Senin, 20/12/2010 14:11 WIB
Menghadang Kekuatan Politik Baru (1)
UU Parpol: Mempertahankan Posisi, Mengabaikan Konstitusi
Didik Supriyanto - detikNews
Menghadang Kekuatan Politik Baru (1)
UU Parpol: Mempertahankan Posisi, Mengabaikan Konstitusi
Didik Supriyanto - detikNews
http://www.detiknews.com/read/2010/12/20/141150/1528912/159/uu-parpol-mempertahankan-posisi-mengabaikan-konstitusi?nd992203605
Jakarta - Revisi terhadap UU No 2/2008 tentang Partai Politik bagaikan kilat. Berbeda dengan pembahasan undang-undang bidang politik lain yang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih satu tahun, pembahasan undang-undang partai politik selesai dalam hitungan beberapa pekan. DPR mengajukan ke pemerintah RUU Perubahan UU No 2/2008 akhir November lalu. Dan Jumat (17/12/2010) lalu, RUU itu disahkan.
Memang tidak banyak yang berubah dari undang-undang lama. Persyaratan pembentukan partai politik menjadi isu utama. Tapi pada isu ini pun DPR dan Pemerintah cepat bersepakat: memperketat persyaratan pembentukan partai politik. Jika sebelumnya 50 orang berkumpul bisa membentuk partai politik, kini 50 orang tersebut harus didukung 30 orang di setiap provinsi.
Tidak hanya itu, pada setiap provinsi harus memiliki kepengurusan di 75% kabupaten/kota, dan pada setiap kabupaten/kota memiliki pengurus di 50% kecamatan. Partai baru juga harus memiliki kantor tetap, berlaku sampai pemilu berakhir, pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. Itu artinya, orang-orang yang berniat membentuk partai, butuh dana sangat besar.
Mengapa DPR dan pemerintah mempersulit pembentukan partai politik? Bukankah hal ini melanggar hak dasar warga negara, atau setidaknya mempersulit warga negara dalam berserikat dan berkumpul, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 UU 1945? UU Partai Politik yang baru ini memang berpotensi dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Banyaknya undang-undang yang ketentuannya dibatalkan MK, rupanya tidak membuat DPR dan pemerintah berhati-hati dalam merumuskan kebijakan dan bentuk pengaturan undang-undang. Mereka dinilai mempertaruhkan kredibilitas lembaga karena terobsesi mengedepankan kepentingan sendiri.
Pengutamaan kepentingan pembuat undang-undang seringkali mengabaikan kemashalatan rakyat yang dijamin konstitusi. Kepentingan itu semakin tak terhindari karena undang-undang partai politik (juga undang-undang bidang politik lainnya, seperti undang-undang pemilu dan parlemen) mengatur partai politik.
DPR dan pemerintah mestinya bersikap netral terhadap semua kepentingan yang kerkecamuk dalam pembuatan undang-undang. Namun karena DPR dan pemerintah hakekatnya adalah kumpulan orang-orang partai politik, maka konflik kepentingan tak terhindarkan: atas nama DPR dan pemerintah mereka melindungi kepentingan partai politik yang kini berkuasa.
Tak pelak lagi, pengetatan pendirian partai politik tujuannya tidak lain adalah untuk mempertahankan status quo, agar sembilan partai yang kini berkuasa, tidak diganggu oleh hadirnya partai baru. Demi terus mengangkangi DPR dan pemerintahan, mereka mau mengambil risiko untuk berhadapan dengan MK.
Di sisi lain, perubahan UU No 2/2008 tetap mempertahankan mekanisme yang tidak transparan dalam pengaturan dana partai politik. Partai dipersilakan menerima sumbangan Rp 1 miliar dari perorangan dan Rp 7,5 miliar dari badan usaha swasta, namun pengelolaan sumbangan itu dilakukan secara tertutup. Akibatnya partai politik tidak saja menjadi sarana pencucian uang haram, tetapi juga menjadi sarana para cukong untuk mengendalikan kebijakan.
Inilah yang menjadi sumber utama, mengapa partai politik cenderung mengabaikan kepentingan rakyat. Nah, UU partai politik yang baru mengukuhkan kondisi buruk tersebut. Karena itu, harapan agar partai politik menjadi lokomotif demokrasi, takkan terwujud. Sebaliknya, yang terjadi, partai politik telah membajak demokrasi yang diperjuangkan oleh rakyat kabanyakan bersama mahasiswa pada Mei 1998.
Memang tidak banyak yang berubah dari undang-undang lama. Persyaratan pembentukan partai politik menjadi isu utama. Tapi pada isu ini pun DPR dan Pemerintah cepat bersepakat: memperketat persyaratan pembentukan partai politik. Jika sebelumnya 50 orang berkumpul bisa membentuk partai politik, kini 50 orang tersebut harus didukung 30 orang di setiap provinsi.
Tidak hanya itu, pada setiap provinsi harus memiliki kepengurusan di 75% kabupaten/kota, dan pada setiap kabupaten/kota memiliki pengurus di 50% kecamatan. Partai baru juga harus memiliki kantor tetap, berlaku sampai pemilu berakhir, pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. Itu artinya, orang-orang yang berniat membentuk partai, butuh dana sangat besar.
Mengapa DPR dan pemerintah mempersulit pembentukan partai politik? Bukankah hal ini melanggar hak dasar warga negara, atau setidaknya mempersulit warga negara dalam berserikat dan berkumpul, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 UU 1945? UU Partai Politik yang baru ini memang berpotensi dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Banyaknya undang-undang yang ketentuannya dibatalkan MK, rupanya tidak membuat DPR dan pemerintah berhati-hati dalam merumuskan kebijakan dan bentuk pengaturan undang-undang. Mereka dinilai mempertaruhkan kredibilitas lembaga karena terobsesi mengedepankan kepentingan sendiri.
Pengutamaan kepentingan pembuat undang-undang seringkali mengabaikan kemashalatan rakyat yang dijamin konstitusi. Kepentingan itu semakin tak terhindari karena undang-undang partai politik (juga undang-undang bidang politik lainnya, seperti undang-undang pemilu dan parlemen) mengatur partai politik.
DPR dan pemerintah mestinya bersikap netral terhadap semua kepentingan yang kerkecamuk dalam pembuatan undang-undang. Namun karena DPR dan pemerintah hakekatnya adalah kumpulan orang-orang partai politik, maka konflik kepentingan tak terhindarkan: atas nama DPR dan pemerintah mereka melindungi kepentingan partai politik yang kini berkuasa.
Tak pelak lagi, pengetatan pendirian partai politik tujuannya tidak lain adalah untuk mempertahankan status quo, agar sembilan partai yang kini berkuasa, tidak diganggu oleh hadirnya partai baru. Demi terus mengangkangi DPR dan pemerintahan, mereka mau mengambil risiko untuk berhadapan dengan MK.
Di sisi lain, perubahan UU No 2/2008 tetap mempertahankan mekanisme yang tidak transparan dalam pengaturan dana partai politik. Partai dipersilakan menerima sumbangan Rp 1 miliar dari perorangan dan Rp 7,5 miliar dari badan usaha swasta, namun pengelolaan sumbangan itu dilakukan secara tertutup. Akibatnya partai politik tidak saja menjadi sarana pencucian uang haram, tetapi juga menjadi sarana para cukong untuk mengendalikan kebijakan.
Inilah yang menjadi sumber utama, mengapa partai politik cenderung mengabaikan kepentingan rakyat. Nah, UU partai politik yang baru mengukuhkan kondisi buruk tersebut. Karena itu, harapan agar partai politik menjadi lokomotif demokrasi, takkan terwujud. Sebaliknya, yang terjadi, partai politik telah membajak demokrasi yang diperjuangkan oleh rakyat kabanyakan bersama mahasiswa pada Mei 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar