Berawal Dari Ijazah SD Kini Eka Tjipta Sukses Kelola Sinarmas
Sinarmas adalah Eka Tjipta Widjaja. Kendati belakangan ada yang berbeda. Nama Sinarmas kini ditulis dalam satu kata, bukan lagi frase yang terdiri dari kata "Sinar" dan "Mas". Dan perubahan itu tak hanya soal nama, tapi juga sebuah definisi. "Sinar Mas" adalah kisah perusahaan yang terhantam krisis. Sedangkan "Sinarmas" menawarkan gaya hidup masa kini.Sinarmas memang telah berubah. Bisnisnya pun telah berubah, termasuk dalam industri yang sedang naik daun di Tanah Air: telekomunikasi seluler. Seperti terinspirasi gaya Eka Tjipta, sang pendiri yang kini telah berusia 82 tahun, Sinarmas kini terlihat lebih gaul. Pekan silam, ketika kelompok usaha ini mengumumkan siap menyunting PT Mobile-8 Telecom (operator seluler bermerek dagang Fren) dari PT Bimantara Citra, belantika seluler pun terkesiap. Tidak bisa tidak, masuknya Sinarmas berarti bakal menambah semakin sengitnya persaingan.
Reputasi Sinarmas memang sempat menggetarkan. Sekitar lima atau enam tahun silam, kelompok ini nyaris tinggal sejarah. Kredit macet Rp 13 triliun membuat Eka Tjipta kehilangan Bank International Indonesia (BII) yang menjadi kebanggaannya. Tapi, nasib berpihak pada sang taipan. Majalah Forbes menyebut Eka Tjipta sebagai orang terkaya ke-26 di Asia pada tahun 2005. Harta pribadinya mencapai US$ 710 juta (sekitar Rp 7 triliun).
Menurut Gandhi Sulistiyanto, Managing Director Sinarmas, aset Sinarmas sudah kembali seperti sebelum krisis: sekitar US$ 70 triliun. Perusahaan ini juga lebih sehat ketimbang dulu. Sekitar 300 ribu pekerja bernaung di bawah bendera gergasi itu. Dengan aset sebesar itu, wajar jika masuknya Sinarmas ke bisnis telekomunikasi menjadi diperhitungkan. Bagi Sinarmas, menyediakan dana perluasan jaringan seluler yang bakal dimilikinya tampaknya bukanlah sebuah masalah, kendati nilai investasinya terbilang besar, mencapai US$ 200 juta.
Apalagi, perusahaan ini berpengalaman dalam menjual produk langsung ke tangan konsumen. Sepanjang sejarahnya, Sinarmas sudah menjual miliaran bungkus minyak goreng, margarin, atau mi instan. Jaringan perdagangan yang tersebar antara Aceh hingga Papua--bergerak di kota-kota penting di Asia--memang layak diandalkan. Masuk akal jika perusahaan ini dipandang mampu menjual kartu-kartu perdana Fren kepada para pengguna seluler.
Kekuatan Sinarmas memang bisa membuat rivalitas teknologi seluler GSM (global system for mobile communications) versus CDMA (code division multiple access) di Indonesia bakal lebih berimbang. Selama ini, Fren yang berbasis CDMA memang kewalahan menghadapi serbuan operator GSM "melalui tiga perusahaan incumbent, yakni PT Telkomsel, PT Indosat, dan PT Excelcomindo" yang menguasai lebih dari 95% pangsa pasar. Syahdan, jumlah kartu seluler di Indonesia sudah mencapai 40 juta unit.
Mobile-8 sendiri hingga saat ini baru mengumpulkan 1,1 juta pelanggan. Padahal, pada saat berdirinya di akhir 2003, perusahaan ini menargetkan 1,9 juta pelanggan pada tahun 2005. Fren juga sudah habis-habisan berpromosi. Sejumlah bintang televisi bernilai mahal seperti Agnes Monica--ditampilkan dalam iklannya. Strategi banting harga juga ditempuh melalui penjualan paket Frensip dan Fren Stylo. Namun, tetap saja penjualan Fren masih tersendat-sendat.
Biar bagaimanapun, Tarif CDMA Lebih Murah
Itu juga yang sepertinya mendorong Bimantara Citra melepas sebagian sahamnya di Mobile 8. Namun, tak hanya Sinarmas saja yang berniat melakukan akuisisi tersebut. Menurut Gandhi, Sinarmas akan berkongsi dengan perusahaan telekomunikasi asal Cina dan Korea Selatan. Sayang, Gandhi enggan memerinci sosok dua perusahaan asing tadi.
Namun, kekuatan para kongsi itu sepertinya cukup untuk menandingi perusahaan-perusahaan pesaing yang juga sudah bergandengan dengan pihak asing. Sebut saja Telkomsel yang digawangi SingTel (Singapura), Indosat dengan STT (Singapura), Excelcomindo dengan Khazanah Malaysia, Lippo Telecom dengan Maxis Malaysia, dan Cyber Access yang menjual sebagian sahamnya kepada Hutchison, Hong Kong.
Di kalangan pelaku bisnis ini, ada bisik-bisik bahwa saham Mobile-8 yang akan dibeli Sinarmas dan kongsinya mencapai lebih dari 50%. Nilai akuisisi itu sendiri sekitar US$ 200 juta. Saat ini, 67,42% saham perusahaan tersebut masih dipegang Bimantara. Sisanya dikuasai oleh PT Centralindo Panca Sakti, Qualcomm Inc., Korea dan Korea Telecom Freetel (KTF).
Lantas, akan bagaimana nasib Mobile-8 jika sudah berada di tangan Sinarmas? Selain kemungkinan pertarungan sengit tadi, belum ada cerita lain. Yang jelas Gandhi Sulistiyanto menegaskan bahwa Mobile-8 tidak akan digabung dengan PT Wireless Indonesia (WIN) perusahaan telekomunikasi lain yang dimiliki Sinarmas sejak 2003. PT WIN mempunyai lisensi komunikasi data (bukan seluler) dalam frekuensi 3G (generasi ketiga) sejak 2001.
Mobile-8 sendiri, di awal masa berdirinya, memiliki modal Rp 181,8 miliar. Perusahaan ini kini sudah memiliki hampir 465 BTS yang tersebar di seluruh pulau Jawa. Sayangnya, Mobile-8 baru terkena getah dari kebijakan pemerintah yang menggusur dua operator CDMA (Flexi dan StarOne) dari frekuensi 1.900 MHz ke 800 MHz. Fren dari Mobile-8 berada di frekuensi 800 MHz bersama Esia (dari Bakrie Telecom). Sebelum penggusuran terjadi, Esia dan Fren masing-masing mendapat bandwitch 10 MHz.
Nah, jika Flexi dan StarOne masuk ke frekuensi 800 MHz, maka jatah bandwidth yang dimiliki Fren dan Esia jelas terpangkas. Fren dan Esia harus berbagi dengan StarOne dan Flexi. Empat operator itu hanya akan memiliki saluran selebar 5 MHz. Kurang ekonomis, memang. Apalagi bagi Fren yang operator seluler murni (Flexi, StarOne, dan Esia adalah operator telepon tetap nirkabel CDMA). Itu semua tentu akan menjadi hambatan buat pemilik baru Fren.
Nurul Azhar, pengamat ekonomi telekomunikasi dari LPEM FEUI juga menegaskan bahwa tarif seluler CDMA sempat diakali pemerintah. Mestinya, ujar Nurul, operator CDMA bisa menawarkan tarif lebih murah. Tapi, operator GSM melakukan lobi ke Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Akhirnya, tarif itu terpaksa harus lebih mahal. Akibatnya, nilai jual seluler CDMA berkurang.
Kendati demikian, Nurul yakin, pesona CDMA akan tetap berkilau. Biar bagaimanapun, tarif CDMA masih jauh lebih murah daripada GSM. Lebih dari itu, kemampuan CDMA dalam menyalurkan data digital juga lebih hebat ketimbang GSM. "Di masa depan, kelebihan CDMA akan menjadi kebutuhan konsumen," ujar Nurul. Ia juga memandang kehadiran Sinarmas di Mobile-8 tetap patut diperhitungkan. Paling tidak, karena Sinarmas bisa dengan segera menjual paket perdana Fren kepada karyawannya sendiri yang berjumlah ratusan ribu tadi.
Fren juga bisa memanfaatkan dugaan akan adanya kelesuan belanja operator seluler pada tahun 2006. Ketika pasar diduga lesu, yang paling kelimpungan adalah para pemain besar. Fren sendiri bisa memanfaatkan momen itu untuk mempersiapkan strategi jitu.
Rudiantara, Sekretaris Jenderal Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia, menduga belanja operator seluler tahun depan hanya berkisar US$ 1,5 miliar. Itu artinya lebih rendah 16% dibanding tahun ini yang sebesar US$ 1,8 miliar. Selain itu, pertumbuhan pelanggan diperkirakan juga akan menurun seiring semakin banyaknya orang yang memiliki handphone. Lagi pula, sekarang sudah terbit regulasi tentang registrasi pelanggan prabayar.
Makanya Rudiantara menegaskan, peta persaingan seluler tahun depan akan diwarnai perebutan pelanggan pascabayar. Kalau sudah begitu, maka jumlah jaringan kantor operator seluler akan sangat menentukan. Dan bagi Sinarmas, ini jelas sebuah peluang.
" Eka Tjipta Widjaya, pendiri Sinar Mas Grup, saat ini termasuk 3 besar orang terkaya Indonesia versi majalah Globe Asia 2008. Kabarnya, total kekayaannya ± USD 3,8 Milyar.
Nama aslinya adalah Oei Ek Tjhong. Lahir 3 Oktober 1923. Keluarganya hidup dalam kemiskinan. Bersama ibunya, ia pindah ke Makassar pada tahun 1932, saat usianya 9 tahun. Di Makassar, ia membantu ayahnya yang telah pindah lebih dahulu, dan telah memiliki toko kecil. Ia membantu ayahnya menjajakan produk toko dengan cara door to door selling. Setelah lulus SD, karena terbentur masalah ekonomi, sehingga ia tidak bisa melanjutkan sekolah. Ia pun berjualan keliling kota Makasar menjajakan kembang gula dan biskuit.
Dengan mengendarai sepeda, ia keliling kota Makasar menjajakan door to door permen, biscuit, dan aneka barang dagangan toko ayahnya. Dengan ketekunannya, usahanya mulai menunjukkan hasil.
Saat usianya 15 tahu, Eka mencari pemasok kembang gula dan biscuit dengan mengendarai sepedanya. Ia harus melewati hutan-hutan lebat, dengan kondisi jalanan yang belum seperti sekarang ini.
Kebanyakan pemasok tidak mempercayainya. Umumnya mereka meminta pembayaran di muka, sebelum barang dapat dibawa pulang oleh Eka.
Ia terus mencari cara untuk dapat berdagang lebih banyak lagi, untuk membantu perekonomian keluarganya. Tetap optimis, dan pantang menyerah. Ijasah SD nya pun dijaminkannya, untuk mendapatkan kepercayaan pemasok kepadanya. Walaupun tidak mendapatkan banyak pasokan, tetapi inilah langkah awal kesuksesan menurutnya.
Sempat pula ia berdagang besi-besi bekas, terigu, semen, dan gula. Ia juga pernah bekerja sebagai pemborong rumah kuburan. Pernah juga merintis bisnis minyak kelapa, berdagang kopra (bahan baku minyak kelapa), buah pala, dan lain sebagainya.
Saat umur 37 tahun, Eka pindah ke Surabaya.Dengan segala optimisme, kerja keras, dan tantangan, akhirnya usaha yang dijalaninya mulai menghasilkan sukses besar. Eka juga mempunyai kebun kopi dan kebun karet di Jember. Pernah ia merintis usaha penggilingan padi di Ciluas, Serang, Banten, yang kemudian dijual kepada PKI karena usahanya merugi. Awalnya Sinar Mas, merupakan CV.
Perusahaan ini melakukan ekspor hasil bumi dan impor tekstil di berbagai kota di Indonesia. Usahanya kini telah melebar ke bisnis keuangan, bubur kertas (pulp), kertas, agrobisnis, serta perumahan / real estate.
Eka tidak lupa untuk berbuat sosial. Ia mendirikan Yayasan Eka Tjipta Foundation. (fn/mt/tp) www.suaramedia.com
Reputasi Sinarmas memang sempat menggetarkan. Sekitar lima atau enam tahun silam, kelompok ini nyaris tinggal sejarah. Kredit macet Rp 13 triliun membuat Eka Tjipta kehilangan Bank International Indonesia (BII) yang menjadi kebanggaannya. Tapi, nasib berpihak pada sang taipan. Majalah Forbes menyebut Eka Tjipta sebagai orang terkaya ke-26 di Asia pada tahun 2005. Harta pribadinya mencapai US$ 710 juta (sekitar Rp 7 triliun).
Menurut Gandhi Sulistiyanto, Managing Director Sinarmas, aset Sinarmas sudah kembali seperti sebelum krisis: sekitar US$ 70 triliun. Perusahaan ini juga lebih sehat ketimbang dulu. Sekitar 300 ribu pekerja bernaung di bawah bendera gergasi itu. Dengan aset sebesar itu, wajar jika masuknya Sinarmas ke bisnis telekomunikasi menjadi diperhitungkan. Bagi Sinarmas, menyediakan dana perluasan jaringan seluler yang bakal dimilikinya tampaknya bukanlah sebuah masalah, kendati nilai investasinya terbilang besar, mencapai US$ 200 juta.
Apalagi, perusahaan ini berpengalaman dalam menjual produk langsung ke tangan konsumen. Sepanjang sejarahnya, Sinarmas sudah menjual miliaran bungkus minyak goreng, margarin, atau mi instan. Jaringan perdagangan yang tersebar antara Aceh hingga Papua--bergerak di kota-kota penting di Asia--memang layak diandalkan. Masuk akal jika perusahaan ini dipandang mampu menjual kartu-kartu perdana Fren kepada para pengguna seluler.
Kekuatan Sinarmas memang bisa membuat rivalitas teknologi seluler GSM (global system for mobile communications) versus CDMA (code division multiple access) di Indonesia bakal lebih berimbang. Selama ini, Fren yang berbasis CDMA memang kewalahan menghadapi serbuan operator GSM "melalui tiga perusahaan incumbent, yakni PT Telkomsel, PT Indosat, dan PT Excelcomindo" yang menguasai lebih dari 95% pangsa pasar. Syahdan, jumlah kartu seluler di Indonesia sudah mencapai 40 juta unit.
Mobile-8 sendiri hingga saat ini baru mengumpulkan 1,1 juta pelanggan. Padahal, pada saat berdirinya di akhir 2003, perusahaan ini menargetkan 1,9 juta pelanggan pada tahun 2005. Fren juga sudah habis-habisan berpromosi. Sejumlah bintang televisi bernilai mahal seperti Agnes Monica--ditampilkan dalam iklannya. Strategi banting harga juga ditempuh melalui penjualan paket Frensip dan Fren Stylo. Namun, tetap saja penjualan Fren masih tersendat-sendat.
Biar bagaimanapun, Tarif CDMA Lebih Murah
Itu juga yang sepertinya mendorong Bimantara Citra melepas sebagian sahamnya di Mobile 8. Namun, tak hanya Sinarmas saja yang berniat melakukan akuisisi tersebut. Menurut Gandhi, Sinarmas akan berkongsi dengan perusahaan telekomunikasi asal Cina dan Korea Selatan. Sayang, Gandhi enggan memerinci sosok dua perusahaan asing tadi.
Namun, kekuatan para kongsi itu sepertinya cukup untuk menandingi perusahaan-perusahaan pesaing yang juga sudah bergandengan dengan pihak asing. Sebut saja Telkomsel yang digawangi SingTel (Singapura), Indosat dengan STT (Singapura), Excelcomindo dengan Khazanah Malaysia, Lippo Telecom dengan Maxis Malaysia, dan Cyber Access yang menjual sebagian sahamnya kepada Hutchison, Hong Kong.
Di kalangan pelaku bisnis ini, ada bisik-bisik bahwa saham Mobile-8 yang akan dibeli Sinarmas dan kongsinya mencapai lebih dari 50%. Nilai akuisisi itu sendiri sekitar US$ 200 juta. Saat ini, 67,42% saham perusahaan tersebut masih dipegang Bimantara. Sisanya dikuasai oleh PT Centralindo Panca Sakti, Qualcomm Inc., Korea dan Korea Telecom Freetel (KTF).
Lantas, akan bagaimana nasib Mobile-8 jika sudah berada di tangan Sinarmas? Selain kemungkinan pertarungan sengit tadi, belum ada cerita lain. Yang jelas Gandhi Sulistiyanto menegaskan bahwa Mobile-8 tidak akan digabung dengan PT Wireless Indonesia (WIN) perusahaan telekomunikasi lain yang dimiliki Sinarmas sejak 2003. PT WIN mempunyai lisensi komunikasi data (bukan seluler) dalam frekuensi 3G (generasi ketiga) sejak 2001.
Mobile-8 sendiri, di awal masa berdirinya, memiliki modal Rp 181,8 miliar. Perusahaan ini kini sudah memiliki hampir 465 BTS yang tersebar di seluruh pulau Jawa. Sayangnya, Mobile-8 baru terkena getah dari kebijakan pemerintah yang menggusur dua operator CDMA (Flexi dan StarOne) dari frekuensi 1.900 MHz ke 800 MHz. Fren dari Mobile-8 berada di frekuensi 800 MHz bersama Esia (dari Bakrie Telecom). Sebelum penggusuran terjadi, Esia dan Fren masing-masing mendapat bandwitch 10 MHz.
Nah, jika Flexi dan StarOne masuk ke frekuensi 800 MHz, maka jatah bandwidth yang dimiliki Fren dan Esia jelas terpangkas. Fren dan Esia harus berbagi dengan StarOne dan Flexi. Empat operator itu hanya akan memiliki saluran selebar 5 MHz. Kurang ekonomis, memang. Apalagi bagi Fren yang operator seluler murni (Flexi, StarOne, dan Esia adalah operator telepon tetap nirkabel CDMA). Itu semua tentu akan menjadi hambatan buat pemilik baru Fren.
Nurul Azhar, pengamat ekonomi telekomunikasi dari LPEM FEUI juga menegaskan bahwa tarif seluler CDMA sempat diakali pemerintah. Mestinya, ujar Nurul, operator CDMA bisa menawarkan tarif lebih murah. Tapi, operator GSM melakukan lobi ke Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Akhirnya, tarif itu terpaksa harus lebih mahal. Akibatnya, nilai jual seluler CDMA berkurang.
Kendati demikian, Nurul yakin, pesona CDMA akan tetap berkilau. Biar bagaimanapun, tarif CDMA masih jauh lebih murah daripada GSM. Lebih dari itu, kemampuan CDMA dalam menyalurkan data digital juga lebih hebat ketimbang GSM. "Di masa depan, kelebihan CDMA akan menjadi kebutuhan konsumen," ujar Nurul. Ia juga memandang kehadiran Sinarmas di Mobile-8 tetap patut diperhitungkan. Paling tidak, karena Sinarmas bisa dengan segera menjual paket perdana Fren kepada karyawannya sendiri yang berjumlah ratusan ribu tadi.
Fren juga bisa memanfaatkan dugaan akan adanya kelesuan belanja operator seluler pada tahun 2006. Ketika pasar diduga lesu, yang paling kelimpungan adalah para pemain besar. Fren sendiri bisa memanfaatkan momen itu untuk mempersiapkan strategi jitu.
Rudiantara, Sekretaris Jenderal Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia, menduga belanja operator seluler tahun depan hanya berkisar US$ 1,5 miliar. Itu artinya lebih rendah 16% dibanding tahun ini yang sebesar US$ 1,8 miliar. Selain itu, pertumbuhan pelanggan diperkirakan juga akan menurun seiring semakin banyaknya orang yang memiliki handphone. Lagi pula, sekarang sudah terbit regulasi tentang registrasi pelanggan prabayar.
Makanya Rudiantara menegaskan, peta persaingan seluler tahun depan akan diwarnai perebutan pelanggan pascabayar. Kalau sudah begitu, maka jumlah jaringan kantor operator seluler akan sangat menentukan. Dan bagi Sinarmas, ini jelas sebuah peluang.
" Eka Tjipta Widjaya, pendiri Sinar Mas Grup, saat ini termasuk 3 besar orang terkaya Indonesia versi majalah Globe Asia 2008. Kabarnya, total kekayaannya ± USD 3,8 Milyar.
Nama aslinya adalah Oei Ek Tjhong. Lahir 3 Oktober 1923. Keluarganya hidup dalam kemiskinan. Bersama ibunya, ia pindah ke Makassar pada tahun 1932, saat usianya 9 tahun. Di Makassar, ia membantu ayahnya yang telah pindah lebih dahulu, dan telah memiliki toko kecil. Ia membantu ayahnya menjajakan produk toko dengan cara door to door selling. Setelah lulus SD, karena terbentur masalah ekonomi, sehingga ia tidak bisa melanjutkan sekolah. Ia pun berjualan keliling kota Makasar menjajakan kembang gula dan biskuit.
Dengan mengendarai sepeda, ia keliling kota Makasar menjajakan door to door permen, biscuit, dan aneka barang dagangan toko ayahnya. Dengan ketekunannya, usahanya mulai menunjukkan hasil.
Saat usianya 15 tahu, Eka mencari pemasok kembang gula dan biscuit dengan mengendarai sepedanya. Ia harus melewati hutan-hutan lebat, dengan kondisi jalanan yang belum seperti sekarang ini.
Kebanyakan pemasok tidak mempercayainya. Umumnya mereka meminta pembayaran di muka, sebelum barang dapat dibawa pulang oleh Eka.
Ia terus mencari cara untuk dapat berdagang lebih banyak lagi, untuk membantu perekonomian keluarganya. Tetap optimis, dan pantang menyerah. Ijasah SD nya pun dijaminkannya, untuk mendapatkan kepercayaan pemasok kepadanya. Walaupun tidak mendapatkan banyak pasokan, tetapi inilah langkah awal kesuksesan menurutnya.
Sempat pula ia berdagang besi-besi bekas, terigu, semen, dan gula. Ia juga pernah bekerja sebagai pemborong rumah kuburan. Pernah juga merintis bisnis minyak kelapa, berdagang kopra (bahan baku minyak kelapa), buah pala, dan lain sebagainya.
Saat umur 37 tahun, Eka pindah ke Surabaya.Dengan segala optimisme, kerja keras, dan tantangan, akhirnya usaha yang dijalaninya mulai menghasilkan sukses besar. Eka juga mempunyai kebun kopi dan kebun karet di Jember. Pernah ia merintis usaha penggilingan padi di Ciluas, Serang, Banten, yang kemudian dijual kepada PKI karena usahanya merugi. Awalnya Sinar Mas, merupakan CV.
Perusahaan ini melakukan ekspor hasil bumi dan impor tekstil di berbagai kota di Indonesia. Usahanya kini telah melebar ke bisnis keuangan, bubur kertas (pulp), kertas, agrobisnis, serta perumahan / real estate.
Eka tidak lupa untuk berbuat sosial. Ia mendirikan Yayasan Eka Tjipta Foundation. (fn/mt/tp) www.suaramedia.com
http://www.suaramedia.com/ekonomi-bisnis/strategi-bisnis/33691-berawal-dari-ijazah-sd-kini-eka-tjipta-sukses-kelola-sinarmas.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar