Agenda Tersembunyi Tragedi Rohingya Myanmar
Nasib
Muslim Rohingnya semakin mengkhawatirkan. Di negaranya sendiri dianggap
sebagai illegal Citizens, dan di luar negara tidak diterima. Ribuan
orang Muslim Rohingya menjadi korban pembantaian. Tidak hanya itu,
presiden Myanmar, Thein Sein melontarkan pernyataan kontroversial
mengusir Muslim Rohingya sebagai penyelesaian konflik bernuasa etnis dan
agama di negara itu. Bahkan dia menawarkan kepada PBB jika ada negara
yang bersedia menampung mereka.
Bagi Direktur Global Future Institute, Jakarta, yang terjadi di Arakan ini bukan hanya Muslim Cleansing, tapi juga Budha Cleansing.
Menurut pengamat internasional ini, yang menjadi korban bukan hanya
masyarakat muslim maupun Budha, tapi juga terjadi benturan peradaban di
Myanmar.
"Ada permainan korporasi tertentu yang
berkolaborasi dengan Junta militer Myanmar," kata penulis buku
"Tangan-tangan Amerika di Pelbagai belahan Dunia" itu.
"Kayaknya, di Arakan ini pemicunya mirip dengan Ambon, sebuah masalah
kriminal yang kemudian dipolitisasi. Untuk itu harus dipahami skema
besarnya. Yang sesungguhnya terjadi adalah Cleansing masyarakat." Tegas Hendrajit.
Simak
selengkapnya wawancara eksklusif Purkon Hidayat dari IRIB Bahasa
Indonesia dengan Hendrajit, Direktur Global Future Institute Jakarta
mengenai persoalan di balik tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim
etnis Rohingya di Myanmar.
Kalau kita lihat dari
perspektif korban, persoalan inikan sudah bertahun-tahun. Memang
faktanya suku Rohingya ini merupakan mayoritas di Arakan, tapi dianggap
sebagai illegal citizens. Bahkan kini, jumlahnya tinggal
sejutaan karena sebagian sudah migrasi ke negara lain. Saya melihat
persoalan ini, entah itu Karena yang Budha maupun Rohingya yang Muslim,
bagi saya tetap sebagai prakondisi yang rawan di Myanmar sendiri. Jadi
artinya ada sesuatu yang sebetulnya harus dilihat dari gambaran yang
jauh lebih besar.
Saya amat menyayangkan baru-baru ini di Jakarta misalnya ada yang menyebut fenomena di Myanmar sebagai Muslim Cleansing. Bagi saya, ini bukan hanya Muslim Cleansing, tapi juga Budha Cleansing.
Kalau melihat skema konfliknya mengarah pada konflik peradaban. Tapi
intinya ini masuk pada desakan untuk menghantam pola rezim Myanmar
sendiri. Kalau dilihat lebih jauh ada permainan korporasi tertentu yang
berkolaborasi dengan Junta militer.
Saya lihat, selain
mengorbankan warga dan masyarakat juga membenturkan peradaban. Dan
kebetulan dalam konteks di Arakan ini yang memang kondusif adalah isu
agama.
Tadi Anda menyebutkan adanya kolaborasi antara Junta militer dengan korporasi asing. Bagaimana bentuknya ?
Pada tahun 1988, muncul sistem baru di Myanmar. Walaupun rezim otoriter
militer yang memimpin, tapi Myanmar menggunakan sistem pasar. Ketika
itu ada undang-undang baru yang namanya The Union of Myanmar Foreign Investment Law.
Payung hukum ini adalah perlindungan terhadap sektor eksplorasi dan
pengembangan sektor minyak dan gas alam yang melibatkan
korporasi-korporasi asing.
Pada kasus Arakan ini
adalah pertarungan soal minyak dan gas bumi. Pada tahun 2005, perusahaan
gas Cina menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk
mengelola eksplorasi minyak.
Kita harus lihat,
sebagaimana kasus yang terjadi di Indonesia seperti di Sampang, Mesuji
dan lainnya yang menunjukkan bahwa konflik-konflik horizontal menandakan
ada sesuatu yang yang diincar dari sisi geopolitik. Yang menarik dari
sisi rezim militer di Myanmar dari era Ne Win hingga sekarang ini,
ternyata melibatkan perusahaan asing semacam Chevron AS maupun Total
Perancis, padahal kedua negara ini kan di permukaan mengangkat isu hak
asasi manusia. Jelas ada pertarungan bisnis yang bermain melalui pintu
belakang dari rezim militer Myanmar.
Saya melihat
konflik soal Islam dan Budha yang belakangan ini semakin memanas, bahkan
ada istilah konyol dari presidennya, "Udah saja Rohingya itu diusir
dari Myanmar," Masalah ini harus dilihat sebagai hilir saja, hulunya
adalah adanya satu hal yang diincar di Arakan yaitu minyak dan gas alam.
Jadi Arakan ini menyimpan sumber daya migas yang besar ya ?
Cukup besar ya saya kira. Dengan dasar itu, eksplorasi minyak dan gas
bumi itu menjadi incaran bukan hanya Cina tapi juga AS. Apalagi Chevron
leading bermain di situ, ada juga Petro China, Tiongkok Petroleum,
Petronas Malaysia dan lain.
Repotnya rezim militer ini memproteksi lewat undang-undang The Union of Myanmar Foreign Investment Law. Cina
dan beberapa negara yang diluar AS dan Eropa Barat kelihatannya lebih
unggul. Sementara AS ketinggalan. Nah, yang menarik masalah Muslim di
Arakan ini cenderung memberi ruang bagi pendekatan symmetric
Bill Clinton yang diterapkan oleh Obama dan Hillary Clinton. Dengan
dasar, "Konflik wilayah itu perlu advokasi hak asasi manusia nih, LSM,
LSM perlu masuk." Dari pintu ini, mereka masuk dengan memakai konflik
Islam dan Budha tersebut. Tapi tampak sasaran strategisnya adalah sama
yaitu penguasaan minyak dan gas bumi.
Berkaitan
dengan stetemen presiden Myanmar, Thein Sein yang mengatakan bahwa
penyelesaian kasus konflik bernuasa etnis dan agama di Myanmar adalah
mengusir muslim etnis Rohingya dari negara ini. Bahkan dia menawarkan
kepada PBB jika ada negara yang bersedia menampung mereka. Anda
melihatnya seperti apa masalah ini ?
Sebetulnya
kalau dilihat dari konteks pernyataan presiden Myanmar yang menunjukkan
kekonyolan-kekonyolan yang tidak didasari oleh satu kerangka yang benar,
tapi itu malah menjebaknya dalam pertarungan besar. Dia sudah masuk ke
dalam perangkap The Clash of Civilizations. Sebab kalau
dasarnya adalah ideologis dalam kerangka kontraskema global harusnya dia
enggak memakai istilah-sitilah itu. Dia justru masuk ke dalam perangkap
itu. Di sana, seakan-akan Islam dan Budha bertempur, padahal dua-duanya
korban.
Kalau kita lihat dalam konteks skema ini,
modus dari rezim militer memproteksi korporasi model Total, Chevron,
Petrochina dan lain-lain. Itu caranya ekstrim seperti pembakaran
desa-desa. Nah di sana, warga yang menjadi korban. Cleansing yang paling efektif tanpa melibatkan penguasa adalah konflik agama. Kalau di Indonesia mungkin Cleansing agama tidak laku, tapi Cleansing suku
sama dasyatnya. Malah lebih efektif karena mereka paham betul masalah
kesukuan di Indonesia lebih mudah disulut daripada masalah agama. Di
Burma ini terperangkap masalah tersebut.
Di sini,
pernyataan presiden Myanmar justru membuatnya masuk ke dalam perangkap.
Yang menarik sikap seperti Aung San Suu Kyi walaupun dalam bahasa yang
agak terselubung, ia menyatakan bahwa etnis Muslim jadi sasaran.
Seharusnya dia menegaskan bahwa Budha juga jadi korban.
Maksudnya jadi korbannya gimana ?
Maksudnya dalam skema korporasi global itu. Misalnya yang terjadi di
Papua, yang disasar adalah benturan antarasuku dari tujuh suku itu.
Dalam urusan duit aja bisa pecah apalagi urusan yang melibatkan
simbol-simbol tradisional kesukuan masing-masing.
Kayaknya, di Arakan ini pemicunya mirip dengan Ambon ya, sebuah masalah
kriminal yang kemudian dipolitisasi. Untuk itu harus dipahami skema
besarnya. Yang sesungguhnya terjadi adalah Cleansing masyarakat.
Ini pra kondisi dari sesuatu yang dulunya tidak bisa ditangani secara
tepat dalam konteks keadilan antara mayoritas dan minoritas yang menjadi
bom waktu. Dan bom waktu itu meletus jika prakondisi ini dipicu. Nah triggering factor
itu kan enggak mungkin alami seperti sekarang ini. Jika terjadi
benturan maka daerah itu akan dinyatakan sebagai kawasan darurat,
menjadi close area. Nah di situlah agenda sebenarnya baru dimunculkan. Makanya harus dipahami apa agenda besar sebenarnya.
Yang disayangkan dalam rezim militer mulai dari Ne Win sampai sekarang
ini yang seakan-akan sosialis negara justru pada dasarnya kapitalis
negara. Sejatinya, dengan undang-undang The Union of Myanmar Foreign Investment Law, Myanmar
pada dasarnya sedang mengarah pada pasar, tapi di bawah kendali penuh
negara. Dan dia memproteksi korporasi-korporasi untuk berkolaborasi
dengan penguasa. Tentu dengan segala bayaran sosialnya.
Kebetulan korporasi yang masuk seperti Chevron, Total, PetroChina dan sebagainya, isi kepalanya bukan hanya sebagai Company.
Seperti juga Freeport, pikiran korporasi ini seperti negara. Jadi
ketika menentukan lokasi seperti Arakan itu perhitungannya bukan feasibility study
lahan bisnis saja, tapi geopolitiknya dihitung juga seperti komposisi
populasi penduduk. Kalau itu masih wajar. Karena semua itu harus
memenej. Tapi yang ada dipikiran opensif jahat korporasi itu adalah "Apa
yang bisa dimainkan" dari fakta-fakta yang ada. Kasarnya, "kalau diadu
domba mainkannya bagaimana?" Nah komposisi-komposisi ini sudah dihitung
oleh mereka. Selain perlunya politik pemilihan lokasi juga yang harus
dilihat adalah Winning Coalition dari korporasi itu. (IRIB Indonesia / PH)
Iran Kecam Sikap Diam Barat terhadap Muslim Rohingya
REPUBLIKA.CO.ID,
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah
Udzma Sayid Ali Khamenei mengecam sikap pasif Barat atas kekerasan
terhadap Muslim Rohingya di Myanmar.
Merujuk pada eksploitasi manusia oleh peradaban Barat yang didasarkan pada materialisme, serta minus moralitas dan spiritualitas, Rahbar berkata, "Sebuah contoh yang jelas dari klaim palsu Barat tentang etika dan hak asasi manusia adalah sikap pasif lembaga hak asasi manusia internasional terhadap pembantaian ribuan Muslim di Myanmar. "
"Selama beberapa abad terakhir peradaban Barat tidak menghasilkan apa-apa selain korupsi dan eksploitasi terhadap sesama manusia," tegasnya.
Statemen ini dikemukakan Ayatullah Khamenei saat berpidato di hadapan sekelompok sarjana dan pengajar al-Quran di permulaan bulan suci Ramadhan.
Ia menegaskan bahwa martabat, kesejahteraan, kemajuan, etika dan kemenangan atas musuh hanya akan dicapai melalui penerapan ajaran al-Quran.
Laporan terbaru mengungkapkan Muslim Myanmar mengalami penderitaan tragis. Lebih dari 650 orang dari hampir satu juta Muslim Rohingya tewas pada tanggal 28 Juni dalam bentrokan di wilayah barat Rakhine. Sementara 1.200 lainnya hilang dan 90 jiwa terlantar.
PBB menyebut Muslim Rohingya sebagai Palestina di Asia Tenggara, dan satu dari minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Mereka dirampas hak-hak dasarnya termasuk pendidikan dan pekerjaan. Tidak hanya itu, pemerintah Myanmar menolak mengakui Rohingya, dan mengklaim mereka bukan warga pribumi dan mengklasifikasikannya sebagai migran ilegal, meskipun mereka telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.
Merujuk pada eksploitasi manusia oleh peradaban Barat yang didasarkan pada materialisme, serta minus moralitas dan spiritualitas, Rahbar berkata, "Sebuah contoh yang jelas dari klaim palsu Barat tentang etika dan hak asasi manusia adalah sikap pasif lembaga hak asasi manusia internasional terhadap pembantaian ribuan Muslim di Myanmar. "
"Selama beberapa abad terakhir peradaban Barat tidak menghasilkan apa-apa selain korupsi dan eksploitasi terhadap sesama manusia," tegasnya.
Statemen ini dikemukakan Ayatullah Khamenei saat berpidato di hadapan sekelompok sarjana dan pengajar al-Quran di permulaan bulan suci Ramadhan.
Ia menegaskan bahwa martabat, kesejahteraan, kemajuan, etika dan kemenangan atas musuh hanya akan dicapai melalui penerapan ajaran al-Quran.
Laporan terbaru mengungkapkan Muslim Myanmar mengalami penderitaan tragis. Lebih dari 650 orang dari hampir satu juta Muslim Rohingya tewas pada tanggal 28 Juni dalam bentrokan di wilayah barat Rakhine. Sementara 1.200 lainnya hilang dan 90 jiwa terlantar.
PBB menyebut Muslim Rohingya sebagai Palestina di Asia Tenggara, dan satu dari minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Mereka dirampas hak-hak dasarnya termasuk pendidikan dan pekerjaan. Tidak hanya itu, pemerintah Myanmar menolak mengakui Rohingya, dan mengklaim mereka bukan warga pribumi dan mengklasifikasikannya sebagai migran ilegal, meskipun mereka telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.
ROHINGYA, ANTARA BANGLADESH DAN BURMA
http://cahyono-adi.blogspot.com/2014/01/rohingya-antara-bangladesh-dan-burma.html#more
40 tahun sudah Bangladesh merdeka, namun sampai sejauh ini masih
terpuruk sebagai salah satu negara paling miskin di dunia. Dan bukannya
berfikir bagaimana memajukan negara dan memakmurkan rakyatnya, para
pemimpin negeri ini justru sibuk menghancurkan negeri sendiri.
Tanpa alasan jelas, pemerintah Bangladesh tiba-tiba saja membentuk pengadilan kejahatan perang kemerdekaan yang terjadi tahun 1970-an lalu, menjebloskan beberapa tokoh oposisi ke penjara hingga tiang gantungan, dan memicu kembali terjadinya perang saudara. Inilah satu lagi regim Islam yang telah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, dan karenanya pada dasarnya telah menjadi musuh Islam.
Catatan kejahatan kemanusiaan regim Bangladesh juga terjadi atas perlakukan mereka terhadap para pengungsi Rohingnya dari Burma, yang nenek moyangnya sebenarnya juga berasal dari Bangladesh juga.
Sampai saat ini telah ribuan warga muslim Rohingya tewas dan ratusan ribu lainnya terusir dari kampung halaman mereka akibat aksi-aksi kerusuhan di Burma. Sebagian dari mereka menjadi pengungsi, namun sebagian besar lainnya tidak memiliki kejelasan status. Sebagaiman dilaporkan "Salem-News.com" bulan Oktober 2012 lalu:
"Setelah mengapung selama 3 hari dengan cadangan makanan yang terbatas, para pengungsi Rohingya dari Arakan (Burma) akhirnya mencoba mendarat di dekat Pulau Shamapura Island, Bangladesh. Namun kemalangan mengikuti mereka setelah penjaga perbatasan Bangladesh melarang mereka mendarat. Setelah gagal membujuk para penjaga meski dengan air mata yang terurai mereka akhirnya berlayar kembali menuju Maungdaw dimana pasukan Burma telah siap untuk menghadang mereka dan mengusir pergi. Saat ini kapal-kapal itu terlihat masih terapung di tengah Sungai Naf karena tidak bisa mendarat baik di sisi Bangladesh maupun Burma."
Jika saja pemerintah Bangladesh menghendaki, mereka sudah lama menyelesaikan masalah yang dihadapi orang-orang Rohingya dengan merepatriasi orang-orang Rohingya yang meninggalkan Burma. Selanjutnya mereka tinggal mengajukan tuntutan ganti rugi ke Mahkamah Internasional atas perlakuan tidak bertanggungjawab negara Burma terhadap orang-orang Rohingya.
Jika saja Bangladesh melakukan hal itu, maka hal itu akan menjadi solusi yang saling menguntungkan bagi Bangladesh maupun Burma. Namun pemerintah Bangladesh tidak melakukannya, karena ingin tetap menjaga hubungan bisnis dengan Burma.
Adapun dengan Burma, telah terjadi anomali lain yang mengiris rasa keadilan. Setelah membantai rakyat Rohingya yang telah tinggal di Burma selama beratus-ratus tahun namun masih dianggap sebagai bukan warganegara sendiri dan pajuang HAM Aung San Su Kyi pun bungkam, Burma justru dielu-elukan masyarakat internasional. Pada bulan Mesi 2012 Amerika memulihkan hubungan diplomatiknya dengan Burma dan menggelontori Burma dengan investasi di sektor minyak. Selain itu status keanggotaan Burma di ASEAN justru semakin teguh hingga dipercaya menjadi penyelenggara even SEA GAMES. Sementara kedatangan Presiden SBY ke Myanmar (Burma) juga hanya memperkuat status politik Myanmar di dunia internasional, sementara persoalan Rohingya sama sekali tidak menjadi perhatian serius oleh beliau.
Sementara Aung San Su Kyi, yang tidak diragukan lagi bakal menjadi presiden Burma mendatang, "membenarkan" pembantaian terhadap rakyat Rohingya. Tentang warga minoritas yang tidak berdaya itu Su Kyi justru mengobarkan sentimen terhadapnya dengan komentarnya:
"Ada persepsi bahwa kekuatan Islam global sangat kuat, dan tentu saja persepsi itu ada di banyak bagian dunia termasuk Burma."
Su Kyi tentu saja sengaja mengolok-olok. Kaum muslimin di dunia memang menonjol jumlahnya, namun tidak memiliki kekuatan politik berarti, kecuali yang dimiliki Iran.
"Saya rasa ini bukan sepenuhnya tentang Islamophobia, tapi menurut saya ada banyak unsur Islamophobia disini dimana Islam ditempatkan sebagai pengganti komunisme setelah berakhirnya era Perang Dingin. Ini adalah pemikiran yang telah diciptakan dengan hati-hati dan direncanakan dengan baik oleh orang-orang seperti Bernard Lewis, Samuel Huntington, gerakan neo-konservatif. Bukan suatu kebetulan bahwa Islamophobia telah menjalar di berbagai penjuru dunia dan digunakan sebagai alasan melakukan penindasan sebagaimana di Myanmar dan juga tempat-tempat lain di dunia.
REF:Tanpa alasan jelas, pemerintah Bangladesh tiba-tiba saja membentuk pengadilan kejahatan perang kemerdekaan yang terjadi tahun 1970-an lalu, menjebloskan beberapa tokoh oposisi ke penjara hingga tiang gantungan, dan memicu kembali terjadinya perang saudara. Inilah satu lagi regim Islam yang telah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, dan karenanya pada dasarnya telah menjadi musuh Islam.
Catatan kejahatan kemanusiaan regim Bangladesh juga terjadi atas perlakukan mereka terhadap para pengungsi Rohingnya dari Burma, yang nenek moyangnya sebenarnya juga berasal dari Bangladesh juga.
Sampai saat ini telah ribuan warga muslim Rohingya tewas dan ratusan ribu lainnya terusir dari kampung halaman mereka akibat aksi-aksi kerusuhan di Burma. Sebagian dari mereka menjadi pengungsi, namun sebagian besar lainnya tidak memiliki kejelasan status. Sebagaiman dilaporkan "Salem-News.com" bulan Oktober 2012 lalu:
"Setelah mengapung selama 3 hari dengan cadangan makanan yang terbatas, para pengungsi Rohingya dari Arakan (Burma) akhirnya mencoba mendarat di dekat Pulau Shamapura Island, Bangladesh. Namun kemalangan mengikuti mereka setelah penjaga perbatasan Bangladesh melarang mereka mendarat. Setelah gagal membujuk para penjaga meski dengan air mata yang terurai mereka akhirnya berlayar kembali menuju Maungdaw dimana pasukan Burma telah siap untuk menghadang mereka dan mengusir pergi. Saat ini kapal-kapal itu terlihat masih terapung di tengah Sungai Naf karena tidak bisa mendarat baik di sisi Bangladesh maupun Burma."
Jika saja pemerintah Bangladesh menghendaki, mereka sudah lama menyelesaikan masalah yang dihadapi orang-orang Rohingya dengan merepatriasi orang-orang Rohingya yang meninggalkan Burma. Selanjutnya mereka tinggal mengajukan tuntutan ganti rugi ke Mahkamah Internasional atas perlakuan tidak bertanggungjawab negara Burma terhadap orang-orang Rohingya.
Jika saja Bangladesh melakukan hal itu, maka hal itu akan menjadi solusi yang saling menguntungkan bagi Bangladesh maupun Burma. Namun pemerintah Bangladesh tidak melakukannya, karena ingin tetap menjaga hubungan bisnis dengan Burma.
Adapun dengan Burma, telah terjadi anomali lain yang mengiris rasa keadilan. Setelah membantai rakyat Rohingya yang telah tinggal di Burma selama beratus-ratus tahun namun masih dianggap sebagai bukan warganegara sendiri dan pajuang HAM Aung San Su Kyi pun bungkam, Burma justru dielu-elukan masyarakat internasional. Pada bulan Mesi 2012 Amerika memulihkan hubungan diplomatiknya dengan Burma dan menggelontori Burma dengan investasi di sektor minyak. Selain itu status keanggotaan Burma di ASEAN justru semakin teguh hingga dipercaya menjadi penyelenggara even SEA GAMES. Sementara kedatangan Presiden SBY ke Myanmar (Burma) juga hanya memperkuat status politik Myanmar di dunia internasional, sementara persoalan Rohingya sama sekali tidak menjadi perhatian serius oleh beliau.
Sementara Aung San Su Kyi, yang tidak diragukan lagi bakal menjadi presiden Burma mendatang, "membenarkan" pembantaian terhadap rakyat Rohingya. Tentang warga minoritas yang tidak berdaya itu Su Kyi justru mengobarkan sentimen terhadapnya dengan komentarnya:
"Ada persepsi bahwa kekuatan Islam global sangat kuat, dan tentu saja persepsi itu ada di banyak bagian dunia termasuk Burma."
Su Kyi tentu saja sengaja mengolok-olok. Kaum muslimin di dunia memang menonjol jumlahnya, namun tidak memiliki kekuatan politik berarti, kecuali yang dimiliki Iran.
"Saya rasa ini bukan sepenuhnya tentang Islamophobia, tapi menurut saya ada banyak unsur Islamophobia disini dimana Islam ditempatkan sebagai pengganti komunisme setelah berakhirnya era Perang Dingin. Ini adalah pemikiran yang telah diciptakan dengan hati-hati dan direncanakan dengan baik oleh orang-orang seperti Bernard Lewis, Samuel Huntington, gerakan neo-konservatif. Bukan suatu kebetulan bahwa Islamophobia telah menjalar di berbagai penjuru dunia dan digunakan sebagai alasan melakukan penindasan sebagaimana di Myanmar dan juga tempat-tempat lain di dunia.
"Terror in Burma: Violence against Muslims"; Tim King; Veterans Today; 28 Desember 2013
"US rewards Myanmar for persecution"; Press TV; 30 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar