Jumat, 27 Desember 2013

UTANG2 NEGARA.... BAIL OUT - SUBSIDI REKAP BUNGA BANK - KASUS BANK CENTURY... - BANK MUTIARA SEMPOYONGAN...- PERMAINAN IMF-BD-DAN MAFIA...MONETER..DAN KEUANGAN..... DAN BANYAK LAGI KECULASAN DAN PERMAINAN FIKTIF OLEH PEJABAT2 PEMERINTAHAN DAN IMF- .... KEMANA PARA PENDEKAR... DAN PARA PAHLAWAN BANGSA..??>> MENGAPA PARA JENDRAL YANG KONON DIDIDIK UNTUK CINTA BANGSA... TETAPI MALAHAN MENJADI PENDUKUNG ANTEK2 ASING....???>> KENAPA ORANG2 INDONESIA SUDAH SENANG MENJADI ANAK JAJAHAN... DARIPADA MERDEKA..??!! >> ADA APA DENGAN DOKTRIN..NEOLIBS..YANG DIDUKUNG PARA PENGUSAHA2 PERAMPOK... DAN MAFIA EKONOMI DAN PARA POLITIKUS... JAHAT..??>> .....Subsidi bunga obligasi rekap sebesar Rp80,7 T thn 2013 secara fiktif disisipkan dlm pos anggaran pembayaran bunga surat utang negara ..>>> ..."Subsidi bunga obligasi rekap sebesar 80,7 triliun rupiah pada tahun anggaran 2013 secara fiktif disisipkan dalam pos anggaran pembayaran bunga surat utang negara. Ini bisa dilihat di halaman 4-108 nota keuangan RAPBN 2013 tabel 4.14 dan ada dua laporan keuangan. Ini akal-akalan pemerintah untuk menutupi skandal BLBI," papar Sri Edi, beberapa waktu lalu...>>> Mengenai skandal BLBI, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono, menilai skandal perbankan itu merupakan kasus kedaulatan negara yang sedang dimangsa, atau suatu upaya pelumpuhan negara yang dilakukan oleh preman-preman ekonomi yang dibantu oleh DPR dan kalangan birokrat. ..>>> Seperti diketahui, krisis moneter 1998 mengakibatkan rakyat Indonesia dibebani pembayaran utang pengemplang BLBI sekitar 650 triliun rupiah. Beban utang konglomerat nakal itu kemudian direkayasa agar masuk beban APBN dalam skema pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan sedikitnya 60 triliun rupiah per tahun hingga surat utang itu jatuh tempo 2033 kemudian diperpanjang lagi menjadi tahun 2043. Bahkan, rakyat juga harus membayar pokok obligasi saat jatuh tempo...>>> Bank Century, yang kini menjadi Bank Mutiara, kembali membuat dunia perbankan panas-dingin. Bisik-bisik yang semula terbatas di kalangan bankir menjadi semakin jelas: bank itu mengalami kemerosotan rasio kecukupan modal (CAR ) yang parah, hanya 5,52 persen, per Oktober lalu. Angka itu jauh di bawah ketentuan minimal 8 persen yang ditetapkan Bank Indonesia...>>> Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total utang Indonesia pada November 2013 naik ke Rp2.354,54 triliun dari posisi Oktober sebesar Rp2.276,98 triliun. Jika dilihat secara year to date (ytd) dari 2012, maka utang tersebut mengalami kenaikan Rp367,83 triliun dari posisi pada 2012 sebesar Rp1.977,71 triliun...>>> Jika pembayaran bunga obligasi kepada bank BUMN dan asing dihentikan, tak demikian halnya dengan masyarakat. Rizal mengusulkan obligasi rekap di bawah satu miliar rupiah bisa dibayarkan bunganya. "Namun, obligasi rekap di atas satu miliar rupiah, pembayaran bunganya juga dihentikan," kata dia. Penghentian pembayaran bunga itu, kata Rizal, akan mendorong bank menunjukkan riil performanya, tanpa menerima subsidi dari pemerintah. Menurutnya, performa bagus perbankan sekarang didominasi masih semu karena mereka memperoleh subsidi dari bunga...>>>



Warisan Utang Negara yang Turun-temurun



Krisis moneter yang terjadi pada 1997-1998 menyebabkan perekonomian Indonesia terguncang. Hak tersebut juga ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah utang luar negeri (ULN) yang terus bertambah.

Seperti diketahui, sebelum krisis melanda Indonesia, jumlah ULN Pemerintah masih sekira USD53,8 miliar, angka ini memang sudah termasuk besar kala itu, namun sejak krisis hingga saat ini jumlahnya semakin membesar. ULN Indonesia periode 2007-2011 terus naik dari Rp1.385,55 triliun menjadi Rp 1.804,37 triliun dan Desember 2012 mencapai Rp1,850 triliun.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total utang Indonesia pada November 2013 naik ke Rp2.354,54 triliun dari posisi Oktober sebesar Rp2.276,98 triliun. Jika dilihat secara year to date (ytd) dari 2012, maka utang tersebut mengalami kenaikan Rp367,83 triliun dari posisi pada 2012 sebesar Rp1.977,71 triliun.

Dikutip dari data DJPU, dalam 11 bulan ini, pemerintah telah mengeluarkan dana sekira Rp103,207 triliun untuk membayar bunga utang ini. Angka ini, merupakan realisasi sebesar 91,14 persen dari target sebesar Rp113,244 triliun.

Sementara untuk pembayaran pokok utang, tercatat sebesar Rp138,421 triliun atau 74,23 persen dari target sebesar Rp186,464 triliun. Adapun total dari pembayaran bunga dan utang sebesar Rp241,627 triliun.

Adapun pembayaran tersebut, terdiri dari cicilan pokok utang luar negeri Rp47,982 triliun, cicilan pokok utang dalam negeri Rp71 miliar, dan cicilan pokok surat utang negara (obligasi) Rp90,438 triliun.

Utang tersebut didominasi penerbitan obligasi alias surat berharga negara (SBN) yang mengalami kenaikan dari Rp1.590,23 triliun pada akhir Oktober, menjadi  Rp1.663,61 triliun pada akhir Oktober ini. Obligasi tersebut terdiri dari denominasi Rupiah sebesar Rp1.270,75 triliun dan denominasi valuta asing (valas) sebesar Rp392,86 triliun.

Kreditur Utang Terbesar Indonesia

Utang luar negeri yang semakin membengkak, tidak luput dari negara-negara pemberi utang (kreditur). Tercatat pinjaman negara naik ke Rp690,92 triliun. Pinjaman luar negeri tercatat mengalami kenaikan dari Rp656,48 triliun pada akhir Oktober menjadi Rp688,98 triliun pada akhir November.

Pinjaman luar negeri tersebut berasal dari pinjaman bilateral sebesar Rp384,09 triliun, pinjaman multilateral sebesar Rp269,56 triliun, pinjaman komersial sebesar Rp34,99 triliun, dan suppliers sebesar Rp350 miliar. Sedangkan pinjaman dari dalam negeri naik ke Rp1,94 triliun.

Berikut adalah negara-negara pemberi utang terbesar kepada Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Australia, China, Inggris, Jerman, Swiss, Perancis dan negara lainnya. Kreditur ULN tersebut terdiri dari negara pemberi pinjaman sebesar USD189,953 miliar, organisasi Internasional sebesar USD26,210 miliar dan pemberi pinjaman lainnya sebesar USD46,255 miliar.

Berdasarkan negara pemberi pinjaman, posisi utang terbesar datang dari Singapura sebesar USD47,364 miliar. Meski utang Indonesia dari negara tersebut menurun USD255 juta dari posisi September, namun masih memegang rekor sebagai negara pemberi pinjaman terbesar pada Indonesia.

Negara kreditur terbesar diikuti Amerika Serikat sebesar USD38,438 miliar, lalu Jepang USD36,711 miliar, Belanda sebesar USD13,461 miliar dan negara lainnya 16 negara lainnya dengan kompoisisi dibawah USD6 miliar.

Utang Tersebut Turun-temurun

Penyebab krisis, di antaranya adalah utang luar negeri yang terus membengkak, terhitung bulan Februari 1998 pemerintah melaporkan tentang utang luar negeri tercatat diantaranya utang swasta nasional USD73,962 miliar dan utang pemerintah USD63,462 miliar, jadi utang seluruhnya mencapai 137,424 miliar dolar AS.

Sementara itu, pada akhir 2004, utang Indonesia tercatat sekira Rp1.299,50 triliun, namun periode pertama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat Presiden, utang naik Rp724,22 triliun, angka ini menorehkan jumlah utang terbesar sepanjang tahun.

Bukan rahasia lagi, bila sejak zaman Bung Karno dan Pak Harto, Indonesia memang sudah memiliki utang yang sangat banyak, namun pemerintahan SBY merupakan rezim yang jumlah utangnya paling besar. Utang itu baru mungkin bisa dilunasi 45-65 tahun mendatang dengan syarat Indonesia menghentikan utang dan harus berusaha mencari sumber pendanaan pembangunan lain selain utang.

Berikut adalah jumlah utang yang ditinggalkan pada masa-masa krisis hingga sekarang.

Utang di Era Soekarno (1945–1966)

Presiden Soekarno mulai menjabat sejak 17 Agustus 1945, pada masa kekuasaannya, Soekarno meninggalkan utang luar negeri sebesar USD6,3 miliar yang terdiri dari USD4 miliar warisan utang Hindia Belanda atau sejak 1968 disepakati rentang 35 tahun dan jatuh tempo 2003. Selain itu, utang pemerintah USD2,3 miliar dengan rentang 30 tahun sejak 1970 dan jatuh tempo 1999.

Era Soeharto (1966–1998)

Presiden Soeharto menjabat selama 32 tahun terhitung sejak 1966 hingga Mei 1998, dalam masa pemerintahannya, Soeharto meninggalkan utang luar negeri sebesar USD136.088 (1997). Utang tersebut terdiri dari ULN Pemerintah sebesar USD53.865 dan ULN Swasta USD82.223.

Era Habibie (1998–1999)

Habibie menjabat sebagai Presiden di tengah kondisi krisis moneter yang dialami Indonesia saat itu. Presiden BJ Habibie meninggalkan ULN (1999) sebesar USD148.097 terdiri dari ULN pemerintah USD75.862 dan ULN Swasta USD72.235. Utang Pemerintah tersebut naik sebesar USD21.997 dibanding tahun 1997 sebesar USD53.865.

Era Abdurahman Wahid (1999–2001)

Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat sejak 21 Oktober 1999. Pada masanya utang luar negeri turun menjadi USD141.693 terdiri dari utang pemerintah sebesar USD74.916 dan utang swasta USD66.777.

Era Megawati (2001–2004)

Presiden Megawati Soekarnoputri mulai menjabat sejak 23 Juli 2001 sampai 21 Oktober 2004. Data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, mencatat utang hingga Februari 2010 sebesar USD141.273 terdiri dari utang pemerintah USD83.296 dan swasta USD 57.977. Sedikit turun dari posisi total utang LN tahun 2000 yakni sebesar USD141.693.

Era Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2009)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sejak 21 Oktober 2004 sampai dengan saat ini. Selama periode pertama kekuasaannya pada 2004 hingga 2009. Berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, pada Februari 2010 posisi utang luar negeri sampai Oktober 2009 meningkat menjadi USD170,785 terdiri dari utang pemerintah USD98,859 juta dan swasta USD71.926.

Hingga hari ini, dalam era SBY jumlah utang Indonesia hingga November tercatat utang Indonesia pada November naik ke Rp2.354,54 triliun dari posisi Oktober sebesar Rp2.276,98 triliun. Jika dilihat secara ytd dari 2012, maka utang tersebut mengalami kenaikan Rp367,83 triliun dari posisi pada 2012 sebesar Rp1.977,71 triliun. (IRIB Indonesia / Okezone / SL)



Bank Mutiara Sempoyongan Lagi



Bank Century, yang kini menjadi Bank Mutiara, kembali membuat dunia perbankan panas-dingin. Bisik-bisik yang semula terbatas di kalangan bankir menjadi semakin jelas: bank itu mengalami kemerosotan rasio kecukupan modal (CAR ) yang parah, hanya 5,52 persen, per Oktober lalu. Angka itu jauh di bawah ketentuan minimal 8 persen yang ditetapkan Bank Indonesia.

Kekhawatiran bakal terjadi rush alias penarikan besar-besaran dana nasabah pun merebak. Bank lain cemas akan tersambar efek yang tak diharapkan. Untuk meredam kekhawatiran itu, Bank Indonesia meminta Lembaga Penjamin Simpanan menyuntikkan dana Rp 1,5 triliun untuk penyisihan pencadangan aktiva produktif. Dengan begitu, rasio kecukupan modal Bank Mutiara bisa kembali normal.

Apa yang terjadi di Bank Mutiara sesungguhnya merupakan pengecualian dari situasi perbankan Indonesia yang relatif sehat. Sesuai dengan data Bank Indonesia per September 2013, rata-rata rasio kecukupan modal bank masih berada pada kisaran 18 persen. Tingkat kredit seret juga terjaga pada level 1,86 persen, jauh di bawah ketentuan maksimal 5 persen. Jadi, tak ada alasan untuk cemas. Pemerintah dan bank sentral harus berada di garda terdepan untuk menjelaskan fakta itu. Obat paling mujarab bagi penyakit panik akibat informasi yang tak jelas adalah keterbukaan.

Fakta bahwa sejumlah perusahaan milik Honggo Wendratno, Mukhamad Misbakhun, dan bekas pemilik Bank Century, Robert Tantular, gagal membayar utang secara bersamaan patut pula dibuka dan diselidiki. Mereka adalah debitor lama yang menerima kucuran kredit saat Bank Mutiara masih bernama Bank Century di bawah komando Robert Tantular.

Badan Pemeriksa Keuangan pernah menyebutkan bahwa pembiayaan perdagangan alias letter of credit senilai US$ 22,5 juta yang dikucurkan Bank Century ke PT Selalang Prima Internasional milik Misbakhun penuh patgulipat. Selalang mengajukan pinjaman untuk pengadaan kondensat. Bank Century meminta mengimpor dari Grains and Industrial Product Trading di Singapura. Tapi Selalang malah menanamkan duit US$ 22,5 juta itu ke Kellett Investment Incorporate, perusahaan investasi di Hong Kong. Kellett ambruk akibat krisis ekonomi dunia pada 2008.

Utang debitor lama itu semula macet, kemudian direstrukturisasi oleh manajemen baru pada 2011 dan kembali lancar. Tapi tiba-tiba, April-Mei lalu, mereka menghentikan cicilan pembayaran tanpa penjelasan. Bank Mutiara langsung menggolongkan kredit perusahaan-perusahaan itu dari kolektibilitas dua menjadi lima alias macet. Total utang perusahaan-perusahaan itu mencapai Rp 840 miliar. Ada pula kredit macet di era manajemen baru sebesar Rp 174,8 miliar. Gagal bayar itu membuat tingkat kredit seret Bank Mutiara melonjak menjadi 11,69 persen.

Pemerintah dan Bank Indonesia perlu bahu-membahu mengungkap motif pengemplangan kredit secara bersamaan itu. Jika ada indikasi pidana, polisi dan jaksa harus dilibatkan untuk bertindak. Beberapa perusahaan itu sudah seperti pepesan kosong. Bila dipailitkan, potensi pembayarannya nol persen. Untuk meminimalkan kerugian, pemerintah bisa menggugat para debitor tersebut secara perdata dan meminta pengadilan menyita aset mereka di tempat lain sebagai jaminan.

Ketenteraman dan keamanan nasabah bank harus dijaga. Para penjahat bank tak boleh lagi dibiarkan bebas berkeliaran seolah-olah kebal hukum. Moral hazard itu harus dilawan dengan bahasa yang mereka kenal: bukan kekayaan yang akan mereka peroleh, melainkan kemiskinan. (IRIB Indonesia / Tempo / SL)

Updated: Mon, 28 Jan 2013 19:24:46 GMT

Monday, May 13, 2013

Subsidi bunga obligasi rekap sebesar Rp80,7 T thn 2013 secara fiktif disisipkan dlm pos anggaran pembayaran bunga surat utang negara

JAKARTA – Gelembung harga properti atau bubble properti yang muncul berbarengan dengan kerapuhan keuangan negara saat ini, yang ditandai dengan tren defisit keseimbangan primer, berpotensi memicu krisis ekonomi yang lebih dahsyat dibandingkan krisis keuangan 1998. 

Untuk itu, pemerintah perlu segera mengantisipasi agar gelembung properti tidak semakin membengkak kemudian pecah. Selain itu, pemerintah harus memperkokoh fondasi keuangan negara agar lebih tahan terhadap guncangan dan ancaman krisis.

Salah satu upaya efektif untuk menekan defisit keseimbangan primer adalah menghentikan pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam beberapa tahun terakhir, posisi keseimbangan primer anggaran pemerintah sudah negatif. Artinya, realisasi pendapatan negara tidak bisa lagi menutup realisasi belanja pemerintah di luar pembayaran kewajiban utang. Dengan demikian, pemerintah harus mencari utang baru untuk membayar bunga utang lama. Padahal, utang Indonesia kini mencapai 2.000 triliun rupiah.

"Itulah sebabnya, apabila krisis akibat gelembung harga properti terjadi sekarang, dampaknya bakal lebih dahsyat dari krisis moneter 1998. Dengan kata lain, bukan saja akan meninggalkan beban utang yang besar, tapi juga akan merusak sendi-sendi perekonomian nasional," kata pengamat sosial ekonomi dari Universitas Brawijaya, Ahmad Imron Rozuli, saat dihubungi, Minggu (12/5).

Seperti diketahui, krisis moneter 1998 mengakibatkan rakyat Indonesia dibebani pembayaran utang pengemplang BLBI sekitar 650 triliun rupiah. Beban utang konglomerat nakal itu kemudian direkayasa agar masuk beban APBN dalam skema pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan sedikitnya 60 triliun rupiah per tahun hingga surat utang itu jatuh tempo 2033 kemudian diperpanjang lagi menjadi tahun 2043. Bahkan, rakyat juga harus membayar pokok obligasi saat jatuh tempo.

Imron menyarankan pemerintah segera bertindak untuk mencegah agar tidak muncul krisis akibat pecahnya gelembung properti saat ini. "Untuk itu, pemerintah mesti tegas kepada pengembang yang sengaja melakukan mark up harga demi keuntungan semata," kata dia.

Selain itu, imbuh Imron, keseimbangan primer mesti dibuat positif agar kuat menahan serangan krisis. Lebih dari itu, pengalokasian anggaran juga harus efektif untuk menggerakkan kegiatan-kegiatan yang produktif berdasarkan skala priortas. "Agar keuangan negara positif, maka stop pembayaran bunga obligasi rekap, lalu alihkan dananya untuk program yang menggerakkan pembangunan prorakyat," papar Imron.

Sebelumnya, ada usulan untuk mengembalikan bunga obligasi rekap di bank BUMN melalui dividen. Pemikiran itu dinilai kurang efektif karena bakal muncul upaya mengakali penghitungannya. Lebih dari itu, secara teknis, kondisinya akan makin rumit jika pemerintah meminta dividen dari bank swasta pemegang obligasi rekap.

Mengenai skandal BLBI, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono, menilai skandal perbankan itu merupakan kasus kedaulatan negara yang sedang dimangsa, atau suatu upaya pelumpuhan negara yang dilakukan oleh preman-preman ekonomi yang dibantu oleh DPR dan kalangan birokrat. 

Sri Edi menegaskan kejahatan skandal BLBI itu seperti silent take-over dan pembiaran oleh penegak hukum, wakil-wakil rakyat, teknokrat, dan birokrat yang luntur nasionalismenya sekaligus lengah budaya dan lengah iman. 

"Subsidi bunga obligasi rekap sebesar 80,7 triliun rupiah pada tahun anggaran 2013 secara fiktif disisipkan dalam pos anggaran pembayaran bunga surat utang negara. Ini bisa dilihat di halaman 4-108 nota keuangan RAPBN 2013 tabel 4.14 dan ada dua laporan keuangan. Ini akal-akalan pemerintah untuk menutupi skandal BLBI," papar Sri Edi, beberapa waktu lalu.

Belajar dari China


Kepala Pusat Kajian Permukiman dan Perumahan UGM, Yogyakarta, Budi Prayitno, mengatakan pemerintah bisa meniru strategi Pemerintah China mencegah atau mengantisipasi krisis akibat pecahnya gelembung properti.

Seperti diketahui, setelah Negeri Tirai Bambu itu membuka lebar-lebar keran investasi asing, terjadi bubble properti karena patokan harga yang terjadi adalah harga acuan daya beli dari luar negeri yang berlipat-lipat tingginya sehingga tidak terjangkau pasar lokal. 

Budi menegaskan rentang harga properti sangat lebar itulah yang merupakan bubble sebenarnya. Guna mengatasi hal itu, Pemerintah China secara spesifik berhasil mengendalikan pasar properti, salah satunya dengan sistem pemanfaatan lahan telantar yang tidak sepenuhnya dilepaskan kepada kendali mafia pertanahan.

"Pemerintah China mewaspadai bubble properti justru sebelum pasar berkembang pesat. Salah satunya dengan mengendalikan sistem pertanahan di bawah komando pemerintah, bukan pasar," ungkap Budi.

koran-jakarta.com

Hentikan Pembayaran Bunga Obligasi Rekap BUMN dan Asing

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah ekonom meminta DPR menginstruksikan ke pemerintah agar menghent...

Hentikan Pembayaran Bunga Obligasi Rekap BUMN dan AsingHentikan Pembayaran Bunga Obligasi Rekap BUMN dan Asing

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- http://berita.plasa.msn.com/article.aspx?cp-documentid=251701729

Sejumlah ekonom meminta DPR menginstruksikan ke pemerintah agar menghentikan sementara pembayaran bunga obligasi rekap (rekap bond) kepada bank BUMN dan bank asing. Pilihan ini dirasa perlu untuk merekapitulasi jumlah utang obligasi rekap saat ini.

"Stop pembayaran bunga obligasi, khususnya bank BUMN," kata mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (28/1). Penghentian sementara pembayaran bunga obligasi bank BUMN tersebut sudah mempertimbangkan pengelompokan bank.

Pengelompokan obligasi rekap tersebut, menurut Rizal, dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, obligasi rekap milik bank BUMN. Kedua, obligasi rekap milik bank asing. Ketiga, obligasi rekap milik masyarakat.

Jika pembayaran bunga obligasi kepada bank BUMN dan asing dihentikan, tak demikian halnya dengan masyarakat. Rizal mengusulkan obligasi rekap di bawah satu miliar rupiah bisa dibayarkan bunganya. "Namun, obligasi rekap di atas satu miliar rupiah, pembayaran bunganya juga dihentikan," kata dia.

Penghentian pembayaran bunga itu, kata Rizal, akan mendorong bank menunjukkan riil performanya, tanpa menerima subsidi dari pemerintah. Menurutnya, performa bagus perbankan sekarang didominasi masih semu karena mereka memperoleh subsidi dari bunga.


Ekonom sekaligus Wakil Ketua Partai Amanat Nasional (PAN), Drajad Wibowo, mengatakan penghentian tersebut memang berisiko menurunkan rasio keuntungan perbankan. "Namun itu tak apa, sebab marjin bunga bersih (NIM) bank-bank di Indonesia itu tinggi, di atas tujuh persen. Sedangkan di negara lain, NIM di bawah dua persen," paparnya kepada Republika.

Menurut Drajad, bank-bank di Indonesia masih berpeluang terus mendapatkan keuntungan. Jika obligasi dibedakan menjadi rekap dan nonrekap, sambungnya, maka menyusahkah. Sebab, seluruhnya sudah diblending.

Dalam kesempatan tersebut, Drajad juga mengingatkan DPR mengenai kemungkinan adanya penolakan dari pihak perbankan. ''Perbankan akan mengemukakan beberapa alasan untuk menolak usulan tersebut," ujarnya.

Setidaknya, kata Drajad, ada tiga alasan keberatan yang kemungkinan akan disampaikan perbankan.

Pertama, alasan performa bank tersebut akan merosot, seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.

Kedua, bank akan berargumen penghentian tersebut akan memengaruhi ekspansi kredit sebab likuiditas berkurang. Namun, porsi pengurangan tersebut, menurut Drajat, tak akan terlalu besar.

Ketiga, bank akan beragumen saham mereka akan turun di pasar modal. "Seturun-turunnya saham mereka, itu tak akan signifikan. Sebab, sektor perbankan Indonesia di mata dunia masih sangat menarik," kata Drajat. Jadi, meskipun terjadi koreksi saham di pasar modal, maka itu sifatnya umum.

Tanpa Subsidi Bunga, Semua Bank Merugi


http://www.tempo.co/read/news/2004/01/20/05638649/Tanpa-Subsidi-Bunga-Semua-Bank-Merugi 
TEMPO Interaktif, Jakarta:Semua bank di Indonesia sebenarnya mengalami kerugian kalau subsidi bunga oleh pemerintah tidak dihitung dalam laba.

"Para pimpinan bank bersikap seakan-akan mereka benar-benar berprestasi membuat laba atas kemampuan manajemennya sendiri," kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Kwik Kian Gie, dalam seminar "Pengembangan kebijakan pemerintah untuk keterbukaan informasi terkait pemanfaatan pinjaman atau hibah luar negeri" di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa (20/1).

Menurutnya, per 31 Desember 2002, bank rekap di Indonesia memang membukukan laba. Tetapi, tegasnya, bagian terbesar dari laba bersih itu disebabkan bunga obligasi rekap yang diterima dari pemerintah.

Pemerintah, atas permintaan Lembaga Keuangan Internasional (IMF), menganggarkan Rp 40 triliun per tahun untuk rekapitalisasi perbankan. "Apakah ini kalau bukan subsidi," katanya. Obligasi rekapitalisasi perbakan di Indonesia ini merupakan prasyarat IMF dalam memberikan dana pinjaman ke Indonesia senilai US$ 9 miliar.

Kwik mencontohkan, Bank Mandiri yang membukukan laba bersih senilai Rp 5,8 triliun per 31 Desember 2002, namun laba ini belum menghitung obligasi rekap dari pemerintah senilai Rp 21,4 triliun. Kalau dihitung tanpa obligasi rekap, Bank Mandiri mengalami kerugian Rp 15,6 triliun.

Hal sama juga menimpa Bank Negara Indonesia dengan laba bersih Rp 2,5 triliun dan bunga obligasi rekap Rp 7,54 triliun, sehingga merugi Rp 5,03 triliun. Bank Rakyat Indonesia dengan laba bersih Rp 1,47 triliun, memperoleh bunga obligasi rekap Rp 3,74 triliun, sehingga merugi Rp 2,27 triliun.

Bank Tabungan Negara mempunyai laba bersih Rp 303,04 miliar dengan pendapatan obligasi Rp 1,84 triliun sehingga merugi Rp 1,54 triliun. Bank Internasional Indonesia membukukan laba bersih Rp 131,88 miliar dengan bunga obligasi rekap Rp 2,2 triliun sehingga merugi Rp 2,075 triliun. Bank Danamon dengan laba bersih Rp 989,28 miliar mendapat bunga obligasi rekap Rp 3,33 triliun sehingga merugi Rp 2,34 triliun.

Sementara itu, Bank Permata per 31 Desember 2002 mengalami kerugian Rp 847,86 miliar dan memperoleh bunga obligasi rekap dari pemerintah senilai Rp 1,106 triliun, sehingga angka kerugiannya makin bertambah menjadi Rp 1,954 triliun. Bank Niaga membukukan laba Rp 76,593 miliar dan mendapat obligasi rekap senilai Rp 1,134 triliun, sehingga merugi Rp 1,057 triliun.

Bank Lippo membukukan laba bersih Rp 192,564 miliar dengan bunga obligasi senilai Rp 739,755 miliar, sehingga merugi Rp 547,191 miliar. Bank Central Asia juga mengalami hal yang sama. Mereka membukukan laba bersih Rp 3,4 triliun dan mendapat bunga obligasi rekap senilai Rp 8,591 triliun, sehingga kerugian tanpa bunga obligasi rekap mencapai Rp 5,192 miliar.

Yandi M Rofiandi - Tempo News Room

Waspadai Upaya Bailout Bank Century Jilid 2 !
https://www.facebook.com/permalink.php?id=315640214515&story_fbid=10150918005874516
 
Skandal obligasi rekapitalisasi (OR) perbankan benar-benar telah mencederai rasa keadilan. Hampir setiap tahun bankir-bankir yang sudah kaya-raya mendapat gelontoran dana dari pemerintah senilai Rp60 triliun. Sementara di sisi lain, masih banyak rakyat miskin yang belum dapat menikmati sarana pendidikan, kesehatan, dan yang lainnya. Demikian rangkuman pandangan mantan menko perekonomian Rizal Ramli, mantan menko ekuin Kwik Kian Gie dan Sasmito Hadinagoro, pengamat ekonomi dan perpajakan dalam dialog di Metro TV, Jumat malam (25 Mei 2012)

Karenanya, pemerintah didesak segera menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap yang ada di perbankan nasional. Besar pembayaran bunga obligasi rekap melebihi subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk rakyat. Padahal yang menikmati bunga obligasi rekap adalah para pelaku perbankan yang berkemampuan lebih dari cukup.

Uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp60 triliun per tahun habis hanya untuk membayar bunga obligasi rekapitalisasi yang 'mandeg' di beberapa bank nasional. Padahal bunga obligasi Rp60 triliun per tahun cukup untuk pembagunan infrastruktur atau subsidi BBM.

Pembayaran bunga obligasi akan berakhir 2040. Artinya, dua kali APBN uang pajak rakyat harus dibayarkan untuk para bankir.

Pemakaian subsidi bunga sebesar Rp60 triliun semata-mata hanya akan membuat orang kaya semakin kaya. Sementara di sisi lain, rakyat terus dituntut dengan pengurangan subsidi BBM.

Mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, mengaku sempat mengusulkan mengganti obligasi rekap menjadi obligasi tanpa bunga.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI) Sasmito Hadinagoro, mengungkapkan, pemerintah selama ini terus berkeinginan untuk mengurangi subsidi BBM karena dianggap mendistorsi pembangunan ekonomi.

Padahal, menurut dia, pemerintah membayarkan subsidi kepada perbankan berupa pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi yang seharusnya dapat dipergunakan untuk melakukan pembangunan.

“Ini suatu bentuk ketidakadilan yang sangat luar biasa, untuk menyubsidi perbankan, pemerintah rela mengguyurkan uang pajak sebesar Rp 60 triliun setiap tahunnya kepada perbankan. Sedangkan untuk subsidi BBM, pemerintah berniat untuk menghapusnya,” ujar nya.

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, juga pernah meminta pemerintah menarik semua obligasi rekap di perbankan nasional. Penarikan obligasi rekap bisa mengurangi beban APBN.

Rizal juga meminta semua pihak mewaspadai upaya untuk mengalihkan obligasi rekap untuk membeli saham bank Century yang kini beralih nama menjadi Bank Mutiara.

“Jika ini dilakukan, maka Bank Century menerima subsidi untuk kedua kalinya,” ujarnya.

Obligasi rekap sendiri pada mulanya ditujukan untuk mengatasi kesulitan permodalan bank-bank akibat pengaruh krisis ekonomi pada akhir tahun 1997. Setelah diterbitkan, Obligasi Rekap tersebut ditransfer kepada bank-bank tertentu yang terpilih untuk mengikuti program tersebut sebagai realisasi dari upaya penyertaan modal negara.

Pada awalnya program ini berjalan baik mengingat bank-bank tersebut kemudian diambil alih oleh pemerintah. Namun pada tahun 2003, yaitu ketika menteri keuangan dijabat oleh Boediono, masalah mulai muncul. Dimana bank-bank yang masih dalam penyehatan dijual dengan harga murah atas saran dari IMF, dan obligasi rekap yang semula tanpa bunga kemudian dikenakan bunga. Akibatnya, bank-bank yang telah beralih menjadi milik swasta tersebut memiliki tagihan piutang kepada pemerintah. Inilah yang kemudian menjadi beban hutang yang membebani pemerintah dan menguras anggaran negara hingga mencapai Rp60 triliun per tahun.[ach/mtr/wiki]

Jejak Boediono di Century

26 Nov 2013 12:56:09
http://m.aktual.co/aktualreview/125733jejak-boediono-di-century
 
Jejak Boediono di Century
Ilustrasi Aktual.co
Jakarta, Aktual.co —  
 
Alasan krisis ekonomi global yang selalu digunakan Boediono dalam menyelamatkan Bank Century sebagai bank gagal yang dapat berdampak sistemik, terpatahkkan dengan kesaksian Jufuf Kalla yang ketika itu sebagai pelaksana tugas presiden karena SBY berada di AS. 

Sebelumnya diketahui, pada 30 Oktober dan 3 November 2008, Bank Century mengajukan Fasilitas Repro Aset (yang kemudian disikapi oleh BI menjadi FPJP). sebesar Rp1 triliun. Permintaan Bank Century itu ditolak. Menurut analisis BI, Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century hanya sebesar positif 2,35 persen. Masih jauh di bawah CAR minimal untuk mendapatkan fasilitas pinjaman yang dinyatakan dalam Peraturan BI 10/26/PBI/2008, yakni 8 persen.

Guna mengakali aturan itu, temuan BPK menyebutkan bahwa pada tanggal 14 November 2008 BI sengaja mengubah aturan persyaratan CAR dengan mengganti angka minimal 8 persen menjadi minimal 0 persen atau “positif” saja.

Namun fakta menunjukan dalam temuan BPK, bahwa posisi CAR Bank Century pada pada saat pengikatan FPJP, merosot menjadi negatif 3,53 persen. Sehingga, dengan bantuan perubahan syarat CAR itu pun sesungguhnya Bank Century masih tetap tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP.

Di sisi lain, BPK juga mencatat proses pencairan FPJP (kredit) untuk Bank Century senilai Rp.689 miliar hanya dalam waktu yang tidak lazim. Yakni kurang dari 5 jam dengan membuat tanggal dan jam mundur atau tidak dalam waktu yang tidak sebenarnya pada akta notaris dan waktu pencairan yang juga tidak lazim, yakni jumat malam pukul 20.35 wib. 

Catatan: dalam akta tertulis penanda tanganan akat kredit, 14 November 2008 pukul 13.30 wib. Fakta temuan Pansus Century DPR penandatangan dilakukan pada tanggal 15 November 2008 pukul 02.00 dinihari. Artinya, pencairan FPJP berdasarkan surat kuasa Boediono selaku Gubernur BI kepada tiga pejabat BI, dilakukan sebelum para pihak menandatangi pengikatan akat kredit.

Temuan BPK selanjutnya adalah, penyerahan nilai jaminan atau anggunan dilakukan seminggu kemudian. Itupun nilainya tidak sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan BI, yakni di bawah 150 persen. Celakanya lagi, belakangan diketahui sebagaimana temuan BPK, bahwa sebagian jaminan untuk mendapatkan FPJP yang disampaikan pihak Bank Century senilai Rp 467,99 miliar nyata-nyata tidak aman. Namun demikian, Boediono selaku pimpinan rapat Dewan Gubernur ketika itu, tetap keukeuh menyetujui pemberian FPJP untuk Bank Century.

Itu soal FPJP. Bagaimana soal bailout? 
Ternyata dana FPJP senilai Rp689 miliar yang digelontorkan Boediono kepada Bank Century, dalam waktu sekejap habis. Bank Century kembali kolaps. Untuk menolong lagi Bank Century, diam-diam pada malam hari 20 November 2008, singkat kata setelah melalui proses panjang dan perdebatan sengit dalam mencari-cari alasan atau argumentasi yang masuk akal untuk kembali menolong Century, Boediono menandatangani surat bernomor 10/232/GBI/Rahasia tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan Penanganan Tindak Lanjutnya.

Di dalam surat itu antara lain disebutkan bahwa salah satu cara untuk mendongkrak rasio kecukupan modal bank Century dari negatif 3,53 persen (per 31 Oktober 2008) menjadi positif 8 persen adalah dengan menyuntikkan dana segar sebagai Penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp 632 miliar. 

Surat itu kemudian dibahas dalam "rapat konsultasi" yang digelar sebelum rapat Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) pada malam hari itu juga. Setelah "rapat konsultasi" yang diikuti sejumlah petinggi dan pengambil kebijakan sektor fiskal dan jasa keuangan itu, Boediono dan Sri Mulyani menggelar Rapat KSSK hingga subuh keesokan harinya, 21 November 2008.

Dalam “rapat konsultasi” menjelang Rapat KSSK di gedung Djuanda, kompleks Kementerian Keuangan pada pergantian malam itu, Boediono menjadi pihak yang paling ngotot membela status Bank Century dan jalan keluar yang dianggapnya perlu.

Jejak sikap ngotot Boediono dapat ditelusuri dari transkrip rekaman pembicaraan "rapat konsultasi" dan dokumen resmi notulensi "rapat konsultasi" yang beredar luas di masyarakat pada akhir tahun 2009 lalu. 

Dalam notulensi “rapat konsultasi” setebal lima halaman itu disebutkan bahwa rapat yang dipimpin Sri Mulyani dibuka sebelas menit lewat tengah malam tanggal 21 November 2008. Juga disebutkan bahwa rapat digelar khusus untuk membahas usul BI agar Bank Century yang oleh BI diberi status “Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik” dinaikkan statusnya menjadi “Bank Gagal yang Berdampak Sistemik”.

Boediono mendapatkan kesempatan pertama untuk mempresentasikan permasalahan yang sedang dihadapi Bank Century.

Sri Mulyani adalah pihak pertama yang mengomentari rekomendasi Boediono. Dia mengatakan bahwa reputasi Bank Century selama ini, sejak berdiri Desember 2004 dari merger Bank Danpac, Bank CIC, dan Bank Pikko, memang tidak bagus. Lalu Sri Mulyani meminta agar peserta rapat yang lain memberikan komentar atas saran Boediono.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF), misalnya, menolak penilaian BI atas Bank Century. Menurut BKF, “analisa risiko sistemik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik. Juga menurut BKF, analisa BI lebih bersifat analisa "dampak psikologis.”

Sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun hampir serupa. Dengan mempertimbangkan ukuran Bank Century yang tidak besar, secara finansial Bank Century tidak akan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap bank-bank lain.

“Sehingga risiko sistemik lebih kepada dampak psikologis.”

Tetapi Boediono bertahan pada pendapatnya. Dan pada akhirnya dia tidak saja memenangkan pertarungan dalam rapat tertutup tersebut. Namun juga berhasil meyakinkan Srimulyani selaku ketua KSSK untuk menandatangaani persetujuan bailout sebesar Rp632miliar pada pukul 5 subuh hari sabtu tanggal 22 November 2008.

Pertanyaan menariknya, apa yang terjadi setelah persetujuan bailout ditanda tangani Sri Mulyani? Hanya dalam tempo dua hari, yaitu sabtu dan minggu. Senin pagi sudah tergelontor dari kocek LPS sekitar Rp2,7triliun. Bagaimana bisa dihari libur, tidak ada kliring, Century bisa jebol triliunan? Itulah barangkali yang menjelaskan mengapa Srimulyani kemudian marah dan merasa tertipu oleh BI. 

Lalu apakah setelah marah-marah di dalam rapat dengan seluruh petinggi BI dan LPS termasuk Boediono selaku Gubernur BI sebagai terungkap dalam dalam notulen, transkrip dan rekaman rapat tersebut, kucuran dana ke Bank Century berhenti? Ternyata tidak. Pembobolan terus berlangsung, mulai akhir November 2008 saat menjelang pemilu legislatif April 2009. Hingga pasca pemilu pemilihan presiden dan wakil presiden pada Juni 2009 dengan total penarikan Rp6,7 triliun.

Bambang Soesatyo
Anggota Timwas Century DPR RI

Epung Saepudin

Campur Tangan IMF dan Asing Hambat Penuntasan Skandal BLBI, Century, Boediono dan Kasus Alstom ?

25 Jan 2013 06:53:48
Campur Tangan IMF dan Asing Hambat Penuntasan Skandal BLBI, Century,  Boediono dan Kasus Alstom ?
Wakil Presiden Boediono (Foto: Aktual.co/Amir Hamzah)
Jakarta, Aktual.Co -- http://m.aktual.co/aktualreview/205323campur-tangan-imf-dan-asing-hambat-penuntasan-skandal-blbi-boediono-dan-kasus-alstro
Pengakuan Ketua KPK Abraham Samad  yang meminta dukungan diplomasi penuh ke Pemerintah Amerika Serikat guna mengungkap kasus korupsi  yang melibatkan PT Alstom Indonesia, ditambah sinyalemen Anggota Komisi I DPR-RI  Lily Chadidjah Wahid tentang campur tangan asing yang memaksakan Boediono harus terbebas dari jerat hukum dalam pengungkapan mega skandal korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), semakin menghempas harga diri bangsa Indonesia,

Kedongkolan rakyat akibat  rasa keadilan masyarakat tidak diindahkan oleh para aparat penegak hukum yang memantek asas praduga tidak bersalah dan saling sengkarut kerumitan prosedur hukum, mulai membara kembali akibat campur tangan asing di dalam proses penegakkan hukum terhadap para koruptor.

Samad sebagaimana diberitakan Aktual. Co Rabu (23/1) mengaku bahwa kepelikan hubungan diplomasi Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi tembok penghalang KPK untuk menjerat PT Alstom Indonesia, penyuap 300 ribu dollar AS lebih Ketua Komisi XI DPR-RI Izedrik Emir Moeis,dalam kasus dugaan korupsi Pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap ) Tarahan di Lampung, tahun 2004.

Kepentingan Multi Nasional

Aneh, KPK pada Kamis 25 Juli 2012 menetapkan Emir Moeis,politisi kawakan ini  menjadi tersangka karena diduga telah menerima suap, sehingga politisi PDI Perjuangan ini pun dicekal tidak boleh berpergian ke luar negeri. Namun sampai awal tahun ini, kasus Korupsi PLTU Tarahan bagai membeku. Bahkan PT Alstom pun tak kunjung dijerat sebagai tersangka pemberi suap,

Entah mana yang benar, apa karena ada hambatan berupa jarak fisik antar kedua negara yang terentang jauh seluas Samudra Pasifik, dan kerumitan diplomasi yang menuntut penciptaan kesefahaman antar dua negara dulu, sebagaimana kilah Ketua KPK. Atau memang ada upaya diplomatik dan penekanan halus terhadap Indonesia agar perusahaan multinasional asal Amerika Serikat ini tidak terkena sanksi hukum? Wallahua'lam bishawab.  

Permainan Jaringan IMF

Yang lebih memprihatinkan, justru sinyalemen wakil rakyat di Komisi I DPR-RI. Lily Wahid. Adik Gus Dur ini yakin, Boediono, mantan Direktur Analisis Kredit BI meski pernah dipecat Presiden Soeharto karena dinilai tidak bertanggungjawab, memang diloloskan dari jerat hukum mega skandal BLBI, karena ada campur tangan asing. Terbukti di samping Boediono bisa kembali ke BI bahkan dipromosi oleh SBY menjadi Gubernur  Bank Sentral, bahkan teknokrat ini pun kemudian menjadi Wakil Presiden,.

“Ada campur tangan jaringan dia (Boediono). Ini permainan jaringan, karena yang diuntungkan dari bunga rekap BLBI sebesar Rp60 triliun pertahun dan diserahkan kepada IMF (Dana Moneter Internasional),” kata Lili.

Bagi wakil rakyat vokalis Komisi I yang membidangi pertahanan, luar negeri, intelejen, dan komunikasi ini, rasanya ada yang janggal. Sehingga harus dicari sebab musabab kenapa Boediono bisa bebas dari jerat hukum, Sebaliknya, sejumlah enioren “Atasan Boediono kok malah terjerat? Kata Lili Wahid di DPR-RI Senayan, Jakarta, Senin (21/1)

Campur tangan asing dalam bidang penegakkan hukum oleh permainan jaringan di belakang Boediono yang melibatkan IMF itu, menurut Lily memang sulit dibuktikaan, Namun mengingat ada berbagai kejanggalan, tentu bisa dirunut ditelisik dan diuraikan. Contoh, yang bisa ditarik sekarang, adalah BI bayar iuran Rp150 trilliun dan sampai saat ini masih berlangsung “Saya sedang cari bukti, dan Insya Allah ada buktinya,” Ujar Lily,

Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPRLebih aneh lagi, Lily menengarai kok ada semacam ke-terlena-an DPR sebagai lembaga pengawas yang tak pernah memperkarakan keterlibatan Boediono dalam mega skandal BLBI sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomer 979 dan 981 Tahun 2004,  “Mungkin DPR dibakarin menyan oleh Boediono,” kata Lily.

Keheranan Lily kian bertambah, mengingat Ketua DPR RI, Marzuki Alie dalam suatu kesempatan menanggapi Skandal Century,  juga telah mempersilahkan anggota untuk menggunakan HMP (Hak Menyatakan Pendapat) terhadap Boediono. Padahal dengan HMP itu, DPR bisa melakukan penyelidikan kasus BLBI, sehingga Boediono pasti bisa terseret. Tetapi kok belum tergerak juga hati para wakil rakyat itu.

Bahkan Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI komisi III dari Fraksi Golkar ini menyatakan, Aneh jika Penegak hukum melakukan pembiaran dan tidak segera menindaklanjuti keputusan Mahkamah Agung terkait BLBI. Mengingat amar putusan tersebut jelas menjerat Boediono terkait kasus BLBI dengan pasal 55 KUHP. Yakni turut serta melakukan tindak pidana.

Untuk itu, Bambang Soesatyo mendesak Polri, Kejaksaan Agung serta KPK segera berkoordinasi dan menindaklanjuti keputusan MA tersebut atas keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). 

Jadi, jika dikaitkan dengan kasus Bank Century yang kini telah masuk ke tingkat penyidikan di KPK dimana Boediono diduga kuat berperan besar dalam penggelontoran dana talangan ke Bank Century Rp.6,7 triliun. Maka, seharusnya DPR segera melakukan langkah-langkah yang seharusnya. Yakni Hak Menyatakan Pendapat (HMP). 


Antek Neolib

Mengenai kaitan tali temali Boediono selaku salah seorang kader teknokrat ekonomi di Indonesia dengan IMF maupun kepentingan asing, sesungguhnya bukan hal baru. Pada tahun 2009 saat SBY akan memilih Boediono sebagai cawapres pendampingnya, marak sejumlah protes dan aksi demo yang dilancarkan oleh sejumlah partai mitra koalisi partai demokrat pengusung SBY, seperti PAN dan PKS.  

Ratusan orang yang tergabung dalam Komando Rakyat Anti Neolib pada hari Kamis 14 Mei 2009 mendatangi Istana Negara menuntut pembatalan Boediono sebagai bakal Wapres 2009-2014. “Dia antek asing dan pendukung neoliberal” kata Chaerudin, Koordinator Aksi tersebut yang menuding Boediono juga sebagai motor privatisasi perusahaan-perusahaan nasional.

Demo serupa juga digelar sehari sebelumnya oleh Komite Muda Indonesia (KMI) di Monas hari Rabu (13/5) yang menyatakan Boediono sebagai antek neoliob, dalam arti berpihak kepada kepentingan IMF, Bank Dunia, dan WTO. Sodikin Korlap aksi tersebut menyatakan, mereka menolak Boediono, karena risau perekonomian Indonesia akan semakin ke pasar bebas, mengedepankan swastanisasi, sehingga akan semakin banyak aset negara yang jatuh dikuasai ke swasta asing. 

Neoliberalisme adalah Sistem Ekonomi dengan agenda Penjualan BUMN (Privatisasi), penghapusan subsidi pada barang dan jasa, deregulasi, pasar bebas, penyerahan kekayaan strategis sumber daya alam kepada pihak swasta/asing, dan bertumpu pada pinjaman hutang luar negeri.
Dhia Prekasha Yoedha


2 komentar:

  1. Halo, nama saya Setiabudi, seorang korban penipuan dari tangan pemberi pinjaman, saya telah penipuan semua paling Rp40,000,000 karena saya butuh modal besar Rp500.000.000, saya hampir mati, saya tidak punya tempat untuk pergi, bisnis saya hancur dalam proses tersebut saya kehilangan anak saya .. saya tidak bisa berdiri again..all hal ini terjadi Desember 2014, tidak semua sampai saya bertemu dengan seorang teman yang memperkenalkan saya kepada ibu yang baik Mrs Alexandra yang akhirnya membantu saya mengamankan pinjaman di perusahaannya, ibu yang baik saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih, Semoga Tuhan terus memberkati Anda, saya juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyarankan sesama Indonesia, bahwa ada banyak scammers luar sana, jika Anda membutuhkan pinjaman dan pinjaman yang dijamin hanya cepat mendaftar melalui Ibu Alexandra melalui email. alexandraestherloanltd@fastservice.com dan alexandraestherloanltd@gmail.com, Anda dapat menghubungi saya melalui email ini; setiabudialmed@gmail.com untuk informasi perlu tahu. silahkan dia adalah satu-satunya tempat yang dapat diandalkan dan dapat dipercaya. Tidak ada pajak. Tidak ada asuransi untuk membayar.
    Terima kasih.

    BalasHapus
  2. Saya ingin semua orang untuk membaca pesan ini dengan hati-hati. Saya sangat senang untuk membuat kesaksian bagaimana saya mendapat pinjaman saya di pemberi pinjaman kredit legit, saya telah menderita di tangan kreditur internet palsu di situs web tertentu, saya telah diterapkan di beberapa perusahaan pinjaman di sini dan semua yang mereka lakukan adalah meminta saya untuk pembayaran dan setelah pembayaran, saya tidak akan mendapatkan pinjaman dari mereka, mereka adalah orang-orang yang salah. Saya kesakitan karena utang saya, dan saya membayar pembayaran lain untuk mendapatkan pinjaman untuk membuat saya utang yang lebih besar. Saya sangat senang ketika teman saya mengatakan kepada saya bahwa dia mendapat pinjaman dari internet, dia adalah orang yang mengatakan kepada saya tentang perusahaan pinjaman Theresa, dan saya mengajukan pinjaman sebesar $ 100.000 USD Aku mengikuti semua prosedur, saya berpikir bahwa saya lakukan tidak akan mendapatkan pinjaman, tapi aku sangat senang ketika pinjaman saya disetujui dan dikirim ke rekening bank saya langsung dalam waktu 24 jam menerapkan. Saya telah membayar semua hutang saya sekarang dan saya stabil secara finansial ketika saya menulis pesan ini. Jadi jika salah satu dari Anda berada di sini untuk mengajukan pinjaman, Anda harus menghubungi theresaloancompany di Uni E-mail, mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman pinjaman adalah nyata, yang lain adalah palsu. Cukup ikuti semua prosedur di perusahaan pinjaman Theresa dan saya meyakinkan Anda bahwa Anda juga akan mendapatkan pinjaman Anda seperti saya dan teman saya. Anda memiliki bijak sehingga Anda tidak akan kehilangan uang seperti saya, hubungi Theresa sekarang di email mereka jika Anda benar-benar membutuhkan pinjaman theresaloancompany@gmail.com
    hubungi saya juga jadi saya bisa memberikan informasi lebih lanjut tentang feyzilfatma@gmail.com
    Terima kasih telah membaca kesaksian saya dan saya berterima kasih kepada Tuhan Bantuan

    BalasHapus