KETERANGAN PERS DI KEJAGUNG 11 NOVEMBER 2010
Hari ini Rabu 11 November 2010, saya dan penasehat hukum saya Maqdir Ismail dan Erman Umar serta sejumlah rekan, Jamaluddin Karim, Jurhum Lantong, Andi Darwis dan Arfiansyah Noor mendatangi Gedung Bundar Kejaksaan Agung, untuk menyerahkan beberapa dokumen terkait dengan perkara Sisminbakum. Kami berharap, Kejaksaan Agung mau meneliti dokumen-dokumen itu dan menjadikannya sebagai barang bukti, dimasukkan ke dalam berkas perkara, agar penyidikan kasus ini berjalan obyektif. Substansi dari berbagai dokumen itu adlah sebagai berikut:
1. Dalam Pasal 3 UU No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dikatakan “Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan”.
2. Pada kenyataannya, sejak Sisminbakum diberlakukan secara efektif bulan Maret 2001 (dibawah Menteri Kehakiman Baharuddin Lopa) sampai dengan 28 Mei 2009, dalam semua Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yakni PP No 75 Tahun 2005, PP No 19 Tahun 2007, PP No. 82 Tahun 2007, biaya akses fee Sisminbakum memang tidak pernah dimasukkan sebagai jenis penerimaan bukan pajak dan ditetapkan berapa tarifnya”. Penetapan itu baru dilakukan dengan PP No 38 Tahun 2009 tanggal 28 Mei 2009. Semua PP ini dtanda-tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara penyidikan kasus Sisminbakum dimulai oleh Kejaksaan Agung tanggal 31 Oktober 2008. Kalau memang PP menyebutkan bahwa biaya akses Sisminbakum itu bukan sebagai PNBP, maka tidak ada dasar hukum apapun untuk mengatakan bahwa biaya akses fee itu adalah PNBP. PP 38 Tahun 2009 yang menyebutkan itu sebagai PNBP tidaklah berlaku surut;
3. Pemerintah nampaknya menyadari bahwa biaya investasi dan operasional Sisminbakum diserahkan kepada pihak swasta. Dengan demikian, memang tidak terdapat reasoning yang cukup untuk menjadikan biaya akses fee itu sebagai PNBP;
4. Bahwa pada tanggal 25 April 2003 Kepala BPKP mengirimkan surat kepada Menteri Kehakiman dan HAM No SR 468/K/D2/2003 berisi saran dan pendapat yang antara lain mengatakan bahwa biaya akses fee Sisminbakum adalah PNBP, dan menyarankan langah-langkah penyelesaiannya, Surat ini memang memerlukan klarifikasi untuk menyamakan persepsi lebih dulu. Sebab itu, saya selaku Menteri Kehakiman dan HAM ketika itu mendisposisikan surat BPKP tersebut kepada Inspektur Jenderal Departemen Kehakiman dan HAM untuk membahas temuan BPKP tersebut guna klarifikasi. Surat BPKP tersebut bukanlah bersifat final, karena pada setiap temuan mereka dalam pemeriksaan memang memerlukan klarifikasi lebih dulu. Selain itu, hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) harus disampaikan kepada Menteri Keuangan, bukan kepada Menteri Kehakiman dan HAM. Menteri Keuangan selanjutnya memberitahukannya kepada Menteri Kehakiman, jika dia sependapat dengan temuan pemeriksaan BPKP. Pasal 16 ayat (1) UU No 20 Tahun 1997 tentang PNBP mengatakan “Hasil Pemeriksaan terhadap Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayaat (2) disampaikan kepada Menteri, dan Menteri memberitahukan hasil pemeriksaan tersebut kepada Instansi Pemerintah yang bersangkutan guna penyelesaian lebih lanjut”. Dengan demikian, surat Kepala BPKP kepada Menteri Kehakiman dan HAM mengenai temuan mereka atas biaya akses fee Sisminbakum yang harus dimasukkan ke dalam PNBP, adalah menyalahi prosedur. Karena “menteri” yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) itu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 adalah Menteri Keuangan. Sepanjang pengetahuan saya, Menteri Keuangan Sri Mulyani baru memberitahukan bahwa biaya akses Sisminbakum itu harus menjadi PNBP pada tanggal 8 Januari 2007 melalui surat No S-23/MK.02/2007 yang disampaikannya kepada Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin;
5. Saya selaku Menteri Kehakiman dan HAM memberlakukan Sisminbakum melalui sebuah Keputusan Menteri (Kepmen No M-01.HT.01.01 Tahun 2000 tanggal 4 Oktober 2000). Kepmen ini sudah beberapa kali dirubah oleh Menteri Kehakiman dan HAM sesudah saya. Kepmen adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan, sesuai Inpres 14 Tahun1970 yang berlaku ketika itu (kini telah diperbaharui dengan UU No 10 Tahun 2004). Jadi saya bertindak sebagai “law maker” dalam membuat Kepmen tersebut. Penerbitan Kepmen tanggal 4 Oktober 2000 tersebut adalah tindak lanjut atas Letter of Intent Pemerintah Indonesia kepada IMF tanggal 17 Mei 2000, yang menegaskan komitmen Pemerintah untuk menyelesaikan aturan-aturan pendaftaran perseroan dalam waktu satu tahun, guna mengatasi keterlambatan pengesahan perseroan yang dikeluhkan oleh IMF dan Bank Dunia. Walaupun Sisminbakum telah secara normative telah dinyatakan diberlakukan sejak 4 Oktober 2000, namun secara efektif pelaksanaannya baru dilakukan pada tanggal 1 Maret 2001 dibawah Menteri Kehakiman dan HAM Baharuddin Lopa.
6. Namun patut disadari bahwa tujuh tahun kemudian, sebelum Kejaksaan Agung menyidik Sisminbakum tanggal 31 Oktober 2008, PresidenSusilo Bambang Yudhoyono dan DPR periode 2004-2009 telah meningkatkan Kepmen pemberlakuan Sisminbakum itu dengan undang-undang, yakni UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 9 undang-undang tersebut mengatakan “Untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), pendiri bersama-sama mengajukan permohonan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik kepada Menteri…). “Sistem administrasi badan hukum” yang disebutkan dalam Pasal 9 ini tidak lain tidak bukan adalah Sisminbakum yang dibangun dan dioperasikan oleh PT SRD dan Koperasi KPPDK, yang biaya akses feenya tidak dijadikan sebagai PNBP dan dianggap sebagai korupsi itu.
7. Berdasarkan keterangan di atas, saya menyarankan kepada Direktur Penyidikan dan Direktur Penuntutan untuk melakukan klarifkasi terhadap masalah ini, baik kepada Presiden, DPR maupun Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata yang mewakili Presiden membahas RUU tersebut di DPR, untuk obyektifnya pemeriksaan perkara ini. Sebab secara logisnya, kalau saya sebagai law maker dipersalahkan memberlakukan Sisminbakum dengan Keputusan Menteri, maka Presiden dan DPR juga harus dipersalahkan memberlakukan Sisminbakum dengan undang-undang. Saya sendiri menjadi Menteri Kehakiman antara tanggal 24 Oktober 1999 sampai tanggal 7 Pebruari 2001. Kemudian menjadi Menteri Kehakiman lagi tanggal 16 Agustus 2001 sampai 20 Oktober 2004;
8. Kejaksaan Agung selalu menyampaikan keterangan kepada masyarakat bahwa perkara Sisminbakum ini diduga merugikan Negara sebesar Rp. 420 milyar. Angka sebesar itu sepanjang pengetahuan saya, adalah angka pemasukan kotor PT SRD dan Koperasi KPPDK selama tujuh tahun membangun dan mengoperasikan Sisminbakum (2001-2008) Penyebutan angka itu tentu dilandasi asumsi, bahwa kalau uang itu dipungut sebagai PNPB maka tentu Negara akan untung. Karena tidak dipungut sebagai PNBP, maka terjadilah kerugian Negara, sehingga terjadilah korupsi. Dalam dokumen2 yang diserahkan ini, saya menyampaikan dua lembar copy surat Menteri Hukum dan HAM kepada Menteri Keuangan, setelah Tim Penyidik Kejaksaan Agung dibawah pimpinan Sdr Faried Harjanto melakukan penyitaan terhadap seluruh peralatan Sisminbakum PT SRD pada tanggal 27 November 2007 dan “menitipkan” semua peralatan itu kepada Departemen Hukum dan HAM. Ternyata Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata memohon Anggaran Tambahan (ABT) sebesar Rp. 10 milyar untuk mengoperasikan Sisminbakum hanya untuk 1 (satu) bulan saja, mengingat tahun anggaran akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2008. Kalau Departemen Hukum dan HAM mengoperasikan Sisminbakum dengan biaya Rp.10 milyar sebulan, maka selama 7 tahun (84 bulan), biaya operasional Sisminbakum akan menghabiskan dana ABPN sebanyak Rp. 840 milyar. Jadi, apakah benar anggapan bahwa karena Sisminbakum dibangun dengan modal swasta dan dioperasikan oleh swasta, negara rugi Rp 420 milyar? Ternyata kalau Pemerintah ambil alih dan operasikan sendiri, uang APBN yang dipakai adalah sebesar Rp. 840 mliyar. Memang ini bukan “kerugian negara”, yang jelas ada uang Negara sebesar itu yang dikeluarkan untuk membiayai pengoperasian Sisminbakum. Jumlah uang Negara yang harus dikeluarkan, dua kali lipat lebih besar dari yang diduga oleh Kejaksaan Agung sebagai kerugian negara;
9. Dalam dokumen yang saya serahkan, ada dua copy buku Statistik Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik tentang pertambahan jumlah perusahaan yang berdiri sebelum dan sesudah adanya Sisminbakum (1999-2008). Pada tahun 1999 sebelum ada Sisminbakum, jumlah perusahaah yang berdiri untuk sector manufaktur, pertambangan, energi dan konstruksi saja, jumlah perusahaan yang ada adalah 22.070 dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 4,2 juta dan nilai output 488,212 trilyun ruliah. Pada Tahun 2007, jumlah perusahaan yang berdiri bertambah menjadi 26.981 dengan penyerapan tenaga kerja 4,7 juta dan nilai output 1.585.053 trilyun, yang berarti terjadi pertambahan nilai output di atas 1076,841 trilyun rupiah. Inilah pertambahan jumlah perusaahan yang disahkan setelah adanya sismimbakum dan jumlah pertambahan nilai output yang diperoleh Negara. Sekiranya Sisminbakum tidak dilaksanakan di tahun 2001 itu, maka recoveri ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi tahun 1997 mustahil akan terjadi.
Untuk menambah informasi, penyidikan perkara Sisminbakum dinyatakan telah selesai pada tingkat Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejagung. Kini semua berkas hasil penyidikan telah diserahkan kepada Direktur Penuntutan, yang akan memepelajari dan menilai, apakah hasil penyidikan memang terdapat alasan hukum serta bukti-bukti yang kuat, untuk selanjutnya dituangkan ke dalam Rencana Penuntutan. Apabila masih kurang, maka berkas bisa dikembalikan lagi ke Direktur Penuntutan, untuk dilakukan pemeriksaan tambahan dan pengumpulan alat-alat bukti tambahan. Kalau sudah dilakukan dan ternyata Direktur Penuntutan menyimpulkan bahwa hasil penyidikan tidak memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke tahap penuntutan, maka penuntutan akan dihentikan (SP3). Kalau cukup, maka perkara ini akan P21, artinya dilimpahkan surat penuntutannya ke pengadilan. Selanjutnya, saya akan berubah status dari tersangka menjadi terdakwa. Ini sekedar informasi bagi mereka yang tidak berlatar belakang pendidikan hukum. jadi jangan salah paham, seolah-olah perkara Sisminbakum ini sudah dituntut ke pengadilan. Jalannya masih relatif cukup panjang.+++++
http://yusril.ihzamahendra.com/2010/11/11/keterangan-pers-di-kejagung-11-november-2010/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar