Menghadang Kekuatan Politik Baru (2)
UU Partai Atur Verifikasi Peserta Pemilu
Deden Gunawan - detikNews http://www.detiknews.com/read/2010/12/20/145645/1528978/159/uu-partai-atur-verifikasi-peserta-pemilu?nd991103605
Jakarta - Setelah mendapat persetujuan dari pemerintah, UU Partai Politik yang baru resmi diketuk di Sidang Paripurna DPR, Jumat (17/12/2012) lalu. Pembahasan perubahan UU No 2/2008 ini memang tergolong super cepat, hanya memakan waktu 2 minggu. Pembahasannya pun nyaris tidak terdengar. Padahal yang diatur dalam undang-undang menyangkut masa depan perpolitikan nasional.
Salah satu perubahan mencolok dari undang-undang ini adalah pembentukan partai politik 2,5 tahun sebelum pemilu. Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a yang berbunyi, "Verifikasi partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan partai politik yang dibentuk setelah undang-undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2,5 tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum".
Wakil Ketua Komisi II DPR, Hakam Naja, menjelaskan bahwa klausul tersebut disiapkan untuk mematangkan partai politik peserta pemilu. "Kita buat 2,5 tahun sebelum pemilu agar penyelenggaraan pemilu lebih baik dengan partai yang lebih matang. Jangan sampai partai fokus mengurusi suara saja tanpa instrumen yang kuat sampai daerah," jelas Hakam.
Selain waktu pembentukan, ada juga aturan syarat untuk lolos verifikasi seperti diatur dalam Pasal 2: Partai politik harus memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota di setiap provinsi, dan 50 persen kecamatan di setiap kabupaten/kota. Bukan hanya itu, partai juga harus memiliki kantor tetap di setiap tingkatan hingga tahapan pemilu berakhir.
"Selama proses pembahasan draf Perubahan UU No 2/2008 tentang Partai Politik di Badan Legislasi DPR, memang sempat terjadi perdebatan sengit. Terutama soal verifikasi kepengurusan partai di tiap propinsi," jelas Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II DPR dari FPDI kepada detikcom.
Awalnya, terang Ganjar, ada usulan yang menginginkan setiap partai politik harus punya perwakilan di seluruh provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Namun sejumah partai kecil seperti Partai Gerindra dan Partai Hanura protes.
Kedua partai ini protes karena banyak kantor pengurus anak cabang mereka yang ada di sejumlah daerah sudah tidak ada lagi. Dengan adanya verifikasi ulang otomatis mereka harus bekerja dari awal untuk membentuk pengurus baru dan kantor baru.
Mereka kemudian ngotot kalau aturan itu harusnya berlaku bagi partai politik baru saja, bukan partai politik lama. Apalagi, UU No. 10/2008 tentang Pemilu sudah menjamin partai yang lolos parliamentary threshold otomatis dapat mengikuti pemilu berikutnya.
Pada Pemilu 2009, Partai Gerindra memperoleh suara sebanyak 4.646.406 atau 4,46%; sementara Partai Hanura meraih dukungan 3.922.870 suara atau 3,77%. Dengan raihan ini keduanya bisa secara otomatis mengikuti Pemilu 2009 dipatok 3%. Nah, dengan verifikasi ulang ini tentu saja Gerindra dan Hanura sangat keberatan. Perdebatan akhirnya tidak terelakan.
Untuk mencari titik temu, kata Ganjar, tim dari Baleg kemudian berkunjung ke beberapa daerah untuk mencari masukan. Hasil kunjungan tim Baleg itu kemudian dibawa ke panitia kerja untuk dibahas di rapat kerja.
Dari hasil sosialisasi dan kunjungan ke daerah akhirnya disepakati kalau yang harus 100% jumlah kepengurusan di daerah hanya tingat provinsi saja. Sementara untuk kabupaten/kota disepakati 75%. Sementara di tingkat kecamatan hanya 50% saja.
"Akhirnya semuanya menemui kata sepakat dan setuju bila seluruh partai politik diverifikasi ulang 2,5 tahun sebelum mendaftar sebagai peserta pemilu, berikut syarat-syarat kepengurusannya," ujar Ganjar.
Menurut Ganjar, verifikasi yang dilakukan jauh-jauh hari sebelum pemilu supaya setiap partai peserta punya waktu yang cukup untuk sosialisasi kepada masyarakat. Sehingga partai benar-benar siap ketika pemilu dilaksanakan.
Meski para politisi Senayan sepakat dengan UU Partai Politik yang baru disahkan, namun sejumlah kalangan di luar kecewa, terutama tentang syarat pembentukan parpol baru.
"Syarat pendirian partai di UU itu sama saja membunuh partai kecil dan menutup kesempatan masyarakat untuk mendirikan partai. Padahal membentuk partai dijamin oleh UUD 1945 dalam Pasal 28E, " tegas Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Angraini kepada detikcom.
Menurut Titi, sebaiknya aturan soal syarat verifikasi itu bagi partai yang ikut pemilu. Dan aturan itu diatur dalam UU Pemilu, bukan di UU Partai. Sehingga masyarakat tidak dikebiri haknya dalam membentuk partai.
Kritik terhadap UU Partai Politik yang baru juga datang dari Ketua Organisasi dan Kaderisasi Nasional Demokrat, Ferry Mursyidan Baldan. Menurutnya, penerapan waktu untuk membentuk partai sangat ganjil. "Masak mau bikin partai saja harus menjelang pemilu. Karena setiap kelompok bebas mendirikan partai kapan saja," terang Ferry.
Keganjilan lainnya, kata Ferry, penggunaan angka-angka dalam syarat pendirian partai. Misalnya di Pasal 2 ayat (1), bahwa partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) Warga Negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi.
Sementara pada Pasal 2 ayat (1) huruf a, disebutkan, partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik dengan akta notaris.
"Saya merasa aneh dengan penyebutan angka-angka itu. Maksud ayat itu memang cukup dimengerti. Tapi penggunaan angkanya tidak logis. Jadi saya mempertanyakan apa sebenarnya kerangka berpikir para penggodoknya," ujar Ferry.
Selain itu, mantan anggota Komisi II DPR dari Partai Golkar ini juga menyayangan syarat-syarat lainnya, yakni harus ada di 100 persen provinsi, 75% di kabupaten/kota, serta 50% di kecamatan. Menurutnya, syarat yang ditetapkan UU partai politik sama saja menutup ruang setiap warga negara untuk mendirikan partai.
Ferry sepakat dengan Direktur Perludem Titi Anggraeni, kalau untuk syarat-syarat tersebut sebaiknya diterapkan untuk partai politik yang akan ikut pemilu. Jadi pengaturannya bukan di UU Partai Politik melainkan UU Pemilu.
(ddg/diks)
Salah satu perubahan mencolok dari undang-undang ini adalah pembentukan partai politik 2,5 tahun sebelum pemilu. Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a yang berbunyi, "Verifikasi partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan partai politik yang dibentuk setelah undang-undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2,5 tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum".
Wakil Ketua Komisi II DPR, Hakam Naja, menjelaskan bahwa klausul tersebut disiapkan untuk mematangkan partai politik peserta pemilu. "Kita buat 2,5 tahun sebelum pemilu agar penyelenggaraan pemilu lebih baik dengan partai yang lebih matang. Jangan sampai partai fokus mengurusi suara saja tanpa instrumen yang kuat sampai daerah," jelas Hakam.
Selain waktu pembentukan, ada juga aturan syarat untuk lolos verifikasi seperti diatur dalam Pasal 2: Partai politik harus memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota di setiap provinsi, dan 50 persen kecamatan di setiap kabupaten/kota. Bukan hanya itu, partai juga harus memiliki kantor tetap di setiap tingkatan hingga tahapan pemilu berakhir.
"Selama proses pembahasan draf Perubahan UU No 2/2008 tentang Partai Politik di Badan Legislasi DPR, memang sempat terjadi perdebatan sengit. Terutama soal verifikasi kepengurusan partai di tiap propinsi," jelas Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II DPR dari FPDI kepada detikcom.
Awalnya, terang Ganjar, ada usulan yang menginginkan setiap partai politik harus punya perwakilan di seluruh provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Namun sejumah partai kecil seperti Partai Gerindra dan Partai Hanura protes.
Kedua partai ini protes karena banyak kantor pengurus anak cabang mereka yang ada di sejumlah daerah sudah tidak ada lagi. Dengan adanya verifikasi ulang otomatis mereka harus bekerja dari awal untuk membentuk pengurus baru dan kantor baru.
Mereka kemudian ngotot kalau aturan itu harusnya berlaku bagi partai politik baru saja, bukan partai politik lama. Apalagi, UU No. 10/2008 tentang Pemilu sudah menjamin partai yang lolos parliamentary threshold otomatis dapat mengikuti pemilu berikutnya.
Pada Pemilu 2009, Partai Gerindra memperoleh suara sebanyak 4.646.406 atau 4,46%; sementara Partai Hanura meraih dukungan 3.922.870 suara atau 3,77%. Dengan raihan ini keduanya bisa secara otomatis mengikuti Pemilu 2009 dipatok 3%. Nah, dengan verifikasi ulang ini tentu saja Gerindra dan Hanura sangat keberatan. Perdebatan akhirnya tidak terelakan.
Untuk mencari titik temu, kata Ganjar, tim dari Baleg kemudian berkunjung ke beberapa daerah untuk mencari masukan. Hasil kunjungan tim Baleg itu kemudian dibawa ke panitia kerja untuk dibahas di rapat kerja.
Dari hasil sosialisasi dan kunjungan ke daerah akhirnya disepakati kalau yang harus 100% jumlah kepengurusan di daerah hanya tingat provinsi saja. Sementara untuk kabupaten/kota disepakati 75%. Sementara di tingkat kecamatan hanya 50% saja.
"Akhirnya semuanya menemui kata sepakat dan setuju bila seluruh partai politik diverifikasi ulang 2,5 tahun sebelum mendaftar sebagai peserta pemilu, berikut syarat-syarat kepengurusannya," ujar Ganjar.
Menurut Ganjar, verifikasi yang dilakukan jauh-jauh hari sebelum pemilu supaya setiap partai peserta punya waktu yang cukup untuk sosialisasi kepada masyarakat. Sehingga partai benar-benar siap ketika pemilu dilaksanakan.
Meski para politisi Senayan sepakat dengan UU Partai Politik yang baru disahkan, namun sejumlah kalangan di luar kecewa, terutama tentang syarat pembentukan parpol baru.
"Syarat pendirian partai di UU itu sama saja membunuh partai kecil dan menutup kesempatan masyarakat untuk mendirikan partai. Padahal membentuk partai dijamin oleh UUD 1945 dalam Pasal 28E, " tegas Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Angraini kepada detikcom.
Menurut Titi, sebaiknya aturan soal syarat verifikasi itu bagi partai yang ikut pemilu. Dan aturan itu diatur dalam UU Pemilu, bukan di UU Partai. Sehingga masyarakat tidak dikebiri haknya dalam membentuk partai.
Kritik terhadap UU Partai Politik yang baru juga datang dari Ketua Organisasi dan Kaderisasi Nasional Demokrat, Ferry Mursyidan Baldan. Menurutnya, penerapan waktu untuk membentuk partai sangat ganjil. "Masak mau bikin partai saja harus menjelang pemilu. Karena setiap kelompok bebas mendirikan partai kapan saja," terang Ferry.
Keganjilan lainnya, kata Ferry, penggunaan angka-angka dalam syarat pendirian partai. Misalnya di Pasal 2 ayat (1), bahwa partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) Warga Negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi.
Sementara pada Pasal 2 ayat (1) huruf a, disebutkan, partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik dengan akta notaris.
"Saya merasa aneh dengan penyebutan angka-angka itu. Maksud ayat itu memang cukup dimengerti. Tapi penggunaan angkanya tidak logis. Jadi saya mempertanyakan apa sebenarnya kerangka berpikir para penggodoknya," ujar Ferry.
Selain itu, mantan anggota Komisi II DPR dari Partai Golkar ini juga menyayangan syarat-syarat lainnya, yakni harus ada di 100 persen provinsi, 75% di kabupaten/kota, serta 50% di kecamatan. Menurutnya, syarat yang ditetapkan UU partai politik sama saja menutup ruang setiap warga negara untuk mendirikan partai.
Ferry sepakat dengan Direktur Perludem Titi Anggraeni, kalau untuk syarat-syarat tersebut sebaiknya diterapkan untuk partai politik yang akan ikut pemilu. Jadi pengaturannya bukan di UU Partai Politik melainkan UU Pemilu.
(ddg/diks)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar