DI tangan yang berkuasa, sejarah di negeri ini bisa dibengkokkan dan keok. Itu terjadi di zaman Pak Harto berkaitan dengan sejarah diplomasi melawan Belanda jika dibandingkan dengan kehebatan perang gerilya.
Itulah pula yang bakal terjadi di zaman Susilo Bambang Yudhoyono berkaitan dengan sejarah keistimewaan Provinsi Yogya jika dibandingkan dengan monarki.
Padahal, Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang sejak berdiri sudah mengakui pluralitas pemerintahan daerah.
Pengakuan itu tidak main-main karena tersurat terang benderang dalam konstitusi, Pasal 18B UUD. Pasal 18B UUD itu menyatakan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Pengakuan dan penghormatan itulah yang tidak tecermin dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa sistem monarki di Yogyakarta akan bertabrakan dengan konstitusi dan demokrasi.
Pendapat itu jelas mempertontonkan tidak memahami sejarah. Yogyakarta mendapat keistimewaan untuk mengatur rumah tangga mereka bukan datang tiba-tiba dari langit.
Negara ini memberi keistimewaan itu karena jasa Sultan dan Paku Alam yang sepenuhnya berjuang untuk Republik. Adalah fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan bahwa Provinsi DI Yogyakata itu sebelumnya seumur hidup dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai gubernur dan Paku Alam VIII sebagai wakil gubernur.
Itulah salah satu pengakuan Republik ini terhadap keistimewaan Yogyakarta yang tak terbandingkan. Setelah Sultan IX wafat, kedudukan gubernur diteruskan Paku Alam VIII hingga juga wafat.
Sultan menjadi gubernur dan Paku Alam menjadi wakil gubernur itu kemudian dilanjutkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX yang sudah memimpin daerah itu dua periode, bahkan diperpanjang tiga tahun sejak 9 Oktober 2008.
Perpanjangan itu sesungguhnya bukan hanya pengakuan, melainkan merupakan peneguhan atas keistimewaan Yogyakarta. Akan tetapi, keistimewaan itu hingga kini gagal dirumuskan pemerintah dan DPR dalam sebuah undang-undang. Kegagalan itu lebih disebabkan, diakui atau tidak, adanya keinginan untuk membonsai peran Sultan di panggung politik.
Jika pemerintah mau menghormati sejarah, tidak perlu repot-repot menyusun RUU Keistimewaan Yogyakarta. Cukup menyempurnakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang mengatur keistimewaan Yogyakarta.
Undang-undang itu sudah lengkap mengatur DI Yogyakarta kecuali menyangkut penetapan kepala daerah. Karena itu, cukup dibuatkan pasal bahwa Sultan otomatis menjadi gubernur dan Paku Alam wakilnya.
Pertanyaannya, sampai kapan? Itulah yang mesti dijawab dengan kearifan sejarah. Misalnya, hingga 5 September 2045, yaitu 100 tahun sejak Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII mengeluarkan Dekrit Kerajaan pada 5 September 1945 yang isinya menyatakan berintegrasi ke Republik Indonesia.
Itulah tanggal resmi Sultan dan Paku Alam melepaskan monarki dengan memilih bergabung dan berjuang menegakkan dan mempertahankan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, adalah amnesia sejarah mengatakan Yogya itu monarki.
Itulah pula yang bakal terjadi di zaman Susilo Bambang Yudhoyono berkaitan dengan sejarah keistimewaan Provinsi Yogya jika dibandingkan dengan monarki.
Padahal, Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang sejak berdiri sudah mengakui pluralitas pemerintahan daerah.
Pengakuan itu tidak main-main karena tersurat terang benderang dalam konstitusi, Pasal 18B UUD. Pasal 18B UUD itu menyatakan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Pengakuan dan penghormatan itulah yang tidak tecermin dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa sistem monarki di Yogyakarta akan bertabrakan dengan konstitusi dan demokrasi.
Pendapat itu jelas mempertontonkan tidak memahami sejarah. Yogyakarta mendapat keistimewaan untuk mengatur rumah tangga mereka bukan datang tiba-tiba dari langit.
Negara ini memberi keistimewaan itu karena jasa Sultan dan Paku Alam yang sepenuhnya berjuang untuk Republik. Adalah fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan bahwa Provinsi DI Yogyakata itu sebelumnya seumur hidup dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai gubernur dan Paku Alam VIII sebagai wakil gubernur.
Itulah salah satu pengakuan Republik ini terhadap keistimewaan Yogyakarta yang tak terbandingkan. Setelah Sultan IX wafat, kedudukan gubernur diteruskan Paku Alam VIII hingga juga wafat.
Sultan menjadi gubernur dan Paku Alam menjadi wakil gubernur itu kemudian dilanjutkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX yang sudah memimpin daerah itu dua periode, bahkan diperpanjang tiga tahun sejak 9 Oktober 2008.
Perpanjangan itu sesungguhnya bukan hanya pengakuan, melainkan merupakan peneguhan atas keistimewaan Yogyakarta. Akan tetapi, keistimewaan itu hingga kini gagal dirumuskan pemerintah dan DPR dalam sebuah undang-undang. Kegagalan itu lebih disebabkan, diakui atau tidak, adanya keinginan untuk membonsai peran Sultan di panggung politik.
Jika pemerintah mau menghormati sejarah, tidak perlu repot-repot menyusun RUU Keistimewaan Yogyakarta. Cukup menyempurnakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang mengatur keistimewaan Yogyakarta.
Undang-undang itu sudah lengkap mengatur DI Yogyakarta kecuali menyangkut penetapan kepala daerah. Karena itu, cukup dibuatkan pasal bahwa Sultan otomatis menjadi gubernur dan Paku Alam wakilnya.
Pertanyaannya, sampai kapan? Itulah yang mesti dijawab dengan kearifan sejarah. Misalnya, hingga 5 September 2045, yaitu 100 tahun sejak Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII mengeluarkan Dekrit Kerajaan pada 5 September 1945 yang isinya menyatakan berintegrasi ke Republik Indonesia.
Itulah tanggal resmi Sultan dan Paku Alam melepaskan monarki dengan memilih bergabung dan berjuang menegakkan dan mempertahankan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, adalah amnesia sejarah mengatakan Yogya itu monarki.
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/12/01/185128/70/13/Amnesia-Sejarah-/9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar