News / Nasional
Yusril: Putusan MK soal Pemilu Serentak Sebabkan Kevakuman Hukum
Jumat, 24 Januari 2014 | 03:20 WIB
http://nasional.kompas.com/read/2014/01/24/0320388/Yusril.Putusan.MK.soal.Pemilu.Serentak.Sebabkan.Kevakuman.Hukum.
Baca juga
- Anas: Seandainya Saya SBY, Saya Antar Ibas ke KPK
- Adnan Buyung: Ibu Ani Bisa "Ngambek" kalau KPK Tak Tegas soal Ibas
- Muladi: Memiskinkan Koruptor, Bisa "Diketawain" Dunia
- Minta Dana THR ke Dirut Pertamina, Rudi Mengaku Diperintah Sekjen ESDM
- Alasan Chandra Hamzah Jadi Pengacara Tersangka Korupsi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra
berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi soal pemilu serentak menyebabkan
kevakuman hukum dalam pelaksanaan pemilu.
"Itu (kevakuman hukum) disebabkan Effendi Ghazali dan kawan-kawan tidak memberikan jalan keluar setelah pasal-pasal undang-undang Pilpres yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945," ujar Yusril dalam siaran pers yang diterima pada Kamis (23/1/2014).
Hal ini karena pengajuan permohonan yang diajukan Effendi Ghazali dan kawan-kawan tidak meminta secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.
Yusril yang dalam kasus berbeda mengajukan pula uji materi atas UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, mengatakan, dalam gugatannya dia meminta MK menafsirkan secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.
Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Adapun Pasal 22E UUD 1945 berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Menurut Yusril, jika MK menafsirkan maksud Pasal 6A Ayat (2) dengan parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum pileg, maka tak perlu lagi ada undang-undang untuk melaksanakannya.
"Kalau MK tafsirkan Pasal 22E Ayat (1) bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun berarti pileg dan pilpres disatukan, tak perlu mengubah UU untuk melaksanakannya. Maka, penyatuan pileg dan pilpres dapat dilaksanakan pada 2014 ini juga," papar Yusril.
Pemilu serentak
Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (23/1/2014), mengabulkan sebagian uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat Untuk Pemilu Serentak. Namun, putusan itu dinyatakan berlaku untuk Pemilu Presiden 2019.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/1/2014). Permohonan yang dikabulkan adalah untuk uji materi atas Pasal (3) Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112 UU 42 Tahun 2008.
Dalam amar putusan, majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut hanya berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya. Permohonan yang tidak dikabulkan adalah uji materi atas Pasal 9 UU 42 Tahun 2008 yang mengatur tentang besaran batas minimal perolehan suara partai politik untuk dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential treshold).
Mahkamah menyatakan pula bahwa putusan tidak dapat digunakan untuk Pemilu 2014 agar tak muncul ketidakpastian hukum. Dalam pertimbangan putusan, MK menilai tahapan Pemilu 2014 sudah memasuki tahap akhir. Bila seperti lazimnya putusan berlaku seketika setelah dibacakan, majelis menilai yang terjadi adalah terganggunya Pemilu 2014.
Langkah membatasi akibat hukum dari putusan ini, menurut majelis, juga sudah memiliki preseden alias putusan serupa di masa lalu. Karenanya, majelis menegaskan putusan ini baru berlaku segera setelah seluruh rangkaian tahapan Pemilu 2014 rampung.
Meskipun lima dari enam gugatan uji materi dikabulkan, di luar isu presidential treshold, majelis berpendapat pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 dengan segala akibat hukumnya, harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Putusan ditandatangani delapan hakim konstitusi, dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda yang disampaikan Maria Farida Indrati.
"Itu (kevakuman hukum) disebabkan Effendi Ghazali dan kawan-kawan tidak memberikan jalan keluar setelah pasal-pasal undang-undang Pilpres yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945," ujar Yusril dalam siaran pers yang diterima pada Kamis (23/1/2014).
Hal ini karena pengajuan permohonan yang diajukan Effendi Ghazali dan kawan-kawan tidak meminta secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.
Yusril yang dalam kasus berbeda mengajukan pula uji materi atas UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, mengatakan, dalam gugatannya dia meminta MK menafsirkan secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.
Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Adapun Pasal 22E UUD 1945 berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Menurut Yusril, jika MK menafsirkan maksud Pasal 6A Ayat (2) dengan parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum pileg, maka tak perlu lagi ada undang-undang untuk melaksanakannya.
"Kalau MK tafsirkan Pasal 22E Ayat (1) bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun berarti pileg dan pilpres disatukan, tak perlu mengubah UU untuk melaksanakannya. Maka, penyatuan pileg dan pilpres dapat dilaksanakan pada 2014 ini juga," papar Yusril.
Pemilu serentak
Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (23/1/2014), mengabulkan sebagian uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat Untuk Pemilu Serentak. Namun, putusan itu dinyatakan berlaku untuk Pemilu Presiden 2019.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/1/2014). Permohonan yang dikabulkan adalah untuk uji materi atas Pasal (3) Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112 UU 42 Tahun 2008.
Dalam amar putusan, majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut hanya berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya. Permohonan yang tidak dikabulkan adalah uji materi atas Pasal 9 UU 42 Tahun 2008 yang mengatur tentang besaran batas minimal perolehan suara partai politik untuk dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential treshold).
Mahkamah menyatakan pula bahwa putusan tidak dapat digunakan untuk Pemilu 2014 agar tak muncul ketidakpastian hukum. Dalam pertimbangan putusan, MK menilai tahapan Pemilu 2014 sudah memasuki tahap akhir. Bila seperti lazimnya putusan berlaku seketika setelah dibacakan, majelis menilai yang terjadi adalah terganggunya Pemilu 2014.
Langkah membatasi akibat hukum dari putusan ini, menurut majelis, juga sudah memiliki preseden alias putusan serupa di masa lalu. Karenanya, majelis menegaskan putusan ini baru berlaku segera setelah seluruh rangkaian tahapan Pemilu 2014 rampung.
Meskipun lima dari enam gugatan uji materi dikabulkan, di luar isu presidential treshold, majelis berpendapat pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 dengan segala akibat hukumnya, harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Putusan ditandatangani delapan hakim konstitusi, dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda yang disampaikan Maria Farida Indrati.
Yusril Ihza: Putusan MK Misterius, Pemilu 2014 Inkonstitusional
Jum'at, 24 Januari 2014 , 02:26:00 WIB
Laporan: Ade Mulyana
http://politik.rmol.co/read/2014/01/24/141127/Yusril-Ihza:-Putusan-MK-Misterius,-Pemilu-2014-Inkonstitusional-
RMOL. Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pileg dan Pilpres yang dilakukan
serentak tahun 2019 mengusik nalar hukum pakar hukum tata negara Prof.
Yusril Ihza Mahendra. Bagi Yusril, putusan MK tersebut blunder dan
sangat misterius.
Di satu sisi MK menyatakan beberapa pasal dalam UU Pilpres bertentangan dengan UUD 45 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Tetapi di sisi lain, MK di dalam putusannya menyatakan pemilu serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019.
"MK tahu putusan MK berlaku seketika setelah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Kalau putusan itu berlaku seketika namun baru berlaku di Pemilu 2019 dan seterusnya, maka Pemilu 2014 dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pemilu yang inkonstitusional," ujar Yusril dalam akun Twitter miliknya, @Yusrilihza_Mhd, jelang dinihari tadi.
Karena pelaksanaan Pemilu 2014 menggunakan pasal-pasal UU yang inkonstitusional, kata Yusril, maka hasil pemilunya juga inkonstitusional. Konsekuensinya, DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wapres terpilih dalam Pileg dan Pilpres 2014 juga inkonstitusional.
Pertimbangan putusan MK yang menyatakan Pileg dan Pilpres 2014 sah dengan merujuk pada putusan-putusan yang diambil MK sebelumnya yang nyata-nyata salah, juga mengganggu nalar hukum Yusril. Bagi Yusril, pertimbangan MK tersebut hanya untuk menutupi inkonstitusionalitas putusannya.
"Saya justru mempertanyakan apakah benar semua hakim MK itu 'negarawan yang memahami konstitusi' seperti dikatakan oleh UUD 45? Jawaban saya 'entahlah'. Kenyataannya seperti itulah MK," tutur Yusril.
Bagi Yusril, putusan MK atas uji materi UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak ini benar-benar misteri. Putusan tersebut telah diambil setahun lalu tapi baru dibacakan kemarin. Tidak hanya itu, tiga hakim yang memutusnya sudah berganti. Mahfud MD, Akil Mochtar dan Ahmad Sodiki yang memutus perkaranya sekarang sudah tidak menjadi hakim MK lagi.
"Pembacaan putusan seperti itu aneh bin ajaib. Harusnya MK sekarang musyawarah lagi, siapa tahu tiga hakim baru pendapatnya beda," imbuh Yusril.
Yusril melihat MK nampak seperti dipaksa-paksa untuk membacakan putusan permohonan Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Dia mengira putusan tersebut dibacakan untuk menjegal permohonan uji materi UU Pilpres yang disampaikannya belakangan.
Yusril sendiri menguji Pasal 14 Ayat 2 dan Pasal 112 UU Pilpres terhadap Pasal 6A Ayat 2 dan Pasal 22E UUD 1945. Yusril dalam pemohonanya meminta agar pelaksanaan pilpres bersamaan dengan pileg. Menurut Yusril, jika pilpres digelar setelah pileg seperti diatur dalam UU Pilpres, maka 12 parpol peserta Pemilu 2014 disebut parpol mantan peserta pemilu. Padahal dalam UUD disebutkan pengusung capres-cawapres adalah parpol atau gabungan parpol peserta pemilu.
Yusril dalam permohonanya juga meminta semua parpol peserta pemilu bisa mengusung pasangan capres-cawapres. Jika tuntutan Yusril dikabulkan, maka tidak berlaku lagi batas presidential threshold.
"Dengan dibacakan putusan Effendi Ghazali dan kawan-kawan, maka permohonan saya seolah kehilangan relevansi untuk disidangkan," demikian Yusril.[dem]
Di satu sisi MK menyatakan beberapa pasal dalam UU Pilpres bertentangan dengan UUD 45 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Tetapi di sisi lain, MK di dalam putusannya menyatakan pemilu serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019.
"MK tahu putusan MK berlaku seketika setelah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Kalau putusan itu berlaku seketika namun baru berlaku di Pemilu 2019 dan seterusnya, maka Pemilu 2014 dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pemilu yang inkonstitusional," ujar Yusril dalam akun Twitter miliknya, @Yusrilihza_Mhd, jelang dinihari tadi.
Karena pelaksanaan Pemilu 2014 menggunakan pasal-pasal UU yang inkonstitusional, kata Yusril, maka hasil pemilunya juga inkonstitusional. Konsekuensinya, DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wapres terpilih dalam Pileg dan Pilpres 2014 juga inkonstitusional.
Pertimbangan putusan MK yang menyatakan Pileg dan Pilpres 2014 sah dengan merujuk pada putusan-putusan yang diambil MK sebelumnya yang nyata-nyata salah, juga mengganggu nalar hukum Yusril. Bagi Yusril, pertimbangan MK tersebut hanya untuk menutupi inkonstitusionalitas putusannya.
"Saya justru mempertanyakan apakah benar semua hakim MK itu 'negarawan yang memahami konstitusi' seperti dikatakan oleh UUD 45? Jawaban saya 'entahlah'. Kenyataannya seperti itulah MK," tutur Yusril.
Bagi Yusril, putusan MK atas uji materi UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak ini benar-benar misteri. Putusan tersebut telah diambil setahun lalu tapi baru dibacakan kemarin. Tidak hanya itu, tiga hakim yang memutusnya sudah berganti. Mahfud MD, Akil Mochtar dan Ahmad Sodiki yang memutus perkaranya sekarang sudah tidak menjadi hakim MK lagi.
"Pembacaan putusan seperti itu aneh bin ajaib. Harusnya MK sekarang musyawarah lagi, siapa tahu tiga hakim baru pendapatnya beda," imbuh Yusril.
Yusril melihat MK nampak seperti dipaksa-paksa untuk membacakan putusan permohonan Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Dia mengira putusan tersebut dibacakan untuk menjegal permohonan uji materi UU Pilpres yang disampaikannya belakangan.
Yusril sendiri menguji Pasal 14 Ayat 2 dan Pasal 112 UU Pilpres terhadap Pasal 6A Ayat 2 dan Pasal 22E UUD 1945. Yusril dalam pemohonanya meminta agar pelaksanaan pilpres bersamaan dengan pileg. Menurut Yusril, jika pilpres digelar setelah pileg seperti diatur dalam UU Pilpres, maka 12 parpol peserta Pemilu 2014 disebut parpol mantan peserta pemilu. Padahal dalam UUD disebutkan pengusung capres-cawapres adalah parpol atau gabungan parpol peserta pemilu.
Yusril dalam permohonanya juga meminta semua parpol peserta pemilu bisa mengusung pasangan capres-cawapres. Jika tuntutan Yusril dikabulkan, maka tidak berlaku lagi batas presidential threshold.
"Dengan dibacakan putusan Effendi Ghazali dan kawan-kawan, maka permohonan saya seolah kehilangan relevansi untuk disidangkan," demikian Yusril.[dem]
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar