Studi sejarah dan legalitas Hukum
“MenjawabTuduhan Sesat Perayaan Maulid”
Oleh:KH.Tb.A.Khudori Yusuf.Lc
Penerbit:Pondok Pesantren Jami’atul IkhwJln.KH.M.Yunus Pasir Buntu-Malanggah
Tunjung Teja-Serang-Banten
42174
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
بِسْمِ اللهِ الَّذي أرسَلَ لَنا مَن بِالْحَقِّ
سَنَّ، والْحَمْدُ للهِ الَّذي جَعَلَ لَنا مِنَ البِدَعِ ما هُوَ حَسَنٌ،
والصَّلاةُ والسَّلامُ على صاحِبِ الصَّوْتِ والوَجْهِ الْحَسَنِ، أَبي
القاسِمِ جَدِّ الْحُسينِ والْحَسَنِ. أمَّا بَعْدُ فَهَذَا بيانُ جَوازِ
الاحْتِفَالِ بِالْمَوْلِدِ وَأَنَّ فيهِ أَجْرًا وَثَوابًا. نَقولُ
مُتَوَكِّلينَ على اللهِ:
Kelahiran Baginda Nabi Muhammad Shallallahu Alaiihi wa Sallam
ke muka bumi ini merupakan karunia teragung yang dianugrahkan Allah SWT
untuk umat manusia. Kelahirannya bak matahari terbit menyinari alam
semesta dari kegelapan malam. Ia bagaikan bulan purnama diantara
bintang-bintang dan air ditengah gurun sahara, cahayanya menjajnjikan
kebahagian dan ketentraman abadi, kesejukannya menghantarkan kemenangan
dan kesejahteraan yang hahiki. Wahai Nabi… Wahai Rasulullah ….Wahai
Kekasih Allah…. kami sambut kedatanganmu dengan rangkaian bunga
Sholawat dan Salam.
Rabiul Awwal adalah bulan yang dinanti-nantikan oleh umat
Islam di seluruh penjuru dunia, karena pada bulan inilah Nabi Muhammad
SAW sang penghulu sekaligus penutup para Nabi dan Rasul Sayyidul Anbiya Wal Mursaliin Wa Khatamuhum,
kekasih Allah. Kelahirannya ditandai dengan kejadian-kejadian yang
menakjubkan pertanda keagungan dan kemuliannya. Siapapun akan bangga dan
bersyukur atas kehadirannya di muka bumi ini. Betapa tidak, karena
atas jasa besarnya-lah manusia dari jurang kenistaan yang tiada
penghabisan, tentunya bagi mereka yang mengikuti ajarannya.
Merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaiihi wa Sallam,
adalah merupakan salah satu amal yang paling utama dan sebuah cara
pendekatan diri kepada Allah Rabbil Izzati. Kerena keseluruhan rangkaian
peringatan Maulid Nabi tersebut merupakan ungkapan kebahagiaan dan
kecintaan umat Islam kepada beliau. Dan cinta kepada Nabi merupakan
salah satu prinsip dasar dari prinsip-prinsip iman. Cinta ini seiring
dengan cinta kepada Allah SWT, yang menyandingkan keduanya dan mengancam
siapa saja yang lebih mengutamakan kecintaan kepada perkara-perkara
lain yang sudah menjadi tabiat manusia seperti kerabat, harta benda, dan
tanah air atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya.
Buku yang hadir dihadapan pembaca adalah sebuah buku kecil
atas studi sejarah dan legalitas hukum perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW
dari pendapat-pendapat ulama terdahulu. Tentu saja tidak memuat seluruh
pendapat ulama Islam, tetapi cukup dijadikan rujukan untuk membuat
sebuah peta pemikiran tentang hakikat perayaan Maulid secara
komprehensif dan menyikapinya dengan bijaksana.
Kemudian kepada Allah Azza wa Jalla, penulis memohon Taufiq dan Hidayah-Nya, semoga buku ini berguna bagi diriku dan bagi saudara-saudaraku yang meminatinya. Allahumma barik lana fie ‘amalina.Amien….!!!
Selamat membaca.
Serang, 7 April 2011
H.A.Khudori Yusuf
MUQODDIMAH
Sesungguhnya Maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW yang mulia
merupakan limpahan rahmat Ilahi yang dihamparkan bagi sejarah manusia
seluruhnya. Allah SWT dalam Al Qur’an Al-Karim telah mengungkapkan
keberadaan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Rahmat ini tidak terbatas, ia meresap masuk ke dalam pendidikan,
pengajaran, dan pensucian jiwa manusia. Rahmat tersebut jugalah yang
menunjukan manusia ke jalan kemajuan yang lurus dalam lingkup kehidupan
mereka, baik secara materi maupun maknawi. Rahmat tersebut juga tidak
terbatas untuk orang-orang di jaman itu saja, tetapi membentang luas
sepanjang sejarah manusia seluruhnya.
Kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW, adalah nikmat terbesar
dan anugerah teragung yang Allah berikan kepada alam semesta. Ketika
manusia saat itu berada dalam kegelapan syirik, kufur, dan tidak
mengenal Rabb pencipta mereka. Manusia mengalami krisis spiritual dan
moral yang luar biasa. Nilai-nilai kemanusiaan sudah terbalik.
Penyembahan terhadap berhala-berhala menjadi suatu kehormatan, perzinaan
menjadi suatu kebanggaan, mabuk dan berjudi menjadikan lambang dari
kejantanan, dan merampok serta membunuh adalah suatu keberanian dan
keperkasaan. Manusia pada waktu itu tidak lagi berjalan dengan akalnya,
melainkan disetir oleh hawa nafsu kebinatangannya. Yang kuat memeras
yang lemah. Wanita tidak lagi dianggap sebagai manusia, melainkan
semata-mata simbol seks dan pemuas hawa nafsu belaka. Akidah yang dibawa
para Nabi sebelumnya, lenyap ditelan kebodohan. Mereka tidak lagi
menyembah Allah Rabbul alamin, Pencipta alam semesta, melainkan menyembah patung-patung yang mereka ciptakan sendiri.
Dari apa yang baru saja kita paparkan, terlihat dengan jelas
bahwa kemanusiaan di Jazirah Arab pada waktu itu sungguh sangat hancur.
Sampai-sampai seorang yang bernama Abrahah tiba-tiba berniat untuk
menghancurkan Ka’bah, tempat yang sangat Allah sucikan. Suatu tindakan
kebodohan yang demikian jelas. Dan Abrahah memang serius untuk
menghancurkan Ka’bah. Pada waktu itu ia dan pasukan gajahnya sudah
berangkat dari Yaman menuju Makkah. Namun Allah Maha tahu akan niat
jahat Abrahah. Sebelum mereka mencapai tujuannya. Allah segera
mengirimkan burung-burung Ababil, menyebarkan kepada mereka batu-batu
api neraka yang menghanguskan
Di saat seperti ini rahmat ilahi memancar dari jazirah Arab,
seorang bayi bernama Muhammad, Allah melahirkan dari rahim seorang Ibu
bernama Aminah, tepatnya 12 Rabi’ul Awal, tahun Gajah. Muhammad, dialah
yang kemudian Allah pilih sebagai seorang Rasul, pembawa risalahNya,
kepadanya Allah turunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk jalan kehidupan.
Sejak itu muncul sebuah zaman baru yang sangat mengagumkan bagi
bangkitnya kemanusiaan. Manusia yang benar-benar manusia, tunduk kepada
Allah Penciptanya dan pencipta segala mahluk. Keadilan benar-benar
ditegakkan, dan kedzaliman dihancurkan. Wanita dihargai kemanusiannya,
minuman keras dilarang, kerena merusak akal dan kejahiliahan diperangi
dan dimusnahkan. Rasul yang ditunggu-tunggu oleh alam semesta telah
datang untuk menghancurkan semua kebathilan , menghentikan semua
kerusakan ini dan membawanya kepada cahaya ilahi.
لقد جاءكم رسولٌ من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم
“Telah datang kepada kamu seorang utusan Allah dari jenis kamu sendiri, ia merasakan apa penderitaanmu,lagi sangat mengharapkan akan keselamatanmu, kepada orang yang beriman senantiasa merasa kasih sayang”. (QS.At-Taubah:128)
Kelahiran makhluk mulia yang ditunggu jagad raya membuat alam
tersenyum, gembira dan memancarkan cahaya. Al-Habib Ali bin Muhammad
bin Husain Al-Habsyi pengarang kitab Maulid Habsyi (Biasa disebut Simthud-Durar fi akhbar Mawlid Khairil Basyar min akhlaqi wa awshaafi wa siyar) menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah:
اشرق الكون ابتهاجا بوجود المصطفى احمد و لأهل الكون انس وسرور قد تجدد
“Alam bersinar cemerlang bersukaria demi menyambut
kelahiran Ahmad Al-Musthofa Penghuni alam bersukacita Dengan kegembiraan
yang berterusan selamanya”.
Dengan tuntunan Allah SWT Baginda Nabi Muhammad SAW berhasil
melaksanakan misi risalah yang diamanahkan kepadanya. Setelah melalui
perjalanan dakwah dan jihad selama kurang lebih 23 tahun dengan berbagai
macam rintangan dan hambatan yang menimpa. Rasululla berhasil
mengeluarkan umat dan mengantarkan bangsa Arab dari penyembahan makhluk
menuju kepada penyembahan Rabbnya makhluk, dari kezaliman jahiliyah
menuju keadilan Islam.
Firman Allah SWT:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (QS. An-Nahl: 36)
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ
بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا
مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada
orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang
rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.(Qs.Ali’Imran:164)
Sebagai pembuka buku ini, ada baiknya kita simak perkataan
ulama Kharismatik dari Universitas Al-Azhar Mesir Asy-Syaikh Husnain
Makhluf Rahimahullah dalam kitab Fatawa Syar’iyyah, juz 1 halaman.131 menulis:
إن من إحياء ليلة المولد الشريف، وليالي هذا الشهر
الكريم الذي أشرق فيه النور المحمدي إنما يكون بذكر الله وشكره لما أنعم به
على هذه الأمة من ظهور خير الخلق إلى عالم الوجود، ولا يكون ذلك إلا في
أدب وخشوع وبعد عن المحرمات والبدع والمنكرات، ومن مظاهر الشكر على حبه
مواساة المحتاجين بما يخفف ضائقتهم وصلة الأرحام، والإحياء بهذه الطريقة
وإن لم يكن مأثور في عهده صلى الله عليه وسلم ولا في عهد السلف الصالح إلا
أنه لا بأس به وسنة حسنة
Makananya: “Sunggung barangsiapa menghidupkan malam Maulid
Nabi Asy-Syarif dan malam-malam-malam bulan yang mulya ini yang
menerangi didalamnya dengan cahaya Muhammadiy yaitu dengan berdzikir
kepada Allah, bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan kepada umat
ini termasuk dilahirkannya makhluk terbaik (Nabi Muhammad Shallallahu Alaiihi wa Sallam)
ke alam ini, dan tidak ada yang demikian itu kecuali dengan sebuah
akhlak dan kekhusuan serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, amalan
bid’ah serta kemungkaran-kemungkaran. Dan termasuk menampakkan
kesyukuran sebagai bentuk kecintaan yaitu menyantuni orang-orang tidak
mampu, menjalin shilaturahim dan menghidupkan dengan cara ini walaupun
tidak ada pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan tidak pula ada dimasa salafush shaleh adalah tidak apa-apa serta termasuk sunnah hasanah”.
Imam Mutawalli Sha`Rawi Rahimahullah dalam bukunya al Ma’idat al-fikr al-Islamiyya halaman. 295, menulis:
إذا كان بنو البشر فرحون بمجيئه لهذا العالم، وكذلك
المخلوقات الجامدة فرحة لمولده وكل النباتات فرحة لمولده وكل الحيوانات
فرحة لمولده وكل الجن فرحة لمولده، فلماذا تمنعونا من الفرح بمولده
” Jika makhluk hidup bahagia atas kelahiran Nabi nya itu
dan semua tanaman senang atas kelahirannya, semua binatang senang atas
kelahirannya semua malaikat senang atas kelahirannya, dan semua jin
senang atas kelahirannya, mengapa engkau mencegah kami dari yang bahagia
atas kelahirannya? ” (untuk menjawab pendapat orang orang yang tidak
memperbolehkan perayaan Maulid Nabi).
Allah SWT, menganjurkan kepada kita untuk bergembira atas rahmat dan karunia-Nya, termasuk kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaiihi wa Sallam, yang membawa rahmat kepada alam semesta, Allah SWT berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“ Katakanlah:‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira.Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu
adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS.Yunus:58).
Al-Imam Imam As-Suyuti meriwayatkan:
وأخرج أبو الشيخ عن ابن عباس رضي الله عنهما في الآية قال:فضل الله العلم، ورحمته محمد صلى الله عليه وسلم
Abu As-Syeikh telah meriwayatkan daripada Sayyidina Ibn Abbas r.a. tentang tafsiran ayat ini: “Karunia Allah adalah Ilmu dan Rahmat-Nya adalah Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam.( Lihat Ad-Durr Al-Manthsur oleh Imam As-Suyuti, dan lihat juga dalam Al-Bahr Al-Muhith oleh Imam Abu Hayyan)
Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t.:
وَمَا أرْسَلنَاكَ إلا رَحْمَةً لِلعَالمِين
Maksudnya:“Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”(QS.Al-Anbiya,107)
Dari latar belakang ini lah umat islam merasakan kebahagian
luar biasa atas kelahiran nabi dan memperingatinya setiap tahunnya,
bahkan pada saat ini di setiap negara muslim, kita pasti menemukan
orang-orang yang merayakan ulang tahun Nabi yang disebut dengan hari
Maulid Nabi. Hal ini berlaku pada mayoritas umat islam di banyak Negara
misalnya sebagai berikut: Mesir, Suriah, Libanon, Yordania, Palestina,
Irak, Kuwait, Uni Emirat, Saudi Arabia (pada sebagian tempat saja)
Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Djibouti,
Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan,
Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkestan, Bosnia, Indonesia, Malaysia, Brunei,
Singapura, dan sebagian besar negara- negara Islam lainnya. Di
negara-negara tersebut bahkan kebanyakan diperingati sebagai hari libur
nasional. Semua negara-negara ini, yaitu duwal islamiyah, merayakan hari
peringatan peristiwa ini. Bagaimana bisa pada saat ini ada sebagian
minoritas yang berpendapat dan mempunyai keputusan bahwa memperingati
acara maulid Nabi adalah sebuah keharaman dan bid’ah yang sebaiknya di
tinggalkan oleh umat islam.
Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan yang
hangat dikalangan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu
antara kalangan yang memperbolehkan perayaan maulid dan yang
melarangnya karena dianggap bid’ah. Hingga saat ini pun masalah hukum
maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim.
Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan
peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang
kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh
sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid
nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam
di beberapa tempat.
Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini,
ada baiknya kita telaah kembali sejarah pemikiran Islam tentang perayaan
Maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu dan menelisik lebih jauh
awal mula tradisi perayaan Maulid ini. Tentu saja tulisan ini tidak
memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup dapat dijadikan rujukan
untuk membuat sebuah peta pemikiran dalam memahi hakikat Maulid secara
komprehensif dan menyikapinya dengan bijaksana.
BAB I
SEJARAH MAULID
- A. PENDAHULUAN
Dalam bab ini nanti kami berusaha untuk merekonstruksi
sejarah tradisi perayaan Maulid Nabi ini dengan membuktikan siapa yang
pertama kali mencetuskan dan mengadakan perayaan Maulid dengan
menggunakan banyak sumber literatur sejarah untuk membuktikan kevalidan
sejarah tersebut. Sebab banyak sekali perdebatan mengenai tradisi Maulid
telah mengemuka sejak dulu sampai saat ini. Perdebatan ini bisa dibaca
dari banyaknya karya para ulama baik sejarawan barat ataupun sejarawan
muslim yang meneliti tentang awal mula tradisi Maulid Nabi ini.
- B. SEJARAH TRADISI PERAYAAN MAULID
Dilihat dari asal usul kata, sejarah bersal dari bahasa arab, yaitu syajaratun yang
berarti pohon, keturunan, asal usul atau silsilah. Dalam bahasa Inggris
(history), Bahasa Yunani (istoria), Bahasa Jerman (geschicht). Sejarah,
dalam bahasa Indonesia dapat berarti riwayat kejadian masa lampau yang
benar-benar terjadi.atau riwayat asal usul keturunan (terutama untuk
raja-raja yang memerintah).
Umumnya sejarah dikenal sebagai informasi mengenai kejadian
yang sudah lampau. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, mempelajari sejarah
berarti mempelajari dan menerjemahkan informasi dari catatan-catatan
yang dibuat oleh orang perorang, keluarga, dan komunitas. Pengetahuan
akan sejarah melingkupi: pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah
lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara historis.
Dahulu, pembelajaran mengenai sejarah dikategorikan sebagai
bagian dari Ilmu Budaya (Humaniora). Akan tetapi, di saat sekarang ini,
Sejarah lebih sering dikategorikan sebagai Ilmu Sosial, terutama bila
menyangkut perunutan sejarah secara kronologis.Ilmu Sejarah mempelajari
berbagai kejadian yang berhubungan dengan kemanusiaan di masa lalu.
Sejarah dibagi ke dalam beberapa sub dan bagian khusus lainnya seperti
kronologi, historiograf, genealogi, paleografi, dan kliometrik. Orang
yang mengkhususkan diri mempelajari sejarah disebut sejarawan.Ilmu
Sejarah juga disebut sebagai Ilmu Tarikh atau Ilmu Babad.
Ibnu Khaldun (1332-1406) mendefinisikan sejarah sebagai
catatan tentang masyarakat umum manusia atau peradaban manusia yang
terjadi pada watak atau sifat masyarakat itu.
Perayaan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaiihi wa Sallam,
merupakan bagian dari tradisi umat Islam karena perayaan maulid Nabi
hanyalah sebagai salah satu tradisi umat Islam sejak masa lalu dan bukan
bagian dari syariat. Perayaan maulid adalah sebuah kegiatan yang
bertujuan untuk menyemarakan syiar dakwah Islam, bukan perayaan yang
bersifat ritual. Dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran
beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi
beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut
untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya ?
Oleh karena itu perayaan Maulid Nabi Shallallahu Alaiihi wa Sallam
dikatagorikan sebagai kebudayaan Islam yang merupakan hasil kreasi umat
Islam yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri dan bertujuan untuk
mengekspresikan rasa syukur mereka kepada Allah SWT karena Dia telah
menurunkan hamba-Nya Muhammad sebagai pembawa rahmat untuk seluruh alam.
Banyak orang keliru dalam memahami subtansi Maulid Nabi yang
saya propagandakan dan saya anjurkan untuk menyelenggarakannya. Mereka
mendefinisikannya secara keliru yang kemudian banyak melahirkan
persoalan baru dan perdebatan-perdebatan yang panjang yang membuat
mereka menyia-nyiakan waktunya dan para pembacanya. Persoalan dan
perdebatan ini tidak bernilai sama sekali laksana debu yang beterbangan
karena dibangun di atas asumsi-asumsi keliru.saya telah banyak mengupas
tentang persolan perayaan maulid di forum-forum terbuka dengan uraian
yang jelas tentang konsep perayaan Maulid. Telah saya jelaskan
sebelumnya bahwa berkumpul dalam rangka memperingati maulid Nabi
hanyalah sebuah tradisi dan sama sekali bukanlah sebuah bentuk ibadah.
Silakan saja, siapa pun bisa memberikan interpretasi karena seseorang
akan membenarkan atas apa yang dikatakan tentang dirinya dan substansi
keyakinannya, bukan orang lain.
Dalam setiap acara, pertemuan dan perayaan, saya katakan
bahwa pertemuan dengan format demikian adalah sekadar tradisi bukan
perayaan yang bersifat ritual. Setelah penjelasan ini,ternyata masih
banyak orang yang ingkar dan bantahan dari orang yang menentangpun
semakin hebat dan dengan lantangnya mereka mengatakan bahwa perayaan
Maulid Nabi adalah kesesatan dan kemaksiatan . Saya katakan ini
merupakan tuduhan yang keji terhadap kaum muslimin yang merayakan Maulid
Nabi dan adanya kesalahan dalam memahami subtansi Maulid.Karena itu, Imam Syafi`i berkata:
مَا جَادَلْتُ عَالِمًا إِلاَّ غَلَبْتُهُ وَلاَ جَادَلْتُ جَاهِلاً إِلاَّ غَلَبَنِي
“Saya tidak pernah berdebat dengan orang alim,
kecuali saya mampu mengalahkannya dan saya tidak pernah berdebat dengan
orang bodoh, kecuali ia mampu mengalahkanku.”
Pelajar dengan kapasitas keilmuan terendah sekalipun akan
mengetahui perbedaan antara tradisi dan ritual ibadah serta substansi
keduanya. Jika seseorang berkata, “Ini adalah ritual ibadah yang
disyari`atkan beserta tata caranya,” Saya bertanya kepadanya, “Manakah
dalilnya?” Dan jika ia berkata, “Ini adalah tradisi,” saya katakan
kepadanya, “Berbuatlah sesukamu.” Karena yang berbahaya dan menjadi
bencana yang kami khawatirkan adalah membungkus ibadah dengan perbuatan
bid`ah yang tidak disyari`atkan, namun hanya ijtihad manusia. Ini adalah
pandangan yang tidak saya setujui dan justru saya memerangi dan
memperingatkannya. Walhasil, berkumpul dalam rangka memperingati maulid
Nabi hanyalah sebuah tradisi. Namun, ia termasuk tradisi positif yang
mengandung banyak manfaat untuk masyarakat dengan keutamaan yang
sempurna karena kemanfaatan itu dianjurkan oleh syari`at satu per
satunya.
Termasuk persepsi-persepsi keliru yang ada dalam benak
sebagian orang adalah mereka menyangka bahwa kami menyelenggarakan
peringatan maulid Nabi pada malam tertentu saja, tidak dilakukan
sepanjang tahun. Si pelupa ini tidak mengetahui bahwa beberapa
perkumpulan diselenggarakan dalam rangka memperingati maulid Nabi di
kota Makkah dan Madinah dalam format luar biasa pada setiap tahunnya.
Dan pada setiap momen yang terjadi yang penyelenggara acara merasa
bersuka cita. Bahkan, hampir setiap siang maupun malam di kota Makkah
dan Madinah diselenggarakan perkumpulan dalam rangka memperingati maulid
Nabi. Fakta ini diketahui oleh sebagian orang dan sebagian lagi tidak
mengetahuinya.
Siapapun yang berprasangka bahwa kami mengingat Nabi
hanya pada satu malam saja dan melupakan beliau selama 359 malam,
berarti ia telah melakukan dosa besar dan kebohongan nyata.
وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الأَذْهَانِ شَيْءٌ*إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيْل
“Sungguh sama sekali tidak masuk akal jika terang benderangnya siang perlu bukti”.
Harus diakui memang tidak tercatat dalam kitab-kitab sejarah
Islam informasi adanya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada masa
beliau hidup seperti yang kita rayakan pada saat ini. Nabi hanya
mengisyaratkan dalam sebuah hadistnya yang diriwayatkan dalam kitab
shohih muslim, pada bab As-Shiyam, bahwa baginda Nabi ditanya tentang
puasa hari senin, dan beliau menjawab:” Itu adalah hari aku dilahirkan
dan itu adalah hari aku menerima wahyu kenabian”.
Hadist ini menunjukan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaiihi wa Sallam
melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah SWT,
bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Hal ini merupakan isyarat dari
Rasulullah SAW, artinya jika beliau puasa pada hari senin karena
bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka
demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran
Rasulullah SAW tersebut kita bersyukur kepada Allah SWT. Bersyukur atas
kelahiran Rasulullah Shallallahu Alaiihi wa Sallam bisa hasil
misalnya dengan membaca Al-Qur’an, membaca sirahnya, membaca Shalawat
kepada beliau, bersedekah atau perbuatan baik lainnya. Kemudian karena
puasa pada hari senin di ulang-ulang oleh Rasulullah SAW pada setiap
minggunya, maka berarti peringatan maulid juga di ulang setiap tahunnya.
Dan karena hari kelahiran Rasulullah SAW masih diperselisihkan mengenai
tanggalnya bukan pada harinya dan tahunnya maka sah-sah saja apabila
perayaan maulid pada tanggal 12, 2, 8, 9, 10, Rabiul awwal atau pada
tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah perayaan Maulid dilaksanakan dalam
sebulan penuh sekalipun.
Pelajaran penting yang dapat dipetik dari hadist ini adalah:
Sangat dianjurkan untuk bersyukur kepada Allah pada hari-hari tertentu
atas nikmat yang Allah berikan pada hari tersebut. Bersyukur kepada
Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah,
seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca Al-Qur’an, membaca
Sholawat kepada Nabi SAW. Bukankah kelahiran Rasulullah SAW adalah
nikmat yang paling besar ? Adakah nikmat yang lebih agung dari
dilahirnya Rasulullah SAW pada bulan Rabiul Awwal ini ? Adakah nikmat
dan karunia yang lebih agung daripada kelahiran Rasulullah SAW
yang telah menyelamatkan kita dari jalan kesesatan ? Demikian yang telah
dijelaskan oleh Hujjatul Islam al-Hafizd Ibnu Hajar al-Asqolani dalam
syarah hadist ini.
Adapun hadits-hadits yang menceritakan secara khusus adanya
perayaan maulid Nabi disaat beliau hidup yang sering disampaikan para
muballigh dalam pengajian-pengajian seperti:
مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِىْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ
يَـوْمَ الْقِيَا مَةِ. وَمَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فِى مَوْلِدِى فَكَأَ
نَّمَا اَنْفَقَ جَبَلاً مِنْ ذَ هَبٍ فِى سَبِيْلِ اللهِ
Maknanya: “Barang siapa yang mengagungkan kelahiranku
maka aku akan memberinya syafaat pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang
memberi infaq satu dirham dalam rangka memperingati kelahiranku, maka
akan diberi pahala seperti memberikan infaq emas sebesar gunung fi
sabilillah”.
Hadits seperti diatas dalam kitab kompilasi Hadits Shahih
(kitab-kitab mu’tabar yang secara ilmiyah dapat dijadikan standar
rujukan Hadist) tidak pernah ditemukan.
Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa pada zaman Nabi
dan periode khulafa’u rasyidin peringatan besar agama seperti perayaan
Maulid Nabi dan perayaan Hari Besar Islam lainnya tidak pernah
dilakukan. Perayaan Hari Raya resmi pada zaman Nabi hanya ada dua,yaitu
Iedul Fitri dan Iedul Adha.
- C. KONTROVERSI PENCETUS PERAYAAN MAULID
Sebenarnya banyak terjadi perbedaan pendapat sejarawan dalam
menentukan siapa yang pertama kali mengadakan acara perayaan Maulid
Nabi. Bisa disimpulkan ada tiga pendapat yang menengarai awal munculnya
tradisi Maulid ini.
Pendapat Pertama:
Menurut Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi’i (854 H) (seorang ahli sejarah islam) dalam bukunya “Al-Khutath” menjelaskan
bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti
Fathimiyyah di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada
tahun 358 H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurut
DR.N.J.G. Kaptein peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Leiden
University sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman
tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman
Fathimiyyah hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber
sejarawan yang hidup belakangan seperti Al-Maqrizi yang hanya melacak
dari kitab yang telah hilang dari ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu
Ma’mun dan Ibnu Tuwayr.
Ibnu Al-Ma’mun: Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan
tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun.
Sebenarnya kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang
menggunakan sumber dari hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir
(Wafat 613/1216) Kedua Ibn Muyassar(677/1277), ketiga Ibn Abd Al
Zahir(w 692/1292). Tetapi yang paling banyak menggunakan sumber
dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi’i
Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn
Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi
acara acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan
hari besar, festival, upacara dan sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun
adalah saksi hidup sebagai anak dari seorang wazir yang biasa
menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan.Maulid
di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak
Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali menjadi wazir dia
menghapus empat perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan
imam yang saat itu memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah
perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah
Al-Amir dan itu diteruskan sampai sekarang.
Ibn Al-Tuwayr: Sumber kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr.
Penulis yang banyak menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah
adalah di antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn
Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar
Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber
informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting tentang
sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat yang kemudian dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa kita baca pada zaman sekarang.
Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti
Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah perayaan
Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah
yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa
tempat diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di
beberapa masjid dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk
merayakannya.
Pendapat kedua
Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn Al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif,
menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang
Raja Irbil (Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau amir. Irbil
saat itu adalah propinsi masuk dalam Dinasti Ayyubiyyah.Irbil saat ini
masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq) yang dikenal keshalehannya dan
kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said
Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau adalah
seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian dia mendapatkan mandat
untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H.
Sekalipun dalam dua pendapat ini menyatakan bahwa perayaan
Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 4 H dan tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun
demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu
yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu
bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami
terangkan secara detail nanti pada bab hukum merayakan Maulid Nabi.
- D. PERAYAAN MAULID OLEH MALIK MUZHAFFARUDDIN
Sepeninggal pemerintahan Fathimiyyah, Dinasti Ayyubiyah
memelihara tradisi Maulid Nabi, walaupun mereka menghapuskan sebagian
perayaan-perayaan lain yang dipraktekkan oleh dinasti Fathimiyah. Bahkan
menurut Hasan Sandubi justru Sholahuddin menghapus seluruh perayaan
Dinasti Fathimiyyah termasuk Maulid Nabi karena alasan politis jadi
asumsi sebagian orang yang mengatakan bahwa Sholahuddin adalah yang
pertamakali mengadakan perayaan Maulid Nabi adalah sama sekali tidak
berlandaskan bukti yang valid. Sejarah hanya mencatat salah satu
pembesar Dinasti Ayyubiyah yang memerintah Irbil yaitu Malik
Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada tahun 630 Hijriyah mengadakan Maulid
Nabi secara besar-besaran. Dia juga salah seorang kerabat Sholahudin
Al-Ayubi, dimana ia menikahi Rabi’ah Khatun, adik Shalahudin Al-Ayubi
karena kontribusinya yang besar dalam menegakkan pondasi dinasti
Ayyubiyah, ia juga merupakan teman seperjuangan Shalahudin dalam melawan
tentara Salib, terutama kecerdikannya dalam memenangkan peperangan
Khittin melawan tentara Salib.
Ibn Katsir bercerita mengatakan: “ Malik Muzhaffaruddin mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal.
Beliau merayakannya secara besar-besaran. Dijelaskan oleh Sibth (cucu)
Ibn al- Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Malik Muzhaffaruddin
mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai
disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul,
para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan
beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ia menyembelih 15.000 ekor
Kambing, 10.000 ekor Ayam, 100 Kuda, 100 ribu keju, 30 ribu manisan
untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi
tersebut. Setiap tahunnya perayaan ini menghabiskan 300.000 Dinar.
Perayaan ini diisi oleh ulama-ulama serta tokoh-tokoh sufi dari mulai
Dzuhur sampe Subuh dengan ceramah-ceramah dan tarian-tarian sufi.
Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang
dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi
dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar besar-besaran itu.
Menurut ibn khalIikan, perayaan tersebut dihadiri oleh ulama
dan sufi-sufi dari tetangga irbil, dari Baghdad, Mosul, Jaziroh, Sinjar,
Nashibin, yang sudah berdatangan sejak Muharram sampai Rabiul Awwal.
Pada awalnya Malik Muzhaffaruddin mendirikan kubah dari kayu sekitar 20
kubah, di mana setiap kubahnya memuat 4-5 kelompok, dan setiap bulan Safar
kubah-kubah tersebut dihiasi dengan berbagai macam hiasan indah, di
setiap kubah terdapat sekelompok paduan suara dan seperangkat alat
musik, pada masa ini semua kegiatan masyarakat terfokus pada pelaksanaan
acara pra-maulid dan mendekorasi kubah-kubah tersebut.
Ibn Khallikan juga menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn
Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak,
ketika melintasi daerah Irbil, beliau mendapati Malik Muzhaffaruddin ,
raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid
Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku
tentang Maulid Nabi yang diberi judul “At-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An- Nadzir”.
Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Raja Al-Muzhaffar. Perayaan
itu dilaksanakan 2 kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 8 Rabiul Awal dan 12 Rabiul Awal, karena perbedaan pendapat ulama dalam Maulid Nabi.
- E. TRADISI MAULID SEPANJANG ZAMAN
Abu’l Husayn Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Ibn Jubayr (540-614H) menceritakan dalam kitab Rihal “Maulid Nabi (tempat lahir dan rumahnya Nabi) pada setiap hari senin selama bulan Rabiul Awal dibuka untuk umum dan orang-orang Mekkah serta para jamaah umrah yang berduyun-duyun mendatanginya untuk mengambil berkah (tabarruk)”.
Abu Al-Abbas Ahmad Al-Azafi dalam kitabnya Ad-durr Al-Munazzam fi Al Mawlid Al-mu’azzam Menceritakan
bahwa pada hari Maulid Nabi di kota Mekkah saat itu dalam memperingati
Maulid pintu Ka’bah dibuka dan semua bentuk transaksi jual-beli
diliburkan, semua toko dan halaqah pengajian ditutup. Penduduk Mekkah
dan para peziarah sibuk bergegas mengunjungi Rumah kelahiran Nabi. Pada
malam Maulid Nabi penduduk Mekkah memperingatinya dengan memasak
makanan-makanan yang istimewa sebagaimana menyambut hari besar Islam
Idul Fitri. Pemimpin Mekkah (syarif) segera memerintahkan para
askar tentara untuk mendatangi tempat kelahiran Nabi dan melafalkan
Qasidah maulid di sana. Deretan lilin dan lampu bersinar gemerlapan
ditempatkan dari Masjidil Haram sampai rumah tempat lahir Nabi. Toko dan
rumah di jalan-jalan Mekkah juga dihiasi oleh berbagai macam
pernak-pernik lampu. Perayaan acara Maulid Nabi dimulai setelah sholat
Maghrib dengan membaca Qasidah Maulid di rumah tempat kelahiran Nabi.
Sejarawan terkenal Ibnu Bathuta menjelaskan dalam bukunya Rihla bahwa sejak masuk bulan Rabiul Awwal
setiap jum’at setelah shalat pintu Ka’bah dibuka oleh pemimpim Bani
Shayba petugas penjaga pintu Ka’bah dan pada tanggal 12 pemimpin Qodhi
Najmuddin Muhammad ibn Imam Muhyiddin Al-Tabari membagi-bagikan makanan
dan hadiah kepada para syurafa (keturunan Nabi) dan penduduk Mekkah secara umum .
Setiap tahun pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam
rangka memperingati Maulid Nabi setelah sholat Magrib keempat qodi
Mekkah yang mewakili dari 4 madzhab termasuk diantaranya para ulama
tokoh tokoh masyarakat Syeikh Zawiya dan para santrinya, ruasa
(para fungsionaris pemerintahan) berduyun-duyun meninggalkan Masjid
Haram dan mendatangi tempat kelahiran nabi untuk mengikuti acara
perayaan Maulid mereka membaca dzikir dan membaca qosidah Maulid.
Rumah-rumah dan jalan umum dihiasi oleh berbagai lentera, lampu dan
lilin-lilin besar para penduduk Mekkah menggunakan pakaian istimewa dan
mengajak anak-anak dan keluarganya untuk menghadiri acara tersebut.
Selepasnya acara di tempat kelahiran Nabi mereka berdesak-desakan
kembali ke Masjid Haram untuk melakukan sholat Isya berjamaah dan duduk
bersimpuh di depan Maqom Ibrahim kemudian mulai acara Maulid dimulai
dengan sambutan kepada khalifah, amir Mekkah dan para qodhi kemudian
ceramah tentang sirah Nabi diakhiri dengan doa.
- F. TRADISI MAULID DI INDONESIA
Di Indonesia, perayaan maulid Nabi diselenggarakan di
surau-surau, masjid-masjid, majelis-majelis ta’lim, di pondok-pondok
pesantren dan di berbagai lembaga sosial keagamaan bahkan
instansi-instansi pemerintahan. Tradisi peringatan Maulid, biasanya
disebut Muludan, paling megah dan dihadiri ratusan ribu orang diadakan
di Kraton-Kraton di Jawa, terutama Yogya dan Cirebon. Ia diadakan pada
setiap malam 12 Rabi’l Awal. Masyarakat muslim merayakannya dengan
beragam cara dan dengan sejumlah acara seremoni dan kemeriahan yang
menggairahkan. Malam hari tanggal 12 Maulid merupakan puncak acara
seremonial yang ditunggu-tunggu dengan penuh minat. Biasanya mereka
mengundang penceramah untuk bicara sejarah Nabi. Mereka, secara
bergantian, juga membaca Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi sejak
kelahiran sampai wafatnya), dalam bentuk narasi prosais kadang-kadang
dengan irama yang khas. Sebagian lagi sejarah Nabi tersebut dikemas
dalam bentuk puisi-puisi yang berisi sejarah dan madah-madah
(pujian-pujian) atas nabi. Salah satu puisi maulid Nabi saw ditulis
oleh Syeikh Barzanji.
Di Banten, tradisi maulid diselenggarakan diberbagai kampung,
desa, kecamatan, kabupaten terutama di kabupaten serang yang sekarang
dijabat oleh Drs. H.A.Taufiq Nuriman dan Hj.Ratu Tatu Chasanah,SE
keduanya menaruh perhatian besar terhadap syiar-syiar Islam termasuk
kepada peringatan Maulid Nabi SAW, hal ini dibuktikan dengan kegiatan
peringatan Maulid Nabi secara rutin pada setiap tahunnya yang
diselenggarakan di pusat pemerintahan daerah secara rutin dan meriah,
disamping itu keduanya aktif menghadiri undangan peringatan Maulid ke
tiap-tiap kecamatan bahkan kepeloksok pedesaaan sekalipun.
Begitu juga perayaan Maulid Nabi diadakan ditingkat propinsi
oleh gubernur propinsi banten yang saat ini dijabat oleh Hj.Ratu Atut
Chosiyah,SE, beliau adalah seorang gubernur yang agamis, ramah, dekat
dengan berbagai lapisan masyarakat, juga menaruh perhatian besar
terhadap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Peringatan Hari Besar
Islam lainnya. Perayaan maulid dibanten diselenggarakan dengan berbagai
corak sesuai dengan tradisi daerahnya masing-masing, tentunya semua itu
tidak terlepas dari inti perayaan Maulid. Dan sudah menjadi tradisi pada
saat datang bulan Rabiul Awwal, ribuan masyarakat baik dari daerah
banten sendiri maupun masyarkat luar banten mendatangi kompleks Masjid
Agung Banten yang terletak 10 km arah utara Kabupaten Serang. Mereka
berziarah kemakam para sultan, antara lain Sultan Maulana Hasanudin
secara bergiliran.
Di Yogyakarta dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah Sekaten. Istilah ini berasal dari kata syahadatain,
yaitu dua kalimat syahadat. Pada tanggal 5 bulan Maulud, kedua
perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu, dikeluarkan dari
tempat penyimpanannya di bangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti
yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai
dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 kedua
perangkat gamelan tersebut dipindahkan ke halaman Masjid Agung
Yogyakarta, iring-iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit
Kraton berseragam lengkap.
Pada umumnya, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya
berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran
Nabi Muhammad S.A.W. ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala
dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai “Srono” (Syarat)
nya, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada
hari pertama dimulainya perayaan Sekaten.
Di Aceh, ada sebuah tradisi yang dilaksanakan bertepatan tanggal 12 Rabiul Awwal hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.Tradisi tersebut dinamakan dengan “Kanduri Mulod” yang dilakukan di dalam 3 (tiga) bulan yaitu Rabiul Awwal sebagai mulod awai, Rabiul Akhir atau mulod teungoh, dan Jumadil Awwal yang diistilahkan dengan mulod akhe.
Kanduri Mulod” merupakan salah satu adat
(tradisi) yang telah tersusun aturan perayaannya di Aceh. Adat tersebut
termasuk dalam salah satu adat memperingati hari besar Islam di Aceh
yang meliputi juga tentang peringatan Nuzulul Qur’an dan peringatan Isra
Mi’raj.
Di kalimantan pada saat datangnya bulan Rabiul Awwal ada
sebuah tradisi yang disebut dengan tradisi Baayun sebuah tradisi Maulid
yang turun temurun. Tradisi ini berisi pembacaan do’a dan sholawat
sambil mengayun anak dalam ayunan. Biasay tradisi ini digelar di areal
makam Pangeran Suriansyah, Kuin utara Raja Banjar penyebar agama Islam
di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Tujuan dari tradisi Baayun dengan
mengayunkan anak pada bulan Maulid ini bertujuan agar seorang anak jika
sudah besar nanti menjadi anak yang sehat, sholih dan sholihat serta
mengikuti ketauladan Nabi Muhammad SAW.
Peringatan Maulid Nabi di Indonesia ditetapkan sebagai hari
Libur Nasional ketika K.H. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, menjabat
sebagai Menteri Agama. Upacara peringatan Maulid yang diselenggarakan
oleh pemerintah RI pada awalnya diadakan di Istana Negara. Tetapi entah
sejak kapan peringatan Maulid ini dipindahkan ke Mesjid Istiqlal. Pada
momen tradisi keagamaan ini, Presiden, Wakil Presiden, para pejabat
tinggi negara dan para duta besar Negara-negara Sahabat hadir bersama
ribuan umat Islam.
- G. KITAB-KITAB MAULID
Sebagian besar masyarakat Indonesia merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i, Simtu Duror dan lain-lainnya atau dalam istilah orang Betawi dikenal dengan baca Rawi. Sesi pembacaan Barzanji, Diba’i atau Simtu Duror
adalah sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat
penting, baik dalam perayaan maulid yang besar atau yang kecil. Di
tengah pembacaan Barzanji, Diba’i atau simtu duror ini, ada suatu
paragraf bacaan yang dikenal dengan mahallul qiyam. Dimana ketika ini dibaca, hadirin semua berdiri sambil bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu Alaiihi wa Sallam. untuk menghormatinya karena saat itu dipercaya bahwa ruh Rasulullah Shallallahu Alaiihi wa Sallam. ikut hadir. Alangkah baiknya kalau kita mengenal isi kitab-kitab tersebut dan biografi para pengarangnya.
- Maulid Ad-Diba`i
Kitab Maulid yang dikenal dan popular dengan nama
“Mawlid Ad-Diba`i” ini adalah di antara kitab Maulid yang paling tua,
hampir mencapai usia 500 tahun. Sepanjang masa tersebut, kitab Maulid
Diba’i telah tersebar ke seluruh pelusuk dunia Islam. Dibaca, dihayati,
diwirid oleh jutaan umat, yang awam maupun yang alim antara mereka.
Kitab Maulid ini adalah karya seorang ulama besar dan seorang ahli
hadits, Imam Wajihuddin ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali
bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Umar ad-Diba`ie Asy-Syaibani Al-Yamani
Az-Zabidi Asy-Syafi`i RahimahumUllah.
Imam ad-Diba`i dilahirkan di kota Zabid pada hari
Kamis sore 4 Muharram 866 H dan wafat hari Jumat pagi 12 Rajab tahun
944H . Beliau adalah seorang ulama hadits yang terkenal dan tidak ada
bandingannya pada masa hidupnya. Beliau mengajar kitab Shohih Al-Bukhari
lebih dari 100 kali khatam. Beliau mencapai derajat Hafidz dalam ilmu
hadits yaitu seorang yang menghafal 100.000 hadits dengan sanadnya.
Setiap hari beliau mengajar hadits dari masjid ke masjid. Di antara
guru-gurunya ialah Imam al-Hafiz As-Sakhawi, Imam Ibnu Ziyad, Imam
Jamaluddin Muhammad bin Ismail, mufti Zabid, Imam al-Hafiz Tahir bin
Husain al-Ahdal dan banyak lagi. Selain itu, beliau juga seorang muarrikh,
yakni seorang ahli sejarah.Beliau diasuh oleh kakek dari ibunya yang
bernama Syekh Syarafuddin bin Muhammad Mubariz yang juga seorang ulama
besar yang tersohor di kota Zabid saat itu, hal itu dikarenakan sewaktu
beliau lahir, ayahnya sedang bepergian, setelah beberapa tahun kemudian
baru terdengar kabar bahwa ayahnya meninggal di daratan India. Dengan
bimbingan sang kakek dan para ulama kota Zabid ad-Diba’i tumbuh dewasa
serta dibekali berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Diantara ilmu yang
dipelajari beliau adalah: ilmu Qiroat dengan mengaji Nadzom (bait)
Syatibiyah dan juga mempelajari Ilmu Bahasa (gramatika), Matematika,
Faroidl, Fikih.
Pada tahun 885 H. beliau berangkat ke Makkah
untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Sepulang dari Makkah
Ibn Diba` kembali lagi ke Zabid. Beliau mengkaji ilmu Hadis dengan
membaca Shohih Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Al-Muwattho` di bawah
bimbingan syekh Zainuddin Ahmad bin Ahmad As-Syarjiy. Di tengah-tengah
sibuknya belajar hadits, Ibn Diba’ menyempatkan diri untuk mengarang
kitab Ghoyatul Mathlub yang membahas tentang kiat-kiat bagi umat muslim
agar mendapat ampunan dari Allah SWT.
Ungkapan pengarang dalam Kitab maulid sangatlah
indah dalam mengekspresikan kecintaannya terhadap Nabi dan menerangkan
kelahirannya. Dengan menggunakan ungkapan metafora yang menawan
diperkaya dengan imajinasi puitis sehingga kita yang membaca merasa
tersentuh dengan gubahan syairnya. Misalnya dalam mahal qiyam :
يا نبي سلام علــــيك يارسول سلام عليــك
يا حبيب سلام عليـك صلوات الله عليـــــك
أشرق البدر علينا واختفت منه البــدور
مثل حسنك ما رأينا ..أنت يا وجه السرور
أشرق البدر علينا ..واختفت منه البـــدور
أنت شمسٌ ..أنت بدرٌ ..أنت نورٌ فوق نور
Maknanya:
Wahai Nabi, semoga keselamatan tetap untukmu,Wahai Rasul, semoga keselamatan tetap untukmu.
Wahai kekasih, semoga keselamatan tetap untukmu. Juga rahmat Allah semoga tetap tercurah untukmu
Telah terbit bulan purnama menyinari kami. Maka suramlah karenanya purnama-purnama lain.
Tiadalah pernah kami melihat perumpamaan kebagusanmu. Hanyalah engkau saja, wahai wajah yang berseri-seri.
Engkaulah matahari, engkaulah purnama. Engkaulah cahaya di atas segala cahaya.
Maulid Ad-Daiba’ie juga Menyebut tentang Keagungan Kelahiran Rasulullah Shallallahu Alaiihi wa Sallam
فاهتز العرش طربا واستبشار وازداد الكرسي هيبة ووقار
وامتلأت السموات انواراوضجت الملائكة تهليلا وتمجيدا واستغفارا
(سبحان الله والحمدلله ولآإله إلاالله والله اكبر)
ولم تزل أمة ترى انواعا من فخره وفضله إلى نهاية تمام حمله
فلما اشتد بها الطلق بإذن رب الخلق
و ضعت الحبيب صلى الله عليه وسلم ساجدا شاكرا حامدا كأنه البدر فى تمام
Artinya:
Maka ‘Arasy bergegar kerana merasa gembiraKursi yang amat hebat itu pula menjadi semakin hebat dan ceria,
Dan tujuh petala langit dipenuhi cahaya,Sedangkan suara para malaikat bergemuruh mengucapkan Tahlil, Tahmid, dan Istirgfar
(Maha Suci Allah, dan segala Puji bagi Allah, dan tiada Tuhan melainkan Allah, dan Allah Maha Besar)
Ibundanya sentiasa melihat pelbagai mimpi dan tanda kemegahan serta keutamaan bayi dalam rahimnya itu
Sehinggalah usia kandungannya cukup sempurna Lalu ketika merasakan dirinya akan melahirkan. Dengan izin Tuhan segala makhluk.
Maka beliau pun melahirkan Al-Habib (s.aw.) dalam keadaan
bersujud syukur, dan memuji Allah, begitu indah laksana bulan purnama
yang sempurna.
Karya ad-diba’i
Ibn Diba` termasuk ulama yang produktif dalam menulis.Hal ini
terbukti beliau mempunyai banyak karangan baik dibidang hadits ataupun
sejarah. Karyanya yang paling dikenal adalah syair-syair sanjungan
(madah) atas Nabi Muhammad SAW. yang terkenal dengan sebutan Maulid
Diba`i.
Di antara kitab karangannya ialah:
“Taisirul Wusul ila Jaami`il Usul min Haditsir Rasul” yang mengandung himpunan hadits yang dinukil dari kutub sittah. 2 “Tamyeezu at-Thoyyib min al-Khabith mimma yaduru ‘ala alsinatin naasi minal hadits” sebuah kitab yang membedakan hadits sahih dari selainnya seperti dhaif dan maudhu. 3. “Qurratul ‘Uyun fi akhbaril Yaman al-Maimun”. yang membahas tentang seputar Yaman. 4.“Bughyatul Mustafid fi akhbar madinat Zabid”.5. “Fadhail Ahl al-Yaman”.
2. Maulid Barzanji
Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi
bernama Sayyid Ja’far Al Barzanji. Kitab ini sebenarnya berjudul ‘Iqd
Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil
Azhar. Barzanji adalah nama sebuah daerah di Kurdistan, Barzanj.
Syaikh
Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun
1126 (1711 M di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, ba’da Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Baqi.
Garis keturunannya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul
Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn
Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim
ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn
Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam
Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn
Sayidina Ali R.A.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti,
beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid
yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan
taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk
Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim
kemarau.
Kitab Al-Barzanji yang terkenal di berbagai pelosok dunia ini adalah sebuah ringkasan dari siroh Nabi yang dilukiskan dengan dua gaya bahasa yang indah dan menawan dalam bentuk nazom (puisi) dan natsar (prosa)
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya
keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Sarjana
Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, menerangkan
bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab,
sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah
kembali teks itu menjadi untaian syair.
Dalam Barzanji sering mengulang kalimat untuk memisah antar Bab :
عطر اللهم قبره الكريم ، بعرف شذي من صلاة وتسليم اللهم صلي وسلم وبارك عليه
Maknanya: “Ya Allah, Harumkanlah kuburnya yang mulia dengan wangi wangian yang semerbak dari rahmat dan kesalamatan”.
Salah satu syair yang sangat menawan dari gubahan dalam kitab Barzanji :
ومحيا كالشمس منك مضيء أسفر عنه ليلة غــراء
ليلة المـولد الذي كــان للديـﻦ سرور بيومه وازدهاء
يوم نالت بوضعه ابنه وهب من فخار ما لم تنله النساء
وأتت قومهــا بأفضــل مما حملت قبل مريم العـذراء
مولد كان منه في طالع الكـ فــر وبـال عليـهم ووبــاء
وتوالت بشري الهواتفث أن قد ولد المصطفي وحق الهناء
Yang artinya :
“Cahaya yang seperti matahari bersihnya Menerangi malam dengan amat terangnya
Malam yang dilahirkan Nabi kita didalamnya Yang membawa agama yang nyata benarnya.
Maka karena itu dapatlah Siti Aminah ibunya kemegahan yang wanita lain tidak mendapatinya;
la membawa seorang putera untuk manusia sekalian Putera yang lebih mulia dari anak Mariam yang dara.
Kelahiran Nabi kita pada pandangan kafir umumnya ialah suatu kedukaan yang terasa sangat berat.
Maka bertalu-talulah suara bersorak dengan riuhnya “Telah zahir Nabi pilihan; inilah kegembiraan yang sebenarnya.”
Diceritakan juga dalam Barzanji menceritakan
kelahiran nabi bahwa kelahiran kekasih Allah ini dilahirkan tangannya
menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit dalam riwayat
yang lain dikisahkan dilahirkan langsung bersujud, dilahirkan dengan
sangat bersih keadaannya, serta ia telah berkhitan dan telah terpotong
pusatnya dari dalam perut ibunya. Dan harum bau tubuhnya, serta
berminyak rambutnya, serta tercelak kedua matanya, adalah dengan kudrat
dan kehendak Allah sebagai menandakan kemuliaannya dan ketinggiannya,
serta kelebihan-kelebihannya yang melebihi makhluk lain semuanya. Dan
juga yang demikian itu adalah menunjukkan bahwa ia kekasih Allah yang
dijadikan sangat indah perangainya dan bentuk rupanya. Pada saat yang
bersamaan itu pula istana Raja Kisra terguncang, dengan lahirnya Nabi
Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi
yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.
Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku
beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu
mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di
Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya
yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak
mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan
meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia
letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu
mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian
mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.
Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh
Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang
terkenal dengan nama Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H kemudian oleh
Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili
Al-Azhari wafat pada tahun 1299 H / 1882M.
Sayyidul Ulamail Hijaz, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi juga menulis syarah dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’.
Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin
bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami anak
Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid
Al-Barzanji tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’.
3. Simtu duror
“Simthud-Durar fi Akhbar Mawlid Khairil Basyar min Akhlaqi wa Awshaafi wa Siyar” atau singkatannya “Simthud-Durar”
adalah karangan maulid yang disusun oleh Habib Ali bin Muhammad bin
Husain al-Habsyi (1259 – 1333H / 1839 – 1913M). Maulid yang juga
terkenal dengan nama “Maulid Habsyi” ini telah didiktekan oleh Habib Ali tatkala beliau berusia 68 tahun dalam beberapa majlis yang dimulai pada hari Kamis 26 Shafar 1327 dan disempurnakan 10 Rabi`ul Awwal
pada tahun tersebut dan dibacakan secara resminya di rumah murid beliau
Habib ‘Umar bin Hamid as-Saqqaf pada malam Sabtu tanggal 12 Rabi`ul Awwal.
Habib Thoha bin Hasan bin Abdur Rahman as-Saqqaf dalam“Fuyudhotul Bahril Maliy” menukil kata-kata Habib ‘Ali berhubung karangannya tersebut seperti berikut:
”Jika seseorang menjadikan kitab mawlidku ini
sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka sir Junjungan
al-Habib SAW. akan nampak pada dirinya. Aku mengarangnya dan
mengimla`kannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku,
dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Junjungan Nabi SAW…..”
Biografi pengarang
Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin
Al-Habsyi dilahirkan pada hari Juma’at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah
kota di negeri Hadhramaut.Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan
pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah
Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah
Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu
terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana.Pada
usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan
mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin
sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh
karenanya, sejak itu beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya
untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan
khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat
perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap
orang.
Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga
pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.
Selanjutnya, beliau melaksanakan amanah yang dipercayakan padanya
dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang
sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para
siswa agar menuntut ilmu. Di bawah pendidikan beliau kita bisa
menyaksikan banyak sekali di antara muridnya yang berhasil kemudian
meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan saja
di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya –
di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia. Beliau meninggal dunia di
kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H.
Contoh gubahan al Habib dalam Simtu Duror:
اشرق الكون ابتهاجا بوجود المصطفى احمد و لأهل الكون انس وسرور قد تجدد
فاطربوا يا اهل المثاني فهزار اليمن غرد واستضيئوا بجمال فاق في الحسن تفرد
و لنا البشرى بسعد مستمر ليس ينفد حيث اوتينا عطاء جمع الفخر المؤبد
فلربي كل حمد جل ان يحصره العد اذ حبانا بوجود المصطفى الهادي محمد
يا رسول الله اهلا بك انا بك نسعد و بجاهه يا الهي جد و بلغ كل مقصد
و اهدنا نهج سبيله كي به نسعد و نرشد رب بلغنا بجاهه في جواره خير مقعد
و صلاة الله تغشى اشرف الرسل محمد و سلام مستمر كل حين يتجدد
“Alam bersinar cemerlang bersukaria Demi menyambut
kelahiran Ahmad al-Musthofa Penghuni alam bersukacita dengan kegembiraan
yang berterusan selamanya.
Wahai pengikut Al-Quran, hendaklah kamu bergembira. Burung-burung
turut berkicauan tanda suka. Keindahan Baginda menerangi segalanya
Mengatasi segala keindahan tanpa ada bandingannya.
Dan wajib kita untuk bergembira atas bahagia yang
berkesinambungan selama-lama. Tatkala kita menerima anugerah-Nya.
Anugerah yang menghimpun kebanggaan sepanjang masa.
Maka bagi Tuhanku segala puji dan puja. Pujian yang tiada
terkiraAtas anugerah-Nya dengan wujudnya Baginda. Kelahiran Junjungan
Muhammad al-Hadi al-Musthofa.
Ya Rasulullah, selamat datang ahlan wa sahlan Sungguh
denganmu kami beroleh kebahagiaan Wahai Tuhanku, demi jah Nabi Junjungan
Kurniakanlah dan sampaikan segala maksud dan tujuan.
Dan hidayahkanlah kami atas jalan Nabi Junjungan Agar
dengannya kami beroleh kebahagiaan dan pimpinan Wahai Tuhan,
sampaikanlah kami demi jah Nabi Junjungan. Di sisi baginda duduk
berdampingan.
Sholawat Allah dilimpahkan Atas semulia-mulia Rasul Nabi Junjungan Beserta salam yang berkekalan Sepanjang masa berubah zaman”.
Dan juga
فحين قرب اوان وضع هذا الحبيب * اعلنت السموات
والأرضون ومن فيهن بالترحيب * و امطار الجود الالهي على اهل الوجود تثج
*والسنة الملائكة بالتبشير للعالمين تعج * والقدرة كشفت قناع هذا المستور *
ليبرز نورهُ كاملاً في عالم الظهور * نوراً فاق كل نور *و انفذ الحق حكمه *
على من اتم الله عليه النعمة * من خواص الأمة * ان يحضر عند وضعه امة *
تانيساً لجنابها المسعود * و مشاركةً لها في هذا السماط الممدود * فحضرت
بتوفيق الله السيدة مريم والسيدة اسية * و معهما من الحور العين من قسم
الله له من الشرف بالقسمة الوافية * فاتى الوقت الذي رتب الله على حضوره
وجود هذا المولود * فانفلق صبح الكمال من النور عن عمود و برز الحامد
المحمود * مذعناً لله بالتعظيم والسجود *اللهم صل وسلم وبارك عليه وعلى آله
Artinya:
“Dan ketika hampir tiba saat kelahiran insan tercinta
ini, gema ucapan selamat datang yang hangat berkumandang di langit dan
di bumi.
Hujan kemurahan Ilahi tercurah atas penghuni alam dengan
lebatnya…Lidah malaikat bergemuruh mengumumkan kabar gembira, kuasa
Allah menyingkap tabir rahasia tersembunyi, membuat cahaya Nur-Nya
terbit sempurna di alam nyata…
“CAHAYA MENGUNGGULI SEGENAP CAHAYA” Ketetapan-Nya
pun terlaksana atas manusia pilihan yang ni’mat-Nya disempurnakan bagi
mereka; yang menunggu detik-detik kelahirannya;sebagai penghibur
pribadinya yang beruntung dan ikut bergembira mereguk ni’mat berlimpah
ini.
Maka hadirlah dengan taufiq Allah; As-Sayyidah Maryam dan
As-Sayyidah Asiah, bersama sejumlah bidadari surga yang beroleh
kemuliaan agung yang di bagi-bagikan oleh Allah atas mereka yang dikehendaki…
Dan tibalah saat yang telah diatur Allah bagi kelahiran (maulud) ini. Maka menyingsinglah fajar keutamaan nan cerah terang benderang menjulang tinggi……
Dan lahirlah insan pemuji dan terpuji, tunduk khusyu’ di hadapan Alloh, dengan segala penghormatan tulus dan sembah sujud….”
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya kitab
maulid adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada
fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini
kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan.
Pada perkembangan berikutnya, pembacaan maulid membentuk
sebuah tradisi misalnya membaca maulid yang disebut biasanya dalam
tradisi Betawi membaca rawi dilakukan di berbagai kesempatan acara atau walimah sebagai sebuah pengharapan, tawasul dan doa tabarruk pada Nabi Muhammad Shallallahu Alaiihi wa Sallam.
Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur
rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul),
serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada di sana dan
acara-acara lainnya. Caranya biasanya di masjid-masjid atau majlis
ta’lim atau di rumah-rumah, orang-orang duduk bersimpuh melingkar. Lalu
seseorang membacakan maulid yang pada bagian tertentu disahuti oleh
jemaah lainnya secara bersamaan. Pada pembacaan rawi dalam walimah aqiqah
misalnya dilakukan bersamaan dengan “diestafetkannya” bayi yang baru
dicukur selama satu putaran dalam lingkaran. Sementara baju atau kain
orang-orang yang sudah memegang bayi tersebut, kemudian disemprot atau
diberi setetes dua tetes minyak wangi.
Di samping itu pembacaan maulid juga mengembangkan kesenian
islam sebuah akulturasi budaya Arab dan budaya Indonesia misalnya muncul
kesenian hadrah banjari, marawis, qosidahan, gambus, zapin.
BAB II
MAULID NABI DALAM PANDANGAN SYARIAT
- A. PENDAHULUAN
Ketika datang bulan Rabi’ul Awwal mayoritas umat
islam didunia merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk syukur
kepada Allah atas kelahiran Nabi yang mulia, namun ada saja suara-suara
yang tampaknya tidak senang dan alergi dengan perayaan Maulid Nabi
Muhammad SAW, mereka mempermaslahkan dan mempertanyakan hukum merayakan
Maulid, bahkan lebih itu mereka menghukum sesat orang-orang yang
merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sikap tidak senang dengan perayaan Maulid Nabi ini disuarakan
di berbagai tingkat dan dengan berbagai ibarat. Ada yang menafikan
adanya keistimewaan atau Fadhilah Maulid Nabi SAW dan
membanding-bandingkannya dengan prioritas Nuzul Quran. Ada yang
mengungkit-ungkit bahwa sambutan Maulid tidak pernah dilakukan oleh Nabi
SAW dan para sahabatnya (maksudnya Bid `ah yang sesat). Ada pula yang
menyamakan perayaan Maulid dengan natalan yang dirayakan umat kristiani.
Dan ada juga yang mempertanyakan cara dan metode perayaan Maulid.
Bagi orang-orang yang mengerti (ulama) dan mengenali
suara-suara ini tidaklah terlalu terperanjat meskipun tetap menepuk dahi
dan mengurut dada karena sedih dan kesal dengan kekeliruan dan kesalah
pahaman serta sikap kedengkian yang ditonjolkan kepada umat islam yang
tidak sepaham dengan mereka. Namun bagi orang-orang yang kurang mengerti
dan memahami masalah merayakan Maulid mungkin sedikit-banyak akan ada
kekeliruan dan timbul kesangsian terhadap perayaan Maulid. Apalagi jika
statemen ini turut tercampuri dan terkotori sentimen politik kepartian.
Tidaklah terlalu besar isunya, jikalau yang diperdebatkan
tentang Maulid ini adalah metode dan cara sambutannya. Prinsip-prinsip
Islam dalam menentukan metode dan cara dalam sesuatu amalan Ibadah sudah
diatur. Yang haram dan halal sudah jelas dalam Islam, sedangkan yang
syubhat sepatutnya kita jauhi. Kita juga diajarkan harus bersikap lapang
dada dalam persoalan yang statusnya masih khilafiyah. Kita juga dilarang mempertanyakan niat orang lain serta harus berprasangka baik sesama Islam.
Sayangnya, sebagian mereka yang alergi dengan perayaan Maulid
ini juga mempertanyakan prinsip dan hukum Maulid serta dalil-dalil yang
menganjurkannya dari sisi Islam. Ini adalah soal yang lebih besar dan
mendasar. Deformasi (Pengubahan bentuk dari yang baik menjadi buruk)
dalam hal ini dapat melibatkan soal-soal besar termasuk menyakiti Nabi
SAW, tidak beradab dengan Baginda SAW, menentang syiar Islam,
menyesatkan para ulama dan umat Islam, memecahkan kesatuan umat dan
sejenisnya. Tak heran seorang tokoh ulama Yaman, al-Allamah Abu Abdullah
`Alawi al-Yamani juga menetapkan bab khusus tentang persoalan Maulid
dalam kitabnya yang berjudul Intabih Diinuka fi Khotrin (Awas,
Agamu Dalam Bahaya!). Memang, jika tidak berhati-hati, kata-kata dan
perbuatan kita dalam bab Maulid ini sebenarnya dapat membahayakan dan
mengancam agama kita.
Dalam bab ini kita akan mencoba untuk memperjelas hukum
perayaan maulid dan menjawab syubhat anti Maulid dengan dalil-dalil
al-Qur’an dan Hadits juga disertai pendapat-pendapat ulama salaf dan
khalaf tentang perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
- B. KERANGKA PEMIKIRAN ORANG YANG MENOLAK MAULID
Jika diteliti, ada beberapa kerangka paham agama tertentu
yang dipegangi oleh mereka yang alergi dengan perayaan Maulid yang
akhirnya menyebabkan mereka bersikap begitu. Kerangka pemaham agama yang
dangkal akan menyebabkan mereka turut mempermasalahkan dan berbeda
sikap dengan mayoritas umat dalam soal-soal tertentu seperti fiqh
bermazhab, tasawuf, dan beberapa perkara yang bersifat khilafiyyah. Kita
dapat menyimpulkan kerangka pemahaman agama mereka ini ke dalam
beberapa paham utama:
Pertama: Pemaham mereka yang ganjil terhadap konsep Bid’ah.
Mereka tidak mau menerima pandangan ulama-ulama muktabar yang membagi
Bid `ah kepada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah. Bagi mereka semua
Bid’ah dalam hal agama adalah sesat. Mereka keras berpegang dengan
penafsiran literal dan sempit ke hadis yang berhubungan persoalan Bid’ah
ini.
Kedua: mereka terlalu menekankan sikap Ittiba’
(mematuhi) dalam sikap mereka terhadap Nabi SAW dan Sunnahnya.
Selanjutnya, baik secara langsung atau tidak mereka ini sering
mempertentangkan Ittiba’ dengan sikap-sikap lain yang kita lakukan terhadap Nabi seperti Hubb (mencintai Nabi) Ta’dzim (mengagungkan Nabi), Tasyaffu’(memohon syafaat Nabi ), Tabarruk (mengambil berkat dari Nabi), Tawassul
(Memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara
bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama Nabi) dan sejenisnya.
Ketiga: mereka berpegang dan bertaklid kuat dengan paham
dan penafsiran beberapa tokoh ulama khalaf tertentu seperti Syaikh
Muhammad Abdul Wahab, Syaikh Nashirudin Al-Bany, Syaikh Abdul Aziz bin
Baz, Syaikh Utsaimin Syaikh Shalih Fauzan dan tokoh ulama wahabi lainnya
yang akhirnya diolah dan terolah menjadi suatu aliran terasing dari
arus mayoritas Umat Islam. Berbekal dari paham-paham ulama diatas aliran
ini yang telah mereka angkat ke tingkat doktrin dan memang disebarkan
secara indoktrinasi (secara diskusi sebelah pihak dan tidak adil atau
objektif), mereka ini rata-rata bersikap lebih pesimis dan cenderung
mempertanyakan interpretasi para ulama lain selain beberapa ulama yang
menjadi ikutan mereka.
Jika direnungi paham-paham dasar mereka ini maka tidak heran
mereka ini cenderung menolak Maulid. Sebaliknya, mereka yang mendukung
Maulid tidak perlu mengambil pandangan ini karena dasar-dasar fahamannya
ternyata berbeda dengan arus mayoritas Umat Islam didunia. Dalam
pandangan ulama ahlussunnah wal jama’ah perayaan Maulid adalah paling
tidak termasuk kedalam Bid’ah Hassanah. Malah ada pandangan yang
menyatakan bahwa ia termasuk sunnah yang dimulai oleh Nabi SAW sendiri
berdasarkan hadist yang menyebut bahwa kelahirannya pada hari Senin
menjadi salah satu dasar Beliau SAW berpuasa sunat pada hari-hari
tersebut, “ Itu adalah hari aku dilahirkan dan itu adalah hari aku menerima wahyu kenabian”(Syarah Sohih Muslim, Imam Nawawi Jld 8 H: 235)
Mayoritas umat juga tidak melihat konsep Ittiba’, Hubb, Ta’dzim, Tasyaffu, Tabarruk dan Tawassul
sebagai konsep-konsep yang bertentangan satu sama lainnya. Malah
semuanya adalah bagian dan sejalan dengan kebijakan dan mentaati Nabi
SAW, karena konsep-konsep ini tidaklah dilarang oleh agama atau
bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW.
Menurut dasar pemaham mereka yang ketiga, mayoritas Umat
Islam telah mewarisi khazanah pemaham agama yang meliputi tiga cabang
utamanya yaitu Aqidah / Tauhid, Shariah / Fiqh dan Akhlak / Tasawwuf
dari generasi demi generasi ulama-ulama pilihan dalam suatu kerangka
yang dikemas dan sistematis. Para pembesar ulama Umat dalam kerangka ini
rata-ratanya tidak menolak dan mendukung perayaan Maulid sehingga dapat
dianggap ada sebuah Ijma `Sukuti (ijma` senyap) dalam menyambut
perayaan Maulid Nabi setelah ia dimulai dan dirayakan secara
besar-besaran.
- C. PANDANGAN SYARI’AT TENTANG PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa sebagian kalangan
yang berpaham Wahabi dan Salafi memiliki mulut usil karena sering
mempermasalahkan kebiasaan masyarakat Islam di mana saja, menyangkut:
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., ziarah kubur, qunut shubuh,
tahlilan, ratiban, menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah
meninggal, do’a berjama’ah, zikir keras berjama’ah, bersalaman sesudah
shalat, tawassul, dan lain sebagainya. Hal itu mereka lakukan dalam
rangka menyebarkan pengaruh dan paham di masyarakat yang mereka sering
anggap “tersesat” atau “musyrik” dengan sebab melakukan
kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Kelompok Wahabi dan Salafi secara tegas dan keras
melarang perayaan Maulid Nabi dengan alasan ia termasuk “Bid’ah
Dhalalah” yang tidak ada perintahnya dalam agama. Lalu bagaimana
sebenarnya pandangan Syariat tentangnya?
Perkara ini sebenarnya sudah diselasaikan oleh
para ulama dan mereka membolehkannya semenjak dahulu. Perayaan Maulid
ini sejak dahulu sudah disambut oleh umat Islam diseluruh dunia seperti
yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya . Apakah kalian menganggap
bahwa seluruh ulama di dunia sejak dahulu sampai sekarang dikatakan
sesat karena mereka telah membiarkan umat Islam merayakan Maulid Nabi?
dan apakah kalian juga menganggap sesat kepada Imam As-Syafi’I yang
telah membagi bid’ah kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah? tentunya
hal ini tidak bisa diterima oleh akal yang sehat.
Kelahiran Nabi Muhammad adalah rahmat terbesar
yang dikaruniakan Allah SWT kepada uamat manusia dan seluruh alam
semesta. Rahmat ini ada dalam aqidah, mu’amalah, akhlaq bahkan dalam
seluruh aspek kehidupan. Rahmat ini tidak hanya terbatas untuk manusia
di zaman Baginda Nabi, tetapi membentang luas sepanjang sejarah seluruh
manusia. Allah SWT berfirman:
وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Maknanya: “dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang
belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.(QS.A-Jumu’ah)
Didalam ayat lain Allah berfirman:
وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللهِ
…”dan ingatkatlah mereka kepada hari-hari Allah”.(QS.Ibrahim:5)
Tidak diragukan lagi bahwa kelahiran Baginda Nabi SAW
termasuk didalam hari-hari Allah, karena yang dimaksud dengan “hari-hari
Allah” ialah peristiwa yang telah terjadi pada kaum-kaum dahulu serta
nikmat dan siksa yang dialami mereka.
Merayakan peringatan maulid Nabi SAW merupakan salah satu
amal yang paling utama dan sebuah cara pendekatan diri kepada Tuhan.
Kerena keseluruhan peringatan tersebut merupakan ungkapan kebahagiaan
dan kecintaan kepada beliau . Dan cinta kepada Nabi merupakan salah satu
prinsip dasar dari prinsip-prinsip iman. Dalam Sebuah hadits shahih
yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim Rasulullah SAW
bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِن وَالِدِهِ وَوَلِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Maknanya:”Demi dzat yang diriku berada di dalam
genggaman-Nya, tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku
lebih ia cintai daripada orang tua dan anaknya dan manusi seluruhnya”
(HR.Bukhari dan Muslim)
Ibnu Rajab berkata, “Cinta kepada Nabi termasuk
prinsip-prinsip dasar Iman. Cinta ini seiring dengan cinta kepada Allah
yang menyandingkan keduanya dan mengancam siapa saja yang lebih
mengutamakan kecintaan kepada perkara-perkara lain yang sudah menjadi
tabiat manusia seperti kerabat, harta benda, dan tanah air atas
kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya. Allah berfirman:
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ
وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا
وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ
إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ
فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي
الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Maknanya: “Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.” (QS.At-Taubah:24)
Dalil-dalil diatas menyimpulkan bahwa mencintai Nabi SAW
merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Dan tentunya masih banyak sekali
dalil-dalil lain yang senada, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi
SAW, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan
seseorang muslim tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta
tersebut. Bahkan seorang Muslim tidak cukup hanya memiliki rasa cinta
kepada Nabi SAW saja, akan tetapi dituntut untuk mengedapankan
kecintanya kepada Nabi SAW tentunya setelah kecintaan kepada Allah SWT
atas kecintaan dia kepada dirinya senderi, orang tua, anak dan seluruh
manusia serta harta bendanya.
Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, seorang Nabi yang diutus
Allah SWT, dengan membaca sebagain ayat-ayat Al-Qur’an dan menyebutkan
sifat-sifat Nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh berkah dan
kebaikan yang agung, jika memang perayaan tersebut terhindar dari
bid’ah-bid’ah sayyiah yang dicela oleh syara’.
Perlu diketahui bahwa menghalalkan sesuatu dan
mengharamkannya adalah tugas para Imam mujtahid seperti Imam Malik, Imam
Syafi’I, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad radiallahu anhum serta semua
ulama as-Salafushalih. Dengan demikian maka tidak semua orang yang telah
menulis sebuah kitab kecil maupun besar dapat mengambil tugas para Imam
Mujtahid dari kalangan ulama as-Salafus ash-shalih tersebut,
sehingga berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu tanpa merujuk
perkataan Imam Mujtahid dari kalangan Salaf dan Khalaf yang telah
dipercaya oleh umat karena jasa-jasa baik mereka.Maka barang siapa yang
mengharamkan menyebut nama (berdzikir) Allah azza wa jalla dan
menalaah sifat-sifat nabi pada peringatan hari lahirnya dengan alasan
bahwa Nabi tidak pernah melakukannya. Kita katakan kepada mereka: Apakah
kalian juga mengharamkan mihrab-mihrab (tempat imam) yang ada
disebuah masjid atau mushola dan menganggap mihrab tersebut termasuk
bid’ah dholalah ?. Apakah kalian juga mengharamkan kondifikasi al-Qur’an
dalam satu mushaf serta pemberian tanda titik dalam al-Qur’an dengan
alasan Nabi tidak pernah melakukannya ?. kalau kalian mengharamkan itu
semua berarti kalian telah mempersempit keluasan yang telah diberikan
Allah kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan baik yang belum pernah
ada pada masa Nabi padahal Rasulullah SAW telah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً
فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ
بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم
في صحيحه)
Maknanya: “Barang siapa yang memulai (merintis) dalam
Islam sebuah perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan
baiknya tersebut dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang
mengikutinya setelahnya tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun.
Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya
dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya
(mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka
sedikitpun” (HR.Muslim dalam kitab Shahihnya)
Sahabat Umar ibn Al-Khathab setelah mengumpulkan
para sahabat dalam Shalat tarawih dengan bermakmum kepada satu imam
mengatakan:
نعمت البدعة هذه (رواه الإمام البخاري في صحيحه)
Makananya:“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini“.(HR.Imam Bukhari dalam Shahih-nya)
Dari sinilah Imam Syafi’I radiallahu anhu menyimpulkan:
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ :
أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ
أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ،
وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ
لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه
الحافظ البيهقيّ في كتاب ” مناقب الشافعيّ)
Maknanya:“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua
bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’
atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat
tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam
ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik
dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang
baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan
sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’I j,1.h469)
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ
وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ
وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
Maknanya:“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan
bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah
terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi’i ini disepakati
oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat
madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu.
Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd
as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan
lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-’Arabi
al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi,
al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa
sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah
Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syari’at
ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”,
artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak
adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. contohnya melakukan
shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus
dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan
suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud
hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi
prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara
keseluruhan. Sedangkan “tidak tidak ada perintah kami atasnya ”
mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman
seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa “melakukan apa
yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat
pahala”. Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang
mereka tuduh bid’ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara
implisit atau eksplisit? Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan
tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadist tersebut mengenai “amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami”
juga bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka
tidak sah mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid
Nabi, ziarah qubur, tahlilan dan lain-lainnya yang sering mereka
permasalhkan, tanpa adanya dalil yang menyebutkannya secara khusus. Kita
tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara ” yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang), sedangkan isyarat hadist Rasulullah Saw. “Biarkan atau tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian” sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai “rahmat” dari Allah.
AL-Imam Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin (1/248)
menegaskan:”Betapa banyak inovasi dalam agama yang baik, sebagaimana
dikatakan oleh banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah, itu
termasuk inovasi agama yang dilakukan oleh Umar r.a. Adapun bid’ah yang
sesat adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunnah atau yang
mengantarkan kepada merubah ajaran agama. Bid’ah yang tercela adalah
yang terjadi pada ajaran agama, adapun urusan dunia dan kehidupan maka
manusia lebih tahu urusannya, meskipun diakui betapa sulitnya membedakan
antara urusan agama dan urusan dunia, karena Islam adalah sistem yang
komprehensif dan menyeluruh. Ini yang menyebabkan sebagian ulama
mengatakan bahwa bid’ah itu hanya terjadi dalam masalah ibadah, dan
sebagian ulama yang lain mengatakan bid’ah terjadi di semua sendi
kehidupan. Akhirnya juga bisa disimpulkan bahwa bid’ah terjadi dalam
masalah ibadah, mu’amalah (perniagaan) dan bahkan akhlaq. Contohnya
seperti adzan dua kali waktu sholat Jum’at, menambah tangga mimbar
sebanyak tiga tingkat, membaca al-Quran dengan suara keras atau memutar
kaset Qur’an sebelum sholat Jum’at, muadzin membaca sholawat dengan
suara keras sebelum adzan, melantunkan azan pada mayyit sebelum di
kuburkan, bersalaman setelah sholat, membaca “sayyidina” pada saat
tahiyat. Sebagian ulama menganggap itu semua bid’ah karena tidak pernah
dilakukan pada zaman Rasulullah dan sebagian lain menganggap itu
merupakan inovasi beragama yang diperbolehkan dan baik, dan tidak
betentangan dengan ketentuan umum agama Islam.
Al-Imam as-Syaikh Abu Syamah salah satu guru al-Imam as-Syaikh Nawawi berpendapat:
وَمِنْ أَحْسَنِ مَا ابْتَدَعَ فِي زَمَانِنَا مَا
يَفْعَلُ كُلَّ عَامٍ فِي الْيَوْمِ الْمُوَافِقِ لِيَوْمِ مَوْلِدِهِ مِنَ
الصَّدَقَاتِ وَالْمَعْرُوفِ وَإِظْهَارِ الزِّينَةِ وَالسُّرُورِ،
فَإِنَّ ذَلِكَ مَعَ مَا فِيهِ مِنَ اْلإِحْسَانِ لِلْفُقَرَاءِ مَشْعَرٌ
بِمَحَبَّتِهِ وَتَعْظِيمِهِ فِي قَلْبِ فَاعِلٍ ذَلِكَ وَشُكْرًا لِلهِ
عَلَى مَا مِن بِهِ مِنْ إِيجَادِ رَسُولِهِ الَّذِي أَرْسَلَهُ رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
Maknanya:…”dan sebagus-bagusnya apa yang diada-adakan pada
masa sekarang ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun
dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang
ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian
itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan
rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah
atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya
Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam”.(Lihat Kitab
I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan
Al-‘Allamah Asy-Syaikh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul
Fikr, Beirut – Lebanon)
Sebagai umat Rasulullah Saw, kita dianjurkan
untuk bergembira atas rahmat dan karunia yang Allah berikan kepada kita.
Rahmat dan karunia yang terbesar yang diberikan Allah kepada kita ialah
adanya kelahiran Nabi Muhammad Saw.
قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Maknanya:“Katakanlah.‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS.Yunus:58).
Imam Abu Hayyan al Andalusi Rahimuhullah berkata:
الفضل العلم والرحمة محمد صلى الله عليه وسلم
Maknanya: “Karunia Allah adalah ilmu dan Rahmat Allah adalah Nabi Muhammad SAW”. (lihat dalam Al-Bahr Al-Muhith 5:171,oleh Imam Abu Hayyan)
Al-Imam Imam As-Suyuti meriwayatkan:
وأخرج أبو الشيخ عن ابن عباس رضي الله عنهما في الآية قال:فضل الله العلم، ورحمته محمد صلى الله عليه وسلم
Maknanya: “Abu As-Syeikh telah meriwayatkan daripada Sayyidina Ibn Abbas r.a. tentang tafsiran ayat ini: “Karunia Allah adalah Ilmu dan Rahmat-Nya adalah Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam. ( Lihat Ad-Durr Al-Manthsur 4:330 oleh Imam As-Suyuti, lihat juga Ibn Jawzi Z’ad al Maseer fi Ilm at Tafsir, 4:40 )
Penafsiran ini berdasarkan firman Allah s.w.t.:
وَمَا أرْسَلنَاكَ إلا رَحْمَةً لِلعَالمِين
Maknanya: “Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”(QS.Al-Anbiya,107)
Al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab al-Hawi
li al-Fatawa. Beliau memberikan pendapat tentang hukum perayaan Maulid
Nabi Saw, sebagai berikut:
عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ
هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ
وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ
وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ
يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ
مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا
فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ
وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ
صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ
بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ
وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ
الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
Maknanya: ”Menurutku pada dasarnya
peringatan Maulid, berupa kumpulan orang-orang berisi bacaan ayat
al-Qur’an meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah
Rasulullah SAW dan tanda-tanda yang mengiring kelahirannya, kemudian
disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian
mereka bubar setelahnya tanpa ada tambaha-tambahan lain, adalah termasuk
bid’ah hasanah yang pelakunya akan mendapat pahala. Karena perkara
semacam itu merupakan perbuatan mengagungkan terhadap kedudukan
Rasulullah SAW dan merupakan penampakan akan rasa gembira dan suka cita
dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali merintis
peringatan Maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al- Muzhaffar Abu Said
Kaukabri Ibn Zaenudin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia,
agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik
dan dialah yang membangun al-Jami’al al-Muzhaffari di lereng gunung
Qasiyun.( Lihat Al- Hawi li al-Fatawa 1/251-252. Lihat juga Husn
al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid di dalam Rasa’il Hammah wa Mabahith
Qayyimah,h.194)
Beliau juga berkata:
وَيُسْتَحَبُّ لَنَا إِظْهَارُ الشُّكْرِ
بِمَوْلِدِهِ وَاْلإِجْتِمَاعُ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِن
وُجُوهِ الْقُرُبَاتِ وَإِظْهَارِ الْمُسَرَّاتِ.
Maknanya: “Dan disunahkan untuk kita mendzahirkan
(menampakan) rasa syukur kepada Allah dengan sebab kelahiran Baginda
Nabi Saw, berkumpul dan membiri makan dan yang seperti itu dari
cara-cara yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dan menampakan
kebahagian.” (Al-Hawi li Al-Fatawa, 1/196)
Selanjutnya Sang penutup para Hafizh, Al-Imam as-Syaikh
Jalaluddin As-Suyuthi, di dalam kitabnya ”Husnul Maqshid fi Amalil
Maulid” memberikan penjelasan tentang maulid Nabi Saw dalam rangka
menjawab pertanyaan yang diajukan kepada tentang kegiatan maulid Nabi
Saw pada bulan Rabi’ul awwal: Apa hukumnya dalam pandangan syariah?
Apakah kegiatan itu terpuji atau tercela? Dan apakah pelakunya
mendapatkan pahala? Beliau berkata, ”Jawabannya, menurutku, bahwa hukum
dasar kegiatan maulid (yang berupa berkumpulnya orang-orang yang banyak,
membaca Al Qur’an, menyapaikan khabar-khabar yang diriwayatkan tentang
awal perjalanan hidup Nabi Saw dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi
pada waktu kelahiran beliau, kemudian dihidangkan makanan untuk mereka
dan mereka pun makan bersama; lalu mereka beranjak pulang, tanpa ada
tambahan kegiatan lain) adalah termasuk bid’aah hasanah (bid’ah yang
baik) dan diberikan pahala bagi orang yang melakukannya. Karena dalam
kegiatan itu terkandung makna mengagungkan peran dan kedudukan Nabi Saw
serta menunjukan suka cita dan kegembiraan terhadap kelahiran beliau.”
Al-Imam Suyuthi membantah orang yang berkata, ”Aku tidak
mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini dalam Al Qur’an maupun dalam
Sunnah,” dengan mengatakan, ”Ketidak tahuan terhadap sesuatu tidak lalu
berarti tidak adanya sesuatu itu”. Beliau juga menjelaskan bahwa para
Imam Hafizh, Abu Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqalani telah menjelaskan dasar
hukum merayakan maulid dari Sunnah. Imam Syuyuthi sendiri juga
mengemukakan dasar hukumnya yang kedua dan menjelaskan bahwa bid’ah
tercela adalah perkara baru yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan dalil syari’at. Adapun jika ada hubungannya yang kuat dengan
dalil syari’at yang memujinya, maka perkara itu tidak tercela.
Al-Imam Suyuthi berkata. ”Kegiatan merayakan maulid Nabi Saw
tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, atsar, maupun ijma’. Maka
ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam
Syafi’i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal
pada masa awal-awal Islam. Kegiatan memberi makan yang terlepas dari
perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid
Nabi Saw termasuk perkara baru yang dianjurkan sebagaimana diungkapkan
oleh Sulthannya para ulama, as-Syaikh Izzuddin bin Abdissalam.”( Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid dan lihat juga di dalam Rasa’il Hammah wa Mabahith Qayyimah,hal 199 – 200)
Di dalam kitab yang sama, al-Imam as-Suyuthi mengatakan: “Dan
berkata al-Hafizh Syams ad-Din bin Nasiruddin ad-Dimsyaqi (833.H) di
dalam kitabnya yang berjudul Maurid ash-Shadi fi Maulid al-Hadi: “Telah
Sahih riwayat yang mengatakan Abu Lahab diringankan dari adzab neraka
pada setiap hari senin karena telah memerdekakan hamba sahayanya yang
bernama Thuwaibah karena gembira dengan adanya berita dari hambanya itu
tentang kelahiran anak saudaranya Rasulullah Saw.
Kemudian al-Hafizh Syams ad-Din bin Nasiruddin ad-Dimsyaqi bersyair:
إِذَا كَانَ هَذَا كَافِرًا جَاءَ ذَمُّهُ بِتَبَّتْ يَدَاهُ فِي الْحَجِيمِ مُخَلَّدً
أَتَى أَنَّهُ فِي يَوْمِ اْلإِثْنَيْنِ دَائِمًا يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُورِ بِأَحْمَدَ
فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِي طُولَ عُمْرُهُ بِأَحْمَدَ مَسْرُورًا وَمَاتَ مُوَحِّدًا
Maknanya: “Jika ada orang kafir ini (Abu Lahab) yang
telah ada celaan padanya, dan binasa kedua belah tangannya serta kekal
di dalam neraka jahim”.
“Namun datang keistimewaan kepadanya setiap hari senin
senantiasa diringankan adzab darinya, karena kegembiraannya dengan
kelahiran Rasul yang mulia”.
“Maka bagaimana pendapatmu tentang pahala bagi seorang
hamba yang sepanjang usianya senantiasa bergembira dengan kelahiran
Ahmad Saw, dan mati dalam tauhid yang sempurna”.
Mafhumnya, jika Abu Lahab saja yang notabene orang kafir ia
mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak
perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang
kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya.
Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’
siksa atas dirinya diringankan setiap hari seni tiba). Demikianlah
rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi,
termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun.Maka jika kepada seorang
yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran
sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman
selalu ada di hatinya?(Kisah ini diriwayatkan di dalam Shahih
Al-Bukhari, Bab Nikah, dinukilkan oleh Ibn Hajar di dalam kitabnya Fath
al-Bari, diriwayatkan oleh Imam Abdur Razak ash-Shan’ani di dalam
kitabnya Al-Mushannaf (7/478), Al-Hafiz Al-Baihaqi di dalam kitabnya
Ad-Dala’il, Ibn Kathir di dalam kitabnya, Al-Bidayah, bab As-Sirah
an-Nabawiyyah (1/224), Ibn Ad-Daiba asy-Syaibani di dalam kitabnya
Hada’iq al-Anwar (1/134), Imam Hafiz al-Baghawi di dalam kitabnya Syarh
Sunnah (9/76), Ibn Hisyam dan As-Suhaili di dalam Ar-Raudh al-Unuf
(5/192), Al-Amiri di dalam kitabnya Bahjah al-Mahafil (1/41) dan
lain-lain)
Imam Al-Baihaqi berkata, walaupun hadits ini hadits Mursal,
tetapi ia boleh diterima karena hadits ini telah dinaqalkan oleh Imam
Al-Bukhari di dalam kitabnya. Para ulama’ yang telah disebutkan diatas,
juga sependapat menerima hadith ini karena perkara itu terdiri dari bab
manaqib dan khasha’is (keistimewaan), Fadha’il (kelebihan) dan bukannya
perkara yang berkaitan dengan hukum halal dan haram. Para penuntut ilmu
agama tentu mengetahui perbedaan istidlal (pengambilan dalil) dengan
hadits pada bab manaqib atau ahkam.
Syaikh Ibnu Taimiah. Orang yang selalu
mengharamkan Maulid Nabi SAW ini dalam banyak hal mereka merujuk kepada
pendapat Syaikh Ibn Taimiyyah, sedangkan beliau sendiri mengatakan di
dalam kitabnya Al-Iqtida’ ash-Shirath al-Mustaqim sebagai berikut:
فَتَعْظِيمُ الْمَوْلِدِ وَاِتِّخَاذُهُ
مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُونُ لَهُمْ فِيهِ أَجْرٌ
عَظِيمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِمْ وَتَعْظِيمِهِمْ لِرَسُولِ اللهِ
Makananya: “Merayakan maulid dan
menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun yang telah dilakukan
oleh orang-orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya
baik dan mengagungkan Rasulullah SAW”. (Lihat Al-Iqtida’ ash-Shirath al-Mustaqim Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 297 dan Fatawa, 23/134)
Di dalam kitab Manhaj as-Salaf disebutkan:
يَقُولُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: قَدْ يُثَابُ بَعْضُ
النَّاسِ عَلَى فِعْلِ الْمَوْلِدِ وَكَذَلِكَ مَا يُحْدِثُهُ بَعْضُ
النَّاسِ إِمَّا مُضَاهَاةً لِلنَّصَارَى فِي مِيلاَدِ عِيسَى عليه السلام.
وَأَمَّا مَحَبَّةً لِلنَّبِي وَتَعْظِيمًا لَهُ، وَاللهُ قَدْ
يُثِيبُهُمْ عَلَى هَذِهِ الْمَحَبَّةِ وَاْلإِجْتِهَادِ لاَ عَلَى
الْبِدَعِ.
Maknanya: “Ibnu Taimiah berkata: Boleh jadi sebahagian orang-orang yang memperingati Maulid Nabi diberi
pahala. Begitu juga sesuatu yang baru yang diusahakan sebahagian oranng
yang menyerupai Nashrani dalam menyambut kelahiran Nabi Isa
alaihissalam. Dan adapun kecintaan terhadap Nabi dan mengagungkannya,
semoga Allah memberi pahala kepada mereka atas perasaan cinta dan
ijtihad ini, yang bukan (didasarkan) di atas sesuatu yang bid’ah.” (Lihat Manhaj as-Salaf, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, h. 224-226)
As- Syaikh al-Islam Khatimah al- Huffazh amir
al-Muminin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-Asqalani
rahimahullah, (773 H – 852H), yang telah mensyarah kitab monumental Imam
Bukhari (Shahih Bukhari), dan beliau beri nama dengan kitabnya tersebut
dengan nama “Fathul Bari ‘alaa Shahih Bukhari”. Beliau menuliskan sebagai berikut:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ
تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ،
وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا،
فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ
بِدْعَةً حَسَنَةً” وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى
أَصْلٍ ثَابِتٍ
Maknanya: ”Asal peringatan adalah bid’ah yang
belum pernah dinukil dari kaum salaf as-Shalih yang hidup pada tiga
abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan
lawanya (hal-hal yang buruk), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid
berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya, maka
itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatkan: “ Dan
telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil
yang tsabit (Shahih).
Al-Imam al-Hafizd as-Syaikh as-Sakhawi (831 H-902 H) seperti disebutkan dalam kitab al-Ajwibah al-Mardhiyyah beliau berkata:
لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ
فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ،
ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ
وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ
الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ،
وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ،
وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ
يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ
مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”.
ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ
لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ،
وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ:
لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ
الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ
الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا
وَلَيَالِيْهِ
Maknanya: “Peringatan Maulid belum pernah
dilakukan oleh seorangpun dari kaum salaf as-shaleh yang hidup pada pada
abad tiga pertama yang mulia melainkan baru ada setelah itu di
kemudian. Dan umat Islam di seluruh daerah dan kota-kota besar
senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran
Rasulullah SAW. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa
dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik pada malam
harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakan
kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari
biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku Maulid. Dan
nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah
teruji”. Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran
Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam senin, tanggal 12
bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10, dan
masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karena itu tidak mengapa
melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai
dengan kesiapan yang ada bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan
malam-malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya”.(lihat juga Kitab I’anah Thalibin
(Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh
As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon ;
kitab As-Sirah Al-Halabiyah (1/83-84) karangan Al-Imam ‘Ali bin Burnahuddin Al-Halabiy)
Al-Imam as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami (W.974 H) dalam al-Fatawa al-Kubra. Beliau menuliskan sebagai berikut:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنقَلْ
عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُونِ الثَّلاَثَةِ،
وَلَكِنَّهَا مَعَ ذَلِكَ قَدِ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا
فَمَن تَحَرَّى فِي عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَ
بِدْعَةً حَسَنَةً، وَإِلاَّ فَلاَ، وَقَدْ ظَهَرَ لِي تَخْرِيجُهَا عَلىَ
ثَابِتٍ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبيَّ قَدِمَ الْمَدِينَةَ
فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءِ، فَسَأَلَهُمْ
فَقَالُوا: هُوَ يَوْمٌ أَغْرَقَ اللهُ فِيهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَى مُوسَى
فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا لِلّهِ تَعَالَى، فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ
الشُّكْرُ لِلّهِ عَلَى مَا مِن بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ
نِعْمَةٍ أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ، وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيرِ ذَلِكَ
الْيَوْمِ مِن كُلِّ سَنَةٍ، وَالشُّكْرُ لِلّهِ يَحْصُلُ بِأَنوَاعِ
الْعِبَادَةِ كَالسُّجُودِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلاَوَةِ،
وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنَ النِّعْمَةِ بِبُرُوزِ هَذَا النَّبِيِّ
نَبِيِّ الرَّحْمَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَعَلَى هَذَا فَيَنبَغِي أَن
يَقْتَصِرَ فِيهِ عَلَى مَا يُفْهَمُ الشُّكْرُ لِلّهِ تَعَالَى مِنَ
التِّلاَوَةِ وَاْلإِطْعَامِ وَإِنشَادِ الشَّيْءِ مِنَ الْمَدَائِحَ
النَّبَوِيَّةِ الْمُحَرَّكَةِ لِلْقُلُوبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ
وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ، وَأَمَّا مَا يَتَّبعُ ذَلِكَ مِنَ السِّمَاعِ
وَاللَّهْوِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَيَنبَغِي أَن يُقَالَ: مَا كَانَ مِن ذَلِكَ
مُبَاحًا بِحَيْثُ يَقْتَضِي السُّرُورُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ لاَ بَأْسَ
بِإلْحَاقِهِ بِهِ، وَمَا كَانَ حَرَامًا أَوْ مَكْرُوهًا فَيُمْنَعُ،
وَكَذَا مَا كَانَ خِلاَفَ اْلأَوْلَى
Maknanya: “Asal amalan menyambut Maulid
adalah perkara bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum salaf
as-Shalih yang hidup pada tiga abad pertama. Akan tetapi
demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawanya (hal-hal
yang buruk), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan
hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya, maka itu adalah bid’ah
hasanah”. Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di
atas dalil yang tsabit didalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim,.
Bahwasanya Nabi SAW datang ke Madinah beliau mendapati orang-orang
yahudi sedang berpuasa pada hari Asyura’(10 Muharram). Kemudian Nabi
bertanya kepada mereka tentang perkara tersebut. Mereka menjawab Ia
adalah hari dimana Allah menenggelamkan fir’aun dan menyelamatkan Nabi
Musa a.s. Kemudian kami berpuasa pada hari ini sebagai tanda syukur
kepada Allah SWT. Maka diambil faidah dari perkara ini adalah bersyukur
kepada Allah yang dilakukan pada hari tertentu karena mensyukuri nikmat
atau karena tertolaknya bencana. Dan mengulangi perkara tersebut pada
setiap tahunnya. Dan bersyukur kepada Allah boleh dilakukan dengan
berbagai macam ibadah seperti sujud, puasa, sedekah, membaca Al-Qur’an.
Dan adakah nikmat yang paling agung selain nikmat dilahirkannya Nabi
SAW?. Nabi yang membawa rahmat didalam kelahirannya itu ? Dan atas dasar
inilah sudah sewajarnya untuk memfokuskan pada hari itu pada apa yang
dipahami.(Maksudnya perkara yang mampu dilakukan) bersyukur kepada Allah
dengan membaca Al-Qur’an. memberi makan, melantunkan pujian-pujian
kepada Nabi SAW yang bisa menggerakan hati untuk berbuat kebaikan dan
beramal untuk akhirat. Dan Adapun mendengarkan perkara yang di ikut
sertakan untuk melantunkan pujian-pujian dan perkara sia-sia lainnya
maka sewajarnya dikatan: Apa-apa perkara yang di hukumi mubah yang
sekiranya sesuai dengan kegimbiraan di hari itu, maka tidak mengapa
karena keterikatannya dengan hari Maulid. Dan apa-apa yang diharamkan
atau dimakruhkan, maka ia dilarang dan demikian juga perkara yang
menyalahi keutamaan. (Lihat al-Fatawa al-Kubra j.1,h.196)
Di dalam kitab Al-Madkhal disebutkan
فَكَانَ يَجِبُ أَن نَزْدَادَ يَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ
الثَّانِي عَشَرَ فِي رَبِيعِ اْلأَوَّلِ مِنَ الْعِبَادَاتِ وَالْخَيْرِ
شُكْرًا لِلْمَوْلَى عَلَى مَا أولاَنَا مِنْ هَذِهِ النِّعَمِ
الْعَظِيمَةِ وَأَعْظَمُهَا مِيلاَدُ الْمُصْطَفَى
“Maka wajib kepada kita hendaknya meningkatkan ibadah-ibadah
dan kebaikan pada setiap hari senin tanggal 12 Rabiul Awwal sebagai
tanda syukur kepada Allah Swt atas karunia nikmat yang besar yang
telah Allah berikan kepada kita. Dan sebesar-besarnya nikmat itu adalah
kelahirannya al-Musthafa Muhammad Saw”.
Buletin Al-Hujjah Vol: 06-IX/Rabi'ul Awwal-1429H/Mar-08
“Antara Sunnah Fi’liyyah & Sunnah Tarkiyyah”
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah.”
[QS. Al-Ahzaab: 21]
Ayat
yang agung di atas, di setiap bulan Rabi’ul Awwal, biasanya menjadi
ayat yang paling sering terdengar dari corong-corong masjid. Tentu saja
melalui mimbar-mimbar ceramah maulid. Para penceramah maulid juga tidak
pernah lupa mengingatkan makna inti yang terkandung dalam ayat tersebut,
bahwa kita sebagai ummat Muhammad wajib
untuk menjadikan beliau sebagai panutan dan ikutan dalam mengamalkan
agama. Belakangan, mencuat sebuah pertanyaan, sudahkah makna inti ayat
tersebut terealisasi pada diri dan masyarakat muslim kita? Dan apakah
kita telah memahami hakikat “uswatun hasanah” yang diinginkan oleh ayat tersebut?
Ulama
tafsir mengaitkan turunnya ayat di atas secara khusus dengan peristiwa
perang Khandaq yang sangat memberatkan kaum muslimin saat itu. Nabi dan
para Sahabat benar-benar dalam keadaan susah dan lapar, sampai-sampai
para Sahabat mengganjal perut dengan batu demi menahan perihnya rasa
lapar. Mereka pun berkeluh kesah kepada Nabi. Adapun Nabi, benar-benar
beliau adalah suri teladan dalam hal kesabaran ketika itu. Nabi bahkan
mengganjal perutnya dengan dua buah batu, namun justru paling gigih dan
sabar. Kesabaran Nabi dan perjuangan beliau tanpa sedikitpun berkeluh
kesah dalam kisah Khandaq, diabadikan oleh ayat di atas sebagai bentuk
suri teladan yang sepatutnya diikuti oleh ummatnya. Sekali lagi ini
adalah penafsiran yang bersifat khusus dari ayat tersebut, jika ditilik
dari peristiwa yang melatar belakanginya. [lihat Tafsir al-Qurthubi: 14/138-139]
Adapun
jika dikaji secara lebih mendalam, ayat di atas -di mata para ulama-
merupakan dalil bahwasanya teladan Nabi berupa perbuatan dan tindak
tanduk beliau bisa menjadi landasan atau dalil dalam menetapkan suatu
perkara, karena tidak ada yang dicontohkan oleh Nabi kepada ummatnya
melainkan contoh yang terbaik. Hal ini dijelaskan oleh Imam ‘Abdurrahman
bin Nashir as-Sa’adi dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Tafsir Kariimir Rahmaan. Beliau berkata (hal. 726 Cet. Darul Hadits):
“Para
ulama ushul berdalil dengan ayat ini tentang ber-hujjah (berargumen)
menggunakan perbuatan-perbuatan Nabi. (Karena) pada asalnya, ummat
beliau wajib menjadikan beliau sebagai suri teladan dalam perkara hukum,
kecuali ada dalil syar’i yang mengkhususkan (bahwa suatu perbuatan Nabi
hanya khusus untuk beliau saja secara hukum, tidak untuk ummatnya).”
Nabi
kita adalah manusia yang terbaik di segala sisi dan segi. Di setiap
lini kehidupan, beliau selalu nomor satu dan paling pantas dijadikan
profil percontohan untuk urusan agama dan kebaikan. Sehingga tidak heran
jika Allah mewajibkan kita untuk taat mengikuti beliau serta melarang
kita untuk durhaka kepadanya dalam banyak ayat al-Qur-an, di antaranya
firman Allah (artinya): “…Barangsiapa taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
kemenangan yang besar.” [QS. An-Nisaa: 13]
Rasulullah juga pernah bersabda:
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَـى، فَقِيْلَ: وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى
“Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan. (Lalu) dikatakan kepada beliau: ‘Siapa yang enggan itu wahai Rasulullah ?’
Maka beliau menjawab: ‘Barangsiapa mentaati aku ia pasti masuk surga,
dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka ia enggan (masuk surga).” [Shahih Bukhari: 7280]
Hakikat Makna Uswatun Hasanah
Kita sering terperangkap dalam pola prinsip yang keliru dalam memaknai hakikat uswatun hasanah yang ada pada diri Rasulullah . Tidak sedikit di antara kita mengkerdilkan makna sifat uswah
(keteladanan) Nabi hanya terbatas pada masalah-masalah akhlak,
sunnah-sunnah dan ritual ibadah yang dikerjakan oleh Nabi saja. Padahal,
syari’at juga menuntut kita untuk meninggalkan -atau tidak mengerjakan-
segala sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Nabi dalam urusan agama ini.
Inilah makna uswah yang lebih sempurna, mencakup sunnah fi’liyyah dan juga sunnah tarkiyyah.
Sunnah fi’liyyah
adalah sunnah yang dikerjakan atau dicontohkan oleh Nabi. Dalam hal ini
kita pun disunnahkan -bahkan bisa wajib- untuk mengerjakan persis
seperti apa yang dikerjakan oleh beliau sebatas kemampuan kita.
Adapun pada sunnah tarkiyyah,
kita dituntut untuk meninggalkan suatu bentuk ritual dikarenakan ritual
tersebut ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi di masanya,
padahal sangat memungkinkan untuk dikerjakan di masa beliau. Contohnya
adalah kumandang adzan saat solat ‘Ied, adzan solat istisqo’ (minta
hujan), dan adzan untuk jenazah. Ini semua ditinggalkan atau tidak
dikerjakan oleh Nabi, maka bagi kita ummatnya, meninggalkan
ritual-ritual (seperti adzan yang tidak pada tempatnya) tersebut juga
termasuk sunnah –yang sifatnya wajib-, yang disebut sebagai sunnah tarkiyyah.
Contoh lain yang lebih pas di bulan ini (Rabi’ul Awwal) adalah; perayaan hari kelahiran Nabi
(maulid). Merayakan kelahiran Nabi sangat memungkinkan untuk dikerjakan
di masa Nabi dan Sahabat. Nabi tahu bahwa kelahiran dirinya ke muka
bumi adalah rahmat bagi alam yang patut disyukuri. Demikian pula para
Sahabat adalah orang yang paling mencintai dan memuliakan Nabi, mereka
adalah kaum yang paling bersyukur atas kelahiran Nabi di tengah-tengah
mereka. Namun faktanya Nabi dan Sahabat meninggalkan perayaan kelahiran
tersebut, mereka tidak pernah mengerjakannya. Sehingga jadilah ia sunnah tarkiyyah bagi kita (yakni sunnah –yang bersifat wajib- untuk kita tinggalkan).
“Sunnah” Tarkiyyah Bermakna “Wajib”
Adapun dasar hukum sunnah tarkiyyah
ini, para ulama berdalil dengan kisah tiga orang peziarah yang bertanya
kepada istri-istri Nabi perihal keseharian ibadah yang dikerjakan oleh
beliau. Anas radhiallahu’anhu, pembantu sekaligus Sahabat Rasulullah , mengisahkan yang artinya:
“Datang tiga orang menuju rumah para istri Nabi. Mereka
bertanya tentang ibadah Nabi. Manakala mereka dikabarkan perihal
ibadah-ibadah yang dilakukan oleh Nabi, seakan akan mereka menganggapnya
sedikit. Maka mereka berkata: ‘Kita ini di mana jika dibandingkan
dengan Nabi? (Wajar saja), beliau telah diampuni dosa-dosanya, baik yang
telah lampau dan yang akan datang.’ Salah seorang di antara mereka
lantas berkata: ‘Adapun aku, sungguh aku akan solat malam selamanya
(tidak tidur).’ Berkata lagi yang lain: ‘Aku akan berpuasa dahr,
dan tidak akan berbuka (puasa setiap hari tanpa jeda).’ Dan yang satu
lagi berkata: ‘Aku akan menjauhi wanita, aku tidak akan menikah
selamanya.”
“Maka
Nabi datang, lantas berkata (sambil marah) : ‘Kalian yang berkata
begini…dan begini…? Adapun aku demi Allah! Aku orang yang paling takut
kepada Allah daripada kalian, dan aku yang paling taqwa kepada-Nya
daripada kalian! Namun (kendatipun demikian) aku ini berpuasa, tapi juga
berbuka (ada hari jeda). Aku solat (malam), dan aku juga tidur. Dan aku
menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka sunnahku (lebih
memilih yang lain), maka dia bukan golonganku”. [Bukhari: 5063, Muslim: 1401, Lih. Ushuulul Bida’ hal. 108]
Jika kita simak hadits di atas, bagaimana kerasnya ancaman Rasulullah terhadap orang-orang yang tidak mau mencukukan diri dengan sunnah beliau, maka bisa dipahami bahwa “sunnah” tarkiyyah -dalam artian meninggalkan bentuk-bentuk ritual yang hendak dilakukan oleh ketiga orang tersebut- bersifat wajib hukumnya, bukan “sunnah” dalam pengertian ilmu fiqih; berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.
Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Fadhlu ‘Ilmis Salaf mengatakan: “…adapun
apa–apa yang telah disepakati oleh Salaf (para Sahabat) untuk
ditinggalkan (dalam urusan agama), maka tidak boleh dikerjakan. Karena
para Salaf tidaklah meninggalkan sesuatu (dalam urusan agama ini),
melainkan karena mereka tahu bahwa sesuatu tersebut tidak
(disyari’atkan) untuk diamalkan.” [lih. ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 110]
Alhasil,
apa yang Nabi contohkan kepada kita, niscaya itu baik. Dan apa-apa yang
beliau tinggalkan dari perkara agama ini, sudah pasti itu bukan suatu
kebaikan di sisi Allah jika kita kerjakan. Rasulullah bersabda:
إنَّهُ لَمْ يَكُن نَبِيٌّ قَبْلِي إلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sungguh
tidak ada satupun Nabi sebelumku, melainkan ia pasti menunjukkan
(mengajarkan) kepada ummatnya segala bentuk kebaikan yang ia ketahui,
dan memperingatkan ummatnya dari segala macam keburukan yang ia
ketahui”. [Shahih Muslim: 1844]
Dan
Nabi telah memperingatkan kita dari berbuat sesuatu yang tidak ada
teladannya dari beliau dalam urusan agama ini. Sebagaimana sabdanya:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan amalan ibadah yang tidak ada perintahnya dari kami (Nabi dan Sahabat1), maka amalannya tertolak (tidak diterima).” [Syarh Shahih Muslim: 1718]
Akhirulkalam, baik sunnah fi’liyyah (mengerjakan yang dicontohkan) maupun sunnah tarkiyyah (meninggalkan yang tidak dicontohkan), kedua-duanya harus berjalan dalam diri seorang mukmin yang mengaku Rasulullah sebagai teladan hidupnya. Dengan demikian, barulah hakikat uswatun hasanah pada ayat yang kita kaji ini benar-benar tidak hanya sekedar pemanis bibir di mimbar-mimbar ceramah. Wallahua’lam
Disusun oleh : Tim Redaksi al-Hujjah
Kepustakaan : --
.: Tafsir al-Qurthubi, Cet. Darulkitab
al-Arobi: V/1423 H
.: Tafsir Karimir Rahman, Cet. Darul Hadits:
1426 H
.: ‘Ilmu Ushulil Bida’, Cet. Darur Royah:
II/1417 H. http://alhujjah.com/index.php/tafsir/6-alhujjah06-ix
Akhi/Ukhti, Taukah kau ? Rasulullah SAW merindukanmu !
Suatu ketika, seraya berlinang air mata, Rasulullah SAW berkata kpd para
sahabatnya dg suara yg lirih. "Alangkah rindunya aku kpd saudara2 ku."
sahabat yg mendengar merasa iri, cemburu, mendengar Rasulullah SAW merindukan org lain dan menyebut nyebutnya.
Ya Rasulullah, siapa saudara2 yg Tuan rindukan itu ? Rasulullah balik
bertanya, menurut kalian siapa ? Pasti yg Tuan rindukan adalah malaikat2
Allah SWT.
Wahai sahabatku, mereka adalah malaikat Allah, dan bukan saudara yg
kurindukan. Kalau begitu siapa ya Rasulullah ? Apakah mereka para Nabi
Allah SWT ? Mereka adalah utusan2 Allah, namun bukan saudara2 yg sedang
aku rindukan. Lalu siapa gerangan ? Apakah kami ? Tanya sahabat lagi,
kalian adalah sahabat2 ku, tetapi bukan kalian yg aku rindukan saat ini,
lalu siapa, ya Rasulullah ?
"Yang aku rindukan saat ini adalah org2 yg datang setelah aku wafat.
Org2 yg datang beratus ratus tahun setelah kepergianku, mereka tidak
pernah berjumpa denganku, tetapi mereka penuh keimanan kepadaku, itulah
sdr2 yg aku rindukan saat ini."
Sungguh, kitalah saudara yg dirindukan Rasulullah SAW, bukankah kita
datang setelah wafatnya Rasulullah ? Bukankah kita tidak pernah bertemu
Rasulullah ? Tetapi bukankah kita penuh keimanan kpd Rasulullah SAW ?
Sambutlah cintanya Rasulullah yg begitu Agung, jangan pernah kecewakan beliau SAW.
Diposkan oleh
Sehina Debu
di
Kamis, November 18, 2010. http://sulaimanalbugishi.blogspot.com/2010/11/akhiukhti-taukah-kau-rasulullah-saw.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar