ertanggung Jawab Lindungi Rakyatnya dari Obat Haram. Menkes
Dipertanyakan! - See more at:
http://foblog.psikomedia.com/read/Berita-dan-Politik/6635/negara-bertanggung-jawab-lindungi-rakyatnya-dari-obat-haram--menkes-dipertanyakan-/#sthash.U7gnfaoj.dpuf
Kemenkes: Babi Tidak Ada Dalam Kandungan Obat, Tapi Hanya Katalisator |
Ditulis oleh Redaktur Sumeks | |||
Sabtu, 07 Desember 2013 08:41 | |||
http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=27827:kemenkes-babi-tidak-ada-dalam-kandungan-obat-tapi-hanya-katalisator&catid=60:news-update&Itemid=134
JAKARTA - Kementerian Kesehatan menjawab
keresahan masyarakat mengenai adanya obat yang mengandung babi. Pihak
Kemenkes mengatakan bahwa obat-obatan tersebut bukan berbahan dasar
babi, namun memang sebagian menggunakan katalisator dari minyak babi.
Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi menjelaskan bahwa minyak babi tersebut digunakan hanya sebagai katalisator, bukan merupakan bahan utama. Yang dalam prakteknya, katalis tersebut tidak akan tersisa dalam obat atau vaksin yang telah jadi. "Menurut pendapat para ahli kami bahwa yang ada itu, hanya dalam prosesnya, dalam tripsinnya. Dan itu tidak dalam bentuk sama, masih dalam bentuk katakanlah babi. Katalis itu numpang lewat dan di produk aslinya sudah tidak ada, hanya mempercepat dan memperbaiki tapi dalam produknya sendiri tidak ada," jelas Menkes di Jakarta kemarin. Namun tidak ia pungkiri, bahwa hal tersebut masih menjadi pertimbangan bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwah halal atau haramnya. Menghadapi hal itu, pihaknya telah melakukan konsultasi dengan Majelis Kehormatan Kedokteran Syariah, yang nantinya akan memberikan nasihat mana yang baik dan tidak. "Mereka yang akan membahas dengan Kementerian Agama. Tapi jelas dengan Kementerian Agama juga kita bahas," ujar Menkes. Dalam kesempatan itu, Menkes kembali menegaskan bahwa permohonan pihaknya agar masalah ini juga memperhatikan kepentingan masyarakat terutama yang terbaik baik masyarakat. "Dari pihak kami tentu kami nurut aja ahli mengatakan apa, yang bisa memberi tanggapan dari sisi agama pasti ahli agama," lanjutnya. Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes, Maura Linda mengatakan bahwa tidak ada vaksin yang mengandung babi, melainkan hanya katalisator saja. "Misalnya meningitis ada yang dulu diproses menggunakan tripsin (enzim pemecah protein), tapi sekarang menggunakan bahan lain," tutur Linda. Linda mengakui, bahwa pihak farmasi bisa saja memilih komponen yang dianggap tidak haram. Namun, menurutnya, kadang tidak semudah itu untuk mencari alternatif lain. Sebab berhubungan dengan bahan-bahan kimia yang kadang susah untuk diolah. Dalam proses penelitian obat sendiri sangatlah kompleks dan memakan waktu. Bahkan ada yang sampai 20 tahun. "For your information, obat-obat baru itu umunya bukan dibuat di Indonesia. Jika kita ingin memisahkan suatu unsur namun datangnya ke sini sudah bentuk obat, akan sangat sulit untuk melakukannya," jelasnya. Lebih lanjut ia menjelaskan, sebelum dikeluarkan obat-obat tersebut harus memenuhi tes khasiat keamanan dan mutu.Jika obat tersebut sudah dikeluarkan di pasaran, maka obat tersebut dapat dipastikan aman. Sebab jika sudah lolos tes khasiat keamanan dan mutu, unsur-unsur yang terkandung dalam obat itu pastilah tidak berbahaya. Mengenai halal haram suatu obat sendiri Linda tidak berani menyatakan mana yang halal dan mana yang haram. Menurtnya, halal haram tersebut sudah masuk ke dalam wewenang MUI untuk menentukan. Namun ia meminta agar persoalan halal/haram ini dibedakan antara obat dan makanan. Sebab, halal/ haram dari suatu obat atau vaksin tidak bisa ditetapkan dengan mudah karena menyangkut nyawa. "Kita harap dibedakan. Kita belum siap untuk itu," tandanya. Mantan kepala BPOM Lucky S Slamet pun turut memberikan keterangan mengenai halal/haramnya suatu obat atau vaksi. Menurt dia, hingga saat ini mayoritas negara-negara lain di dunia juga belum memiliki sertifikasi halal atau tidak untuk produk obat. "Yang penting kan komposisinya diberi tahu," ujarnya. Hingga saat ini, MUI sendiri masih belum mngeluarkan sertifikasi halal untuk beberapa jenis obat dan vaksin. Menurut mereka, banyak pihak farmasi yang masih belum mendaftarkan obat mereka lantaran masih takut untuk dilakukan pemeriksaan menyeluruh mengenai pembuatan obat tersebut. Mengenai adanya penggunaan katalisator berbahan minyak babi sendiri mengingatkan kita pada kasus salah satu produsen bahan penyedap. Produsen tersebut ditengarai menggunakan minyak babi sebagai katalisatornya. Hal tersebut kontan mendapat respon negatif dari masyarakat dan MUI. Namun akhirnya dapat dilakukan pembuktian bahwa minyak babi tersebut tidak terbawa pada hasil akhir produksi mereka. karena minyak babi tersebut hanya katalisator yang hilang sepenuhnya setelah digunakan, dan tidak terkandung dalam hasil jadi. (mia/ca/ndy)
Ahad, 5 Safar 1435 H / 8 Desember 2013 18:22 wib
Gawat Obat Halal Cuma 22! Desak Menkes Beberkan Obat Ber-Babi
JAKARTA (voa-islam.com) - Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,
Umat Islam Indonesia sudah kemasukan minyak babi yang terkandung pada
mayoritas obat dan farmasi di Indonesia, karena nyatanya baru 22 produk
yang bersertifikasi halal dari MUI.
"Di antara 30 ribu obat yang diproduksi sekitar 206 perusahaan di
Indonesia, yang telah bersertifikat halal masih sangat sedikit. Dari
kelompok obat-obatan, hanya ada lima perusahaan dengan 22 produk,” beber
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim, Sabtu (7/11).
Di kelompok jamu, ada 14 perusahaan yang telah memiliki sertifikat
halal dengan 100-an produk. Pada kelompok suplemen, yang telah
mengantongi sertifikat halal sebanyak 13 perusahaan dengan sekitar 50
produk.
"Angka-angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk muslim yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa," ujar
Lukman.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara mengenai pernyataan
Nafsiah Mboi soal masih adanyan obat menggunakan katalisator berbahan
babi. MUI menegaskan, hal itu tetap haram meski hasil akhirnya sudah
tidak terdeteksi.
Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal produk
Farmasi dalam Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU
JPH). Alasannya, hampir semua obat dan vaksin mengandung babi sehingga
tidak bisa disertifikasi halal.
“Contohnya,
walaupun bahan vaksin tidak mengandung babi, tapi katalisatornya itu
mengandung unsur babi. Sehingga tidak bisa dinilai kehalalannya,” ujar
Nafsiah
Sehingga Mboi menilai produk farmasi perlu dipisahkan dari makanan
dan minuman dalam RUU JPH. Nafsiah juga membenarkan adanya penggunaan
minyak babi pada katalisator dalam pembuatan obat
Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan, sesuai dengan
kaidah ushuliah, sesuatu yang haram awalnya meski diproses sedemikian
rupa, hasil akhirnya tetap haram. Amidhan berharap pemerintah lebih
mendorong tersedianya obat halal, bukan malah menolak. Sebab,
perlindungan terhadap konsumen muslim adalah hak konstitusional.
"Dalam Islam, hukum mengonsumsi obat dan vaksin sama dengan hukum mengonsumsi produk pangan, yakni harus halal,” ujar dia.
"Hal yang semacam itu di dalam paradigma fikih disebut istihalah,
yaitu sesuatu yang haram setelah diproses berubah bentuk menjadi halal
karena unsur haramnya tidak terdeteksi. Berdasar kaidah ushuliah di
atas, MUI menolak perubahan bentuk istihalah tersebut," tutur Amidhan.
Menkes Wajib Beberkan Obat Mengandung Babi
Anwar Abbas, Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengatakan
Kemenkes harus bersikap tegas terkait dengan peredaran produk-produk
farmasi yang belum memenuhi standar kehalalan.
Menurutnya, pernyataan Menkes yang meminta tidak diberlakukan
sertifikasi halal untuk produk farmasi sangat mengejutkan. Apalagi,
alasannya adalah hampir semua obat di Indonesia mengandung unsur bahan
haram.
"Saya merasa pernyataan itu mengejutkan karena selama ini umat
Islam di Indonesia telah mengonsumsi obat-obatan yang haram," tuturnya.
Dia mendesak Menkes agar membeberkan obat-obatan apa saja yang
mengandung bahan-bahan haram. Anwar juga meminta seluruh elemen,
termasuk pemerintah, tidak berdiam diri melihat fenomena itu terus
berlarut-larut. [dbs/rahmatullah/voa-islam.com]
Ahad, 5 Safar 1435 H / 8 Desember 2013 18:22 wib
Gawat Obat Halal Cuma 22! Desak Menkes Beberkan Obat Ber-Babi
JAKARTA (voa-islam.com) - Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,
Umat Islam Indonesia sudah kemasukan minyak babi yang terkandung pada
mayoritas obat dan farmasi di Indonesia, karena nyatanya baru 22 produk
yang bersertifikasi halal dari MUI.
"Di antara 30 ribu obat yang diproduksi sekitar 206 perusahaan di
Indonesia, yang telah bersertifikat halal masih sangat sedikit. Dari
kelompok obat-obatan, hanya ada lima perusahaan dengan 22 produk,” beber
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim, Sabtu (7/11).
Di kelompok jamu, ada 14 perusahaan yang telah memiliki sertifikat
halal dengan 100-an produk. Pada kelompok suplemen, yang telah
mengantongi sertifikat halal sebanyak 13 perusahaan dengan sekitar 50
produk.
"Angka-angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk muslim yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa," ujar
Lukman.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara mengenai pernyataan
Nafsiah Mboi soal masih adanyan obat menggunakan katalisator berbahan
babi. MUI menegaskan, hal itu tetap haram meski hasil akhirnya sudah
tidak terdeteksi.
Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal produk
Farmasi dalam Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU
JPH). Alasannya, hampir semua obat dan vaksin mengandung babi sehingga
tidak bisa disertifikasi halal.
“Contohnya,
walaupun bahan vaksin tidak mengandung babi, tapi katalisatornya itu
mengandung unsur babi. Sehingga tidak bisa dinilai kehalalannya,” ujar
Nafsiah
Sehingga Mboi menilai produk farmasi perlu dipisahkan dari makanan
dan minuman dalam RUU JPH. Nafsiah juga membenarkan adanya penggunaan
minyak babi pada katalisator dalam pembuatan obat
Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan, sesuai dengan
kaidah ushuliah, sesuatu yang haram awalnya meski diproses sedemikian
rupa, hasil akhirnya tetap haram. Amidhan berharap pemerintah lebih
mendorong tersedianya obat halal, bukan malah menolak. Sebab,
perlindungan terhadap konsumen muslim adalah hak konstitusional.
"Dalam Islam, hukum mengonsumsi obat dan vaksin sama dengan hukum mengonsumsi produk pangan, yakni harus halal,” ujar dia.
"Hal yang semacam itu di dalam paradigma fikih disebut istihalah,
yaitu sesuatu yang haram setelah diproses berubah bentuk menjadi halal
karena unsur haramnya tidak terdeteksi. Berdasar kaidah ushuliah di
atas, MUI menolak perubahan bentuk istihalah tersebut," tutur Amidhan.
Menkes Wajib Beberkan Obat Mengandung Babi
Anwar Abbas, Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengatakan
Kemenkes harus bersikap tegas terkait dengan peredaran produk-produk
farmasi yang belum memenuhi standar kehalalan.
Menurutnya, pernyataan Menkes yang meminta tidak diberlakukan
sertifikasi halal untuk produk farmasi sangat mengejutkan. Apalagi,
alasannya adalah hampir semua obat di Indonesia mengandung unsur bahan
haram.
"Saya merasa pernyataan itu mengejutkan karena selama ini umat
Islam di Indonesia telah mengonsumsi obat-obatan yang haram," tuturnya.
Dia mendesak Menkes agar membeberkan obat-obatan apa saja yang
mengandung bahan-bahan haram. Anwar juga meminta seluruh elemen,
termasuk pemerintah, tidak berdiam diri melihat fenomena itu terus
berlarut-larut. [dbs/rahmatullah/voa-islam.com]
Bahas Obat dan Makanan Haram
LP POM MUI – Kemenkes Harus Duduk BersamaJunaedi — HARIAN TERBIT
JAKARTA -— http://www.harianterbit.com/2013/12/09/lp-pom-mui-kemenkes-harus-duduk-bersama/
Kementerian Kesehatan dan LP POM Majelis
Ulama Indonesia didesak untuk duduk bersama untuk membahas dabn
menentukan mana saja produk jamu maupun obat-obatan yang halal. Langkah
ini terkait dengan informasi yang menyebutkan, umat Islam Indonesia
sudah kemasukan minyak babi yang terkadung pada mayoritas jamu dan obat
farmasi di Indonesia.
Ketua Yayasan Pelindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Dr
Marius Widjajarta, mengatakan seharusnya Kemenkes dan LPPOM MUI
membentuk tim khusus mengenai jamu dan obat halal ini. Apalagi
berdasarkan undang-undang jaminan kesehatan, masyarakat harus mengetahui
apa yang dimakannya.
“Berita jamu dan obat mengandung babi ini dikhawatirkan akan
dipolitisir oleh partai politik tertentu untuk mencari keuntungan
pribadi. Tentu saja hal itu akan menimbulkan suasana kegaduhan dan
suasana tidak kondusif,” kata Marius kepada Harian Terbit di Jakarta,
Senin (9/12).
Sebelumnya, Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim, sebagaimana dikutip
voaislam.com mengatakan, umat Islam Indonesia saat ini sudah kemasukan
minyak babi yang terkandung pada mayoritas obat dan farmasi di
Indonesia, karena nyatanya baru 22 produk yang bersertifikasi halal dari
MUI.
Menurut Marius, Indonesia memang perlu membuat tim khusus mengenai halal atau tidaknya jamu dan obat di Indonesia. Hal itu disebabkan selama ini yang bisa menentukan halal atau tidaknya produk di Indonesia adalah LPPOM MUI.
“Dengan duduk barengnya Kemenkes dan LPPOM MUI nantinya semua jamu
dan obat akan diberi tanda haram atau halal. Bila mengandung babi
seharusnya dalam kemasan itu diberi gambar babi saja sehingga orang
mengetahui produk itu mengandung unsur babi,” tuturnya.
Gambar babi ini, kata Marius memudahkan orang untuk mengetahuinya.
Apalagi saat ini tingkat pendidikan Indonesia masih rendah sehingga
sulit membaca, namun dengan adanya gambar babi seseorang sudah bisa
mengetahuinya.
“Untuk itu kedepan, Badan POM harus mencantumkan gambar babi pada
produk jamu dan obat di Indonesia. Bila tidak, masyarakat akan menilai
secara umum Badan Pengawasan Obat Makanan sangat buruk,” tegasnya.
JANGAN MENOLAK
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan berharap pemerintah
seharusnya lebih mendorong tersedianya obat halal, bukan malah menolak.
Sebab, perlindungan terhadap konsumen muslim adalah hak konstitusional.
“Dalam Islam, hukum mengonsumsi obat dan vaksin sama dengan hukum
mengonsumsi produk pangan, yakni harus halal,” ujarnya menjawab Harian
Terbit, Senin(9/12).
Menurut Amidhan, sesuai kaidah ushuliah, sesuatu yang haram awalnya,
meski diproses sedemikian rupa, maka tetap hasil akhirnya juga haram.
“Hal yang semacam itu di dalam paradigma fikih disebut istihalah, yaitu
sesuatu yang haram setelah diproses berubah bentuk menjadi halal karena
unsur haramnya tidak terdeteksi. Berdasarkan kaidah ushuliah di atas,
MUI menolak perubahan bentuk istihalah tersebut,” tutur Amidhan.
Karena itu, dia menyayangkan pernyataan Menkes yang menyebut, hanya
katalisator dari pembuatan obat atau vaksin yang mengandung babi,
sedangkan hasil akhirnya tidak. ‘’Semua yang mengandung babi tetap saja
haram dikonsumsi,’’ tegas Amidhan.
Menurut Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim, di antara 30 ribu obat
yang diproduksi sekitar 206 perusahaan di Indonesia, yang telah
bersertifikat halal masih sangat sedikit. Dari kelompok obat-obatan,
hanya ada lima perusahaan dengan 22 produk.
Menurutnya, di kelompok jamu, ada 14 perusahaan yang telah memiliki
sertifikat halal dengan 100-an produk. Pada kelompok suplemen, yang
telah mengantongi sertifikat halal sebanyak 13 perusahaan dengan sekitar
50 produk.
“Angka-angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk muslim yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa,” ujar
Lukman.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi
halal produk Farmasi dalam Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal
(RUU JPH). Alasannya, hampir semua obat dan vaksin mengandung babi
sehingga tidak bisa disertifikasi halal.
“Contohnya, walaupun bahan vaksin tidak mengandung babi, tapi
katalisatornya itu mengandung unsur babi. Sehingga tidak bisa dinilai
kehalalannya,” ujar Nafsiah
Mboi menilai produk farmasi perlu dipisahkan dari makanan dan minuman
dalam RUU JPH. Nafsiah juga membenarkan adanya penggunaan minyak babi
pada katalisator dalam pembuatan obat.
Editor — Maghfur GhazaliMUI Desak Pemerintah Sahkan RUU Produk HalalTaryono Asa — HARIAN TERBIThttp://www.harianterbit.com/2012/08/31/mui-desak-pemerintah-sahkan-ruu-produk-halal/
PALEMBANG – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Selatan
mendesak pemerintah pusat untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang
(RUU) Jaminan Produk Halal yang telah lama diusulkan dan sekarang belum
ada kejelasan.
“Bila disahkan maka undang-undang tersebut akan mejamin kehalalan
semua produk yang beredar di pasaran,” kata Sekretaris MUI Sumsel, Ayik
Farid, kepada wartawan di Palembang, kemarin.
Menurut dia, sejak diajukan ke pemerintah dua tahun lalu, RUU
tersebut belum mengalami kemajuan yang berarti padahal landasan hukum
tersebut sudah mendesak.
Dalam RUU tersebut antara lain terdapat upaya untuk membuat lembaga
tunggal yang mengeluarkan sertifikasi halal dan diatur menurut hukum.
“Dalam hal itu terkait mengenai lembaga yang akan memastikan bahwa
produk tersebut memenuhi kualifikasi standar islami atau tidak,” kata
dia.
Jadi dengan diberlakukannya UU tersebut sehingga masyarakat tidak
takut lagi bila produk yang beredar di pasaran itu akan membahayakan
kesehatan. “Hal ini karena perusahaan sudah diwajibkan melakukan
sertifikasi halal,” kata dia.
Lebih lanjut dia mengatakan, yang jelas sertifikasi halal bukan saja
untuk menjaga kehalalan produk tetapi sangat berguna bagi kesehatan.
Editor — Mustofa Abas
Pemerintah Diminta Cari Katalisator Halal Produksi Obat Agar tidak melukai dinding saluran pencernaan, kapsul pembungkus obat haruslah lunak, tidak bisa melukai dinding saluran pencernaan, tapi dapat dilunakkan oleh bagian yang dituju. Kapsul banyak dipakai untuk membungkus obat, VCO, vitamin, dll. Contoh kapsul obat yang menggunakan bahan dari babi adalah kapsul produk Yunnan Baiyyao (China). |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar