Menghadang Jalan BW dan BM (1)
2 Calon KPK, Simalakama Bagi Politisi Senayan
Didik Supriyanto - detikNews
<a href='http://openx.detik.com/delivery/ck.php?n=a59ecd1b&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://openx.detik.com/delivery/avw.php?zoneid=24&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a59ecd1b' border='0' alt='' /></a>
Jakarta - Sudah hampir tiga bulan Bambang Widjajanto (BW) dan Busro Muqoddas (BM) menyandang status calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua nama itu diserahkan Presiden SBY ke DPR, beberapa hari setelah Panitia Seleksi Pimpinan KPK memilih mereka di antara ratusan calon, pada 27 Agustus 2010. Namun hingga kini, DPR belum memutuskan, siapa salah satu dari mereka yang akan ditetapkan sebagai ketua KPK.
Terpilihnya BW dan BM sebagai calon ketua KPK, sebetulnya tidak mengherankan. Komiten, pengalaman dan kemampuan hukum mereka tercatat bagus. Integritasnya tak perlu diragukan. BW adalah mantan Ketua Dewan Pengurus YLBHI, yang terlibat aktif kampanye antikorupsi; sementara BM adalah Ketua Komisi Yudisial, yang getol memerangi korupsi di lingkungan lembaga peradilan. Keduanya adalah pengacara handal yang berpengalaman membela beragam kasus.
Namun ketika Pantia Seleksi Pimpinan KPK mengumumkan namanya, tetap saja menjadi kejutan. Maklum, banyak pihak meragukan kesungguhan kerja panitia. Pertama, mereka diduga akan meloloskan nama titipan istana. Kedua, partai politik punya jagoan sehingga aktif melakukan lobi. Ketiga, pengalaman kerja panitia seleksi sebelumnya buruk ketika memaksakan nama Antasari Azhar menjadi ketua KPK sebelumnya. Keempat, hasil panitia seleksi bentukan Presiden SBY kerap mengecewakan, seperti Panitia Seleksi KPU.
Toh, jalan BW atau BM untuk menuju kursi Ketua KPK masih terhalang. Sudah hampir tiga bulan proses pencalonannya berhenti di DPR. Komisi III DPR yang bertugas menyeleksi salah satu dari mereka, belum melakukan uji kelayakan dan kepatutan, fit and proper test. Janji DPR untuk segera mengisi kekosongan kursi ketua KPK, tidak ditepati.
Sebelumnya, pimpinan DPR maupun Komisi III pasang target: setelah presiden mengajukan dua calon, DPR segera memilihnya pada masa sidang yang tengah berjalan, atau sebelum Idul Fitri September lalu. DPR harus bersegera memilih ketua KPK, mengingat jabatan itu sudah lama kosong sejak Antasari Azhar menjadi tersangka pada April 2010.
Namun hingga Idul Adha berlalu, Komisi II DPR terus menunda agenda pemilihan ketua KPK. Katanya, ada agenda lain yang lebih mendesak. Lagi pula, tanpa ketua, KPK tetap berjalan baik. Alasan lain, DPR dan pemerintah belum satu kata soal masa jabatan ketua KPK terpilih. DPR menghendaki satu tahun, disesuaikan dengan masa kerja pimpinan KPK lainnya; sementara pemerintah bersikeras masa kerjanya empat tahun. Di sini tampak DPR mencari-cari alasan menunda pemilihan ketua KPK.
Belajar dari pemilihan pejabat negara sebelumnya, maka pertimbangan utama memilih ketua KPK adalah siapa yang paling bisa diajak kompromi. Jika hal itu ditujukan kepada BW dan BM, maka DPR tidak punya pilihan. Inilah buah simalakama, memilih BW atau BM sama-sama menghantaui masa depan mereka. Tidak perlu dipungkiri, selain yang sudah masuk penjara, masih banyak politisi yang terlibat transaksi gelap.
Jika DPR menghadapi simalakama, Presiden SBY mengalami sebaliknya. Presiden mempunyai peluang untuk menjawab kritik keras soal rendahnya kinerja aparat kejaksaan dalam memberantas korupsi. Dua nama yang dipilih oleh Panitia Seleksi Pimpinan KPK, seakan menunjukkan padanya bahwa calon pengganti Jaksa Agung Hendarman Supanji telah tersedia. Jika BW dipilih DPR untuk menjadi ketua KPK, maka BM bisa diangkat menjadi jaksa agung; sebaliknya jika DPR memilih BM jadi ketua KPK, maka BW bisa ditetapkan menjadi jaksa agung.
Benarkah Presiden SBY akan memilih BW atau BM menjadi jaksa agung? Menurut Staf Khusus Presiden Heru Lelono, belum ada kepastian soal itu. Namun Heru tidak menampik adanya penilaian masyarakat, bahwa BW atau BM pantas menjadi Jaksa Agung. Selain rekam jejak sudah teruji, kenyataannya dua nama itu dipilih oleh panitia seleksi bentukan presiden. Namun menurut Heru, itu bukan logika memilih jaksa agung. Lagi pula SBY bukanlah tipe presiden yang gampang didekte.
Oleh karena itu, tuntutan para jaksa agar Presiden memilih jaksa agung dari internal, bukanlah sesuatu yang pasti diikuti oleh Presiden. Bagi SBY yang penting adalah seorang jaksa agung yang mampu mengemban misi pemberantasan korupsi sebagaimana dijanjikan dalam kampanye pemilu. Inilah yang akan menjadi catatan penting perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Korupsi telah membuat negeri ini terpuruk, sehingga siapapun yang berhasil membersihkannya akan dikenang sepanjang masa.
(diks/fay)http://www.detiknews.com/read/2010/11/22/103617/1499048/159/2-calon-kpk-simalakama-bagi-politisi-senayan?nd991107159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar