Redaksi 1 – Kamis, 27 Safar 1434 H / 10 Januari 2013 09:26 WIB
http://www4.eramuslim.com/berita/analisa/dilema-perda-syariah-dalam-sistem-hipokrit-demokrasi.htm#.UPzuDfIyqSo
http://www4.eramuslim.com/berita/analisa/dilema-perda-syariah-dalam-sistem-hipokrit-demokrasi.htm#.UPzuDfIyqSo
Oleh: Adi Victoria
Analis CIIA (The Community of Islamic Ideological Analyst)
Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh, memberlakukan larangan bagi
perempuan duduk mengangkang saat diboncengkan dengan sepeda motor. Hal
itu tertuang dalam surat edaran yang ditandatangani Wali Kota
Lhokseumawe Suadi Yahya, Rabu (2/1/2013).
Alasan pemberlakukan aturan tersebut menurut Suadi Yahya adalah
adanya keinginan para ulama yang tergabung dalam MPU (Majelis
Permusyawaratan Ulama), MUNA (Majelis Ulama Nanggroe Aceh), dan juga MAA
(Majelis Adat Aceh), yang menyampaikan perlunya melaksanakan Syariat
Islam dan adat istiadat Aceh secara kaffah dan lebih baik.
Disamping itu guna mengembalikan nilai-nilai kearifan lokal di Aceh
yang menurutnya sudah mulai ditinggalkan karena tergerus oleh kehidupan
yang modern.
Peraturan ini sontak menyebabkan kontroversi di kalangan beberapa
pihak, peran media massa menjadikan kontroversi meresonansi ke banyak
masyarakat Aceh, ataupun masyarakat Indonesia, bahkan menembus ke
mancanegara.
Bagi yang pro, mereka beranggapan bahwa peraturan tersebut menjaga marwah wanita
di jalan raya. Sehingga wanita akan terhindar dari tindakan kriminal
khususnya kepada kaum wanita. Sedangkan yang kontra beranggapan bahwa
peraturan tersebut adalah sebuah peraturan yang diskriminasi terhadap
wanita, seolah-olah wanita adalah subjek dari tindakan kriminal, yakni
wanita sebagai penyebabnya.
Walaupun secara fiqih memang harus lebih di kaji apakah duduk
menyamping itu adalah wajib atau mubah, mengingat alasan dari
pemberlakukan duduk secara menyamping tersebut salah satunya adalah agar
tidak membentuk lekuk tubuh wanita. Karena faktanya duduk secara
mengangkang tersebut secara syar’I dalam kondisi tertentu adalah boleh
(baca:mubah) sebagaimana pada masa Rasul SAW dan Sahabat ketika seorang
wanita duduk di unta (atau keledai dan kuda) dengan posisi duduk
mengangkang tidak menyamping penuh, kemudian kebolehan tersebut juga
dengan catatan bahwa wanita tersebut tidak memperlihatkan lekuk
tubuhnya, artinya pakaian yang dikenakan itu harus bisa menutupi lekuk
tubuhnya. Karena faktanya orang yang duduk secara menyamping pun lekuk
tubuhnya masih tetap terlihat. Artinya harus kembali kepada fiqih
bagaimana hukum busana muslimah ketika berada di kehidupan umum, yakni
dengan memakain jilbab (gamis) dan khimar (kerudung).
Namun demikian, sebagai muslim tentu kita mengapresiasi spirit (ruh)
yang melatari lahirnya peraturan tersebut, yakni ingin menerapkan
syariah Islam dalam aspek kehidupan real. Itu point pentingnya.
Ironi Demokrasi
Terlepas dari pro dan kontra mengenai perda syariah tersebut, kita
melihat ada hal yang menarik dalam masalah ini yakni ide (ilusi)
demokrasi. Ungkapan Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan)
sudah sering kita dengar di era demokrasi. Artinya ketika mayoritas
suatu bangsa atau masyarkat bersepakat akan suatu persoalan maka itu
harus menjadi suatu aturan yang wajib diterapkan dan dipatuhi karena hal
tersebut adalah kehendak masyarakat.
Namun kita melihat disinilah ironinya ide demokrasi. Ketika mayoritas
masyarakat menginginkan diterapkannya perda syariah, pemerintah masih
menimbang-nimbang efek negatif serta positif perda tersebut bagi
masyarakat. Bahkan kecondonganya bernafsu untuk mengaborsi perda
tersebut dengan berbagai dalih. Mulai dari alasan filosofis, sosiologis,
yuridis hingga politis yang dipaksakan. Sekedar mengingat ulang bahwa
jika diterapkan syariah maka kemaslahatan akan di dapat, sebagaimana
kaidah syara’ yang berbunyi “idza kaana syar’u an takun al maslahat-dimana ada syari’ah, disana pasti ada maslahat”.
Hakikatnya dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat
sebagai penentu keinginan. Sejarah AS sendiri menunjukkan hal tersebut.
Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for the people”
(dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat).
Namun, hanya sebelas
tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford
B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat
pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company”
(dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan). Sejak awal
kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat
(bukan di tangan rakyat), yakni di tangan para pemilik modal. Hanya
saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-olah
kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki
adalah daulatnya rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang
berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal.
Kita pun melihat bagaimana para pengusung ide demokrasi yang selalu
menggembor-gemborkan ide kebebasan. Di dalam sistem demorasi, memang
demokrasi memberikan tempat untuk menyuarakan syariah Islam, namun fakta
demokrasi tidak memberikan tempat agar syariah Islam tersebut dapat
diterapkan.
Dari fakta tersebut kita bisa melihat bahwa demokrasi memang bukanlah
cawan untuk penegakkan syariah Islam. Bukan sistem politik yang relevan
untuk tatbiqus syari’ah, karena kontradiksi
diametrikal mulai dari asas hingga cabangnya. Kalaupun diterapkan,
syariah Islam tersebut hanyalah komplementer atau pelengkap terhadap
peraturan (hukum positif produk akal). Syariah Islam yang diterapkan
hanyalah parsial, tidak menyeluruh.Pilar Penerapan Syariah Islam
Pilar pertama adalah adanya ketakwaan yang
dimiliki oleh individu-individu kaum muslimin. Ketakwaan inilah yang
akan mendorong seseorang untuk selalu berbuat kebaikan dan ketaatan
kepada Allah SWT, dan ketakwaan ini pulalah yang akan menjaga dan
menjauhkan seseorang dari melakukan pelanggaran dan penyimpangan.
Karena orang yang takwa, menyadari sepenuhnya bahwa Allah SWT senantiasa
mengamati setiap perbuatan dan tingkah lakunya. Dia juga menyadari,
bahwa Allah SWT akan meminta pertanggung jawabannya atas semua amal
yang dia kerjakan. Sehingga dia akan selalu berusaha taat dan menjauhi
perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat.
Seandainya pun dia terlanjur
berbuat dosa, karena ketakwaannya ia akan segera menghentikan
perbuatannya itu dan segera bertobat serta tidak akan mengulanginya.
Sebagai contoh di masa Rasulullah SAW, pernah ada dua orang yang
berzina. Mereka adalah Maiz Al-Aslami dan Al-Ghomidiyah. Masing-masing
berzina, yang sudah barang tentu tanpa diketahui oleh siapapun. Tapi
karena didorong oleh ketakwaannya, akhirnya mereka menghadap kepada
Rasulullah SAW untuk meminta dihukum rajam dan disucikan. Padahal kalau
mau, bisa saja mereka terus menyembunyikan dosa mereka. Tapi karena
ketakwaan yang dimiliki , mereka tidak merasa tenang sebelum mereka
dihukum sebagai bentuk pensucian diri di hadapan Allah SWT.
Kita bisa lihat, saat ini pilar ketakwaan itu telah goyah bahkan
tegerus demikian dasyat dari kaum muslim. Sehingga mereka dengan leluasa
terus berbuat dosa, melakukan pelanggaran, dan kemaksiatan. Tanpa rasa
khawatir akan adzab dari Allah SWT. Saat ini begitu banyak orang Islam
yang meninggalkan kewajiban mereka. Meninggalkan ibadah yang difardhukan
kepada mereka, mencampakkan hukum-hukum Allah SWT yang semestinya
mereka terapkan.
Mereka tidak lagi memperhatikan aqidah dan syariah
Islam dalam kehidupannya. Tapi malah terus menjerumuskan diri ke dalam
kemaksiatan, dosa, dan berbagai betuk pelanggaran. Mereka memakan riba,
mereka berzina, mereka mabuk-mabukan, mereka berjudi, mereka korupsi dan
lain sebagainya. Sehingga pilar ketakwaan yang seharusnya dimiliki oleh
individu itu benar-benar telah runtuh.
Pilar yang kedua, adalah kontrol dari
masyarakat. Yakni adanya ketakwaan yang dimiliki secara kolektif oleh
masyarakat. Artinya, masyarakat yang takwa adalah masyarakat yang peduli
terhadap penerapan syariat Islam, dan peduli juga terhadap setiap
bentuk pelanggaran syariat. Masyarakat harus membenci seluruh perkara
yang dibenci Allah, dan masyarakat harus mencintai apa yang dicintai
Allah SWT.
Dan ini bisa terwujud apabila amar ma’ruf dan nahyi munkar
dilakukan oleh setiap individu masyarakat. Sebagai contoh, ketika ada
seseorang yang terlihat melakukan pelanggaran syariat baik disengaja
ataupun tidak. Misal, ada seorang muslimah yang membuka aurat/tidak
berjilbab di muka umum, atau ada dua orang laki-laki perempuan bukan
mahrom yang berdu-duaan, atau melakukan bentuk kemaksiatan lainnya.
Maka
semua orang yang ada disekitarnya, akan mengingatkan dan mencegahnya
agar menghentikan kemaksiatannya itu. Jika semua orang, secara kolektif
melakukan kontrol semacam ini, sudah tentu tidak akan ada yang berani
melakukan pelanggaran sekecil apapun di muka umum. Karena ketatnya
kontrol masyarakat terhadap setiap orang.
Maka kita bisa lihat, pilar kedua ini pun saat ini sudah runtuh.
Masing-masing orang tidak peduli lagi dengan pelanggaran, kemaksiatan
yang terjadi disekelilingnya bahkan mereka sendiri malah menjadi pelaku
pelanggaran dan kemaksiatan tersebut.Yang menyedihkan lagi munculnya
gejala diamnya orang-orang yang berilmu (di posisikan oleh masyarakat
sebagai ulama ataupun rujukan) atas kedzaliman-kedzaliman dasyat yang
dilakukan oleh pemerintah mulai dari persoalan ekonomi, keadilan hukum
sampai negara ini yang dikelola dengan sistem yang jelas-jelas thogut.
Adapun pilar ketiga, dan inilah pilar yang
seringkali dilupakan yakni adanya kekuasaan atau negara yang menerapkan
syariat Islam secara sempurna kepada rakyatnya. Pilar negara ini
sesungguhnya yang akan menyempurnakan dua pilar sebelumnya yakni
ketakwaan individu dan kontrol masyarakat. Karena negaralah yang mampu
menerapkan Islam berikut melaksanakan hukum-hukum dan sanksi-sanki
terhadap setiap pelanggaran. Negaralah yang bisa melaksanakan hukum
potong tangan bagi pencurian, yang bisa melaksanakan hukum cambuk bagi
perzinahan, bahkan negara bisa menghukum orang –orang yang meninggalkan
sholat, meninggalkan puasa dan pelanggaran lainnya. Ringkasnya, dengan
adanya negara yang menerapkan Islam, kemungkinan besar seluruh syariat
Islam akan dapat dilaksanakan berikut sanksi-sanksi terhadap pelanggaran
pun dapat dilaksanakan. Tetapi sebaliknya, tanpa negara yang menerapkan
Islam, akan banyak hukum-hkum yang terlalaikan bahkan sulit diterapkan.
Salah satu keistimewaan diberlakukannya hukum syariah Islam adalah
sebagai jawabir dan jawazir. Keistimewaan ini tidak akan kita temui di
luar daripada hukum Islam.
Misalnya, hukum syariah Islam ketika diterapkan kepada orang-orang
yang melakukan tindakan kriminal, dan ketika kepada mereka diberlakukan
hukum syariah, maka dosa mereka di dunia telah terhapus, inilah yang
dinamakan sebagai jawabir.
“Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh
anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan
tidak menolak melakukan perbuatan yang ma’ruf. Siapa saja menepatinya
maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya
kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan
siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (lolos dari
hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah
berkehendak maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak maka
akan memaafkannya.” [HR Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit].
Disamping itu, pemberlakukan syariah Islam akan menjadi sarana
pencegah terjadinya perbuatan tindak kriminal yang baru, inilah yang
disebut sebagai Jawazir.
Sebagai contoh, ketika diterapkannya hukum qishash, maka qishash
tersebut akan mencegah terjadinya tindakakan balas dendam kepada
keluarga korban kepada pelaku atau keluarga pelaku.
Allah swt berfirman : “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” [surat al baqarah ayat 179]
Al-Alusi berkata dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani (2/1130), mengatakan, “Makna
qishash sebagai jaminan kelangsungan hidup adalah kelangsungan hidup di
dunia dan di akhirat. Jaminan kelangsungan hidup di dunia telah jelas
karena dengan disyariatkannya qishash berarti seseorang akan takut
melakukan pembunuhan. Dengan demikian, qishash menjadi sebab
berlangsungnya hidup jiwa manusia yang sedang berkembang. Adapun
kelangsungan hidup di akhirat adalah berdasarkan alasan bahwa orang yang
membunuh jiwa dan dia telah diqishash di dunia, kelak di akhirat ia
tidak akan dituntut memenuhi hak orang yang dibunuhnya.”
Oleh karenanya, sebagai seorang yang mengaku muslim, tidak sepatutnya
merasa gerah terhadap penerapan syariah Islam (kecuali orang yang
nifaq). Disamping penerapan syariah itu sendiri adalah perwujudan
keimanan kita kepada Allah swt sebagai pencipta kita, sekaligus juga
menjalankan syari’ah Islam yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai utusan Allah swt sebagai pembawa risalah Islam yakni aqidah dan
syariah Islam, yang berfungsi mengatur hubungan manusia dengan
penciptaNya dalam perkara ibadah, untuk mengatur hubungan manusia dengan
dirinya sendiri yakni dalam pengaturan masalah akhlaq, makanan, pakaian
dan minuman, serta untuk mengatur hubungan manusia dengan sesamanya
yakni dalam perkara mu’alamah dan ‘uqubat. Itulah kesempurnaan Islam
sebagai agama sekaligus sebagai sebuah ideologi.
Cuman sayang, masih
banyak generasi Islam bermimpi semua itu bisa diwujudkan melalui jalan
yang bernama demokrasi. Jangan lupa, Islam telah menggariskan solusi
(syariah;seperangkat aturan lengkap untuk kehidupan politik), sekaligus
metode penerapannya (thoriqoh/method). Islam hanya bisa tegak secara kaffah dengan institusi yang disebut Daulah Islamiyah (Khilafah ala Minhajin Nubuwah).Wallahu A’lam bishowab.[]
Contoh nyata:
Demokrasi Oligarkis dan Kapitalisme Politik
Thomas Koten* | Senin, 17 September 2012 - 15:03:02 WIBhttp://www.shnews.co/detile-7988-demokrasi-oligarkis-dan-kapitalisme-politik.html#
Demokrasi yang kebabalasan malah akan memunculkan kapitalisme politik di negara.
Tidak dapat dipungkiri, demokrasi
dengan sistem pemilihan langsung baik pemilu presiden, pilkada maupun
pemilu legislatif, serta sistem politik demokratik multipartai, yang
menghasilkan persaingan yang sangat tinggi, sesungguhnya telah
melahirkan sebuah demokrasi berbiaya sangat mahal.
Apalagi jika
sebuah pesta demokrasi seperti pemilu atau pilkada yang berlangsung
hingga dua putaran, sehingga membuat mahalnya biaya demokrasi itu
sungguh-sungguh fantastik.
Karena tingginya biaya demokrasi itulah
kemudian berefek psikologis bagi para pekerja politik dalam komunitas
parpol. Seperti menjelang Pemilu 2014, yang meski masih berlangsung
dua tahun lagi, tetapi aroma kegelisahan sungguh-sungguh telah
menyengat dan menghantui para elite politik parpol terkait
melambungnya biaya politik yang sangat tinggi.
Tingginya biaya politik atau biaya
demokrasi itu, karena untuk menyukseskan dan memenangi pemilu atau
pilkada, diperlukan dana sangat besar untuk kampanye pemilu, kampanye
pilkada, menggerakkan partai atau organisasi massa pendukungnya,
memelihara konstituen, dan merawat infrastruktur.
Ini karena di era
modern dengan kemajuan teknologi informasi dengan media komunikasi
yang sangat kompleks dan berbiaya sangat tinggi ini diperlukan biaya
atau dana yang sangat besar. Maka, lahirlah sosok demokrasi kita
dengan sosok demokrasi berbiaya mahal.
Demokrasi Oligarkis
Karena tinggi dan mahalnya biaya
demokrasi, dan/atau dana yang dibutuhkan dalam pembiayaan politik
sangat besar, logikanya, hanya orang-orang yang memiliki dana besar,
terutama para konglomeratlah yang bisa bermain politik atau yang
berani ke gelanggang pertarungan politik. Merekalah yang kemudian
menentukan bagaimana demokratisasi harus mengalir supaya
keuntungan-keuntungan ekonomi-politik merembes dengan rapi.
Akibatnya, kata
Racienre (2006), demokrasi menjelma menjadi demokrasi oligarkis.
Demokrasi yang semestinya sebagai bentuk kekuasaan “di tangan
rakyat” menjelma menjadi kekuasaan “di tangan orang-orang kaya”
atau “para pemilik modal besar”.
Individualisme
dan pragmatisme kekuasaan membuncah dan mengental. Tulis Yasraf Amir
Piliang, spirit kolektivisme politik digantikan “individualisme”,
ikatan ideologi diganti hasrat pragmatisme kekuasaan individu.
Jalannya politik
atau roda demokrasi lalu digerakkan dan ditentukan oleh orang-orang
kaya alias para kapitalis, sehingga terjadilah apa yang disebut
sebagai kapitalisme politik. Dalam cengkeraman kapitalisme politik
hanya orang-orang kaya (para oligarch) yang
mampu bersaing dalam medan pertarungan politik.
Akibat lanjutannya,
demokrasi pun terdistorsi menjadi sistem ”oligarki politik” dan
“oligarki ekonomi”, dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu
menumpuk kekayaan untuk kekuasaan.
Kekuasaan yang diraih oleh para
politikus konglomerat pun lebih dilihat sebagai kesempatan untuk
menumpuk kekayaan. Kekayaan yang dimiliki itu pun kembali digunakan
untuk membeli dan mempertahankan kursi kekuasaan dan mengendalikan
demokrasi.
Ingat bahwa tidak ada langkah ekonomi
dan politik para konglomerat atau para kapitalis yang gratis dari
perhitungan-perhitungan keuntungan ekonomi. Sebagaimana seseorang
yang memiliki naluri dan darah bisnis, setiap langkah politik,
seperti halnya langkah ekonomi, selalu dibisniskan, atau dilihat dan
dikalkulasi untung-rugi secara ekonomi bisnis.
Apa jadinya jika politik atau demokrasi
dibisniskan? Realitasnya menunjukkan bahwa politik dan demokrasi di
negeri ini, di era kapitalisme politik yang sedang berlangsung, telah
terjadi pula pembisnisan politik.
Itu telah begitu kental terlihat
pada komunitas parpol dan komunitas legislatif, bahkan juga
eksekutif. Kursi ketua partai, ketua DPP dan DPD, kursi anggota
legislatif, dan kursi anggota eksekutif telah lama terdengar memiliki
harga dan nilai ekonomi tertentu yang diperdagangkan. Bahkan, hingga
undang-undang yang dihasilkan para politikus di Senayan juga umumnya
dibarter dengan uang yang nilainya sangat fantastis.
Muncul pertanyaan
berikut, bagaimana dengan nasib rakyat-masyarakat dan bangsa kita
dalam gerbong politik demokrasi yang oligarkis? Menyitir lagi Yasraf
Amir Piliang, oligarkisme politik sungguh meminggirkan atau
mengerdilkan rakyat sebagai elemen sentral sistem demokrasi.
Rakyat
sebagai pemain utama dalam sistem demokrasi hanya menjadi pelengkap,
bahkan objek kekuasaan. Status rakyat dikerdilkan dari konstituen
ideologis jadi “consumer” gagasan, citra, pesona dan ilusi-ilusi
yang ditawarkan para oligarch politik.
Kalau sudah demikian, nasib dan
kesejahteraan rakyat yang semestinya menjadi tujuan akhir dari
permainan dan kerja politik serta tujuan digulingkannya demokrasi,
semakin jauh panggang dari api.
Oligarki yang merefleksikan habitus
kekuasaan yang suka menghimpun keuntungan ekonomi-politik ke dalam
lingkaran perselingkuhan dan persekongkolan kekuasaan membuat nasib
kesejahteraan rakyat kian terabaikan. Politik lalu menjadi hampa
makna. Demokrasi menjadi beku, kaku, dan tidak lagi menjadi prasyarat
bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Tergerus Superkapitalisme
Perlu digarisbawahi, demokrasi
oligarkis yang mulai menggejala di Indonesia sebagai akibat dari
terjebak dalam kapitalisme politik itu, bukan hanya terjadi dalam
kehidupan politik kita, melainkan telah menjadi gejala umum di
negara-negara demokratis.
Amerika Serikat sendiri yang selama ini
dapat dikatakan sebagai sokoguru demokrasi modern, ternyata
masyarakatnya sedang kehilangan kepercayaan terhadap demokrasi
seperti itu.
Setidaknya, itulah
Robert B Reich, seorang pemikir dan ahli ekonomi Amerika Serikat
dalam bukunya Supercapitalism (2008), bahwa
demokrasi saat ini seperti di Amerika, sesungguhnya sedang meratapi
demokrasi yang menurutnya telah mandul karena gerusan
superkapitalisme, yang membuat demokrasi tidak lagi setia pada misi
pokoknya mendorong kesejahteraan rakyat.
Mengapa? Karena kultur kebebasan dan
kesetaraan yang dipromosikan demokrasi yang diyakini dapat mendobrak
ekonomi negara, ternyata kini hanya menghasilkan pemerintahan yang
dijalankan berdasarkan kapentingan besar segilintir orang yang sedang
mengejar kepentingan dan keuntungannya sendiri, tanpa memedulikan
kepentingan masyarakat dan bangsa. Kesejahteraan rakyat kian terkubur
dalam makam-makam kapitalisme politik.
Pertanyaan yang layak teradopsi di
sini, apakah wajah demokrasi seperti ini layak dipertahankan dan
dikembangkan? Atau, apakah ke depannya, kita akan terus mengalami
demokrasi seperti ini? Kita tegaskan bahwa ini bukan salah demokrasi.
Baik buruknya demokrasi tergantung pada bagaimana kita menyikapi,
mengelola dan mengembangkan demokrasi sesuai dengan hakikat dan
prinsip demokrasi itu, yang sesungguhnya bukan untuk kepentingan para
kapitalis politik, tetapi semata untuk kesejahteraan rakyat.
Karena itu, demokrasi harus
terus-menerus dicermati, diwacanakan secara kritis, didiskusikan
secara jernih untuk kemudian dikelola secara tepat sesuai dengan
hakikat demokrasi dus budaya peradaban bangsa, agar tidak berbalik
merusak dan meremukkan peradaban politik bangsa sendiri.
Kini, kita harus sadar bahwa dengan
terus merebaknya kapitalisme politik, demokrasi itu sendiri telah
tergusur dari hakikat dasarnya.
Kita harus berjuang mengembalikannya
ke ranah demokrasi yang beretika, bermoral dan berbudaya sesuai
dengan budaya dan peradaban bangsa. Jika tidak, demokrasi kita
tinggal puing dan kita kian terperangkap, bingung dan tak berdaya
dalam puing demokrasi itu.
*Penulis adalah Direktur Social
Development Center.
Sumber : Sinar Harapan
MP3EI, Proyek Memburu Utang Luar Negeri
Web Warouw | Senin, 21 Januari 2013 - 15:19:17 WIB
: 23..http://www.shnews.co/detile-13699-mp3ei-proyek-memburu-utang-luar-negeri.html#
Ilustrasi.
Arah kebijakan nasional ini membuat Indonesia semakin tergantung pada utang luar negeri.
JAKARTA -
Secara pasti, proyek
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) terus berjalan. Proyek pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono
(SBY) ini dinilai sebagai proyek memburu utang dan investasi luar
negeri.
Pemerintah seperti menyumbat telinga dari berbagai kritik
terhadap kebijakan utang luar negeri yang semakin membengkak.
MP3EI berorientasi pada pembangunan
infrastruktur melalui skema investasi swasta (Public Private
Partnership). Skema ini adalah sama dengan skema liberalisasi sektor
publik, seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan.
“Ini megaproyek pemerintah dalam
rangka memburu utang luar negeri dari berbagai negara, lembaga
keuangan global, dan bank investasi global dalam rangka pembiayaan
infrastruktur,” kata peneliti kebijakan global, Indonesia For
Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng, di Jakarta, Minggu (20/1).
MP3EI menurutnya adalah proyek dalam
rangka stabilisasi sektor keuangan global yang sedang krisis dengan
cara memobilisasi keuangan publik dalam rangka stabilitas keuangan
global.
Proyek ini akan dimulai dari pembangunan lembaga keuangan
pembiayaan, pembesaran pasar keuangan, dan bursa saham. Investasi
infrastruktur akan dijadikan dasar pembentukan pasar keuangan
spekulatif baru.
Pemerintahan SBY rencananya akan
menjalankan proyek ini dengan membangun enam koridor ekonomi yang
saling terhubung dalam rangka mobilisasi sumber daya alam Indonesia
masuk ke pasar internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Untuk itu, pemerintah akan pembangunan
berbagai megaproyek infrastuktur jalan, jembatan, pelabuhan, dan
telekomunikasi. Menteri Perindustrian MS Hidayat beberapa waktu lalu
memastikan kerja sama investasi untuk membantu pembangunan
infrastruktur di 13 sektor dari 22 sektor MP3EI.
Kerja sama pertama adalah proyek
bersama PT Pertamina dengan Perusahaan Fuel Technologies Celanese
dengan nilai investasi US$ 2 miliar. Join Pertamina ini untuk membuat
proyek batu bara dengan Celanese.
Pemerintah juga menawarkan empat
megaproyek pada sekutu Amerika di Asia dan Korea Selatan, antara lain
proyek Southern Bali Water Supply di Bali dan proyek bendungan,
Karian Water Conveyance di Serpong Banten.
Untuk pendanaan, Indonesia
meminta European Investment Bank (EIB) mendukung proyek pemerintah
dan swasta dalam infrastruktur, industri, agroindustri, pertambangan,
dan jasa. EIB memiliki otoritas untuk meminjamkan dana sampai dengan
1 miliar euro pada operasi keuangan Asia yang mendukung strategi
kerja sama Uni Eropa.
Pemerintah telah mendirikan PT PII
(Penjamin Infrastruktur Indonesia) pada 2010 sebagai 100 persen BUMN
dan dirancang sebagai penyedia jaminan investasi. Perusahaan ini
bertindak sebagai perusahaan asuransi dan menarik premi asuransi.
Modal awal PT PII sebesar US$ 220 juta atau Rp 2 triliun lebih. PT
PII dibangun dengan bantuan Bank Dunia yang menyediakan US$ 500 juta
sebagai dukungan jaminan dan dari perusahaan Singapura, Temasek,
sebesar 474.000 dolar Singapura.
Menurut Salamuddin, arah kebijakan
nasional yang menyerahkan tanggung jawab negara kepada swasta
internasional ini akan menimbulkan dua hal, yaitu Indonesia semakin
tergantung pada utang luar negeri kepada lembaga keuangan global dan
negara-negara maju.
“Masyarakat akan sulit mendapatkan
akses terhadap infrastruktur karena harga pemakaian infrastruktur
yang mahal,” jelasnya.
Kemampuan Berkurang
Sementara itu, realisasi keseimbangan
primer tercatat negatif pada 2012 sebesar Rp 45,5 triliun. Ini dapat
diartikan kemampuan pemerintah membayar utang terlihat berkurang.
Kepala Ekonom Dana Reksa Reserch Institute Purbaya Yudhi Sadewa
mengatakan, keseimbangan primer yang negatif ini menandakan kemampuan
pemerintah dalam membayar utang mulai menurun.
“Selama ini realisasi tidak pernah
negatif, tapi kalau memang negatif, ini menggambarkan APBN agak
tertekan sisi kesinambungannya, jadi besar pasak daripada tiang,”
kata Purbaya di Jakarta, Jumat (11/1).
Kesimbangan primer bisa diartikan
sebagai kemampuan APBN dalam melakukan kewajiban-kewajibannya,
seperti pembayaran bunga utang. Dalam struktur APBN 2012, pembayaran
bunga utang sejatinya alokasinya relatif tidak besar atau sekitar Rp
100,5 triliun. Namun dengan beban subsidi yang meningkat, ditambah
dengan kondisi perekonomian global yang tidak stabil, neraca
keseimbangan menjadi negatif.
Kepala Kebijakan APBN, Badan Kebijakan
Fiskal, Kementerian Keuangan Rofiyanto Kurniawan mengakui negatifnya
keseimbangan primer saat ini terjadi lantaran subsidi bahan bakar
minyak (BBM) meleset dari target.
“Ini sesuatu yang mesti kita
waspadai. Kan selama ini keseimbangan primer kita positif. Karena
sekarang negatif kita harus waspadai jadi dalam me-manage subsidi ini
harus lebih hati-hati di tahun 2013,” ujarnya.
Pada 2012 realisasi subsidi energi
sebesar Rp 306,5 triliun atau 151,5 persen dari target. Rinciannya,
untuk subsidi BBM, LPG, dan Bahan Bakar Nabati Rp 211,9 triliun atau
154,2 persen dan subsidi listrik Rp 94,6 triliun atau 145,6 persen.
Dari sisi kewajiban, hingga 2012,
pemerintah telah menggelontorkan dana Rp 240,508 triliun untuk
membayar cicilan utang serta bunganya. Angka ini mencapai 76,38
persen dari target pada APBN-Perubahan sebesar Rp 314,890 triliun.
Dari jumlah itu, pelunasan pokok utang
Rp 149,233 triliun atau 75,71 persen dari pagu APBN-Perubahan Rp
197,104 triliun. Pelunasan pokok utang tersebut terdiri dari
pelunasan pinjaman Rp 42,247 triliun, yang terdiri dari pinjaman luar
negeri Rp 43,177 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp 71 miliar.
Selain itu, pemerintah juga
mengeluarkan dana Rp 105,986 triliun untuk membayar pokok utang Surat
Berharga Negara (SBN) denominasi rupiah, yang terdiri dari Surat
Utang Negara (SUN) Rp 105,986 triliun, dan Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN) alias Sukuk Rp 11,562 triliun.
Sumber : Sinar Harapan
http://www.shnews.co/detile-13699-mp3ei-proyek-memburu-utang-luar-negeri.html#
Demokrasi Kapitalisme Membungkam Elit Dan Partai Politik Penipu Rakyat
Demokrasi Kapitalisme Tak Sudi.!! lawan dan hancurkan
Dalam
perkembangan Demokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan hingga saat ini telah
mengembangkan asas pemikiran dari rakyat untuk mengiplementasikan asas kedaulatan
rakyat dengan berbagai cara yaitu kedaulatan berada langsung ditangan rakyat
namun kedaulatan tersebut tidak pernah terwujud sebagaimana mestinya. Rakyat hanya
bisa merasakan kedaulatan disaat perhelatan politik dimana keterlibatan
langsung rakyat dalam menetukan pemimpinya di parlamen. Sementara perwakilan
rakyat di parlamen pun tidak bisa berbuat banyak disebabkan para wakil rakyat
hanya bisa berjuang untuk partai politiknya.
Banyak Partai dan Elit Politik di negara ini
tidak bisa lagi dipercaya membawa kedaulatan dan kepentingan rakyat, sebab yang
ada hanyalah janji-janji politik demi meloloskan mereka (Para Elit Politik) pada
saat bertarung di pentas perpolitikan baik tingkat Nasional maupun daerah dalam
hal ini baik pemilihan lembaga legeslatif maupun esekutif. Rakyat hanya bisa mendapat
Visi dan Misi para kandidat sedangakan kesejateraan rakyat sangat mustahil didiperoleh.
Dengan
kata lain, seorang Pemerhati Sosial Benny
Susetyo mengatakan Partai Politik sejauh
ini belum memberikan makna yang signifikan dalam mengawal demokrasi. Demokrasi
hanya dimaknai sebagai sekadar cara untuk membeli dukungan belaka. Demokrasi
pun tak lagi memberikan harapan ketika partai politik dan elite politik
terjebak pada permainan politik tingkat tinggi (high politics) yang
tentunya juga berbiaya politik tinggi.
Kegagalan partai politik menjalankan
fungsi-fungsinya secara maksimal mengakibatkan citra partai politik semakin
memburuk di era reformasi ini. Fungsi sosialisasi, rekrutmen, dan artikulasi
politik selalu dikalahkan oleh fungsi meraih kekuasaan. Ciri elitisme yang diperankan partai politik selama
ini telah meningkatkan apatisme rakyat. Ketidakpercayaan itu semakin menguat
dalam banyak hal, bahkan terhadap hal-hal baik yang dilakukannya. Antipati itu
bukan tanpa sebab, partai politik dinilai lebih banyak peduli kepada
kepentingan kekuasaan daripada memediasi kepentingan rakyat.
Memang
para wakil rakyat ketika bertarung
dipentas politik membutukan modal besar, mulai dari proses rekrutmen sampai
tahap sosialisasasi. Keinginan bertarung dipentas politik hanya bagi mereka
yang berpemodal, artinya hanya bagi mereka-mereka yang bermodal besar bisa
menang dalam pertarunan sebab dengan kekuatan modal (finangsial) dapat mengahasilkan
berbagai macam strategi untuk menang dalam pertarungan. Maka tidaklah heran
jika partai dan elit politik yang lolos dari pertarungan politik tidak mau melirik
dan mensejaterakan rakyat sebab dibenak mereka hanyalah bagaimana modal mereka biasa
kembali dan partai meraka sejatera.
Sistem
sosialisasi politik oleh elit dan partai politik di masyarakat yaitu Kapital system
atau
sistem modal. Kapital atau kapitalisme adalah suatu
paham yang meyakini bahwa pemilik modal biasa mengatasi segala permasalahan,
sebab modal dapat menentukan segalanya. Jika para elit politik sudah ada didalam
system, maka setiap kebijakan mengarah pada sebuah system kebijakan dengan
menghasilkan keuntungan besar, lagi-lagi wujud rampasannya adalah Korupsi
Kolusi dan Nepotisme.
Jangan
pilih Pemimpin Korup, jangan pilih Partai Korup jika terdapat politik uang (mani politik) di saat perelatan dan
kampanye politik oleh elit dan partai politik maka ambil uang mereka dan jangan
pilih mereka. Agar Demokrasi dikembalikan kepada demokrasi yang sejati yaitu demokrasi
yang betul-betul berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat
jangan lagi dibodohi oleh janji-janji busuk dari elit dan partai politik penipu
rakyat, jangan ada lagi pemimpin absoluth di Negara ini seperti masalalu
masa-masa ORBA yang banyak membugkam kebebasan Demokasi dan telah membajak
hak-hak berdemokrasi sehingga kedaulatan sepenuhnya tidak dirasakan rakyat
secara kolektif.
Kemudian
yang paling terpenting jika ada kesadaran rakyat untuk menjadi bebas dari berbagai
bentuk ancaman dan intimidasi akibat imbas dari perhelatan politik, maka
perjuangan rakyat melalui teriakan perjuangan janganlah dituduh sebagai hal
yang subvesib atau mengangu keamanan. Teriakan dan perjuangan rakyat harus
tetap disampikan dan dilestarikan baik lewat lisan maupun tulisan tampa harus dibatasi
selama hal tersebut tidak melangar norma yang berlaku. Kesadaran rakyat untuk
sama2 berjuang melawan pemerintahan dengan menerapkan sistem yang menindas
tidak semestinya dibungkam, sebab kesadaran perjuangan tersebut bagian dari
perjuangan tegaknya Demokrasi agar penguasa, tidak menyalah gunakan kekuasaannya
dan para wakil rakyat yang mengatasnaakan kepentingan rakyat bisa punya power
dalam mendongkrak setiap kebijakan yang diperjuangkan untuk kesejateraan rakyat
dan bukan untuk kesejateraan partai politik.
Negara
Indonesia adalah salah satu Negara yang punya kekayaan sumber daya Alam namun tenaga-tenaga
produktifnya tidak dimanfaatkan dengan baik, alasanya adalah karena kuwalitas produk
yang dihasilkan oleh tenaga produktif negara ini masih sangat rendah jika hasilnya
dipasarkaan dipasaran global hal itu sangatlah jauh dari harapan akan
kesejateraan negara. Akibatnya Indonesia menjadi negara konsutif terbesar.
Sementara pemimpinya hanya biasa berkowar-koawar dihadapan public bahwa produk
dalam negeri dapat mensejaterakan rakyat. Intinya adalah kampanye untuk
kesejateraan rakyat, realitasnya bukan rakyat yang sejatera namun pemimpin dan
pemodal yang sejatera dan membiarkan yang miskin tetaplah miskin karena yang
miskin tidaklah akan kaya. Inilah sistem kapitalisme saat ini diterapkan dengan
mengandalkan paham individualisme.
Individualisme merupakan salah satu unsur penting
dalam ideologi kapitalisme. Individualisme penting dalam kapitalisme sebab
manusia melihat diri mereka sendiri bukan sebagai bagian dari masyarakat,
tetapi sebagai "individu-individu" yang berdiri sendiri di atas kedua
kakinya dan harus memenuhi kebutuhan pribadi dengan kerja kerasnya sendiri.
"Masyarakat kapitalis" adalah arena dimana para individu bersaing
satu sama lain dalam lingkungan yang keras dan tanpa belas kasih. Ini adalah
arena yang persis sebagaimana penjelasan Darwin, yang menempatkan hanya yang
kuat yang tetap hidup, sedangkan kaum lemah dan tak berdaya akan terinjak-injak
dan tersingkirkan; ini juga tempat di mana kompetisi sengit merajalela. Sistim
inilah yang diterapkan dinegara ini sebenarnaya bentuk penjajahan baru atau impralisme dimasa kini.
Memang akhir-akhir ini perkembangan situasi internasional
sudah semakin menunjukan bahwa kapitalisme semakin dekat dengan jurang
kehancurannya, negara negara Eropa yang mengacu kepada sistim kapitalisme
semakin terlihat ketidak puasan rakyatnya dan mencari jalan keluar untuk
perubahan yang lebih baik, gelombang perlawanan tidak lagi terhindarkan, ketika
krisis melanda negri negri yang mengacu kepada sistem kapitalisme. Maka tidak
ada cara yang lain untuk mempertahankan sistem ini, negara negara kapitalis
yang akan mengalami krisis kemudian mau tidak mau harus mencari negara yang
sedang berkembang untuk mengexploitasi expansi modal serta pasar.
Indonesia adalah tempat yang menjadi sasaran bagi negara negara maju dengan berbagai macam cara untuk mempertahankan agar para kapitalisme bisa bertahan. Maka diberbagai macam sektor di Negara Indonesia dibuatkan aturan melalui tangan negara dengan berbagai UU regulasinya. Jadi tidaklah heran mengapa perampasan tanah terjadi di mana mana Pendidikan mahal serta tidak ilmiyah dan demokratis, bahkan diarahkan untuk kepentingan kapitalisme Kesehatan menjadi barang mahal Bahkan pasar tenaga kerja yang flexibeliti, (baca : Pernyataan Sikap Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia). Lolosnya kepentingan kapitalisme di Negara ini ternyata di dukung oleh borjuasi nasional, lokal, dan sebagian besar elit dan partai politik. Dengan mengesahkan UU penanaman modal Asing lewat perjuangan parlamen, dimana infestor asing bisa berinfestasi dinegara Indonesia dengan satu tujuan bersama yaitu demi terciptanya kesejateraan bangsa.
Dengan
munculnya kebijakan kapitalisme realitas riil Negara Kesatuan Repoblik Indonesia
saat ini adalah Negara yang tak lagi utuh seperti Negara para feodalisme masa
lalu akibat dari cengraman sistem demokrasi kapitalis. Dimana-mana daerah inginya
berjuang untuk melepaskan diri dari pemerintahan Indonesia, sebut saja munculnya
Kelompok Opm, Gam, Rms, dan kelompok2 yang melakukan aksi teror diberbagai
daerah. Kelompok ini sebenarnya hanya menginginkan sebuah kemerdekaan sejati
dalam segala hal termasuk ingin merasakan hakekat cita-cita kemerdekaan yang
diperjuangkan oleh rakyat Indonesia 1945 yaitu kemerdekaan adalah hak segala
bangsa. Namun bagi daerah yang ingin merdeka lagi-lagi disebut Sepratis,
teroris, padahal hak-hak rakyat telah dijajah oleh yang punya kekuasaan. Maka yang
menjadi pertanyaan besarnya yaitu siapakah yang spratis, teroris, rakyat
ataukah yang punya kekuasaan alias penguasa ? butuh kajian panjang ? sebab Konsep
Negara adalah sekali merdeka tetap merdeka. Daerah ini hanyalah menuntut
kemerdekaan artinya kemerdekaan dalam segala hal termasuk kemerdekaan untuk
merasakan sendiri hasil kekayaan sumberdaya Alam yang dimilik rakyat, dengan tidak
harus mengekspolitasi untuk kepentingan para infestor Asing dan kepentingan individual yaitu borjuasi local
dan borjuasi Nasional. Maka kembalikanlah hakekat kemerdekaan itu pada
kemerdekaan sejati bukan kemerdekaan palsu secara djure. Kemerdekaan yang harus
betul-betul merdeka agar sekali merdeka tetap merdeka, sehingga tidak ada lagi
daerah yang ingin merdeka didalam negara yang telah merdeka.
Katidak
utuhan Negara diakibatkan oleh pemimpin yang tak lagi memikirkan kesejateraan
rakyat, hanya memikirkan kepentingan kelompok dan partai politiknya rakyat hanya
dibiarkan mengemis di negeri sendiri. Ekspolitasi justru terjadi disetiap
daerah2 yang punya kekayaan SDA misalnya saja Aceh, Kalimantan, Papua, Maluku,
dan masi banyak lagi daerah lainya yang mengalami nasib yang sama yaitu
ekspolitasi lahan untuk kepentingan para kaum pemodal. Anehnya ekspolitasi
tersebut justru di biarkan terjadi begitu saja. Memang hakekatnya para elit
politik dan partai politik hanya bisa mampu menipu rakyat dan tak pernah tulus
dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, hal ini terjadi akibat cengkraman
system kapitalisme telah membugkam para elit dan partai politik di Negara ini.
Untuk
itu negara ini dibutuhkan sosok pimpinan professional, jujur, adil, bijaksana,
berani, tegas, bertanggunjawab, demokratis dan sosialis serta berasal dari
pemerintahan rakyat miskin agar kedaulatan itu betul2 ada langsung ditangan
Rakyat. Dengan penuh kemandirian diatas kaki sendiri dan tidak harus bergantung
pada system kapitalisme Negara lain agar negara ini bisa mandiri dalam mengatur
kebijakan yang dapat menasionalisasi seluruh asset-aset Negara dibawa control
rakyat.
Rakyat
pun harus sadar, dan betul betul sadar bukan hanya kesadaran palsu namun
kesadaran sejati untuk bangkit dan melawan atas segala bentuk sistem yang
menindas dengan satu tujuan kemerdekaan dan rakyat harus punya musuh bersama, musuh
rakyat yaitu menghancurkan Kapitalisme dan neoliberalisme demi terwujudnya
nasionalisme menuju demokrasi yang demokratis.
Penulis; Kasman Renyaan
Senin, 21 Januari 2013 | 12:03 WIB
Hary Tanoesoedibjo (kiri) bersama Surya Paloh. TEMPO/Amston Probel
http://www.tempo.co/read/news/2013/01/21/078455836/Surya-Paloh-Dinilai-Ingkari-Motto-NasDem
Surya Paloh Dinilai Ingkari Motto NasDem
TEMPO.CO, Jakarta - Langkah Surya Paloh mengambil alih Partai NasDem dinilai berlawanan dengan gagasan awal pembentukan partai tersebut. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Partai NasDem Saiful Haq, gerakan perubahan yang dirancang partai mestinya beriringan dengan regenerasi kepemimpinan. ”Kalau kembali ke Pak Surya, ini menjadi tidak cocok lagi,” kata Saiful Haq kepada Tempo, Senin, 21 Januari 2013.Saiful melanjutkan, “Gerakan Perubahan” yang menjadi motto partai seharusnya diikuti langkah nyata. Sehingga keinginan Paloh menjadi Ketua Umum NasDem tidak sesuai lagi dengan kebijakan partai. Menurut dia, kembalinya Paloh akan membuat regenerasi di NasDem terhambat. “Kami agak sulit bekerja dengan kondisi politik seperti itu,” kata Saiful.
Ketua Dewan Pakar Partai NasDem Harry Tanoesoedibjo, kata Saiful, tidak ingin ada perombakan struktur kepengurusan partai. Apalagi pengurus partai sudah bekerja keras meloloskan NasDem menjadi peserta Pemilu 2014. Saiful menuturkan, konflik ini sebenarnya sudah berlangsung lama dan memuncak pada pekan ini.
Saiful mengutarakan, akibat tak ada titik temu, Harry Tanoe memutuskan mundur. Langkah ini akan diikuti oleh Sekretaris Jenderal Ahmad Rofiq dan sejumlah pengurus Partai NasDem di daerah. Saiful sendiri baru akan memutuskan nasibnya di partai dalam satu-dua hari ke depan.
WAYAN AGUS PURNOMO
Keuangan NasDem Bisa Terganggu
TEMPO.CO, Jakarta -Para pengurus Partai Nasional Demokrat (NasDem) di daerah menilai mundurnya konglomerat media Harry Tanoesoedibjo tak berpengaruh besar terhadap partainya. Ketua Dewan Pembina Partai NasDem Jawa Tengah, Siswadi, menyatakan mundurnya Harry Tanoe hanya akan mempengaruhi finansial partainya.
"Kalau menurut pandangan kami, (mundurnya Harry Tanoe) tidak ada pengaruh terhadap partai. Paling-paling kalau ada pengaruhnya, ya, pengaruh finansial saja," kata Siswadi, Senin, 21 Januari 2013.
Siswadi beralasan, selama ini Harry Tanoe masuk ke NasDem tidak membawa konsep apa-apa, kecuali membawa manfaat finansial. "Mundurnya Harry Tanoe akan mempengaruhi finansial NasDem," kata dia.
Ditambah lagi, kata Siswadi, figur Harry Tanoe juga tak memiliki pengalaman politik dan tak memiliki massa yang banyak. Siswadi mengumpamakan, jika Tjahjo Kumolo sebagai Sekretaris Jenderal PDIP mundur dari partainya, akan berpengaruh besar terhadap PDIP. Sebab, kata Siswadi, tak seperti Hary Tanoe, figur Tjahjo Kumolo memiliki gerbong kader yang sangat banyak.
Siswadi mengakui mundurnya Harry Tanoe juga akan mempengaruhi sosialisasi iklan NasDem di stasiun televisi maupun media yang dimiliki Harry Tanoe. Ia mencontohkan, jika selama ini iklan NasDem di group MNC gratis, dengan mundurnya Harry Tanoe, iklan NasDem tidak digratiskan lagi.
"Lagi-lagi, mundurnya Harry Tanoe hanya pengaruhi soal finansial. Iklan di media kan, ya, soal finansial," kata Siswadi. Seperti diketahui publik, selama ini iklan NasDem sudah berulang kali muncul di stasiun televisi milik Harry Tanoe.
Tapi, Siswadi belum mengetahui seberapa besar kerugian finansial NasDem akibat mundurnya Harry Taone itu. Siswadi menambahkan, dengan mundurnya Harry Tanoe, maka figur utama di NasDem adalah Surya Paloh. Tapi, Siswadi belum bisa memastikan apakah figur Surya Paloh bisa menjadi penarik suara (vote getter) dalam pemilihan umum. "Kita baru bisa buktikan di Pemilu 2014," kata dia.
Konglomerat media Harry Tanoesoedibjo dikabarkan mundur dari kepengurusan Partai Nasional Demokrat (NasDem). Rencananya, pengunduran diri pemilik grup media MNC ini bakal diumumkan dalam konferensi pers yang akan digelar hari ini, Senin, 21 Januari 2013.
Pengunduran diri Harry Tanoe ini kabarnya imbas dari konflik internal partai. Sudah lama santer beredar kabar kalau ada matahari kembar di tubuh NasDem, yakni Harry Tanoe dan Surya Paloh (mantan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar). Hari ini, Majelis Nasional NasDem--lembaga pengambil keputusan tertinggi di NasDem--dijadwalkan mengumumkan pengangkatan Surya Paloh menjadi Ketua Umum NasDem.
ROFIUDDIN
Kamis, 13 Oktober 2011 | 09:25 WIB
Kecewa SBY, Hary Tanoe Masuk NasDem
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai NasDem Rio Patrice Capella mengatakan masuknya Hary Tanoesoedibjo ke partainya bukan tiba-tiba. Komunikasi Hary dengan NasDem sudah berlangsung sekitar lima bulan lalu. Mereka berdua sering mengobrol ihwal situasi bangsa.Dari pertemuan yang intensif itu, kata Rio, Hary Tanoe sepakat dengan isu perubahan yang diusung Surya Paloh, pendiri organisasi Nasional Demokrat. Masuknya Hary Tanoe dianggapnya membawa angin segar buat partai. "Kami ingin perubahan besar, tentu butuh modal besar," kata Rio ketika dihubungi kemarin.
Sumber Tempo mengatakan bahwa Hary memilih Partai NasDem karena kecewa terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia merupakan penyokong Yudhoyono selama dua kali pemilihan presiden. Menurut sumber itu, Hary Tanoe, yang tersandung dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum), ternyata tidak mendapat perlindungan politik dari Yudhoyono. "Hary Tanoe merasa terus dikerjain," kata sumber itu.
Heru Lelono, orang dekat Yudhoyono, mengaku tak bisa memahami ada tudingan seperti itu. Tapi, kata staf khusus presiden bidang komunikasi dan informasi ini, negara akan remuk jika pemimpinnya harus berutang budi kepada orang yang merasa memberi dukungan. Balas jasa itu, kata dia, sama dengan melanggar hukum. Hary Tanoe mendukung NasDem, kata dia, itu hak politik. "Tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap SBY," kata Heru.
Kasus Sisminbakum melibatkan Hartono Tanoesoedibjo, kakak Hary Tanoe. Proyek ini erat kaitannya dengan PT Bhakti Investama, perusahaan milik Hary. Pada Juli tahun lalu, perkara itu menyeret Hartono dan Yusril Ihza Mahendra sebagai tersangka.
Tekad Hary Tanoe masuk NasDem sudah bulat. Setelah Lebaran lalu, Hary Tanoe bersama Surya Paloh mengumpulkan pemimpin redaksi media massa di bawah Grup Media dan Grup MNC. Pertemuan berlangsung di kantor NasDem di Gondangdia, Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Hary menyatakan dukungannya kepada NasDem.
Hary lantas meminta semua pemimpin redaksi menerjemahkan dukungannya itu dalam pemberitaan. Media dalam Grup MNC, antara lain RCTI, yang dulu dimiliki Bambang Trihatmodjo; kemudian TPI, kini bernama MNC TV, yang sebelumnya milik Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut. Selain itu, Hary memiliki Global TV, koran Sindo, dan media portal Okezone.com.
Rio mengatakan pertemuan itu memang dikemas dalam bentuk halalbihalal. Yang hadir adalah para pemimpin redaksi media di bawah dua perusahaan tersebut. "Tapi saya tidak ingat persis yang dibicarakan," kata Rio.
Namun Direktur Pemberitaan Global TV, media di bawah Grup MNC, Arya Mahendra Sinulingga, membantah kabar tersebut. "Tidak pernah ada pertemuan," kata dia.
RIKY FERDIANTO | KARTIKA CANDRA | SUNUDYANTORO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar