Pertemuan para menteri luar negeri negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) berjalan sesuai rencana. Pertemuan digelar di Conakri Gunea mulai 9 Desember hingga 11 Desember 2013.
Sesuai tulisan kami terdahulu berjudul Sidang Para Menteri Luar Negeri OKI ke-40 dan Rencana Rahasia Arab Saudi, tentang sikap Negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI untuk memutuskan hubungan diplomatik terhadap negara-negara yang mengakui pencaplokan Israel atas wilayah Yerusalem.
Sekaligus mendesak Negara-negara OKI untuk membuat resolusi agar untuk memindahkan kedutaan mereka ke kota bersejarah tersebut. Nampaknya, terkait isu Palestina Merdeka, pernyataan negara-negara anggota OKI cukup progresif.
http://indonesian.irib.ir/cakrawala/-/asset_publisher/Alv0/content/hubungan-arab-saudi-dan-israel
Berita yang dilansir oleh kantor berita Iran IRIB tanggal 12 Desember
2013, mengutip pernyataan Mahmoud Ali Youssouf, menteri luar negeri
Djibouti di awal sidang, menyatakan tekadnya bahwa merupakan kewajiban
kita (negara-negara OKI, red) untuk melanjutkan dukungan pembentukan
negara independen Palestina dan pengakuan resmi dari PBB. Yang tentunya
disertai harapan bahwa pada akhirnya akan semakin mempercepat
terbentuknya negara Palestina merdeka, dan ditetapkannya Baitul Maqdis
sebagai ibukota Palestina.
Mungkinkah hal ini bisa terwujud secepatnya? Agaknya hasil pertemuan
para Menteri Luar Negeri OKI belum sampai pada tahapan tersebut. Apalagi
hal tersebut baru sebatas pernyataan yang dikumandangkan oleh Menlu
Mahmoud Ali Youssouf meskipun pernyataan tersebut bisa dipastikan
merefleksikan pandangan umum semua negara anggota OKI tak terkecuali
Indonesia.
Maka dalam kaitan ini,
Global Future Institute sepaham dengan politik keredaksian kantor berita
Iran IRIB bahwa OKI sebenarnya mampu memainkan peran berpengaruh dalam
menciptakan gerakan global di masyarakat internasional dalam mendukung
terwujudnya hak-hak legal bangsa Palestina khususnya pembentukan negara
independen Palestina. Apalagi mengingat kenyataan bahwa pembentukan
negara independen Palestina adalah hak pasti yang juga ditekankan oleh
berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Isu Suriah Masih Tetap Misteri
Lantas, bagaimana dengan isu-isu lain yang pada awalnya juga
diagendakan seperti konflik bersenjata di Suriah maupun Mali?
Menariknya, hampir semua media di Indonesia tak ada yang memberitakan
pertemuan para menlu OKI tersebut secara lengkap kecuali kantor berita
Iran IRIB.
Apa yang sesungguhnya
terjadi pada pertemuan para menlu OKI kali ini? Salah satu mata-rantai
penting untuk mengungkap misteri ini adalah rencana rahasia Arab Saudi
yang nampaknya bertentangan dengan aspirasi sebagian besar negara-negara
yang tergabung dalam OKI. Seperti tulisan kami terdahulu, berkembang
informasi Arab Saudi bermaksud untuk menggalang dukungan dan pengaruh
dari negara-negara OKI agar kelompok pemberontak Suriah yang bermaksud
menggulingkan Presiden Bashar Assad, diikutsertakan dalam berbagai forum
pertemuan OKI dalam kapasitas sebagai wakil negara.
Tentu saja proposal Arab Saudi tersebut bisa dibaca sebagai alat
Amerika Serikat dan Israel untuk membangun sphere of influence di
kalangan negara-negara Islam OKI.
Berita yang beredar di berbagai media beberapa waktu lalu nampaknya
memperkuat informasi ihwal adanya rencana rahasia Arab Saudi. Kepala
intelijen Arab Saudi, Pangeran Bandar bin Sultan, dilaporkan melakukan
pertemuan rahasia dengan kepala badan intelijen Israel dan pejabat
tinggi Israel lainnya di Geneva, Swiss, 27 November lalu.
Dalam pertemuan antara Pangeran Bandar bin Sultan bersama para pejabat
Israel itu, dibahas tentang upaya untuk mengontrol engaruh kekuatan
kelompok radikal dalam perang saudara di Suriah, meredam kekuatan
Ikhwanul Muslimin (IM) di dunia Arab, dan menghentikan gelombang Musim
Semi Arab.
Menariknya, berita
tersebut dilansir secara bersamaan oleh kantor berita Iran Fars yang
kemudian dikutip dan disebarluaskan oleh harian Israel The Jerusalem
Post. Pertemuan itu juga terjadi hanya tiga hari setelah tercapainya
kesepakatan sementara di Geneva pada 24 November antara Iran dan P5+1
(AS, Rusia, Inggris, Perancis, dan China, plus Jerman) tentang isu
program nuklir Iran.
Benarkah
indikasi ke arah persekutuan Arab Saudi dan Israel semata-mata karena
sama-sama kecewa dengan kesepakatan Geneva yang nampaknya menguntungkan
Iran?
Lepas dari kekecewaan
bersama Israel dan Arab Saudi, sejatinya Arab Saudi dan Israel sama-sama
negara-negara satelit Amerika dan Inggris sejak awal berdirinya.
Ihwal Kelahiran Negara Arab Saudi
Menyusul Menyusul kekalahan Imperium Ottoman Turki pada Perang Dunia I,
beberapa negara arab kemudian jatuh ke tangan Inggris seperti Irak,
Jordan dan Arab Saudi lewat dinasti Ibnu Saud.
Pada 1922, Arab Saudi mendapatkan kemerdekaan penuh dari Kerajaan
Inggris melalui The Treaty of Jeddah. Sejak itu, praktis Arab Saudi
menguasai beberapa kawasan di Timur Tengah dengan dukungan sepenuhnya
Inggris. Setelah menganeksasi Riyadh, kemudian mencaplok Madina dan
Mekkah yang sebelumnya dikuasai dinasti Hashemite.
Inggris-AS memang mempertaruhkan segalanya di Timur Tengah, karena 66,5
persen cadangan minyak mentahnya memang berada di kawasan tersebut. Dan
42 persen di antaranya, berada di keenam negara Arab di kawan teluk
tersebut. Sementara di Arab Saudi sendiri, terdapat 60 ladang minyak dan
gas bumi yang menghasilkan 10 juta barel per hari.
Melalui perjanjian yang dikenal The San Remo Agreement, kawasan minyak
Timur Tengah dibagi antara kedua negara eropa tersebut. Beberapa
pengusaha minyak besar Amerika yang berada dalam kepemilikan
Rockefeller mulai meraja lela seperti Exxon Mobil, Chevron, dan Texaco
kemudian bergabung dengan British Petroleum, Royal Dutch/Shell yang
berada dalam kepemilikan keluarga Rothschild dan keluarga kerajaan
Belanda.
Maka, beberapa perusahaan
besar seperti Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Royal Dutch/Shell, yang
berada dalam kepemilikan Rockefeller dan Rothschild, mulai merancang
sistem pengamanan menyeluruh untuk mengamankan penguasaan mereka akan
minyak mentah di kawasan teluk.
Maka, Arab Saudi yang dikuasai dinasti Ibnu Saud dijadikan sebagai basis
dan markas operasi politik-ekonomi-intelijen-militer dari
kekuatan-kekuatan korporasi tersebut sejak pasca Perang Dunia I.
Pada 1979, menyusul runtuhnya kerajaan Iran di bawah kepemimpinan Shah
Reza Pahlevi, dan diberlakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan
minyak asing di Iran, beberapa pengusaha minyak Amerika dan Eropa
dipaksa untuk mencari basis kekuatan dan pengaruh baru di Timur Tengah.
Maka, dua konglomerat besar Rockefeller dan Rothschild mulai menyusun
kembali kekuatan baru di Timur Tengah melalui terbentuknya Dewan
Kerjasama Teluk (GCC), dan melibatkan setidaknya enam negara yaitu Arab
Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman dan Qatar. Dewan Kerjasama
Teluk dengan pilar 6 negera Arab tersebut, kecuali Oman, merupakan
negara OPEC (Negara-Negara Pengekspor Minyak).
Konsesi yang diberikan Arab Saudi dengan adanya perlindungan militer
dari persekutuan negara-negara yang kemudian tergabung dalam Dewan
Kerjasama Teluk tersebut adalah, negara-negara barat mendapatkan pasokan
minyak mentah dengan harga semurah mungkin. Sebagai konsekwensi dari
kerjasama itu, muncullah beberapa perusahaan kontraktor pertahanan
negara-negara barat memberi pelatihan militer terhadap angkatan
bersenjata Arab Saudi. Beberapa perusahaan tersebut antara lain SAIC,
Booz Hamilton, TRW dan Vinnel Corp.
Bisa dimaklumi jika negara-negara arab tersebut semuanya merupakan
negara monarki sehingga para pengusaha minyak yang berada di belakang
pemerintah Amerika dan Inggris dengan mudah bisa mengendalikan dan
mengaturnya melaui uang suap dan segala bentuk praktek korupsi lainnya
sebagai modus operandi.
Terciptanya Dewan Kerjasama Teluk yang disponsori Amerika-Inggris
tersebut, pada perkembanganya telah melemahkan negara-negara arab
berhaluan nasionalis seperti Lebanon dan Syria. Sementara negara-negara
monarki Arab boneka Amerika-Inggris ini justru kian menguat.
Skema ekonomi liberal seperti Foreign Direct Investment lewat perbankan
dan perusahaan-perusahaan barat, kemudian menciptakan zona perdagangan
bebas di wilayah kedaulatan negara-negara yang tergabung dalam Dewan
Kerjasama Teluk. Bahkan ada pelabuhan bebas arus masuk barang di Dubai,
Uni Emirat Arab.
Skema persekutuan
strategis Amerika-Inggris dengan keenam negara arab tersebut harus
ditelusur melalui skema model penjajahan ala Inggris sejak 1776. Melalui
apa yang disebut sebagai British East India Company, Kuwait dijadikan
basis dan markas kekuasaan Kerajaan Inggris dalam mengendalikan seluruh
kawasan Timur Tengah.
Berarti
sejak abad ke-16 Kuwait sudah dipandang Inggris sebagai wilayah yang
cukup strategis. Sejak 1917, Inggris mulai memindahkan dukungannya
kepada dinasti Ibnu Saud dari Arab Saudi melalui momentum persekutuan
untuk mengalahkan dinasti Ottoman dari Turki.
Di sinilah bermula campur tangan pengusaha Inggris Rothschild dengan
mendorong pemerintah Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang
mendukung berdirinya tanah air bagi Yahudi di tanah Palestina. Yang
sekarang kita kenal sebagai Israel. Bagi Rothschild, tujuan utamanya
bukan mendukung Yahudi atau negara Israel, melainkan penguasaannya atas
kawasan minyak di Timur Tengah.
Singkat cerita, keenam negara Teluk yang mulai dilepas sepenuhnya
sebagai negara merdeka antara 1961 dan 1971, sejatinya merupakan alat
monopoli dari dua pengusaha minyak Amerika-Inggris Rockefeller dan
Rothschild.
Dengan demikian, Arab
Saudi dan Israel memang saudara kandung dari satu orang tua yang sama:
Amerika dan Inggris. Jadi tidak aneh kan kalau kedua negara tersebut
seakan-akan baru bersekutu pada saat ini? (IRIB
Indonesia/Theglobalreview)
*Direktur Eksekutif Global Future Institute
Iran, Saudi Arabia among 30 countries to attend Syrian peace conference
Iran and Saudi Arabia, which back opposite sides in Syria's war, are
among more than 30 countries slated to attend a peace conference next
month, diplomats said.
The so-called Geneva II conference, a follow-up to a 2012 meeting, is
aimed at mapping out a political transition to end nearly three years
of fighting that has killed more than 120,000 people and displaced
millions.
But the January 22 meeting will actually be held at the lakeside
Swiss city of Montreux because of a shortage of hotel rooms in Geneva,
which will be hosting a luxury watch fair, a Western diplomat told AFP.
"At the moment there are 32 countries invited, but that number may
increase because everyone wants to come," an Arab diplomat told AFP.
"In addition to the five permanent members of the Security Council
(the United States, Britain, France, Russia and China), there are the
neighboring countries, as well as Saudi Arabia and Iran, and also
Germany and Italy and others."
Iran is a key ally of President Bashar al-Assad, while Saudi Arabia has strongly backed the rebels.
Most countries will be represented by their top diplomats and "each
minister can speak for five minutes," the Arab diplomat said.
Afterwards, many of the foreign ministers will attend the World Economic
Forum in Davos, which runs from January 22 to 25.
The government and the opposition will each send delegations to the
meeting, and will hold bilateral talks hosted by UN-Arab League envoy
Lakhdar Brahimi on January 24 in Geneva.
"Each delegation will be composed of nine members and both the regime
and the opposition should present their lists to the UN by December 27,
but it is not certain they will respect this date," the Arab diplomat
said.
Composing the list could prove a daunting task for Syria's
opposition, which is riddled with internal divisions and increasingly at
odds with powerful rebel groups fighting on the ground, many of which
have rejected the conference.
Saudi Arabia's intelligence chief Bandar bin Sultan told Russian
President Vladimir Putin this month that Riyadh would send a delegation
to the meeting, but only on the condition the opposition is represented
by the National Coalition, an umbrella group backed by Western and Arab
nations, according to a third diplomat who did not wish to be
identified.
Various other parties, including tolerated opposition groups inside
Syria which are closer to Assad ally Russia and do not support the
rebellion, have reportedly expressed interest in attending the
conference.
"Putin has not, for the moment, responded to the request," he said.
The Coalition has said it is going to the conference to discuss the
removal of Assad from power, while the government has said it will
attend the negotiations "without preconditions".
Diplomats said they expected the atmosphere at the talks to be tense,
and a European diplomat at the United Nations said UN officials would
meet with the delegates ahead of the conference to explain the "rules of
the game."
"At this point, I don't even know for sure if the conference will take place because there are still so many unknowns," he said.
The Syrian government looks set to attend the conference in a
position of strength after a string of battlefield victories in the
mountainous Qalamoun region near the border with Lebanon.
The rebels, meanwhile, are more divided than ever, with a powerful
new Islamist alliance eclipsing the Western-backed Free Syrian Army.
The Islamic Front - which does not include al-Nusra Front or the
Islamic State of Iraq and al-Sham, two al-Qaeda affiliates - seized key
bases and arms depots from the FSA this week.
The move prompted the United States and Britain to suspend their
non-lethal aid to the FSA and added to concerns over whether any
agreement struck in Switzerland can be implemented on Syria's
ever-shifting battlefields.
(AFP)Syrian Army Eyes Yabroud after String of Battlefield Victories
http://english.farsnews.com/newstext.aspx?nn=13920920001015
TEHRAN
(FNA)- Syrian army continued its operations in Al-Qalamoun area after
the liberation of Nabek strategic city while military sources pointed
out that the army will turn its sights towards Yabroud, the last
militant strongholds in the region.
The town is believed to be where a group of nuns from the historic
Christian hamlet of Maalula have been transferred, reportedly in the
hands of terrorists from al-Nusra Front, Al-Manar reported.
In Spain, meanwhile, El Mundo newspaper said Spanish journalists
Javier Espinosa and Ricardo Garcia Vilanova have gone missing in
Northern Syria. The pair are believed to have been kidnapped in
September by the Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL), but El
Mundo's director Pedro Ramirez said "we believe they are alive and we
believe they are well."
Syrian forces have seized Nabak, Deir Attiya and Qara.
The Damascus-Homs highway, a key supply route from the capital to the
center of the country, is expected to reopen soon after being closed by
the fighting in Qalamoun.
Saudi delegation visits Israel over Iran: Reports
Press TV — Dec 11, 2013
A senior military
delegation from Saudi Arabia has visited Israel to discuss a deal
recently reached between Iran and the six world powers over Tehran’s
nuclear energy program, media reports say.
Saudi Deputy Defense
Minister Salman bin-Sultan Al Saud and two other officers secretly
visited Israel, according to reports by the Palestinian news portal
al-Manar and Israeli radio.
Bin-Sultan, who is the brother of Saudi
Arabia’s spy chief Prince Bandar bin Sultan bin Abdulaziz Al Saud, “met
Israeli security leaders” and one of the “Israeli military bases
accompanied by a senior member of the Israeli staff board”, the al-Manar
report said, quoting “confidential sources”.
On November 24, Iran and the six world
powers — the United States, Britain, France, Russia, China and Germany —
reached an interim deal to pave the way for the full resolution of the
West’s decade-old dispute with Iran over its nuclear energy program.
In exchange for Tehran’s
confidence-building measure to limit certain aspects of its nuclear
activities, the six countries agreed to lift some of the existing
sanctions against the Islamic Republic.
Israeli Prime Minister Benjamin
Netanyahu had previously clashed with US President Barack Obama and
other Western countries over last month’s deal with Iran, describing it
as a “historic mistake” that is bad for Israel. He added that Tel Aviv
would not be bound by it.
On November 17, the British newspaper The Sunday Times
reported that Riyadh has given the go-ahead for Israeli planes to use
its airspace for possible attacks on Iran over Tehran’s nuclear energy
program.
Riyadh denied the Saudi-Israeli cooperation in preparation for an attack on Iran’s nuclear program.
Iran has repeatedly warned that it will retaliate with its utmost power against any attack on its soil.
PG/MHB/AS
Source
LANGKAH ELEGAN IRAN DI TELUK, SINGKIRKAN SAUDI KE PINGGIRAN
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/12/langkah-elegan-iran-di-teluk-singkirkan.html#.UqsdoCdeFkg
Beberapa hal "bodoh" terjadi di dunia beberapa waktu terakhir. Mahkamah
Konstitusi kita yang melegalkan universitas asing membuka cabang di
Indonesia, obat-obatan di Indonesia yang mengandung babi, pemerintah
Bangladesh dan Thailand (menyusul pemerintahan Moersi di Mesir) yang
sengaja menciptakan kekacauan daripada memikirkan pembangunan negaranya,
presiden Amerika bersama PM Inggris dan PM Denmark yang bertingkah
norak dalam upacara pemakaman Nelson Mandela serta kecemburuan ibu
negara Michele Obama kepada PM Denmark yang lebih cantik, penerjemah
resmi bahasa isyarat pemerintah Afrika Selatan yang ternyata palsu,
tabrakan kereta api dengan truk BBM akibat kemacetan di pintu lintasan
karena tidak terkendalinya jumlah kendaraan bermotor yang boros energi
dan sumber polutan, Dahlan Iskan yang mau membuat jalan tol di atas laut
dan membeli peternakan di Australia daripada membangun sendiri industri
peternakan di Indonesia, Jokowi jadi kandidat terkuat presiden
mendatang, Ariel Noah yang bergandengan tangan dengan Sophia Latjuba,
dll. Namun bagi saya semua itu tidak se-menarik informasi tentang Iran
berikut ini.
Beberapa waktu lalu saya membaca satu tulisan menarik tentang "serangan cerdas Iran di kawasan Teluk" di situs thetruthseeker.co.uk. Saya sempat berniat menuliskannya di blog ini, namun kesempatan itu hilang karena perhatian saya teralihkan kepada isu-isu lain. Namun setelah melihat artikel senada di Debkafile berjudul "Iran pushes for Saudi isolation in the Gulf amid military buildup in Hormuz", saya harus menuliskannya.
Dua perkembangan terjadi di kawasan Teluk Parsi yang menjadi tanda nyata dari kemenangan diplomatik Iran atas lawan-lawannya terutama Saudi dan Amerika, sekaligus memperkuat pandangan publik bahwa pemerintah Amerika telah mengubah orientasi politiknya terhadap Iran menjadi lebih bersahabat. Satu hal itu adalah kesepakatan Iran dengan Uni Emirat ARab (UEA) tentang pengembalian 3 pulau milik UEA yang diduduki Iran sejak tahun ketika Iran dipimpin oleh regim Shah Pahlevi. Hal lainnya adalah ketidak-hadiran Oman dalam pertemuan puncak negara-negara Teluk Gulf Cooperation Council (GCC) yang digelar di Kuwait minggu ini.
Dengan perkembagan baru ini Iran bisa bernafas lega dari ancaman konfrontasi militer dengan Amerika, khususnya di kawasan Teluk Parsi.
Sultan Oman turut terlibat dalam percakapan telepon antara Presiden Amerika Barack Obama dengan Presiden Iran Hassan Rouhani beberapa waktu lalu yang berujung pada kesepakatan nuklir Iran dengan negara-negara barat dan Rusia serta Cina. Ketidak hadirannya dalam pertemuan puncak GCC menunjukkan bahwa Oman tidak sudi lagi berada di bawah bayang-bayang Saudi Arabia, negara terkuat di antara anggota GCC, dan lebih memilih Iran sebagai "teman". Mereka bahkan sudah berdiskusi tentang "mengisolasi Saudi" dalam kunjungan menlu Iran Javad Zarif ke negara-negara Teluk minggu lalu.
Sejak diduduki Iran tahun 1971 pemerintah UEA secara konsisten mengajukan tuntutan pengembalian 3 pulau miliknya di Teluk Parsia. Namun sebaliknya Iran justru semakin memperkuat kehadiran militernya di Pulau Abu Musa yang dijadikan sebagai pangkalan militer Iran. Iran misalnya telah memasang 500 rudal darat-laut yang memungkinkan Iran menutup Selat Hormuz dengan mudah. Iran bahkan telah menempatkan 10 pesawat tempur SU-25 Frogfoot di sana. Meski demikian, baik Amerika maupun UEA terkesan tidak terusik dengan langkah Iran ini.
UEA dan Iran dikabarkan telah sepakat tentang pengembalian tiga pulau sengketa tanpa mengusik keberadaan pangkalan militer Iran di sana. Tidak hanya itu, keduanya diperkirakan telah sepakat tentang pembagian cadangan minyak yang diyakini berada di ketiga pulau tersebut.
Beberapa waktu lalu saya membaca satu tulisan menarik tentang "serangan cerdas Iran di kawasan Teluk" di situs thetruthseeker.co.uk. Saya sempat berniat menuliskannya di blog ini, namun kesempatan itu hilang karena perhatian saya teralihkan kepada isu-isu lain. Namun setelah melihat artikel senada di Debkafile berjudul "Iran pushes for Saudi isolation in the Gulf amid military buildup in Hormuz", saya harus menuliskannya.
Dua perkembangan terjadi di kawasan Teluk Parsi yang menjadi tanda nyata dari kemenangan diplomatik Iran atas lawan-lawannya terutama Saudi dan Amerika, sekaligus memperkuat pandangan publik bahwa pemerintah Amerika telah mengubah orientasi politiknya terhadap Iran menjadi lebih bersahabat. Satu hal itu adalah kesepakatan Iran dengan Uni Emirat ARab (UEA) tentang pengembalian 3 pulau milik UEA yang diduduki Iran sejak tahun ketika Iran dipimpin oleh regim Shah Pahlevi. Hal lainnya adalah ketidak-hadiran Oman dalam pertemuan puncak negara-negara Teluk Gulf Cooperation Council (GCC) yang digelar di Kuwait minggu ini.
Dengan perkembagan baru ini Iran bisa bernafas lega dari ancaman konfrontasi militer dengan Amerika, khususnya di kawasan Teluk Parsi.
Sultan Oman turut terlibat dalam percakapan telepon antara Presiden Amerika Barack Obama dengan Presiden Iran Hassan Rouhani beberapa waktu lalu yang berujung pada kesepakatan nuklir Iran dengan negara-negara barat dan Rusia serta Cina. Ketidak hadirannya dalam pertemuan puncak GCC menunjukkan bahwa Oman tidak sudi lagi berada di bawah bayang-bayang Saudi Arabia, negara terkuat di antara anggota GCC, dan lebih memilih Iran sebagai "teman". Mereka bahkan sudah berdiskusi tentang "mengisolasi Saudi" dalam kunjungan menlu Iran Javad Zarif ke negara-negara Teluk minggu lalu.
Sejak diduduki Iran tahun 1971 pemerintah UEA secara konsisten mengajukan tuntutan pengembalian 3 pulau miliknya di Teluk Parsia. Namun sebaliknya Iran justru semakin memperkuat kehadiran militernya di Pulau Abu Musa yang dijadikan sebagai pangkalan militer Iran. Iran misalnya telah memasang 500 rudal darat-laut yang memungkinkan Iran menutup Selat Hormuz dengan mudah. Iran bahkan telah menempatkan 10 pesawat tempur SU-25 Frogfoot di sana. Meski demikian, baik Amerika maupun UEA terkesan tidak terusik dengan langkah Iran ini.
UEA dan Iran dikabarkan telah sepakat tentang pengembalian tiga pulau sengketa tanpa mengusik keberadaan pangkalan militer Iran di sana. Tidak hanya itu, keduanya diperkirakan telah sepakat tentang pembagian cadangan minyak yang diyakini berada di ketiga pulau tersebut.
TENTARA SYRIA REBUT KAWASAN QALAMOUN
Keterangan gambar: Pasukan Hizbollah di Syria.
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/12/tentara-syria-rebut-kawasan-qalamoun.html#more
Dalam banyak peperangan, pada saat-saat terakhir kekalahannya pihak yang
terdesak biasanya memilih kawasan pegunungan sebagai pertahanan
terakhir. Contohnya, orang-orang PKI menjadikan kawasan pegunungan
Malang Selatan sebagai pertahanan terakhir. Sedangkan orang-orang DI/TII
menjadikan kawasan pegunungan Merbabu-Merapi, Sumbing-Sindoro, Gunung
Slamet dan pegunungan di Tanah Priangan sebagai pertahanan terakhirnya
dari serangan militer pemerintah Indonesia.
Demikian juga dalam konflik bersenjata yang tengah melanda Syria. Setelah terdesak di berbagai front seperti Al Qusayr, Sfeira, Homs, Damaskus dan Aleppo, para pemberontak kini menjadikan kawasan Pegunungan Qalamoun di utara Damaskus sebagai pertahanan terakhir mereka. Kawasan inilah yang saat ini mulai menjadi medan perang intensif, sekaligus perlawanan terakhir para pemberontak.
Pada hari Selasa lalu (10/12) militer Syria berhasil merebut kota strategis Nabak di kawasan Pegunungan Qalamoun setelah melalui pertempuran sengit dengan pemberontak yang berusaha mempertahankannya mati-matian. Kini pasukan Syria mengarahkan serangannya ke kota Yabroud di kawasan yang sama setelah sebelumnya berhasil membebaskan kota-kota Deir Attiya dan Qara, selain Nabak. Militer juga berhasil membebaskan jalan raya Damaskus-Homs yang sebelumnya dikuasai pemberontak, memungkinkan suplai logistik ke Syria Tengah kembali lancar.
Kota Yabroud merupakan pertahanan terakhir pemberontak di Qalamoun. Di kota inilah diperkirakan disembunyikannya para biarawan Kristen dari kota bersejarah Maloula yang diculik para pemberontak dari kelompok Al Nusra yang berafiliasi dengan Al Qaida.
Meski tidak ada pernyataan resmi dari Hizbollah maupun pemerintah Syria, diperkirakan Hizbollah turut berpartisipasi dalam pertempuran di Qalamoun. Media Saudi Al Arabiya akhir Oktober lalu melaporkan bahwa Hizbollah mempersiapkan 15.000 pasukannya untuk melakukan offensif ke Qalamoun, jumlah yang tampaknya dilebih-lebihkan. Berdasarkan laporan media-media Israel yang lebih bisa dipercaya, Hizbollah hanya menempatkan 5.000-an pejuangnya di Syria, dan sebagian dari pasukan itu bahkan sudah kembali ke Lebanon setelah kemenangan dalam pertempuran di Al Qusayr bulan Mei lalu. Selain Hizbollah militer Syria juga dibantu oleh milisi Shiah Irak yang tergabung dalam satuan Brigade Abu al-Fadl al-Abbas dan kemungkinan pasukan Garda Revolusi Iran.
PEJABAT SAUDI-ISRAEL SEMAKIN INTENSIF BERTEMU
Satu delegasi petinggi militer dan inteligen Saudi dikabarkan telah bertandang ke Israel untuk membicarakan "langkah bersama" menghadapi Iran paska penandatanganan perjanjian nuklir Iran beberapa waktu lalu. Delegasi tersebut dipimpin oleh menteri pertahanan Pangeran Salman bin Sultan didampingi 2 petinggi militer Saudi lainnya.
"Pangeran Salman bertemu dengan para pejabat keamanan Israel dan ditemani seorang pejabat tinggi Israel mengunjungi sebuah pangkalan militer Israel," tulis media Palestina Al Manar mengutip "sumber-sumber terpercaya".
Sebelumnya media-media massa juga memberitakan pertemuan intensif kepala inteligen Saudi Pangeran Bandar bin Sultan, yang tidak lain adalah saudara Pangeran Salman, dengan beberapa pejabat penting Israel dan Eropa di beberapa tempat di Eropa dan Israel. Pada tgl 17 November media Inggris The Sunday Times melaporkan bahwa Saudi telah memberi ijin kepada Israel untuk menggunakan wilayah udaranya untuk menyerang Iran.
Menurut laporan media Lebanon al-Hadath pertemuan yang dilakukan Pangeran Bandar terjadi di Tel Aviv dengan dihadiri oleh PM Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Perancis Francois Hollande.
Demikian juga dalam konflik bersenjata yang tengah melanda Syria. Setelah terdesak di berbagai front seperti Al Qusayr, Sfeira, Homs, Damaskus dan Aleppo, para pemberontak kini menjadikan kawasan Pegunungan Qalamoun di utara Damaskus sebagai pertahanan terakhir mereka. Kawasan inilah yang saat ini mulai menjadi medan perang intensif, sekaligus perlawanan terakhir para pemberontak.
Pada hari Selasa lalu (10/12) militer Syria berhasil merebut kota strategis Nabak di kawasan Pegunungan Qalamoun setelah melalui pertempuran sengit dengan pemberontak yang berusaha mempertahankannya mati-matian. Kini pasukan Syria mengarahkan serangannya ke kota Yabroud di kawasan yang sama setelah sebelumnya berhasil membebaskan kota-kota Deir Attiya dan Qara, selain Nabak. Militer juga berhasil membebaskan jalan raya Damaskus-Homs yang sebelumnya dikuasai pemberontak, memungkinkan suplai logistik ke Syria Tengah kembali lancar.
Kota Yabroud merupakan pertahanan terakhir pemberontak di Qalamoun. Di kota inilah diperkirakan disembunyikannya para biarawan Kristen dari kota bersejarah Maloula yang diculik para pemberontak dari kelompok Al Nusra yang berafiliasi dengan Al Qaida.
Meski tidak ada pernyataan resmi dari Hizbollah maupun pemerintah Syria, diperkirakan Hizbollah turut berpartisipasi dalam pertempuran di Qalamoun. Media Saudi Al Arabiya akhir Oktober lalu melaporkan bahwa Hizbollah mempersiapkan 15.000 pasukannya untuk melakukan offensif ke Qalamoun, jumlah yang tampaknya dilebih-lebihkan. Berdasarkan laporan media-media Israel yang lebih bisa dipercaya, Hizbollah hanya menempatkan 5.000-an pejuangnya di Syria, dan sebagian dari pasukan itu bahkan sudah kembali ke Lebanon setelah kemenangan dalam pertempuran di Al Qusayr bulan Mei lalu. Selain Hizbollah militer Syria juga dibantu oleh milisi Shiah Irak yang tergabung dalam satuan Brigade Abu al-Fadl al-Abbas dan kemungkinan pasukan Garda Revolusi Iran.
PEJABAT SAUDI-ISRAEL SEMAKIN INTENSIF BERTEMU
Satu delegasi petinggi militer dan inteligen Saudi dikabarkan telah bertandang ke Israel untuk membicarakan "langkah bersama" menghadapi Iran paska penandatanganan perjanjian nuklir Iran beberapa waktu lalu. Delegasi tersebut dipimpin oleh menteri pertahanan Pangeran Salman bin Sultan didampingi 2 petinggi militer Saudi lainnya.
"Pangeran Salman bertemu dengan para pejabat keamanan Israel dan ditemani seorang pejabat tinggi Israel mengunjungi sebuah pangkalan militer Israel," tulis media Palestina Al Manar mengutip "sumber-sumber terpercaya".
Sebelumnya media-media massa juga memberitakan pertemuan intensif kepala inteligen Saudi Pangeran Bandar bin Sultan, yang tidak lain adalah saudara Pangeran Salman, dengan beberapa pejabat penting Israel dan Eropa di beberapa tempat di Eropa dan Israel. Pada tgl 17 November media Inggris The Sunday Times melaporkan bahwa Saudi telah memberi ijin kepada Israel untuk menggunakan wilayah udaranya untuk menyerang Iran.
Menurut laporan media Lebanon al-Hadath pertemuan yang dilakukan Pangeran Bandar terjadi di Tel Aviv dengan dihadiri oleh PM Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Perancis Francois Hollande.
Ketiganya merundingkan strategi bersama untuk
mengkonter peran Iran yang semakin meningkat di kawasan Timur Tengah,
khususnya setelah kesepakan nuklir Iran dengan negara-negara anggota
tetap DK PBB (Amerika, Inggris, Perancis, Rusia, Cina) dan Jerman.
Ketiga pemimpin itu juga menekankan perlunya memperkuat sistem pertahanan Saudi, meningkatkan kerjasama inteligen dan merencanakan manuver militer bersama di Jordania.
Ketiga pemimpin itu juga menekankan perlunya memperkuat sistem pertahanan Saudi, meningkatkan kerjasama inteligen dan merencanakan manuver militer bersama di Jordania.
REF:
"Syrian Army Eyes Yabroud after String of Battlefield Victories"; almanar.com.lb; 11 Desember 2013
"Saudi delegation visits Israel over Iran: Reports"; Press TV; 11 Desember 2013
"Prince Bandar attends anti-Iran meeting in Israel"; Press TV; 23 November 2013
"Hezbollah deploys 15,000 troops for anticipated Qalamoun battle"; al Arabiya; 31 Oktober 2013
"Syrian Army Eyes Yabroud after String of Battlefield Victories"; almanar.com.lb; 11 Desember 2013
"Saudi delegation visits Israel over Iran: Reports"; Press TV; 11 Desember 2013
"Prince Bandar attends anti-Iran meeting in Israel"; Press TV; 23 November 2013
"Hezbollah deploys 15,000 troops for anticipated Qalamoun battle"; al Arabiya; 31 Oktober 2013
1 komentar:
- saya tidak percaya pasukan revolusi iran terlibat terus,namun mereka dikatakan sebagai penasihat taktikal, yang pasti banyak grup militia syiah iraq terlibat...
salem idris telah lari dari medan perang..david cameron memujuknya untuk kekal berhubung dgn tentera yang ditinggalkan
15000 pemberontak telah berkumpul di satu kawasan, kita tunggu samada saa berjaya mengebom mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar