Sejarah Freeport ( gunung emas yang dirampok secara terbuka )
Ada perbedaan sangat besar terkait pengelolaan kekayaan alam Indonesia di zaman
Soekarno dengan zaman Harto dan para pewarisnya.
Soekarno bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita, hingga
insinyur-insinyur Indonesia mampu mengolahnya sendiri.”
Sedangkan Harto
dan para pewarisnya hingga sekarang bersikap, “Biarkan kekayaan alam
kita dijarah oleh orang-orang asing, silakan Mister…”
Merupakan fakta sejarah jika di awal kekuasaan Harto, kekayaan alam
Indonesia yang melimpah-ruah digadaikan kepada blok imperialisme Barat
yang dipimpin Amerika Serikat. Sebelumnya Harto dan Washington agaknya
telah memiliki “MOU” bahwa jika Soekarno berhasil dikudeta maka Harto
yang menggantikannya akan “membalas budi” kepada Washington berupa
penyerahan negara dan bangsa ini tanpa syarat agar bisa dieksploitasi
sepuasnya oleh para tuan bule di Washington.
Tragedi pertemuan Mafia Berkeley dengan Rockefeller dan
kawan-kawannya di Jenewa-Swiss di bulan November 1967 menjadi bukti tak
terbantahkan tentang permufakatan iblis tersebut. Di saat itulah, rezim
Jenderal Harto mencabut kemerdekaan negeri ini dan menjadikan Indonesia
kembali sebagai negeri terjajah. Ironisnya, penjajahan asing atas
Indonesia diteruskan oleh semua pewarisnya termasuk rezim yang tengah
berkuasa hari ini yang ternyata “jauh lebih edan” ketimbang Jenderal
Harto dulu.
Sampai sekarang, hampir semua cabang produksi yang amat
vital bagi negara dan bangsa ini telah dikuasai asing. Banyak buku yang
telah memaparkan dengan jujur kenyataan menyedihkan ini. Beberapa di
anaranya adalah buku berjudul “Di Bawah Cengkeraman Asing: Membongkar
Akar Persoalannya dan Tawaran Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri
Sendiri” (Wawan Tunggul Alam: 2009), dan “Agenda Mendesak Bangsa:
Selamatkan Indonesia!” (Amien Rais, 2008). Dengan bahasa jurnalisme yang
sangat mengalir namun amat kaya data, Wawan memaparkan dengan lugas
hampir seluruh fakta yang patut diketahui generasi muda bangsa ini, agar
kita bisa sadar sesadar-sadarnya jika Indonesia itu, negeri kita ini,
sekarang masih merupakan negeri terjajah!
Dan untuk buku yang kedua yang ditulis oleh Amien Rais, isinya
benar-benar bagus dan sangat anti dengan neo-liberal. Namun dalam
faktanya sangat ironis, karena entah dengan alasan apa, Amien Rais
sekarang malah jelas-jelas menjadi bagian dari kelompok NeoLib dengan
berterus-terang menyatakan dukungannya pada rezim yang berkuasa
sekarang. Disadari atau tidak, dia sekarang telah menjadi part of
problem bagi bangsa ini dan menjadi salah satu penghalang bagi gerakan
pemerdekaan negeri ini dari cengkeraman imperialisme asing.
Jika Imperialisme dan Kolonialisme Kuno (Spanyol, Portugis, VOC,
Fasis Jepang, dan NICA) menggunakan senjata api untuk menjajah suatu
negeri, maka sekarang, Imperialisme dan Kolonialisme Modern (Neo
Kolonialisme dan Neo Imperialisme, Nekolim) lebih pintar dengan tidak
lagi memakai senjata api namun mempergunakan kekuatan uang (baca:
kekuatan utang).
JFK, CIA, dan Freeport
Di atas telah disebutkan, hanya beberapa bulan setelah secara
de-facto berkuasa, Jenderal Harto menggadaikan nyaris seluruh kekayaan
alam negeri ini kepada blok imperialisme asing. Salah satu cerita yang
paling menyedihkan adalah tentang gunung emas di Papua Barat. Gunung
emas yang sekarang secara salah kaprah disebut sebagai Tembagapura,
merupakan sebuah gunung dimana cadangan tembaga dan emas berada di atas
tanahnya, tersebar dan siap dipungut dalam radius yang amat luas.
Lisa Pease menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and
Freeport” dan dimuat dalam majalah Probe. Tulisan bagus ini disimpan di
dalam National Archive di Washington DC. Dalam artikelnya, Lisa Pease
menulis jika dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak
tahun 1967, namun kiprahnya di Indonesia sudah dimulai beberapa tahun
sebelumnya. Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya,
nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di
Kuba tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim
diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu
dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan
pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan
terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur
merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula
menemui kegagalan.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959,
Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan
pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van
Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan
sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian
Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu
sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama
bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen
tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan
membacanya.
Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport
Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean
Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah.
Tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia, maka kandungan biji
tembaga yang ada di sekujur Gunung Ersberg itu terhampar di atas
permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah. Mendengar hal
itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian
Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah
laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan
selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama
atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak
ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk
memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu
telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah di sekujur gunung
tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena
selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi
bijih emas dan perak! Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi
nama Gold Mountain, bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar
pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan
dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal. Piminan Freeport Sulphur ini
pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur
menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung
tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama
dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas
tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah
memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John
Fitzgerald Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK
malah sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan
menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian
Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk
membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang
Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg
sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja
Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan
yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang
ada di gunung tersebut.
Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan
perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para
pimpinan Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy akan
menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS
dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!
Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden
Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan
penembakan Kenndey merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut
kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas
kebijakan politik di Amerika.
Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil siap yang
bertolak-belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan
ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh
di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan
presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C. Long, salah seorang anggota
dewan direksi Freeport.
Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia.
Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang
membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno
pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang
mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia
jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.
Augustus C. Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya.
Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C. Long juga aktif di
Presbysterian Hospital NY di mana dia pernah dua kali menjadi
presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini
merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini.
Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai pimpinan
Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu yang di
Indonesia dikenal sebagai masa yang paling krusial.
Pease mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih
sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller.
Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen
kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh
sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara
tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap
Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira
Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21
Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan jika kelompok Jenderal
Suharto akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa
menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga
pernah bersaksi jika hal itu benar adanya.
Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi 1 Oktober 1965, Forbes
Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne
Williams, yang menanyakan apakah Freeport sudah siap mengeksplorasi
gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas kaget. Ketika itu Soekarno
masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana
Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata
sudah mempunyai kontak tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia.
Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan
Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung
antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat
berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah yang menutup seluruh
anggaran operasionil mereka.
Sebab itulah, ketika ketika UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal
Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan
Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang
kontraknya ditandatangani Suharto adalah Freeport. Inilah kali pertama
kontrak perminyakan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno
kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia,
maka sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah banyak
merugikan Indonesia.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport
menggandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan
CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan
mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan
internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan
menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar
dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran,
George A. Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384
halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki
depost terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati
urutan ketiga terbesar.
Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini
tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar pon dan emas
sebesar 52,1 juta ons. Nilai jualnya 77 miliar dollar AS dan masih akan
menguntungkan 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga
menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar dunia yang
ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah.
Seharusnya Emaspura. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau
juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di
permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru
menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama sekali tidak mau
kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari
Grasberg-Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut
Arafuru di mana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan langsung
mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika. “Perampokan legal” ini masih
terjadi sampai sekarang.
Kisah Freeport merupakan salah satu dari banyak sekali kisah sedih
tentang bagaimana kekayaan alam yang diberikan Allah SWT kepada bangsa
Indonesia, oleh para penguasanya malah digadaikan bulat-bulat untuk
dirampok imperialisme asing, demi memperkaya diri, keluarga, dan
kelompoknya sendiri. Kenyataan memilukan ini masih berlangsung sampai
sekarang hingga rakyat menjadi sadar dan menumbangkan penguasa korup.
Indonesia Di bawah Panji NeoLib (1)
Rizki Ridyasmara – Jumat, 16 Oktober 2009 21:45 WIB
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/indonesia-di-bawah-panji-neolib-1.htm#.UuZnBvsxVkg
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/indonesia-di-bawah-panji-neolib-1.htm#.UuZnBvsxVkg
Hari-hari
ini sampai dengan tanggal 21 Oktober nanti, Presiden dan Wakil Presiden
Terpilih 2009-2014, Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono, tengah sibuk
menyusun Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Media massa negeri ini,
dengan atau tanpa lembaga survei, ramai-ramai memprediksi siapa saja
yang akan diajak SBY-Budiono untuk menjadi pembantunya.
Dan lucunya, sejumlah menteri yang masih aktif
membawahi berbagai departemen, dengan gencar mengiklankan dirinya di
layar teve. Salah satunya yang paling gencar adalah iklan “Sekolah
Gratis” (yang ternyata sama sekali tidak gratis) dan iklan “SMK Pasti
Bisa”, keduanya menampilkan Mendiknas Bambang Soedibyo. Dan tentu, untuk
iklan ini Depdiknas harus membayar uang dalam jumlah besar kepada
stasiun teve. Uangnya, tentu saja, berasal dari uang rakyat. Banyak
orang tertawa sinis dan mengatakan jika iklan itu merupakan kampanye
sang menteri agar dilirik kembali oleh presiden. Kampanye pribadi dengan
uang rakyat. Menyedihkan, memang.
Yang kedua, sejak sebulan ini sejumlah tokoh yang
biasa menulis dengan lantang dan cukup vokal di media massa seakan
tiarap. Rencana kedatangan Miyabi saja yang amat kontroversial, hanya
Front Pembela Islam (FPI) dan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia
Hatta yang berani vokal, sedangkan tokoh-tokoh yang selama ini mengaku
sebagai “pejuang anti pornografi” diam seribu bahasa.
Atau kasus penyebaran “pin Nabi Muhamad SAW” yang
asalnya dari Iran, tidak ada satu pun tokoh bangsa ini yang bersuara
lantang. Padahal, di hari-hari biasa—bukan hari-hari menjelang
penyusunan kabinet—mereka paling aktif bersuara. Namun sekarang mereka
seperti sedang bertapa atau puasa bicara.
Seorang pengamat politik, Tjipta Lesmana, dalam
satu acara di Jakarta kemarin (15/10) menyinggung hal ini. “Beberapa
hari terakhir, saya tanya kepada beberapa tokoh yang biasa menulis vokal
di koran, mengapa sekarang kok tulisannya tidak ada. Mereka mengaku
sedang istirahat dulu, menunggu sampai hari pengumuman anggota
kabinet…,” ujar Pak Tjip disertai derai tawanya yang khas.
Menurut jadwal resmi, Sby dan Budiono akan
mengumumkan anggota kabinetnya tanggal 21 Oktober dan besoknya akan
diselenggarakan pelantikan. Banyak nama yang diprediksi, namun banyak
pula orang yang sudah dapat menerka kemana arah yang akan dilakukan oleh
rezim ini lima tahun ke depan. Walau demikian kita semua pasti
menanti-nantikan seperti apa bentuk Kabinet Indonesia Bersatu jilid II
nantinya. Apakah kadar NeoLib-nya berkurang atau malah kian mengental.
Kiblat Bernama Washington
Sambil menunggu pengumuman kabinet, ada baiknya kita flashback dulu pada pasangan Sby-Budiono di saat kampanye pilpres kemarin. Dengan konsultan pencitraan dari Fox, pasangan ini mengcopy-paste
gaya kampanye Obama saat Pilpres Amerika beberapa waktu lalu. Bahkan
lagu Indonesia Raya, aransemennya sempat dibuat mirip dengan lagu
kebangsaan Amerika Serikat, Star Spangled Banner, yang
kemudian menimbulkan kontroversi yang kemudian menguap begitu saja,
walau hal ini jelas melanggar undang-undang tentang lagu kebangsaan.
Apakah Sby-Budiono akan meniru juga Obama di saat pembentukan kabinetnya? Ternyata tidak. Nah, disinilah ironisnya. Mengapa demikian?
Semua kita tentu mafhum jika dewasa ini Amerika
Serikat merupakan satu negara benua terkuat di dunia dan terkaya, dengan
GDP terbesar dunia senilai US$14 triliun. Namun dengan wilayah yang
sangat luas, mengurus pemerintahan yang sangat besar dengan hegemoni
meliputi hampir seluruh dunia, Presiden Barrack Obama ternyata hanya
membutuhkan 15 orang menteri ditambah dengan 6 jabatan setingkat
menteri. Jika mau ditotal ada 21 orang pembantu presiden AS. Bagaimana
dengan Indonesia?
Indonesia adalah negara terkebelakang dengan GDP
hanya US$468 miliar namun presidennya sampai memerlukan 34 orang
menteri! Ini jelas tidak masuk akal. Mengurus Amerika Serikat jelas jauh
lebih berat ketimbang mengurus Indonesia. Namun hal yang tak masuk akal
sehat ini tetap saja terjadi. Walau negara terkaya dunia, Amerika
Serikat tetap menerapkan efektivitas dan efisiensi dalam mengelola
pemerintahannya. Beda dengan Indonesia, walau pun negara miskin namun
untuk urusan bagi-bagi jabatan mampu untuk mengalahkan super power
sekali pun!
Belum lagi untuk urusan fasilitas untuk para
pejabatnya. Sudah menjadi kelaziman di Indonesia jika seorang pejabat
baru selalu mendapat kendaraan dinas baru, rumah dinas baru, bahkan
seperti yang kemarin terjadi, ratusan anggota DPR yang belum dilantik
pun untuk pindah ke Jakarta ternyata harus ditanggung dengan uang
rakyat! Coba kita sekarang melihat apakah hal yang sama berlaku untuk
negara maju seperti Belanda?
Ternyata, para pejabat bahkan menteri di Belanda
tidak pernah mendapat kendaraan dinas dan rumah dinas baru. Padahal
Belanda adalah salah satu negara yang memberikan utang pada Indonesia.
Para menteri atau anggota parlemen di Belanda biasa pergi ke kantor
dengan naik kendaraan umum atau kendaraan milik pribadi.
Inilah satu contoh lagi betapa pejabat Indonesia ternyata kelewat manja dan aji-mumpung. Sebab itu ada satire,
jika orang di Amerika (dan juga negara maju) harus kaya raya dulu untuk
bisa jadi pejabat, beda dengan Indonesia. Orang Indonesia harus jadi
pejabat dulu baru bisa kaya raya.
Sby-Budiono sering membandingkan segala sesuatu
dengan Amerika Serikat, seperti dalam gaya kampanyenya, namun mengapa
dalam penyusunan slot kabinet, mereka tidak mencontoh efisiensi dan
efektivitas yang dilakukan Presiden Obama? Ini menjadi pertanyaan yang
menarik.
Di tengah keterpurukan bangsa ini, seharusnya
jumlah slot menteri juga harus dipangkas. Jika Presiden Obama saja bisa
bekerja mengurus Amerika dengan 21 orang pembantunya, mengapa Presiden
Sby sampai harus membutuhkan 34 pembantu untuk mengurus Indonesia yang
jauh lebih sederhana dan jauh lebih miskin ketimbang Amerika? Secara
logika sederhana, pembantu presiden di Indonesia sebenarnya bisa dibuat
lebih ringkas, di bawah angka 20. Ini jika dibandingkan dengan Amerika.
Yang juga menarik, kita tengok masa Khalifah Umar
bin Khattab (634-644 M/ 13-23 H). Di masa Khalif Umar bin Khattab,
wilayah kekhalifahan Islam membentang dari Jazirah Arab hingga Persia
dan Roma, namun untuk mengurus wilayah seluas itu, Umar r.a. hanya
memerlukan pembantu sembilan orang (!). Umar bin Khattab pun tidak punya
istana atau rumah dinas. Penguasa wilayah yang sangat luas dan kaya
raya itu tetap tinggal di rumahnya yang sangat sederhana, di
tengah-tengah kampung, tanpa pengawal, dan berbaur dengan rakyatnya.
Bandingkan dengan para pejabat Indonesia sekarang!
Untuk sekelas bupati yang “wilayah kekuasaannya” tak sampai seujung kuku
wilayah kekuasaan Umar bin Khattab, mereka punya rumah dinas mewah,
kantor bagus, kendaraan dinas baru, beserta pengawal dan pelayannya.
Bahkan seorang bupati yang dekat dengan Jakarta, untuk membangun pagar
rumahnya saja sampai harus menelan biaya sampai miliaran rupiah. Tentu
saja, lagi-lagi, dari uang rakyat!.
Dari fakta yang terjadi di atas, kita setidaknya bisa merenung dan introspeksi diri. Sudah benarkah kita punya pemimpin? (bersambung/ridyasmara)
Indonesia Di bawah Panji NeoLib (2)
Rizki Ridyasmara – Kamis, 3 Zulqa'dah 1430 H / 22 Oktober 2009 11:07 WIB
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/indonesia-di-bawah-panji-neolib-2.htm#.UuZoPfsxVki
Kabinet
Indonesia Bersatu jilid II telah diumumkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada Rabu malam (21/10) di Istana Negara Jakarta. Sejumlah
kalangan menyatakan harapan baru pada kabinet yang terbentuk, sebuah
harapan agar Indonesia lima tahun ke depan bisa tambah baik, rakyatnya
lebih sejahtera, dan angka kemiskinan bisa dikurangi dengan drastis.
Namun banyak pula yang menyatakan jika susunan kabinet baru ini tidak membawa harapan apa-apa karena “chip” di dalam “mikroprosesor”
mesin besar bernama Pemerintah Republik Indonesia ini masih saja
sama-sebangun dengan yang digunakan sejak masa Jenderal Harto. Ibarat
komputer, yang berubah casing-nya doang tapi “jeroannya” sama saja.
Mungkin hal inilah yang membuat pakar komunikasi
politik Dr. Effendi Ghazali dalam acara di MetroTeve tadi malam (21/10)
menyatakan jika Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini tidak ada bedanya
dengan yang jilid I. Hanya saja, mungkin untuk menepis anggapan jika
pemerintahan sekarang ini kental dengan NeoLibnya maka beberapa pos
bidang ekonomi diisi dengan orang-orang yang selama ini kurang dikenal
sebagai pentolan NeoLib. “Dan orang-orang NeoLibnya mengisi jabatan wakil menteri..,” ujar Ghazali sambil tertawa.
Walau pemerintah SBY selama ini tidak pernah
mengaku sebagai pemerintahan yang menjalankan agenda besar Neo-Liberal
atau NeoLib, namun banyak sekali fakta yang memaparkan kepada kita semua
dengan teramat jelas dan telanjang jika NeoLib ini merupakan suatu
keniscayaan dan benar adanya. Hanya mereka yang jahil
dengan isme-isme dalam ekonomi-politik yang mau percaya dengan apa yang
dikatakan pemerintah, atau mungkin juga mereka-mereka yang selama ini
diuntungkan oleh sistem NeoLib seperti sekarang ini.
Bagaimana dengan susunan pemerintahan sekarang, termasuk presiden dan wakil presidennya? Mari kita jembreng
satu-persatu, kecuali tentu saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
sudah dikenal khalayak luas sebagai orang yang memang dekat dengan
Amerika Serikat. Jenderal Angkatan Darat yang mengambil Jalur Staf
ini—satu jalur aman karena kebanyakan diisi dengan duduk di belakang
meja, sangat beda dengan Jalur Komando seperti yang diambil Prabowo
Subianto yang kebanyakan harus aktif di medan tempur dan
peperangan—dalam merintis karir militernya, mondar-mandir
menuai ilmu di Amerika Serikat dengan mengikuti dua kali program
latihan militer di Fort Benning, Georgia (1976 dan 1982). Juga di Fort
Leavenworth, Kansas (1991). Gelar Pasca Sarjana pun diperolehnya di
Amerika Serikat.
Sebab itu, SBY berterus terang jika AS merupakan
negerinya yang kedua setelah Indonesia. Itu ditegaskannya saat
berkunjung ke AS tahun 2003 sebagai Menko Polkam dalam Kabinet Presiden
Megawati Soekarnoputeri. SBY berkata, ‘’I love the United State, with all its faults. I consider it my second country’’. Saya mencintai Amerika dengan segala kesalahannya. Saya menganggapnya sebagai negeri kedua saya.” (lihat Al Jazeera English–Archive, 6 Juli 2004. Atau bagi yang ingin melihat link-nya silakan klik http://english.aljazeera.net/archive/2004/07/20084913557888718.html).
Sebab itu, bukan barang aneh jika di masa kekuasaan
SBY yang pertama (2004-2009), kebijakan pemerintah Indonesia sangat
loyal pada imperialisme Amerika Serikat, bahkan hingga harus
mengorbankan kepentingan nasional Indonesia sendiri.
Dua contoh yang sangat kasat mata adalah saat
menjamu kedatangan Bush di Bogor beberapa tahun lalu yang sangat kelewat
berlebihan pelayanannya, yang satu di antaranya adalah pemerintah
sengaja melanggar undang-undang yang disahkannya sendiri dengan
membangun helipad di tengah Kebun Raya Bogor yang sesungguhnya terlarang
menurut UU, dan yang kedua dalam kasus penyerahan Blok Migas Cepu
kepada Exxon Mobile, perusahaan dunia milik John David Rockefeller.
Banyak orang di dnia ini sudah tahu jika Rockefeller merupakan tokoh
Bilderberger Group dan pendiri Trilateral Commission, dua lembaga
internasional yang bekerja secara rahasia untuk menciptakan The New
World Order, satu tatanan dunia dengan sistem Luciferianis. Ironisnya,
Pertamina yang sedari awal menyatakan siap mengelola Blok Cepu dijegal
dan dikalahkan. Lagi-lagi kepentingan nasional dikalahkan dan
kepentingan imperialisme asing dimenangkan.
Hal ini membuat banyak pejuang kebenaran di negeri
ini menangis. Salah satunya Kwik Kian Gie. Dalam artikel berjudul “Kisah
Usang Dari Negeri Cepu: Liberalisme Versus Nasionalisme” (dimuat di Feodalisme.com; 7 Oktober 2009), Kwik menutup artikel tersebut dengan kalimat, “Saya
terus berdoa kepada Bung Karno dan mengatakan, “Bung Karno yang saya
cintai dan sangat saya hormati. Janganlah gundah dan gelisah, walaupun
Bapak sangat gusar. Istirahatlah dengan tenang. Saya juga sudah
bermeditasi di salah satu vihara untuk menenangkan hati dan batin saya.
Satu hari nanti rakyat akan bangkit dan melakukan revolusi lagi seperti
yang pernah Bapak pimpin, kalau para cecunguk ini sudah dianggap
terlampau lama dan terlampau mengkhianati rakyatnya sendiri.”
Untunglah, saat berkuasa di tahun 2004-2009, ada
sejumlah orang di lingkaran dalam presiden yang masih memiliki jiwa
nasionalisme untuk menahan kegilaan liberalisasi negeri ini. Mereka
antara lain adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Kesehatan DR.
Siti Fadhillah Supari.
Berbagai terobosan dilakukan Jusuf Kalla untuk
meringankan beban rakyat Indonesia yang kian hari kian dihimpit beban
hidup yang semakin berat. Untuk menolong rakyat yang tercekik akibat
dinaikkannya harga minyak di negeri ini yang oleh orang-orang NeoLib
harus disamakan dengan harga minyak di New York, Kalla menciptakan
program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi rakyat miskin. Ini baru salah
satunya.
Lalu ada pula Menteri Kesehatan Siti Fadhilah
Supari yang dengan lantang berteriak menentang WHO dalam urusan
pertukaran sampel virus yang dirasakan sangat tidak adil. Bahkan menteri
perempuan yang satu ini tanpa sungkan-sungkan berani menuding jika WHO
selama ini dijadikan alat negara besar untuk kepentingannya sendiri
dengan menjajah negeri-negeri berkembang seperti Indonesia.
Dalam kasus NAMRU-2 (Naval Medical Research Unit-2)
milik AS yang secara semena-mena dan sangat bebas bisa bergerak di
dalam wilayah kedaulatan NKRI. Menkes Fadhilah Supari juga sangat berani
menentang hal ini dan meminta agar pemerintah memutuskan kontrak kerja
yang dirasakan sangat zalim dan sama sekali tidak ada untungnya bagi
Indonesia.
Presiden SBY tentu amat gerah dengan sikap-sikap
bawahannya seperti itu. Namun untuk bisa menindak mereka, tentu SBY juga
harus menghitung arah angin yang sedang berlaku. Dalam kasus virus WHO
dan NAMRU-2 (Naval Medical Research Unit 2), Menkes Fadhilah Supari
mendapat dukungan dari banyak pihak yang disuarakan lewat berbagai media
massa cetak maupun elektronik. SBY yang dikenal sebagai presiden yang
sangat menjaga imejnya ini tentu hanya bisa bersabar dan menunggu
momentum yang tepat untuk ‘menindak’ Menkes yang dianggapnya kelewat
berani ini.
Dan momentum yang tepat ya ketika usai pilpres
kemarin di mana pasangan SBY-Budiono diputuskan sebagai pemenang oleh
KPU. Sebelumnya SBY telah “menceraikan” Jusuf Kalla dan memilih Budiono
yang memiliki cita rasa yang sama terhadap Amerika. Dan ketika menyusun
Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, SBY tidak lagi “memperpanjang
kontrak” dengan Siti Fadhilah Supari dan lebih nyaman memilih dr. Endang
Rahayu Sedyaningsih, sosok yang oleh Siti Fadhilah Supari sendiri
ditegaskan amat dekat dengan Namru-2, beda dengan dirinya. (bersambung/ridyasmara)
Indonesia Di bawah Panji NeoLib (3)
Rizki Ridyasmara – Jumat, 30 Oktober 2009 03:59 WIB
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/indonesia-di-bawah-panji-neolib-3.htm#.UuZpjPsxVkj
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/indonesia-di-bawah-panji-neolib-3.htm#.UuZpjPsxVkj
Kontroversi
menteri kesehatan yang baru, ditambah dengan gagalnya DPR memanggil
menteri yang berasal dari eselon dua ini karena “diveto” oleh Ketua DPR
Marzuki Alie yang berasal dari kubu SBY sendiri, dimana hal itu dengan
sendirinya telah membuktikan tudingan jika untuk lima tahun ke depan DPR
akan sekadar menjadi rubber-stamp rezim penguasa, bukan menjadi satu-satunya kontroversi yang ada pada pemerintahan yang baru tapi lama ini.
Kontroversi lainnya adalah rencana kenaikan gaji
para pejabat negara, termasuk gaji presiden dan wakilnya, yang diamini
oleh hampir semua pejabat terkait, ditengah penderitaan rakyat yang kian
hari kian susah dan utang yang menggunung setiap harinya. Lagi-lagi hal
ini telah membuktikan jika di negeri ini para pejabat negara bagaikan
“Raja Tega” karena sama sekali tidak perduli dan tidak memiliki empati
terhadap nasib rakyatnya sendiri.
Semua itu rupanya belum cukup juga. Selain kenaikan
gaji, para pejabat negara setingkat menteri ke atas juga akan diberi
fasilitas mobil mewah baru yang benar-benar mewah, yakni dengan
digantinya Toyota Camry yang selama ini dipergunakan sebagai kendaraan
dinas menteri dengan mobil lain yang lebih mahal tiga kali lipatnya,
yakni Toyota Crown Majesta. Jika Camry seharga 600 jutaan rupiah
perunitnya, maka Majesta di negeri ini membandrol harga 1,8 milyar
rupiah perunit karena kena pajak barang mewah. Lagi-lagi uang rakyat
dijadikan bancakan para pejabat negara.
Di tengah himbauan pemerintah untuk mengurangi
ketergantungan pada migas dengan gerakan hijaunya, yang juga menghimbau
masyarakat agar beralih ke moda transportasi ramah lingkungan seperti
sepeda, tindakan pemerintah itu dengan sendirinya mencederai himbauannya
sendiri karena Toyota Crown Majesta dengan tenaga yang sangat besar, cc
di atas 3000-an, sudah pasti akan sangat rakus bahan bakar.
Kegilaan para pejabat Indonesia pada mobil dan
fasilitas mewah pernah menjadi ironis ketika dalam satu kesempatan,
salah satu menteri ekonomi Indonesia berada di Jepang untuk menegosiasi
pinjaman kepada pejabat terkait metahari terbit itu. Pejabat ini akan
bertemu pejabat Jepang di sebuah gedung departemen keuangan Jepang.
Ketika datang, utusan Indonesia ini mengendarai mobil mewah diiringi
dengan pengawalan lengkap plus sirine, namun hal itu ternyata membuatnya
risih ketika mengetahui jika pejabat Jepang yang ingin dinegonya
ternyata datang dengan naik bus umum, turun di halte yang agak jah dari
kantornya dan karena itu harus berjalan kaki masuk ke dalam gedung yang
dipimpinnya. Beginilah gaya kebanyakan pejabat kita.
Hal yang sama juga pernah terjadi di Belanda, di
mana para menteri dan anggota parlemen di salah satu negara kreditor
Indonesia ini memang tidak mendapatkan fasilitas mobil dinas. Bahkan
anggota parlemen Belanda tidak mendapat gaji. Beda sekali dengan
kelakuan para pejabat negara miskin bernama Indonesia ini.
Hal lain yang mengundang kontroversi adalah
penempatan orang-orang yang bukan ahlinya pada pos-pos penting, seperti
Hatta Rajasa sebagai Menko Perekonomian dan Purnomo Yusgiantoro sebagai
Menteri Pertahanan. Pengamat politik Boni Hargens berkali-kali dalam
berbagai kesempatan menyatakan jika dirinya curiga dengan langkah yang
diambil penguasa negeri ini.
Menurut pengamat politik yang kerap muncul di
Republik Mimpi ini, hal tersebut disengaja penguasa agar orang-orang itu
memang gagal memimpin jajarannya sehingga mereka di tahun 2014 tidak
mempunyai kesempatan untuk menjadi pesaing baginya. Ada kekuatiran juga
jika di dalam masa lima tahun ini, pemerintah yang menguasai parlemen
ini akan menyetir DPR agar mengamandemen peraturan yang menyebutkan masa
jabatan presiden hanya dua kali lima tahun menjadi tak terbatas, sama
seperti di zaman Jenderal Harto. Hal ini bukan hal yang musykil melihat
otorianisme mulai berkembang kembali di negeri ini dari har ke hari.
Berbagai kontroversi yang dilakukan pemerintah, dan
juga anggota DPR di negeri ini, padahal mereka belum bekerja, telah
menyebabkan anjloknya kepercayaan dan harapan rakyat terhadap pemerintah
itu sendiri. Rakyat Indonesia seharusnya mencatat hal ini dengan baik
agar lima tahun ke depan tidak lagi tertipu dengan memilih rezim dan
orang-orang yang sekarang berkuasa, walau mereka mengumbar banyak janji
kepada kita. Toh kenyataannya para pejabat negeri ini
sekarang pun bertindak sangat keterlaluan dalam ‘merampok’ uang rakyat
demi memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Janji tinggallah janji,
dan seharusnya kita ingat hal itu untuk lima tahun ke depan.
Andai pejabat negara—presiden dan wakilnya, para
menteri, dan juga anggota DPR—mau bersungguh-sungguh bekerja untuk
memperbaiki nasib bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik, maka
banyak tugas berat yang sesungguhnya harus diprioritaskan ketimbang
meributkan kenaikan gaji dan fasilitas yang akan didapatkan.
Sejak lebih dari empatpuluh tahun lalu negara ini
telah kehilangan kemerdekaan dan kemandiriannya. Nyaris seluruh kekayaan
bangsa ini yang berupa barang tambang telah dikuasai asing, dan kian
hari kian banyak saja bidang yang jatuh ke dalam kekuasaan asing itu
sehingga muncul istilah jika bangsa Indonesia adalah kuli di negeri
sendiri.
Sayangnya, sejumlah pejabat yang duduk di posisi
kunci pemerintahan (bidang ekonomi) dari waktu ke waktu selalu saja
diisi oleh pelayan-pelayan kepentingan asing, para makelar imperialisme
asing, yang sangat tega terus menggadaikan kekayaan bangsa dan negeri
ini sampai benar-benar habis. Mereka yang dulu dikenal sebagai Mafia
Berkeley ini, sekarang dikenal sebagai nama NeoLib atau “American Boys”.
Dan pemerintahan Esbeye memang dikelilingi oleh orang-orang seperti
ini. Presiden pun merasa nyaman dan sepaham dengan mereka karena memang
negeri keduanya adalah AS. Dan lebih dari setengah menteri di dalam
Kabinet Indonesia Bersatu jilid II adalah orang-orang lulusan AS dan
sangat Washington-Oriented.
Lagi, salah satu buktinya, adalah pernyataan
Menteri BUMN Mustafa Abubakar yang belum lagi bekerja tapi sudah
memantapkan tekad untuk meneruskan langkah privatisasi sejumlah BUMN.
Ini berarti meneruskan penggadaian kekayaan nasional ke pihak asing.
Kasihan sekali nasib bangsa dan negara ini yang terus-terusan dirongrong
oleh pejabat-pejabatnya sendiri sehingga bukan tidak mungkin jika hal
ini terus dibiarkan, dalam waktu tidak lama lagi Indonesia akan hancur
sebenar-benarnya hancur, atau bisa juga menjadi “negara maju” dengan
menjadi negara bagian ke-51 dari United States of America, setelah
Hawai.
Dominasi Asing di Indonesia
Agar kita semua bisa melihat dengan jernih dan
jelas tentang kondisi bangsa dan negara ini sekarang, ada baiknya kita
mengupas sedikit tentang bagaimana sebenarnya keadaan dan fakta riil
sebuah bangsa dan negara bernama Indonsesia hari ini. Ada banyak buku
dan literatur yang bisa kita paparkan, salah satunya tentu sejumlah
tulisan bernas dari nasionalis bernama Kwik Kian Gie yang walau pun
matanya sipit namanya terasa ‘asing’, namun jauh lebih nasionalis
ketimbang para pejabat kita yang berkulit gelap dan memiliki nama
pribumi.
Dalam tulisan selanjutnya akan dipaparkan sebagian
fakta ril tentang dominasi asing di negeri ini, sesuatu yang
sangat-sangat menyedihkan bagi kita semua. (bersambung/ridyasmara)
Indonesia Di bawah Panji NeoLib (Tamat)
Rizki Ridyasmara – Minggu, 8 November 2009 19:27 WIB
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/indonesia-di-bawah-panji-neolib-TAMAT.htm#.UuZqjPsxVkj
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/indonesia-di-bawah-panji-neolib-TAMAT.htm#.UuZqjPsxVkj
Ada
perbedaan sangat besar terkait pengelolaan kekayaan alam Indonesia di
zaman Soekarno dengan zaman Harto dan para pewarisnya. Soekarno
bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita, hingga insinyur-insinyur
Indonesia mampu mengolahnya sendiri.” Sedangkan Harto dan para
pewarisnya hingga sekarang bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita dijarah
oleh orang-orang asing, silakan Mister…”
Merupakan fakta sejarah jika di awal kekuasaan
Harto, kekayaan alam Indonesia yang melimpah-ruah digadaikan kepada blok
imperialisme Barat yang dipimpin Amerika Serikat. Sebelumnya Harto dan
Washington agaknya telah memiliki “MOU” bahwa jika Soekarno berhasil
dikudeta maka Harto yang menggantikannya akan “membalas budi” kepada
Washington berupa penyerahan negara dan bangsa ini tanpa syarat agar
bisa dieksploitasi sepuasnya oleh para tuan bule di Washington.
Tragedi pertemuan Mafia Berkeley dengan Rockefeller
dan kawan-kawannya di Jenewa-Swiss di bulan November 1967 menjadi bukti
tak terbantahkan tentang permufakatan iblis tersebut. Di saat itulah,
rezim Jenderal Harto mencabut kemerdekaan negeri ini dan menjadikan
Indonesia kembali sebagai negeri terjajah. Ironisnya, penjajahan asing
atas Indonesia diteruskan oleh semua pewarisnya termasuk rezim yang
tengah berkuasa hari ini yang ternyata “jauh lebih edan” ketimbang
Jenderal Harto dulu.
Sampai sekarang, hampir semua cabang produksi yang
amat vital bagi negara dan bangsa ini telah dikuasai asing. Banyak buku
yang telah memaparkan dengan jujur kenyataan menyedihkan ini. Beberapa
di anaranya adalah buku berjudul “Di Bawah Cengkeraman Asing: Membongkar Akar Persoalannya dan Tawaran Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri Sendiri” (Wawan Tunggul Alam: 2009), dan “Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!”
(Amien Rais, 2008). Dengan bahasa jurnalisme yang sangat mengalir namun
amat kaya data, Wawan memaparkan dengan lugas hampir seluruh fakta yang
patut diketahui generasi muda bangsa ini, agar kita bisa sadar
sesadar-sadarnya jika Indonesia itu, negeri kita ini, sekarang masih
merupakan negeri terjajah!
Dan untuk buku yang kedua yang ditulis oleh Amien
Rais, isinya benar-benar bagus dan sangat anti dengan neo-liberal. Namun
dalam faktanya sangat ironis, karena entah dengan alasan apa, Amien
Rais sekarang malah jelas-jelas menjadi bagian dari kelompok NeoLib
dengan berterus-terang menyatakan dukungannya pada rezim yang berkuasa
sekarang. Disadari atau tidak, dia sekarang telah menjadi part of problem bagi bangsa ini dan menjadi salah satu penghalang bagi gerakan pemerdekaan negeri ini dari cengkeraman imperialisme asing.
Jika Imperialisme dan Kolonialisme Kuno (Spanyol,
Portugis, VOC, Fasis Jepang, dan NICA) menggunakan senjata api untuk
menjajah suatu negeri, maka sekarang, Imperialisme dan Kolonialisme
Modern (Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme, Nekolim) lebih pintar
dengan tidak lagi memakai senjata api namun mempergunakan kekuatan uang
(baca: kekuatan utang).
JFK, CIA, dan Freeport
Di atas telah disebutkan, hanya beberapa bulan setelah secara de-facto
berkuasa, Jenderal Harto menggadaikan nyaris seluruh kekayaan alam
negeri ini kepada blok imperialisme asing. Salah satu cerita yang paling
menyedihkan adalah tentang gunung emas di Papua Barat. Gunung emas yang
sekarang secara salah kaprah disebut sebagai Tembagapura, merupakan
sebuah gunung dimana cadangan tembaga dan emas berada di atas tanahnya,
tersebar dan siap dipungut dalam radius yang amat luas.
Lisa Pease menulis artikel berjudul “JFK,
Indonesia, CIA, and Freeport” dan dimuat dalam majalah Probe. Tulisan
bagus ini disimpan di dalam National Archive di Washington DC. Dalam
artikelnya, Lisa Pease menulis jika dominasi Freeport atas gunung emas
di Papua dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di Indonesia sudah
dimulai beberapa tahun sebelumnya. Freeport Sulphur, demikian nama
perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi
pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil
menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan
asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja
hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya.
Ketegangan terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport
Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun
berkali-kali pula menemui kegagalan.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada
Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport
Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo
Company, Jan van Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika
dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung
Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936.
Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan
tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda.
Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu
dan membacanya.
Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada
pimpinan Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan
alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang
begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia, maka
kandungan biji tembaga yang ada di sekujur Gunung Ersberg itu terhampar
di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah.
Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan
perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam
benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa
bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan
survei dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya.
Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk
memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu
telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah di sekujur gunung
tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris
membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut
ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak! Menurut Wilson, seharusnya
gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Gunung Tembaga. Sebagai
seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan
untung besar dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal. Piminan
Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960,
Freeport Sulphur menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk
mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami
kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di Kuba.
Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam.
Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai
menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada
Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun
ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam
Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot
mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan
dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran
akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika
Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab
jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan
Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding
nilai emas yang ada di gunung tersebut.
Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian
Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah
kembali. Para pimpinan Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar
Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar
11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus
dihentikan!
Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat
ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak
kalangan menyatakan penembakan Kenndey merupakan sebuah konspirasi besar
menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan
hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika.
Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy
mengambil siap yang bertolak-belakang dengan pendahulunya. Johnson malah
mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya.
Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam
kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C. Long,
salah seorang anggota dewan direksi Freeport.
Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar
atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin
Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of
California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak
perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada
pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga operator
perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno
ini.
Augustus C. Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya.
Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C.
Long juga aktif di Presbysterian Hospital NY di mana dia pernah dua kali
menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika
tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat
kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun
sementara sebagai pimpinan Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini
dalam masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang paling
krusial.
Pease mendapakan data jika pada Maret 1965,
Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu
perusahaan Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota
dewan penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri.
Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi
rahasia AS di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh
yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan
menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our
Local Army Friend.
Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia
Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan jika kelompok
Jenderal Suharto akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih
kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph
Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya.
Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi 1
Oktober 1965, Forbes Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur
Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan apakah Freeport sudah
siap mengeksplorasi gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas kaget.
Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga
1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh
ke tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi
Freeport ternyata sudah mempunyai kontak tokoh penting di dalam
lingkaran elit Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan dan
Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini
berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu
Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah
yang menutup seluruh anggaran operasionil mereka.
Sebab itulah, ketika ketika UU No. 1/1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang
didiktekan Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing
pertama yang kontraknya ditandatangani Suharto adalah Freeport. Inilah
kali pertama kontrak perminyakan yang baru dibuat. Jika di zaman
Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan
Indonesia, maka sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu
malah banyak merugikan Indonesia.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya
itu, Freeport menggandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak
mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di
Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai
konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik “Jim
Bob” Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari
1,5 miliar dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang eksekutif
Freeport-McMoran, George A. Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg”
setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu
memiliki depost terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya
menempati urutan ketiga terbesar.
Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di
areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar pon dan
emas sebesar 52,1 juta ons. Nilai jualnya 77 miliar dollar AS dan masih
akan menguntungkan 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga
juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar dunia
yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan
dan salah. Seharusnya Emaspura. Karena gunung tersebut memang gunung
emas, walau juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga
terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan
kemudian baru menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama sekali
tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan
kuat dari Grasberg-Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju
ke Laut Arafuru di mana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan
langsung mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika. “Perampokan legal”
ini masih terjadi sampai sekarang.
Kisah Freeport merupakan salah satu dari banyak
sekali kisah sedih tentang bagaimana kekayaan alam yang diberikan Allah
SWT kepada bangsa Indonesia, oleh para penguasanya malah digadaikan
bulat-bulat untuk dirampok imperialisme asing, demi memperkaya diri,
keluarga, dan kelompoknya sendiri. Kenyataan memilukan ini masih
berlangsung sampai sekarang hingga rakyat menjadi sadar dan menumbangkan
penguasa korup. (Tamat/ridyasmara)
Oleh: Herdi Sahrasad
ekonomi - Kamis, 18 April 2013 | 09:01 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Indonesia sejatinya secara ekonomi
sudah dikuasai asing. Kemandirian ekonomi hanya slogan dan keadaan
makin mengarah pada ketimpangan. Indonesia, dinilai sejumlah kalangan
semakin tidak berdaulat di bidang ekonomi maupun di bidang politik.
Peneliti
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng mengingatkan
bahwa sekitar 42 juta hektar daratan telah dialokasikan untuk izin
pertambangan mineral dan batu bara, 95 juta hektare untuk eksploitasi
migas, 32 juta hektare untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman
Industri (HTI), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan 9 juta hektar untuk
perkebunan kelapa sawit. Ini berarti sekitar 178 juta hektar bumi
Indonesia dikuasai swasta yang sebagian besar asing.
Kalau
dibandingkan dengan luas seluruh daratan yang mencapai sekitar 195 juta
hektar. Berapa luas tanah yang sudah dikuasai asing? Itu setara 93
persen. “Sekali lagi, itu setara dengan 93%, dan itu berarti 93% wilayah
kita didominasi dan dikuasai asing,’’ kata Salamudin.
Sangat
jelas, daratan yang merupakan unsur produksi utama, dan merupakan faktor
kedaulatan terpenting perlahan tapi pasti jatuh ke tangan swasta,
khususnya swasta asing. Sebanyak 85% kekayaan migas, 75% kekayaan
batubara, 50% lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing.
Hasilnya 90% dikirim dan dinikmati oleh negara-negara maju.
Sementara
China tidak mengekspor batubara. Sekarang Indonesia harus bertarung di
pasar bebas dengan China–Asean. Ibarat petinju kelas bulu, diadu dengan
petinju kelas berat dunia. Lalu siapa yang melindungi rakyat dan tanah
tumpah-darah kita ini?
Beberapa tahun terakhir Indonesia mengimpor
1,6 juta ton gula, 1,8 juta ton kedelai, 1,2 juta ton jagung, 1 juta
ton bungkil makanan ternak, 1,5 juta ton garam, 100 ribu ton kacang
tanah, bahkan pernah mengimpor sebanyak 2 juta ton beras.
Jelas,
ada yang salah dengan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia
menyangkut sektor pertanian. Dan tentu saja ada modal asing yang bermain
di balik penindasan yang terjadi terhadap para petani Indonesia ini.
Berbagai
kalangan mengingatkan, dominasi internasional sudah masuk ke segala
sektor, ini membuat negara lemah. Pada level kebijakan misalnya, rezim
global sangat kuat menancapkan dominasinya.
Pemerintah dipaksa
menandatangani berbagai perjanjian bebas pada seluruh tingkatan. Melalui
World Trade Organization (WTO) dan Free Trade Agreement (FTA) negara
menyepakati perdagangan bebas dan liberalisasi investasi.
Akibatnya,
barang impor membanjir. Bahkan, melalui kedua perjanjian itu, Indonesia
menyepakati liberalisasi yang lebih dalam sampai ke hal-hal yang paling
kecil, seperti Intellectual Property Right (IPR), dan paten. Jangan
heran kalau ada petani kesulitan mendapatkan benih karena masalah paten.
Jerat
rezim global yang lain difasilitasi melalui Bilateral Investment Treaty
(BIT) dan Indonesia sudah menandatangani sekitar 67 BIT, puluhan lain
dalam proses negosiasi. Isinya, skema perlindungan tingkat tinggi
terhadap investor, fasilitas, dan berbagai insentif perpajakan.
Untuk
itu, pemerintah wajib melakukan perlakuan yang sama antara investor
nasional, BUMN, dengan perusahaan asing. Batas kepemilikan asing
terhadap perusahaan nasional pun ditiadakan.
“Akibatnya, negara
tidak bisa melakukan nasionalisasi perusahaan asing tanpa kompensasi,
jika melanggar penyelesaiannya melalui arbitrase internasional,” kata
Salamudin Daeng yang juga periset Institute for Global Justice, Jakarta.
[berbagai sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar