Menakar Visi Politik Pembangunan | for everyone |
Mahmud Syaltout
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 menjadi sangat menarik di samping karena rakyat dapat memilih langsung pemimpin negara untuk kedua kalinya juga karena dibawanya isu politik pembangunan dalam perdebatan capres-cawapres.
Perdebatan isu politik pembangunan ini menjadi sebuah pertanda positif bahwa bangsa Indonesia semakin dewasa dan modern dengan meninggalkan isu-isu politik abad pertengahan, seperti tentang asal-usul, jender, dan agama atau kepercayaan.
Namun sialnya, isu politik pembangunan ini baru sampai taraf pertarungan slogan. Istilah neoliberal seolah menjadi sinonim kata ”kafir” dan dijadikan alasan untuk menolak calon tertentu. Seorang capres dan atau cawapres yang mengaku neoliberal dianggap telah melakukan dosa besar dan oleh karena itu perlu dijauhi, dikutuk, atau dibuang layaknya para penyihir abad pertengahan.
Kemudian, para capres-cawapres itu pun berlomba mengaku mengusung ekonomi kerakyatan, sebuah slogan politik untuk menarik pemilih ketimbang sebuah kebijakan ekonomi yang utuh. Bahkan, secara tak sadar, pertarungan slogan ini justru menampilkan sebuah ironi di mana isu ekonomi hanyalah menjadi komoditas dan rakyat (pemilih) menjadi pasar.
Politik pembangunan
Dalam dunia yang selalu berubah, hanya ada satu kepastian, yaitu perubahan itu sendiri. Begitu pula dalam penerapan politik pembangunan suatu negara.
Sebagai contoh, pada tahun 1791 sampai 1860, Amerika Serikat (AS) yang kini sering diasosiasikan sebagai negeri asal neoliberalisme justru merupakan tanah air dan baluarti atau benteng dari sistem proteksionisme modern (Bairoch, 1999).
Alexander Hamilton, Menteri Keuangan Pertama AS (1789-1795), adalah orang yang pertama kali menyusun secara sistematis argumentasi proteksionisme modern (Chang, 2002). Ide brilian Hamilton itu dapat dibaca di Reports of the Secretary of the Treasury on the Subject of Manufactures (1791). Setelah Hamilton, sosok Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16 (1860-1865), dikenal sebagai tokoh yang mengabolisi perbudakan dan menyerukan ”Tidak” pada sistem fundamentalisme pasar, laissez-faire model Inggris di AS.
Inggris, yang lebih liberal daripada AS, justru pada periode perundingan Piagam Atlantik (1941), melalui John Maynard Keynes, Menteri Keuangan, menolak keras sistem perdagangan bebas tanpa diskriminasi yang diusulkan oleh Cordell Hull, Menteri Luar Negeri AS waktu itu. Inggris tidak ingin merugi dengan kehilangan privilese atas dominion-dominionnya.
Hull merumuskan neoliberalisme sebagai sebuah resep politik pembangunan pasca-Perang Dunia II di mana perdamaian dunia hanya bisa dicapai dengan perdagangan bebas dan menyerahkan urusan ekonomi kepada pasar atau pihak swasta daripada kepada negara.
Di samping atas usahanya membidani organisasi-organisasi internasional pasca-Perang Dunia II (seperti PBB, Bank Dunia, IMF, dan GATT), Cordell Hull juga dianugerahi Nobel Perdamaian atas ide-ide neoliberalnya pada tahun 1945.
Visi global tim impian
Sejak era Hull, negara-negara maju melalui Institusi Bretton Woods (IMF, Bank Dunia, dan GATT), yang memang dibentuk sebagai institusi yang mengatur perekonomian dunia pasca-Perang Dunia II, mempromosikan dan atau memaksakan neoliberalisme sebagai resep pembangunan di seluruh dunia.
Sejak saat itulah sebagian besar politik pembangunan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, merupakan resep racikan Unholy Trinity (IMF, Bank Dunia, dan GATT/WTO) yang diputuskan secara multilateral (PEET 2003). Hal senada disampaikan secara implisit oleh salah seorang capres pengusung ekonomi kerakyatan yang pada masa pemerintahannya dulu justru melakukan privatisasi besar-besaran dengan dalih tidak mampu menolak atau membatalkan perjanjian-perjanjian multilateral yang telah ditandatangani sebelumnya.
Dari sini seharusnya dilihat bahwa penerapan politik pembangunan merupakan hasil ”pertarungan” dalam perundingan multilateral dan bukan sekadar pilihan politik dalam negeri.
Jika slogan antineoliberalisme, ekonomi kerakyatan atau ekonomi jalan tengah hanya merupakan sebuah mantra politik menarik pemilih dan bersifat sangat lokal, tentu tidak salah jika ada yang menyimpulkan, ”Siapa pun Capres-Cawapresnya, Neoliberalisme Pemenangnya”.
Jika bangsa Indonesia ingin tampil menjadi pemenang dalam pertarungan global, dibutuhkan tim impian (dream team) dalam setiap perundingan multilateral, khususnya yang berkaitan dengan ekonomi Indonesia.
Tim impian ini terdiri dari para diplomat profesional yang andal (track one diplomacy) dan elemen-elemen bangsa yang lain (track two diplomacy), seperti akademisi, pebisnis, LSM, media, dan rakyat sipil (Davidson dan Montville, 1981).
Seharusnya para capres-cawapres yang berkompetisi saat ini bervisi global dengan memikirkan sejak awal bagaimana membangun tim impian ini dan mengarahkan politik dalam dan luar negeri secara nyata serta sinergis daripada menyibukkan diri untuk ”berjualan kecap nomor satu” dan ”berdagang sapi”.
Mahmud Syaltout Peneliti pada Centre de Droit International, Européen et Comparé (CEDIEC), Université Paris 5
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/04/04584562/menakar.visi.politik.pembangunan
http://syaltout.multiply.com/journal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar