MENGAPA PEMERINTAH TEGA NAIKKAN HARGA LPG?
Apa hubungannya harga LPG internasional dengan harga domestik?
LPG adalah produk yang sepenuhnya dieksploitasi dan diproduksi di dalam negeri. Jadi tidak ada hubungannya sama sekali. Beda misalnya jika LPG itu diimpor.
Tapi inilah alasan pemerintah (Pertamina adalah perusahaan milik pemerintah) menaikkan harga LPG 12 kg dari Rp 80 ribu/tabung menjadi Rp 120 ribu sampai Rp 130.000/tabung: karena harga pasar internasional LPG naik, maka LPG domestik harus dinaikan juga karena kalau tidak Pertamina merugi.
Lho, bukankah mustinya Pertamina justru mendapat "durian runtuh" dengan adanya kenaikan harga LPG internasional, karena biaya produksi tidak bertambah namun pendapatan justru meningkat drastis karena sebagian besar LPG Indonesia dijual ke luar negeri? "Durian runtuh" karena kenaikan harga minyak dunia di masa pemerintahan Orde Baru (1973) telah membawa keberkahan luar biasa berupa pembangunan yang sangat pesat. Namun "durian runtuh" dalam "orde reformasi" kok justru membawa kesengsaraan rakyat? Bukankah ini adalah kegilaan?
Saya sudah mengingatkan dalam blog ini sejak tahun 2009 yaitu setelah SBY memberikan pidato kemenangan pada pemilu tahun itu: bersiap-siaplah mengalami hal-hal yang buruk. Dan kenaikan harga LPG yang tidak masuk akal ini semakin membuktikan kebenaran peringatan itu setelah hal-hal "tidak masuk akal" lainnya seperti kenaikan harga BBM, TDL, skandal Bank Century, skandal Hambalang, spionase Australia, terorisme dan kejahatan narkoba yang tidak meredup meski pemerintah telah menggelontorkan Rp triliunan APBN yang didapatkan dari berhutang.
Lihatlah, bagaimana pemerintah telah memperlihatkan sebuah kontradiksi yang sangat mencolok. Setelah mempertunjukkan kesemena-menaannya dengan membunuhi warganya sendiri tanpa melalui proses hukum hanya karena sebuah dugaan kejahatan (terorisme) di Ciputat, pemerintah mengaku tidak bisa apa-apa untuk mencegah kenaikan harga LPG yang ditetapkan Pertamina.
"Pemerintah tidak mempunyai kewenangan untuk mengintervensi harga itu, kecuali yang disubsidi," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengomentari kenaikan harga LPG baru-baru ini.
Pernyataan Hatta sebenarnya mengindikasikan rencana jahat pemerintah selanjutnya, yaitu menaikkan harga LPG 3 kg yang dikomsumsi oleh masyarakat umum. Ia mulai dengan memunculkan istilah "subsidi LPG" yang merujuk pada LPG 3 kg (melon). Padahal di dalam LPG sama sekali tidak ada subsidi. Pertamina mengeksploitasi dan memproduksi langsung dari dalam bumi, tidak mengimpornya dari luar negeri. Harga jual LPG masih lebih besar dari harga produksi dan distribusinya, jadi sama sekali tidak ada subsidi, baik untuk LPG yang 3 kg maupun yang 12 kg.
Ini kalau kita masih menganggap difinisi subsidi sebagai "ongkos yang dikeluarkan untuk menutupi kerugian akibat harga jual yang lebih rendah dari biaya produksi". Atau pemerintah telah menentukan definisi sendiri tentang subsidi, yaitu peluang keuntungan yang hilang karena menerapkan harga jual yang lebih rendah dari harga internasional. Dan pastinya pemerintah telah menggunakan definisi baru ini untuk menaikkan harga LPG 12 kg. Jadi bersiap-siaplah menerima kenaikan harga LPG 3 kg, dan juga hal-hal yang lebih buruk lainnya selama para komprador asing masih bercokol di pemerintahan.
LPG adalah produk yang sepenuhnya dieksploitasi dan diproduksi di dalam negeri. Jadi tidak ada hubungannya sama sekali. Beda misalnya jika LPG itu diimpor.
Tapi inilah alasan pemerintah (Pertamina adalah perusahaan milik pemerintah) menaikkan harga LPG 12 kg dari Rp 80 ribu/tabung menjadi Rp 120 ribu sampai Rp 130.000/tabung: karena harga pasar internasional LPG naik, maka LPG domestik harus dinaikan juga karena kalau tidak Pertamina merugi.
Lho, bukankah mustinya Pertamina justru mendapat "durian runtuh" dengan adanya kenaikan harga LPG internasional, karena biaya produksi tidak bertambah namun pendapatan justru meningkat drastis karena sebagian besar LPG Indonesia dijual ke luar negeri? "Durian runtuh" karena kenaikan harga minyak dunia di masa pemerintahan Orde Baru (1973) telah membawa keberkahan luar biasa berupa pembangunan yang sangat pesat. Namun "durian runtuh" dalam "orde reformasi" kok justru membawa kesengsaraan rakyat? Bukankah ini adalah kegilaan?
Saya sudah mengingatkan dalam blog ini sejak tahun 2009 yaitu setelah SBY memberikan pidato kemenangan pada pemilu tahun itu: bersiap-siaplah mengalami hal-hal yang buruk. Dan kenaikan harga LPG yang tidak masuk akal ini semakin membuktikan kebenaran peringatan itu setelah hal-hal "tidak masuk akal" lainnya seperti kenaikan harga BBM, TDL, skandal Bank Century, skandal Hambalang, spionase Australia, terorisme dan kejahatan narkoba yang tidak meredup meski pemerintah telah menggelontorkan Rp triliunan APBN yang didapatkan dari berhutang.
Lihatlah, bagaimana pemerintah telah memperlihatkan sebuah kontradiksi yang sangat mencolok. Setelah mempertunjukkan kesemena-menaannya dengan membunuhi warganya sendiri tanpa melalui proses hukum hanya karena sebuah dugaan kejahatan (terorisme) di Ciputat, pemerintah mengaku tidak bisa apa-apa untuk mencegah kenaikan harga LPG yang ditetapkan Pertamina.
"Pemerintah tidak mempunyai kewenangan untuk mengintervensi harga itu, kecuali yang disubsidi," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengomentari kenaikan harga LPG baru-baru ini.
Pernyataan Hatta sebenarnya mengindikasikan rencana jahat pemerintah selanjutnya, yaitu menaikkan harga LPG 3 kg yang dikomsumsi oleh masyarakat umum. Ia mulai dengan memunculkan istilah "subsidi LPG" yang merujuk pada LPG 3 kg (melon). Padahal di dalam LPG sama sekali tidak ada subsidi. Pertamina mengeksploitasi dan memproduksi langsung dari dalam bumi, tidak mengimpornya dari luar negeri. Harga jual LPG masih lebih besar dari harga produksi dan distribusinya, jadi sama sekali tidak ada subsidi, baik untuk LPG yang 3 kg maupun yang 12 kg.
Ini kalau kita masih menganggap difinisi subsidi sebagai "ongkos yang dikeluarkan untuk menutupi kerugian akibat harga jual yang lebih rendah dari biaya produksi". Atau pemerintah telah menentukan definisi sendiri tentang subsidi, yaitu peluang keuntungan yang hilang karena menerapkan harga jual yang lebih rendah dari harga internasional. Dan pastinya pemerintah telah menggunakan definisi baru ini untuk menaikkan harga LPG 12 kg. Jadi bersiap-siaplah menerima kenaikan harga LPG 3 kg, dan juga hal-hal yang lebih buruk lainnya selama para komprador asing masih bercokol di pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar