Minggu, 26 Desember 2010

Anak Bawang Pembawa Bola. Kenapa Demokrat Bisa Naik 300 persen

BACA INI !!!! Kenapa Demokrat Bisa Naik 300 persen

Banyak orang muda dan pintar dan rasional dan mau kerja keras didalam Partai Demokrat. http://forum.detik.com/baca-ini-kenapa-demokrat-bisa-naik-300-persen-t96647.html

Quote:
Anak Bawang Pembawa Bola
Partai Demokrat meraih suara terbanyak dalam pemilihan umum legislatif. Susilo Bambang Yudhoyono jadi faktor kunci.

SIANG itu Hadi Utomo berkaus oblong putih dan bercelana pendek loreng hitam. Sesekali, Ketua Umum Partai Demokrat itu mengernyit menahan sakit. Jalannya pun tertatih-tatih. Ada bekas tusukan jarum infus di tangan kirinya. ”Asam urat saya kumat,” katanya lirih, Kamis pekan lalu.

Setelah pagi-pagi mencontreng di bilik suara di dekat rumahnya di Condet, Jakarta Timur, purnawirawan kolonel TNI ini mengeluh tak enak badan. Padahal tiga layar proyektor dan televisi layar datar sudah disiapkan di ruang tamu, ruang tengah, dan halaman belakang untuk memantau pemilu. Kursi-kursi digelar dan penganan kecil tersaji di atas meja: tape, kue bulan, kue kering, apel, dan jeruk mandarin. Tapi Hadi sendiri enggan memantau hasil hitung cepat. Menjelang tengah hari, dia memilih tidur.

Acara yang mestinya riuh itu sepi pengunjung. Calon legislator dan fungsionaris partai yang diharapkan hadir tak banyak yang muncul. ”Semuanya jaga kandang di tempat pemungutan suara masing-masing,” kata Anas Urbaningrum, Ketua Bidang Politik Partai Demokrat, yang sudah hadir di rumah Hadi sejak pagi. Dua telepon seluler Anas terus berdering. Laporan masuk dari berbagai daerah. ”Jaga terus, jangan dilepas,” katanya memberikan instruksi agar para saksi Demokrat tetap bertahan di lokasi pemilihan.

Menjelang magrib segeralah kabar gembira itu terdengar. Hitung cepat sejumlah lembaga survei menunjukkan Partai Demokrat berada di peringkat teratas. Hadi muncul dari kamar tidur dengan wajah sumringah. Ia mengenakan kemeja batik biru lengan panjang. Asam uratnya nyaris tak berbekas. ”Hasil ini sesuai target,” katanya.

Para petinggi Demokrat bermunculan: Wakil Ketua Umum Achmad Mubarok, Ketua Fraksi Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat Sjarifuddin Hassan, dan Sekretaris Jenderal Marzuki Alie. Para calon legislator tiba satu demi satu.

Di halaman belakang, mereka meriung. Semua membawa berita kemenangan Demokrat di wilayah masing-masing. ”Kampung saya berubah dari merah jadi biru,” kata Anas, tergelak. Mastuti Rahayu, istri Hadi Utomo sekaligus adik kandung Ani Yudhoyono, mondar-mandir mengajak tamunya mencicipi sate padang. ”Ayo, mumpung masih panas,” katanya ramah.

Tak ingin jumawa, berulang-ulang Hadi mengatakan, ”Ini bukan hasil resmi Komisi Pemilihan Umum.” Beberapa orang bahkan kelihatan tak yakin partai mereka melampaui Golkar dan PDI Perjuangan. ”Ini berkat Tuhan. Ini skenario dari atas,” kata Mubarok.

l l l

HOTEL Grand Bali Beach, Sanur, Bali, Mei 2005. Kongres pertama Partai Demokrat berlangsung panas: perseteruan antara Ketua Umum Subur Budhisantoso dan Wakil Ketua Umum Ventje Rumangkang sedang runcing-runcingnya. Budi melaporkan Ventje ke polisi dengan tuduhan memalsukan akta pendirian partai. Sebagai balasannya, Budi dipecat dari kursi ketua umum.

Banyak orang mengira itulah akhir Partai Demokrat—partai anak bawang yang meraih 7,5 persen suara pada Pemilu 2004. Pada saat-saat kritis itu, Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan. Kehadirannya manjur mengurangi tensi pertikaian. Hadi Utomo kemudian terpilih menjadi ketua umum partai menyingkirkan dua pesaing utamanya: Suratto Siswodihardjo dan Subur Budhisantoso. Kemenangan Hadi tak lepas dari persepsi sebagian pengurus Demokrat yang melihat mantan Kepala Kantor Ketenteraman dan Ketertiban DKI Jakarta itu sebagai bagian dari keluarga besar Yudhoyono.

”Baru setelah kongres berakhir, kami bisa melakukan konsolidasi: merekrut orang baru, terutama tokoh lokal, menjadi kader partai,” kata Anas. Setiap tokoh yang baru bergabung membawa jaringan pendukungnya. ”Itu memperbesar basis kami,” kata Anas. Perlawanan bukannya tak ada. Setelah kongres, sejumlah tokoh partai mengundurkan diri. ”Gesekan itu wajar. Itu harga yang harus dibayar,” kata Anas lagi.

Setelah konsolidasi berjalan, kaderisasi diperbaiki. Dua tahun pertama, pengurus pusat Demokrat berkeliling Indonesia membekali kadernya dengan teknik pemasaran politik, manajemen organisasi, dan penajaman ideologi partai. Ketua Golkar Surabaya Wisnu Wardhana mengaku dikunjungi pengurus pusat sampai tiga kali dalam sebulan.

Salah satu cabang Partai Demokrat yang paling aktif ada di Jawa Barat. Ketua Demokrat di sana, Mayjen (Purn) Iwan Ridwan Sulandjana, adalah bekas Panglima Kodam Siliwangi. Dia sempat mencalonkan diri menjadi wakil gubernur pada pemilihan April 2008, tapi kalah. Iwan baru menjadi Ketua Demokrat pada Oktober tahun lalu.

Sumber Tempo memastikan Iwan diberi tugas merebut Jawa Barat yang merupakan basis tradisional Beringin dan Banteng. Dengan 30 juta pemilih, wilayah ini menyediakan kursi parlemen paling banyak di Indonesia. Sebelum Iwan masuk, tingkat keterpilihan Demokrat hanya 7-8 persen. ”Sejak awal 2008, partai memang membuat survei setiap tiga bulan untuk memantau keberhasilan program partai,” kata seorang pengurus Demokrat. Sebuah lembaga survei disewa khusus untuk keperluan itu.

Iwan diberi target merebut 20 persen suara di Jawa Barat. ”Untuk itu, kami berkonsentrasi menggarap kelompok-kelompok petani di selatan, dari Pelabuhan Ratu sampai Pangandaran,” katanya. Program Iwan di sana diberi nama ”Demokrat Saba Desa”. Pada akhir 2008, ratusan kader partai diberi pelatihan tentang pertanian organik, lalu diturunkan ke desa-desa, mendekati para petani.

Di perkotaan, ”Kami mengadopsi multilevel marketing,” kata Iwan. Setiap satu kader Demokrat ditargetkan mengajak 10 orang untuk memilih partai itu. Di tingkat nasional, Yudhoyono menamai program ini ”Sowan” alias ”Satu Orang Satu Kawan”.

l l l

TEMPAT pemungutan suara nomor 17, di Jalan Braga, Bandung, masih dipadati warga sampai Kamis sore pekan lalu. Setiap kali petugas pemungutan suara mengangkat kertas suara dan berseru, ”Demokrat,” ibu-ibu yang berkerumun di sekeliling bilik spontan berteriak, ”BLT!”

Bantuan Langsung Tunai—kebijakan pemerintah untuk memberikan kompensasi kenaikan harga bensin Rp 100 ribu per bulan untuk warga miskin—adalah salah satu faktor penentu kemenangan Demokrat.

Strategi besar kampanye Demokrat itu sejatinya baru dirumuskan pada awal 2008. ”Berdasarkan hasil riset, kami sadar ada kesenjangan besar antara tingkat keterpilihan SBY dan Partai Demokrat,” kata Anas Urbaningrum. Mereka lalu memutuskan tak ada jalan untuk mengatrol suara Demokrat selain mencantolkan citra partai itu pada SBY. ”Itu kami lakukan dengan sadar.” Walhasil, semua iklan dan atribut kampanye Demokrat menampilkan pesan seragam: ”Partai Demokrat, bersama SBY.”

Keputusan strategis lain saat itu adalah soal dukungan partai pada pemerintah. Berdasarkan survei, partai yang plin-plan—kadang mendukung kadang menolak kebijakan pemerintah—tak memperoleh tambahan poin di mata publik. ”Pemilih maunya yang pasti-pasti, mereka tidak suka partai abu-abu,” kata Anas.

Strategi menempelkan SBY dengan Demokrat ini menjadi pilihan realistis. Soalnya, meski konsolidasi sudah berjalan, mesin partai belum bisa diharapkan bekerja maksimal. ”Kami masih di tahap awal. Perlu 5-10 tahun lagi bagi Demokrat untuk bisa menjadi kekuatan politik yang modern dan fungsional,” kata Anas. ”Ibaratnya partai ini baru bisa bekerja sampai lima, tapi dapat hasil sepuluh berkat Pak SBY,” kata Mubarok. Ketua Demokrat Jawa Tengah Sukawi Sutarip terang-terangan mengaku partai ”mendompleng popularitas SBY”.

Yahya Ombara, koordinator pada tim kampanye nasional SBY-JK lima tahun lalu, secara jujur mengaku pola kemenangan Demokrat sebetulnya tak berubah dibanding pemilu sebelumnya. ”Lebih dari 50 persen adalah faktor SBY,” katanya.

Selain memiliki mesin partai, Demokrat punya sederet tim siluman. Ada tim Echo dan tim Sekoci yang berfungsi sebagai unit intelijen dan penggalangan di lapangan. Ada tim Delta yang mengurusi logistik, terutama atribut kampanye lain. Anggota tim ini adalah simpatisan SBY yang tak tergabung dalam struktur partai. Mantan Panglima TNI Marsekal (Purn) Djoko Suyanto adalah ketua tim Echo.

Peran tim ini nyata terlihat pada kampanye terbuka. Seluruh rangkaian acara dan perangkat pendukungnya—termasuk dana—didrop dari Jakarta. Sumber Tempo di tim pendukung membenarkan bahwa struktur partai di daerah tinggal terima bersih. ”Tim Sekoci dan tim Echo mem-back-up apa yang tidak bisa dilakukan partai,” kata Achmad Mubarok.

Pada hari pemungutan suara, tim pendukung juga berkonsentrasi memperkuat para saksi di TPS. Setiap saksi diberi upah Rp 100 ribu dan diberi petunjuk detail tentang pengawasan penghitungan suara. Tak jelas berapa uang disiapkan Demokrat untuk urusan saksi ini. Tapi seorang petinggi Demokrat menyebut untuk Provinsi Yogyakarta saja mereka menyiapkan Rp 1 miliar.

Meski kemenangan sudah di tangan, Yudhoyono tetap berhati-hati. Kamis pekan lalu, sekitar pukul sembilan malam, ia menemui wartawan yang sejak pagi menunggu di rumahnya di Cikeas, Jawa Barat. Berbatik merah marun, Yudhoyono tampak rileks, senyumnya mengembang. Dia berjanji tak akan melenggang sendirian. ”Kami tetap membutuhkan kebersamaan dalam menjalankan roda pemerintahan dan kehidupan berbangsa,” katanya. Meski halus, isyarat Yudhoyono terang-benderang: bola kini di tangan Partai Demokrat.

Wahyu Dhyatmika, Amandra Megarani (Jakarta), Widiarsi Agustina (Bandung), Anang Zakaria (Surabaya), Sohirin (Semarang), Mabsuti Ibnu Marhas (Serang)

1 komentar:

  1. Quote http://forum.detik.com/baca-ini-kenapa-demokrat-bisa-naik-300-persen-t96647.html: "Originally Posted by indoro1ds View Post"
    money politik tuh BLT
    cuma karena start nya duluan (jauh sebelum masa kampanye), makanya demokrat bisa menang
    trus mereka berlindung dibalik jargon jargon canggih dan mengelak BLT = money politik
    pintar sih pintar, sayangnya dipake utk menimbulkan berbagai kecurangan yg terjadi saat ini

    Legitimasi pemilihan umum legislatif yang dilaksanakan pada 9 April 2009 sama sekali tidak SAH. Sejumlah partai politik dan tokoh politik menilai, pemilu kali ini adalah pemilu terburuk sejak reformasi dan pelaksanaannya jauh dari sikap yang jujur, bermartabat, adil, dan demokratis.

    Banyaknya masalah, terutama daftar pemilih tetap (DPT), mengakibatkan jutaan warga kehilangan hak konstitusi untuk memilih wakil rakyat. Padahal, hak memilih adalah hak asasi manusia yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Pengabaian atas hak memilih berarti melanggar konstitusi. Pelaksanaan pemilu juga diwarnai kecurangan dan kesalahan administrasi serta substansi yang sistemik sehingga mengakibatkan kualitasnya buruk.

    Ini bisa berimplikasi serius karena belum pernah terjadi dalam pemilu sebelumnya pada era reformasi, baik Pemilu 1999 pada era pemerintahan BJ Habibie maupun Pemilu 2004 pada era pemerintahan Megawati. Sekarang kita tahu siapa SBY sesungguhnya.

    Dalam Pemilu 2009 terjadi kecurangan yang sistemik. Bila semua desa dipetakan, akan terlihat ada korelasi positif antara desa yang banyak menerima bantuan langsung tunai dan peta kemenangan Partai Demokrat. Sebaliknya, di daerah di mana Partai Demokrat berpotensi kalah, terutama di kota besar, banyak warga yang tak masuk DPT. Hanya orang bodoh yg menggangap kemenangan Demokrat/SBY adalah kemenangan yg murni. Itu bohong besar! KPU boleh saja disalahkan, tapi SBY adalah penanggungjawab sesungguhnya. Sudah jelas semua kekacauan ini di rekayasa oleh SBY dan Demokrat nya agar memenangkan dirinya.

    Dua pemilu lalu, pada waktu Pak Habibie dan Mbak Mega, berlangsung jujur, adil, dan fair. Kali ini justru pemilu legislatif yang amburadul.

    ZA: Saya kira kita memang perlu belajar dan yang penting belajar jujur.
    Ini tidak lain karena kita, khususnya para tokoh Islam dan mereka para ulamanya sudah lupa sejarah dan perjuangan para leluhur kita untuk mencapai kemerdekaan RI. Di zaman sekarang ini tokoh2 Islam tidak lagi cinta RI, tetapi lebih cinta kedudukan dan duit, sehingga meninggalkan pelajaran dan ajaran sejarah dalam memperjuangkan kejayaan dan kesejahteraan rakyat. Kini mereka tunduk sama sistem Barat, embahnya para penjajah. Demokrasi Liberal itu dinegeri asalnya memang menghalalkan segala cara. Jadi kemenangan dengan cara culas atau apapun sah2 saja sepanjang ikut aturan main yang disepakati. Jadi gak perlu komentar macem2. Ya kalah, sudah Kalah. Demokrat memang sudah memahami caranya main, walaupun dengan cara2 inconvensional. Kalau tidak mau main curang, harus berani kembali kepada Rancangan UUD RI 1945, tanggal 22 Juni 1945, hasil Panitia team BPUPKI, dimana kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, dimana Syariat itu adalah berdasarkan aturan Allah yg tidak vested, dan bukan UU buatan manusia yang sering vested dan cenderung korup dan banyak tipu2 dan manipulasi. Wassalam

    BalasHapus