Analis: Zionis Dikte Gedung Putih Rezim Mana yang Harus Dilengserkan
Seorang analis politik mengatakan para pendukung Zionis Israel di Amerika Serikat mendikte pemerintah Gedung Putih terkait gerakan kebebasan di dunia yang mana harus didukung dan yang mana harus diabaikan serta dilengserkan.
"Lobi Israel di Amerika sudah barang tentu berbicara dengan Washington dan membantu Washington membuat keputusan tentang negara mana yang harus mengalami intervensi internasional dan mana yang tidak perlu," kata Sarah Marusek dalam sebuah wawancara dengan Press TV di Selasa lalu.
Dia menegaskan bahwa standar ganda jelas dapat dilihat jika kita melihat posisi AS di Libya dan membandingkannya dengan apa yang sedang terjadi di Bahrain dan Yaman.
"Ini benar-benar konyol bahwa intervensi ini bisa terjadi di Libya dan pada saat yang sama bahkan tidak ada diskusi yang terjadi tentang penindasan konyol yang terjadi dan terus terjadi di Yaman serta Bahrain," kata Marusek.
Dia juga menyatakan bahwa media Barat selalu fokus pada al-Qaidah ketika datang kekerasan di Yaman dan mengabaikan banyaknya aksi protes di jalan-jalan, yang menuntut lebih banyak kebebasan dan kesempatan ekonomi yang lebih besar.
Marusek juga menyatakan bahwa Washington ketakutan bahwa setiap gerakan demokrasi di Bahrain pada akhirnya akan menguntungkan Syiah Iran.(eramuslim).
Terus Terdesak, AS Terjunkan CIA Bantu Pasukan Oposisi?
Keberhasilan pasukan militer loyalis Muammar Khadafi merebut kota-kota di timur Libya yang dikuasai pemberontak dan memukul mundur pasukan oposisi. Pasukan Khadafi tampak telah menyesuaikan diri dan menyusun kekuatan, walaupun serangan udara pasukan koalisi terus membombardir dan berusaha menggulingkan Khadafi.
Seperti dikutip dari AP News, salah seorang pejabat Amerika Serikat mengungkapkan pasukan Khadafi mulai menggunakan kendaraan biasa dan tidak lagi menggunakan tank. Ini menyebabkan pasukan koalisi sulit membedakan pasukan Khadafi dengan pasukan oposisi ataupun kendaraan sipil.
Amerika Serikat dikabarkan frustrasi dengan keadaan ini. Apalagi peran militer Amerika di Libya saat ini mulai dibatasi dan kepemimpinan telah diambil alih oleh NATO mulai Rabu kemarin.
Keadaan ini menyebabkan AS menggunakan badan intelijennya, Central Intelligence Agency (CIA), untuk membantu pasukan oposisi melawan Khadafi. "Kami akan menggunakan bantuan intelijen, dan kami sudah memiliki kontak dengan oposisi," kata salah seorang sumber, seperti dikutip dari CNN.
Tapi kabar ini kemudian dibantah oleh Gedung Putih. "Belum ada kebijakan yang dibuat untuk membantu persenjataan kepada oposisi atau kelompok mana pun di Libya," kata juru bicara Gedung Putih, Jay Carney.
Sementara itu, pasukan oposisi mengaku penarikan mundur pasukan sebagai bagian dari strategi yang mereka jalankan. Kolonel Ahmad Bani dari pasukan oposisi mengatakan pasukannya memberi kesempatan kepada pasukan koalisi untuk lebih gencar melakukan serangan udara.
Pasukan oposisi memang terus kehilangan sejumlah kota yang sebelumnya telah dikuasai. Selain melepas Bin Jawad, oposisi juga kehilangan Ras Lanuf dan Brega yang kini jatuh ke tangan pasukan Khadafi. Ajdabiya, di sebelah timur Brega, kini menjadi basis pertahanan mereka. (vivanews)
Tiga Skenario Libya
Efektifitas gempuran ke Libya pasukan koalisi barat kembali dipertanyakan, setelah sepuluh hari gempuran udara koalisi pimpinan NATO gagal melumpuhkan pasukan pendukung pemimpin Libya itu, bahkan pasukan Muammar Khadhafi kemarin berhasil merebut Kota Misrata, Nawfaliyah, Bin Jawwad, dan Ras Lanuf direbut kembali dari para pemberontak. Di Sirte, pasukan Khadhafi menyergap konvoi truk pemberontak di luar kota dan mengepungnya dari padang pasir. Dengan kata lain, tidak mudah menundukkan pasukan Khadafy atau serangan udara yang dilakukan koalisi selama ini masih belum cukup, masih belum mematikan.
Memang sudah banyak mesin perang pasukan Khadafy yang hancur. Namun, menurut citra satelit, Khadafy masih memiliki 20 barak pasukan lengkap dengan tank dan senjata artileri. Kedua puluh barak itu ada di sepanjang pantai Laut Tengah (The New York Times, 29/3).
Henry Boyd, seorang analis militer dari International Institute for Strategic Studies di London, menambahkan, dari sekitar 50.000 tentara yang ada, Khadafy hanya memercayai dua milisi, yang seluruhnya berjumlah sekitar 10.000 personel.
Kedua milisi itu adalah Brigade Ke-32 yang sangat loyal kepada Khamis—salah seorang anak Khadafy yang beberapa hari silam diberitakan tewas—dan Resimen Kesembilan, yang di bawah komando anaknya yang lain, Muatassim. Kedua milisi ini beranggotakan orang-orang dari suku Warfalla, Margaha, dan Qaddafa.
Masih menurut Henry Boyd, sebagian besar milisi itu ada di sekitar Tripoli, ”untuk melindungi Khadafy dari ancaman internal dan bukannya eksternal”. Mereka yang ada di sekitar Khadafy adalah orang-orang satu suku.
Kekhawatiran akan ada ”pembelotan” memang sudah muncul. Khadafy masih mencatat peristiwa tahun 1986. Saat itu salah seorang sepupunya, yang jadi komandan militer, berbeda pendapat, menentang Khadafy. Masalah selesai setelah jasad sang sepupu ditemukan di luar pintu gerbang kompleks Khadafy di Tripoli. Tahun 1993, ada usaha kudeta yang dilakukan para perwira dari suku Warfalla dan Qaddafa. Gagal.
Kemungkinan adanya ”pembelotan” itu menjadi salah satu skenario yang akan mengakhiri rezim Khadafy. Gerald F Seib dalam artikelnya di The Wall Street Journal (29/3) menambahkan, ada tiga skenario lagi. Pertama, meningkatnya tekanan dari luar. Pertemuan para pemimpin dan diplomat dari 40 negara di London hari Selasa lalu adalah salah satu bentuk peningkatan tekanan. Mereka bersepakat untuk menyiapkan pemerintahan dalam pengasingan yang akan mengambil alih pemerintahan Khadafy. Selain itu, juga peningkatan serangan udara untuk melemahkan legitimasi Khadafy.
Kedua, memecah Libya menjadi dua: Libya barat dengan Tripoli sebagai ibu kotanya dan Libya timur dengan Benghazi sebagai ibu kotanya. Ini akhir yang tragis. Ketiga, Khadafy dan anak-anaknya menunggu sampai Barat (koalisi) tak begitu tertarik lagi kepada Libya. Lalu mereka menggempur lagi pasukan oposisi. Bagi Khadafy, tak masalah Libya ada di bawah zona larangan terbang. Saddam Hussein pernah mengalami hal yang sama dan tidak apa-apa.
Semua itu hanyalah skenario, reka-rekaan yang bisa kejadian dan bisa juga meleset. Pemimpin Libya yang saat ini berusia 68 tahun itu sudah mengalami tujuh presiden AS, yang ketika ia mulai berkuasa barangkali Barack Obama masih mahasiswa.
Namun, perlu diingat, Resolusi DK PBB Nomor 1973 tidak memberikan mandat penyingkiran Khadafy, tetapi hanya untuk melindungi rakyat sipil dari serangan tentara Khadafy. Itu saja!! (kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar