Merunut Ketegangan Dua Raja Jawa
Deden Gunawan - detikNews
Jakarta - SBY sempat berkantor di Gedung Agung Yogyakarta saat terjadi bencana gempa bumi dan letusan Merapi, tidak jauh dari Keraton Sultan Hamengku Buwono X. Tapi keduanya tidak mau saling berkunjung. Mereka saling bermanuver mempertahankan pandangannya masing-masing. Jika tidak berhenti, rakyat yang mendapat dampaknya.
Sultan Hamengku Buwono X (HB X) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) punya kesamaan. Sultan HB X adalah Raja Jawa yang masih eksis sekaligus pemimpin politik di tanah Yogyakarta. Sementara SBY adalah seorang Presiden Indonesia dengan gaya kepemimpinan ala Raja Jawa. Cara bertutur SBY, berpenampilan, dan memainkan kekuasaannya, khas Raja Jawa. Jangan heran bila SBY disebut sebagai "Raja Jawa".
Kedua tokoh itu mulai saling berkenalan pada 1995, yakni ketika SBY bertugas di Yogyakarta sebagai Komandan Korem 073/Pamungkas yang berkedudukan di daerah tersebut. "Saat bertugas di Yogyakarta, HB X dan SBY mulai bersahabat," ujar kerabat Keraton Ngayogyakarta kepada detikcom.
Tapi belakangan hubungan HB X dan SBY pelan-pelan merenggang. Sejak SBY menjadi presiden pada Oktober 2004, kedua tokoh jarang berkomunikasi. Hubungan tidak harmonis ini mulai terlihat ketika SBY berkantor di Gedung Agung, Yogyakarta, saat wilayah tersebut digoyang gempa 2006 silam.
SBY saat itu beralasan ngantor di Gedung Agung supaya bisa menangani secara langsung penanganan tanggap darurat di wilayah tersebut. SBY kala itu juga tidak meminta pelayanan dari aparat pemda setempat dengan alasan sudah punya perangkat sendiri yang dibawa dari Jakarta. Beberapa kalangan menduga, SBY ngantor di Yogyakarta lantaran ada hambatan komunikasi antara orang nomor satu di RI dengan orang nomor satu di Yogyakarta.
Dugaan itu semakin menguat ketika terjadi bencana letusan Merapi. Sejak Merapi memuntahkan awan dan debu panas, 26 Oktober 2010 lalu, SBY kembali berkantor di Gedung Agung, Yogyakarta. Padahal saat bencana banjir bandang di Wasior, Papua, dan gempa dan tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, SBY tidak memindahkan aktifitas pemerintahan ke dua wilayah tersebut.
Saat berkantor di Yogyakarta, HB X pun tidak pernah mampir ke Gedung Agung. Begitu juga sebaliknya, SBY tidak pernah berkunjung ke Keraton. Padahal jarak Gedung Agung dan Keraton hanya beberapa meter saja. Keduanya hanya terlihat bersama di barak pengungsian di Desa Purwobinagun, Pakem, Sleman, 5 November 2010.
Mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung menduga, ketidakharmonisan itu mungkin saja disebabkan tugas-tugas pemerintahan DIY yang kurang sejalan dengan pemerintah pusat. "Mungkin itu juga mempengaruhi hubungan antara presiden dengan sultan," ujar Akbar. Menurutnya, terlihat ada masalah komunikasi Presiden dengan Sultan.
Bukan hanya tidak harmonis, di antara SBY dan HB X juga terjadi perbedaan pandangan dan bahkan perselisihan. Pernyataan SBY tentang sistem monarki yang bertentangan dengan konstitusi, diangap banyak kalangan sebagai serangan terbuka terhadap pribadi HB X.
Bila dirunut ke belakang perbedaan pandangan dan perselisihan SBY dan HB X, muncul beberapa waktu setelah SBY dilantik menjadi Presiden pada Okotber 2004. Saat itu, pemerintahan SBY mengeluarkan draf RUU Keistimewaan Yogyakarta (RUUK DIY) bikinan Depdagri.
Salah satu isi penting dari draf ini adalah ketentuan bahwa gubernur dan wakil gubernur dipilih secara langsung. Sementara Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualam hanya ditempatkan sebagai Parardhya, petinggi adat.
Draf RUU DIY tersebut mendapat tentangan dari Keraton Yogyakarta dengan membentuk Tim 9, yang diketuai adik kandung Sultan, KGPH Joyokusumo. Tim ini bertugas membuat draf RUUK DIY versi Keraton. Isi draf tersebut intinya meminta bentuk pemerintahan dan suksesi di DIY selaras dengan UU No 3/1950, yang menempatkan Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam secara langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur di DIY.
Nah, penentangan dari pihak Keraton ini mungkin dianggap sebagai tindakan perlawanan Keraton terhadap pemerintah pusat. Dan sayangnya sampai sekarang kedua belah pihak saling berkeras dengan pendapatnya masing-masing. Akibat masalah itu hubungan SBY dan HB X dinilai menjadi buruk.
Protes terhadap pemerintah pusat secara halus pernah dilakukan Sultan sewaktu Wiyosan Dalem atau HUT ke-61 pada 7 April 2007. Sultan dalam orasi budayanya menegaskan tidak bersedia lagi menjabat gubernur, setelah selesai masa jabatannya pada tanggal 9 Oktober 2008. Saat itu banyak kalangan memprediksi Sultan akan terjun ke kancah politik nasional, menjadi calon presiden atau wakil presiden dalam Pemilu Presiden 2009.
Setelah orasi budaya itu, sekitar satu juta rakyat Yogyakarta langsung mengadakan pisowanan agung (rapat akbar) pada 18 April 2007. Mereka mendesak agar Sultan Ygoyakarta dan Adipati Pakualam tetap sebagai dwitunggal gubernur-wagub DIY.
Rupanya SBY tidak mau kalah dengan manuver yang dilakukan Sultan. Setahun kemudian, 29 November 2008, SBY mengumpulkan raja-raja di Nusantara yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Keraton se-Nusantara (FSKN), di Istana. Saat itu SBY hanya mengundang 57 raja se-Indonesia. Sementara HB X selaku Sultan Yogyakarta tidak diundang.
Kini, dua tokoh itu kembali bersitegang. SBY menganggap pemerintahan Yogyakarta yang dipimpin HB X sebagi bentuk monarki. Sementara HB X menganggap apa yang dijalankannya selama ini sesuai konstitusi dan undang-undang.
Bagi RH Heru Wahyukismoyo, salah seorang kerabat keraton, pertarungan dua elit ini mengingatkan pada cerita tentang Aji Saka, sebagai simbol pusaka bernilai tinggi atau tiang kebenaran.
Dalam kisahnya, Aji Saka mempunyai dua orang abdi bernama Dora dan Sembada. Suatu ketika Sang Aji Saka mengutus salah satu abdinya untuk mengambil pusaka yang dititipkan pada salah satu abdinya. Padahal pada abdi yang dititipi pusaka dia berpesan agar pusaka tadi tidak boleh diberikan kepada siapapun.
Akhirnya terjadilah pertempuran sengit antara kedua abdi tadi: yang satu bersikeras menjaga pusaka karena itu atas perintah Aji Saka, yang satu lagi bersikeras mengambil pusaka karena itu juga perintah Aji Saka. Karena kedua abdi ini punya kesaktian yang seimbang keduanya akhirnya mati dalam pertarungan tersebut.
Peristiwa itu, kata Wahyukismoyo, kemudian diabadian oleh Aji Saka dalam tulisan Jawa Kuno yang berbunyi: ha-na-ca-ra-ka (ada utusan), da-ta-sa-wa-la (saling bertikai berebut benar), pa-da ja-ya-nya (masing-masing sama kuatnya), ma-ga-ba-tha-nga (akhirnya masing-masing menjadi bangkai).
Nah, dalam konteks kontroversi RUUK DIY, Wahyukismoyo mengatakan, apabila abdi negara (presiden) melawan abdi budaya (raja) sama-sama mempertahankan kebenaran menurut versinya masing-masing, tanpa mau memahami filosofi ajaran Aji Saka sebagai amanat tiang kebenaran, berupa Undang-undang Dasar, maka dikhawatirkan akan terjadi konflik horizontal maupun vertikal.
"Karena konflik tersebut keduanya (HB X dan SBY) bisa menjadi korban. Jadi sebaiknya soal Keistimewaan DIY kembalikan saja seperti semula. Jangan diusik-usik lagi," tegasnya.
http://www.detiknews.com/read/2010/12/06/133314/1509877/159/merunut-ketegangan-dua-raja-jawa?
(ddg/diks)
Sultan Hamengku Buwono X (HB X) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) punya kesamaan. Sultan HB X adalah Raja Jawa yang masih eksis sekaligus pemimpin politik di tanah Yogyakarta. Sementara SBY adalah seorang Presiden Indonesia dengan gaya kepemimpinan ala Raja Jawa. Cara bertutur SBY, berpenampilan, dan memainkan kekuasaannya, khas Raja Jawa. Jangan heran bila SBY disebut sebagai "Raja Jawa".
Kedua tokoh itu mulai saling berkenalan pada 1995, yakni ketika SBY bertugas di Yogyakarta sebagai Komandan Korem 073/Pamungkas yang berkedudukan di daerah tersebut. "Saat bertugas di Yogyakarta, HB X dan SBY mulai bersahabat," ujar kerabat Keraton Ngayogyakarta kepada detikcom.
Tapi belakangan hubungan HB X dan SBY pelan-pelan merenggang. Sejak SBY menjadi presiden pada Oktober 2004, kedua tokoh jarang berkomunikasi. Hubungan tidak harmonis ini mulai terlihat ketika SBY berkantor di Gedung Agung, Yogyakarta, saat wilayah tersebut digoyang gempa 2006 silam.
SBY saat itu beralasan ngantor di Gedung Agung supaya bisa menangani secara langsung penanganan tanggap darurat di wilayah tersebut. SBY kala itu juga tidak meminta pelayanan dari aparat pemda setempat dengan alasan sudah punya perangkat sendiri yang dibawa dari Jakarta. Beberapa kalangan menduga, SBY ngantor di Yogyakarta lantaran ada hambatan komunikasi antara orang nomor satu di RI dengan orang nomor satu di Yogyakarta.
Dugaan itu semakin menguat ketika terjadi bencana letusan Merapi. Sejak Merapi memuntahkan awan dan debu panas, 26 Oktober 2010 lalu, SBY kembali berkantor di Gedung Agung, Yogyakarta. Padahal saat bencana banjir bandang di Wasior, Papua, dan gempa dan tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, SBY tidak memindahkan aktifitas pemerintahan ke dua wilayah tersebut.
Saat berkantor di Yogyakarta, HB X pun tidak pernah mampir ke Gedung Agung. Begitu juga sebaliknya, SBY tidak pernah berkunjung ke Keraton. Padahal jarak Gedung Agung dan Keraton hanya beberapa meter saja. Keduanya hanya terlihat bersama di barak pengungsian di Desa Purwobinagun, Pakem, Sleman, 5 November 2010.
Mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung menduga, ketidakharmonisan itu mungkin saja disebabkan tugas-tugas pemerintahan DIY yang kurang sejalan dengan pemerintah pusat. "Mungkin itu juga mempengaruhi hubungan antara presiden dengan sultan," ujar Akbar. Menurutnya, terlihat ada masalah komunikasi Presiden dengan Sultan.
Bukan hanya tidak harmonis, di antara SBY dan HB X juga terjadi perbedaan pandangan dan bahkan perselisihan. Pernyataan SBY tentang sistem monarki yang bertentangan dengan konstitusi, diangap banyak kalangan sebagai serangan terbuka terhadap pribadi HB X.
Bila dirunut ke belakang perbedaan pandangan dan perselisihan SBY dan HB X, muncul beberapa waktu setelah SBY dilantik menjadi Presiden pada Okotber 2004. Saat itu, pemerintahan SBY mengeluarkan draf RUU Keistimewaan Yogyakarta (RUUK DIY) bikinan Depdagri.
Salah satu isi penting dari draf ini adalah ketentuan bahwa gubernur dan wakil gubernur dipilih secara langsung. Sementara Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualam hanya ditempatkan sebagai Parardhya, petinggi adat.
Draf RUU DIY tersebut mendapat tentangan dari Keraton Yogyakarta dengan membentuk Tim 9, yang diketuai adik kandung Sultan, KGPH Joyokusumo. Tim ini bertugas membuat draf RUUK DIY versi Keraton. Isi draf tersebut intinya meminta bentuk pemerintahan dan suksesi di DIY selaras dengan UU No 3/1950, yang menempatkan Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam secara langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur di DIY.
Nah, penentangan dari pihak Keraton ini mungkin dianggap sebagai tindakan perlawanan Keraton terhadap pemerintah pusat. Dan sayangnya sampai sekarang kedua belah pihak saling berkeras dengan pendapatnya masing-masing. Akibat masalah itu hubungan SBY dan HB X dinilai menjadi buruk.
Protes terhadap pemerintah pusat secara halus pernah dilakukan Sultan sewaktu Wiyosan Dalem atau HUT ke-61 pada 7 April 2007. Sultan dalam orasi budayanya menegaskan tidak bersedia lagi menjabat gubernur, setelah selesai masa jabatannya pada tanggal 9 Oktober 2008. Saat itu banyak kalangan memprediksi Sultan akan terjun ke kancah politik nasional, menjadi calon presiden atau wakil presiden dalam Pemilu Presiden 2009.
Setelah orasi budaya itu, sekitar satu juta rakyat Yogyakarta langsung mengadakan pisowanan agung (rapat akbar) pada 18 April 2007. Mereka mendesak agar Sultan Ygoyakarta dan Adipati Pakualam tetap sebagai dwitunggal gubernur-wagub DIY.
Rupanya SBY tidak mau kalah dengan manuver yang dilakukan Sultan. Setahun kemudian, 29 November 2008, SBY mengumpulkan raja-raja di Nusantara yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Keraton se-Nusantara (FSKN), di Istana. Saat itu SBY hanya mengundang 57 raja se-Indonesia. Sementara HB X selaku Sultan Yogyakarta tidak diundang.
Kini, dua tokoh itu kembali bersitegang. SBY menganggap pemerintahan Yogyakarta yang dipimpin HB X sebagi bentuk monarki. Sementara HB X menganggap apa yang dijalankannya selama ini sesuai konstitusi dan undang-undang.
Bagi RH Heru Wahyukismoyo, salah seorang kerabat keraton, pertarungan dua elit ini mengingatkan pada cerita tentang Aji Saka, sebagai simbol pusaka bernilai tinggi atau tiang kebenaran.
Dalam kisahnya, Aji Saka mempunyai dua orang abdi bernama Dora dan Sembada. Suatu ketika Sang Aji Saka mengutus salah satu abdinya untuk mengambil pusaka yang dititipkan pada salah satu abdinya. Padahal pada abdi yang dititipi pusaka dia berpesan agar pusaka tadi tidak boleh diberikan kepada siapapun.
Akhirnya terjadilah pertempuran sengit antara kedua abdi tadi: yang satu bersikeras menjaga pusaka karena itu atas perintah Aji Saka, yang satu lagi bersikeras mengambil pusaka karena itu juga perintah Aji Saka. Karena kedua abdi ini punya kesaktian yang seimbang keduanya akhirnya mati dalam pertarungan tersebut.
Peristiwa itu, kata Wahyukismoyo, kemudian diabadian oleh Aji Saka dalam tulisan Jawa Kuno yang berbunyi: ha-na-ca-ra-ka (ada utusan), da-ta-sa-wa-la (saling bertikai berebut benar), pa-da ja-ya-nya (masing-masing sama kuatnya), ma-ga-ba-tha-nga (akhirnya masing-masing menjadi bangkai).
Nah, dalam konteks kontroversi RUUK DIY, Wahyukismoyo mengatakan, apabila abdi negara (presiden) melawan abdi budaya (raja) sama-sama mempertahankan kebenaran menurut versinya masing-masing, tanpa mau memahami filosofi ajaran Aji Saka sebagai amanat tiang kebenaran, berupa Undang-undang Dasar, maka dikhawatirkan akan terjadi konflik horizontal maupun vertikal.
"Karena konflik tersebut keduanya (HB X dan SBY) bisa menjadi korban. Jadi sebaiknya soal Keistimewaan DIY kembalikan saja seperti semula. Jangan diusik-usik lagi," tegasnya.
http://www.detiknews.com/read/2010/12/06/133314/1509877/159/merunut-ketegangan-dua-raja-jawa?
(ddg/diks)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar