Senin, 15 November 2010

Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004) dan Penjelasan Umum KUHAP,

12
Lukmanulhakim Payapo Says:
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004) dan Penjelasan Umum KUHAP, secara eksplisit menerangkan bahwa: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Dalam konteks presumption of innocence, Prof Jan Remmelink dalam bukunya “Hukum Pidana:Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia” (Gramedia:2003) menyatakan bahwa asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, harus ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht” kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.
Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah yang sejalan dengan perubahan paradigma tersebut di atas adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana, termasuk untuk menghadirkan saksi a de charge, dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama maupun pada tingkat banding.
Karenanya sebagaimana dikemukakan Prof. Romli Atmasasmita bahwa Asas praduga tak bersalah seharusnya berbunyi: ”seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan sebaliknya”.
Penegasan asas ini juga terkait dengan pendapat Cooter dan Ulen, yang membandingkan bagaimana sistem hukum ”Common Law” dengan sistem hukum ”Civil Law” menempatkan standar pembuktian. Dikatakannya bahwa, sistem hukum yang pertama menempatkan standar yang tinggi untuk pembuktian, sedangkan sistem hukum kedua tampak lebih moderat dalam hal tersebut.
Standar tinggi yang dimaksud tampak jelas dari pandangan, menuntut seseorang yang tidak bersalah sangat buruk tampaknya dibandingkan dengan kegagalan menuntut seseorang yang bersalah; atau dengan adagium yang terkenal, ”lebih baik seratus orang yang bersalah dibebaskan dari pada seseorang yang tidak bersalah dihukum”. Standar tinggi sistem pembuktian tersebut justru untuk menempatkan keseimbangan bagi kepentingan tersangka/terdakwa.
Sebaliknya sistem hukum kedua (Civil Law), berpandangan prinsipnya tersangka/terdakwa sudah dinyatakan bersalah kecuali dibuktikan sebaliknya. Rasio dari pandangan tersebut adalah negara (jaksa penuntut umum) tidak akan membawa seseorang tersangka/terdakwa ke hadapan pengadilan kecuali telah yakin akan kesalahan mereka. Secara lebih jelas, dikatakannya, ”The rationale for the presumption of guilt is that the state would not bring charges unless it were certain of the defendant’s guilt. In this approach, the prosecutor helps strike the balance between convicting the innocent and failing to convict the guilty. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa,”the Court acknowledge its confidence in the prosecutor by proceeding under the a presumption that the prosecutor was right unless the defendant prove otherwise”. (Robert Cooter & Thomas Ulen, ”An Introduction of Law and Economics; Third Edition, Addison-Wesley; 2000; page 431)
Berangkat dari pendapat dan pandangan kedua sistem hukum tersebut di atas, maka Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus, maupun Direktur Penuntutan Kejagung seyogyanya harus menerapkan prinsip praduga tak bersalah dalam pembuktian kasus Sisminbakum ini secara masuk akal (common sense), proporsional, sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini.
Terlebih apabila dokumen tambahan yang diserahkan Prof. Yusril ini ternyata telah membuat terang penafsiran mengenai “uang negara” yang selalu diasumsikan oleh pihak Kejaksaan Agung selama ini dirugikan sebesar 420 Miliar tersebut ternyata tidak masuk akal seperti pemahaman terhadap UU No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Auditor BPK secara tidak proporsional, pengesahan UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, serta data faktual keuntungan yang telah diperoleh negara melalui Buku Statistik Indonesia oleh BPS (1999-2008), sesuai dengan asas keadilan, maka penghentian (SP3) terhadap Kasus Sisminbakum ini adalah HARGA MATI!!!!

http://yusril.ihzamahendra.com/2010/11/11/keterangan-pers-di-kejagung-11-november-2010/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar