Jumat, 19 Agustus 2011

Beberapa Fikih Iktikaf .........>>>...Hukumnya sunnah, dan sunnah muakkad di sepuluh hari terakhir Ramadhan. I’tikaf menjadi wajib jika seseorang telah bernadzar untuk melakukannya.....

Beberapa Fikih Iktikaf Bekal Sebelum Beriktikaf

Dibuat : Aug 13th, 2011 04:52:12
 
http://syariftambakoso.files.wordpress.com/2011/08/shalat-malam.png?w=500&h=375 

Dalam tinjauan bahasa Arab, al-i’tikaf bermakna al-ihtibas (tertahan) dan al-muqam (menetap). Sedangkan definisinya menurut para fuqaha adalah:

الْمُكْثُ فِي الْمَسْجِدِ بِنِيَّةِ القُرْبَةِ

Menetap di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Atau:

لُزُومُ الْمَسْجِدِ لِطَاعَةِ اللهِ وَالاِنْقِطَاعِ لِعِبَادَتِهِ، وَالتَّفَرُّغِ مِنْ شَوَاغِلِ الْحَيَاةِ

Menetap di masjid untuk taat dan melaksanakan ibadah kepada Allah saja, serta meninggalkan berbagai kesibukan dunia.
Hukum dan Dalil Disyariatkannya I’tikaf
Hukumnya sunnah, dan sunnah muakkad di sepuluh hari terakhir Ramadhan. I’tikaf menjadi wajib jika seseorang telah bernadzar untuk melakukannya.
Dalil-dalilnya:

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (Al-Baqarah (2): 125).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Nabi Muhammad saw. selalu i’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Dan pada tahun wafatnya, beliau i’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari).

قَوْلُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Aisyah ra berkata: Rasulullah saw. melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) sampai Allah mewafatkan beliau. Kemudian para istrinya melakukan i’tikaf sepeninggal beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf seorang istri harus seizin suaminya.

Tujuan dan Manfaat I’tikaf
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa tujuan disyariatkannya i’tikaf adalah agar hati terfokus kepada Allah saja, terputus dari berbagai kesibukan kepada selain-Nya, sehingga yang mendominasi hati hanyalah cinta kepada Allah, berzikir kepada-Nya, semangat menggapai kemuliaan ukhrawi dan ketenangan hati sepenuhnya hanya bersama Allah swt. Tentunya tujuan ini akan lebih mudah dicapai ketika seorang hamba melakukannya dalam keadaan berpuasa, oleh karena itu i’tikaf sangat dianjurkan pada bulan Ramadhan khususnya di sepuluh hari terakhir.
Syarat I’tikaf
ü      Syarat yang terkait dengan mu’takif : beragama Islam, berakal sehat, mampu membedakan perbuatan baik dan buruk (mumayyiz), suci dari hadats besar (tidak junub, haid, atau nifas).
ü      Syarat yang terkait dengan tempat i’tikaf : masjid yang dilakukan shalat Jumat dan shalat berjamaah lima waktu di dalamnya agar mu’takif tidak keluar dari tempat i’tikafnya untuk keperluan tersebut. Ada juga yang berpendapat lain dalam hal ini.
Pembatal I’tikaf
1.      Kehilangan salah satu syarat i’tikaf yang terkait dengan mu’takif.
2.      Berhubungan suami istri sebagaimana firman Allah swt:


وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah (2): 187)
3.      Keluar dengan seluruh badan dari tempat i’tikaf, kecuali untuk memenuhi hajat (makan, minum, dan buang air jika tidak dapat dilakukan di lingkungan masjid).
Mengeluarkan sebagian anggota badan dari tempat i’tikaf tidak membatalkan i’tikaf sesuai dengan ungkapan ‘Aisyah ra:

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُخْرِجُ رَأْسَهُ مِنَ الْمَسْجِدِ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

“Nabi Muhammad saw mengeluarkan kepalanya dari masjid (ke ruangan rumahnya) saat beliau i’tikaf lalu aku mencucinya sedang aku dalam keadaan haid.” (HR. Bukhari).
Hal-hal yang diperbolehkan bagi orang yang beriktikaf
ü      Keluar dari tempat iktikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap istrinya Shafiyah ra. (HR. Riwayat Bukhari dan Muslim)
ü      Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
ü      Keluar untuk keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid, tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya .
ü      Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.
ü      Menemui tamu di masjid untuk hal-hal yang diperbolehkan dalam agama
Hal-hal yang membatalkan i’tikaf
ü      Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan walaupun sebentar.
ü      Murtad ( keluar dari agama Islam )
ü      Hilangnya akal, karena gila atau mabuk
ü      Haid atau nifas
ü      Bersetubuh dengan istri (QS. 2: 187), akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.
Adab yang harus diperhatikan oleh Mu’takif
1. Selalu menghadirkan keagungan Allah di dalam hati sehingga niatnya terus terjaga.
2. Menyibukkan diri dengan amal yang dapat mencapai tujuan i’tikaf.
3. Bersahaja dan tidak berlebihan dalam melakukan perbuatan mubah seperti makan, minum, berbicara, tidur dan hal-hal lain yang biasa dilakukan di luar masjid.
4. Menjauhi amal perbuatan yang dapat merusak tujuan i’tikaf seperti pembicaraan tentang materi (jual beli, kekayaan dan lain-lain).
5. Memelihara kebersihan diri dan tempat i’tikaf serta menjaga ketertiban dan keteraturan dalam segala hal.
6. Tidak melalaikan kewajiban yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya, seperti nafkah untuk keluarga, menolong orang yang terancam keselamatannya, dan lain-lain. Wallahu’alam (a.ahmad)

Referensi:
Zadul Ma’ad
Raudhah At-Thalibin wa ‘Umdah Al-Muftin karya Imam An-Nawawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar