SELAMAT MENJELANG PERANG SAUDARA JILID 2 LEBANON!
http://cahyono-adi.blogspot.com/2014/01/selamat-menjelang-perang-saudara-jilid.html#.Usb9vPteFkg
"Pembunuhan Shatah juga membuka pintu bagi pembunuhan-pembunuhan,
bentrokan-bentrokan dan ledakan-ledakan bom berikutnya. Sangat jelas ada
rencana untuk mengubah Lebanon menjadi arena konflik regional dan
internasional yang tidak terselesaikan di Syria".
Demikian tulisan di media Lebanon Al Akhbar tgl 30 Desember 2013 tentang pemboman yang menewaskan mantan menteri keuangan Mohammad Shatah di Beirut, 27 Desember lalu. Kondisi sebenarnya yang terjadi tidak jauh dari kekhawatiran tersebut.
Media-media Lebanon, terutama dari blok "Perlawanan" yang pro Hizbollah dan anti-Israel/Saudi/Amerika/Perancis, telah "mengingatkan" bahaya yang ditimbulkan oleh adanya kesepakatan antara Raja Saudi, Presiden Perancis dan Presiden Lebanon pemberian bantuan senjata kepada militer Lebanon yang tujuan sebenarnya adalah untuk digunakan menyerang Hizbollah. Pada saat yang bersamaan Presiden Lebanon Michael Suleiman juga siap melaksanakan kebijakan provokatif, yaitu membentuk pemerintahan tanpa partisipasi Hizbollah, yang hampir bisa dipastikan akan memicu perang saudara antara kubu "Perlawanan" melawan kubu "anti-Perlawanan". Itu semua terkait dengan Deklarasi Tripoli November lalu yang dikeluarkan oleh blok anti-Hizbollah, yang menyerukan boikot politik terhadap Hizbollah.
Ya, sebuah plot memang tengah dirancang untuk menghancurkan Hizbollah sebagai balasan atas keterlibatannya dalam konflik Syria sehingga menggagalkan "proyek Syria". Dan sampai sejauh ini Suleiman telah menunjukkan konsistensinya dengan rencana tersebut. Plot yang dipimpin Saudi ini memperkirakan Hizbollah akan kerepotan harus berperang di 3 front sekaligus: Israel, Syria dan Lebanon, sehingga terpaksa akan menarik pasukannya dari Syria. Dan pembunuhan Shatah menjadi amunisi baru untuk memojokkan Hizbollah.
"Hidup Saudi!"
Kata Suleiman dalam pernyataannya tentang peran Saudi untuk "memperkuat" militer Lebanon dengan bantuan senilai $3 miliar yang senjatanya disediakan Perancis, di kantornya, Minggu (29/12). Ia bahkan tidak menyinggung peristiwa penyerangan terhadap Mufti Besar Lebanon yang terjadi hanya beberapa jam sebelumnya. Lihatlah bagaimana $3 miliar bisa membuat seorang Kristen yang ta'at seperti Suleiman bisa menggadaikan keyakinannya dengan membela regim yang telah menupahkan darah ribuan orang Kristen Syria dan kini tengah mengalihkan ancamannya ke Lebanon dengan pasukan terorisnya. Padahal selama ini ia telah cukup bijaksana dengan mengambil jalan netral, termasuk ketika masih menjabat sebagai panglima tentara Lebanon.
Sejauh ini Hizbollah telah menunjukkan kesabaran yang tinggi menghadapi berbagai provokasi yang yang dilakukan lawan-lawan politiknya. Meski beberapa kali mendapat serangan bom dan mengetahui pelakunya adalah para ekstremis yang mendapat perlindungan politik dari Saudi dan lawan-lawan politiknya, Hizbollah tidak pernah menunjuk hidung negara tertentu atau kelompok politik tertentu. Hizbollah hanya menyebut Israel dan para teroris takfiri. Sebaliknya ketika terjadi pembunuhan terhadap Shatah, lawan-lawan politik Hizbollah, khususnya para pejabat partai Al Muqtabal dimana Shatah menjadi salah satu tokohnya, langsung menuding Hizbollah.
Namun kesabaran tentu ada batasnya, dan pemimpin Hizbollah Sayyed Hasan Nasrallah telah mengingatkannya. Menanggapi Deklarasi Tripoli dan rencana pembentukan pemerintahan tanpa keterlibatan Hizbollah, Nasrallah mengatakan bahwa keterlibatan Hizbollah di Syria tidak bisa ditukar dengan apapun, termasuk kekuasaan. Selanjutnya ia mengingatkan lawan-lawan politiknya untuk tidak "bermain-main dengan api".
Peringatan Hizbollah ini tentu saja merujuk pada pengalaman tahun 2008 lalu, ketika lawan-lawan politik Hizbollah yang dipimpin perdana menteri kala itu, Fuad Siniora, berusaha merampas salah satu kekuatan Hizbollah yaitu jaringan komunikasi independennya. Kala itupun Saudi berada di belakang langkah tersebut dan telah menggelontorkan dana ratusan juta dollar membentuk milisi-milisi bersenjata lengkap yang siap mendukung Fuad Siniora menghadapi Hizbollah. Namun Hizbollah yang sangat profesional tetap tidak tertandingi milisi-milisi "amatiran" bentukan Saudi. Dalam satu operasi singkat, milisi-milisi tersebut bertekuk lutut dan Fuad Siniora pun terkepung di istananya.
“Yang mencegah kami dari menyerbu Grand Serail (istana perdana menteri) kala itu adalah karena adanya pembicaraan telepon antara Ali Larijani (ketua parlemen Iran) dan Bandar bin Sultan (kepala inteligen Saudi). Kali ini komunikasi itu sudah tidak ada lagi dan tak seorang pun bisa mencegah kami untuk melindungi hak-hak kami,” kata seorang politisi pro-Hizbollah.
Hanya saja kali ini bagi Hizbollah dan sekutu-sekutunya, situasinya tentu tidak semudah tahun 2008. Karena kala itu lawan-lawan politik Hizbollah tidak mendapat dukungan presiden dan militer Lebanon yang memilih netral.
Namun juga ada perbedaan lain dengan konflik tahun 2008, yaitu keterlibatan Walid Jumblatt, pemimpin kelompok Druze. Pada tahun 2008 ia adalah salah satu fihak yang merasakan pukulan Hizbollah dan sempat terkepung di kediamannya. Namun saat ini, ia justru bergabung dengan Hizbollah. Setelah gagal membujuk Presiden Suleiman dan PM Tamam Salam untuk menghentikan langkahnya terhadap Hizbollah, ia pun meyakinkan Hizbollah dan Ketua Parlemen Nabih Berri (pimpinan kelompok Amal sekutu Hizbollah) bahwa ia berada di pihak Hizbollah.
Perang kini tengah menghantui rakyat Lebanon. Akankah perang saudara jilid II kembali akan terulang? Perang saudara jilid I tidak merujuk pada konflik tahun 2008, melainkan konflik berkepanjangan yang berlangsung antara tahun 1970-an hingga 1990-an yang melibatkan tidak saja semua kekuatan politik di Lebanon, melainkan juga kekuatan-kekuatan asing: Israel, Amerika, Saudi, dan Perancis di satu kubu, dan Syria, Palestina serta Iran di kubu lainnya.
Perang saudara di Lebanon adalah sebuah kehancuran yang luar biasa. Lebanon, negara kecil dengan penduduk kurang dari 5 juta harus menjadi medan pertempuran kekuatan-kekuatan regional dan internasional. Dalam perang saudara pertama bisa disaksikan bagaimana kapal-kapal tempur Amerika, dipimpin kapal tempur raksasa USS New Jersey (bisa disaksikan kehebatannya dalam film Hollywood yang dibintangi aktor Steven Siegel "Under Siege") melakukan pemboman besar-besaran terhadap posisi-posisi kelompok Druze dan Shiah, yang dibalas dengan pemboman terhadap markas marinir Amerika dan Perancis yang menewaskan ratusan personil militer kedua negara dan memaksa keduanya hengkang dari Lebanon.
Demikian tulisan di media Lebanon Al Akhbar tgl 30 Desember 2013 tentang pemboman yang menewaskan mantan menteri keuangan Mohammad Shatah di Beirut, 27 Desember lalu. Kondisi sebenarnya yang terjadi tidak jauh dari kekhawatiran tersebut.
Media-media Lebanon, terutama dari blok "Perlawanan" yang pro Hizbollah dan anti-Israel/Saudi/Amerika/Perancis, telah "mengingatkan" bahaya yang ditimbulkan oleh adanya kesepakatan antara Raja Saudi, Presiden Perancis dan Presiden Lebanon pemberian bantuan senjata kepada militer Lebanon yang tujuan sebenarnya adalah untuk digunakan menyerang Hizbollah. Pada saat yang bersamaan Presiden Lebanon Michael Suleiman juga siap melaksanakan kebijakan provokatif, yaitu membentuk pemerintahan tanpa partisipasi Hizbollah, yang hampir bisa dipastikan akan memicu perang saudara antara kubu "Perlawanan" melawan kubu "anti-Perlawanan". Itu semua terkait dengan Deklarasi Tripoli November lalu yang dikeluarkan oleh blok anti-Hizbollah, yang menyerukan boikot politik terhadap Hizbollah.
Ya, sebuah plot memang tengah dirancang untuk menghancurkan Hizbollah sebagai balasan atas keterlibatannya dalam konflik Syria sehingga menggagalkan "proyek Syria". Dan sampai sejauh ini Suleiman telah menunjukkan konsistensinya dengan rencana tersebut. Plot yang dipimpin Saudi ini memperkirakan Hizbollah akan kerepotan harus berperang di 3 front sekaligus: Israel, Syria dan Lebanon, sehingga terpaksa akan menarik pasukannya dari Syria. Dan pembunuhan Shatah menjadi amunisi baru untuk memojokkan Hizbollah.
"Hidup Saudi!"
Kata Suleiman dalam pernyataannya tentang peran Saudi untuk "memperkuat" militer Lebanon dengan bantuan senilai $3 miliar yang senjatanya disediakan Perancis, di kantornya, Minggu (29/12). Ia bahkan tidak menyinggung peristiwa penyerangan terhadap Mufti Besar Lebanon yang terjadi hanya beberapa jam sebelumnya. Lihatlah bagaimana $3 miliar bisa membuat seorang Kristen yang ta'at seperti Suleiman bisa menggadaikan keyakinannya dengan membela regim yang telah menupahkan darah ribuan orang Kristen Syria dan kini tengah mengalihkan ancamannya ke Lebanon dengan pasukan terorisnya. Padahal selama ini ia telah cukup bijaksana dengan mengambil jalan netral, termasuk ketika masih menjabat sebagai panglima tentara Lebanon.
Sejauh ini Hizbollah telah menunjukkan kesabaran yang tinggi menghadapi berbagai provokasi yang yang dilakukan lawan-lawan politiknya. Meski beberapa kali mendapat serangan bom dan mengetahui pelakunya adalah para ekstremis yang mendapat perlindungan politik dari Saudi dan lawan-lawan politiknya, Hizbollah tidak pernah menunjuk hidung negara tertentu atau kelompok politik tertentu. Hizbollah hanya menyebut Israel dan para teroris takfiri. Sebaliknya ketika terjadi pembunuhan terhadap Shatah, lawan-lawan politik Hizbollah, khususnya para pejabat partai Al Muqtabal dimana Shatah menjadi salah satu tokohnya, langsung menuding Hizbollah.
Namun kesabaran tentu ada batasnya, dan pemimpin Hizbollah Sayyed Hasan Nasrallah telah mengingatkannya. Menanggapi Deklarasi Tripoli dan rencana pembentukan pemerintahan tanpa keterlibatan Hizbollah, Nasrallah mengatakan bahwa keterlibatan Hizbollah di Syria tidak bisa ditukar dengan apapun, termasuk kekuasaan. Selanjutnya ia mengingatkan lawan-lawan politiknya untuk tidak "bermain-main dengan api".
Peringatan Hizbollah ini tentu saja merujuk pada pengalaman tahun 2008 lalu, ketika lawan-lawan politik Hizbollah yang dipimpin perdana menteri kala itu, Fuad Siniora, berusaha merampas salah satu kekuatan Hizbollah yaitu jaringan komunikasi independennya. Kala itupun Saudi berada di belakang langkah tersebut dan telah menggelontorkan dana ratusan juta dollar membentuk milisi-milisi bersenjata lengkap yang siap mendukung Fuad Siniora menghadapi Hizbollah. Namun Hizbollah yang sangat profesional tetap tidak tertandingi milisi-milisi "amatiran" bentukan Saudi. Dalam satu operasi singkat, milisi-milisi tersebut bertekuk lutut dan Fuad Siniora pun terkepung di istananya.
“Yang mencegah kami dari menyerbu Grand Serail (istana perdana menteri) kala itu adalah karena adanya pembicaraan telepon antara Ali Larijani (ketua parlemen Iran) dan Bandar bin Sultan (kepala inteligen Saudi). Kali ini komunikasi itu sudah tidak ada lagi dan tak seorang pun bisa mencegah kami untuk melindungi hak-hak kami,” kata seorang politisi pro-Hizbollah.
Hanya saja kali ini bagi Hizbollah dan sekutu-sekutunya, situasinya tentu tidak semudah tahun 2008. Karena kala itu lawan-lawan politik Hizbollah tidak mendapat dukungan presiden dan militer Lebanon yang memilih netral.
Namun juga ada perbedaan lain dengan konflik tahun 2008, yaitu keterlibatan Walid Jumblatt, pemimpin kelompok Druze. Pada tahun 2008 ia adalah salah satu fihak yang merasakan pukulan Hizbollah dan sempat terkepung di kediamannya. Namun saat ini, ia justru bergabung dengan Hizbollah. Setelah gagal membujuk Presiden Suleiman dan PM Tamam Salam untuk menghentikan langkahnya terhadap Hizbollah, ia pun meyakinkan Hizbollah dan Ketua Parlemen Nabih Berri (pimpinan kelompok Amal sekutu Hizbollah) bahwa ia berada di pihak Hizbollah.
Perang kini tengah menghantui rakyat Lebanon. Akankah perang saudara jilid II kembali akan terulang? Perang saudara jilid I tidak merujuk pada konflik tahun 2008, melainkan konflik berkepanjangan yang berlangsung antara tahun 1970-an hingga 1990-an yang melibatkan tidak saja semua kekuatan politik di Lebanon, melainkan juga kekuatan-kekuatan asing: Israel, Amerika, Saudi, dan Perancis di satu kubu, dan Syria, Palestina serta Iran di kubu lainnya.
Perang saudara di Lebanon adalah sebuah kehancuran yang luar biasa. Lebanon, negara kecil dengan penduduk kurang dari 5 juta harus menjadi medan pertempuran kekuatan-kekuatan regional dan internasional. Dalam perang saudara pertama bisa disaksikan bagaimana kapal-kapal tempur Amerika, dipimpin kapal tempur raksasa USS New Jersey (bisa disaksikan kehebatannya dalam film Hollywood yang dibintangi aktor Steven Siegel "Under Siege") melakukan pemboman besar-besaran terhadap posisi-posisi kelompok Druze dan Shiah, yang dibalas dengan pemboman terhadap markas marinir Amerika dan Perancis yang menewaskan ratusan personil militer kedua negara dan memaksa keduanya hengkang dari Lebanon.
4 komentar:
-
michel suleiman senang melihat perang saudara di suriah,mungkn dia ber ke inginan di libanon jg dmikian.dasar presiden tolol.
-
Bantuan saudi kepada Libanon $3 miliar utk keperluan militer,
sesungguhnya hanya akan merugikan zionis saudi dan sebaliknya akan
menguntungkan Hizbullah. Hal tersebut karena pada sesungguhnya militer
libanon sendiri dalam pengawasan penuh Hizbullah.
-
ada perencanaan pembunuhan Hassan nasrullah
dalang pengeboman kedutaan iran di beirut ditangkap
Putin marah benar Bandar menunaikan janjinya...Bandar akan kena
-
semoga putin merata kan kerajaan saudi yg keturunan yahudi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar