PERMOHONAN FINAL UJI MATERIL TENTANG SAKSI KE MK
Jakarta, 2 Desember 2010
Kepada Yang Mulia
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
Jalan Medan Merdeka Barat No. 8
Jakarta 10110
PERIHAL: PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 1 ANGKA 26 DAN ANGKA 27 Jo PASAL 65 Jo PASAL 116 AYAT (3) DAN AYAT (4) Jo PASAL 184 AYAT (1) HURUF a UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA (LN 1981 NO 76 DAN TLN 1981 NO 3209) TERHADAP PASAL 1 AYAT (3) DAN Pasal 28D AYAT (1) UNDANG – UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (Perbaikan Terakhir)
Dengan hormat,
Saya yang bertanda-tangan di bawah ini :
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, lahir di Belitung, tanggal 5 Pebruari 1956, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Jakarta, adalah perorangan Warga Negara Republik Indonesia (Bukti P1) selanjutnya disebut “Pemohon”.
Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 1 angka 26 dan angka 27 jo Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3256 (UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP) (Bukti P-2) terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 dengan uraian sebagai berikut:
I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1. Pemohon memohon sudilah kiranya Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan pengujian terhadap Pasal 1 angka 26 dan angka 27 jo Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945;
2. Ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945);
3. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa secara hierarkis kedudukan UUD Negara RI Tahun 1945 adalah lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutie is de hoogste wet). Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD Negara RI tahun 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang;
4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang ini.
II. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon
1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang”, yang dalam huruf a menyebutkan “Perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
2. Bahwa berkaitan dengan permohonan ini, Pemohon menegaskan bahwa Pemohon memiliki hak-hak konstitusional yang diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945, yaitu apabila dinyatakan sebagai tersangka berhak untuk mendapatkan perlakuan sesuai dengan prinsip due process of law sebagai konsekuensi dari dinyatakannya Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3); dan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1);
3. Bahwa Pemohon beranggapan hak-hak konstitusional Pemohon yang diatur di dalam UUD 1945 sebagaimana diuraikan dalam angka 2 di atas, telah dirugikan dengan berlakunya undang-undang, yakni Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 1 angka 26 dan angka 27 dihubungkan dengan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a. Bunyi selengkapnya dari pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 1 angka 26
”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”;
Pasal 1 angka 27
”Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”
Pasal 65
“Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.
Pasal 116 ayat (3)
Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
Pasal 116 ayat (4)
Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut;
Pasal 184 ayat (1)
Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
4. Bahwa pada saat mengajukan Permohonan ini, Pemohon berstatus sebagai Tersangka pelaku tindak pidana korupsi yang telah ditetapkan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-79/F.2/Fd.1/06/2010, tanggal 24 Juni 2010, melanggar Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 12 huruf i UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (Bukti P4). Pemohon diduga telah melakuan tindak pidana korupsi “biaya akses fee dan biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Sistem Administrasi Badan Hukum Departemen Hukum dan HAM RI”. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung RI, Arminsyah, telah menyampaikan keterangan pers kepada publik pada tanggal 29 Juni 2009 bahwa ancaman hukuman yang dikenakan kepada Pemohon adalah “hukuman seumur hidup”. (Bukti P5) Pernyataan ini bahkan disampaikan kepada publik sebelum Pemohon sendiri dipanggil untuk diperiksa oleh Penyidik. Pemohon berpendapat keterangan pers ini adalah bagian dari penggalangan opini Kejaksaan Agung RI yang dapat menyudutkan Pemohon;
5. Bahwa Pemohon menganggap penetapan sebagai Tersangka tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman maksimum penjara seumur hidup adalah sesuatu yang sangat serius dan tendensius yang menyangkut nama baik, harkat dan martabat Pemohon serta seluruh keluarga Pemohon. Dengan permohonan maaf kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, izinkanlah Pemohon menyampaikan bahwa Pemohon adalah seorang Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, akademisi dan politisi yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, dua kali menjadi Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, satu kali menjadi Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia dan berbagai jabatan publik lainnya. Pemohon juga diketahui rakyat Indonesia pernah secara resmi menjadi calon Presiden Republik Indonesia dan telah disahkan oleh rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Umum Tahun 1999. Pemohon juga dikenal luas sebagai mantan Ketua dan sekarang sebagai Ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang, sebuah partai yang berasaskan Islam;
6. Bahwa andaikata Pemohon dihukum sehari saja akibat dakwaan melanggar Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 12 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 tahun 2001, maka karier perjalanan politik Pemohon akan tertutup dengan serta-merta untuk selama-lamanya. Begitu banyak undang-undang di Negara Republik Indonesia yang mensyaratkan seseorang yang pernah menjalani pidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun, dia tidak diperbolehkan untuk menduduki jabatan kenegaraan apapun juga. Jangankan mencalonkan diri menjadi Presiden, mencalonkan diri menjadi Kepala Desa saja sudah dilarang oleh undang-undang. Nasib Pemohon akan jauh lebih buruk dibandingkan dengan nasib mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, yang meskipun dizalimi dengan hukuman penjara selama 8 (delapan) tahun, namun ketika bebas, beliau tetap dibolehkan mendirikan partai politik yang baru dan kemudian terpilih lagi sebagai anggota Parlemen, dan kini menjadi Ketua Pembangkang (Oposisi) dalam Parlemen Malaysia;
7. Bahwa berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-79/F.2/Fd.1/06/2010, tanggal 24 Juni 2010, Pemohon telah berulang kali dipanggil untuk diperiksa sebagai Tersangka dengan berbagai surat panggilan dan yang terakhir adalah Surat Panggilan No. SPT-2915/F.2/Fd.1/06/2010 tanggal 14 Oktober 2010 (Bukti P6). Setiap kali pemeriksaan berlangsung puluhan wartawan media cetak dan elektronik dalam dan luar negeri meliputnya di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, yang menandakan bahwa dengan kasus ini, Pemohon kini telah menjadi sorotan publik baik domestik maupun internasional (Bukti P7). Kasus ini telah menjadi perhatian dan concern dari berbagai organisasi internasional, termasuk Asian-African Legal Consultative Organization yang bermarkas di New Delhi dan International Bar Association yang bermarkas di London. Beberapa anggota parlemen di negara-negara ASEAN juga datang ke Jakarta untuk menanyakan hal-ikhwal yang terjadi pada Pemohon;
8. Bahwa sebagai warga negara yang baik, Pemohon mematuhi hukum sepanjang pelaksanaannya dan norma hukum yang digunakan tidak bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi dan bertentangan dengan norma moral universal. Pemohon hadir memenuhi panggilan Penyidik, meskipun ketika itu Pemohon menolak keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung dan melakukan perlawanan terhadapnya, dan juga terhadap Presiden Republik Indonesia yang mengangkatnya, antara lain melalui mahkamah ini;
9. Bahwa hanya dua kali pemohon tidak dapat hadir dalam pemeriksaan dengan alasan yang sah, yakni satu menderita sakit (operasi gigi dan mulut), dan satu kali lagi berhalangan karena berbenturan waktunya dengan sidang perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang diajukan Pemohon di Mahkamah Konstitusi ini. Kedua alasan yang sah itu telah disampaikan secara resmi melalui surat dan dapat dipahami serta diterima oleh Penyidik. Selama pemeriksaan berlangsung, Pemohon telah menunjukkan sikap koperatif. Tidak ada pertanyaan Penyidik yang tidak Pemohon jawab. Namun apabila ada hak-hak konstitusional Pemohon yang dilanggar oleh Penyidik dan aparatur Kejaksaan Agung RI, maka adalah hak Pemohon untuk melakukan perlawanan atas pengabaian hak-hak konstitusional itu. Langkah ini Pemohon lakukan sejalan dengan komitmen Pemohon untuk turut serta membina tegaknya Negara Hukum Republik Indonesia;
10. Bahwa semua bentuk perlawanan itu Pemohon lakukan melalui cara-cara yang sah dan konstitusional, termasuk melakukan permohonan uji materil terhadap undang-undang yang sekarang Pemohon sampaikan sekali lagi kepada Mahkamah Konstitusi. Karena itu Pemohon menolak penggalangan opini oleh sementara pihak, bahwa perlawanan yang menempuh cara-cara yang sah dan konstutusional sebagai tindakan “tidak etis” dan bahkan “menghalalkan segala cara agar terhindar masuk bui” seperti diucapkan dua tokoh intelektual yang oleh sebagian orang dianggap sebagai intelektual yang berpengaruh di negara ini, Professor Franz Magnis Suseno dan Professor Azyumardi Azra (Bukti P8);
11. Bahwa selama proses pemeriksaan berlangsung, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung telah mengumumkan kepada publik bahwa Penyidik telah memanggil dan meminta keterangan 27 (dua puluh tujuh) saksi yang semuanya memberatkan Pemohon. Sejumlah ahli yang diperlukan untuk memperjelas perkara yang disangkakan kepada Pemohon juga telah dan sedang diperiksa Kejaksaan Agung. Di tengah pemeriksaan yang sedang berlangsung, Kejaksaan Agung telah mengumumkan bahwa dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, mereka telah mendapatkan alat bukti yang cukup untuk mengajukan Pemohon sebagai terdakwa ke pengadilan (Bukti P9);
12. Bahwa Pemohon berpendapat adalah kewenangan Penyidik untuk memanggil dan memeriksa saksi dan ahli yang pada pokoknya akan memberatkan pemohon untuk membuktikan dugaan mereka. Namun sebaliknya juga adalah hak Pemohon sebagai Tersangka untuk membela diri dan menyangkal keterangan saksi yang memberatkan Pemohon, antara lain dengan cara mendatangkan saksi-saksi yang menguntungkan, yang menurut pertimbangan yang wajar dari Pemohon dapat menyangkal atau menggugurkan keterangan saksi-saksi memberatkan yang dipanggil dan diperiksa atas inisiatif Penyidik. Pemohon tentunya, menurut hukum acara yang berlaku, tidak berada dalam posisi yang dapat menilai atau menyampaikan keberatan apapun juga terhadap siapa saksi-saksi yang dipanggil dan diperiksa oleh Penyidik itu;
13. Bahwa sebaliknya, Pemohon berpendapat bahwa proses penyidikan haruslah dilakukan secara adil dan berimbang dengan menjunjung tinggi hak-hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar, termasuk pengakuan terhadap asas yang berlaku secara universal, yakni asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Pemeriksaan akan berlangsung secara adil dan berimbang dan penghormatan atas asas praduga tak bersalah akan terwujud, jika hak tersangka untuk meminta kepada Penyidik agar memanggil dan memeriksa saksi-saksi yang menguntungkan Pemohon dipenuhi oleh Penyidik, tanpa Penyidik mempunyai hak untuk menilai dan menyampaikan keberatan apakah saksi-saksi yang dianggap menguntungkan oleh Pemohon itu relevan atau tidak dengan perkara. Kalau Pemohon menilai bahwa saksi yang menguntungkan itu sama sekali tidak menguntungkan, bahkan merugikan, maka untuk apa Pemohon meminta agar saksi itu dipanggil dan diperiksa;
14. Bahwa sebagaimana Penyidik memiliki kebebasan, bahkan mempunyai hak untuk menggunakan pemanggilan paksa terhadap siapa saja yang mereka jadikan sebagai saksi yang memberatkan, maka Pemohon sebagai Tersangka, demi keadilan dan keseimbangan, semestinya juga berhak untuk meminta dipanggil dan diperiksa saksi-saki yang menguntungkan. Penyidik tidak berhak untuk menilai dan menyampaikan keberatan terhadap siapa saksi-saksi yang Pemohon anggap sebagai saksi yang menguntungkan itu. Penyidik juga tidak berhak menolak dengan alasan bahwa saksi yang menurut Pemohon akan menguntungkan itu, justru akan merugikan Pemohon. Penyidik wajib untuk memanggil dan memeriksa saksi-saksi yang menguntungkan itu. Prinsip keseimbangan dalam pemeriksaan itu dijamin di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik PBB yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2005;
15. Bahwa dalam pemeriksaan Penyidik telah bertanya kepada Pemohon, apakah Pemohon menghendaki didengarnya saksi dan ahli yang dapat menguntungkan pemohon, sesuai ketentuan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) KUHAP. Pemohon telah menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan “ya” dan Penyidik mencatat jawaban itu dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pemohon melalui kuasa hukumnya kemudian menyampaikan secara tertulis nama-nama ahli dan saksi yang menguntungkan Pemohon, dan meminta kepada Penyidik untuk memanggil dan memeriksa ahli-ahli dan saksi-saksi yang menguntungkan tersebut, sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 116 ayat (3) dan (4) UU No 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Saksi-saksi yang menguntungkan Pemohon sebagaimana tertuang dalam surat yang yang ditanda-tangani Penasehat Hukum Pemohon adalah Megawati Sukarnoputri, H.M. Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie dan Susilo Bambang Yudhoyono (Bukti P10);
16. Pemohon menyadari bahwa meminta saksi-saksi yang menguntungkan dan untuk dipanggil adalah hak Pemohon, dan Penyidik wajib untuk memanggil saksi-saksi yang menguntungkan itu, mengingat pasal 116 ayat (4) UU No 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP mengandung kaidah yang bersifat imperatif. Tentu saja saksi-saksi yang menguntungkan itu adalah saksi-saksi yang menurut pertimbangan Pemohon ada keterkaitannya dengan perkara pidana yang disangkakan kepada Pemohon. Permintaan mendatangkan saksi yang menguntungkan itu, menurut M. Yahya Harahap, haruslah dilakukan dengan pertimbangan yang wajar, bukan dengan maksud untuk memperlambat jalannya pemeriksaan, atau dilakukan dengan iktikad buruk untuk mempermain-mainkan pemeriksaan (Yahya Harahap: Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2001, hal 138). Menurut Harahap, jika ada iktikad buruk seperti itu, misalnya tersangka minta dipanggil dan diperiksa 100 orang saksi yang menguntungkan yang susah untuk dicari dimana alamatnya. Sementara menurut pertimbangan yang wajar, 100 saksi yang menguntungkan itu tidak ada hubungannya dengan perkara, maka iktikad buruk untuk mempermain-mainkan pemeriksaan seperti itu dapat menggugurkan kewajiban Penyidik untuk memanggil dan memeriksa mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (4) KUHAP.
17. Bahwa dalam kenyataannya, Pemohon tidaklah mengajukan 100 saksi yang menguntungkan yang susah untuk dicari di mana keberadaannya. Keempat saksi yang menguntungkan yang Pemohon minta untuk dipanggil dan diperiksa itu alamatnya jelas dan mudah untuk dicari. Menurut pertimbangan yang wajar dari Pemohon, keempat saksi yang menguntungkan itu memang relevan untuk menerangkan berbagai hal terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dikenakan kepada Pemohon. Tiga dari empat saksi yang menguntungkan yang Pemohon minta itu (Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie dan Susilo Bambang Yudhoyono) pernah bersama-sama dengan Pemohon menjadi menteri Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Megawati Sukarnoputri ketika itu menjadi Wakil Presiden. Jusuf Kalla menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang sering mengeluhkan kelambatan pengesahan perseroan sehingga menghambat investasi di bidang industri dan perdagangan. Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu menjadi Menteri Pertambangan dan Energi yang juga berkepentingan dengan investasi melalui berbagai perusahaan berbadan hukum Indonesia yang ingin didirikan oleh pengusaha dalam dan luar negeri. Kwik Kian Gie waktu itu adalah Menko Ekuin yang bertanggungjawab mengkoordinasikan upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional dan menangani kerjasama dengan IMF dan Bank Dunia. Belakangan Pemohon selaku Ketua Umum Partai Bulan Bintang, menandatangani surat pencalonan Susilo Bambang Yudhyono sebagai calon Presiden RI ke Komisi Pemilihan Umum, sehingga dia memenuhi syarat menjadi calon. Susilo Bambang Yudhoyono kemudian terpilih menjadi Presiden dan Pemohon menjadi Menteri Sekretaris Negara dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB I) yang dipimpinnya;
18. Bahwa tindak pidana yang diduga telah dilakukan Pemohon, yakni korupsi biaya aksess fee PNBP Sisminbakum, bukanlah semata-mata tindakan pribadi, tetapi melekat dengan jabatan Pemohon yang ketika dugaan tindak pidana itu terjadi, yakni dalam jabatan Pemohon sebagai Menteri Kehakiman dan HAM Republik Indonesia. Dengan demikian, Pemohon berpendapat bahwa meminta kehadiran saksi-saksi yang menguntungkan itu, yakni mantan menteri, mantan Wakil Presiden dan bahkan Presiden adalah sesuatu yang wajar dan tidaklah mengada-ada. Tidak perlu ada anggapan bahwa kalau Presiden diminta menjadi saksi menguntungkan, maka hal itu akan menjadi precedent, nanti setiap tersangka akan meminta Presiden dihadirkan untuk jadi saksi menguntungkan. Seorang Penjual Roti bersepeda motor di Makassar menabrak orang di jalan hingga mati dan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi saksi yang menguntungkan, tentu bukanlah permintaanan yang wajar. Permintaan seperti ini, wajib ditolak oleh Penyidik karena dapat dikualifikasikan sebagai permintaan yang mengada-ada dan dilandasi iktikad buruk untuk mempersulit jalannya pemeriksaan;
19. Bahwa disamping alasan kewajaran, Pemohon berpendapat bahwa keempat nama yang diminta dipanggil dan diperiksa sebagai saksi yang menguntungkan itu, karena tugas dan jabatannya ketika itu, memang mempunyai keterkaitan dengan tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon. Keempat saksi yang menguntungkan di atas hadir dalam sidang kabinet yang dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada awal Mei 2000, ketika Pemerintah mendengarkan usul-usul Dewan Ekonomi Nasional yang dipimpin Emil Salim. Salah satu hal yang dibahas dalam sidang tersebut adalah kelambatan Pemerintah, dalam hal ini Departemen Hukum dan Perundang-Undangan dalam mensahkan pendirian perseroan terbatas (PT), yang berakibat sukarnya Pemerintah Indonesia mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional akibat krisis tahun 1997. Pemerintah RI yang ketika itu bekerjasama dengan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia dalam rangka penanganan krisis dan pemulihan ekonomi, juga mengkritik kelambatan itu. IMF dan Bank Dunia berpendapat tidak mungkin akan terjadi pemulihan ekonomi kalau tidak ada investasi. Sementara investasi terhambat karena Pemerintah RI lambat mensahkan berdirinya perseroan. Di Singapura pengesahan itu hanya memakan waktu satu hari. Di Malaysia dan Hong Kong hanya dua hari. Sementara di Indonesia memakan waktu lebih dari setahun tanpa adanya kepastian;
20. Bahwa keempat nama tersebut di atas juga hadir dalam sidang kabinet ketika Presiden Abdurrahman Wahid memberikan arahan bahwa mengingat ketiadaan pos APBN 1999/2000 untuk membangun jaringan teknologi informasi guna mempercepat proses pengesahan perseroan tersebut, maka pembangunan jaringan itu diserahkan saja kepada swasta untuk melakukan investasi untuk membangunnya. Akhirnya Menteri Kehakiman dan HAM memutuskan agar jaringan teknologi informasi itu dibangun dengan perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT) selama 10 tahun. Proyek itu diselesaikan dan beroperasi pada bulan Januari 2001 yang diresmikan oleh Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri. Dalam Letter of Intent Pemerintah RI kepada IMF tanggal 21 Mei 2000, yang antara lain ditandatangani oleh Kwik Kian Gie, Pemerintah Indonesia mengemukakan komitmen bahwa Pemerintah RI akan mengatasi problema keterlambatan pengesahan perseroan (company registration) dalam waktu satu tahun (Bukti P11). Ternyata masalah keterlambatan itu sudah dapat diatasi Pemerintah dalam waktu kurang dari satu tahun. Inilah proyek E-Government pertama di tanah air yang dianggap sukses dalam memberikan pelayanan publik dan mendapatkan pengakuan standard internasional ISO 9001-2000 (Bukti P12);
21. Bahwa dampak ekonomi percepatan pengesahan perseroan itu memang sangat besar artinya bagi Negara. Selama 7 (tujuh) tahun percepatan melalui jaringan teknologi informasi yang dibangun dan dioperasikan oleh swasta itu, telah lebih dari 6000 perusahaan baru yang disahkan untuk sektor industri, jasa dan pertambangan saja, belum terhitung pengesahan perseroan pada sektor-sektor lainnya. Dalam tujuh tahun itu, dari sektor ini saja, Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa negara memperoleh nilai tambah pendapatan sebesar Rp. 958 trilyun, dengan tenaga kerja yang terserap sebanyak 4,7 juta orang (Bukti P 13). Angka ini jauh melampaui biaya yang digunakan Pemerintah dalam menangani krisi ekonomi 1997, yang menurut laporan Menteri Keuangan Budiono dalam Sidang Kabinet Gotong Royong (2002) adalah sebesar Rp. 632 trilyun. Kejaksaan Agung dengan hitungannya sendiri menyatakan biaya akses fee Sisminbakum yang tidak dimasukkan ke kas Negara, sehingga telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 420 milyar. Angka ini adalah pemasukan kotor seluruh pemohon pengesahan perseroan melalui jasa jaringan teknologi informasi Sisminbakum selama 7 (tujuh) tahun , bukan laba bersih perusahan swasta tersebut.
22. Bahwa Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, dalam suratnya kepada Menteri Keuangan tanggal 27 November 2008 telah meminta dana anggaran tambahan sebesar Rp. 10 milyar untuk membiayai operasional Sisminbakum hanya untuk satu bulan (Desember) 2008 saja. Permintaan ini diajukan Menteri Mattalata setelah seluruh peralatan Sisminbakum disita oleh Penyidik Kejaksaan Agung untuk dijadikan barang bukti, dan rekening PT SRD pada Bank Danamon dan BNI dibekukan atas permintaan Kejaksaan Agung. Departemen Hukum dan HAM yang melakukan pinjam pakai barang bukti yang disita tersebut harus menanggung sendiri seluruh biaya operasional Sisminbakum, yang menurut permintaan Menteri Mattalata adalah sebesar Rp. 10 milyar perbulan. Dengan angka ini, maka dana APBN yang akan terpakai oleh Departemen Hukum dan HAM selama 7 tahun (84 bulan) untuk biaya opersional Sisminbakum adalah Rp. 840 milyar. Angka ini belum dihitung berapa besar biaya investasi membangun proye itu jika dikerjakan sendiri oleh Pemerintah. Jelas kiranya bahwa uang negara yang dipakai adalah dua kali lipat besarnya dari dugaan kerugian negara yang menurut Kejaksaan Agung sebesar Rp. 420 milyar, karena uang itu tidak disetorkan sebagai PNBP. Sementara BPKP setelah melakukan audit investigasi menyatakan tidak dapat menyimpulkan apakah ada unsur kerugian negara atau tidak dalam perkara ini;
23. Bahwa sepanjang pemahaman Pemohon, proyek yang dibangun dengan sistem BOT, yang seluruh modalnya pembangunan dan pengoperasiannya diserahkan kepada swasta, tidaklah mungkin pungutan fee yang didapatnya dipungut Negara sebagai PNBP. Keuntungan Negara adalah dari lancarnya pelayanan publik, dan diserahkannya seluruh asset proyek kepada negara setelah perjanjian BOT berakhir. Sedangkan pada pungutan fee oleh swasta itu dikenakan pajak, bukan seluruhnya diambil negara menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan proyek BOT di seluruh tanah air, namun Sisminbakum inilah satu-satunya BOT yang dianggap oleh Kejaksaan Agung sebagai korupsi. Pemohon ingin menunjukkan bahwa seluruh tanah milik Negara di Senayan dan Kemayoran dikerjasamakan Pemerintah, dalam hal ini Sekretariat Negara, dengan sistem BOT dengan pihak swasta. Demikian pula beberapa ruas jalan tol di seluruh tanah air, termasuk beberapa pelabuhan container;
24. Bahwa Sisminbakum ini diberlakukan melalui Keputusan 4 (empat) Menteri Kehakiman, yaitu Pemohon, Baharuddin Lopa, Marsilam Simanjuntak, dan Hamid Awaludin. Keputusan Menteri pada hemat Pemohon adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku secara sah, sebagaimana diatur dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun belakangan pada saat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden, pemberlakuan Sisminbakum itu ditingkatkan dengan undang-undang, yakni UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 9 undang-undang tersebut berbunyi “Untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), pendiri bersama-sama mengajukan permohonan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik kepada Menteri..” (Bukti P14). Sistim Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang diberlakukan dengan undang-undang ini, kalau Pemohon baca dengan seksama Risalah Pembahasan RUU tentang Perseroan Terbatas di DPR (halaman 428) adalah sama dengan Sisminbakum yang Pemohon dan tiga Menteri Kehakiman dan HAM lainnya berlakukan sebelumnya dengan Keputusan Menteri, yang dianggap Kejaksaan Agung sebagai korupsi itu. Pemohon berpendapat, kalau Pemohon sebagai Menteri yang bertindak sebagai law maker harus dihukum karena membuat Keputusan Menteri, maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan seluruh anggota DPR Periode 2004-2009 sebagai law maker pembuat UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga harus dihukum;
25. Bahwa ketika Sisminbakum diberlakukan dengan undang-undang, Pemohon tidak lagi menjadi Menteri, baik menteri Kehakiman dan HAM maupun Menteri Sekretaris Negara. Menteri Hukum dan HAM ketika itu dijabat oleh Andi Mattalata. Pertanyaan yang selalu ada pada benak Pemohon adalah, kalaulah memang Sisminbakum itu adalah korupsi, mengapa Presiden dan DPR memperkuat pemberlakuannya dengan undang-undang? Semua argumen, semua dokumen hukum seperti ini telah Pemohon berikan kepada Penyidik, namun semuanya ditolak dengan alasan tidak relevan. Karena itu, Pemohon berpendapat sebaiknya para Menteri, Wakil Presiden dan Presiden yang sama-sama memutuskan kebijakan itu, diminta keterangannya sebagai saksi menguntungkan untuk memperjelas perkara. Keterangan Susilo Bambang Yudhoyono yang menandatangani pengesahan UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga perlu didengar. Apa alasan Presiden meningkatkan norma hukum pemberlakuan Sisminbakum yang dituduh oleh Kejaksaan Agung sebagai korupsi itu dengan undang-undang? Sisminbakum mulai diusut karena biaya akses feenya dianggap korupsi oleh Kejaksaan Agung tanggal 31 Oktober 2008, sementara UU No 40 Tahun 2007 disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 16 Agustus 2007;
26. Bahwa Pemohonan berpendapat, kesaksian Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono akan menguntungkan Pemohon. Mereka diharapkan akan menerangkan masalah pokok yang dituduhkan kepada Pemohon, yakni mengapa biaya akses fee yang dipungut oleh swasta yang membangun dan mengoperasikan jaringan teknologi informasi “Sisminbakum” dengan sistem BOT itu tidak dipungut sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak, sehingga menurut Penyidik hal itu telah merugikan keuangan negara dan Pemohon bertanggungjawab sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Padahal, menurut Pasal 2 UU No 20 Tahun 1997 tentang PNBP (Bukti P 15), kewenangan menetapkan jenis pelayanan dan besarnya tarif PNBP itu bukanlah kewenangan menteri teknis, dalam hal ini Menteri Kehakiman dan HAM, tetapi adalah kewenangan Presiden dengan cara menetapkannya melalui Peraturan Pemerintah (PP), atas usul Menteri Keuangan. Sepanjang pengetahuan Pemohon, Megawati Sukarnoputri selama menjabat sebagai Presiden tidak pernah memasukkan biaya akses fee Sisminbakum itu sebagai PNBP;
27. Bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah empat kali menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP), yakni PP No 75 Tahun 2005, PP No 19 Tahun 2007, PP No 82 Tahun 2007) yang merubah berbagai jenis pelayanan dan besarnya tarif yang dikenakan PNBP yang berlaku di Departemen Kehakiman dan HAM (kini Kementerian Hukum dan HAM) dan tidak pernah memasukkan biaya akses penggunaan jaringan informasi yang dibangun dan diopreasikan swasta (Sisminbakum) itu sebagai PNBP. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru menetapkan biaya akses itu sebagai PNBP melalui PP No 38 Tahun 2009 tanggal 3 Juni 2009 (Bukti P 16). PP ini terbit setelah mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Prof Dr Romli Atmasasmita divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melanggar Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001, yakni menyalahgunakan wewenang membagi uang milik Koperasi Pegawai Departemen Kehakiman (KPPDK) dengan Direktorat Jendral AHU. Putusan itu belum inkracht karena kini beliau sedang menunggu putusan kasasi Mahkamah Agung;
28. Bahwa Pemohon berpendapat, jika Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono menerangkan kesaksiannya bahwa sebelum tahun 2009, biaya akses Sisminbakum bukanlah PNBP, maka keterangan itu akan menguntungkan Pemohon sebagai tersangka. Kalau biaya akses fee itu memang bukan PNBP yang harus dipungut Departemen Kehakiman dan HAM, melainkan dipungut oleh swasta yang membangun dan mengoperasikannya sesuai Perjanjian BOT dan pungutan itu dikenakan pajak (PPn), maka dugaan terhadap Pemohon sebagai pelaku tindak pidana korupsi, secara hukum tidaklah beralasan. Perbuatan yang dituduhkan kepada Pemohon sebagai Tersangka atau Terdakwa nantinya, menurut perkiraan Pemohon, memang ada, tetapi pengadilan akan menilai perbuatan itu bukanlah tindak pidana (ontslaag van allei rechtsvervolging). Dengan demikian, masih ada harapan bagi Pemohon untuk terbebas dari ancaman hukuman penjara seumur hidup akibat dugaan perbuatan korupsi yang telah dilakukan Pemohon;
29. Bahwa dalam kenyataannya, permintaan Pemohon untuk memanggil dan memeriksa keempat saksi yang menguntungkan tersebut telah ditolak secara terbuka oleh Penyidik Andi Herman dan disampaikan kepada publik (Bukti P 18). Penolakan itu kemudian ditegaskan lagi kepada publik oleh Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung Darmono, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) M. Amari dan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Babul Khoir Harahap dan dimuat di berbagai media cetak dan elektronika nasional dan pers di daerah-daerah (Bukti P19). Alasan penolakan mereka pada pokoknya bertitik-tolak dari penilaian mereka bahwa saksi-saksi yang menguntungkan yang Pemohon minta untuk dipanggil dan diperiksa sesuai ketentuan Pasal 65, jo Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP adalah tidak relevan dengan penyidikan perkara yang diduga dilakukan Pemohon. Para petinggi Kejaksaan Agung itu bahkan secara tegas mengatakan bahwa saksi menguntungkan yang Pemohon minta itu tidak memenuhi kreteria sebagai saksi, yakni orang yang dapat menerangkan suatu tindak pidana yang ia “dengar sendiri, lihat sendiri dan mengalami sendiri”. Jampidsus Amari bahkan mengatakan bahwa saksi-saksi menguntungkan yang Pemohon minta itu “paling-paling akan mengatakan “test immonium de auditu” yakni “kata orang, kata orang”. Keterangan seperti itu menurutnya “tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di sidang pengadilan”; (Bukti P 20)
30. Bahwa karena permintaan untuk memanggil saksi-saksi yang menguntungkan itu telah kami lakukan berulang-ulang, namun tetap tak kunjung dipenuhi, maka dua diantara mereka, yakni H M Jusuf Kalla (Bukti P 20) dan Kwik Kian Gie (Bukti P 21) akhirnya dengan inisiatifnya sendiri telah menyampaikan keterangan tertulis mengenai kesaksian mereka tentang berbagai hal terkait dengan Sisminbakum, berdasarkan apa yang mereka ketahui. Keterangan tersebut telah disampaikan kepada Penyidik Kejaksaan Agung. Pemohon telah meminta agar keterangan kedua tokoh tersebut dimasukkan ke dalam berkas perkara, dan sekali lagi meminta agar mereka dipanggil dan diperiksa untuk dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), sesuai kesediaan mereka yang disebutkan secara tegas dalam keterangan tersebut. Permintaan itu telah dimuat dalam BAP pada pemeriksaan Pemohon tanggal 29 November 2010. Namun Pemohon belum mendapat kepastian apakah keterangan itu akan dimuat dalam berkas perkara atau tidak. Pemohon juga tidak mendapatkan jawaban yang pasti, apakah kesediaan HM Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie untuk diperiksa dan dimuat dalam BAP akan dipenuhi oleh Penyidik Kejaksaan Agung;
31. Bahwa Hak Pemohon untuk meminta didengarnya keterangan saksi-saksi yang dianggap menguntungkan Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3 ) dan ayat (4) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan ditolak oleh Penyidik dan para petinggi Kejaksaan Agung, jelas-jelas merugikan hak konstitusional pemohon yang dijamin oleh UUD Negara RI Tahun 1945. Alasan penolakan mereka itu rupa-rupanya didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 26 KUHAP tentang “saksi” dan ketentuan Pasal 1 angka 27 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tentang “keterangan saksi” ketika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) serta Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Kalaulah saksi dikualifikasi sebagai orang yang “melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri terjadinya suatu peristiwa pidana”, maka ada kemungkinannya bahwa Megawati, Kwik Kian Gie, Jusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono tidaklah memenuhi kualifikasi itu. Sementara “keterangan saksi” dikualifikasi sebagai keterangan dari orang yang “melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri” tindak pidana yang terjadi, maka keempat orang itupun memang tidak melihat sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri perbuatan “korupsi” yang diduga Pemohon lakukan. Kalau demikian – quad non — maka dapat dimengerti kalau Jampidsus Amari mengatakan bahwa “keterangan mereka tidak ada gunanya, dan tidak dapat dijadikan sebagai bukti di pengadilan”. Padahal, masih dapat dipersoalkan, seberapa luas cakupan makna seorang saksi yang harus dikualifiksai “melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri” itu. Karena, pada akhirnya pengadilan juga yang berwenang mempertimbangkan hal itu secara ten aanzien van het recht;
32. Bahwa keempat saksi yang menguntungkan, yakni Megawati Sukarnoputri, Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie dan Susilo Bambang Yudhoyono, hadir dalam sidang-sidang kabinet awal Mei 2000 di Istana Negara, Jalan Merdeka Utara No 1, Jakarta. Kwik Kian Gie menandatangani Letter of Intent dengan IMF tanggal 17 Mei 2000 di Kantor Menko Ekuin, Jalan Lapangan Benteng Timur No 1, Jakarta. Sedangkan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan Pemohon dimulai dengan rapat-rapat sampai penanda-tanganan dan sampai peresmian Sisminbakum pada bulan Oktober 2000 dan Januari 2001, semuanya terjadi di Departemen Kehakiman dan HAM Jalan Rasuna Said, Jakarta. Jadi memang ada perbedaan locus delicti dan tempus delicti antara dua peristiwa itu. Meskipun para saksi yang menguntungkan itu tidaklah “melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri” tindak pidana yang diduga Pemohon lakukan, namun keterangan mereka mengenai segala hal yang berkaitan dengan kebijakan Pemerintah dan penetapan PNBP sangatlah penting dan relevan untuk didengar. Bukankah keterangan mereka itu nantinya dapat dipandang oleh hakim sebagai mengetahui sesuatu dengan “melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri” secara staatsrechtelijk dan administratiefrechtelijk?
33. Bahwa walaupun demikian, ditolaknya permintaan Pemohon oleh Penyidik untuk mendengarkan keterangan saksi-saksi yang menguntungkan ini, dan kemungkinan ditolaknya keterangan mereka sebagai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon untuk diperlakukan adil dihadapan hukum. Oleh karena itu, tetaplah Pemohon memohonkan pengujian terhadap kaidah-kaidah yang diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 jo Pasal 65 jo Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dimaksud. Hal ini dipandang perlu untuk menghindari sifat multi-tafsir yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dari kaidah yang dikandung oleh pasal-pasal dimaksud;
34. Bahwa kerugian konstitusional seperti dikemukakan di atas, sesungguhnya bukan saja telah terjadi pada pemohon, tetapi mungkin pula telah merugikan begitu banyak orang yang selama ini terpaksa harus mendekam di dalam penjara karena permintaan mereka kepada Penyidik agar saksi yang menguntungkan dipanggil dan diperiksa telah ditolak berdasarkan definisi saksi sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP itu. Seorang tersangka atau terdakwa yang memohon agar dipanggil dan diperiksa beberapa orang sebagai saksi yang menguntungkan, karena tersangka atau terdakwa menyangkal sangkaan atau tuduhan dengan mengemukakan alibi, gagal membuktikan alibinya karena saksi-saksi yang menguntungkan bukanlah orang yang “melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri” tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.
35. Bahwa misalnya seseorang yang bernama Ahmad, tiba-tiba ditangkap polisi dengan tuduhan merampok dan membunuh pemilik toko emas di Pasar Baru hari Jum’at sore 22 Oktober 2010 sekitar maghrib. Ada sepuluh saksi yang mengaku melihat Ahmad melakukan perampokan dan pembunuhan itu. Senjata milik Ahmad tertinggal di toko itu. Sidik jari Ahmad juga ditemukan di sana. Kalau sudah begini, Ahmad tentu sudah tidak berkutik menghadapi polisi. Tapi Ahmad menyangkal melakukan perampokan dan pembunuhan. Pada Jum’at sore 22 Oktober 2010 dia menjadi imam shalat maghrib di Mesjid Pondok Indah dan sesudah itu memberi kultum kepada jama’ah. Ahmad minta kepada polisi agar pengurus masjid dan beberapa jamaah yang mendengar kultumnya itu diperiksa sebagai saksi yang menguntungkan untuk mendukung kebenaran alibinya. Tapi penyidik menolak dengan alasan tidak relevan, sebab saksi-saksi yang menguntungkan itu tidak “melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri” perampokan dan pembunuhan yang Ahmad lakukan di Pasar Baru, karena pada saat perampokan dan pembunuhan terjadi, mereka berada di Pondok Indah. Kalau definisi saksi seperti ini, hampir dapat dipastikan Ahmad akan dihukum, bahkan mungkin dengan hukuman mati. Ahmad akan menjadi korban kesewenang-wenangan aparatur penegak hukum dan diperlakukan secara tidak adil dan zalim. Seperti dikatakan O.C. Kaligis dalam disertasi doktornya di Universitas Padjajaran, dalam kenyataannya, untuk mengajukan saksi yang menguntungkan bukan saja seringkali ditolak oleh Penyidik, tetapi seringkali pula ditakut-takuti oleh Penyidik, sehingga saksi seperti itu gagal untuk dipanggil dan diperiksa. (O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka dan Terpidana. Bandung: PT Alumni, 2006, hal 249-250);
36. Bahwa definisi saksi dan keterangan yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 itu telah menimbulkan kesewenang-wenangan dan mendorong aparatur penegak hukum menerapkan hukum dengan melanggar hak-hak konstitusional tersangka atau terdakwa, yang berakibat orang-orang yang tidak bersalah, apalagi mereka miskin dan bodoh, terpaksa harus menjalani pidana penjara, pidana penjara seumur hidup, dan bahkan terpaksa harus menjalani hukuman mati. Keadaan seperti ini sungguh mengerikan dapat terjadi di Negara Hukum Republik Indonesia ini. Dalam pengalaman Pemohon sebagai Menteri Kehakiman dan HAM yang sering keluar-masuk melakukan inspeksi ke berbagai lembaga pemasyarakaran di seluruh tanah air, Pemohon telah menemukan puluhan narapidana kasus pembunuhan dan perampokan yang bercerita bahwa mereka sebenarnya bukanlah pembunuh dan perampok, tetapi mereka tidak dapat menghadirkan saksi-saksi menguntungkan sebagaimana diatur dalam Pasal 65 dan 116 ayat (3) dan (4) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Mereka dungu, lugu dan miskin, sehingga tidak sanggup mendatangkan penasehat hukum yang gigih untuk membela mereka. Mereka diperlakukan sewenang-wenang oleh aparatur penegak hukum bangsanya sendiri, bukan penegak hukum Bangsa Belanda di zaman penjajahan dahulu;
37. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, ternyata bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Kelima syarat mutlak sebagaimana dirumuskan dalam putusan di atas, yang harus dipenuhi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, Pemohon yakini telah terpenuhi dengan selengkap-lengkapnya, seperti diuraikan di bawah ini:
Syarat pertama adalah kualifikasi Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia, untuk bertindak sebagai pemohon sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Sebagai warganegara, Pemohon mempunyai hak-hak konstitusional yang diatur di dalam UUD Negara RI Tahun 1945;
Syarat kedua dengan berlakunya suatu undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan. Dengan berlakunya Pasal 1 angka 26 dan 27 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, kerugian konstitusional Pemohon adalah nyata dan terang-benderang. Sedangkan berlakunya ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf a, menurut penalaran yang wajar sesuatu yang sangat mungkin akan segera terjadi;
Syarat Ketiga, kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik. Penyidik telah memeriksa Pemohon sebagai Tersangka dengan cara yang tidak adil dan sewenang-wenang, nyata-nyata melanggar hak kosntitusional Pemohon. Penolakan pemanggilan saksi yang menguntungkan dalam proses pemeriksaan Pemohon adalah hal yang spesifik merugikan Pemohon;
Syarat Keempat , kerugian tersebut timbul akibat berlakunya undang-undang yang dimohon. Jelas kiranya bahwa akibat berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 26 dan 27 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Penyidik dan para petinggi Kejaksaa Agung telah melakukan tindakan yang tidak adil dan berlaku sewenang-wenang yang menimbulkan kerugian konstitusional Pemohon;
Syarat Kelima, kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi kalau permohonan ini dikabulkan. Dengan dikabulkannya permohonan ini, maka perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Penyidik dan petinggi Kejaksaan Agung yang tidak mau memanggil saksi-saksi yang menguntungkan Pemohon tidak akan terjadi lagi. Dengan dikabulkannya permohonan ini, maka Penyidik, Jampidsus dan Plt Jaksa Agung wajib memanggil dan memeriksa Megawati Sukarnoputri, Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai saksi yang menguntungkan yang Pemohon minta berdasarkan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Meskipun perkara Pemohon nantinya telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelum Mahkamah Konstitusi memutus mengabulkan permohonan ini, maka Kejaksaan Agung wajib menarik kembali berkas perkara dan memasukkan keterangan saksi yang menguntungkan ke dalam surat dakwaan, agar hak-hak konstitusional Pemohon tidak dilanggar lagi oleh Penyidik dan petinggi Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
38. Bahwa uraian di atas membuktikan bahwa Pemohon (Perseorangan Warga Negara Indonesia) memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini. Oleh karenanya, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kiranya dalam putusannya nanti menyatakan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam memohon pengujian undang-undang dalam perkara ini;
III. Alasan-Alasan Bersifat Kaidah (Normatif) Pemohon Mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 1 Angka 26 Dan 27 Jo 65 Jo Pasal 116 Ayat (3) Dan Ayat (4) Jo Pasal 184 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.
1. Bahwa Negara Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan oleh ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI tahun 1945 adalah “negara hukum”. Para Penyusun UUD Negara RI Tahun 1945 yang biasa disebut sebagai “the founding fathers” bangsa ini menjelaskan bahwa Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata (Machtsstaat). Penyebutan kata “rechtsstaat” dan “machtsstaat” di sini menunjukkan bahwa para pendiri Negara RI mengacu kepada konsep negara hukum atau “rechtsstaat” di Jerman. Julius Sthal menyebutkan bahwa ada tiga ciri rechtsstaat itu yakni: (a) perlindungan hak asasi manusia; (b) pembagian kekuasaan; dan (c) pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar. AV Dicey merumuskan negara hukum (rule of law) dengan tiga ciri yakni adanya (a) supermasi hukum; (b) persamaan di hadapan hukum; dan (c) “due process of law”. Dalam pemahaman tentang negara hukum di zaman sekarang, maka ciri-ciri negara hukum yang dirumuskan oleh Stahl dan Dicey itu digabungkan dan pada umumnya diterima para akademisi hukum sebagai ciri dari negara hukum modern.
2. Bahwa terkait dengan apa yang dirumuskan Dicey di atas, due process of law biasanya diartikan sebagai “a fundamental, constitutional guarantee that all legal proceeding will be fair and that one will be given notice of the proceedings and an opportunity to be heard the government act take away one’s life, liberty or property. Also a constitutional guarantee that the law shall not be unreasonable, arbitrary, or capricious”. Sedangkan kata arbitrary di sini diartikan “ a course of action or decicion that not based on the reason or judgement but on personal will or discreation without regards to rules standard”. Penekanan terhadap due process of law sebagai salah satu ciri negara hukum membawa konsekuensi bahwa tindakan-tindakan aparatur penyelenggara Negara bukan saja harus didasarkan atas norma-norma hukum materil yang adil, tetapi juga harus didasarkan pada hukum formil yang mengatur prosedur untuk menegakkan ketentuan-ketentuan hukum materil yang memenuhi syarat-syarat keadilan. Norma-norma hukum prosedur itu haruslah bersifat fair. Ketentuan-ketentuan tentang prosedur tidak boleh bersifat arbiter menurut selera penyelenggara kekuasaan Negara;
3. Bahwa UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP adalah ketentuan-ketentuan hukum acara yang harus mencerminkan adanya “due process of law” yang fair, pasti dan adil, jauh dari hal-hal yang bersifat arbiter. Oleh karena hukum pidana yang ingin ditegakkan oleh KUHAP membawa akibat sanksi hukum yang terkait dengan hak-hak asasi manusia seperti pidana penjara (yang menyebabkan seseorang kehilangan kemerdekaannya), penyitaan hak milik, dan bahkan pidana mati (yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang yang tidak dapat dipulihkan lagi), maka hukum prosedur untuk menegakkan hukum materil itu haruslah bukan saja harus bersifat fair, tetapi juga bersifat pasti dan adil. Ketidakfairan, ketidakpastian dan ketidakadilan hukum prosedural dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, karena seseorang dapat dipidana kehilangan kemerdekaan, penyitaan hak milik bahkan kehilangan nyawa akibat penerapan hukum materil yang secara prosudural tidak memenuhi standard due process of law, kepastian hukum dan keadilan;
4. Bahwa lebih berbahaya lagi apabila hukum procedural ini dilakukan secara arbiter oleh aparat penegak hukum. Tindakan, langkah dan keputusan aparatur penegak hukum bukan didasarkan pada kidah hukum yang pasti dan adil, tetapi dilakukan berdasarkan selera penegak hukum itu sendiri. Padahal di negara hukum, hukumlah yang menjadi panglima, bukan person-person penegak hukum. Inilah yang di Amerika Serikat disebut oleh Dicey dengan istilah “the rule of law not of man”. Kaidah-kaidah hukum yang tidak pasti pada satu pihak, atau malah ketiadaan kaidah hukum yang mengatur prosedur dalam penegakan hukum pidana, bukan saja dapat merusak citra Negara hukum sebagaimana ditegaskan oleh konstitusi, tetapi juga membuka peluang selebar-lebarnya bagi penggunaan kekuasaan (machtsstaat) dan pelanggaran hak asasi manusia. Padahal, Pasal 28I ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945 mengatur bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Bahkan Penjelasan Umum KUHAP itu sendiri mengatakan bahwa “penghayatan, pengamalan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warganegara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warganegara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini”;
5. Bahwa ketika seorang individu ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dalam suatu perkara tindak pidana, maka individu tersebut pada hakikatnya berhadapan dengan Negara. Jika individu itu adalah warganegara dari Negara yang bersangkutan, maka pada hakikatnya dia berhadapan dengan negaranya sendiri. Negara melalui aparatur-aparaturnya memang berwenang menegakkan hukum kepada siapa saja yang disangka bersalah. Namun pada sisi lain, aparatur Negara juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warganegaranya sendiri. Tidak ada pilihan lain ketika negara berhadapan dengan dilemma ini, kecuali Negara memegang teguh prinsip keadilan. Karena itu, Friedman mengatakan, negara hukum harus dibedakan dalam dua kategori, yakni Negara hukum dalam arti formil, yakni “organized public power”, dan negara hukum dalam arti materil yakni “the rule of just law”. Lebih-lebih apabila kaidah hukum terlihat samar-samar atau kurang tegas sehingga membuka peluang multi tafsir, maka tafsir yang mengedepankan keadilanlah yang harus dipergunakan;
6. Bahwa UU No 8 Tahun 1981 adalah produk Negara RI untuk menggantikan Het Herziene Inlandsche Reglement (HIR) (Stb. Tahun 1941 No 44) warisan kolonial Hindia Belanda, meskipun telah diperbaharui dengan UU No 1 Drt Tahun 1951. Walaupun UU ini lahir jauh sebelum amademen konstitusi yang begitu mengedepankan hak asasi manusia, namun semangat para penyusun undang-undang ini telah begitu maju dengan mengadopsi berbagai ketentuan dari Deklerasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pasal 14 ayat (3) e Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) berbunyi sebagai berikut “In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantees, in full equality: To examine, or have examined, the witnesses against him and to obtain the attendance and examination of witnesses on his behalf under the same conditions as witnesses against him; (Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan, setiap orang berhak atas jaminan minimum berikut, dalam persamaan yang penuh: untuk memeriksa, atau meminta diperiksanya, saksi-saksi yang memberatkannya, dan meminta dihadirkannya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat yang sama seperti saksi-saksi yang memberatkannya);
7. Bahwa kovenan di atas telah diratifikasi oleh Pemerintah RI dengan UU No 11 Tahun 2005. Pemohon berpendapat, due process of law yang disebut dalam kovenan itu memuat prinsip keadilan dan keseimbangan. Dalam pemeriksaan terhadap seorang tersangka, Penyidik dengan leluasa menghadirkan saksi-saksi yang memberatkan. Demikian pula tersangka berhak meminta dihadirkannya saksi-saksi yang menguntungkannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkan. Ketentuan Pasal 14 ayat (3) Kovenan itu sesungguhnya telah menjiwai perumusan Pasal 65 dan 116 ayat (3) KUHAP. Bahkan KUHAP melangkah satu tahap lebih maju, dengan mewajibkan penyidik memanggil dan memeriksa saksi-saksi yang menguntungkan itu (ayat 4). Prinsip yang dianut oleh kovenan ini adalah sejalan kaidah yang dimuat di dalam Pasal 28D ayat (1) yang memuat kaidah jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
8. Bahwa menurut hemat Pemohon, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang kaidah konstitusionalnya diatur di dalam Pasal 28D ayat (1), akan terwujud jika Pasal 65 jo 116 ayat (3) KUHAP tidak membuka peluang multi tafsir. Seperti telah Pemohon katakan, kaidah hukum pidana termasuk kaidah hukum proseduralnya, karena membawa implikasi yang langsung kepada hak asasi, haruslah tegas dan pasti. Dalam kepastian itulah terletak adanya jaminan dan perlindungan. Kalau kaidah multi tafsir, dan tidak pasti, bagaimanakah kaidah undang-undang itu dapat memberikan jaminan dan perlindungan? Dengan demikian, kaidah dalam kedua pasal UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ini, yaitu siapa saksi yang akan diminta oleh tersangka dan/atau terdakwa, semestinya, demi kepastian hukum, tidaklah dapat dipersoalkan oleh Penyidik. Biarlah hakim yang menilai apakah keterangan saksi yang menguntungkan yang diminta oleh tersangka dan/atau terdakwa itu relevan atau tidak dengan perkara pidana yang dituduhkan. Karena memutus perkara, bukanlah kewenangan Penyidik, melainkan kewenangan hakim.
9. Bahwa selanjutnya, kaidah yang terkandung di dalam Pasal 28D ayat (1) menegaskan keberadaan kepastian hukum yang adil. Apakah dengan tafsir yang memberikan kewenangan kepada Penyidik untuk menolak pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi yang menguntungkan, akan menjamin dan memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil? Seperti telah dikemukakan di atas, keadilan akan terujud jika Penyidik yang bertindak atas nama negara memiliki hak yang sama untuk memanggil dan memeriksa saksi-saksi. Penyidik dalam menjalankan tugasnya, berkewajiban untuk membuktikan dugaan atau dakwaannya. Walaupun sistem pembuktian dalam hukum acara pidana kita tidak mengenal sistem pembuktian terbalik, namun dalam rangka keadilan, tersangka dan/atau terdakwa juga berhak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, antara lain dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi yang menguntungkan, termasuk saksi a de charge. Kalau tafsir yang mengatakan bahwa Penyidik berwenang menilai dan menolak saksi-saksi menguntungkan yang diminta tersangka dan/atau terdakwa, sementara tersangka/terdakwa tidak berhak menilai dan menolak saksi-saksi fakta yang memberatkan, maka proses penyidikan akan berjalan dengan tidak seimbang, berat sebelah, sehingga meniadakan prinsip adil yang kaidahnya diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945;
10. Peniadaan prinsip adil dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 nyata-nyata akan terlihat dalam rumusan kesimpulan hasil penyidikan yang dibuat Penyidik dalam Berita Acara Pemeriksaan. Kalau BAP hanya memuat keterangan saksi fakta atau saksi yang memberatkan belaka, tanpa satupun memuat keterangan saksi yang menguntungkan, termasuk saksi a de charge, maka sudah hampir dapat dipastikan bahwa kesimpulan penyidikan secara otomatis akan memberatkan tersangka. Sedangkan kesimpulan hasil penyidikan inilah memang apa yang tertuang dalam surat dakwaan belumlah final karena harus dibuktikan dalam persidangan, dalam langkah pertama persidangan, surat dakwaannya telah menghilangkan prinsip adil sebagaimana kaidahnya diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Prinsip adil haruslah terujud dalam semua tahapan, mulai dari penyelidikan sampai putusan pengadilan;
11. Bahwa selain adanya multi tafsir atas ketentuan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP mengenai saksi yang menguntungkan sebagaimana telah diuraikan dalam 9 point di atas, masalah lain yang juga menimbulkan multi tafsir adalah pada tahapan manakah saksi-saksi yang menguntungkan itu harus diperiksa. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus M Amari dan Direktur Penyidikan pada Jampidsus Jasman Panjaitan menafsirkan bahwa saksi yang menguntungkan itu bukan diperiksa pada tahapan penyidikan, tetapi dihadirkan untuk didengar keterangannya di persidangan. Pendapat ini dikuatkan oleh pakar hukum pidana Prof Dr Andi Hamzah yang tegas-tegas mengatakan tidak ada pemeriksaan saksi yang menguntungkan dalam tahap penyidikan. Bahkan dikatakan Hamzah “Tidak logis bila tersangka meminta saksi yang meringankan kepada jaksa. Itu bukan tugas jaksa, jaksa hanya mencari saksi yang memberatkan”. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Dr. Indra Shanun Lubis yang mengatakan “Walaupun penyidik wajib memanggil saksi a de charge sesuai pasal 116 KUHAP, tetapi… Penyidik boleh tidak memenuhinya”. (Bukti P23)
12. Bahwa sebaliknya, Prof Dr Romly Atmasasmita, Dr. Maqdir Ismail, Dr. Teguh Samudra, Mohammad Assegaf dan pengajar hukum acara pidana Fakultas Hukum UI, Chudri Sitompul menafsirkan bahwa saksi yang menguntungkan itu dapat diperiksa pada semua tahapan proses penegakan hukum pidana, mulai dari penyidikan sampai persidangan pada pengadilan negeri, banding dan kasasi (Bukti P24). Adanya tafsir yang beragam ini, yang berujung pada adanya kewenangan Penyidik untuk menolak memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan yang diminta tersangka, telah meniadakan prinsip kepastian hukum yang kaidah konstitusinya diatur di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945;
13. Bahwa adanya tafsir yang beraneka-ragam terhadap kaidah yang diatur dalam Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, akhirnya menyebabkan tersangka dan/atau terdakwa diperlakukan tidak sama di hadapan hukum. Padahal kaidah “perlakuan yang sama di hadapan hukum” tegas-tegas diatur dalam frasa terakhir ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Ada tersangka dan/atau terdakwa yang permintaannya untuk didengarnya dan diperiksanya saksi yang menguntungkan, termasuk saksi a de charge pada tahap penyidikan yang dikabulkan, namun ada yang ditolak oleh Penyidik yang semuanya didasarkan atas penilaian Penyidik sendiri. Seperti dikatakan Dr O.C Kaligis, sebagaimana telah dikutip di awal permohonan ini, dalam kenyataannya, akibat tafsir yang beragam itu, seringkali permintaan tersangka dipersulit dan bahkan ditakut-takuti oleh Penyidik;
14. Bahwa kaidah “Negara hukum” dan “jaminan kepastian hukum yang adil” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 nyata-nyata dilanggar oleh norma undang-undang dalam Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jika dihubungkan dengan defenisi saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Saksi dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, menurut Chudri Sitompul, dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yakni (1) saksi fakta atau saksi peristiwa; (b) saksi yang menguntungkan; dan (c) saksi a de charge. Saksi menguntungkan diatur dalam Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981. Sedangkan saksi a de charge hanya disebutkan di dalam Penjelasan Pasal 116 ayat (3) “Termasuk ke dalam kategori saksi yang menguntungkan adalah saksi a de charge”. Sementara apakah yang dimaksud dengan saksi? Jawabannya ada di dalam Pasal 1 angka 26 yang kaidahnya mengatakan “saksi ialah orang yang dapat menerangkan terjadinya suatu peristiwa pidana yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri dan ia alami sendiri”.
15. Bahwa menurut hemat Pemohon, defenisi saksi yang kaidahnya dirumuskan dalam Pasal 1 angka 26 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP seperti dikemukakan di atas, hanyalah relevan dengan saksi fakta atau saksi peristiwa atau saksi yang memberatkan. Kalau dipergunakan metode penafsiran a contrario, maka saksi yang “tidak melihat sendiri, tidak mendengar sendiri dan tidak mengalami sendiri suatu peristiwa pidana” bukanlah saksi atau tidak dapat dijadikan sebagai saksi. Sementara Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 kaidahnya mengatur tentang keberadaan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge. Sedangkan kedua jenis saksi terakhir ini, tidaklah selalu melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri terjadinya suatu peristiwa pidana. Apakah dengan demikian, saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge itu harus dianggap tidak ada? Kalau dianggap tidak ada, mengapa kaidah dalam Pasal 65 Jo Pasal 116 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP mengatur keberadaannya?
16. Bahwa menurut hemat Pemohon, keterangan saksi menguntungkan dan saksi a de charge itu sangatlah penting bagi tersangka dan/atau terdakwa, walaupun mereka tidak melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri peristiwa pidana yang terjadi. Namun kesaksian mereka mempunyai keterkaitan dengan peristiwa pidana yang dituduhkan dan berguna bagi kepentingan penyidikan yang adil dan dalam rangka pembelaan seorang tersangka dan/atau terdakwa, sesuai dengan due process of law yang menjadi salah satu ciri negara hukum sebagaimana kaidahnya diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945. Jelaslah kiranya, kaidah yang berisi defenisi saksi dalam Pasal 1 angka 26 telah mengaburkan keberadaan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge yang kaidah undang-undangnya diatur dalam Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Kaidah undang-undang yang mengaburkan keberadaan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge ini nyata-nyata bertentangan dengan kaidah konstitusi, khususnya due process of law (proses pemeriksaan yang benar dan adil) yang menjadi salah satu ciri Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945;
17. Bahwa keberadaan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge yang kaidah undang-undangnya diatur di dalam Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 sebenarnya telah sejalan dengan kaidah yang berisi jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana kaidahnya konstitusinya diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Namun kaidah undang-undang yang mengatur tentang defenisi tentang saksi dalam Pasal 1 angka 26 dihubungkan dengan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 telah menimbulkan pertentangan dengan kaidah konstitusi yang mengatur adanya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil itu. Jaminan dan perlindungan menjadi tidak jelas dengan defenisi saksi yang tidak mencakup saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge seperti itu. Demikian pula kepastian hukum menjadi lenyap, dan keadilan menjadi terabaikan akibat berlakunya kaidah undang-undang yang mengatur defenisi tentang saksi dalam Pasal 1 angka 26 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Kaidah undang-undang ini nyata-nyata bertentangan dengan kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945;
18. Bahwa kaidah undang-undang sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 27 yang mendefinisikan “keterangan saksi” sebagai keterangan dari orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri terjadinya suatu peristiwa pidana dan ia memberikan alasan tentang keterangannya itu, adalah idem dito dengan definisi saksi dalam Pasal 1 angka 26, jika kaidah dalam pasal ini dihubungkan dengan Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Kaidah undang-undang yang diatur dalam ini menempatkan “keterangan saksi” dalam urutan pertama alat bukti dalam persidangan. Penempatan dalam urutan pertama ini menunjukkan bahwa “keterangan saksi” sangatlah utama sebagai alat bukti, jauh lebih utama dibandingkan dengan alat-alat bukti yang lain. Namun “keterangan saksi” yang kaidah undang-undangnya diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a undang-undang ini, sekali lagi hanya sesuai dengan keterangan saksi fakta atau saksi peristiwa atau saksi yang memberatkan belaka;
19. Bahwa definisi “keterangan saksi” seperti di atas tidak selalu dapat diterapkan pada keterangan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge. Dengan demikian kaidah undang-undang yang mengatur tentang defenisi keterangan saksi itu dapat mengakibatkan keterangan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge sia-sia untuk dijadikan sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a, apabila mereka tidak melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri terjadinya tindak pidana yang dituduhkan itu. Keterangan dari saksi-saksi alibi dalam suatu perkara pidana sangatlah penting kedudukannya. Karena dengan bukti alibi, maka penyidikan terhadap tersangka dapat dihentikan. Demikian pula di persidangan, bukti alibi dapat membebaskan seorang terdakwa dari segala tuntutan hukum. Kalau keterangan saksi alibi tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan, maka akan banyak terdakwa yang dihukum semena-mena. Pengabaian keterangan saksi alibi sebagai alat bukti yang sah adalah berlawanan dengan due process of law yang menjadi ciri negara hukum. Maka jelaslah bahwa kaidah undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 27 dihubungkan dengan Pasal 6 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bertentangan dengan kaidah konstitusi yang mengatur negara hukum, sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945;
20. Bahwa dalam sejarah hukum kita, kasus Sengkon dan Karta (1976) yang kemudian mendorong lahirnya lembaga “herzeining” atau peninjauan kembali (PK) dalam hukum acara pidana kita, justru diawali oleh ketidak-mauan penyidik memanggil dan memeriksa saksi-saksi alibi, sehingga keduanya harus dihukum, sedangkan mereka sebenarnya tidak bersalah. Padahal keberadaan saksi yang menguntungkan (dalam kasus Sengkon dan Karta adalah saksi alibi) dan saksi a de charge diakui oleh kaidah undang-undang yang diatur dalam Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) undang-undang ini, sebagai bagian dari due process of law yang menjadi salah satu ciri negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945. Jelaslah bahwa kaidah undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 27 dihubungkan dengan Pasal 184 ayang (1) huruf a bertentangan dengan kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
21. Bahwa defenisi keterangan saksi yang kaidahnya diatur dalam Pasal 1 angka 27 yang hanya sesuai dengan keterangan saksi fakta atau saksi peristiwa atau saksi yang memberatkan diubungkan dengan kaidah yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a, sesungguhnya telah menghilangkan adanya prinsip jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Kalau definisi saksi seperti itu mengakibatkan tidak dapatnya keterangan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge dijadikan sebagai alat bukti, karena mereka tidak melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri terjadinya suatu peristiwa pidana, maka kaidah undang-undang tersebut bertentangan dengan kaidah konstitusi yang mengatur adanya jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Kepastian hukum menjadi hilang, kalau pada satu pihak keberadaan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge diakui, sementara pada sisi lain, keterangan mereka tidak dapat dijadikan sebagai keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah sebagaimana kaidahnya diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Kaidah undang-undang seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan kaidah konstitusi yang mengatur keharusan adanya kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945;
22. Bahwa kalau kepastian hukum sudah tidak ada, maka dengan sendirinya tidak akan ada jaminan dan perlindungan atas kepastian hukum itu. Kalau hanya keterangan saksi fakta atau saksi peristiwa atau saksi yang memberatkan saja yang dapat dijadikan sebagai alat bukti, sementara keterangan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge belum tentu dapat dijadikan alat bukti, maka prinsip jaminan dan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagai kaidah konstitusi yang diatur oleh Pasal 28D ayat (1) jelas-jelas telah dilanggar oleh kaidah undang-undang yang diatur oleh Pasal 1 angka 27 dihubungkan dengan Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;
23. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas jelaslah kiranya bahwa norma undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1981 adalah bertentangan dengan kaidah konstitusi yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945. Kaidah-kaidah undang-undang itu juga bertentangan dengan kaidah konstitusi yang mengatur tentang pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945;
24. Bahwa menghadapi kenyataan di atas, sesuai dengan isi permohonan ini, maka semestinya Mahkamah Konsitusi yang dikenal sebagai “the guardian and the final interpreter of constitution” untuk menyatakan bahwa kaidah-kaidah undang-undang yang diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 dihubungkan dengan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No 1 tahun 1981 tentang KUHAP adalah bertentangan dengan kaidah konstitusi yang berkaitan dengan asas negara hukum dan asas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta persamaan di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Namun menurut hemat pemohon, apabila kaidah-kaidah undang-undang itu dibatalkan, maka akan terjadi kevakuman hukum, khususnya dalam kaitannya dengan saksi fakta, saksi peristiwa atau saksi yang memberatkan, yang juga sangat penting kedudukannya dalam penegakan hukum;
25. Bahwa menurut hemat Pemohon, kevakuman kaidah hukum yang merumuskan defenisi yang memuat kualifikasi saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge sebenarnya telah terjadi sejak awal penyusunan UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Sebagai mantan Menteri Kehakiman dan HAM yang di masa lalu banyak terlibat dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum, Pemohon menyadari bahwa tidak ada undang-undang yang sempurna. Meskipun KUHAP dinyatakan sebagai “karya agung bangsa Indonesia” namun seiring dengan berjalannya waktu, ada saja celah-celah kelemahan perumusan kaidah, yang di kemudian hari justru dimanfaatkan oleh aparatur penegak hukum yang masih dijiwai oleh semangat “control crime model” a la HIR. Kecenderungan arogansi kekuasaan pada sementara aparatur penegak hukum kita, justru memanfaatkan kelemahan rumusan kaidah undang-undang ini untuk memperlakukan tersangka dan/atau terdakwa secara sewenang-wenang. Apa daya, mereka lemah, bodoh dan miskin, sehingga mereka menjadi korban kesewenang-wenangan aparatur yang nota bene adalah bangsanya sendiri. Keadaan seperti tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja;
26. Bahwa kewenangan untuk mengisi kevakuman itu, menurut mekanisme konstitusi kita, sesungguhnya adalah kewenangan pembuat undang-undang, dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden (Pasal 5 jo Pasal 20 UUD Negara RI Tahun 1945). Namun mengingat proses itu akan sangat tergantung pada ada atau tidaknya keinginan pembuat undang-undang untuk mengisinya, yang tentunya akan memakan waktu yang relatif lama, maka dengan merujuk pada Putusan Mahkamah No 49/PUU-VIII/2010 dan putusan-putusan sebelumnya, maka mahkamah dapat mengisi kevakuman itu dengan cara memberikan penafsiran untuk memaknai suatu kaidah undang-undang sebagai hukum positif yang berlaku, agar terjadi kontitusionalitas dengan kaidah konstitusi. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memaknai kaidah undang-undang sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 dihubungkan dengan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP agar menjadi konstitusional terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945;
27. Bahwa pemaknaan yang Pemohon maksudkan ialah, jika definisi tentang saksi dan keterangan saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 65 dan 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a, dibiarkan begitu saja, maka kaidah undang-undang yang diatur dalam pasal-pasal itu secara kondisional tetap inkonstitusional (conditionanally unconstitutional), yakni bertentangan dengan kaidah-kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Di dalam sebuah negara hukum, para penyelenggara negara, apalagi yang memiliki kewenangan yang relevan dengan proses pembuatan undang-undang, tidak boleh membiarkan adanya kaidah hukum positif yang berlaku, yang bersifat conditionally unconstitusional seperti itu;
28. Bahwa untuk menjadikan kaidah undang-undang yang memuat defenisi kualifikasi saksi dan keterangan saksi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 UU No 8 tahun 1981 menjadi constionally constitutional, maka kaidah itu haruslah dimaknai bahwa saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge tidaklah selalu harus diartikan sebagai “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri” tetapi orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu menurut penilaian tersangka dan/atau terdakwa, berhubungan dengan tindak pidana yang diduga dan/atau didakwakan kepadanya akan bersifat menguntungkan dan/atau meringankan dirinya. Demikian pula halnya dengan definisi keterangan saksi tidaklah selalu harus diartikan sebagai “alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu”, tetapi alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi yang mengenai suatu peristiwa pidana yang tidak selalu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Penafsiran dengan cara pemaknaan seperti ini, menurut hemat Pemohon akan membuat kaidah-kaidah undang-undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 26 itu secara kondisional adalah konstitusional (conditionally constitution) terhadap kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945;
29. Bahwa dengan penafsiran seperti angka 28 di atas, maka Megawati Sukarnoputri, Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie dan Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun mereka tidak melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon, keempat orang tersebut memenuhi kualifikasi sebagai saksi yang menguntungkan bagi Pemohon. Keterangan mereka sebagai keterangan saksi yang menguntungkan Pemohon harus diartikan sebagai “keterangan saksi” sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;
30. Bahwa Pemohon menyadari, sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, perkara pengujian undang-undang adalah perkara yang abstrak dan tidak mengaitkannya dengan suatu peristiwa yang kongkrit. Sementara putusan Mahkamah Konstitusi juga bersifat deklaratoir dan bukan bersifat imperatif dalam bentuk suatu amar putusan untuk memerintahkan kepada pihak-pihak tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan seseuatu yang disebutkan dalam diktum putusan. Menurut hemat Pemohon, disinilah letak kekurangan dari UU Mahkamah Konstitusi, karena putusannya yang bersifat abstrak, sementara permohonan hanya dapat dilakukan oleh subyek hukum yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dengan syarat-syarat yang ketat, seperti tertuang dalam yurispridensi mahkamah dalam Putusan No 006/PUU-III/2005 dan Putusan No 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan berikutnya. Lima syarat kerugian konstitusional yang dijadikan sebagai kedudukan hukum (legal standing) itu bukanlah sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang benar-benar kongkrit, nyata, faktual dan secara spesifik memang terjadi pada Pemohon;
31. Bahwa permohonan yang berangkat dari sesuatu yang benar-benar kongkrit, akankah menjadi wajar kalau kemudian diberikan ganjaran yang semata-mata bersifat abstrak? Pemohon ingin mengutipkan sebuah kaidah keagamaan yang termaktub di dalam al-Qur’an Surah Al-Zalzalah ayat 7 dan 8 yang mengatakan “famay ya’mal mitsqalazarratin khairan yarah, wa may ya’mal mitsqalalazarratin syarran yarah”, yang artinya “Barangsiapa berbuat sekecil apapun kebajikan, maka kebajikan itu akan dibalas dengan kebajikan yang setimpal, dan barangsiapa yang berbuat sekecil apapun keburukan, maka keburukan itu akan dibalas pula dengan keburukan yang setimpal”. Kaidah yang termaktub di dalam al-Qur’an ini dipercayai oleh lebih satu milyar kaum Muslimin di dunia ini sebagai suatu kaidah moral yang bersifat universal. Kaidah ini mengajarkan bahwa suatu perbuatan, baik atau buruk, haruslah mendapat ganjaran yang setimpal. Sementara suatu permohonan yang berawal dari kerugian konstitusional yang kongrit, nyata, faktual dan spesifik, menjadi tidak setimpal bila diberikan ganjaran yang bersifat abstrak. Kedudukan kaidah moral yang bersifat universal itu — seperti dikatakan filsuf Islam Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin dan filsuf Katholik Santo Thomas Aquinas dalam Summa Theologia — lebih tinggi kedudukannya daripada kaidah hukum. Aquinas bahkan mengatakan, kaidah hukum yang bertentangan dengan kaidah moral, tidaklah pantas untuk dipertimbangkan sebagai kaidah hukum.
32. Bahwa menurut hemat Pemohon, putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang hendaknya tidak semata-mata bersifat abstrak yang berlaku bagi semua orang dan semua lembaga, tetapi khusus bagi Pemohon yang telah bersusah payah mengajukan permohonan, dapat dipertimbangkan untuk mengabulkan permohonan yang bersifat kongkrit, yang berawal dari kerugian konstitusional yang dideritanya sebagaimana yang dijadikan sebagai kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan. Bukankah dalam Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007, Mahkamah telah merumuskan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK adalah antara lain “adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti itu tidak akan atau tidak lagi akan terjadi”. Bagaimana mungkin kerugian konstitusional pemohon itu “tidak akan atau tidak lagi akan terjadi” setelah permohonan dikabulkan, kalau putusan mahkamah ternyata bersifat prospektif dan tidak bersifat retro-aktif? Ada semacam kontradiksi antara rumusan ini dengan apa yang diperoleh pemohon setelah permohonannya dikabulkan mahkamah;
33. Bahwa Pemohon menyadari bahwa sifat putusan mahkamah yang bercorak prospektif didasarkan pada ketentuan Pasal 47 UU MK yang mengatakan “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum” dan ketentuan Pasal 58 yang mengatakan “Undang-undang yang sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum adanya putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pada hemat Pemohon, norma yang diatur di dalam dua pasal ini tidaklah menutup kemungkinan bahwa putusan tentang pengujian undang-undang tidak dapat diberlakukan secara retroaktif khusus bagi Pemohon yang nyata-nyata menderita kerugian konstitusional akibat berlakunya suatu kaidah undang-undang. Undang-undang yang sedang diuji memang semestinyalah tetap berlaku sebelum adanya putusan mahkamah yang menyatakan undang-undang itu bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.
34. Bahwa dalam hemat Pemohon, seketika mahkamah memutuskan bahwa undang-undang itu bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945, apakah bermaka bahwa undang-undang tersebut baru bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 pada saat mahkamah membacakan putusan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU MK? Hakikat sebenarnya tidaklah demikian, karena secara materil undang-undang itu memang telah bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 sejak undang-undang itu disahkan. Dengan demikian, tetap terbuka peluang bagi mahkamah untuk menyatakan dalam putusannya bahwa khusus bagi pemohon, undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku sejak pemohon menderita kerugian konstitusional yang bersifat nyata, faktual dan kongkrit dan karenanya mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Putusan mahkamah itu berlaku sejak diucapkan sesuai ketentuan Pasal 47 UU MK;
35. Bahwa dalam hemat Pemohon, sifat putusan mahkamah dalam perkara pengujian undang-undang yang semata-mata bersifat abstrak, walaupun adil, namun berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Secara logis kalau kaidah undang-undang diuji dengan kaidah undang-undang dasar, maka putusannya tentulah harus bersifat abstrak. Namun mengingat pemohon mengajukan permohonan yang berawal dari kerugian konstitusional yang bersifat kongkrit, nyata, faktual dan spesifik, maka Pemohon memohon kepada mahkamah untuk mempertimbangkan, bahwa putusan mahkamah dalam perkara pengujian undang-undang memang bisa saja bersifat abstrak, tetapi implikasi konstitusional dan yuridis dari putusan haruslah mengandung suatu kepastian hukum yang bersifat kongkrit. Pemohon yakin bahwa mahkamah akan memberikan putusan yang adil, tetapi Pemohon ingin mengutip apa yang dikatakan Prof Dr Romly Atmasasmita sebagaimana tertulis dalam jargon BlackBerry Massages-nya bahwa keadilan itu abstrak, tetapi kepastian hukum adalah sesuatu yang kongkrit. Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang bukanlah semata-mata mengharapkan adanya keadilan yang abstrak dengan putusan mahkamah, melainkan juga adanya suatu kepastian hukum yang kongkrit terhadap kerugian konstitusional yang telah dideritanya;
36. Bahwa Amrozy – terpidana mati dalam kasus Bom Bali misalnya — sudah susah payah mengajukan permohonan untuk menguji Perpu No 2 Tahun 2002 jo UU No 16 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Surut Perpu No 1 Tahun 2002 jo UU No 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme khusus untuk Peristiwa Pemboman di Bali, yang kaidah undang-undangnya dinilai bertentangan dengan kaidah konstitusi seperti tertuang dalam Pasal 28I ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Permohonan dikabulkan oleh mahkamah, namun tidak membawa manfaat apapun bagi diri Amrozy, karena sifat putusan yang bersifat abstrak dan berlaku secara prospektif. Amrozy hanya mendapatkan pahala sebagai amal jariah, karena permohonannya yang dikabulkan itu membawa manfaat bagi orang banyak, yang dalam keyakinan Islam berdasarkan hadits Rasulullah s.a.w, pahalanya akan terus mengalir sampai ke alam baka, ketika yang bersangkutan sudah mati. Padahal mungkin bagi Amrozy dan tim penasehat hukumnya, mereka mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi, bukanlah semata-mata mengharapkan pahala amal jariyah untuk di akhirat, melainkan putusan itu diharapkan akan membawa implikasi konstitusional dan yuridis bagi pemohon di atas dunia yang fana ini. Pemohon memohon kiranya mahkamah dapat mengakhiri harapan manusia seperti Amrozy yang nampak melakukan penantian yang sia-sia selama hidupnya agar putusan mahkamah membawa sesuatu yang kongkrit pada dirinya. Namun apa yang dinanti tak kunjung tiba sampai akhirnya Amrozy dieksekusi dihadapan regu tembak. Nasib Amrozy bagaikan orang menanti Godot yang tak kunjung datang, sebagaimana dikisahkan Samuel Beckett dalam novelnya “Waiting for Godot” yang terkenal itu;
37. Bahwa ada kemungkinan lain yang akan terjadi, yakni putusan Mahkamah Konstitusi yang mengandung keadilan yang bersifat abstrak itu akan sengaja ditafsir-tafsirkan oleh pihak-pihak yang beragam kepentingan, sehingga akhirnya melenyapkan kepastian hukum yang bersifat kongkrit dari putusan itu. Padahal, dalam perkara pengujian undang-undang, lebih khusus lagi dalam uji tafsir kaidah undang-undang terhadap kaidah konstitusi, pemohon justru berharap-harap agar mahkamah dapat menafsirkan atau memaknai suatu kaidah undang-undang yang samar-samar dan multi tafsir, serta yang bersifat conditionally constitutional ataupun conditionally unconstitutional, menjadi terang-benderang dan mempunyai kepastian hukum yang kongkrit. Pemohon mempunyai pengalaman dalam perkara pengujian undang-undang No 49/PUU-VIII/2010 yang mengabulkan sebagian permohonan Pemohon, namun ternyata putusan mahkamah telah ditafsir-tafsirkan semaunya sendiri (saenake dewe, bahasa Jawanya) dengan mengemukakan “Enam Sikap Pemerintah Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi” yang disampaikan dalam sebuah konfrensi pers oleh Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Prof Dr Denny Indrayana, yang mencoba untuk mengaburkan dan bahkan menghilangkan kepastian hukum putusan mahkamah;
38. Bahwa untuk menghadapi kemungkinan ini seperti di atas, Pemohon memohon agar putusan atas permohonan ini nantinya dinyatakan membawa implikasi konstitusional dan yuridis, yakni wajibnya Penyidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk memanggil dan memeriksa Megawati Sukarnoputri, HM Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai saksi yang menguntungkan bagi Pemohon sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi melanggar ketentuan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 12 huruf i UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagai kerugian konstitutional Pemohon yang dijadikan sebagai kedudukan hukum (legal standing) yang Pemohon alami secara nyata, faktual dan spesifik, terhitung sejak terjadinya kerugian konstitusional itu, yakni dinyatakannya Pemohon sebagai Tersangka oleh Kejaksaan Agung sejak tanggal 24 Juni 2010. Pernyataan (deklaratoir) dalam putusan mahkamah, tentang implikasi konstitusional dan yuridis dari putusan itu, menurut hemat Pemohon, bukanlah suatu putusan yang bersifat amar (perintah) kepada sebuah institusi penyelenggara negara ataupun orang-perseorangan;
39. Bahwa untuk memperkuat dalil-dalil yang Pemohon kemukakan di atas, dalam pemeriksaan perkara ini, Pemohon selain mengajukan bukti-bukti, juga akan menghadirkan ahli-ahli untuk memperkuat dalil-dalil Pemohon;
IV. Petitum
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, serta keterangan para ahli yang akan didengar dalam pemeriksaan perkara, dengan ini Pemohon mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk menguji ketentuan Pasal 1 angka 26 dan 27 jo Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (LN 1981 No 76 dan TLN 1981 No 3209) terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Menyatakan bahwa Pasal 1 angka 26 dan 27 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (LN Tahun 1981 No 76 dan TLN 1981 No 3209) adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge adalah orang yang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang tidak selalu dan/atau mesti ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang tidak selalu dan/atau mesti ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Meminta dipanggil dan diperiksanya saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge adalah hak tersangka yang wajib dipanggil dan diperiksa oleh Penyidik, tanpa adanya kewenangan Penyidik untuk menilai dan menolak melaksanakan kewajiban itu.
3. Menyatakan bahwa putusan ini membawa implikasi kostitusional dan yuridis kepada Penyidik pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang memeriksa Pemohon, untuk memanggil dan memeriksa saksi-saksi yang menguntungkan yang diminta oleh Pemohon, yaitu Megawati Sukarnoputri, HM Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie dan Susilo Bambang Yudhoyono terhitung sejak Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 24 Juni 2010;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Hormat Pemohon
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra
http://yusril.ihzamahendra.com/2010/12/02/permohonan-final-uji-materil-tentang-saksi-ke-mk/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar