Warisan Utang Negara yang Turun-temurun
Krisis moneter yang terjadi pada 1997-1998 menyebabkan perekonomian Indonesia terguncang. Hak tersebut juga ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah utang luar negeri (ULN) yang terus bertambah.
Seperti diketahui, sebelum krisis melanda Indonesia, jumlah ULN Pemerintah masih sekira USD53,8 miliar, angka ini memang sudah termasuk besar kala itu, namun sejak krisis hingga saat ini jumlahnya semakin membesar. ULN Indonesia periode 2007-2011 terus naik dari Rp1.385,55 triliun menjadi Rp 1.804,37 triliun dan Desember 2012 mencapai Rp1,850 triliun.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total utang Indonesia pada November 2013 naik ke Rp2.354,54 triliun dari posisi Oktober sebesar Rp2.276,98 triliun. Jika dilihat secara year to date (ytd) dari 2012, maka utang tersebut mengalami kenaikan Rp367,83 triliun dari posisi pada 2012 sebesar Rp1.977,71 triliun.
Dikutip dari data DJPU, dalam 11 bulan ini, pemerintah telah mengeluarkan dana sekira Rp103,207 triliun untuk membayar bunga utang ini. Angka ini, merupakan realisasi sebesar 91,14 persen dari target sebesar Rp113,244 triliun.
Sementara untuk pembayaran pokok utang, tercatat sebesar Rp138,421 triliun atau 74,23 persen dari target sebesar Rp186,464 triliun. Adapun total dari pembayaran bunga dan utang sebesar Rp241,627 triliun.
Adapun pembayaran tersebut, terdiri dari cicilan pokok utang luar negeri Rp47,982 triliun, cicilan pokok utang dalam negeri Rp71 miliar, dan cicilan pokok surat utang negara (obligasi) Rp90,438 triliun.
Utang tersebut didominasi penerbitan obligasi alias surat berharga negara (SBN) yang mengalami kenaikan dari Rp1.590,23 triliun pada akhir Oktober, menjadi Rp1.663,61 triliun pada akhir Oktober ini. Obligasi tersebut terdiri dari denominasi Rupiah sebesar Rp1.270,75 triliun dan denominasi valuta asing (valas) sebesar Rp392,86 triliun.
Kreditur Utang Terbesar Indonesia
Utang luar negeri yang semakin membengkak, tidak luput dari negara-negara pemberi utang (kreditur). Tercatat pinjaman negara naik ke Rp690,92 triliun. Pinjaman luar negeri tercatat mengalami kenaikan dari Rp656,48 triliun pada akhir Oktober menjadi Rp688,98 triliun pada akhir November.
Pinjaman luar negeri tersebut berasal dari pinjaman bilateral sebesar Rp384,09 triliun, pinjaman multilateral sebesar Rp269,56 triliun, pinjaman komersial sebesar Rp34,99 triliun, dan suppliers sebesar Rp350 miliar. Sedangkan pinjaman dari dalam negeri naik ke Rp1,94 triliun.
Berikut adalah negara-negara pemberi utang terbesar kepada Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Australia, China, Inggris, Jerman, Swiss, Perancis dan negara lainnya. Kreditur ULN tersebut terdiri dari negara pemberi pinjaman sebesar USD189,953 miliar, organisasi Internasional sebesar USD26,210 miliar dan pemberi pinjaman lainnya sebesar USD46,255 miliar.
Berdasarkan negara pemberi pinjaman, posisi utang terbesar datang dari Singapura sebesar USD47,364 miliar. Meski utang Indonesia dari negara tersebut menurun USD255 juta dari posisi September, namun masih memegang rekor sebagai negara pemberi pinjaman terbesar pada Indonesia.
Negara kreditur terbesar diikuti Amerika Serikat sebesar USD38,438 miliar, lalu Jepang USD36,711 miliar, Belanda sebesar USD13,461 miliar dan negara lainnya 16 negara lainnya dengan kompoisisi dibawah USD6 miliar.
Utang Tersebut Turun-temurun
Penyebab krisis, di antaranya adalah utang luar negeri yang terus membengkak, terhitung bulan Februari 1998 pemerintah melaporkan tentang utang luar negeri tercatat diantaranya utang swasta nasional USD73,962 miliar dan utang pemerintah USD63,462 miliar, jadi utang seluruhnya mencapai 137,424 miliar dolar AS.
Sementara itu, pada akhir 2004, utang Indonesia tercatat sekira Rp1.299,50 triliun, namun periode pertama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat Presiden, utang naik Rp724,22 triliun, angka ini menorehkan jumlah utang terbesar sepanjang tahun.
Bukan rahasia lagi, bila sejak zaman Bung Karno dan Pak Harto, Indonesia memang sudah memiliki utang yang sangat banyak, namun pemerintahan SBY merupakan rezim yang jumlah utangnya paling besar. Utang itu baru mungkin bisa dilunasi 45-65 tahun mendatang dengan syarat Indonesia menghentikan utang dan harus berusaha mencari sumber pendanaan pembangunan lain selain utang.
Berikut adalah jumlah utang yang ditinggalkan pada masa-masa krisis hingga sekarang.
Utang di Era Soekarno (1945–1966)
Presiden Soekarno mulai menjabat sejak 17 Agustus 1945, pada masa kekuasaannya, Soekarno meninggalkan utang luar negeri sebesar USD6,3 miliar yang terdiri dari USD4 miliar warisan utang Hindia Belanda atau sejak 1968 disepakati rentang 35 tahun dan jatuh tempo 2003. Selain itu, utang pemerintah USD2,3 miliar dengan rentang 30 tahun sejak 1970 dan jatuh tempo 1999.
Era Soeharto (1966–1998)
Presiden Soeharto menjabat selama 32 tahun terhitung sejak 1966 hingga Mei 1998, dalam masa pemerintahannya, Soeharto meninggalkan utang luar negeri sebesar USD136.088 (1997). Utang tersebut terdiri dari ULN Pemerintah sebesar USD53.865 dan ULN Swasta USD82.223.
Era Habibie (1998–1999)
Habibie menjabat sebagai Presiden di tengah kondisi krisis moneter yang dialami Indonesia saat itu. Presiden BJ Habibie meninggalkan ULN (1999) sebesar USD148.097 terdiri dari ULN pemerintah USD75.862 dan ULN Swasta USD72.235. Utang Pemerintah tersebut naik sebesar USD21.997 dibanding tahun 1997 sebesar USD53.865.
Era Abdurahman Wahid (1999–2001)
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat sejak 21 Oktober 1999. Pada masanya utang luar negeri turun menjadi USD141.693 terdiri dari utang pemerintah sebesar USD74.916 dan utang swasta USD66.777.
Era Megawati (2001–2004)
Presiden Megawati Soekarnoputri mulai menjabat sejak 23 Juli 2001 sampai 21 Oktober 2004. Data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, mencatat utang hingga Februari 2010 sebesar USD141.273 terdiri dari utang pemerintah USD83.296 dan swasta USD 57.977. Sedikit turun dari posisi total utang LN tahun 2000 yakni sebesar USD141.693.
Era Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2009)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sejak 21 Oktober 2004 sampai dengan saat ini. Selama periode pertama kekuasaannya pada 2004 hingga 2009. Berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, pada Februari 2010 posisi utang luar negeri sampai Oktober 2009 meningkat menjadi USD170,785 terdiri dari utang pemerintah USD98,859 juta dan swasta USD71.926.
Hingga hari ini, dalam era SBY jumlah utang Indonesia hingga November tercatat utang Indonesia pada November naik ke Rp2.354,54 triliun dari posisi Oktober sebesar Rp2.276,98 triliun. Jika dilihat secara ytd dari 2012, maka utang tersebut mengalami kenaikan Rp367,83 triliun dari posisi pada 2012 sebesar Rp1.977,71 triliun. (IRIB Indonesia / Okezone / SL)
Bank Mutiara Sempoyongan Lagi
Bank Century, yang kini menjadi Bank Mutiara, kembali membuat dunia perbankan panas-dingin. Bisik-bisik yang semula terbatas di kalangan bankir menjadi semakin jelas: bank itu mengalami kemerosotan rasio kecukupan modal (CAR ) yang parah, hanya 5,52 persen, per Oktober lalu. Angka itu jauh di bawah ketentuan minimal 8 persen yang ditetapkan Bank Indonesia.
Kekhawatiran bakal terjadi rush alias penarikan besar-besaran dana nasabah pun merebak. Bank lain cemas akan tersambar efek yang tak diharapkan. Untuk meredam kekhawatiran itu, Bank Indonesia meminta Lembaga Penjamin Simpanan menyuntikkan dana Rp 1,5 triliun untuk penyisihan pencadangan aktiva produktif. Dengan begitu, rasio kecukupan modal Bank Mutiara bisa kembali normal.
Apa yang terjadi di Bank Mutiara sesungguhnya merupakan pengecualian dari situasi perbankan Indonesia yang relatif sehat. Sesuai dengan data Bank Indonesia per September 2013, rata-rata rasio kecukupan modal bank masih berada pada kisaran 18 persen. Tingkat kredit seret juga terjaga pada level 1,86 persen, jauh di bawah ketentuan maksimal 5 persen. Jadi, tak ada alasan untuk cemas. Pemerintah dan bank sentral harus berada di garda terdepan untuk menjelaskan fakta itu. Obat paling mujarab bagi penyakit panik akibat informasi yang tak jelas adalah keterbukaan.
Fakta bahwa sejumlah perusahaan milik Honggo Wendratno, Mukhamad Misbakhun, dan bekas pemilik Bank Century, Robert Tantular, gagal membayar utang secara bersamaan patut pula dibuka dan diselidiki. Mereka adalah debitor lama yang menerima kucuran kredit saat Bank Mutiara masih bernama Bank Century di bawah komando Robert Tantular.
Badan Pemeriksa Keuangan pernah menyebutkan bahwa pembiayaan perdagangan alias letter of credit senilai US$ 22,5 juta yang dikucurkan Bank Century ke PT Selalang Prima Internasional milik Misbakhun penuh patgulipat. Selalang mengajukan pinjaman untuk pengadaan kondensat. Bank Century meminta mengimpor dari Grains and Industrial Product Trading di Singapura. Tapi Selalang malah menanamkan duit US$ 22,5 juta itu ke Kellett Investment Incorporate, perusahaan investasi di Hong Kong. Kellett ambruk akibat krisis ekonomi dunia pada 2008.
Utang debitor lama itu semula macet, kemudian direstrukturisasi oleh manajemen baru pada 2011 dan kembali lancar. Tapi tiba-tiba, April-Mei lalu, mereka menghentikan cicilan pembayaran tanpa penjelasan. Bank Mutiara langsung menggolongkan kredit perusahaan-perusahaan itu dari kolektibilitas dua menjadi lima alias macet. Total utang perusahaan-perusahaan itu mencapai Rp 840 miliar. Ada pula kredit macet di era manajemen baru sebesar Rp 174,8 miliar. Gagal bayar itu membuat tingkat kredit seret Bank Mutiara melonjak menjadi 11,69 persen.
Pemerintah dan Bank Indonesia perlu bahu-membahu mengungkap motif pengemplangan kredit secara bersamaan itu. Jika ada indikasi pidana, polisi dan jaksa harus dilibatkan untuk bertindak. Beberapa perusahaan itu sudah seperti pepesan kosong. Bila dipailitkan, potensi pembayarannya nol persen. Untuk meminimalkan kerugian, pemerintah bisa menggugat para debitor tersebut secara perdata dan meminta pengadilan menyita aset mereka di tempat lain sebagai jaminan.
Ketenteraman dan keamanan nasabah bank harus dijaga. Para penjahat bank tak boleh lagi dibiarkan bebas berkeliaran seolah-olah kebal hukum. Moral hazard itu harus dilawan dengan bahasa yang mereka kenal: bukan kekayaan yang akan mereka peroleh, melainkan kemiskinan. (IRIB Indonesia / Tempo / SL)
Hentikan Pembayaran Bunga Obligasi Rekap BUMN dan Asing
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah ekonom meminta DPR menginstruksikan ke pemerintah agar menghent...
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- http://berita.plasa.msn.com/article.aspx?cp-documentid=251701729
Sejumlah ekonom meminta DPR menginstruksikan ke pemerintah agar menghentikan sementara pembayaran bunga obligasi rekap (rekap bond) kepada bank BUMN dan bank asing. Pilihan ini dirasa perlu untuk merekapitulasi jumlah utang obligasi rekap saat ini.
"Stop pembayaran bunga obligasi, khususnya bank BUMN," kata mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (28/1). Penghentian sementara pembayaran bunga obligasi bank BUMN tersebut sudah mempertimbangkan pengelompokan bank.
Pengelompokan obligasi rekap tersebut, menurut Rizal, dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, obligasi rekap milik bank BUMN. Kedua, obligasi rekap milik bank asing. Ketiga, obligasi rekap milik masyarakat.
Jika pembayaran bunga obligasi kepada bank BUMN dan asing dihentikan, tak demikian halnya dengan masyarakat. Rizal mengusulkan obligasi rekap di bawah satu miliar rupiah bisa dibayarkan bunganya. "Namun, obligasi rekap di atas satu miliar rupiah, pembayaran bunganya juga dihentikan," kata dia.
Penghentian pembayaran bunga itu, kata Rizal, akan mendorong bank menunjukkan riil performanya, tanpa menerima subsidi dari pemerintah. Menurutnya, performa bagus perbankan sekarang didominasi masih semu karena mereka memperoleh subsidi dari bunga.
Ekonom sekaligus Wakil Ketua Partai Amanat Nasional (PAN), Drajad Wibowo, mengatakan penghentian tersebut memang berisiko menurunkan rasio keuntungan perbankan. "Namun itu tak apa, sebab marjin bunga bersih (NIM) bank-bank di Indonesia itu tinggi, di atas tujuh persen. Sedangkan di negara lain, NIM di bawah dua persen," paparnya kepada Republika.
Menurut Drajad, bank-bank di Indonesia masih berpeluang terus mendapatkan keuntungan. Jika obligasi dibedakan menjadi rekap dan nonrekap, sambungnya, maka menyusahkah. Sebab, seluruhnya sudah diblending.
Dalam kesempatan tersebut, Drajad juga mengingatkan DPR mengenai kemungkinan adanya penolakan dari pihak perbankan. ''Perbankan akan mengemukakan beberapa alasan untuk menolak usulan tersebut," ujarnya.
Setidaknya, kata Drajad, ada tiga alasan keberatan yang kemungkinan akan disampaikan perbankan.
Pertama, alasan performa bank tersebut akan merosot, seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
Kedua, bank akan berargumen penghentian tersebut akan memengaruhi ekspansi kredit sebab likuiditas berkurang. Namun, porsi pengurangan tersebut, menurut Drajat, tak akan terlalu besar.
Ketiga, bank akan beragumen saham mereka akan turun di pasar modal. "Seturun-turunnya saham mereka, itu tak akan signifikan. Sebab, sektor perbankan Indonesia di mata dunia masih sangat menarik," kata Drajat. Jadi, meskipun terjadi koreksi saham di pasar modal, maka itu sifatnya umum.
Selasa, 20 Januari 2004 | 12:23 WIB
Tanpa Subsidi Bunga, Semua Bank Merugi
http://www.tempo.co/read/news/2004/01/20/05638649/Tanpa-Subsidi-Bunga-Semua-Bank-Merugi
TEMPO Interaktif, Jakarta:Semua bank di Indonesia sebenarnya mengalami kerugian kalau subsidi bunga oleh pemerintah tidak dihitung dalam laba. "Para pimpinan bank bersikap seakan-akan mereka benar-benar berprestasi membuat laba atas kemampuan manajemennya sendiri," kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Kwik Kian Gie, dalam seminar "Pengembangan kebijakan pemerintah untuk keterbukaan informasi terkait pemanfaatan pinjaman atau hibah luar negeri" di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa (20/1).
Menurutnya, per 31 Desember 2002, bank rekap di Indonesia memang membukukan laba. Tetapi, tegasnya, bagian terbesar dari laba bersih itu disebabkan bunga obligasi rekap yang diterima dari pemerintah.
Pemerintah, atas permintaan Lembaga Keuangan Internasional (IMF), menganggarkan Rp 40 triliun per tahun untuk rekapitalisasi perbankan. "Apakah ini kalau bukan subsidi," katanya. Obligasi rekapitalisasi perbakan di Indonesia ini merupakan prasyarat IMF dalam memberikan dana pinjaman ke Indonesia senilai US$ 9 miliar.
Kwik mencontohkan, Bank Mandiri yang membukukan laba bersih senilai Rp 5,8 triliun per 31 Desember 2002, namun laba ini belum menghitung obligasi rekap dari pemerintah senilai Rp 21,4 triliun. Kalau dihitung tanpa obligasi rekap, Bank Mandiri mengalami kerugian Rp 15,6 triliun.
Hal sama juga menimpa Bank Negara Indonesia dengan laba bersih Rp 2,5 triliun dan bunga obligasi rekap Rp 7,54 triliun, sehingga merugi Rp 5,03 triliun. Bank Rakyat Indonesia dengan laba bersih Rp 1,47 triliun, memperoleh bunga obligasi rekap Rp 3,74 triliun, sehingga merugi Rp 2,27 triliun.
Bank Tabungan Negara mempunyai laba bersih Rp 303,04 miliar dengan pendapatan obligasi Rp 1,84 triliun sehingga merugi Rp 1,54 triliun. Bank Internasional Indonesia membukukan laba bersih Rp 131,88 miliar dengan bunga obligasi rekap Rp 2,2 triliun sehingga merugi Rp 2,075 triliun. Bank Danamon dengan laba bersih Rp 989,28 miliar mendapat bunga obligasi rekap Rp 3,33 triliun sehingga merugi Rp 2,34 triliun.
Sementara itu, Bank Permata per 31 Desember 2002 mengalami kerugian Rp 847,86 miliar dan memperoleh bunga obligasi rekap dari pemerintah senilai Rp 1,106 triliun, sehingga angka kerugiannya makin bertambah menjadi Rp 1,954 triliun. Bank Niaga membukukan laba Rp 76,593 miliar dan mendapat obligasi rekap senilai Rp 1,134 triliun, sehingga merugi Rp 1,057 triliun.
Bank Lippo membukukan laba bersih Rp 192,564 miliar dengan bunga obligasi senilai Rp 739,755 miliar, sehingga merugi Rp 547,191 miliar. Bank Central Asia juga mengalami hal yang sama. Mereka membukukan laba bersih Rp 3,4 triliun dan mendapat bunga obligasi rekap senilai Rp 8,591 triliun, sehingga kerugian tanpa bunga obligasi rekap mencapai Rp 5,192 miliar.
Yandi M Rofiandi - Tempo News Room
Jejak Boediono di Century
26 Nov 2013 12:56:09
http://m.aktual.co/aktualreview/125733jejak-boediono-di-century
Ilustrasi Aktual.co
Jakarta, Aktual.co —
Alasan krisis
ekonomi global yang selalu digunakan Boediono dalam menyelamatkan Bank
Century sebagai bank gagal yang dapat berdampak sistemik, terpatahkkan
dengan kesaksian Jufuf Kalla yang ketika itu sebagai pelaksana tugas
presiden karena SBY berada di AS.
Sebelumnya
diketahui, pada 30 Oktober dan 3 November 2008, Bank Century mengajukan
Fasilitas Repro Aset (yang kemudian disikapi oleh BI menjadi FPJP).
sebesar Rp1 triliun. Permintaan Bank Century itu ditolak. Menurut
analisis BI, Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century hanya
sebesar positif 2,35 persen. Masih jauh di bawah CAR minimal untuk
mendapatkan fasilitas pinjaman yang dinyatakan dalam Peraturan BI
10/26/PBI/2008, yakni 8 persen.
Guna mengakali
aturan itu, temuan BPK menyebutkan bahwa pada tanggal 14 November 2008
BI sengaja mengubah aturan persyaratan CAR dengan mengganti angka
minimal 8 persen menjadi minimal 0 persen atau “positif” saja.
Namun
fakta menunjukan dalam temuan BPK, bahwa posisi CAR Bank Century pada
pada saat pengikatan FPJP, merosot menjadi negatif 3,53 persen.
Sehingga, dengan bantuan perubahan syarat CAR itu pun sesungguhnya Bank
Century masih tetap tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP.
Di
sisi lain, BPK juga mencatat proses pencairan FPJP (kredit) untuk Bank
Century senilai Rp.689 miliar hanya dalam waktu yang tidak lazim. Yakni
kurang dari 5 jam dengan membuat tanggal dan jam mundur atau tidak dalam
waktu yang tidak sebenarnya pada akta notaris dan waktu pencairan yang
juga tidak lazim, yakni jumat malam pukul 20.35 wib.
Catatan:
dalam akta tertulis penanda tanganan akat kredit, 14 November 2008
pukul 13.30 wib. Fakta temuan Pansus Century DPR penandatangan dilakukan
pada tanggal 15 November 2008 pukul 02.00 dinihari. Artinya, pencairan
FPJP berdasarkan surat kuasa Boediono selaku Gubernur BI kepada tiga
pejabat BI, dilakukan sebelum para pihak menandatangi pengikatan akat
kredit.
Temuan BPK selanjutnya adalah,
penyerahan nilai jaminan atau anggunan dilakukan seminggu kemudian.
Itupun nilainya tidak sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam
peraturan BI, yakni di bawah 150 persen. Celakanya lagi, belakangan
diketahui sebagaimana temuan BPK, bahwa sebagian jaminan untuk
mendapatkan FPJP yang disampaikan pihak Bank Century senilai Rp 467,99
miliar nyata-nyata tidak aman. Namun demikian, Boediono selaku pimpinan
rapat Dewan Gubernur ketika itu, tetap keukeuh menyetujui pemberian FPJP untuk Bank Century.
Itu soal FPJP. Bagaimana soal bailout?
Ternyata
dana FPJP senilai Rp689 miliar yang digelontorkan Boediono kepada Bank
Century, dalam waktu sekejap habis. Bank Century kembali kolaps. Untuk
menolong lagi Bank Century, diam-diam pada malam hari 20 November 2008,
singkat kata setelah melalui proses panjang dan perdebatan sengit dalam
mencari-cari alasan atau argumentasi yang masuk akal untuk kembali
menolong Century, Boediono menandatangani surat bernomor
10/232/GBI/Rahasia tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century
Tbk dan Penanganan Tindak Lanjutnya.
Di dalam
surat itu antara lain disebutkan bahwa salah satu cara untuk mendongkrak
rasio kecukupan modal bank Century dari negatif 3,53 persen (per 31
Oktober 2008) menjadi positif 8 persen adalah dengan menyuntikkan dana
segar sebagai Penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp 632 miliar.
Surat
itu kemudian dibahas dalam "rapat konsultasi" yang digelar sebelum
rapat Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) pada malam hari itu juga.
Setelah "rapat konsultasi" yang diikuti sejumlah petinggi dan pengambil
kebijakan sektor fiskal dan jasa keuangan itu, Boediono dan Sri Mulyani
menggelar Rapat KSSK hingga subuh keesokan harinya, 21 November 2008.
Dalam
“rapat konsultasi” menjelang Rapat KSSK di gedung Djuanda, kompleks
Kementerian Keuangan pada pergantian malam itu, Boediono menjadi pihak
yang paling ngotot membela status Bank Century dan jalan keluar yang
dianggapnya perlu.
Jejak sikap ngotot Boediono
dapat ditelusuri dari transkrip rekaman pembicaraan "rapat konsultasi"
dan dokumen resmi notulensi "rapat konsultasi" yang beredar luas di
masyarakat pada akhir tahun 2009 lalu.
Dalam
notulensi “rapat konsultasi” setebal lima halaman itu disebutkan bahwa
rapat yang dipimpin Sri Mulyani dibuka sebelas menit lewat tengah malam
tanggal 21 November 2008. Juga disebutkan bahwa rapat digelar khusus
untuk membahas usul BI agar Bank Century yang oleh BI diberi status
“Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik” dinaikkan statusnya
menjadi “Bank Gagal yang Berdampak Sistemik”.
Boediono mendapatkan kesempatan pertama untuk mempresentasikan permasalahan yang sedang dihadapi Bank Century.
Sri
Mulyani adalah pihak pertama yang mengomentari rekomendasi Boediono.
Dia mengatakan bahwa reputasi Bank Century selama ini, sejak berdiri
Desember 2004 dari merger Bank Danpac, Bank CIC, dan Bank Pikko, memang
tidak bagus. Lalu Sri Mulyani meminta agar peserta rapat yang lain
memberikan komentar atas saran Boediono.
Badan
Kebijakan Fiskal (BKF), misalnya, menolak penilaian BI atas Bank
Century. Menurut BKF, “analisa risiko sistemik yang diberikan BI belum
didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century
dapat menimbulkan risiko sistemik. Juga menurut BKF, analisa BI lebih
bersifat analisa "dampak psikologis.”
Sikap
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun hampir serupa. Dengan
mempertimbangkan ukuran Bank Century yang tidak besar, secara finansial
Bank Century tidak akan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap
bank-bank lain.
“Sehingga risiko sistemik lebih kepada dampak psikologis.”
Tetapi
Boediono bertahan pada pendapatnya. Dan pada akhirnya dia tidak saja
memenangkan pertarungan dalam rapat tertutup tersebut. Namun juga
berhasil meyakinkan Srimulyani selaku ketua KSSK untuk menandatangaani
persetujuan bailout sebesar Rp632miliar pada pukul 5 subuh hari sabtu
tanggal 22 November 2008.
Pertanyaan menariknya, apa yang terjadi setelah persetujuan bailout ditanda
tangani Sri Mulyani? Hanya dalam tempo dua hari, yaitu sabtu dan
minggu. Senin pagi sudah tergelontor dari kocek LPS sekitar
Rp2,7triliun. Bagaimana bisa dihari libur, tidak ada kliring, Century
bisa jebol triliunan? Itulah barangkali yang menjelaskan mengapa
Srimulyani kemudian marah dan merasa tertipu oleh BI.
Lalu
apakah setelah marah-marah di dalam rapat dengan seluruh petinggi BI
dan LPS termasuk Boediono selaku Gubernur BI sebagai terungkap dalam
dalam notulen, transkrip dan rekaman rapat tersebut, kucuran dana ke
Bank Century berhenti? Ternyata tidak. Pembobolan terus berlangsung,
mulai akhir November 2008 saat menjelang pemilu legislatif April 2009.
Hingga pasca pemilu pemilihan presiden dan wakil presiden pada Juni 2009
dengan total penarikan Rp6,7 triliun.
Bambang Soesatyo
Anggota Timwas Century DPR RI
Epung Saepudin
Campur Tangan IMF dan Asing Hambat Penuntasan Skandal BLBI, Century, Boediono dan Kasus Alstom ?
25 Jan 2013 06:53:48
Wakil Presiden Boediono (Foto: Aktual.co/Amir Hamzah)
Jakarta, Aktual.Co -- http://m.aktual.co/aktualreview/205323campur-tangan-imf-dan-asing-hambat-penuntasan-skandal-blbi-boediono-dan-kasus-alstro
Pengakuan Ketua KPK Abraham Samad yang meminta dukungan diplomasi penuh
ke Pemerintah Amerika Serikat guna mengungkap kasus korupsi yang
melibatkan PT Alstom Indonesia, ditambah sinyalemen Anggota Komisi I
DPR-RI Lily Chadidjah Wahid tentang campur tangan asing yang memaksakan
Boediono harus terbebas dari jerat hukum dalam pengungkapan mega
skandal korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), semakin
menghempas harga diri bangsa Indonesia,
Kedongkolan rakyat akibat rasa keadilan masyarakat tidak diindahkan oleh para aparat penegak hukum yang memantek asas praduga tidak bersalah dan saling sengkarut kerumitan prosedur hukum, mulai membara kembali akibat campur tangan asing di dalam proses penegakkan hukum terhadap para koruptor.
Samad sebagaimana diberitakan Aktual. Co Rabu (23/1) mengaku bahwa kepelikan hubungan diplomasi Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi tembok penghalang KPK untuk menjerat PT Alstom Indonesia, penyuap 300 ribu dollar AS lebih Ketua Komisi XI DPR-RI Izedrik Emir Moeis,dalam kasus dugaan korupsi Pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap ) Tarahan di Lampung, tahun 2004.
Kepentingan Multi Nasional
Aneh, KPK pada Kamis 25 Juli 2012 menetapkan Emir Moeis,politisi kawakan ini menjadi tersangka karena diduga telah menerima suap, sehingga politisi PDI Perjuangan ini pun dicekal tidak boleh berpergian ke luar negeri. Namun sampai awal tahun ini, kasus Korupsi PLTU Tarahan bagai membeku. Bahkan PT Alstom pun tak kunjung dijerat sebagai tersangka pemberi suap,
Entah mana yang benar, apa karena ada hambatan berupa jarak fisik antar kedua negara yang terentang jauh seluas Samudra Pasifik, dan kerumitan diplomasi yang menuntut penciptaan kesefahaman antar dua negara dulu, sebagaimana kilah Ketua KPK. Atau memang ada upaya diplomatik dan penekanan halus terhadap Indonesia agar perusahaan multinasional asal Amerika Serikat ini tidak terkena sanksi hukum? Wallahua'lam bishawab.
Permainan Jaringan IMF
Yang lebih memprihatinkan, justru sinyalemen wakil rakyat di Komisi I DPR-RI. Lily Wahid. Adik Gus Dur ini yakin, Boediono, mantan Direktur Analisis Kredit BI meski pernah dipecat Presiden Soeharto karena dinilai tidak bertanggungjawab, memang diloloskan dari jerat hukum mega skandal BLBI, karena ada campur tangan asing. Terbukti di samping Boediono bisa kembali ke BI bahkan dipromosi oleh SBY menjadi Gubernur Bank Sentral, bahkan teknokrat ini pun kemudian menjadi Wakil Presiden,.
“Ada campur tangan jaringan dia (Boediono). Ini permainan jaringan, karena yang diuntungkan dari bunga rekap BLBI sebesar Rp60 triliun pertahun dan diserahkan kepada IMF (Dana Moneter Internasional),” kata Lili.
Bagi wakil rakyat vokalis Komisi I yang membidangi pertahanan, luar negeri, intelejen, dan komunikasi ini, rasanya ada yang janggal. Sehingga harus dicari sebab musabab kenapa Boediono bisa bebas dari jerat hukum, Sebaliknya, sejumlah enioren “Atasan Boediono kok malah terjerat? Kata Lili Wahid di DPR-RI Senayan, Jakarta, Senin (21/1)
Campur tangan asing dalam bidang penegakkan hukum oleh permainan jaringan di belakang Boediono yang melibatkan IMF itu, menurut Lily memang sulit dibuktikaan, Namun mengingat ada berbagai kejanggalan, tentu bisa dirunut ditelisik dan diuraikan. Contoh, yang bisa ditarik sekarang, adalah BI bayar iuran Rp150 trilliun dan sampai saat ini masih berlangsung “Saya sedang cari bukti, dan Insya Allah ada buktinya,” Ujar Lily,
Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPRLebih aneh lagi, Lily menengarai kok ada semacam ke-terlena-an DPR sebagai lembaga pengawas yang tak pernah memperkarakan keterlibatan Boediono dalam mega skandal BLBI sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomer 979 dan 981 Tahun 2004, “Mungkin DPR dibakarin menyan oleh Boediono,” kata Lily.
Keheranan Lily kian bertambah, mengingat Ketua DPR RI, Marzuki Alie dalam suatu kesempatan menanggapi Skandal Century, juga telah mempersilahkan anggota untuk menggunakan HMP (Hak Menyatakan Pendapat) terhadap Boediono. Padahal dengan HMP itu, DPR bisa melakukan penyelidikan kasus BLBI, sehingga Boediono pasti bisa terseret. Tetapi kok belum tergerak juga hati para wakil rakyat itu.
Antek Neolib
Mengenai kaitan tali temali Boediono selaku salah seorang kader teknokrat ekonomi di Indonesia dengan IMF maupun kepentingan asing, sesungguhnya bukan hal baru. Pada tahun 2009 saat SBY akan memilih Boediono sebagai cawapres pendampingnya, marak sejumlah protes dan aksi demo yang dilancarkan oleh sejumlah partai mitra koalisi partai demokrat pengusung SBY, seperti PAN dan PKS.
Ratusan orang yang tergabung dalam Komando Rakyat Anti Neolib pada hari Kamis 14 Mei 2009 mendatangi Istana Negara menuntut pembatalan Boediono sebagai bakal Wapres 2009-2014. “Dia antek asing dan pendukung neoliberal” kata Chaerudin, Koordinator Aksi tersebut yang menuding Boediono juga sebagai motor privatisasi perusahaan-perusahaan nasional.
Demo serupa juga digelar sehari sebelumnya oleh Komite Muda Indonesia (KMI) di Monas hari Rabu (13/5) yang menyatakan Boediono sebagai antek neoliob, dalam arti berpihak kepada kepentingan IMF, Bank Dunia, dan WTO. Sodikin Korlap aksi tersebut menyatakan, mereka menolak Boediono, karena risau perekonomian Indonesia akan semakin ke pasar bebas, mengedepankan swastanisasi, sehingga akan semakin banyak aset negara yang jatuh dikuasai ke swasta asing.
Neoliberalisme adalah Sistem Ekonomi dengan agenda Penjualan BUMN (Privatisasi), penghapusan subsidi pada barang dan jasa, deregulasi, pasar bebas, penyerahan kekayaan strategis sumber daya alam kepada pihak swasta/asing, dan bertumpu pada pinjaman hutang luar negeri.
Kedongkolan rakyat akibat rasa keadilan masyarakat tidak diindahkan oleh para aparat penegak hukum yang memantek asas praduga tidak bersalah dan saling sengkarut kerumitan prosedur hukum, mulai membara kembali akibat campur tangan asing di dalam proses penegakkan hukum terhadap para koruptor.
Samad sebagaimana diberitakan Aktual. Co Rabu (23/1) mengaku bahwa kepelikan hubungan diplomasi Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi tembok penghalang KPK untuk menjerat PT Alstom Indonesia, penyuap 300 ribu dollar AS lebih Ketua Komisi XI DPR-RI Izedrik Emir Moeis,dalam kasus dugaan korupsi Pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap ) Tarahan di Lampung, tahun 2004.
Kepentingan Multi Nasional
Aneh, KPK pada Kamis 25 Juli 2012 menetapkan Emir Moeis,politisi kawakan ini menjadi tersangka karena diduga telah menerima suap, sehingga politisi PDI Perjuangan ini pun dicekal tidak boleh berpergian ke luar negeri. Namun sampai awal tahun ini, kasus Korupsi PLTU Tarahan bagai membeku. Bahkan PT Alstom pun tak kunjung dijerat sebagai tersangka pemberi suap,
Entah mana yang benar, apa karena ada hambatan berupa jarak fisik antar kedua negara yang terentang jauh seluas Samudra Pasifik, dan kerumitan diplomasi yang menuntut penciptaan kesefahaman antar dua negara dulu, sebagaimana kilah Ketua KPK. Atau memang ada upaya diplomatik dan penekanan halus terhadap Indonesia agar perusahaan multinasional asal Amerika Serikat ini tidak terkena sanksi hukum? Wallahua'lam bishawab.
Permainan Jaringan IMF
Yang lebih memprihatinkan, justru sinyalemen wakil rakyat di Komisi I DPR-RI. Lily Wahid. Adik Gus Dur ini yakin, Boediono, mantan Direktur Analisis Kredit BI meski pernah dipecat Presiden Soeharto karena dinilai tidak bertanggungjawab, memang diloloskan dari jerat hukum mega skandal BLBI, karena ada campur tangan asing. Terbukti di samping Boediono bisa kembali ke BI bahkan dipromosi oleh SBY menjadi Gubernur Bank Sentral, bahkan teknokrat ini pun kemudian menjadi Wakil Presiden,.
“Ada campur tangan jaringan dia (Boediono). Ini permainan jaringan, karena yang diuntungkan dari bunga rekap BLBI sebesar Rp60 triliun pertahun dan diserahkan kepada IMF (Dana Moneter Internasional),” kata Lili.
Bagi wakil rakyat vokalis Komisi I yang membidangi pertahanan, luar negeri, intelejen, dan komunikasi ini, rasanya ada yang janggal. Sehingga harus dicari sebab musabab kenapa Boediono bisa bebas dari jerat hukum, Sebaliknya, sejumlah enioren “Atasan Boediono kok malah terjerat? Kata Lili Wahid di DPR-RI Senayan, Jakarta, Senin (21/1)
Campur tangan asing dalam bidang penegakkan hukum oleh permainan jaringan di belakang Boediono yang melibatkan IMF itu, menurut Lily memang sulit dibuktikaan, Namun mengingat ada berbagai kejanggalan, tentu bisa dirunut ditelisik dan diuraikan. Contoh, yang bisa ditarik sekarang, adalah BI bayar iuran Rp150 trilliun dan sampai saat ini masih berlangsung “Saya sedang cari bukti, dan Insya Allah ada buktinya,” Ujar Lily,
Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPRLebih aneh lagi, Lily menengarai kok ada semacam ke-terlena-an DPR sebagai lembaga pengawas yang tak pernah memperkarakan keterlibatan Boediono dalam mega skandal BLBI sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomer 979 dan 981 Tahun 2004, “Mungkin DPR dibakarin menyan oleh Boediono,” kata Lily.
Keheranan Lily kian bertambah, mengingat Ketua DPR RI, Marzuki Alie dalam suatu kesempatan menanggapi Skandal Century, juga telah mempersilahkan anggota untuk menggunakan HMP (Hak Menyatakan Pendapat) terhadap Boediono. Padahal dengan HMP itu, DPR bisa melakukan penyelidikan kasus BLBI, sehingga Boediono pasti bisa terseret. Tetapi kok belum tergerak juga hati para wakil rakyat itu.
Bahkan
Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI komisi III dari Fraksi Golkar ini
menyatakan, Aneh jika Penegak hukum melakukan pembiaran dan tidak segera
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Agung terkait BLBI. Mengingat amar
putusan tersebut jelas menjerat Boediono terkait kasus BLBI dengan pasal
55 KUHP. Yakni turut serta melakukan tindak pidana.
Untuk
itu, Bambang Soesatyo mendesak Polri, Kejaksaan Agung serta KPK segera
berkoordinasi dan menindaklanjuti keputusan MA tersebut atas
keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus pengucuran Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Jadi, jika
dikaitkan dengan kasus Bank Century yang kini telah masuk ke tingkat
penyidikan di KPK dimana Boediono diduga kuat berperan besar dalam
penggelontoran dana talangan ke Bank Century Rp.6,7 triliun. Maka,
seharusnya DPR segera melakukan langkah-langkah yang seharusnya. Yakni
Hak Menyatakan Pendapat (HMP).
Antek Neolib
Mengenai kaitan tali temali Boediono selaku salah seorang kader teknokrat ekonomi di Indonesia dengan IMF maupun kepentingan asing, sesungguhnya bukan hal baru. Pada tahun 2009 saat SBY akan memilih Boediono sebagai cawapres pendampingnya, marak sejumlah protes dan aksi demo yang dilancarkan oleh sejumlah partai mitra koalisi partai demokrat pengusung SBY, seperti PAN dan PKS.
Ratusan orang yang tergabung dalam Komando Rakyat Anti Neolib pada hari Kamis 14 Mei 2009 mendatangi Istana Negara menuntut pembatalan Boediono sebagai bakal Wapres 2009-2014. “Dia antek asing dan pendukung neoliberal” kata Chaerudin, Koordinator Aksi tersebut yang menuding Boediono juga sebagai motor privatisasi perusahaan-perusahaan nasional.
Demo serupa juga digelar sehari sebelumnya oleh Komite Muda Indonesia (KMI) di Monas hari Rabu (13/5) yang menyatakan Boediono sebagai antek neoliob, dalam arti berpihak kepada kepentingan IMF, Bank Dunia, dan WTO. Sodikin Korlap aksi tersebut menyatakan, mereka menolak Boediono, karena risau perekonomian Indonesia akan semakin ke pasar bebas, mengedepankan swastanisasi, sehingga akan semakin banyak aset negara yang jatuh dikuasai ke swasta asing.
Neoliberalisme adalah Sistem Ekonomi dengan agenda Penjualan BUMN (Privatisasi), penghapusan subsidi pada barang dan jasa, deregulasi, pasar bebas, penyerahan kekayaan strategis sumber daya alam kepada pihak swasta/asing, dan bertumpu pada pinjaman hutang luar negeri.
Dhia Prekasha Yoedha
Halo, nama saya Setiabudi, seorang korban penipuan dari tangan pemberi pinjaman, saya telah penipuan semua paling Rp40,000,000 karena saya butuh modal besar Rp500.000.000, saya hampir mati, saya tidak punya tempat untuk pergi, bisnis saya hancur dalam proses tersebut saya kehilangan anak saya .. saya tidak bisa berdiri again..all hal ini terjadi Desember 2014, tidak semua sampai saya bertemu dengan seorang teman yang memperkenalkan saya kepada ibu yang baik Mrs Alexandra yang akhirnya membantu saya mengamankan pinjaman di perusahaannya, ibu yang baik saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih, Semoga Tuhan terus memberkati Anda, saya juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyarankan sesama Indonesia, bahwa ada banyak scammers luar sana, jika Anda membutuhkan pinjaman dan pinjaman yang dijamin hanya cepat mendaftar melalui Ibu Alexandra melalui email. alexandraestherloanltd@fastservice.com dan alexandraestherloanltd@gmail.com, Anda dapat menghubungi saya melalui email ini; setiabudialmed@gmail.com untuk informasi perlu tahu. silahkan dia adalah satu-satunya tempat yang dapat diandalkan dan dapat dipercaya. Tidak ada pajak. Tidak ada asuransi untuk membayar.
BalasHapusTerima kasih.
Saya ingin semua orang untuk membaca pesan ini dengan hati-hati. Saya sangat senang untuk membuat kesaksian bagaimana saya mendapat pinjaman saya di pemberi pinjaman kredit legit, saya telah menderita di tangan kreditur internet palsu di situs web tertentu, saya telah diterapkan di beberapa perusahaan pinjaman di sini dan semua yang mereka lakukan adalah meminta saya untuk pembayaran dan setelah pembayaran, saya tidak akan mendapatkan pinjaman dari mereka, mereka adalah orang-orang yang salah. Saya kesakitan karena utang saya, dan saya membayar pembayaran lain untuk mendapatkan pinjaman untuk membuat saya utang yang lebih besar. Saya sangat senang ketika teman saya mengatakan kepada saya bahwa dia mendapat pinjaman dari internet, dia adalah orang yang mengatakan kepada saya tentang perusahaan pinjaman Theresa, dan saya mengajukan pinjaman sebesar $ 100.000 USD Aku mengikuti semua prosedur, saya berpikir bahwa saya lakukan tidak akan mendapatkan pinjaman, tapi aku sangat senang ketika pinjaman saya disetujui dan dikirim ke rekening bank saya langsung dalam waktu 24 jam menerapkan. Saya telah membayar semua hutang saya sekarang dan saya stabil secara finansial ketika saya menulis pesan ini. Jadi jika salah satu dari Anda berada di sini untuk mengajukan pinjaman, Anda harus menghubungi theresaloancompany di Uni E-mail, mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman pinjaman adalah nyata, yang lain adalah palsu. Cukup ikuti semua prosedur di perusahaan pinjaman Theresa dan saya meyakinkan Anda bahwa Anda juga akan mendapatkan pinjaman Anda seperti saya dan teman saya. Anda memiliki bijak sehingga Anda tidak akan kehilangan uang seperti saya, hubungi Theresa sekarang di email mereka jika Anda benar-benar membutuhkan pinjaman theresaloancompany@gmail.com
BalasHapushubungi saya juga jadi saya bisa memberikan informasi lebih lanjut tentang feyzilfatma@gmail.com
Terima kasih telah membaca kesaksian saya dan saya berterima kasih kepada Tuhan Bantuan