Ashton: Israel Harus Hentikan Pembangunan Permukiman Ilegal
Ketua Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton menyatakan pembangunan pemukiman baru di wilayah pendudukan Palestina adalah "ilegal" dan merupakan "hambatan" utama bagi perdamaian di kawasan itu.
Hal itu dikemukakan Ashton menyusul pengumuman Jumat (10/1) oleh Tel Aviv soal rencana pembangunan 1.400 unit pemukiman ilegal baru—1.800 unit menurut beberapa laporan—di Baitul Maqdis Timur (Yerusalem) di tengah perundingan damai antara pejabat Palestina dan Israel.
"Saya sangat prihatin mendengar pengumuman terbaru oleh pemerintah Israel untuk memajukan rencana penyelesaian sekali lagi," kata Ashton dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu.
Dia menambahkan bahwa pemukiman tersebut "ilegal berdasarkan hukum internasional, dan menjadi penghalang utama bagi perdamaian dan menggagalkan solusi dua negara."
Ashton juga menutut rezim Zionis untuk mengakhiri konstruksi pemukiman tersebut.
Eksistensi dan berlanjutnya pembangunan permukiman Zionis di wilayah Palestina pendudukan menjadi penghalang utama upaya untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah.
Lebih dari setengah juta warga Zionis tinggal di lebih dari 120 pemukiman ilegal yang dibangun sejak pendudukan Israel atas wilayah Palestina di Tepi Barat dan Baitul Maqdis Timur pada tahun 1967.(IRIB Indonesia/MZ)
Abbas: Kami Tidak Mengakui Israel Sebagai Negara Yahudi
Pemimpin Otorita Ramallah Mahmoud Abbas menyatakan pihaknya tidak akan mengakui Israel sebagai negara Yahudi.
Hal itu dikemukakan Abbas dalam pidatonya di hadapan ratusan warga Palestina di kota Tepi Barat Ramallah pada Sabtu (11/1, menambahkan Palestina tidak akan mengesampingkan untuk menjadikan Baitul Maqdis sebagai ibukotanya.
Abbas juga menegaskan tidak akan menerima solusi yang tidak mencantumkan penetapan Baitul Maqdis timur sebagai ibukotanya.
"Tanpa Baitul Maqdis sebagai ibukota negara Palestina, tidak akan ada perdamaian antara kami dan Israel," katanya seraya menambahkan , "Kami tidak akan mengenalinya ... Kami tidak akan menerima dan itu hak kami tidak mengakui Israel sebagai negara Yahudi."
Pernyataan Abbas menyusul pengumuman rencana Jumat oleh Tel Aviv untuk membangun 1.400 unit pemukiman ilegal atau ilegal di berbagai titik di Baitul Maqdis timur.
Putaran baru perundingan dimulai pada Juli 2013, setelah vakum tiga tahun, guna mengakhiri konflik Palestina-Israel selama beberapa dekade berdasarkan apa yang disebut solusi dua negara.
Palestina berusaha menciptakan sebuah negara merdeka di wilayah Tepi Barat, Baitul Maqdis timur dan Jalur Gaza yang terkepung serta menuntut agar Israel mundur dari wilayah Palestina pendudukan.
Namun Tel Aviv menolak kembali ke perbatasan tahun 1967 dan tidak bersedia membahas masalah Baitul Maqdis.(IRIB Indonesia/MZ)
Reposting: Khutbah Imam Khomeini Menyambut Natal
Islam
Times- http://www.islamtimes.org/vdcauune649ne01.h8k4.html
Siapa yang bertanggung jawab dengan ajaran Masihi/Nasrani? Kapan
ajaran Nabi Isa akan disampaikan? Apakah hanya ajaran untuk orang
bawahan? Apakah hanya ajaran orang atas saja yang ada? Apakah ajaran
Nabi Isa tidak perlu didapatkan?
Nabi Isa as
Bismillahir Rahmanir Rahim
Saya mengucapkan selamat hari lahir Isa Al Masih bagi semua bangsa yang tertindas di dunia, pengikut Masihi dan juga kaum Nasrani. Pada Isa al Masih semuanya adalah mukzijat. Satu mukjizat, beliau lahir dari ibu yang perawan. Satu mukjizat, beliau berbicara dalam buaian. Satu mukjizat, beliau membawa kedamaian, penyembuhan dan spiritualitas bagi manusia. Semuanya adalah mukjizat, dan semua anbiya adalah mukjizat, dan semuanya datang untuk membentuk manusia. Semua menginginkan manusia berjalan di jalan lurus Ilahi, semua menginginkan agar manusia hidup dalam lingkungan damai, sejahtera dan bersaudara.
Ini adalah misi Petugas Ilahi untuk membawa manusia dari dunia ini menuju kedunia yang tinggi, yang juga merupakan tugas para ruhaniawan di setiap bangsa, ruhaniawan Masihi atau Nasrani, ruhaniawan Muslim dan ruhaniawan Yahudi, semua ruhaniawan. Tugas itu mengikuti misi para nabi. Dari merekalah tugas mentarbiyah manusia dan agar mendapatkan kedamaian dan ketentraman bagi setiap manusia. Para ruhaniawan lah yang menjadi frontier untuk berada di dalam organ anbiya yaitu wahyu Ilahi. Para ruhaniawan memiliki tugas lebih dari pada setiap tugas yang dimiliki orang awam. Satu tanggung jawab Ilahi. Ruhaniawan bertanggung jawab dihadapan para nabi dan juga Allah. Mereka bertanggung jawab untuk menyampaikan pelajaran para nabi kepada masyarakat, membimbing tangan masyarakat dan menyelamatkan mereka dari semua derita ini.
Tugas Ruhaniawan Nasrani
Dunia sekarang menderita karena ulah adikuasa dan kekuatan setan yang berdiri menentang para nabi besar dan tidak membiarkan ajaran anbiya terlaksana. Para ruhaniawan Nasrani memiliki satu keistimewaan, dan adikuasa tesebut pengikut Nasrani yangmengaku pengikut Nabi Isa. Adikuasalah yang hari ini berdiri menentang ajaran Allah yang diajarkanNya kepada para nabi. Mereka bertindak melawan ajaran nabi Isa. Para ruhaniawan Nasrani bertugas untuk melakukan perjuangan spiritual sesuai dengan ajaran Tuhan dan ajaran nabi Isa untuk menetang adikuasa yang telah bertindak menentang perjalanan anbiya dan nabi Isa. Mereka harus dibimbing agar menjadi pengikut nabi Isa, mereka haruslah dihidayahi agar tidak bertindak berlawanan dengan ajaran nabi isa.
Kalian para ruhaniawan Nasrani harus menyelamatkan nabi Isa dari para pembesar pemerintahan kalian. Nabi Isa berharap kepada para ruhaniawan Nasrani dan juga yang lain. Nabi Isa berharap dari kalian, pelajarilah, kalian diharapkan untuk bertindak sesuatu terhadap kezaliman yang menindas manusia. Apakah di gereja kalian tidak pernah membicarakan hal ini ? Apakah kalian telah meminta kepada uskup untuk menyelesaikan tragedy ini ? Apakah para ruhaniawan Nasrani mengutuk tindakan negara yang bertentangan dengan ajaran nabi Isa as sedangkan mereka mengaku Nasrani ?
Di hari Natal sewaktu kami di Paris telah mengungkapkan semua kedholiman ini. Tapi sayangnya Paus melarang untuk diterbitkan. Mengapa ruhaniawan besar Nasrani mengutuk ketertindasan dan berfihak kepada penindas ?
Apakah kamu tidak tahu kejahatan yang terjadi disini ? Apakah kamu tidak tahu bahwa semua harta yang ada dibawa keluar dan rakyat disini kelaparan ? Apakah kamu tidak tahu bahwa bertahun tahun, lima puluh tahun, rakyat dalam pendiritaan , dalam tekanan dimana semua hartanya diambil kemudian diberikan kepada negara negara besar ? Apakah para ruhaniawan Nasrani tidak mengetahui bahwa Jimmy Carter telah bertindak bertentangan dengan ajaran nabi Isa dengan memenjarakan harta Iran, dan membekukan semua harta bank Iran ? Bukankah nabi Isa datang untuk keadilan dan membawa masyarakat kepada keadilan dan wajib menerima keadilan, maka bertindaklah agar semua yang dikatakan oleh nabi Isa itu terjadi dan dilaksanakan. Apakah kalian mengetahui apa yang diharapkan oleh suatu bangsa kecil yang tertindas? Apakah kalian mengetahui bahwa boikot yang dilakukan oleh Carter akan menyebabkan 50 juta orang kelaparan akan meninggal? Apakah Paus mengetahui ini dan kemudian mengutuk kami?
Apakah berita buruk yang sampai padanya? Kalau sampai maka celakalah kami, celakalah orang orang Nasrani, celakalah ruhaniawan Nasrani, tapi kalau tak sampai maka celakalah Vatikan. Apakah Vatikan menjadi pengikut adikuasa dan kedholiman dan menerima keadaan ini? Apakah kezaliman yang dilakukan oleh orang yang mengaku pengikut nabi Isa ini sesuai dengan ajaran nabi Isa? Kezaliman yang dilakukan mereka ini harus dikatakan kepada siapa? Kepada siapa harus disampaikan? Apakah bukan kepada para ruhaniawan Nasrani? Apakah bukan kepada Paus?
Mengapa Diam Terhadap Kezaliman ?
Apakah suara kami sampai pada Paus ? Dibiarkan sampai? Kalau sampai tentulah akan ada reaksi darinya ? Kami berpandangan bahwa dia tidak akan membiarkan begitu saja orang yang tertindas, tentulah dia tidak akan bertindak bertentangan dengan ajaran nabi Isa ? Apakah dia tidak mengetahui orang orang tertindas didunia ini yang dilakukan oleh presiden Amerika, dari dulu sudah terjadi, semuanya dilakukan oleh presiden presiden Amerika ? Apakah dia tidak mengetahui kedholiman yang terjadi di Palestina, Libanon, Vietnam dan diberbagai belahan dunia ini ? Apakah hal ini sama sekali tidak sampai kehadapan Paus ? Apakah dia dipenjara atau tidak seorangpun dibenarkan berbicara dengannya ? Apakah dia mengetahui dan mengetahui permasalahan tapi duduk diam saja ? Apakah ini perintah nabi Isa ? Kenapa dia membiarkan semua ini terjadi, setiap penindasan yang dilakukan adikuasa dibiarkan saja dan setiap ketertindasan yang terjadipun dibiarkan berlalu ?
Kewajiban Paus
Nabi Isa adalah Nabi pembawa perdamaian yang hendak mendamaikan dunia, dan sekarang adalah hari raya perdamaian. Sekarang Anda mengetahui dimana pada waktu hari raya Perdamaian ini mereka sedang melaksanakan perang? Apakah Anda mempercayai kalau diantara presiden itu datang dan berdoa, apakah Anda mempercayai doa itu? Apakah Anda mengetahui bahwa koran-koran mereka menulis anti kami, radio dan tv mereka menyiarkan berita yang menentang kami? Apakah Anda mengetahui bahwa semua ini menentang kaum tertindas dan menguntungkan kaum penindas? Apakah Anda tidak memiliki kewajiban untuk melakukan propaganda mencegah ini? Apakah Paus tidak berkewajiban memberikan pencerahan kepada mereka yang berdiri menentang orang-orang tertindas?
Apakah Paus tidak memiliki kewajiban untuk melawan propaganda, langkah dan tindakan mereka? Maka, siapa yang memiliki kewajiban? Siapa yang bertanggung jawab dengan ajaran Masihi/Nasrani? Kapan ajaran Nabi Isa akan disampaikan? Apakah hanya ajaran untuk orang bawahan? Apakah hanya ajaran orang atas saja yang ada? Apakah ajaran Nabi Isa tidak perlu didapatkan?
Sudah banyak penderitaan, bukan hanya kalian, tidak juga saya, tapi masa ini saya menyampaikan derita satu bangsa yang lemah. Saya sampaikan kepada ruhaniawan Nasrani. Dengan perantara kalian agar pesan kami sampai pada rakyat Amerika, para ruhaniawan Amerika dan para ruhaniwan di seluruh dunia tentang ketertindasan dan juga ajaran nabi isa. Ajaran Nabi Isa sedang terdakwa sekarang, Nabi Isa dan juga ajarannya sekali. Paus pun juga tertuduh sekarang. Apakah masyarakat tidak berhak bertanya “kenapa”? Apakah tidak berhak bertanya; kenapa Paus mengutuk orang tertindas dan berfihak pada penindas? Sampaikan hal ini kepada semua masyarakat.
Mereka mepersiapkan rakyat Amerika untuk menentang kami di hari raya perdamaian ini. Presiden Amerika selalu berperan dalam melakukan penindasan dimanapun. Orang orang tertindas sangat menderita. Tapi dengan ini semua para ruhaniawan Nasrani diam saja. Kenapa harus diam? Kenapa harus tidak mengetahui ketertindasan? Kenapa ketika mengetahui ketertindasan kemudian hanya diam, paling tidak beri mereka hidayah?!. Apakah hidayah hanya terbatas di gereja? Apakah hidayah hanya untuk orang kelas bawah? Apakah hidayah untuk orang atas dulu? Para anbiya diutus untuk menentang kelompok atas dulu. Nabi Musa as untuk menentang Fir’aun.
Peringkat atas yang harus ditentang dan diberi hidayah. Maka tugas para ruhaniawan lah untuk memberikan hidayah kelas atas. Berilah hidayah presiden. Terimalah ajaran nabi Isa, terimalah pengikut nabi Isa. Terimalah ajaran Masihiyah, dan jangan biarkan ajaran Masihiyah terhapus. Jangan biarkan para ruhaniawan Nasrani dipandang masyarakat sebagai ruhani pendukung kaum penindas. Semoga Allah memberikan hidayahNya kepada mereka yang bertindak menentang ajaran samawi, yang menantang tuntuanan malakut !.
Ya Allah berilah kemenangan kaum tertindas dalam melawan kaum penindas. [IT]
2013-12-28 07:05:30 | |
Khutbah pencerahan.. khutbah untuk dunia yg tertindas dan penindas, terkhusus kpd ruhaniawan yg mebiarkan penindasan itu sendiri! |
2013-12-28 07:05:06 | |
Khutbah pencerahan.. khutbah untuk dunia yg tertindas dan penindas, terkhusus kpd ruhaniawan yg mebiarkan penindasan itu sendiri! |
Mitos dan Fakta seputar Umat dan Dunia Islam (1)
Islam Times-http://www.islamtimes.org/vdcft0d0vw6deya.,8iw.html
Yang jelas, Syiah dianut oleh bangsa dan suku-suku Arab jauh sebelum bangsa Iran memeluknya.
1. Mitos: Mayoritas Muslim bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Fakta: Mayoritas Muslim tidak menyadari dan tidak memiliki identitas kemazhaban seperti ini. Mayoritas mutlak dari 1,7 milyar Muslim hanya menyadari dirinya sebagai Muslim dan terikat dengan Islam tanpa embel-embel mazhab tertentu. Identitas itu dapat dirumuskan dalam dua kalimat syahadat: La Ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Inilah identitas yang mempersatukan mereka. Di luar dua kalimat syahadat itu, semua dapat berselisih, berbeda-beda penafsiran, tergantung latar belakang pemahaman, pendidikan, lingkungan dan lain sebagainya.
Labelisasi kemazhaban seperti Sunni atau Syiah dan label-label sektarian lain sebenarnya diberikan oleh penguasa yang berkedok agama untuk memecah-belah tubuh umat dan meraih keuntungan-keuntungan politik sesaat. Namun, dalam kenyataannya, label-label itu tidak dipahami dan tidak diakui oleh individu-individu umat Muslim sendiri sebagai penanda keislamaan seseorang.
Lebih dari itu, kategori mayoritas dan minoritas itu sendiri bersumber dari kepentingan politik dan tidak bersumber dari konsep Islam, kalau tidak mau dikatakan sebagai konsep yang tidak diakui dalam teks-teks Al-Qur\'an dan Sunnah.
Bahkan, Al-Qur\'an berulang kali menegaskan bahwa mayoritas penduduk bumi ini tersesat, tidak bersyukur, lalai dan sebagainya. Dalam al-Qur\'an, istilah mayoritas itu justru sering digunakan dalam konotasi yang negatif. Sebaliknya, beberapa ayat Al-Qur\'an memuji minoritas (kaum beriman) yang bersabar di jalan Allah, bersyukur dan akhirnya dapat mengalahkan mayoritas (yang tidak beriman) dengan izin Allah. Alasannya sederhana. Para nabi dan pengikut setia mereka selalu bermula sebagai minoritas yang ingin mengubah mayoritas yang bodoh dan kufur. Walhasil, istilah mayoritas-minoritas itu sama sekali asing dari sumber-sumber otentik ajaran Ilahi ini. Siapa saja yang suka menggunakannya, maka biasanya dia mempunyai motif politik. Tidak lebih dan tidak kurang.
2. Mitos: Syiah adalah minoritas dan Sunni adalah mayoritas Muslim di dunia dewasa ini.
Fakta: Kalau yang dimaksud Syiah kita batasi dalam definisi ajaran yang mengikuti dan mencintai Ahlul Bait Nabi, maka jelas kelompok ini menjadi mayoritas, itupun kalau kita terpaksa meladeni penggunaan dikotomi mayoritas-minoritas ini. Karena, secara objektif, sebagian terbesar umat Islam mencintai dan mengikuti Ahlul Bait Nabi dan menjunjung tinggi posisi mereka dalam soal-soal religius dan spiritual.
Demikian pula sebaliknya, kalau yang dimaksud dengan Sunni itu adalah kelompok yang meremehkan dan merendahkan kedudukan Ahlul Bait Nabi dengan berbagai alasan dan justifikasi sebagaimana yang dipercayai oleh kelompok Wahabi-Takfiri, maka jelas mereka merupakan minoritas ekstremis di kalangan umat Muslim.
Demikian pula, jika yang dimaksud dengan Syiah adalah sebagaimana yang dituduhkan oleh kelompok Salafi-Wahabi sebagai ajaran yang mengutuk dan mengkafirkan sahabat-sahabat Nabi, maka jelas Syiah dalam pengertian ini hanya dianut oleh segelintir ekstremis yang tersesat dari jalan Islam Ahlul Bait yang menjunjung tinggi prinsip rahmatan lil \'alamin.
Dengan demikian, sebagaimana yang diucapkan oleh Mufti Besar Suriah, Syaikh Badruddin Hassun, mayoritas Muslim itu Syiah dalam kecintaannya terhadap Ahlul Bait dan Sunni dalam kepatuhannya mengikuti metode para sahabat. Memakai pola pikir ini, maka hilanglah alasan di balik dikotomi yang sebenarnya memang lebih merupakan tipuan untuk memecah belah umat dari dalam.
3. Mitos: Rezim-rezim Arab seperti Arab Saudi, Bahrain dan Qatar bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Fakta: Seluruh pemimpin rezim-rezim petrodolar ini beraliran sekuler dan anti agama. Mereka sama sekali tidak terikat dengan syariah Islam dari mazhab mana pun juga. Buktinya, mereka menjalin hubungan yang terang-terangan dan terbuka dengan Amerika Serikat dan secara sembunyi-sembunyi dengan anak kesayangan AS, Israel, yang membantai ratusan ribu Muslim di Palestina, Afghanistan, Yaman, Somalia, Sudan, Mali, dan sebagainya. Mitos keberpihakan rezim-rezim Arab Teluk terhadap perjuangan Ahlus Sunnah itu ditebar semata-mata guna menipu rakyat di negara-negara mereka yang hidup dalam kemiskinan dan tanpa sedikit pun harga diri dan kemerdekaan. Selebihnya hanya bualan kosong tanpa makna.
4. Mitos: Arab Saudi adalah kerajaan yang menjunjung tinggi Islam.
Fakta: Dalam masa kekuasaan rezim Kerajaan Arab Saudi di Jazirah Arab selama 100 tahun terakhir, dua kota utama umat Muslim, Mekkah dan Madinah, telah mengalami perusakan yang massif. Laporan sejumlah media telah memverifikasi dugaan ini dengan bukti-bukti visual yang tak terbantahkan. Jika trend ini dibiarkan, dalam sepuluh tahun mendatang, sejarah Islam tidak akan lagi didukung oleh jejak-jejak historis dan arkeologis yang penting. Mekkah dan Madinah akan berganti wajah menjadi dua kota kosmopilitan yang kehilangan sakralitas dan historisitas.
Dekonstruksi atas situs-situs historis umat Islam yang dilakukan oleh rezim Arab Saudi ini mirip dengan kelakuan rezim zionis Israel terhadap situs-situs historis keagamaan milik Kristen dan Muslim di tanah suci Palestina. Motif kedua rezim itupun sama: menghilangkan jejak-jejak sakralitas dan historisitas kota-kota suci tersebut demi merekonstruksi pemahamaan agama yang sepenuhnya palsu demi melegitimasi dominasi mereka selanjutnya.
5. Mitos: Nahdhatul Ulama (NU) bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berakidah sesuai dengan ajaran-ajaran Abul Hasan Al-Asy\'ari.
Fakta: Sebagian besar tradisi NU seperti ziarah kubur, tahlil, peringatan 4 -7-40 hari setelah wafat seseorang atau haul tahunan, penghormatan terhadap ulama, tawasul, tabaruk, dan sebagainya merupakan tradisi-tradisi khas mazhab Ahlul Bait yang tidak terdapat dalam referensi-referensi kitab klasik Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebaliknya, ritus-ritus dan tradisi-tradisi tersebut terdedah secara rinci dalam kitab-kitab klasik Syiah seperti Makarim Al-Akhlaq, Mafatih Al-Jinan karya Abbas Al-Qummi, Al-Iqbal karya Al-Kaf\'ami, Al-Balad Al-Amin karya Sayyid Ibn Thawus dan sebagainya.
6. Mitos: Syiah adalah mazhab Islam yang terpengaruh dengan tradisi Persia dan Zoroastrianisme.
Fakta: Iran baru memeluk mazhab Syiah pada abad 15 Masehi di zaman Safawi. Sebelumnya, Iran adalah pusat perkembangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dapat dilihat dari fakta sebagian besar kitab rujukan milik Ahlus Sunnah saat ini merupakan karya-karya ulama Sunni berdarah Persia, seperti Shahih Bukhori dan sebagainya. Bahkan, Syiah semula merupakan mazhab resmi Mesir di era Daulah Fathimiyyah yang berhasil membangun pusat kota Kairo dan Universitas Al-Azhar.
7. Mitos: Mazhab Syiah yang dijadikan sebagai mazhab resmi Dinasti Safawi merupakan reaksi dendam atas penaklukan Muslim Arab atas Persia.
Fakta: Dinasti Safawi sebenarnya bukan didirikan oleh elit berdarah Persia melainkan oleh sekelompok keluarga yang memiliki darah Turki Azeri. Oleh karena itu, pusat kerajaan Safawi dimulai dari Ardabil yang memiliki banyak percampuran etnik Turki-Azeri dan Kurdi. Sebaliknya, penganut Syiah paling awal adalah kelompok Arab Irak yang bertempat di Kufah, Irak dan sebagian lain berada di wilayah Bahrain (hingga kini mayoritas penduduknya bermazhab Syiah), Yaman (hingga kini mayoritas penduduk Yaman Utara bermazhab Syiah Zaidiyyah), Mesir (cikal-bakal dinasti Fathimiyah), dan sebagainya. Yang jelas, Syiah dianut oleh bangsa dan suku-suku Arab jauh sebelum bangsa Iran memeluknya. [IT/MK]
2013-11-09 03:14:31 | |
Selamat memasuki Tahun 1435 H....!!!!! |
2013-10-15 07:52:27 | |
Selamat Hari Raya Iedul Adha...!!!!!!!! |
2013-06-25 06:51:16 | |
begitulah mereka2 itu sudah tdk pake otak malah sdh peke okol, perbedaan itu membuat kita bersatu bersaudara persis seperti dalam Alquran, mereka2 itu sudah cinta dunia |
2013-06-11 06:52:16 | |
memang susah memberikan pemahaman bagi umat,lebih2 dari penganut wahabi salafi takfiri,karena mereka mengekang akalnya yg SISA sedikit,karena akalnya yg banyak turun dilutut kebanyakan terguncang BOM dalam membantai kaum muslimin. |
2013-06-10 18:17:14 | yuki_gautama@yahoo.com |
Enlighment,,!!! Tp memang harus ada pembanding opini tersebut diatas |
2013-06-10 12:28:36 | |
Analisanya masuk akal,tp alangkah susahnya memberikan pemahaman kpd umat islam yg memang masih bodoh atau sengaja dibiarkan bodoh |
Mitos dan Fakta seputar Umat dan Dunia Islam (2)
Islam
Times-http://www.islamtimes.org/vdciwrar3t1ayz2.k8ct.html
Kesimpulannya, pemutarbalikan fakta soal siapa kawan dan siapa
lawan dalam politik biasanya bertujuan untuk menyembunyikan kawan dan
menyelamatkan lawan.
8. Mitos: Sektarianisme dan konflik-konflik sektarian telah merebak di seluruh Timur Tengah sejak zaman awal Islam.
Fakta: Konflik sektarian tidak pernah terjadi di tengah masyarakat Timur Tengah kecuali ketika ada konflik politik yang tidak diselesaikan secara politik. Para politisi yang mengatasnamakan agama kemudian menjadikan isu sektarian untuk memprovokasi dan memobilisasi massa demi tujuan-tujuan politik sekaligus menstigmatisasi musuh-musuh politiknya dengan label-label sektarian. Ini berlaku untuk para penguasa yang diidentifikasi sebagai Sunni maupun Syiah. Oleh karena itu, sepanjang masa, di hampir semua belahan dunia Islam, kita menyaksikan harmoni di antara sesama Muslim. Bahkan, secara historis, para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti Abu Hanifa dan Imam Malik belajar kepada Imam Ja'far Ash-Shodiq, imam keenam Syiah, dalam soal-soal agama. Interaksi ilmiah terus berlangsung secara damai sampai ada ambisi politik yang menyeret isu mazhab dalam pertarungan profan tersebut.
9. Mitos: Salafi-Wahabi adalah sama dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Fakta: Salafi Wahabi adalah ajaran asing dalam sejarah Islam, yang memiliki banyak kemiripan dengan ajaran Khawarij. Mereka sama sekali berbeda dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang kerap mengedepankan jalan tengah dan moderasi dalam berbagai prinsipnya. Ajaran Wahabi-Salafi yang berkedok sebagai mazhab Sunni terutama sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Imam Syafii yang dianut oleh mayoritas Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia. Anjuran untuk memuliakan keluarga Nabi (Ahlul Bait), melakukan tawasul, merayakan maulid, melakukan tahlil, ziarah kubur dan sebagainya dianggap sebagai syirik oleh Wahabi.
Oleh karena itu, aksi-aksi bom bunuh diri para penganut paham Wahabi-Takfiri telah menelan korban nyawa terbesar dari kalangan penganut Sunni ketimbang penganut mazhab Syiah. Contohnya dapat dilihat pada teror yang dilakukan di sejumlah negara yang tidak ada penganut mazhab Syiahnya seperti di Aljazair tahun 1992, Somalia, dan sebagainya. Taliban di Afghanistan dan Pakistan serta gerakan-gerakan ekstremis di Indonesia juga telah membunuh Muslim tanpa membedakan mazhab. Dalam banyak kasus, isu Syiah diangkat hanya sebagai pemicu untuk menakut-nakuti siapa saja yang berlawanan dengannya sekaligus untuk mengelabui aksi-aksi kekerasan mereka selanjutnya.
10. Mitos: Perlawanan (Iran-Suriah-Hizbullah) atas AS-Israel di Timteng itu untuk kemaslahatan AS-Israel, sedangkan hubungan diplomatik (Mesir-Turki) dengan AS-Israel itu adalah perlawanan.
Fakta: Sebelum Revolusi Islam tahun 1979, di saat AS masih mengangkangi Teluk Persia seutuhnya, Shah Reza Pahlewi memiliki hubungan mesra dengan Israel. Pada saat itu pula, segenap rezim Arab tunduk di bawah ketiak Shah dan membayar upeti untuk setiap tanker minyak yang melewati Teluk Persia. Dan pada saat itu sebenarnya Shah sudah mengaku dirinya sebagai penganut Syiah, sementara raja-raja Arab tidak pernah merasa menjadi pengayom Sunni dalam melawan Shah yang sangat membenci Arab tersebut. Di zaman ketundukan Iran pada AS itu, segalanya berjalan damai tanpa ketegangan sektarian seperti yang tergambar saat ini. Kedekatan dengan AS ketika itu tampaknya adalah kunci kedigdayaan Iran di mata rezim-rezim Wahabi Arab.
Namun, segalanya berubah sejak Revolusi Islam Iran meletus pada 1979. Tiba-tiba saja Irak berkoar soal nasionalisme Arab dalam melawan Persia, dan raja-raja Arab penghasil petrodolar itu bersekongkol ingin menghabisi Iran. Alasan mereka banyak. Di antaranya, Iran ingin mengekspor revolusi, Iran akan mensyiahkan Timur Tengah dan dunia Islam, dan alasan terakhir yang paling absurd ialah karena Iran bermain mata dengan Israel untuk melemahkan Islam dan Arab.
Alasan terakhir ini kini seperti mendapatkan pembenaran lantaran apa yang terjadi di Suriah. Apalagi kini juga tak henti-hentinya para ulama bayaran yang hidup dalam ketiak raja-raja korup terus mengumandangkan ujaran-ujaran kebencian terhadap Iran dan komunitas Syiah di Timur Tengah.
Tapi, lagi-lagi, benarkah demikian? Tentu jawabannya bagi sebagian besar yang mengerti seluk-beluk Timur Tengah sudah jelas. Tak perlu analisis dan argumentasi sepanjang ini. Namun, belakangan, pengulangan argumen ini di sejumlah media nasional dapat menyebabkan khalayak yang kurang wawasan menerima bualan itu sebagai kenyataan. Di bawah ini saya coba berikan beberapa penjelasan.
Pertama, sejak Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini telah menjadikan pembelaan terhadap Palestina dan perlawanan terhadap AS-Israel sebagai prinsip ideologisnya. Dua gerakan perlawanan rakyat Palestina, seperti Hamas dan Jihad Islam, mendapat dukungan logistik dari Iran di tengah boikot total dari seluruh rezim Arab. Dan untuk dukungannya ini, Iran harus membayar mahal.
Selain itu, Suriah sebagai satu-satunya negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel dan hingga kini belum meneken perjanjian damai dengan Israel juga mendapat dukungan penuh dari Iran. Dasar hubungan strategis Iran-Suriah ialah perlawanan terhadap Israel. Demikian pula hubungan trio Iran-Suriah-Hizbullah pun berlaku dalam kerangka melawan Israel dan hegemoni AS di Timur Tengah. Dan karena hubungan ini pula maka ketiganya terus digencet oleh seluruh kekuatan pro Zionis Israel dan AS, baik rezim-rezim Arab, Turki maupun kelompok-kelompok ekstremis Islam model Al-Qaedah.
Jadi, apa maksud sebenarnya dari pernyataan komentator-komentator di atas? Banyak, tapi sedikitnya ada lima motif di balik pemutarbalikan fakta ini. Masing-masing fakta ini sebenarnya saling memperkuat untuk ;
Pertama, pemutarbalikan fakta ini dihembuskan untuk mengaburkan kenyataan yang terang-benderang tentang ketundukan negara-negara Arab terhadap hegemoni dan kebijakan AS-Israel di Timur Tengah. Negara-negara yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pengayom mayoritas Muslim itu ingin menyatakan bahwa permusuhannya pada Iran dikarenakan Iran sebenarnya bermain mata dengan AS juga. Padahal, bukti-bukti kerjasama yang coba diungkap dari balik layar tersebut tidak pernah bisa dibandingkan dengan kenyataan terang-benderang hubungan mesra negara-negara Arab dan Turki dengan AS-Israel. Di sini misalnya kita bisa menyebutkan bahwa Turki adalah negara Muslim pertama yang mengakui eksistensi negara Israel.
Kedua, tujuan dimunculkannya rumor ini ialah menutup-nutupi kolaborasi negara-negara Arab plus Turki dengan rezim Zionis dalam menindas rakyat Palestina dan mengabaikan hak-hak asasi mereka dengan cara merontokkan eksistensi negara Suriah sebagai tulang-punggung poros perlawanan terhadap AS-Israel di kawasan Timur Tengah. Hancurnya Suriah bakal berujung dengan penghancuran paru-paru dukungan logistik Iran terhadap kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas dan Jihad Islam.
Ketiga, mencuatkan permusuhan di antara umat Islam untuk mengalihkan perhatian mereka dari musuh yang sebenarnya, yakni Israel dan AS. Menumbuhkan pertentangan dan permusuhan antara Iran dan mayoritas Muslim dunia merupakan tujuan puncak AS-Zionis bekalangan ini agar umat yang sudah tertindas ini makin tercabik-cabik dan saling menghabisi.
Keempat, memberi legitimasi ketundukan rezim Arab dan Turki dengan cara memunculkan isu adanya konflik sektarian di antara umat. Tentu saja ini sebuah kekeliruan besar, lantaran pada dasarnya semua konflik di Timur Tengah bersifat politik. Karena, dalam kenyataannya, ada orang Sunni yang pro Zionis sebagaimana Syiah yang pro Zionis demikian pula sebaliknya. Sebagai contoh, Okab Saqr, anggota Parlemen Lebanon yang bermazhab Syiah, kini menjadi pendukung utama kelompok-kelompok pemberontak Suriah yang konon berjuang melawan rezim Suriah yang bermazhab Syiah. Ayyad Alawi yang merupakan ketua fraksi oposisi di Parlemen Irak juga politisi bermazhab Syiah yang sangat memusuhi Iran dan berkawan dekat dengan AS dan rezim-rezim Arab lain.
Kelima, mencampuradukkan antara gerakan-gerakan Islam yang benar-benar anti AS dan Israel dengan gerakan-gerakan Islam palsu bentukan AS yang tidak pernah melawan AS, seperti Fath Al-Islam dan Jund Sham.
Kesimpulannya, pemutarbalikan fakta soal siapa kawan dan siapa lawan dalam politik biasanya bertujuan untuk menyembunyikan kawan dan menyelamatkan lawan. Siapa saja yang berupaya memutarbalikkan fakta tentang Iran tidak bisa dianggap sebagai bersikap polos, melainkan memiliki agenda politik untuk mengacaukan peta pertarungan yang sebenarnya.
Kondisi 'Mengerikan' Ariel Sharon Sebelum Kematian
Sabtu, 11 Januari 2014, 21:44 WIB
Komentar : 1
EPA/Nati Harnik http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/14/01/11/mz8rmf-kondisi-mengerikan-ariel-sharon-sebelum-kematian
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Mantan Perdana Menteri Israel, Ariel
Sharon, menghembuskan nafas terakhir pada Sabtu (11/1) waktu setempat
dalam usia 85 tahun.
Zeev Rotstein, direktur umum Sheba Medical Center di Tel Hashomer, sepekan lalu sudah memperkirakan Sharon kemungkinan akan meninggal dunia dalam beberapa hari ke depan. Kondisi medis Sharon membuat Rotstein berkesimpulan demikian.
Kondisi kesehatan mantan perdana menteri Ariel Sharon saat itu memang semakin memburuk. Hasil pemeriksaan laboratorium memperlihatkan tanda-tanda infeksi darah yang parah pada Sharon.
Sharon, yang telah mengalami koma selama delapan tahun, beberapa hari terakhir juga menderita gagal ginjal.
“Ia tak mungkin menjalani cuci darah mengingat risiko yang bisa ditimbulkan oleh prosedur tersebut terhadap kondisi kesehatannya yang sangat rentan,” jelas Rotstein saat itu seperti dilansir Haaretz.
Sharon sebelumnya juga telah mengalami kemerosotan fungsi sejumlah organ penting. Rotstein mengatakan itulah yang menjadi faktor penyulit bagi upaya perbaikan kesehatan Sharon.
“Kalau masalahnya hanya satu organ, maka akan lain ceritanya,'' katanya.
Zeev Rotstein, direktur umum Sheba Medical Center di Tel Hashomer, sepekan lalu sudah memperkirakan Sharon kemungkinan akan meninggal dunia dalam beberapa hari ke depan. Kondisi medis Sharon membuat Rotstein berkesimpulan demikian.
Kondisi kesehatan mantan perdana menteri Ariel Sharon saat itu memang semakin memburuk. Hasil pemeriksaan laboratorium memperlihatkan tanda-tanda infeksi darah yang parah pada Sharon.
Sharon, yang telah mengalami koma selama delapan tahun, beberapa hari terakhir juga menderita gagal ginjal.
“Ia tak mungkin menjalani cuci darah mengingat risiko yang bisa ditimbulkan oleh prosedur tersebut terhadap kondisi kesehatannya yang sangat rentan,” jelas Rotstein saat itu seperti dilansir Haaretz.
Sharon sebelumnya juga telah mengalami kemerosotan fungsi sejumlah organ penting. Rotstein mengatakan itulah yang menjadi faktor penyulit bagi upaya perbaikan kesehatan Sharon.
“Kalau masalahnya hanya satu organ, maka akan lain ceritanya,'' katanya.
Ariel Sharon 'Si Pembantai' Warga Palestina
Sabtu, 11 Januari 2014, 22:22 WIB
Komentar : 2
AP
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/14/01/11/mz8te8-ariel-sharon-si-pembantai-warga-palestina
Ariel Sharon, yang tutup usia Sabtu (11/1) waktu setempat, merupakan salah satu tokoh kontroversial. Ia tewas setelah, delapan tahun tak pernah sadarkan diri dan terus bertahan melawan penyakit yang dideritanya.
Sharon merupakan tokoh kesayangan sayap kanan Israel. Ia terkenal gigih memperjuangkan pemukiman Yahudi di wilayah yang diduduki Israel setelah perang Timur Tengah 1967.
Dunia Arab mencercanya karena dianggap mendalangi invasi tahun 1982 di Libanon. Saat itu Israel bersama sekutu membantai warga Palestina di dua kamp pengungsian di Libanon.
Sharon terpaksa mengundurkan diri sebagai menteri pertahanan setelah penyelidikan menemukan dirinya, secara tak langsung bertanggung jawab karena gagal mencegah pembantaian.
Kunjungan provokatifnya ke situs suci al-Haram al-Sharif dianggap memicu intifada kedua Palestina, pada September 2000.
Sharon menemukan popularitasnya kala menjabat sebagai perdana menteri pada 2001-2006. Sebagai pemimpin partai Likud, Sharon terpilih dua kali sebagai perdana menteri. Saat menjabat ia bersumpah untuk memulihkan keamanan Israel.
Sharon yang lahir di Kfar Malal, terkenal dengan suaranya yang berat dan menggelegar. Ia merupakan komandan dengan catatan legendaris di medan perang.
Lahir dari sebuah keluarga Yahudi Belarusia, ia bergabung dengan batalion pemuda paramiliter saat berusia 14 tahun. Kemudian ia bergabung dengan pasukan paramiliter bawah tanah, Haganah.
Sharon pertama mengalami stroke ringan pada Desember 2005. Sebelum akhirnya kembali mengalami perdarahan otak parah pada 4 Januari 2006, yang membuatnya koma hingga kematiannya.
Juru bicara pusat medis Sheba di Tel Avivi Shlomo Noy, menyatakan Sharon wafat setelah delapan tahun mengalami koma. "Ariel Sharon telah meninggal," katanya pada hari Sabtu.
Para pejabat sebelumnya mengumumkan pada pekan lalu, kondisi Sharon terus memburuk tajam. Sharon berada dalam kondisi serius, dan seluruh keluarganya telah berada di samping tempat tidur.
"Dia dianggap dalam keadaan kesadaran minimal, dengan pasang surut dalam kondisi medisnya. Komunikasi verbalnya pun minim," ujar Noy.
Meninggal dalam usia 85 tahun, Sharon meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak.n Gita Amanda
Ariel Sharon, yang tutup usia Sabtu (11/1) waktu setempat, merupakan salah satu tokoh kontroversial. Ia tewas setelah, delapan tahun tak pernah sadarkan diri dan terus bertahan melawan penyakit yang dideritanya.
Sharon merupakan tokoh kesayangan sayap kanan Israel. Ia terkenal gigih memperjuangkan pemukiman Yahudi di wilayah yang diduduki Israel setelah perang Timur Tengah 1967.
Dunia Arab mencercanya karena dianggap mendalangi invasi tahun 1982 di Libanon. Saat itu Israel bersama sekutu membantai warga Palestina di dua kamp pengungsian di Libanon.
Sharon terpaksa mengundurkan diri sebagai menteri pertahanan setelah penyelidikan menemukan dirinya, secara tak langsung bertanggung jawab karena gagal mencegah pembantaian.
Kunjungan provokatifnya ke situs suci al-Haram al-Sharif dianggap memicu intifada kedua Palestina, pada September 2000.
Sharon menemukan popularitasnya kala menjabat sebagai perdana menteri pada 2001-2006. Sebagai pemimpin partai Likud, Sharon terpilih dua kali sebagai perdana menteri. Saat menjabat ia bersumpah untuk memulihkan keamanan Israel.
Sharon yang lahir di Kfar Malal, terkenal dengan suaranya yang berat dan menggelegar. Ia merupakan komandan dengan catatan legendaris di medan perang.
Lahir dari sebuah keluarga Yahudi Belarusia, ia bergabung dengan batalion pemuda paramiliter saat berusia 14 tahun. Kemudian ia bergabung dengan pasukan paramiliter bawah tanah, Haganah.
Sharon pertama mengalami stroke ringan pada Desember 2005. Sebelum akhirnya kembali mengalami perdarahan otak parah pada 4 Januari 2006, yang membuatnya koma hingga kematiannya.
Juru bicara pusat medis Sheba di Tel Avivi Shlomo Noy, menyatakan Sharon wafat setelah delapan tahun mengalami koma. "Ariel Sharon telah meninggal," katanya pada hari Sabtu.
Para pejabat sebelumnya mengumumkan pada pekan lalu, kondisi Sharon terus memburuk tajam. Sharon berada dalam kondisi serius, dan seluruh keluarganya telah berada di samping tempat tidur.
"Dia dianggap dalam keadaan kesadaran minimal, dengan pasang surut dalam kondisi medisnya. Komunikasi verbalnya pun minim," ujar Noy.
Meninggal dalam usia 85 tahun, Sharon meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak.n Gita Amanda
Sabra-Shatila residents rejoice over Sharon's death
Abu Jamal still remembers when Lebanese militiamen allied to Israel
woke him and his family early one September morning more than three
decades ago and dragged them out into the street.
The gunmen forced him and other Palestinian refugees in the Sabra and
Shatila camps to line up, separated the men and women, and dragged
young men from the line to be killed. Abu Jamal's son, 19 at the time,
was among those they chose.
"He was in his last year of school," said Abu Jamal, who wears a
button with his son's picture on his sweater and asked that his full
name not be used. "He never saw his diploma."
Israeli troops did not intervene during the bloodshed, which went
down as one of the worst atrocities of Lebanon's 1975-90 civil war.
Ariel Sharon, who died on Saturday, was defense minister at the time and
many Palestinians in Sabra and Shatila still blame him for the
killings.
Over three days, beginning on September 16, 1982, around 2,000 men,
women and children were massacred in Sabra and Shatila on the southern
outskirts of Beirut.
Some 500 more simply vanished without a trace.
Israel had invaded Lebanon three months before, and the brutal
killings, the work of Israel's Lebanese Phalangist allies, were carried
out as Israeli troops surrounded the camps.
Perhaps unsurprisingly, survivors showed little sympathy when they
heard of the Israeli commander-cum-politician's passing after eight
years in a coma.
Sitting in her home down the street from where a memorial stands at
the site of a mass grave, 70-year-old Milany Boutrous Alha Bourje
recalled how her husband and son were shot dead that day. Sharon, she
said, deserved far worse than he got.
"May God send him deep into the earth," she said, black and white
photos of her slain family decorated with red artificial roses leaning
against the wall beside her.
"I wish he had suffered as we've suffered. Thirty-two years we've
been suffering. He was in his state for eight years, but I wished he'd
suffered for another 10."
Bourje, who appears in an iconic photograph of the 1982 massacre
crying out and waving her arms near a row of bodies, said she was no
more optimistic about the future now Sharon was dead.
"Nothing changes," she said. "The situation we are living in does not change."
A 1983 Israeli inquiry found Sharon bore "personal responsibility"
for not preventing the bloodshed, pushing him to resign as defense
minister. But less than two decades later he rose to lead his Likud
party and was elected prime minister.
"You want to know how I feel? I want to sing and play music, that is
how," said Umm Ali, a 65-year-old woman clad in black whose brother
Mohammed was killed in the massacre.
"I would have liked so much to stab him to death. He would have
suffered more," she said of Sharon, as she walked slowly, linking arms
with a young relative.
Shopkeeper Mirvat al-Amine said Sharon should have been put on trial but is confident that he will meet divine justice.
"Of course I am happy that he is dead. I would have liked to see him
go on trial before the entire world for his crimes but there is divine
justice and he cannot escape that.
"The tribunal of God is more severe than any court down here," she said.
Outside the shop Magida, aged 40, says she is still haunted by memories of the massacre.
She and her family had fled Shatila just before the killings after sensing that something was not right, she said.
They sought shelter in an adjacent park and waited.
They sought shelter in an adjacent park and waited.
"A neighbor joined us, her dress was covered in blood. She told us
that people were being massacred in the streets," said Magida.
"At first we could not believe it but later we began hearing screams, we heard people begging their assassins to spare them."
Palestinian refugees live in dire conditions in Lebanon, where many
are packed into overcrowded, impoverished "camps" which are really more
like urban slums of concrete buildings, pot-holed roads and tangled
wire.
Sabra and Shatila in Beirut are crowded neighborhoods of narrow
alleys where pictures of Yasser Arafat, Mahmoud Abbas and young men
killed in conflicts with Israel cover many walls.
Standing near a sign at the memorial reading "We will not forget,"
Youssef Hamzeh, born the year before Israel's 1948 colonization of
Palestine, echoed others in the camps when he said Sharon should have
been put on trial over the killings.
"As a witness to this person and from what I suffered from this
person, I say to hell with Sharon and to Sharon's supporters in the
Israeli leadership ... who still commit massacres," he said.
"It's not enough that Sharon died."
When Adnan al-Moqdad heard the news about Sharon, he went to the
cemetery in Sabra to pray for the soul of his mother and father, killed
in the massacre.
The Moqdads were Lebanese but like many impoverished families had their home in the sprawling camps.
"How can anyone forget the massacre," he asked "Sharon is
responsible. God is Great and he made him suffer to the end of his days
and he will make his suffer after his death."
(Reuters, AFP, Al-Akhbar)
Sabra and Shatila: Thirty Years On
On the 30th anniversary of the Sabra and Shatila massacre in
which hundreds of defenseless Palestinian refugees were slaughtered by
Lebanese right-wing militias under the cover of the Israeli military, Al-Akhbar publishes an account of the events by a Palestinian survivor who was a young boy when he witnessed the killings.
Sabra was bustling with life, even after three full months of death
and destruction brought about by the Israeli siege of Beirut. So was the
Shatila camp.
People had returned to their homes with a false sense of security.
Everyone, including my 13-year-old self, was deceived into thinking the
war was over.
Then came the news of the killing of “elected” president Bashir
Gemayel that shook us out of this delusion. A neighbor went out on his
balcony and shot a hail of bullets into the sky to celebrate.
My feelings were a mixture of outrage and panic. I was repulsed by
those who did not respect the sanctity of death and was simultaneously
worried that the assassination would usher in a new season of deaths.
The next day, Israeli warplanes clouded the Beirut skies again, flying lower than I had ever seen them before.
They flew low enough for me to easily see the Star of David on their hulls.
My father – who has since passed away – came home in the middle of
the day. I think my uncle had arrived earlier. They discussed rumors
about the Israeli army beginning to enter Beirut. In Sabra, where we
lived, there was still no sign of armies or battles.
My uncle said that a friend told him that he passed by Israeli
armored vehicles near the Sports City on his way from the nearby Fakhani
area.
But the smiles on the grownups’ faces suggested that we were not in
danger. We felt safe even after the family decided to move to the old
people’s home where my father worked as a nurse and pharmacist.
I do not remember any battles occurring nearby during the first day
in the shelter. All I can remember is the explosion of gas cylinders in
Sabra’s main square and the sound of sniper fire coming from the
vicinity of Shatila camp.
The sniper was kept busy with people pushing mannequins into his line of fire as we enjoyed the free show.
My room had a southern view facing Shatila. I could not make out what
was happening, but I could clearly hear the sounds of heavy military
vehicles and see the lights from the flares.
I would spend my time watching the shadows made by the window’s grill on the opposing wall each time a new one was fired.
One night, my father’s colleague arrived from “the camp,” which is
how residents referred to Shatila. We never heard Sabra being called a
“camp” until after the slaughter.
For its inhabitants, Sabra was just the name of a street that starts
at al-Dana petrol station in Tariq al-Jdideh, passing through Sabra
square, and terminating at the entrance of Shatila camp.
So, my father’s colleague arrived and some people began to make fun of him. Someone asked him in a loud voice to tell them how exactly he managed to cross over all the dead bodies in Shatila.
He turned around and left behind him the grinning faces. The grownups were smiling again, therefore, we were safe.
But the rumors kept multiplying and the news on the radio confirmed the gravity of the situation to all who refused to believe.
We decided to escape to the center of Beirut, especially after our
neighbor arrived with her children. She told us how they were being led
by gunmen to the Sports City stadium. But a landmine exploded and they
were able to flee amidst the confusion.
Then came the stories of blood and corpses and kidnapping. Some
people spoke about passing through Sabra over rivers of blood. They were
not exaggerating.
We were used to moving to my aunt’s every time it got dangerous in
our area. We piled into our neighbor’s truck and headed towards the
city. My older brother, Oussama, remained in the old people’s home with
my father.
We passed by the municipal stadium and reached the Cola bridge. The
street was eerily empty. I think my mother panicked and asked my
neighbor to stop.
We climbed out of the truck and walked through deserted streets. Our
distress grew as time passed and we did not see a single human being
outdoors. Usually, these are the most crowded streets in Beirut. But
that day, nobody dared to leave their homes.
We went back through Fakhani and the Arab University. Among the ruins of the campus, I saw them for the first time.
Ghosts, I thought. They were moving like spirits among the rubble. It
was as if they relished in the destruction. Standing tall and proud,
the buildings seems to have provoked them to bring more ruin to the
city.
My mother’s voice came as an alarm among the crowded images. Do not
stare at the soldiers, she warned, and told us to walk faster.
We were back at the old people’s home. The slaughter was over. But
the battles in Beirut were still raging. The radio reported that there
was still some pockets of resistance in the city. After a while, the
station went silent, an announcement of their defeat.
The last thing we heard the announcer say was an appeal to those who
were resisting to the end. And then three words, “they are here.”
We then thought the name “occupied Beirut” would become something
normal, like occupied Jerusalem or occupied Haifa. But the resistance
would not leave the occupiers alone.
The closest operation to where we were happened one night on Corniche
al-Mazraa. The sounds of bullets and shells brought back some of our
dignity that we had felt was robbed of us a few hours earlier.
One day, I was far from the old people’s home at my uncle’s house. I
do not recall why I decided to go to Sabra square, but I met a woman who
had just arrived from Tariq al-Jdideh.
She seemed as if it was her first time in Sabra. Anyway, she did not
live there. She was eager to know if the news about the massacres were
true.
I had heard the BBC describe it as an apocalypse, but I told her it
was not true. All these people died from sniper fire, I explained.
I do not know what she thought of me afterwards. Maybe she thought I was lying. But I do not care, her question irritated me.
For someone to come and tell you that you have been slaughtered was
not easy, especially if you are trying to convince yourself that it
could not happen. It is not pleasant for one’s street to carry the
stigma of such horror.
We were slaughtered, but our dignity and pride forbade us from
becoming subjects of pity. Maybe that is why I used to be relieved by
reports saying that the victims were no more than a few dozen and hated
officials who reported that the death toll reached three thousand. Maybe
I was ashamed. I apologize to that woman.
It seemed the occupation was becoming normalized. One of the soldiers
once asked my uncle’s wife in colloquial Arabic if she had any water.
I wished I had some poison to put in it, although I know I could never do something like that. The wish ushered in many fantasies of revenge. At night, I would plan brave commando operations and dream of destroying the Israeli army.
But the occupation did not remain for too long. Resistance operations
inflicted serious damage. Israel withdrew, leaving behind the stench of
death.
They withdrew but the terror would come back from time to time.
Rumors forced hundreds of people to flee their homes into Beirut.
The crowds joining the great escape betrayed a strange feeling that
“they” were coming, sometimes from the east, sometimes from the west.
Some said that the Lebanese army was spreading the rumors so as to be
able to enter the area and announce itself as the savior. When this
happened people threw rice at the soldiers in celebration.
The Italian troops were the main reason we felt safe. They were in
charge of guarding the camp and myths were created about their
dedication.
Some said they clashed with the Lebanese army to prevent them from
entering the camp. Others said they had told the Lebanese soldiers,
“here begins Palestine” and that they were not allowed into the camps.
On the third anniversary of the massacres, the blood of had not yet dried when the terror came back with all its ugliness.
It was the beginning of the devastating War of the Camps waged by
Syria’s proxy militias in Lebanon. A new war was added to the “events”
that the Lebanese like to call their national calamity. But that’s
another story.
Hasan Khiti left Lebanon for Germany after the War of the
Camps. He currently lives in Munster where he works as a chemicals
expert. He wrote this text in 2001.
Ariel Sharon, the "Butcher of Beirut," is Dead
Former Israeli Prime Minister Ariel Sharon, whose legacy
includes the killing of tens of thousands of Arabs over his six-decade
military and political career, is dead. He took his final breath on
Saturday afternoon at the age of 85 after lying comatose for eight years
following a stroke on January 4, 2006.
His death marks the end of a bullish Israeli leader who commanded the
respect of his subordinates, amassed loyal partisans, and struck fear
in the hearts of his enemies.
Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu said the Israeli people will "forever" cherish the memory of the former premier.
"His memory will forever be held in the heart of the nation," he
said, expressing "deep sorrow" at Sharon's death, calling him "a central
part in Israel's struggle for security."
"He was first and foremost a brave warrior and a great military
leader, one of the greatest in the Israel [Occupying] Forces," Netanyahu
said.
President Shimon Peres also expressed his grief.
"Arik (Ariel) was a brave soldier and a daring leader who loved his
nation and his nation loved him. He was one of Israel's great protectors
and most important architects, who knew no fear and certainly never
feared vision," he said in a statement. "He will be greatly missed."
Palestinian officials reacted to news of the Israeli leader's death,
calling him a war criminal who evaded justice in his lifetime.
"Sharon was a criminal, responsible for the assassination of
(Palestinian president Yasser) Arafat, and we would have hoped to see
him appear before the International Criminal Court as a war criminal,"
said Jibril Rajub, a senior official of the Fatah party.
Hamas, the Islamist party ruling the Gaza Strip, said Sharon's death
was a "historic moment," marking the "disappearance of a criminal whose
hands were covered with Palestinian blood."
Sarah Leah Whitson, Middle East director at Human Rights Watch, also regretted that Sharon never faced justice.
"His passing is another grim reminder that years of virtual impunity
for rights abuses have done nothing to bring Israeli-Palestinian peace
any closer. For the thousands of victims of abuses, Sharon's passing
without facing justice magnifies their tragedy," she said.
Social media users in the Middle East and across the world reacted to
the news of the death of the once terrorizing and widely abhorred
figure.
Natural Born Killer
Sharon began his military training in 1942 at the age of 14 before
joining the British Mandate’s Jewish police force in Palestine three
years later.
Simultaneously he partook in covert operations with the Haganah – the
British-allied Jewish militia behind killings, massacres, and acts of
sabotage against Palestinian targets that eventually led to the 1948
Arab-Israeli war and the Nakba.
In 1953 Sharon was chosen to head a new Israeli military formation
they called Unit 101. Under his command Israeli soldiers committed what
would become known as the Qibya massacre with the killing of dozens of
Palestinians, mostly women and children according to Israel’s own
historians.
That bloodbath, which saw families shot dead on their doorsteps as they tried to flee the invading forces who besieged their small West Bank village, was internationally condemned, drawing rebukes from the United States and the UN Security Council.
But Sharon’s merciless behavior was rewarded by his Zionist
chieftains. He quickly rose from the ranks, serving as a commander or
regime official in nearly every Israeli war and act of aggression until
the stroke that would eventually lead to his death.
He will forever be remembered in Lebanon as the “Butcher of Beirut”
for his role as defense minister in the 1982 invasion which killed an
estimated 20,000 people that year alone, the overwhelming majority of
them civilians.
Orchestrating the Sabra-Shatila Massacre
His most notorious crime during the 1982 siege of Beirut was the
Sabra-Shatila massacre, which left about 2,000 civilians dead. Human
rights activists and families of the victims have long called for Sharon
to face war crimes charges.
The three-day massacre was carried out from September 16 to 18 by
Phalangist militiamen who were ushered into the Palestinian refugee
camps by Israeli forces shortly after the expulsion of Palestinian
fighters from the Lebanese capital.
Footage and pictures from the massacre revealed the extent of the slaughter, with corpses of entire families horrifically strewn across streets and alleyways of the camps.
At the time, an internal Israeli investigation
into the massacre concluded that Sharon bore personal “responsibility
for ignoring the danger of bloodshed and revenge when he approved the
entry of the Phalangists into the camps.” He was forced to resign over
the killings, which drew global outrage. Even the reactionary regime of
then-US President Ronald Reagan expressed its “revulsion over the
murders.”
Sharon denied any wrongdoing in the slaughter, claiming he was
unaware that an extremist, sectarian Christian militia would harm
residents of the camps. But evidence has mounted since the initial
Israeli probe of the massacre, showing that Sharon, who was salivating
over the prospect of war prior to the 1982 invasion, had a plan to
“cleanse” West Beirut, which encompasses the camps.
Israeli transcripts of official meetings obtained by the New York Times last year quoted Sharon as telling US envoy Morris Draper on the first day of the massacre that thousands of “terrorists” had occupied the area.
Word quickly spread that the Phalangists were slaughtering camp
residents under Israel’s cover. When Draper demanded Israel remove its
forces, Sharon lashed out, insisting that the terrorists needed “mopping
up,” and advised the US diplomat to deny any involvement in the crimes
should they become public.
Provoking the Second Intifada
Sharon’s killing sprees in occupied Palestine were no more
restrained. He was universally acknowledged for having provoked the
second Palestinian intifada after visiting the site of Jerusalem’s
sacrosanct al-Aqsa Mosque in September 2000 under the protection of
hundreds of police.
Defiantly ignoring warnings that such a move would cause an uproar
among Palestinians, who had just marked the 18th anniversary of the
Sabra-Shatila massacre, Sharon marched on the compound, asserting his
“right” to visit the holy site revered by Muslims, Jews, and Christians
alike.
“The Temple Mount is in our hands and will remain in our hands,” he declared
at the site before outraged youths began hurling stones at police in
what officially marked a new uprising in which thousands of Palestinians
would lose their lives resisting occupation.
Dozens of Palestinians were shot dead in the first several days of a
mass movement Sharon ostensibly intended to provoke. Among them was
12-year-old Mohammed al-Durrah, who became a symbol of the second
intifada after his widely broadcasted killing reminded the world of the ruthless nature of Israeli occupation forces and their leaders.
Taking the Reigns
Sharon reached the prime minister’s office in March 2001, after which
he played a more direct role in steering the war he instigated with
Palestinians only months earlier. Sharon’s forces killed hundreds that
year, often using US-supplied Apache helicopters to rain death over
Palestinian villages as documented in an Amnesty International report.
Hundreds more were killed the next year across the West Bank. In
April 2002 the occupation laid siege to the Jenin refugee camp, claiming
the area was infested with suicide bombers. For 11 straight days
Israeli tanks, helicopters, and ground forces shelled, rocketed, and
sniped the camp and its residences in acts Human Rights Watch described
as serious violations of international law that amounted to war crimes.
The details of the Human Rights Watch investigation are consistent
with Sharon’s record of brutality. The report describes accounts of
soldiers firing indiscriminately into the camp, killing men, women, and
children alike. The siege destroyed around 350 buildings, leaving over
4,000 people homeless. In one case a 57-year-old crippled man was shot,
then run over with a tank while trying to flee in his wheelchair with a
white flag attached to it.
Many tributes have been written to the deceased tyrant that highlight
his final months as prime minister when he pulled occupation forces
from the Gaza Strip in 2005. They say he was a changed man who broke
away from his extreme-right impulses after having suddenly stumbled upon
a path of peace, only to have those plans interrupted by an unfortunate
act of God.
But those who bore witness to Sharon’s wars and massacres could never
submit to an apologist narrative that glosses over six decades of
relentless killing, dismissing his criminal behavior as having been
merely “controversial.” To the survivors of Sharon’s bloody rampages, he
was the unmistakable culprit responsible for the horrific deaths of
tens of thousands of Arabs, destroying families and shattering an untold
number of lives.
Comments
Submitted by Activist4Justice (not verified) on Sun, 2014-01-12 00:27.
I am no lover of the man that we in Lebanon are happy to know that
Ariel Sharon has finally died. But in highlighting one important factor
of Ariel Sharon’s life who we nick-named ‘The Butcher of Beirut’, is
that the killing results differs grossly between Sharon and Syria’s
Assad.
We know that Ariel Sharon killed all those that were his enemies, which was us Arabs. But one thing that remains totally clear is that Sharon never killed his own people.
On the other side of the equation, Syria’s Assad has done nothing but kill his own kind, and doing so with the total assistance of Hezbollah. So are we going to one day nick-name “Assad” ‘The Butcher of Syria’? That is something that we need to think about, as I now ask myself where will historians place Sharon? Will they put him alongside those war leaders that served their country against their enemies and looked upon him as a war hero? As that’s how I believe Sharon will be remembered by the majority of the world, which by comparison to Assad, the Syrian leader will solely be remembered as the murderer of innocent Syrians civilians, which to date is vast approaching the 150,000 number of people that have already died by his own hand.
We know that Ariel Sharon killed all those that were his enemies, which was us Arabs. But one thing that remains totally clear is that Sharon never killed his own people.
On the other side of the equation, Syria’s Assad has done nothing but kill his own kind, and doing so with the total assistance of Hezbollah. So are we going to one day nick-name “Assad” ‘The Butcher of Syria’? That is something that we need to think about, as I now ask myself where will historians place Sharon? Will they put him alongside those war leaders that served their country against their enemies and looked upon him as a war hero? As that’s how I believe Sharon will be remembered by the majority of the world, which by comparison to Assad, the Syrian leader will solely be remembered as the murderer of innocent Syrians civilians, which to date is vast approaching the 150,000 number of people that have already died by his own hand.
Submitted by AmazonRun (not verified) on Sat, 2014-01-11 22:44.
Hell is waiting for your stinking zionist soul. There's a special
wing in hell reserved for your likes. Your friends Bush, Netanyahu,
Hitler and the likes have earned your places and Satan cannot wait to
meet you all!!
Submitted by elmerfudzie (not verified) on Sat, 2014-01-11 18:23.
Sharon was a construction, carefully designed and promoted by the
Halliburton, Brown and Root, Boeing type corporate entities of this
world. They profit handsomely from blood and war and consist of a wide
collection of politicians, engineers, sales persons, religious leaders, a
real eclectic mix from lofty institutions of "learning" such as MIT and
Universities of California, to name a few. The rest of humanity, who do
all the fighting, dying and suffering, would love to throw a huge net
over these war mongers and bag them off to another planet. Sharon wasn't
in a coma for eight years, he was in a coma all his life. He never
understood or reasoned through the simplest of spiritual dilemmas; where
ever do those devils or D jinni go after men like Hitler perish? The
answer is easy for people familiar with spiritual writings-Lucifer chose
a few survivors of the holocaust, of course!, an outrageous but quite
predictable relocation. Sharon was a man who lived life by murder and
distrust, who took every opportunity to delete Faith from the equation
or what the humanists now mistakenly interpret as, soft power.
Faithlessness is the true sign of a heretic and atheist, this kind of
leadership should have been impossible to support for those scholars and
believers in the words of Torah and it was impossible for them! The
Lords wrath now approaches the soul of Sharon and suddenly, I pity the
man.
Submitted by glubb pasha (not verified) on Sat, 2014-01-11 17:13.
another pig bites the dust.
- reply
Details emerge of US role in Sabra-Shatila massacre
Israel duped the United Stated into believing that “thousands of terrorists” remained in west Beirut following the expulsion of Palestinian fighters 30 years ago, providing cover for the 1982 massacre in the Sabra and Shatila refugee camps, according to recently declassified Israeli documents.The documents include verbatim transcripts of meetings between US and Israeli officials before and during the three-day massacre led by the right-wing Lebanese Christian Phalange militia that left roughly 2,000 people dead, mostly children, women and elderly men.“[The transcripts] reveal that the Israelis misled American diplomats about events in Beirut and bullied them into accepting the spurious claim that thousands of “terrorists” were in the camps,” The New York Times, which obtained the documents, reported.“Most troubling, when the United States was in a position to exert strong diplomatic pressure on Israel that could have ended the atrocities, it failed to do so,” the newspaper added.The Palestinian fighters had previously been evacuated from Lebanon in a US-coordinated effort whereby they provided assurances to protect the camp's residents, which included both Palestinians and Lebanese.On 16 September 1982, the first day of the massacre, US envoy to the Middle East Morris Draper met with Israeli Defense Minister Ariel Sharon who justified Israel's occupation of west Beirut by claiming that “2,000 to 3,000 terrorists” remained in that part of the city.Draper, according to the documents, was furious to learn that Sharon wanted to allow the Christian militiamen into west Beirut to root out what he claimed were terrorists.Later that evening, word began to spread in Israel that a massacre was taking place in Sabra and Shatila.Israeli Deputy Prime Minister David Levy reportedly remarked: “I know what the meaning of revenge is for [the Phalanges], what kind of slaughter. Then no one will believe we went in to create order there, and we will bear the blame.”The following day, while the massacre continued, Draper, who had not yet learned that the Phalangists had entered the camp, met with high ranking Israeli officials including Foreign Minister Yitzhak Shamir.Shamir had known of the slaughter in the camp, but failed to inform the US diplomat.Sharon, also at the meeting, continued to insist that the “terrorists” in west Beirut needed “mopping up.”When Draper demanded that the Israeli forces immediately pull out of the area, Sharon responded with outrage: “I just don’t understand, what are you looking for? Do you want the terrorists to stay? Are you afraid that somebody will think that you were in collusion with us? Deny it. We denied it.”According to the transcripts, Draper continued to insist that the Israelis leave, but eventually backed off once they agreed to a “gradual withdrawal” to allow for the Lebanese Army to enter the city.The Israelis insisted, however, that they wait 48 hours before allowing the plan to take effect.Draper reminded the Israelis that the US had facilitated the departure of Palestinian fighters from Beirut in order to prevent Israelis from occupying west Beirut. “You should have stayed out,” Draper said at the meeting.The argument persisted, but it ultimately allowed Israel the cover it needed to allow the Christian fighters to continue its slaughter of the camp.By the next day, September 18, when details of the massacre had become widely known, US President Ronald Reagan expressed “outrage and revulsion over the murders.”US Secretary of State George Shults later admitted his country bore partial responsibility for the massacre since they “took the Israelis and Lebanese at their word.”(Al-Akhbar)Comments
Submitted by Anonymous (not verified) on Sun, 2012-09-23 07:42.cuando el pueblo norte americano intiende los enganios del aparthade sionista y la perudicacion a los intreses de ellos, sitermina la enfuencia del lope en us, despues poco tiempo israel druomba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar