Sejarah Wahabi (Bag-1)
Oleh: M. Zaim Nugroho
MENULIS sejarah Wahabi tidak terlepas dari negara asalanya aliran ini berasal, yaitu Arab Saudi. Arab Saudi adalah satu-satunya negeri di mana para ulama masih mendominasi peran perubahan masyarakat. Di negeri ini, nasionalisme, Pan-Arabisme, Pan-Islamisme, sosialisme Islam, yang memainkan peran di negeri-negeri Muslim lainnya, tidak punya gaung. Satu-satunya doktrin yang ditoleransi adalah paham Wahhabiyah. Dengan itu, Arab Saudi menjadi sebuah kerajaan yang totalitarian, tak kenal kompromi.
Tidak mengherankan jika kerajaan Saudi memandang nasionalisme Nasser di Mesir sebagai ancaman langsung terhadap keberadaannya. Untuk menahan pengaruh Nasser yang makin menguat, kerajaan Saudi mengulurkan tangannya kepada para aktivis Ikhwanul Muslimin – tidak saja mereka yang terusir dari Mesir, tetapi juga dari negara-negara Arab sekular lainnya seperti Syria dan Irak.
Nama “Wahabisme” dan “Wahabi” berasal dari Muhammad ibn Abd al Wahhab (1703-1792). Nama ini diberikan orang-orang yang berada di luar gerakan tersebut, dan kerap kali dengan makna yang terkesan buruk. Kaum Wahabi sendiri lebih suka istilah al-Muwahhidun atau Ahl al-Tawhid sebagai nama kelompok mereka. Menurut Algar, penggunaan nama-nama ini mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip tawhid, yang merupakan landasan Islam itu sendiri.
Pada saat yang sama, mereka membedakan diri dari seluruh umat Islam yang lain, yang mereka cap telah melakukan syirik. Akan tetapi, tidak ada alasan menerima monopoli atas prinsip tawhid tersebtu, dan karena gerakan yang menjadi pokok pembahasan ini merupakan karya seorang manusia, yakni Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab, maka cukup beralasan dan lazim untuk menyebut mereka “Wahabisme” dan “kaum Wahabi” (Algar, 2003: 1-2).
Dalam sejarah pemikiran Islam yang telah berlangsung lama dan sangat kaya, Wahabisme tidak menempati tempat yang begitu penting. Secara intelektual gerakan ini adalah marjinal, tetapi bernasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (meski di Najd, yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia Muslim.
Selain itu, dinasti Saudi, yang menjadi patron gerakan Wahabisme, bernasib baik ketika pada abad keduapuluh mereka memperoleh kekayaan minyak yang luar biasa, yang sebagiannya digunakan menyebarluaskan Wahabisme. Jika tidak ada dua faktor tersebut, Wahabisme mungkin saja hanya dicatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marjinal dan berumur pendek. Kedua faktor yang sama pula, yang diperkuat dengan adanya sejumlah kesamaan dengan kecenderungan-kecenderunga
Sebagai aliran pemikiran atau sekte tersendiri, Wahabi dicirikan, khususnya oleh para pengamat non-Muslim yang mencari deskripsi ringkas mengenainya, sebagai kaum Sunni yang “ekstrem” atau sebagai kaum Sunni yang “konservatif,” dengan kata-kata sifat seperti “keras” atau “ketat” ditambahkan di belakangnya, untuk memberikan gambaran yang lebih pasti. Namun, kalangan Sunni mengamati bahwa kaum Wahabi, sejak pertama kali aliran mereka dikumandangkan, tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Hal itu karena hampir semua praktik, tradisi dan keyakinan yang dikecam oleh Muhammad b. `Abd al-Wahhab sudah lama diakui sebagai bagian integral dari Islam Sunni, diuraikan dalam banyak sekali literatur dan diterima oleh sebagian besar kaum Muslim.
Karena alasan ini, banyak ulama yang hidup pada masa ketika Wahabisme pertama kali dikampanyekan mengecam pendukungnya sebagai bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Bahwa sekarang Wahabisme dipandang sebagai bagian dari Sunni, hal itu menunjukkan bahwa istilah “Sunni” mulai memperoleh makna yang luar biasa longgar. (Algar, 2003: 2-3)
Karena ketertarikan yang ditunjukkan Muhamad b. ‘Abd al-Wahhab pada karya-karya Ibn Taymiyah, Wahabisme senantiasa diklaim mencerminkan kemunculan yang tertunda dari warisan Ibn Taymiyah. Klaim ini sulit dipertahankan. Apapun pendapat orang tentang posisi atau sikap Ibn Taymiyah, tidak diragukan bahwa ia adalah pemikir yang jauh lebih canggih dan produktif dibandingkan dengan Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab. Lebih dari itu, perbedaan kunci antara kedua orang ini adalah: kendati Ibn Taymiyah menentang aspek-aspek tertentu Sufisme pada zamannya yang ia pandang keliru atau menyimpang, ia tidak menolak Sufisme secara keseluruhan. Ia sendiri adalah pelopor tarikat Qadiriyyah. Sebaliknya, Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab menolak tasawuf secara lebih luas, akar maupun cabangnya, bukan hanya manifestasi tertentu tasawuf. (Algar, 9-10)
Ekspansi Wahabi
Wahhabisme atau Wahhabiyah diambil dari Syeikh Muhammad ibn `Abd al-Wahhab (1703-1792), pendiri gerakan puritanisme keagamaan di Semenanjung Arabia yang pada akhirnya berujung pada pembentukan negara Islam Arab Saudi. Ia dilahirkan pada tahun 1703 di Uyaina, sebuah kota yang sekarang ini sudah tidak ada lagi, di wilayah Najd, Arabia. Ia memperoleh pendidikan agama, dan pernah belajar di Madinah. Ia kemudian berkelana ke mana-mana, berkunjung dan belajar ke tempat-tempat seperti Syria, Irak, Kurdistan, dan Persia. Ketika kembali ke Arabia, ia mulai mengajarkan bentuk Islam yang puritan, yang menyerukan kaum Muslim untuk kembali kepada dasar-dasar Islam seperti yang dikemukakan dalam al-Qur’an dan hadis, tentunya sebagaimana yang ia sendiri pahami dan tafsirkan.
Pada sekitar tahun 1777, ia tinggal di Dariyah, Arabia, dan di sana ibn al-Wahhab menjadi “pemimpin spiritual” keluarga besar Sa`ud. Pada masa itu, klan Sa`ud adalah sebuah kelompok pembesar atau elite lokal yang sedang berusaha untuk memperluas pengaruh dan wewenang. Wahhab lalu menandatangani semacam “perjanjian kerja sama” dengan Muhammad ibn Sa`ud, pemimpin klan di atas. Ibn al-Wahhab dan pengikut-pengikutnya akan mendukung upaya-upaya keluarga ibn al-Sa`ud untuk memperluas pengaruh dan wewenang mereka, dan keluarga al-Sa`ud – sebagai konpensasinya – akan menyebarkan versi Islam Wahhabi yang puritan itu.
Tentang pertemuan keduanya di Oasis Dir`iyyah. Menurut Abu Hakimah, salah satu penulis sejarah ibn al-Wahhab:
Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn al-Wahhab dan berkata, “Oasis ini milikmu, dan jangan takut kepada musuh-musuhmu. Dengan nama Allah, bahkan jika semua [orang] Najd dipanggil untuk menyingkirkan kamu, kami tidak akan pernah setuju untuk mengusirmu.” Muhammad ibn `Abd al-Wahhab menjawab, “Anda adalah pemimpin mereka yang menetap di sini dan Anda adalah seorang yang bijak. Saya ingin Anda menyatakan sumpah Anda kepada saya bahwa Anda akan melaksanakan jihad (perang suci) terhadap orang-orang kafir. Sebagai imbalannya, Anda akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan saya akan menjadi pemimpin dalam masalah-masalah keagamaan. (dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 17).
Dengan terbentuknya koalisi antara Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab, Wahhabiyah menjadi ideologi keagamaan bagi suatu unifikasi antarsuku di Arabia Tengah dan apa yang dapat disebut sebagai gerakan Wahhabiyah pun dimulai. Sebagai imam kembar gerakan Wahhabiyah, Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab menjadi pemimpin spiritual dan temporal wilayah itu.
Banyak deskripsi mengenai keberhasilan ekspansi Wahhabi-Saudi yang awal menekankan fakta bahwa raid sejalan dengan praktik-praktik kesukuan yang dominan kala itu. Sekalipun mengandung kebenaran, hal ini menyepelekan pentingnya dimensi spiritual koalisi itu, yang menjadi daya tarik sedikitnya bagi sebagian pengikut Wahhabi yang awal. Selain keuntungan material, Wahhabisme juga menawarkan penyelamatan bukan saja di dunia ini, melainkan juga di akhirat kelak. Menurut sejarawan Madawi al-Rasheed (2002: 20), al-Wahhab membawa sesuatu yang baru, yakni pentingnya tawhid, ke dalam tradisi keislaman Najd yang sebelumnya didominasi fiqh.
Mereka dengan sengaja mengaitkan gerakan mereka dengan kaum Khawarij, kelompok puritan dan ekstremis pertama dalam sejarah Islam, dan seperti kelompok pendahulunya yang fanatik itu, mereka memfokuskan kemarahan mereka pertama-tama ke dalam, untuk menghancurkan apa yang mereka pandang sebagai sebab-sebab kemunduran kaum Muslim. Karena itu, mereka mulai memerangi suku-suku yang ada di sekeliling mereka dan memaksa suku-suku tersebut untuk mengikuti versi Islam mereka.
Di bawah kepemimpinan militer `Abd al-`Aziz, anak Muhammad ibn Sa`ud, mereka mulai ekspansi mereka ke Riyadh, Kharj, dan Qasim di wilayah Arabia Tengah pada 1792. Setelah berhasil menduduki wilayah itu, mereka melanjutkan ekspansi ke timur ke Hasa, dan menghancurkan kekuasaan Banu Khalid di wilayah itu. Para pengikut Syi`ah di kawasan ini, yang jumlahnya cukup banyak, dipaksa untuk menyerah dan mengikuti Wahhabisme atau dibunuh. Lalu, ekspansi dilanjutkan ke Teluk Persia dan Oman: Qatar mengakui kekuasaan Saud-Wahhabi pada 1797, dan Bahrain menyusul tak lama kemudian. Mereka semua diwajibkan untuk membayar zakat ke Dir`iyyah.
Ekspansi awal Wahhabi-Saudi yang menentukan berlangsung ke barat, khususnya ke Hijaz, di mana dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah, berada. Dalam ekspansi ini mereka berhadapan dengan otoritas keagamaan yang lain, yakni Syarif Mekkah, yang memperoleh legitimasinya dari Khalifah Turki Usmani. Terlepas dari upaya keras orang-orang Hijaz untuk bertahan, koalisi Wahhabi-Saud berhasil memantapkan hegemoni mereka di Ta’if pada 1802, Mekkah pada 1803, dan Madinah setahun kemudian. Setelah kemenangan itu, para ulama Wahhabi memerintahkan penghancuran kubah yang ada di makam-makam Nabi Muhammad dan para sahabatnya di Madinah.
Kemenangan di Hijaz mendorong koalisi Wahhabi-Sa`ud untuk meneruskan ekspansi ke wilayah selatan ke `Asir, di mana para pemimpin lokalnya segera memeluk Wahhabisme dan ikut serta dalam ekspansi selanjutnya ke Yaman. Kuatnya pertahanan orang-orang Yaman, ditambah dengan kondisi geografis yang kurang dikuasai pasukan Wahhabi, membuat Yaman tidak berhasil ditundukkan sepenuhnya.
Ekspansi lain mencapai ladang subur Mesopotamia, sekaligus mengancam bagian-bagian penting daerah kekuasaan Turki Usmani, Pada 1802, di hari suci `Asyura, mereka melabrak tembok Karbala dan membunuh 2.000-an pengikut Syi`ah yang sedang bersehbahyang sambil merayakan Muharram. Dengan kemarahan yang tak terkontrol, mereka menghancurkan makam-makam Ali, Husayn, imam-imam Syi`ah, dan khususnya kepada makam puteri Nabi, Fatimah.
Pada tahun 1803-1804, pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan yang mahal dan indah – yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram – dicuri dan dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen, 2006: 64).
Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806. Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814, yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.
Reaksi Konstantinopel
Dominasi Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas Khalifah di Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah dari Baghdad tetapi gagal. Muhammad Ali Pasya, wazir atau wakil Khalifah di Mesir, diserahi tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan tanah suci dan mengembalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul haramayn. Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815, kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.
Ibrahim Pasya, putra sang penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh. Di akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa bulan dikepung, mereka menyerah.
Ibrahim Pasya mengumpulkan semua ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa ajaran mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, ‘menjadi kuburan berdarah teologi Wahabi.’
Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan, diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari. Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan di Kairo.
Kehancuran Wahabi disambut gembira di banyak negeri Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Muhammad Amin ibn Abidin yang hidup di awal abad XIX mengatakan, “Ia mengaku pengikut mazhab Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang Muslim dan semua orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233 Hijriah (1818) melalui pasukan Muslim.” (Allen, 2006: 68).
Demikianlah, fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara Saudi I, berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang mereka lakukan sejak aliansi terbentuk. (Bersambung)
**********
Sejarah Wahabi (Bag-2)
Oleh: M. Zaim Nugroho
Pada tahun 1924, Turki ibn Abdullah, putra dari penguasa Saudi yang dipenggal di Istambul, mengambil alih Riyad, sebuah pemukiman di sebelah selatan Dir`iyyah yang dikemudian hari menjadi kota penting. Ini dapat terjadi karena pasukan dari Mesir mengundurkan diri Dari Najd pada 1821. Dari sana, kekuasannya meluas ke daerah `Aridh, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr dan Aflaj. Pada 1830, ia juga berhasil memperluas kekuasaan sampai ke wilayah Hasa, salah satu medan perang saudara di antara faksi-faksi klan Saudi. Amir Turki sendiri tidak mengutak-atik kekuasaan Usmaniyah dan Mesir di wilayah Hijaz, yang menjamin keamanan kafilah-kafilah haji. (al-Rasheed, 23).
Konflik internal di dalam negara Wahabi/Saudi kedua sudah dimulai sejak masa Amir Turki, Salah seorang musuhnya adalah Mishari, seorang saudara sepupu yang ia angkat menjadi Gubernur di Manfuhah, berada di balik komplotan yang membunuh Turki pada 1834, selepas salat Jumat. Ia digantikan anaknya, Faisal, yang dengan bantuan `Abdullah ibn Rashid, Amir dari Ha’il, berhasil membalas kematian ayahnya pada tahun yang sama. Tetapi, ia tidak lama berkuasa. Karena menolak membayar upeti kepada pasukan Mesir yang menduduki Hijaz, pada tahun 1837 ia ditangkap dan dikirim ke Kairo. Perebutan kekuasaan terjadi lagi di Riyad, di antara sesama keluarga Saud.
Pada 1840, Mesir meninggalkan Arabia dan pada tahun 1943, Faisal ibn Turki al-Saud melarikan diri dari Mesir dan kembali ke Riyad dan menjadi amir kembali sampai wafat pada 1865. Selama berkuasa, Faisal mengakui kekuasaan Khilafah Usmaniyah dan membeyar upeti kepada Khalifah. Setelah kematiannya, putra-putranya (dari istri yang berbeda-beda) bertarung memperebutkan kekuasanaan. Mereka adalah `Abdullah, Sa`ud, Muhammad, dan `Abd al-Rahman. `Abdullah, anak tertua yang menggantikan Faisal, bersaing dengan saudara-saudaranya. `Abdullah bahkan pernah meminta bantuan dari Midhat Pasya, Gubernur Usmaniyah di Baghdad, supaya membantunya dalam pertarungannya melawan saudara-saudaranya. Permintaan ini dipenuhi dan invasi dari Bagdad terjadi pada 1870, walaupun hanya berhasil menghentikan perang saudara sebentar. Demikian pula, Sa`ud memerangi abangnya dengan bantuan dari konfederasi suku-suku yang ingin bebas dari kekuasaan abangnya, dan dari dominasi klan Sa`udiyyah. `Abdullah menyerah dan Sa`ud praktis berkuasa sejak 1871 sampai ia wafat pada 1875. Setelah itu, perebutan kekuasan dilanjutkan `Abd al-Rahman, `Abdullah, dan keturunan Sa`ud (Al-Rasheed, 2005: 24,36; Al-Fahad, 2004).
Pada tahun 1887, `Abdullah meminta Muhammad ibn Rasyid, peguasa Ha’il, supaya membantunya menyingkirkan keturunan Sa`ud yang juga keponakan-keponakannya. Muhammad ibn Rasyid, pemimpin klan yang sudah lama menjadi musuh klan Sa`udi, bersedia. Setelah membasmi sebagian besar keponakan `Abdullah, sisanya kucar-kacir melarikan diri. Akan tetapi, Ibn Rasyid sendiri mengkhianati orang yang mengundangnya. Ia menawan `Abdullah dan mengasingkannya ke Ha’il, ibukota klan Rasyidi. Klan Rasyidi kemudian menguasai Riyad dan banyak wilayah Najd lainnya, atas nama Khalifah Usmani. Setelah `Abdullah wafat pada 1889, `Abd al-Rahman, yang sempat menjadi gubernur di bawah kekuasaan Rasyidi, masih berusaha merebut kekuasaan dari keluarga Rasyidi akan tetapi gagal. Muhammad ibn Rasyid mengalahkannya pada 1891 dan `Abd al-Rahman harus melarikan diri ke beberapa tempat sampai akhirnya, sejak 1893, ia menetap di Kuwait di bawah perlindungan klan al-Sabah, penguasa Kuwait yang ketika itu merupakan salah satu pelabuhan penting yang di kawasan Teluk, tempat Khilafah Usmani dan Inggris berebut pengaruh dan kekuasaan, dengan kemenangan Inggris melalui traktat perlindungan yang ditandatangani pada 1899.
Dimensi Agama pada Masa Negara Saudi II
Pada masa Negara Saudi II yang penuh pergolakan, ulama Wahabi secara politik didukung oleh Amir Turki dan Faisal. Setelah menguasai Riyad, Amir Turki segera meminta `Abd al-Rahman ibn Hasan, cucu pendiri Wahabiyah, supaya kembali ke Riyad dan menduduki jabatan yang dulu dipegang kakeknya, yaitu menjadi pemimpin agama dan penasihat penguasa.
Ulama Wahabi menjadi kadi dan guru agama, sambil menyebarkan paham Wahabiyah di wilayah-wilayah yang dikuasai Amir Turki dan Faisal. Para ulama Wahabi, yang menguasai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari kitab suci, hadis, dan keteladanan al-salaf al-salih. Selain itu, jika diingat bahwa banyak ulama Wahabi adalah keturunan dari Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dengan julukan Al al-Syaikh, maka ulama Wahabi juga memiliki status sosial yang terhormat.
Kadi, yang juga wakil resmi Wahabiyah, menjadi arbitrator sengketa, khatib salat Jumat, imam salat, dan guru agama di masjid agung kota-kota. Jika dikaitkan dengan dukungan politik yang mereka peroleh dan kaitan “kelas” ulama dengan Al al-Syaikh, jelaslah tidak banyak ruang bagi penolakan terhadap paham Wahabi. Salah satu di antaranya adalah kota `Unayzah di wilayah Qasim. Wilayah Qasim, dengan dua kota utama `Unayzah dan Buraidah, menentang Faisal, memiliki kontak yang lebih sering dengan daerah Usmaniyah melalui perdagangan, sebagai jalur utama orang naik haji dari Irak dan negeri-negeri Muslim di Timur ke Makkah dan Madinah, dan pendidikan, serta kalangan ulamanya juga tidak pernah seluruhnya menjadi Wahabi sehingga dapat mempertahankan tradisi mereka. Kekuasaan dinasti Rasyidi di wilayah ini turut menopang semangat menentang Wahabi (Al-Fahad, 2004: 505; Al-Rasheed, 2002: ).
Pembentukan Negara Wahabi/Saudi III (1902-1932
Pada tahun 1902, `Abdul Aziz, putra `Abd al-Rahman ibn Sa`ud yang mengungsi ke Kuwait, memulai usaha meraih kembali kejayaan dinasti Saudi yang hilang. Dengan bantuan Syeikh Kuwait yang selama ini melindunginya, Ibn Saud – nama populer `Abdul Aziz – berhasil meraih Riyad dan mengumumkan pemulihan kembali kekuasaan dinasti Sa`ud di sana. Klan al-Sabah di Kuwait mendorong Ibn Sa`ud menaklukkan Riyad karena mereka takut kekuasaan Rasyidi semakin kuat dan luas – terutama karena aliansi Rasyidi dengan Khilafah Usmani – sehingga mengancam Kuwait (al-Rasheed, 40).
Pertarungan di Najd terjadi antara Ibn Sa`ud yang dibantu Kuwait dan Inggris melawan Ibn Rasyid yang dibantu Khilafah Usmani. Inggris ikut campur karena kuatir dukungan Khilafah Usmani terhadap Ibn Rasyid akan mengancam kepentingan mereka di Kuwait. Pada tahun 1906, wilayah Qasim direbut sehingga kekuasaan Ibn Sa`ud semakin dekat ke jantung klan Rasyidi di Najd utara. Selain Qasim, Ibn Sa`ud juga menguasai kota-kota penting lain seperti `Unayzah dan Buraydah. Najd praktis terbelah dua: separuh dikuasai Ibn Sa`ud dan separuh lagi dikuasai Ibn Rasyid.
Ibn Sa`ud mengalihkan sasaran ke Hasa, tempat di kawasan timur Jazirah Arabia yang banyak didiami masyarakat Syiah. Setelah Hasa akhirnya takluk pada 1913, Ibn Sa`ud mengadakan perjanjian dengan ulama Syiah yang menetapkan bahwa Ibn Sa`ud akan memberikan mereka kebebasan menjalankan keyakinan mereka dengan syarat mereka patuh kepada Ibn Sa`ud. Pada saat yang sama, Syiah tetap dianggap sebagai kalangan Rafidlah, artinya yang menolak iman (al-Rasheed, 41).
Pada 26 Desember 1915, ketika Perang Dunia I berkecamuk, Ibn Sa`ud menyepakati traktat dengan Inggris. Berdasarkan traktat ini, pemerintah Inggris mengakui kekuasaan Ibn Sa`ud atas Najd, Hasa, Qatif, Jubail, dan wilayah-wilayah yang tergabung di dalam keempat wilayah utama ini. Apabila wilayah-wilayah ini diserang, Inggris akan membantu Ibn Sa`ud. Traktat ini juga mendatangkan keuntungan material bagi Ibn Sa`ud. Ia mendapatkan 1000 senapan dan uang £20.000 begitu traktat ditandatangani. Selain itu, Ibn Sa`ud menerima subsidi bulanan £5.000 dan bantuan senjata yang akan dikirim secara teratur sampai tahun 1924. Sebagai imbalannya, Ibn Sa`ud tidak akan mengadakan perundingan dan membuat traktat dengan negara asing lainnya. Ibn Sa`ud juga tidak akan menyerang ke, atau campur tangan di, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Oman – yang berada di bawah proteksi Inggris. Traktat ini mengawali keterlibatan langsung Inggris di dalam politik Ibn Sa`ud (Nakash, 2006: 33-34; Al-Rasheed, 2002: 42).
Sementara itu, saingan Ibn Sa`ud di Najd, Ibn Rasyid, tetap bersekutu dengan Khilafah Usmaniah. Ketika Kesultanan Usmani kalah dalam Perang Dunia I bersama-sama dengan Jerman, klan Rasyidi kehilangan sekutu utama. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, Rasyidi dilanda persaingan internal di bidang suksesi. Perang antara Ibn Sa`ud dan Ibn Rasyid sendiri tetap berlangsung selama PD I dan sesudahnya. Akhirnya, pada 4 November 1921 dan setelah berbulan-bulan dikepung, Ha’il, ibukota Rasyidi, jatuh ke tangan Ibn Sa`ud yang dibantu Inggris melalui dana dan persenjataan. Penduduk oase subur di utara itu pun mengucapkan bay`ah ketundukan kepada Ibn Sa`ud.
Sesudah menaklukkan Ha’il, Ibn Sa`ud beralih ke Hijaz. Satu-demi-satu kota di Hijaz jatuh ke tangan Ibn Sa`ud. `Asir, wilayah di Hijaz selatan, jatuh pada 1922, disusul Taif, Makkah, dan Medinah di tahun 1924, dan Jeddah di awal tahun 1925. Pada tahun 1925 juga, di bulan Desember, Ibn Sa`ud menyatakan diri sebagai Raja Hijaz, dan pada awal Januari 1926 ia menjadi Raja Hijaz dan Sultan Najd dan daerah-daerah bawahannya. Untuk pertama kali sejak Negara Saudi II, empat wilayah penting di Jazirah Arabia, yaitu Najd, Hijaz, `Asir, dan Hasa, kembali berada di tangan kekuasaan klan Saudi. Pada tahun 1932, Ibn Saud telah berhasil menyatukan apa yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Saudi Arabia. Penemuan minyak di wilayah padang pasir itu memberikan Ibn Saud kekayaan berlimpah yang ia perlukan membangun negerinya. Pada tahun 1953 ia wafat dan digantikan oleh Raja Saud dan kemudian Raja Faisal.[]
Dikutip dari berbagai sumber
M. Zaim Nugroho, keluarga dari Buntet Pesantren Cirebon, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah.
claim token 67574NR4FKS6 from Technorati.
Read more: http://riefjournal.blogspot.com/2009/12/sejarah-wahabi.html#ixzz165SbQZ3X
http://riefjournal.blogspot.com/2009/12/sejarah-wahabi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar