk memprovokasi intervensi militer Amerika. Yossef Bodansky, mantan Direktur "U.S. Congressional Task Force on Terrorism and Unconventional Warfare" mengatakan bahwa senjata-senjata kimia yang digunakan dalam serangan tersebut adalah "produksi rumahan" dan bukan senjata kimia yang diproduksi oleh industri militer sebagaimana dimiliki Syria.
"Sebagian orang keheranan bahwa tidak ada tenaga medis yang menangani korban yang mengenakan pakaian pelindung, karena gas sarin bisa ditularkan dari tubuh korban kepada orang di dekatnya dengan dampak yang mematikan," kata Bodansky, mengomentari gambar-gambar yang menunjukkan penanganan korban serangan oleh tim medis.
"Ini menunjukkan bahwa bahan kimia yang dipertanyakan itu merupakan gas sarin berkekuatan "buatan dapur",” kata Bodansky.
Bodansky memastikan bahwa para "mujahilin" telah memiliki teknologi untuk membuat senjata kimia "buatan dapur" berdasarkan penemuan laboratirium-laboratorium milik mereka di Turki dan Irak serta Afghanistan. Ia juga mamastikan bahwa proyektil-proyektil senjata kimia yang ditunjukkan para pemberontak kepada tim inspeksi PBB bukanlah standar senjata militer Syria.
Penjelasan Bodansky ini memperkuat pengakuan 2 orang mantan tawanan pemberontak Syria yang mengaku mendengarkan percakapan para pemberontak yang mengindikasikan mereka sebagai pelaku serangan tgl 21 Agustus lalu.
"Pemerintahan Bashar al-Assad tidak menggunakan senjata gas sarin atau senjata kimia lainnya dalam serangan di luar Damaskus," kata Piccinin, peneliti Belgia yang menjadi tawanan Al Nusra Front selama 5 bulan, setelah dibebaskan baru-baru ini. Piccinin dan rekannya wartawan Italia bernama Quirico, mengklaim mereka mendengar percakapan melalui Skype yang dilakukan oleh 3 orang pemberontak yang salah satunya diketahui mereka sebagai serang perwira tinggi kelompok Free Syrian Army. Dalam percakapan tersebut mereka mengungkapkan sebagai pelaku serangan gas sarin tgl 21 Agustus yang tujuannya untuk memprovokasi intervensi Amerika.
Pernyataan dan pengakuan itu juga didukung oleh mantan analis CIA Ray McGovern yang baru-baru ini bersama sejumlah pensiunan militer dan inteligen Amerika mengirim surat kepada Presiden Obama menolak tuduhan regim Bashar al Assad sebagai pelaku serangan kimia tgl 21 Agustus. Dalam surat tersebut mereka mengungkapkan adanya pertemuan rahasia para pemberontak seminggu sebelum serangan membahas tentang "persiapan perkembangan penting" dan "perkembangan yang berubah" yang akan diikuti dengan serangan militer Amerika atas Syria.
"Pertemuan-pertemuan pertama antara komandan-komandan militer senior pemberontak dan para pejabat inteligen Qatar, Turki dan Amerika berlangsung di sebuah garnisun militer Turki yang telah diubah di Antakya, Provinsi Hatay, yang kini berfungsi sebagai markas komando pemberontak Free Syrian Army dan sponsor-sponsor asing mereka,” kata McGovern kepada World Net Daily. Surat tersebut juga dilampiri gambar-gambar dan rekaman video yang memperlihatkan para pemberontak menembakkan senjata-senjata artileri yang berisi gas sarin (lihat gambar di atas). Salah satu video bahkan menunjukkan seorang pemberontak bernama Nadee Baloosh dari kelompok Rioyadh al-Abdeen, yang mengakui telah menggunakan senjata kimia.
Dalam video itu al-Abdeen mengakui memiliki senjata yang "mengeluarkan gas yang mematikan."
REF:
"U.S. Military Confirms Rebels Had Sarin"; E Michael Maloof; World Net Daily; 12 September 2013
Perang Suriah
http://www.islamtimes.org/vdcaw6nea49nwi1.h8k4.html
10 Alasan Mengapa Serangan AS ke Suriah Pasti Terjadi
Islam
Times-
Banyak anggota Kongres AS berharap perang ini direalisasikan.
Senator John McCain dan Lindsey Graham bahkan mulutnya hampir berbusa
mengenai itu, sementara Robert Menendez, Ketua Komite Hubungan Luar
Negeri Senat AS, mengatakan hampir muntah setelah membaca tulisan
editorial Presiden Rusia Vladimir Putin untuk perdamaian di New York
Times
Pesawat siluman AS
Dalam beberapa hari terakhir media massa mengirim pesan gelombang besar optimisme mengenai perang AS di Suriah sudah berakhir dan tidak akan terjadi.
Namun, solusi diplomatik untuk krisis di Suriah sangat
tidak mungkin terjadi dan pasti akan gagal, dan serangan AS di Suriah
akan tetap dilakukan, jika AS masih punya nyali.
Dalam beberapa pernyataan, Assad secara terbuka bersedia menyerahkan senjata kimianya, tapi pada saat yang sama, Damaskus juga punya keinginan kepada AS untuk menerima konsesi yang tidak akan pernah disetujui oleh Obama dan pemimpin Israel.
Dan seperti yang terdengar, pemerintahan Obama telah memutuskan, "diplomasi" akan gagal, dan mereka terus menyiagakan militer-nya untuk konflik mendatang dengan Suriah. Sementara itu, Arab Saudi, Qatar dan Turki dan semua negara-negara pendukung teroris, terus menekan pemerintahan Obama. Mereka tidak mau gagal karena telah menginvestasikan sejumlah besar waktu dan sumber daya di dalam konflik di Suriah, karenannya mereka sangat ingin militer AS campur tangan di Suriah.
Dan berikut ini adalah sepuluh alasan mengapa perang di Suriah pasti akan terjadi;
1. Assad ingin mendapatkan jaminan riil, bahwa Damaskus tidak akan diserang oleh Amerika Serikat atau oleh siapapun sebelum Damaskus menyerahkan senjata kimia-nya. Dan hal ini sangat tidak mungkin terjadi.
2. Assad tidak akan menyetujui kesepakatan penyerahan senjata kimia jika AS tidak menghentikan pasokan senjata kepada teroris al-Qaeda dan pemberontak "jihadis" lainnya yang berperang melawan pemerintah Suriah. Dan hal ini sangat tidak mungkin terjadi.
Bahkan, menurut laporan Washington Post, AS telah mengirim senjata kepada pemberontak "jihadis" di Suriah.
Dalam laporan itu, CIA telah memberikan senjata kepada pemberontak di Suriah, sebagai bukti bantuan mematikan yang telah dijanjikan oleh pemerintahan Obama, menurut para pejabat AS dan tokoh Suriah. Pengiriman senjata itu bersamaan dengan pengiriman secara terpisah oleh Departemen Luar Negeri berupa kendaraan dan peralatan lain yang menandai eskalasi besar peran AS dalam perang sipil di Suriah.
3. Assad menunjukkan, Israel harus menyerahkan senjata pemusnah massal mereka sebelum Damaskus menyerahkan kepada dewan internasional. Dan hal itu sangat tidak mungkin terjadi.
4. Pemberontak Suriah sangat berharap, militer AS campur tangan dalam perang di Suriah. Bahkan karena keinginan itu, seluruh alasan dan cara untuk mengkambinghitamkan Suriah digunakan, termasuk menggunakan serangan senjata kimia yang dituduhkan kepada tentara Suriah.
Sementara komandan pemberontak juga menyatakan, Tentara Bebas Suriah (FSA) dengan tegas menolak inisiatif Rusia dan menyerukan kepada Amerika Serikat untuk segera menyerang rezim Assad.
5. Arab Saudi juga sangat berharap militer AS campur tangan di Suriah. Bahkan Saudi telah menghabiskan miliaran dolar untuk mendukung pemberontakan di Suriah, dan mereka telah melobi ke berbagai negara dan konggres untuk serangan itu.
6. Qatar juga demikian, sangat ingin militer AS campur tangan di Suriah. Qatar juga telah menghabiskan miliaran dolar untuk mendukung pemberontakan di Suriah, dan menyebut bahwa negara-negara Arab bahkan menawarkan untuk membiayai semua biaya operasi militer AS demi menghilangkan Assad.
7. Turki tak mau kalah dengan Arab, Erdogan menginginkan perang yang akan menghilangkan Assad untuk waktu yang sangat lama. Sementara Chanel CNN melaporkan, Turki telah memindahkan pasukannya ke perbatasan dengan Suriah dalam mengantisipasi serangan yang akan datang.
8. Banyak anggota Kongres AS berharap perang ini direalisasikan. Senator John McCain dan Lindsey Graham bahkan mulutnya hampir berbusa mengenai itu, sementara Robert Menendez, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS, mengatakan hampir muntah setelah membaca tulisan editorial Presiden Rusia Vladimir Putin untuk perdamaian di New York Times.
9. Obama tidak ingin dipandang lemah dan memang lemah, dan ia tampaknya benar-benar terobsesi ingin memulai perang dengan Suriah. Untuk saat ini, Obama telah terpojok dengan diplomatis Rusia, namun pemerintahan Obama sudah meletakkan dasar dan membuat seolah-olah diplomasi telah gagal. Menurut CNN, Menteri Luar Negeri AS John Kerry sudah berbicara tentang konsekuensi yang akan terjadi ketika kesepakatan Suriah berantakan ...
"Setiap persetujuan yang dicapai harus lengkap, terverifikasi, kredibel, dan dapat diimplementasikan secara tepat waktu," kata Kerry dan menambahkan, "harus ada konsekuensi jika hal itu tidak terjadi."
10. Beberapa laporan mengatakan, tentara Amerika kini telah menerima orderan untuk disebar ke Suriah. Sebagai contoh, berikut ini adalah dari sebuah artikel terbaru oleh Paul Joseph Watson.
"Untuk saat ini, Obama dan Kerry akan menari-nari dan nampak mereka terlihat seperti sedang mempertimbangkan perdamaian. Namun, mereka akan mencoba mendapatkan kesepakatan Kongres untuk mengotorisasi serangan, jika diplomasi gagal."
Tapi, AS sudah tahu bahwa diplomasi akan gagal. Setelah mereka siap untuk itu, Obama akan menyatakan, kondisi untuk perang sudah ditetapkan dengan izin kongres dan telah terpenuhi syarat-syaratnya, dan kemudian ia akan mulai menghujani tanah Suriah dengan rudal jelajah yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. [IT/Onh/Ass/Michael Snyder]
Perang Suriah
Perang Suriah nampaknya sudah di ambang pintu, semnatara alasan yang dipakai AS untuk menyerang negara Arab itu, karena klaim dan dugaan bahwa rezim Assad telah menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri. Untuk itu, dunia internasional harus menyerang Suriah demi menghentikan kejahatan Assad.
Dan nampaknya, serangan AS terhadap Suriah sudah sebegitu dekat sehingga AS menumpuk hardware dan mesin perang berupa kapal-kapal perang penghancur yang saat ini sudah berada dilepas pantai Suriah untuk membangun garis pantai negara dalam operasi serangan.
Amerika Serikat
Angkatan Laut AS saat ini memiliki lima kapal perang kelas perusak di lepas pantai Suriah, yang kesemuanya siap siaga melakukan berbagai manuer serangan untuk meluluh lantakkan Damaskus dalam hitungan jam.
Kelima kapal perang itu diantaranya adalah USS Ramage, USS Mahan, USS Gravely dan USS Barry yang setiap masing-masing kepal dilengkapi dengan puluhan rudal jelajah Tomahawk, yang memiliki jangkauan sekitar 1.000 mil laut (1.151 km) dan dapat digunakan untuk menyerang target dengan akurasi yang tepat.
Tidak berhenti sampai disitu, kapal-kapal tersebut juga dilengkapi dengan rudal permukaan-ke-udara yang mampu menghancurkan serangan rudal musuh dan mempertahankan kapal dari serangan udara.
Pada 29 Agustus lalu, USS Stout dikirim untuk meringankan tugas USS Mahan, tapi seorang pejabat pertahanan kepada AFP mengatakan, kapal tersebut kemungkinan besar masih berada di perairan Suriah.
Laksamana Jonathan Greenert, kepala operasi angkatan laut kepada audiens di American Enterprise Institute pada hari Kamis lalu mengatakan, kapal-kapal AS itu siap untuk melakukan operasi luas, termasuk meluncurkan rudal jelajah Tomahawk untuk target di Suriah. Hal yang pernah dilakukan di Libya pada tahun 2011, dan melindungi diri serangan pembalasan, demikain AP melaporkan, Kamis, 05/09/13.
Selain kapal-kapal perusak, Amerika Serikat juga mengirim salah satu dari empat kapal selam rudal di lepas pantai Suriah. Kapal selam tersebut dilengkapi dengan rudal balistik nuklir tipped dan mampu membawa hingga 154 rudal jelajah Tomahawk.
Sementara pada Senin, 02/09/13, AS juga telah mengerahkan kapal amfibi USS San Antonio, sebuah kapal amfibi jenis transportasi, ke Mediterania Timur, dekat Suriah bergabung dengan kapal-kapal induk lainnya.
USS San Antonio, menurut AFP, membawa beberapa helikopter dan ratusan Marinir, yang mengubah kapal tersebut menjadi stasiun logistik Angkatan Laut AS di Mediterania Timur, tetapi belum menerima penugasan tertentu secara spesifik, kata seorang pejabat pertahanan kepada AFP pada kondisi anonimitas.
Penyebaran kapal amfibi USS Antonio itu tetap dilakukan meskipun Obama penah berjanji tidak akan mengerahkan kapal amfibi dalam agendanya, dan seolah-olah AS berusaha mengesampingkan "sepatu diatas tanah (Angkatan Darat)."
Sementara isi dari rancangan resolusi sebelum ditetapkan DPR tidak mengizinkan invasi darat. Dan isi dari teks resolusi tersebut sangat berpotensi untuk melaksanakan operasi non-ofensif di Suriah, termasuk mengamankan stok senjata kimia dan fasilitas produksi.
Pada hari Senin, 03/09/13, AS mengumumkan pengerahan kapal induk super operator USS Nimitz ke Laut Merah, meskipun belum mendapatkan perintah untuk menjadi bagian dari perencanaan serangan "terbatas" militer AS di Suriah, kata para pejabat AS kepada ABC News.
Kapal-kapal lain yang akan terlibat dalam operasi itu adalah kapal penjelajah USS Princeton, kapal perusak USS William P. Lawrence, USS Stockdale dan USS Shoup.
Sementara kapal induk USS Harry S. Truman dan gugusan pesawat strike group juga saat masih berada di Laut Arab Utara.
Rusia
Rusia adalah negara sekutu lama Suriah, dan merupakan negara pemasok senjata utama ke negara Arab itu. Selain itu Rusia juga memiliki pangkalan angkatan laut yang terletak di pelabuhan Suriah, Tartus, yang dilaporkan telah digunakan untuk mendukung patroli angkatan laut Rusia di Mediterania. Namun, Rusia menegaskan upaya terakhir untuk meningkatkan kehadiran angkatan lautnya di wilayah ini tidak untuk menanggapi ancaman serangan militer Barat terhadap Suriah.
Menurut beberapa laporan, banyaknya pergerakan kapal-kapal tempur Rusia di wilayah tersebut berasal dari sumber-sumber kementerian pertahanan Rusia yang tidak mau disebutkan namanya dan belum dikonfirmasi, demikian laporan dari Russia Today (RT).
Pada hari Jumat, 06/09/13, kapal besar Nikolai Filchenkov, dilaporkan dikirim dari kota pelabuhan Ukraina Sevastopol ke Rusia, dan selanjutnya menuju ke pelabuhan Laut Hitam dari Novorossiisk, dan akan mencapai pantai Suriah, sebuah sumber mengatakan kepada Interfax.
"Kapal itu berangkat dari pangkalan Novorossiisk, membawa kargo khusus dan berangkat ke daerah yang ditunjuk di Mediterania Timur," kata sumber itu.
Menurut Kantor Berita RIA Novosti mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya dari angkatan laut pada hari Jumat mengatakan, kapal fregat, Smetlivy akan berangkat ke Mediterania pada 12-14 September diikuti Corvette Shtil dan Boat missile Ivanovits akan mendekati Suriah pada akhir bulan ini.
Kapal perusak Nastoichivy, yang merupakan unggulan dari armada Baltik, juga segera bergabung dengan grup di wilayah tersebut.
Menurut Wakil Menteri Pertahanan Anatoly Antonov, pada Kamis, 05/09/13, mengatakan angkatan laut Rusia saat ini memiliki kelompok yang cukup kuat di sana.
"Angkatan laut Rusia tidak berniat untuk ambil bagian secara langsung atau tidak langsung dalam konflik regional," katanya kepada Rossiya 24.
Beberapa laporan juga mengatakan, Rusia juga sudah menempatkan fregat Neustrashimy, serta kapal pendaratan Alexander Shabalin, Laksamana Nevelsky dan Peresvet di Mediterania Timur.
Mereka diharapkan akan bergabung dengan kapal jelajah Moskva yang dipandu rudal. Moskva, akan mengambil alih operasi dari unit angkatan laut di wilayah tersebut.
Kapal perusak Panteleyev juga sudah berada di Laut Mediterania timur pada hari Rabu kemarin setelah meninggalkan Vladivostok pada 19 Maret untuk bergabung dengan kekuatan angkatan laut Rusia sebagai andalannya.
Sementara kapal pengintai SSV-201, Priazovye, juga dilaporkan dalam perjalanan untuk bergabung dengan grup di Mediterania Timur, yang didampingi oleh dua kapal pendarat, Minsk dan kapal Novocherkassk, sementara kapal intelijen Rusia sudah melewati Selat Istanbul pada hari Kamis.
Perancis
Pada tanggal 31 Agustus lalu, para pejabat militer Perancis mengkonfirmasi bahwa kapal penjelajah Chevalier Paul yang mengkhususkan diri dalam kemampuan anti-rudal, dan kapal transportasi Dixmude sudah berada di Mediterania.
Namun, para pejabat Perancis membantah kapal-kapal tersebut berada di wilayah itu untuk berpartisipasi dalam aksi militer terhadap Suriah.
Perancis saat ini tidak memiliki rudal berbasis kapal, sehingga setiap tindakan ofensif akan dilakukan Perancis dari udara dalam bentuk peluncuran rudal jaraj jauh Scalp, mirip dengan yang digunakannya di Kosovo pada tahun 1999 dan di Libya pada tahun 2011, demikian laporan Time.
Italia
Saat ini dua kapal perang Italia sedang berlayar menuju laut Libanon pada hari Rabu, 05/09/13, dalam upaya untuk melindungi 1.100 tentara Italia sebagai Pasukan Sementara PBB di Libanon, demikian Agence France Presse (AFP) melaporkan.
Sementara itu, Kantor Berita Italia ANSA melaporkan, sebuah kapal perang dan boat perusak torpedo berangkat dari pantai tenggara Italia pada hari Rabu, 05/09/13, dan akan memberikan perlindungan tambahan untuk para prajurit mereka jika konflik Suriah semakin memburuk.
Inggris
Pada 29 Agustus lalu, "Royal Navy's Response Force Task Group" sudah ditempatkan di Mediterania sebagai bagian dari latihan Cougar 13 yang sudah direncanakan. Termasuk helikopter penjelajah HMS Illustrious, kapal jelajah type-23 HMS Westminster dan HMS Montrose, kapal perang amfibi HMS Bulwark dan enam kapal perang Royal Fleet Auxiliary.
Sementara kapal selam Trafalgar kelas HMS Tireless juga diyakini sudah berada di daerah tersebut pada saat itu, dan terdeteksi di laut Gibraltar.[IT/Onh/Ass]
Dalam beberapa pernyataan, Assad secara terbuka bersedia menyerahkan senjata kimianya, tapi pada saat yang sama, Damaskus juga punya keinginan kepada AS untuk menerima konsesi yang tidak akan pernah disetujui oleh Obama dan pemimpin Israel.
Dan seperti yang terdengar, pemerintahan Obama telah memutuskan, "diplomasi" akan gagal, dan mereka terus menyiagakan militer-nya untuk konflik mendatang dengan Suriah. Sementara itu, Arab Saudi, Qatar dan Turki dan semua negara-negara pendukung teroris, terus menekan pemerintahan Obama. Mereka tidak mau gagal karena telah menginvestasikan sejumlah besar waktu dan sumber daya di dalam konflik di Suriah, karenannya mereka sangat ingin militer AS campur tangan di Suriah.
Dan berikut ini adalah sepuluh alasan mengapa perang di Suriah pasti akan terjadi;
1. Assad ingin mendapatkan jaminan riil, bahwa Damaskus tidak akan diserang oleh Amerika Serikat atau oleh siapapun sebelum Damaskus menyerahkan senjata kimia-nya. Dan hal ini sangat tidak mungkin terjadi.
2. Assad tidak akan menyetujui kesepakatan penyerahan senjata kimia jika AS tidak menghentikan pasokan senjata kepada teroris al-Qaeda dan pemberontak "jihadis" lainnya yang berperang melawan pemerintah Suriah. Dan hal ini sangat tidak mungkin terjadi.
Bahkan, menurut laporan Washington Post, AS telah mengirim senjata kepada pemberontak "jihadis" di Suriah.
Dalam laporan itu, CIA telah memberikan senjata kepada pemberontak di Suriah, sebagai bukti bantuan mematikan yang telah dijanjikan oleh pemerintahan Obama, menurut para pejabat AS dan tokoh Suriah. Pengiriman senjata itu bersamaan dengan pengiriman secara terpisah oleh Departemen Luar Negeri berupa kendaraan dan peralatan lain yang menandai eskalasi besar peran AS dalam perang sipil di Suriah.
3. Assad menunjukkan, Israel harus menyerahkan senjata pemusnah massal mereka sebelum Damaskus menyerahkan kepada dewan internasional. Dan hal itu sangat tidak mungkin terjadi.
4. Pemberontak Suriah sangat berharap, militer AS campur tangan dalam perang di Suriah. Bahkan karena keinginan itu, seluruh alasan dan cara untuk mengkambinghitamkan Suriah digunakan, termasuk menggunakan serangan senjata kimia yang dituduhkan kepada tentara Suriah.
Sementara komandan pemberontak juga menyatakan, Tentara Bebas Suriah (FSA) dengan tegas menolak inisiatif Rusia dan menyerukan kepada Amerika Serikat untuk segera menyerang rezim Assad.
5. Arab Saudi juga sangat berharap militer AS campur tangan di Suriah. Bahkan Saudi telah menghabiskan miliaran dolar untuk mendukung pemberontakan di Suriah, dan mereka telah melobi ke berbagai negara dan konggres untuk serangan itu.
6. Qatar juga demikian, sangat ingin militer AS campur tangan di Suriah. Qatar juga telah menghabiskan miliaran dolar untuk mendukung pemberontakan di Suriah, dan menyebut bahwa negara-negara Arab bahkan menawarkan untuk membiayai semua biaya operasi militer AS demi menghilangkan Assad.
7. Turki tak mau kalah dengan Arab, Erdogan menginginkan perang yang akan menghilangkan Assad untuk waktu yang sangat lama. Sementara Chanel CNN melaporkan, Turki telah memindahkan pasukannya ke perbatasan dengan Suriah dalam mengantisipasi serangan yang akan datang.
8. Banyak anggota Kongres AS berharap perang ini direalisasikan. Senator John McCain dan Lindsey Graham bahkan mulutnya hampir berbusa mengenai itu, sementara Robert Menendez, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS, mengatakan hampir muntah setelah membaca tulisan editorial Presiden Rusia Vladimir Putin untuk perdamaian di New York Times.
9. Obama tidak ingin dipandang lemah dan memang lemah, dan ia tampaknya benar-benar terobsesi ingin memulai perang dengan Suriah. Untuk saat ini, Obama telah terpojok dengan diplomatis Rusia, namun pemerintahan Obama sudah meletakkan dasar dan membuat seolah-olah diplomasi telah gagal. Menurut CNN, Menteri Luar Negeri AS John Kerry sudah berbicara tentang konsekuensi yang akan terjadi ketika kesepakatan Suriah berantakan ...
"Setiap persetujuan yang dicapai harus lengkap, terverifikasi, kredibel, dan dapat diimplementasikan secara tepat waktu," kata Kerry dan menambahkan, "harus ada konsekuensi jika hal itu tidak terjadi."
10. Beberapa laporan mengatakan, tentara Amerika kini telah menerima orderan untuk disebar ke Suriah. Sebagai contoh, berikut ini adalah dari sebuah artikel terbaru oleh Paul Joseph Watson.
"Untuk saat ini, Obama dan Kerry akan menari-nari dan nampak mereka terlihat seperti sedang mempertimbangkan perdamaian. Namun, mereka akan mencoba mendapatkan kesepakatan Kongres untuk mengotorisasi serangan, jika diplomasi gagal."
Tapi, AS sudah tahu bahwa diplomasi akan gagal. Setelah mereka siap untuk itu, Obama akan menyatakan, kondisi untuk perang sudah ditetapkan dengan izin kongres dan telah terpenuhi syarat-syaratnya, dan kemudian ia akan mulai menghujani tanah Suriah dengan rudal jelajah yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. [IT/Onh/Ass/Michael Snyder]
Perang Suriah
Persiapan Perang: Barat Kerahkan Kapal Perang di Mediterania
Islam
Times- USS San Antonio, menurut AFP, membawa beberapa helikopter dan
ratusan Marinir, yang mengubah kapal tersebut menjadi stasiun logistik
Angkatan Laut AS di Mediterania Timur, tetapi belum menerima penugasan
tertentu secara spesifik,
USS Mahan (DDG 72) (AFP Photo)
http://www.islamtimes.org/vdcaoonui49noe1.h8k4.html
Perang Suriah nampaknya sudah di ambang pintu, semnatara alasan yang dipakai AS untuk menyerang negara Arab itu, karena klaim dan dugaan bahwa rezim Assad telah menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri. Untuk itu, dunia internasional harus menyerang Suriah demi menghentikan kejahatan Assad.
Dan nampaknya, serangan AS terhadap Suriah sudah sebegitu dekat sehingga AS menumpuk hardware dan mesin perang berupa kapal-kapal perang penghancur yang saat ini sudah berada dilepas pantai Suriah untuk membangun garis pantai negara dalam operasi serangan.
Amerika Serikat
Angkatan Laut AS saat ini memiliki lima kapal perang kelas perusak di lepas pantai Suriah, yang kesemuanya siap siaga melakukan berbagai manuer serangan untuk meluluh lantakkan Damaskus dalam hitungan jam.
Kelima kapal perang itu diantaranya adalah USS Ramage, USS Mahan, USS Gravely dan USS Barry yang setiap masing-masing kepal dilengkapi dengan puluhan rudal jelajah Tomahawk, yang memiliki jangkauan sekitar 1.000 mil laut (1.151 km) dan dapat digunakan untuk menyerang target dengan akurasi yang tepat.
Tidak berhenti sampai disitu, kapal-kapal tersebut juga dilengkapi dengan rudal permukaan-ke-udara yang mampu menghancurkan serangan rudal musuh dan mempertahankan kapal dari serangan udara.
Pada 29 Agustus lalu, USS Stout dikirim untuk meringankan tugas USS Mahan, tapi seorang pejabat pertahanan kepada AFP mengatakan, kapal tersebut kemungkinan besar masih berada di perairan Suriah.
Laksamana Jonathan Greenert, kepala operasi angkatan laut kepada audiens di American Enterprise Institute pada hari Kamis lalu mengatakan, kapal-kapal AS itu siap untuk melakukan operasi luas, termasuk meluncurkan rudal jelajah Tomahawk untuk target di Suriah. Hal yang pernah dilakukan di Libya pada tahun 2011, dan melindungi diri serangan pembalasan, demikain AP melaporkan, Kamis, 05/09/13.
Selain kapal-kapal perusak, Amerika Serikat juga mengirim salah satu dari empat kapal selam rudal di lepas pantai Suriah. Kapal selam tersebut dilengkapi dengan rudal balistik nuklir tipped dan mampu membawa hingga 154 rudal jelajah Tomahawk.
Sementara pada Senin, 02/09/13, AS juga telah mengerahkan kapal amfibi USS San Antonio, sebuah kapal amfibi jenis transportasi, ke Mediterania Timur, dekat Suriah bergabung dengan kapal-kapal induk lainnya.
USS San Antonio, menurut AFP, membawa beberapa helikopter dan ratusan Marinir, yang mengubah kapal tersebut menjadi stasiun logistik Angkatan Laut AS di Mediterania Timur, tetapi belum menerima penugasan tertentu secara spesifik, kata seorang pejabat pertahanan kepada AFP pada kondisi anonimitas.
Penyebaran kapal amfibi USS Antonio itu tetap dilakukan meskipun Obama penah berjanji tidak akan mengerahkan kapal amfibi dalam agendanya, dan seolah-olah AS berusaha mengesampingkan "sepatu diatas tanah (Angkatan Darat)."
Sementara isi dari rancangan resolusi sebelum ditetapkan DPR tidak mengizinkan invasi darat. Dan isi dari teks resolusi tersebut sangat berpotensi untuk melaksanakan operasi non-ofensif di Suriah, termasuk mengamankan stok senjata kimia dan fasilitas produksi.
Pada hari Senin, 03/09/13, AS mengumumkan pengerahan kapal induk super operator USS Nimitz ke Laut Merah, meskipun belum mendapatkan perintah untuk menjadi bagian dari perencanaan serangan "terbatas" militer AS di Suriah, kata para pejabat AS kepada ABC News.
Kapal-kapal lain yang akan terlibat dalam operasi itu adalah kapal penjelajah USS Princeton, kapal perusak USS William P. Lawrence, USS Stockdale dan USS Shoup.
Sementara kapal induk USS Harry S. Truman dan gugusan pesawat strike group juga saat masih berada di Laut Arab Utara.
Rusia
Rusia adalah negara sekutu lama Suriah, dan merupakan negara pemasok senjata utama ke negara Arab itu. Selain itu Rusia juga memiliki pangkalan angkatan laut yang terletak di pelabuhan Suriah, Tartus, yang dilaporkan telah digunakan untuk mendukung patroli angkatan laut Rusia di Mediterania. Namun, Rusia menegaskan upaya terakhir untuk meningkatkan kehadiran angkatan lautnya di wilayah ini tidak untuk menanggapi ancaman serangan militer Barat terhadap Suriah.
Menurut beberapa laporan, banyaknya pergerakan kapal-kapal tempur Rusia di wilayah tersebut berasal dari sumber-sumber kementerian pertahanan Rusia yang tidak mau disebutkan namanya dan belum dikonfirmasi, demikian laporan dari Russia Today (RT).
Pada hari Jumat, 06/09/13, kapal besar Nikolai Filchenkov, dilaporkan dikirim dari kota pelabuhan Ukraina Sevastopol ke Rusia, dan selanjutnya menuju ke pelabuhan Laut Hitam dari Novorossiisk, dan akan mencapai pantai Suriah, sebuah sumber mengatakan kepada Interfax.
"Kapal itu berangkat dari pangkalan Novorossiisk, membawa kargo khusus dan berangkat ke daerah yang ditunjuk di Mediterania Timur," kata sumber itu.
Menurut Kantor Berita RIA Novosti mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya dari angkatan laut pada hari Jumat mengatakan, kapal fregat, Smetlivy akan berangkat ke Mediterania pada 12-14 September diikuti Corvette Shtil dan Boat missile Ivanovits akan mendekati Suriah pada akhir bulan ini.
Kapal perusak Nastoichivy, yang merupakan unggulan dari armada Baltik, juga segera bergabung dengan grup di wilayah tersebut.
Menurut Wakil Menteri Pertahanan Anatoly Antonov, pada Kamis, 05/09/13, mengatakan angkatan laut Rusia saat ini memiliki kelompok yang cukup kuat di sana.
"Angkatan laut Rusia tidak berniat untuk ambil bagian secara langsung atau tidak langsung dalam konflik regional," katanya kepada Rossiya 24.
Beberapa laporan juga mengatakan, Rusia juga sudah menempatkan fregat Neustrashimy, serta kapal pendaratan Alexander Shabalin, Laksamana Nevelsky dan Peresvet di Mediterania Timur.
Mereka diharapkan akan bergabung dengan kapal jelajah Moskva yang dipandu rudal. Moskva, akan mengambil alih operasi dari unit angkatan laut di wilayah tersebut.
Kapal perusak Panteleyev juga sudah berada di Laut Mediterania timur pada hari Rabu kemarin setelah meninggalkan Vladivostok pada 19 Maret untuk bergabung dengan kekuatan angkatan laut Rusia sebagai andalannya.
Sementara kapal pengintai SSV-201, Priazovye, juga dilaporkan dalam perjalanan untuk bergabung dengan grup di Mediterania Timur, yang didampingi oleh dua kapal pendarat, Minsk dan kapal Novocherkassk, sementara kapal intelijen Rusia sudah melewati Selat Istanbul pada hari Kamis.
Perancis
Pada tanggal 31 Agustus lalu, para pejabat militer Perancis mengkonfirmasi bahwa kapal penjelajah Chevalier Paul yang mengkhususkan diri dalam kemampuan anti-rudal, dan kapal transportasi Dixmude sudah berada di Mediterania.
Namun, para pejabat Perancis membantah kapal-kapal tersebut berada di wilayah itu untuk berpartisipasi dalam aksi militer terhadap Suriah.
Perancis saat ini tidak memiliki rudal berbasis kapal, sehingga setiap tindakan ofensif akan dilakukan Perancis dari udara dalam bentuk peluncuran rudal jaraj jauh Scalp, mirip dengan yang digunakannya di Kosovo pada tahun 1999 dan di Libya pada tahun 2011, demikian laporan Time.
Italia
Saat ini dua kapal perang Italia sedang berlayar menuju laut Libanon pada hari Rabu, 05/09/13, dalam upaya untuk melindungi 1.100 tentara Italia sebagai Pasukan Sementara PBB di Libanon, demikian Agence France Presse (AFP) melaporkan.
Sementara itu, Kantor Berita Italia ANSA melaporkan, sebuah kapal perang dan boat perusak torpedo berangkat dari pantai tenggara Italia pada hari Rabu, 05/09/13, dan akan memberikan perlindungan tambahan untuk para prajurit mereka jika konflik Suriah semakin memburuk.
Inggris
Pada 29 Agustus lalu, "Royal Navy's Response Force Task Group" sudah ditempatkan di Mediterania sebagai bagian dari latihan Cougar 13 yang sudah direncanakan. Termasuk helikopter penjelajah HMS Illustrious, kapal jelajah type-23 HMS Westminster dan HMS Montrose, kapal perang amfibi HMS Bulwark dan enam kapal perang Royal Fleet Auxiliary.
Sementara kapal selam Trafalgar kelas HMS Tireless juga diyakini sudah berada di daerah tersebut pada saat itu, dan terdeteksi di laut Gibraltar.[IT/Onh/Ass]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar