Dituduh Intervensi Adili Ba'asyir, MA - KY Saling Tuding
JAKARTA (Berita SuaraMedia) - Mahkamah Agung (MA) menilai Komisi Yudisial (KY) telah melakukan intervensi nyata terhadap majelis hakim yang mengadili Abu Bakar Baasyir. Atas sikap ini, MA sangat menyayangkan sikap KY tersebut.
"Ini bentuk intervensi nyata," kata Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA, Nurhadi, saat konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Nurhadi mengemukakan hal itu terkait dengan komentar Kepala Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY, Suparman Marzuki, bahwa majelis hakim Abu Baasyir ada indikasi melanggar kode etik, terutama terkait penetapan teleconference. Suparman mengatakan hal tersebut setelah mendapat pengaduan Tim Kuasa Baasyir pada Selasa (22/3) lalu.
Menurut Nurhadi, pernyataan tersebut telah masuk ke independensi majelis hakim.
"Ini kan dalam proses persidangan. Ini wilayah independensi majelis hakim yang bersangkutan, tapi KY telah masuk ke dalam itu," katanya.
Nurhadi juga menyatakan bahwa KY dalam berkomentar belum memahami berbagai aturan yang ada.
Ia menyebut, teleconference telah diatur dalam UU, yaitu UU Terorisme dan UU Perlindungan Saksi dan Korban serta Peraturan Pemerintah. Dalam pasal 31 dan 32 UU 23/2003 tentang terorisme, perlindungan yang dilakukan para penegak hukum dari ancaman pribadi dan dan mental.
Selain itu, menurut dia, kerahasiaan identitas saksi dan pemberian keterangan saat pemeriksaaan disidang tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Sementara itu, pasal 9 UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa saksi korban yang merasa dirinya dalam ancaman besar memberikan saksi tanpa kehadiran langsung. Selain itu saksi korban dapat memberikan kesaksian secara tertulis. Hal terakhir adalah saksi korban dapat secara langsung melalui elektronik dengan didampingi pejabat berwenang.
Menanggapi pernyataan MA tersebut, Juru Bicara KY, Asep Rahmat Fadjar, mengatakan bahwa sangat menjunjung tinggi independensi kekuasaan kehakiman.
Dia juga menyatakan, KY selalu menjadikan hal itu salah satu prinsip utama, selain akuntabilitas kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Terkait kasus Baasyir, Asep mengatakan, KY menganggap tidak ada prinsip intervensi yang dilanggar karena sampai saat ini pihaknya baru memutuskan bahwa pengaduan dapat ditindaklanjuti karena ada indikasi penyimpangan perilaku, dan hal itu adalah tanggung jawab KY merespon pengaduan publik.
"Jadi, belum sampai tahap memutuskan ada atau tidak penyimpangan," katanya, melalui layanan pesan singkat per telepon seluler (SMS).
Asep juga mengatakan, surat yang disampaikan KY kepada MA dan ketua pengadilan merupakan salah satu implementasi dari KY untuk menjaga kehormatan hakim secara preventif, karena isinya adalah mengimbau agar MA dan ketua pengadilan intens untuk mengawasi dan membina aparatnya dalam menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan kode etik pedoman perilaku hakim. (fn/ant/dt) www.suaramedia.com
Menurut Nurhadi, pernyataan tersebut telah masuk ke independensi majelis hakim.
"Ini kan dalam proses persidangan. Ini wilayah independensi majelis hakim yang bersangkutan, tapi KY telah masuk ke dalam itu," katanya.
Nurhadi juga menyatakan bahwa KY dalam berkomentar belum memahami berbagai aturan yang ada.
Ia menyebut, teleconference telah diatur dalam UU, yaitu UU Terorisme dan UU Perlindungan Saksi dan Korban serta Peraturan Pemerintah. Dalam pasal 31 dan 32 UU 23/2003 tentang terorisme, perlindungan yang dilakukan para penegak hukum dari ancaman pribadi dan dan mental.
Selain itu, menurut dia, kerahasiaan identitas saksi dan pemberian keterangan saat pemeriksaaan disidang tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Sementara itu, pasal 9 UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa saksi korban yang merasa dirinya dalam ancaman besar memberikan saksi tanpa kehadiran langsung. Selain itu saksi korban dapat memberikan kesaksian secara tertulis. Hal terakhir adalah saksi korban dapat secara langsung melalui elektronik dengan didampingi pejabat berwenang.
Menanggapi pernyataan MA tersebut, Juru Bicara KY, Asep Rahmat Fadjar, mengatakan bahwa sangat menjunjung tinggi independensi kekuasaan kehakiman.
Dia juga menyatakan, KY selalu menjadikan hal itu salah satu prinsip utama, selain akuntabilitas kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Terkait kasus Baasyir, Asep mengatakan, KY menganggap tidak ada prinsip intervensi yang dilanggar karena sampai saat ini pihaknya baru memutuskan bahwa pengaduan dapat ditindaklanjuti karena ada indikasi penyimpangan perilaku, dan hal itu adalah tanggung jawab KY merespon pengaduan publik.
"Jadi, belum sampai tahap memutuskan ada atau tidak penyimpangan," katanya, melalui layanan pesan singkat per telepon seluler (SMS).
Asep juga mengatakan, surat yang disampaikan KY kepada MA dan ketua pengadilan merupakan salah satu implementasi dari KY untuk menjaga kehormatan hakim secara preventif, karena isinya adalah mengimbau agar MA dan ketua pengadilan intens untuk mengawasi dan membina aparatnya dalam menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan kode etik pedoman perilaku hakim. (fn/ant/dt) www.suaramedia.com
"Kami Keluar Saja Harus Pakai Minyak Angin, Apa Bisa Kudeta SBY"
http://www.suaramedia.com/berita-nasional/41243-qkami-keluar-saja-harus-pakai-minyak-angin-apa-bisa-kudeta-sbyq.html
JAKARTA (Berita SuaraMedia) - Isu kudeta yang akan dilakukan oleh sejumlah jenderal purnawirawan TNI dinilai Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD), sangat merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Ketua Umum PPAD Letnan Jenderal Purnawirawan Soeryadi mengatakan, TNI tidak punya watak melakukan kudeta.
"TNI dan keluarga besarnya tidak mengajarkan dan tidak punya watak melakukan kudeta," kata Soeryadi, Kamis (24/3/2011) kemarin.
"TNI dan keluarga besarnya tidak mengajarkan dan tidak punya watak melakukan kudeta," kata Soeryadi, Kamis (24/3/2011) kemarin.
Menurut Soeryadi, isu kudeta yang dikaitkan dengan jenderal purnawirawan sangat merusak persatuan dan kesatuan. Apalagi isu ini pertama kali dimunculkan oleh media asing seperti Al Jazeera. "Kalau Al Jazeera yang buat, saya yakin isu ini dibuat pihak asing," ucapnya.
Pihak asing yang dimaksudnya adalah kalangan reformis global yang kini sedang melaksanakan agendanya di negara-negara Timur Tengah. Kini kalangan reformis global itu, kata Soeryadi, hendak melanjutkan agendanya ke Indonesia.
Menurut Soeryadi, isu kudeta ini sangat mencemarkan nama baik TNI dan keluarga besarnya. Bukan cuma soal kudeta, upaya mencemarkan TNI ini juga dilakukan dengan tudingan keterlibatan jenderal purnawirawan di balik kasus lainnya. Contoh kasus tersebut adalah operasi sajadah terhadap Ahmadiyah di Jawa Barat, penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, serta kerusuhan di Temanggung.
Soeryadi mengakui memang ada kekecewaan yang dilontarkan jenderal purnawirawan terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi dia memastikan itu bukan sikap PPAD. "PPAD tidak kecewa, tapi menghendaki perubahan, namun tidak seperti 1998," kata dia.
Perubahan yang dimaksudnya adalah dikembalikannya agenda dan program pembangunan bangsa sesuai cita-cita Proklamasi berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Keinginan melakukan perubahan itu pun, kata dia, tak akan dilakukan dengan memasuki wilayah politik praktis. Sebab, PPAD bukan organisasi berwatak kekuasaan dan bukan organisasi politik. "Kami ini purnawirawan. Kalau keluar saja harus pakai minyak angin. Makanya isu kudeta itu terlalu jauh," kata dia.
Karena itu yang bisa dilakukan PPAD untuk menghendaki perubahan itu adalah dengan mengajak para kaum muda, memberikan pencerahan akan cita-cita bernegara sebagaimana diharapkan para pendiri negara (founding fathers).
Sementara itu, mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Prof DR Muladi SH, mengatakan bahwa tidak ada tradisi kudeta di Indonesia terhadap pemerintahan yang sah.
Sementara itu, mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Prof DR Muladi SH, mengatakan bahwa tidak ada tradisi kudeta di Indonesia terhadap pemerintahan yang sah.
"Saya tak yakin ada upaya kudeta yang dilakukan oleh sejumlah purnawirawan TNI," kata Muladi usai menjadi pembicara seminar yang bertajuk Strategi Kebudayaan untuk Kepemimpinan Masa Depan Bangsa Indonesia, di Pusat Studi Jepang (PSJ) Universitas Indonesia (UI) Depok, Kamis.
Tampil sebagai pembicara dalam seminar yang digagas oleh Yayasan Suluh Nuswantara Bakti dengan Pembina Pontjo Sutowo, selain Muladi, adalah sosiolog Paulus Wirutomo, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dan budayawan Mohammad Sobari.
Muladi mengemukakan hal itu berkaitan dengan pemberitaan televisi Al Jazeera yang melaporkan adanya sejumlah purnawirawan jenderal bintang tiga di Indonesia di balik gerakan anti-Ahmadiyah dan kekerasan terhadap jemaatnya.
Para jenderal itu diam-diam mendukung organisasi itu karena memiliki tujuan sama, yakni menjatuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari kekuasaannya.
Muladi menilai, tidak ada kekuatan bersenjata yang memadai untuk menjatuhkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu juga doktrin TNI juga menegaskan bahwa tentara tidak masuk dalam ranah politik.
Namun, Muladi mengakui, memang ada beberapa kelompok yang tidak puas terhadap pemerintahan yang ada saat ini. "Cara yang mereka sampaikan memang ada keras dan juga ada yang halus," jelasnya.
Menurut dia, jika ada kelompok yang tidak puas dengan pemerintah maka harus dilakukan dengan cara-cara demokratis. "Jangan sampai merusak tatanan demokrasi yang sedang dibangun," ujarnya.
Ia juga menilai bahwa aksi-aksi kerusuhan diberbagai daerah dan juga teror bom yang sering terjadi dan berakibat meresahkan masyarakat bukan bagian dari upaya membuat pemerintahan lemah.
"Saya tidak yakin ini semua bagian dari rekayasa," katanya.
Untuk itu ia mengharapkan pemerintah lebih tegas lagi dalam menangani para pelaku terorisme dan juga korupsi. "Saat ini pemerintah perlu melakukan ketegasan yang terukur dan sistematis," katanya. (fn/tm/ant) www.suaramedia.com
Tampil sebagai pembicara dalam seminar yang digagas oleh Yayasan Suluh Nuswantara Bakti dengan Pembina Pontjo Sutowo, selain Muladi, adalah sosiolog Paulus Wirutomo, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dan budayawan Mohammad Sobari.
Muladi mengemukakan hal itu berkaitan dengan pemberitaan televisi Al Jazeera yang melaporkan adanya sejumlah purnawirawan jenderal bintang tiga di Indonesia di balik gerakan anti-Ahmadiyah dan kekerasan terhadap jemaatnya.
Para jenderal itu diam-diam mendukung organisasi itu karena memiliki tujuan sama, yakni menjatuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari kekuasaannya.
Muladi menilai, tidak ada kekuatan bersenjata yang memadai untuk menjatuhkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu juga doktrin TNI juga menegaskan bahwa tentara tidak masuk dalam ranah politik.
Namun, Muladi mengakui, memang ada beberapa kelompok yang tidak puas terhadap pemerintahan yang ada saat ini. "Cara yang mereka sampaikan memang ada keras dan juga ada yang halus," jelasnya.
Menurut dia, jika ada kelompok yang tidak puas dengan pemerintah maka harus dilakukan dengan cara-cara demokratis. "Jangan sampai merusak tatanan demokrasi yang sedang dibangun," ujarnya.
Ia juga menilai bahwa aksi-aksi kerusuhan diberbagai daerah dan juga teror bom yang sering terjadi dan berakibat meresahkan masyarakat bukan bagian dari upaya membuat pemerintahan lemah.
"Saya tidak yakin ini semua bagian dari rekayasa," katanya.
Untuk itu ia mengharapkan pemerintah lebih tegas lagi dalam menangani para pelaku terorisme dan juga korupsi. "Saat ini pemerintah perlu melakukan ketegasan yang terukur dan sistematis," katanya. (fn/tm/ant) www.suaramedia.com
"Meski Hanya Rumor, Jangan Anggap Remeh Kudeta"
JAKARTA (Berita SuaraMedia) - Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar, Akbar Tandjung mengaku tidak yakin pada berita mengenai sejumlah purnawirawan TNI yang hendak menggulingkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu isu yang mencuat dalam pemberitaan ini adalah Dewan Revolusi Islam.Jika pun keberadaan Dewan Revolusi itu benar, Akbar yakin para purnawirawan itu tidak bakal melakukan kudeta. "Saya enggak percaya akan ada kudeta. Saya enggak yakin para perwira itu akan melakukan itu, apalagi dengan cara yang tidak konstitusional," katanya kepada wartawan di sela-sela rangkaian peringatan HUT ke-43 Fraksi Partai Golkar DPR RI di Islamic Center, Jakarta, Jumat (25/3/ 2011).
Mengenai beberapa purnawirawan yang belakangan ini bersikap kritis, Akbar menduga lantaran mereka kecewa atau tidak puas pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Mungkin karena [mereka menilai] pemerintah tidak tegas."
Sebab, dia menambahkan, meski sudah tidak aktif sebagai TNI, "Mereka juga orang-orang yang turut mencermati kehidupan berbangsa dan bernegara ini."
Meski begitu, Akbar mendesak pemerintah tidak ragu menindak tegas jika ada gerakan atau kelompok yang mengancam pemerintahan yang sah, atau terhadap kedaulatan negara. Presiden pun tidak boleh membiarkan ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja dan terang-terangan berniat menggulingkan pemerintah.
Ia mencontohkan pernyataan sebuah ormas beberapa waktu lalu yang secara terbuka mengancam akan melakukan revolusi untuk menggulingkan Presiden. "Itu kan jelas bertentangan dengan konstitusi, dengan undang-undang, dengan peraturan. Pemerintah jangan ragu. Tindak tegas saja kalau sudah begitu," ujar mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar itu.
Menurut dia, pemimpin memang harus berhati-hati, tapi, dalam kondisi-kondisi tertentu harus tegas. "Apalagi, misalnya, menyangkut soal konstitusi, kebhinekaan, kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila dan Undang-Undang Dasar."
Meski begitu, Akbar mendesak pemerintah tidak ragu menindak tegas jika ada gerakan atau kelompok yang mengancam pemerintahan yang sah, atau terhadap kedaulatan negara. Presiden pun tidak boleh membiarkan ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja dan terang-terangan berniat menggulingkan pemerintah.
Ia mencontohkan pernyataan sebuah ormas beberapa waktu lalu yang secara terbuka mengancam akan melakukan revolusi untuk menggulingkan Presiden. "Itu kan jelas bertentangan dengan konstitusi, dengan undang-undang, dengan peraturan. Pemerintah jangan ragu. Tindak tegas saja kalau sudah begitu," ujar mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar itu.
Menurut dia, pemimpin memang harus berhati-hati, tapi, dalam kondisi-kondisi tertentu harus tegas. "Apalagi, misalnya, menyangkut soal konstitusi, kebhinekaan, kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila dan Undang-Undang Dasar."
Sebelumnya, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwoprandjono membantah termasuk dalam deretan purnawirawan jenderal yang mendukung anti Ahmadiyah, dan berniat mengkudeta pemerintah. "Menurut saya itu hanya isu pasaran yang tidak perlu ditanggapi," tulis Muchdi.
Pemimpin Gerakan Reformasi Islam (Garis), Chep Hernawan, menuturkan sejumlah purnawirawan mendukung secara moril gerakan anti-ahmadiyah. Sejumlah nama yang terlibat antara lain kata dia kemarin: "Tyasno, Fahrurazi, Kivlan Zein, Aditya Warman, Muchdi PR," . Sementara itu televisi berita Al-Jazeera menurunkan laporan upaya penggulingan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh para jenderal dengan mendukung gerakan anti-Ahmadiyah. Pemboncengan purnawiran jenderal dengan gerakan anti-Ahmadiyah, tujuannya sama untuk menjatuhkan Presiden.
Muchdi menjelaskan, isu-isu penggulingan hanya menghabiskan energi dan waktu. "Masih banyak masalah yang perlu jadi perhatian," ujarnya. Lagipula, Ia melanjutkan, tak mengenal Chep Hernawan. "Tidak kenal dan tidak berkomunikasi dengan dia," jelasnya.
Mengenai Ahmadiyah, bagi Muchdi, sebagai umat Islam perlu dipertanyakan keislamannya jika masih membiarkan Ahmadiyah. "Rela tidak Al-Quran diacak-acak, rela tidak ada yang mengaku Nabi setelah Muhammad SAW," ujarnya. "Kalau rela, berarti harus belajar Islam lagi."
Sementara itu, berita mengenai adanya rencana untuk menjatuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tidak berdasarkan fakta. Berita itu pun digolongkan tidak berbeda jauh dengan rumor.
Pemimpin Gerakan Reformasi Islam (Garis), Chep Hernawan, menuturkan sejumlah purnawirawan mendukung secara moril gerakan anti-ahmadiyah. Sejumlah nama yang terlibat antara lain kata dia kemarin: "Tyasno, Fahrurazi, Kivlan Zein, Aditya Warman, Muchdi PR," . Sementara itu televisi berita Al-Jazeera menurunkan laporan upaya penggulingan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh para jenderal dengan mendukung gerakan anti-Ahmadiyah. Pemboncengan purnawiran jenderal dengan gerakan anti-Ahmadiyah, tujuannya sama untuk menjatuhkan Presiden.
Muchdi menjelaskan, isu-isu penggulingan hanya menghabiskan energi dan waktu. "Masih banyak masalah yang perlu jadi perhatian," ujarnya. Lagipula, Ia melanjutkan, tak mengenal Chep Hernawan. "Tidak kenal dan tidak berkomunikasi dengan dia," jelasnya.
Mengenai Ahmadiyah, bagi Muchdi, sebagai umat Islam perlu dipertanyakan keislamannya jika masih membiarkan Ahmadiyah. "Rela tidak Al-Quran diacak-acak, rela tidak ada yang mengaku Nabi setelah Muhammad SAW," ujarnya. "Kalau rela, berarti harus belajar Islam lagi."
Sementara itu, berita mengenai adanya rencana untuk menjatuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tidak berdasarkan fakta. Berita itu pun digolongkan tidak berbeda jauh dengan rumor.
Demikian disampaikan Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring, seusai menghadiri rapat di Kantor Wakil Presiden.
”Kadang-kadang berita dibuat sensasional, tetapi faktanya tidak ada. Jadi, menurut saya, itu rumor saja,” ujar Tifatul.
Selasa lalu stasiun televisi Al Jazeera menayangkan laporan yang menyebutkan bahwa sejumlah purnawirawan TNI berupaya menjatuhkan Presiden. Mereka menggunakan grup Islam garis keras untuk mencapai tujuan.
Para purnawirawan, disebutkan dalam laporan Al Jazeera, merasa tidak puas dengan kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Presiden Indonesia pertama yang dipilih secara langsung ini dianggap terlalu reformis dan sering melakukan kebohongan.
”Jadi, jangan itu menjadi sesuatu yang terlalu dianggap serius. Al Jazeera mengangkat laporan itu, silakan saja. Namun, kenyataannya tidak ada,” ujar Tifatul.
Ia menegaskan, pemerintah tidak akan melakukan tindakan apa pun terhadap Al Jazeera terkait pemberitaan seputar para purnawirawan TNI yang tidak puas tersebut.
”Ya, namanya juga berita. Selama berita itu tidak menyalahi peraturan perundangan di negara ini, kita tidak bisa melakukan apa-apa,” kata Tifatul. (fn/vs/tm/km) www.suaramedia.com
Amien Rais Ungkap SBY Bakal Menghadapi Masalah Yang Lebih Besar
BANDUNG (Berita SuaraMedia) - Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terlalu lamban menyelesaikan sejumlah masalah besar. Kelambanan itu yang menyebabkan legitimasi pemerintah terguncang. "Kritik saya, memang SBY terlalu lamban," ujarnya di Bandung, hari ini Jumat (25/3/2011).
Menurut pendiri Partai Amanat Nasional ini, di sisa akhir jabatannya yang masih 3,5 tahun lagi, kepemimpinan SBY bakal mengalami ujian dan masih banyak masalah untuk diselesaikan. Namun sejauh ini, masalah politik seperti tarik ulur koalisi dan batalnya perombakan (reshuffle) kabinet, hanya menyedot energi nasional tanpa penyelesaian.
"Bangsa digiring untuk berfikir mau ada apa-apa, tapi kemudian berakhir dengan tidak ada apa-apa," kata Amien, yang ditemui usai acara Konferensi Energi Nasional Mahasiswa Indonesia di Aula Barat Institut Teknologi Bandung.
Walau begitu, ia tak sepakat dengan wacana penggulingan Presiden SBY. Alasan Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Amanat Nasional itu, SBY mendapat legitimasi kuat dari 60 persen rakyat pemilihnya. "Menurut saya kudeta tidak realistis, apalagi ada dewan-dewanan segala," katanya.
Soal tersiarnya daftar Dewan Revolusi Islam, Amien juga menyangsikannya sebagai sebuah gerakan serius untuk mengkudeta pemerintahan. Ia menilai daftar nama di dalamnya hanya ulah orang iseng yang ditangkap media sehingga menjadi isu besar. "Karena semua orang (dalam daftar) yang ditanya kan tidak tahu menahu," ujar Amien.
Karena itu untuk menjawab rumor dan masalah di sekitarnya, Amien meminta SBY membuat terobosan di bidang hukum dan pemberantasan korupsi. "Mandat rakyat yang kuat harusnya dipakai untuk itu."
Sebelumnya, SBY mengingatkan agar ada keseimbangan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Segala sesuatu jangan hanya dilihat dari aspek politik saja.
"Sebagai kepala negara, saya wajib mengajak rakyat agar hidup dan kehidupan di negeri ini dibangun, dijalankan lebih berimbang," kata SBY saat memberikan sambutan dalam peresmian OSO Sport Center di Bekasi, Jawa Barat.
SBY mengatakan, politik memang penting dan tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, jangan sampai politik lebih mendominasi dibanding aspek lain.
"Kerap kali kehidupan kita ini sangat diwarnai oleh yang serba politik. Memang politik itu penting dan tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi kalau semuanya serba politik, maka yang ada hanya menang dan kalah," jelas SBY.
Demikian juga halnya dalam dunia bisnis. Menurut SBY, jika semua hal dikaitkan dengan bisnis, yang ada hanyalah untung dan rugi.
"Demikian juga kalau dibawa ke serba bisnis, yang ada hanya untung rugi," katanya menambahkan.
Oleh karena itu, SBY menekankan pentingnya menjaga keseimbangan semua aspek yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, tidak hanya politik dan bisnis saja, melainkan ada hal lain yang perlu diperhatikan juga, yakni terkait dengan olahraga dan seni budaya.
"Politik, bisnis, itu mainstream kehidupan kita. Saya hanya berharap ada sisi lain yang dibangun, yaitu dunia olahraga dan seni budaya," tutup SBY.
Setiap atlet juga selalu mengevaluasi kesalahan, sehingga bisa menang dalam pertandingan selanjutnya. Presiden menegaskan, olahragawan yang sportif dan ksatria tidak akan merebut piala yang telah dimenangkan oleh lawan.
"Tidak ada pemain olahraga begitu pialanya diambil orang lain, kita berbondong-bondong merebut piala itu di tengah jalan atau melempari rumah sang juara," demikian Presiden Yudhoyono. (fn/tm/dt/ant) www.suaramedia.com
"Sebagai kepala negara, saya wajib mengajak rakyat agar hidup dan kehidupan di negeri ini dibangun, dijalankan lebih berimbang," kata SBY saat memberikan sambutan dalam peresmian OSO Sport Center di Bekasi, Jawa Barat.
SBY mengatakan, politik memang penting dan tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, jangan sampai politik lebih mendominasi dibanding aspek lain.
"Kerap kali kehidupan kita ini sangat diwarnai oleh yang serba politik. Memang politik itu penting dan tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi kalau semuanya serba politik, maka yang ada hanya menang dan kalah," jelas SBY.
Demikian juga halnya dalam dunia bisnis. Menurut SBY, jika semua hal dikaitkan dengan bisnis, yang ada hanyalah untung dan rugi.
"Demikian juga kalau dibawa ke serba bisnis, yang ada hanya untung rugi," katanya menambahkan.
Oleh karena itu, SBY menekankan pentingnya menjaga keseimbangan semua aspek yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, tidak hanya politik dan bisnis saja, melainkan ada hal lain yang perlu diperhatikan juga, yakni terkait dengan olahraga dan seni budaya.
"Politik, bisnis, itu mainstream kehidupan kita. Saya hanya berharap ada sisi lain yang dibangun, yaitu dunia olahraga dan seni budaya," tutup SBY.
Setiap atlet juga selalu mengevaluasi kesalahan, sehingga bisa menang dalam pertandingan selanjutnya. Presiden menegaskan, olahragawan yang sportif dan ksatria tidak akan merebut piala yang telah dimenangkan oleh lawan.
"Tidak ada pemain olahraga begitu pialanya diambil orang lain, kita berbondong-bondong merebut piala itu di tengah jalan atau melempari rumah sang juara," demikian Presiden Yudhoyono. (fn/tm/dt/ant) www.suaramedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar