Ketika Menteri Keuangan Tak Punya Uang
Jumat 9 Safar 1435 / 13 December 2013 09:53http://www.islampos.com/ketika-menteri-keuangan-tak-punya-uang-89952/
Oleh: Rizki Lesus, Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa
Lili membelai rambut Khalid perlahan. “Kasihan sekali adikmu ini
Icah,” kata Lily, panggilan akrab Halimah kepada putri Sulungnya Aisyah.
“Waktu dia baru lahir, Ibu dan Ayah tak punya uang sama sekali untuk
member gurita (popok) untuk membungkus badannya yang mungil, sehingga
Ibu harus menyobek kain kasur dan menjadikannya sebagai gurita,” ujar
Lily yang kali ini tak bisa menahan keluarnya air mata.
“Ayah tak punya uang padahal Ayah menteri?!” tanya Icah bingung. “Kenapa bisa? Kata orang, menteri itu orang kaya Bu.”
“Ayahmu menteri keuangan, Icah,” Lily menyeka matanya yang basah.
“Ayah mengurusi banyak sekali uang Negara, tetapi dia tak punya uang
untuk membeli kain gurita bagi anaknya, adikmu Khalid yang baru lahir.
Kalau Ibu tidak mengalami sendiri, Ibu sendiri pasti tak percaya. Tapi
itu nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang Negara untuk
membeli sepotong kain gurita.”
Secuplik dialog antara Teuku Halimah dan Aisyah, mengenang suami dan
ayah tercinta Syafruddin Prawiranegara dalam Novel ‘Presiden
Prawiranegara’ karya Akmal Nasery Basral.
Kisahnya ini benar-benar
terjadi seperti penuturan Ajip Rosidi dalam ‘Syafruddin Prawiranegara
Lebih Takut Pada Allah SWT’ : “Waktu anak yang ketiga lahir, Chalid,
keadaan keluarga itu begitu buruk sehingga untuk membuat gurita bayi pun
mereka terpaksa menyobek kain kasur, karena kain biasa tidak ada lagi”
(Ajip Rosidi: 2011).
Menteri Keuangan itu…tak memiliki kain lain selain kasur mungilnya.
Barang-barangnya hanya ada koper-koper pakaian dan pakaian sekadarnya.
Kini setelah pindah dari kontrakkanya di Bandung, ia tinggal ke Jakarta
dengan pola hidup berpindah seperti mentornya, Haji Agus Salim (Baca:
Ketika Seorang Menteri Mengontrak Rumah).
Namun, lihatlah ketika dijualnya barang-barang seadanya, direlakannya
koper-koper pakaian yang baru saja tiba untuk menyambung hidup dirinya
dan keluarganya. Sisa barang yang tak dibawa di Bandung digelapkan oleh
orang yang dipercaya dititipi, habis sudah harta sang menteri, seperti
dikisahkan Ajip Rosidi.
Ketika Pemerintah RI pindah Ke Yogyakarta, dengan kereta segera
mereka pindah. Di Yogjakarta, dicarinya kontrakkan, tempat bernaung
untuk sang istri dan buah hati, namun keadaan di sana penuh sesak
pengungsi. Sang menteri mencari tempat lain, berpindah ke Magelang,
hingga Dr. Soekiman (Ketua Masyumi saat itu) memberikan tumpangan tempat
di paviliunnya di Pakualaman. Tinggallah ia dan keluarganya, berbagi
dengan Mr. Syamsuddin dan juga Dr. Soekiman.
“Meskipun kehiduannya adalah Menteri Keuangan, tetapi dibandingkan
dengan kehidupannya taktkala menjadi Kepala Inspeksi Pajak di Kediri,
keadaanya jauh lebih sederhana, malah dekat kepada melarat,” masih kata
Ajip Rosidi.
Sukun Goreng Dagangan Ibu Menteri
Saat Syafruddin menjadi ‘Presiden’ RI (Ketua PDRI) menggantikan
Soekarno (Baca Sekitar PDRI –Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Mr.
SM Rasjid) dan memerintah di Sumatera, sang Istri yang ditinggalkan
sendiri di Yogyakarta sampai harus berjualan sukun goreng untuk
menghidupi anaknya, padahal bisa saja mereka mendapat akses ke Pejabat,
atau meminta bawahan suaminya untuk ‘korupsi’.
Tapi lihatlah ketika Akmal Nasery Basral mengisahkan dialog Siti
Halimah bersama Icah. Saat berjualan sukun itu, ada protes kecil dari
Icah, anaknya, “Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om
Karno, dan Wakil Presiden Om Hatta, serta Om Henkie (Hamengku Buwana
IX)?” tanya Icah.
“Ayahmu sering mengatakan kepada ibu, agar kita jangan bergantung
pada orang lain, Nak..” kata ibunya. “Tapi apa ibu tidak malu? Ayah
orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat,” sergah Icah
lagi.
“Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita
boleh malu, adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah, seperti
mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang
negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah
tahu,” kata Lily, memberi penjelasan pada anak sulungnya itu.
Kelak, sejarah akan berdecak kagum ketika Syafruddin Prawiranegara
mengembalikan 29 kilogram emas kepada Negara yang terpendam sebagai
cadangan untuk perjuangan PRRI di Sumatera. “..dilakukan penggalian dan
emasnya pun diambil. Jumlah semuanya ada 29 kilogram. Emas itu kemudian
secara resmi diserahkan oleh Syafruddin kepada Pejabat Presiden Djuanda
pada bulan Maret 1962, yang kemudian meneruskannya kepada
Menteri/Gubernur Bank Indonesia Sumarno, SH sebagai kekayaan Negara.”
(Ajip Rosidi: 2011)
Secercah Keteladanan
Djohan Efendi dalam Mencari Pemimpin yang Berintegritas pernah
menuturkan kisah Ketika Pak Syaf (sapaan akrab Syafruddin Prawiranegara)
akan menerima tamu. “Pak AR Baswedan pernah bercerita kepada saya
tentang Almarhum Pak Syafruddin yang saat itu menjabat Gubernur Bank
Indonesia pertama setelah dinasionalisasi. Suatu saat Pak Baswedan
menghubungi Pak Syafruddin memintakan waktu untuk seorang temannya,
pengusaha dan tokoh Masyumi dari Surabaya yang ingin bertemu dengan Pak
Syafruddin.
Pak Syafruddin bertanya, dalam kapasitas apa dia ingin menemuinya.
Dan Pak Baswedan menjawab bahwa beliau kurang pasti.
Lalu Pak Syafruddin
mengatakan kepada Pak Baswedan bahwa kalau dia ingin bertemu untuk
urusan pribadi silahkan menemuinya di kediaman beliau diluar jam kantor,
kalau untuk urusan partai silahkan datang ke Kantor Masyumi, dan Pak
Syafruddin akan datang ke sana setelah jam kantor.
Tapi kalau urusannya berkaitan dengan Bank Indonesia, Pak Syafruddin
mewanti-wanti bahwa Bank Indonesia bukan kepunyaan Partai Masyumi. Bank
Indonesia kepunyaan Negara. Kalau berurusan dengan Bank Indonesia
ikuti saja prosedur resmi yang berlaku bagi semua orang.(Harian Pelita,
14/11/2013)
Sejak awal, Pak Syaf menjadi Menteri menyadari bahwa jabatan adalah
amanah, kekuasaan bukanlah segalanya. Saat Natsir mundur sebagai Perdana
Menteri, Pak Syaf pun meletakkan jabatanya.
Saat menjadi Menteri
Keuangan, kesungguhannya terlihat saat dalam periodenya membuat mata
uang sendiri, sebagai ciri Negara merdeka, yang dikenal dengan Oeang
Republik Indonesia (ORI) yang kini menjadi rupiah.
Saat dilincurkan ORI, Pak Syaf berpesan “..Berhematlah
sehemat-hematnya, jangan membeli apabila tak perlu sama sekali, Tanyalah
pada tetangga, apakah dia tidak kekurangan sesuatu apapun dan apabila
kita mempunyai persediaan makanan buat lebih dari lima hari, berikanlaj
kelebihan itu kepada tetangga yang kekurangan itu, hendakanya hjangan
kita mau mencaru untung saja, tetapi kita harus berani juga menderita
kerugian..”
“Keluarnya uang republik Indonesia bukan berarti bahwa kita nanti
boleh goyang kaki dan hidup senang-senang saja, bahkan sekarang
sebaliknya sekaranglah baru tiba saatnya untuk bekerja segiat-giatnya
membangun secar teratur dan sistematis” (Ajip Rosidi: 2011)
Mungkin, para pejabat penikmat uang rupiaj kini lupa, kalau ‘hasil’
yang mereka nikmati terselip kemelaratan Menteri Keuangannya silam yang
menerbitkan uang yang kini hilir mudik. Mungkin, dibalik jejak van
toefel di atas karpet merah di sana, ada langkah-langkah Pak Syaf yang
menjejak, masuk ke kampung-kampung dan hutan-hutan becek, menemui
rakyatnya yang sedang kesulitan.
Mungkin, di antara kenikmatan aroma teh dan ceplok telor sarapan pagi
kita, terselip saling berbagi antar tetangga di masa silam,” Tanyalah
pada tetangga, apakah dia tidak kekurangan sesuatu apapun dan apabila
kita mempunyai persediaan makanan buat lebih dari lima hari, berikanlaj
kelebihan itu kepada tetangga yang kekurangan itu,” tegas Pak Syaf.
Pak Syaf mengajarkan bahwa bukanlah materi berlimpah sumber
kemuliaan, tetapi nilai-nilai seperti kesederhanaan, perjuangan, juga
pertolongan Allah merupakan tuntunan hidupnya. “Mungkin sekali orang
disebut kaya, jika ditinjau dari sudut kebendaan, adalah miskin kalau
ditinjau dari sudut ketenangan jiwa..”
Sambil tersenyum di hadapan para Mahasiswa tahun 1957 ia
melanjutkan,”Sebaliknya orang yang miskin kalau diukur dengan ukuran
materi, dapat disebut cukup karena orang yang bersangkutan memang tidak
merasa dan memandang dirinya miskin!”
“Perasaan harga diri, inilah yang harus dididik pada rakyat kita dan
tidak ada satu hal yang lebih menghalang-halangi tumbuhnya dan merusak
harga diri itu dari pada paham materialism, yang memandang kemakmuran
kebendaan itu sebagai suatu ideal, suatu tujuan suci!”
“..Demikianlah, maka, jikalau kita hendak membanguyn suatu masyarakat
yang bukan saja makmur, tetapi juga adil, kecuali minta pertolongan
rasio dari ilmu ekonomi, kita harus terlebih dahulu mohon pertolongan
Ilahi. “
“..Krisis ekonomi dan politik Indonesia ini pada hakikatnya merupakan
krisis kepercayaan dan moral yang tidak dapat diobati dengan alat-alat
dan cara-cara lain melainkan hanya kembali kepada Tuhan melalui norma
agama dan moral, yang menyuruh kita, bukan mengejar kekayaan, melainkan
untuk mengabdi dan berkorban guna kepentingan sesama manusia!” pidatonya
menggelegar.
Ketika Wakil Presiden Mohammad Hata tak mampu membeli sepatu
impiannya hingga akhir hayatnya. Ketika Perdana Menteri Mohammad Natsir
dengan jas tambalnya mengayuk sepeda ontel ke kontrakkanya. Ketika
Diplomat Ulung, Menlu itu berpindah-pindah kontrakkan dari satu gang ke
gang lainnya. Kelak, ‘dongeng’ ini akan dibacakan kepada putra-putri
kita sebelum tidurnya.
Ketika Seorang Menteri Mengontrak Rumah
Kamis 8 Safar 1435 / 12 December 2013 08:22http://www.islampos.com/ketika-seorang-menteri-mengontrak-rumah-89789/
DI dalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama, menyelusup
gang-gang padat rumah di Jatinegara terdapat sebuah rumah mungil dengan
satu ruang besar. Begitu pintu dibuka, akan ada koper-koper berkumpul di
sudut rumah dan kasur-kasur digulung di sudut lainnya ruang besar itu.
Di sanalah tempat tidur Haji Agus Salim (Menteri Luar Negeri RI) bersama
istri dan anak-anaknya.
Dikontrakkan yang lain, Agus Salim, kira-kira enam bulan sekali
mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya.
Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. Haji Agus Salim
berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa mengubah
lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau
rumah atau pergi istirahat di lain kota atau negeri.
Begitulah seperti dikisahkan Mr. Roem, murid dari H. Agus Salim yang juga tokoh Masyumi ini. Anies Baswedan dalam ‘Agus Salim: Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakan’ menyebutkan bahwa H. Agus Salim hidup sebagai Menteri dengan pola ‘nomaden’ atau pindah kontrakkan ke kontrakkan lain.
Dari satu gang ke gang lain. Berkali-kali Agus Salim pindah rumah
bersama keluarganya. “Selama hidupnya dia selalu melarat dan miskin,”
kata Profesor Willem “Wim” Schermerhorn. Wim menjadi ketua delegasi
Belanda dalam perundingan Linggarjati. (Majalah Tempo Edisi Khusus Agus Salim)
Pernah, pada salah satu kontrakkan tersebut, toiletnya rusak. Setiap
Agus Salim menyiram WC, air dari dalam meluap. Sang istri pun menangis
sejadi-jadinya, karena baunya yang meluber dan air yang meleber.
Zainatun Nahar istrinya, tak kuat lagi menahan jijik sehingga ia
muntah-muntah. Agus Salim akhirnya melarang istrinya membuang kakus di
WC dan ia sendiri yang membuang kotoran istirnya menggunakan pispot.
Kasman Singodimedjo (tokoh Muhammadiyah dan Masyumi Ketua KNIP Pertama), dalam ‘Hidup Itu Berjuang’
mengutip perkataan mentornya yang paling terkenal: “leiden is lijden”
(memimpin itu menderita) kata Agus Salim. Lihatlah bagaimana tak ada
sumpah serapah meminta kenaikan jabatan, tunjangan rumah dinas,
tunjangan kendaraan, tunjangan kebersihan WC, tunjangan dinas ke luar
negeri untuk pelesiran, dll.
Saat salah satu anak Salim wafat ia bahkan tak punya uang untuk
membeli kain kafan. Salim membungkus jenazah anaknya dengan taplak meja
dan kelambu. Ia menolak pemberian kain kafan baru. “Orang yang masih
hidup lebih berhak memakai kain baru,” kata Salim. “Untuk yang mati,
cukuplah kain itu.”
Dalam Buku ‘Seratus Tahun Agus Salim’ Kustiniyati Mochtar
menulis, “Tak jarang mereka kekurangan uang belanja.” Ya, seorang
diplomat ulung, menteri, pendiri Bangsa yang mewakafkan dirinya untuk
mengabdi kepada Allah, bahwa memimpin itu adalah ibadah.
Seorang yang memilih jalan becek dan sunyi, berjalan kaki dengan
tongkatnya dibanding gemerlap karpet merah dan mobil Land Cruiser,
Alphard, dan gemerlap jantung kota lainnya. Kita tentu rindu sosok
seperti mereka, bukan tentang melaratnya mereka, tapi tentang ruang
kesederhanaan yang mengisi kekosongan nurani rakyat.
Ketika Wapres Mohammad Hata tak mampu membeli sepatu impiannya hingga
akhir hayat. Ketika Perdana Menteri Natsir menggunakan jas tambal,
mengayuh sepeda ontel ke rumah kontrakkanya. Ketika Menteri keuangan Pak
Syafrudin yang tak mampu membeli popok untuk anaknya. Semoga Allah
hadirkan mereka, sebuah keteladanan yang mulai memudar di tengah
gemerlap karpet merah Istana dan Senayan. []
GAZA: Stunned by turmoil in neighbouring Egypt and starved of
funds, the Palestinian Militant group Hamas is looking to repair damaged
ties with its traditional Middle East allies, Iran and the Lebanese
Hezbollah party.
An off-shoot of the Muslim Brotherhood, Hamas celebrated when the
Sunni movement's Mohamed Mursi was elected president of Egypt in 2012,
believing the vote would boost its own international standing and its
grip on the isolated Gaza Strip.
In the meantime, outraged by the bloody civil war in Syria, the
Palestinian group quit its headquarters in Damascus, snapping the
Iran-led “axis of resistance” that challenged Israel and the West across
the turbulent region.
Shia Muslim Iran, which had for years supplied Hamas with cash and
arms, was infuriated by what it saw as a betrayal of its close friend,
Syrian President Bashar al-Assad, and drastically scaled back its
support. Tehran's Shia partner, Hezbollah, also voiced its fierce
disapproval.
But following the ousting of Mursi, removed by the Egyptian military
on July 3, political sources said Hamas had had direct and indirect
contacts with both Iran and Hezbollah, anxious to revitalise old
alliances and restore its battered funding.]
“Some meetings have taken place ... to clear the air. There is no
boycott (of Hamas) but at the same time, things have not yet got back to
normal,” said a Palestinian official, with knowledge of discussions,
who declined to be named.
Moussa Abu Marzouk, former deputy head of Hamas's political office,
saw Hezbollah and Iranian officials in Lebanon last month, with other
meetings taking place subsequently.
“It is in the interest of Hamas today to revise its rapport with Iran
and Hezbollah for many reasons,” said Hani Habib, a political analyst
based in the Gaza Strip. “At the end of the day, all the parties have an
interest in this partnership.”
SYRIA ROW
Locked in conflict with arch foe and neighbour Israel, which it
refuses to recognise, Hamas has governed the small, densely populated
Gaza Strip since 2007 after a brief civil war against its secular
rivals.
With the Muslim Brotherhood in control of Egypt, Hamas felt it did not have to worry so much about its ties with Iran.
Hamas's leader in exile, Khaled Meshaal abandoned his long-time base
in Damascus last year because of the civil war that pitted President
Assad's forces, backed by reinforcements sent by both Iran and
Hezbollah, against mainly Sunni rebels.
Shia and Sunni are the main streams of Islam. There are differences
in their interpretations of the Koran and some traditions. The majority
of the world's Muslims are Sunni.
One of the veteran leaders of Hamas, Mahmoud Al-Zahar, said there had
never been a suspension of relations with Tehran and Hezbollah,
suggesting that contacts may have slowed only because of the recent
presidential election in Iran.
“We do not yet know the nature of Iran's new policy, but the
information we have received, which is not direct, suggests that the old
policy will be endorsed by the new administration,”
Zahar, a renown hardliner, told Reuters in an interview.
Hamas hopes newly installed President Hassan Rouhani will open the financial taps again.
Diplomats estimated that Iran used to give Hamas some $250 million a
year, but one Palestinian official reckoned that only 20 per cent of
that was now being handed over. Ehud Yaari, a Middle East expert from
Israel, put the figure at just 15 per cent, with no arms being offered
up either.
“We have a situation of close to zero arms trafficking through the tunnels into Gaza,” said Yaari.
Very little material, weapons or otherwise, is passing at present
through the smuggling tunnels that criss-cross the desert border between
Egypt and Gaza, with the new rulers in Cairo ordering a clampdown
following Mursi's removal.
The army-backed government has accused Hamas of interfering in
Egyptian affairs and suggested that Palestinians might be helping
militants active in the Sinai peninsula.
The restrictions on the tunnels, which flourished thanks to an
Israeli blockade on the coastal enclave, cost Gaza at least $230 million
in July alone, said Hamas Economy Minister Ala Al-Rafati. But he
rejected any suggestion of a financial crisis.
“There are some problems and they are being overcome,” he told
Reuters on Monday, adding that the tunnel trade, which provides Hamas
with a crucial source of tax income, had dropped some 60 per cent since
Mursi's ousting.
In an additional blow, Hamas's close ties with Qatar have also been
dented this summer.
The emir of the energy-rich Gulf state visited Gaza last October
promising millions of dollars of aid, but he abdicated in June and his
heir has shown much less interest in Hamas.
PRIORITIES
In reaching out once more to Iran and Hezbollah, Hamas's dilemma is
as much ideological as political, how to balance its Sunni Muslim
Brotherhood roots with its vital interests to forge partnerships with
fellow enemies of Israel.
Leading a special prayer meeting on Friday for the souls of the
"Egyptian martyrs", the Hamas prime minister in Gaza, Ismail Haniyeh,
made clear that the war with Israel took precedence.
"We understand that the priority of our resistance is to liberate the
land, regain the rights and return the Palestinian people to the land
they were forced out of," said Haniyeh, the movement's deputy chief.
"We have no military and no security role in Egypt or in the Sinai. Our
military and security role is here, on the land of Palestine and against
the Zionist enemy."
Founded in 1988, Hamas has regularly squared off against Israel, most
recently in November last year in an eight-day conflagration that
killed at least 170 Palestinians and six Israelis. The truce was
brokered by Mursi.
Israeli analyst Yaari thought Iran would exact a price for welcoming
Hamas back into the fold. "It will require them to stop opposing Assad
and stop any criticism of Hezbollah's intervention (in Syria) and
Iranian support of Assad," he said.
Zahar, who lost two sons in the conflict against Israel in past years
and carries great weight in the movement, has always sought to maintain
good ties with Iran.
But he also says the organization, which is estimated to have around
30,000 well-equipped fighters, has survived difficult situations in the
past when U.S.-backed strongman Hosni Mubarak ruled Egypt and kept Gaza
in a vice.
"We became very strong in an era where the entire surrounding
environment was hostile," he said. "Our resistance relies mainly on God
and also on its capabilities. History proved we have always emerged
stronger every time."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar