Rabu, 22 Desember 2010

ALMUKARROM MUHAMMAD AMARI

ALMUKARROM MUHAMMAD AMARI

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Al Mukarrom Muhammad Amari adalah pejabat tinggi yang paling ngotot untuk mendakwa saya ke pengadilan. Di zaman Marwan Effendi menjadi Jampidsus, dia menyadari peran saya dalam Sisminbakum, yang disebutnya sebagai “primus interpares”. Penunjukan PT SRD dan Koperasi untuk melaksanakan proyek Sisminbakum, saya lakukan dalam  posisi Menteri Kehakiman dan HAM selaku Pembina Utama Koperasi Pengayoman. Jabatan Pembina Utama Koperasi adalah jabatan ex-officio, jabatan otomatis yang tak pernah ada serah terima, dan tak ada pula dalam struktur organisasi koperasi yang resmi. Pejabat eks-officio tidak mempunyai kewenangan apapun kecuali memberikan legitimasi atas suatu keadaan, berdasarkan permintaan yang disampaikan oleh Ketua Koperasi.
Sebagai pejabat pemberi legitimasi dan seremonial, jabatan itu ex-officio itu lebih kurang sama dengan jabatan Presiden sebagai Kepala Negara, atau Raja sebagai Kepala Negara yang “can do no wrong” atau jabatan Penghulu/Kepala KUA.  KPU mengirimkan daftar nama mereka yang terpilih menjadi anggota DPR dan meminta Presiden untuk mensahkannya, Maka Presiden menerbitkan Keputusan Presiden tentang pengesahan mereka menjadi anggota DPR. Tindakan itu adalah tindakan legitimasi belaka. Presiden melakukannya karena perintah undang-undang dan diminta oleh KPU. Presiden tidak memikul tanggungjawab apapun atas apa yang dilakukan anggota DPR yang keanggotaannya diresmikannya.  Demikian pula Penghulu dan Kepala KUA. Urusan keabsahan ijab-qabul adalah kewenangan wali nasab. Ada dua calon mempelai, ada wali, ada saksi dan ada ijab-qabul, maka sahlah nikah. Penghulu atau Kepala KUA tinggal melegitimasi pernikahan itu  dan menerbitkan surat nikah. Kalau pasangan suami-istri itu di kemudian hari berantam satu dengan lainnya, Penghulu dan Kepala KUA tidak  dapat disalahkan karena dia tidak memikul tanggungjawab apapun dalam pernikahan itu kecuali memberikan legitimasi saja. Sebab itu, Marwan tak pernah mau menyatakan saya sebagai tersangka. Ada benarnya juga logika wong kito Marwan itu.
Apalagi  Marwan  membaca dengan cermat putusan perkara Romly Atmasasmita yang  meskipun terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan wewenang, namun tidak terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang  itu bersama-sama dengan saya. Demikian putusan PN Jakarta Selatan dan PT Jakarta.  Namun ini belum final.  Kalau besok Mahkamah Agung membebaskan Romly, maka ini bisa menjadi aib besar bagi Al-Mukarrom, karena dia telah bekerja dengan sembrono. Surat Perjanjian yang diteken Romly dengan Ali Amran Jannah selaku ketua Koperasi yang menjadi sumber penyalahgunaan wewenang itu ditanda-tangani tanggal 25 Juli 2001, saat Menteri Kehakiman dan HAM dijabat oleh Prof Dr  Mahfud MD SH, Ketua MK sekarang ini, bukan saya. Mahfud juga belum tentu salah. Mungkin dia tidak tahu Romly dan Amran menandatangani perjanjian itu karena suasana sedang kisruh menjelang kejatuhan Presiden Gus Dur ketika itu. Mahfud menjadi Menteri Kehakiman dan HAM sekitar tiga minggu saja dalam situasi kabinet yang hampir demisioner.
Belakangan, Romly sendiri membantah keabsahan perjanjian itu. Dia mengatakan surat perjanjian yang dijadikan jaksa sebagai barang bukti di persidangan hanyalah fotocopy belaka. Jaksa gagal menunjukkan aslinya. Romly balik menuduh penyidik di Kejaksaan Agung merekayasa perjanjian itu bekerjasama dengan Basoeki, pengurus Koperasi yang ditakut-takuti penyidik. Tanda tangan Romly dalam perjanjian tanggal 25 Juli 2001 itu menurut Romly adalah palsu. Dia melapor ke Polda Metro dan polisi telah menyatakan Basoeki sebagai tersangka. Keadaan ini membuat runyam. Kita lihat saja nanti apa putusan Mahkamah Agung. Saya yakin Romly tidak bersalah.
Ketika Al-Mukarrom Amari dilantik jadi Jampidsus oleh Hendarman, mulailah saya diputuskan menjadi tersangka. Sejak itu berbagai kehebohan mulai terjadi, sampai akhirnya Hendarman terjungkal dari posisinya. Al-Mukarrom adalah sisa-sisa Lasykar Pajang pengikut setia Hendarman, yang terus ngotot memaksakan maunya sendiri. Entah ada target apa secara politis di balik semua itu. Kalau dia mengincer jabatan Jaksa Agung ketika Hendarman mulai goyah, saya bisa maklum. Saya bisa dijadikan seperti barang mainan untuk unjuk muka dan unjuk prestasi. Tapi sekarang, Jaksa Agung defenitif sudah dilantik, namun Almukarrom masih ngeyel juga. Secara pribadi saya tak kenal  Al-Mukarrom Amari. Secara ideologis nampaknya saya tak punya sejarah permusuhan dengannya. Beda dengan Adnan Buyung Nasution misalnya, yang memang masih memendam permusuhan ideologis sisa-sisa PSI dan Masyumi. Al-Mukarrom Amari konon adalah seorang santri dari Kediri. Di masa muda dia aktivis HMI. Dia kuliah di IAIN dan Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS), Tangerang.
Saya tak pernah punya persoalan dengan Al-Mukarrom, sampai saya dinyatakan sebagai tersangka, dan dia diduga memerintahkan anak buahnya di Kejaksaan Agung untuk menggembok saya. Status Al-Mukarrom  kini adalah terlapor melakukan berbagai tindak pidana secara berlapis dalam insiden penggebokan itu.  Bisa saja suatu hari Bareskrim menyatakan dia sebagai tersangka. Kini  dia sedang disidik oleh Bareskrim Mabes Polri  karena diduga melakukan tindak pidana menghilangkan kemerdekaan orang, melanggar Pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana maksimum 8 tahun penjara. Selain itu dia juga sedang disidik dengan dugaan melakukan penyalahgunaan wewenang, tindak kekerasan dan perbuatan tidak menyenangkan. Saya tidak akan menjadikan status Amari ini sebagai “bargaining posistion”. Biar perkara berjalan sendiri-sendiri, dan saya ingin melihat ke mana ujung dari semua ini. Kalau saya diadili dalam perkara Sisminbakum dan terbukti bersalah, Amari boleh santai minum kopi menepuk dada.
Tapi kalau perkara ini tidak cukup bukti sehingga penuntutannya dihentikan,  atau saya diadili namun tidak terbukti, maka giliran saya untuk menuntut Amari melanggar Pasal 9 UU No 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu menyatakan “Setiap orang yang  ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi” (Ayat 1). “Pejabat yang dengan sengaja melakuan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan ketentuan peraturan perundangan-undangan”. Saya tinggal mencari pasal-pasal undang-undang mana saja yang terkait dengan ketentuan ini untuk mempidanakan Al-Mukarrom. Biar ini nantinya jadi pelajaran bagi semua jaksa dan polisi agar jangan sembarangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang.
Ngototnya Al-Mukarrom Amari semakin terlihat dalam dua statemennya di bulan Desember ini. Tanggal 14 Desember yang lalu di memberikan keterangan pers yang mengatakan “sejumlah kekurangan pada berkas perkara Yusril Ihza Mahendra sudah diperbaiki sehingga diharapkan sudah bisa dilimpahkan pertengahan Desember 2010 ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan”.  Amari juga memberikan laporan yang sama kepada Jaksa Agung Basrief. Amari nampaknya memang  mbalelo tidak mau melakukan gelar perkara sebagaimana diminta Basrief sejak awal dia dilantik menjadi Jaksa Agung.  Sampai berulangkali Basrief meminta bawahannya agar pemberkasan perkara diselesaikan untuk segera digelar, Al-Mukarrom tetap mbalelo.  Apakah mbalelonya Al-Mukarrom  ini sama seperti mbalelonya almarhum Mbah Maridjan terhadap Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X, karena merasa diangkat oleh HB IX, wallahu’alam. Statemennya yang kedua yang menimbulkan reaksi dari Jurhum Lantong, ialah dia mengatakan penyidik telah mempunyai bukti saya menerima suap. Padahal bukti dimaksud tak lebih dari kuitansi kelas warung belaka yang tak punyai nilai sebagai alat bukti.
Namun lain Amari lain Basrief. Jaksa Agung yang baru  ini tetap meminta gelar perkara dilakukan di hadapan Jaksa Agung dan seluruh Jaksa Agung Muda, biar semua pihak dapat menilai kasus ini layak atau tidak untuk diteruskan ke pengadilan. Kalau yang mempresentasikan perkara dalam gelar tersebut adalah Jampidsus Amari, saya terus terang ragu dalam tiga hal. Pertama ragu atas kemampuannya memahami berkas perkara dan kedua ragu dengan nawaitu Amari dalam menyampaikan persentasi itu dan ketiga ragu dalam kaitannya dengan hutang budi pada Hendarman yang telah berjasa mengajukannya menjadi Jampidsus kepada Presiden. Dari berbagai statemen Amari kepada publik, saya dapat menyimpulkan bahwa Amari tidak pernah mendalami perkara Sisminbakum ini. Dia sangat tergantung pada laporan anak buahnya melalui Direktur Penyidikan. Dulu dijabat Arminsyah dan sekarang dijabat Djasman Pandjaitan yang statemen-statemennya ke publik sering sama ngawurnya dengan Kapuspenkum Kejagung Babul Khoir Harahap. Keraguan kedua adalah kemampuan Amari sendiri dengan melihat latar belakang pendidikannya dan pengalamannya menangani perkara. Amari lebih banyak berkarier di jajaran birokrasi kejaksaan daripada sebagai jaksa dalam menangani perkara. Kasus besar apa yang pernah ditangani Al-Mukarrom Amari, untuk menilai prestasinya sehingga diangkat menjadi Jampidsus?
Hal terakhir yang menjadi kerisauan saya ialah, mengingat ketegangan saya dengan Hendarman, mulai dari polemik sampai putusan MK yang menyatakannya sebagai Jaksa Agung Illegal. Di kalangan korps Adhyaksa saya mensinyalir adanya suara-suara ketersinggungan ketika saya mempersoalkan keabsahan Hendarman. Mereka yang ngotot membela keabsahan Hendarman hingga kini masih bercokol di Kejaksaan Agung, minus Basrief tentunya. Bahkan setelah MK memutuskan ketidaksahan Hendarman pun, masih ada petinggi Kejagung yang tetap bersikukuh dan tanpa tedeng aling-aling mengatakan “Hendarman adalah Jaksa Agung Sah Dunia Akhirat”. Rupanya  bagi petinggi itu, bukan hanya di dunia fana ini Hendarman jadi Jaksa Agung. Di akhiratpun dia tetap Jaksa Agung, walau Hendarman  dikenal sebagai putra Dr. Supandji, mbahnya aliran kebatinan Paguyuban Ngesthi Tunggal alias Pengestu. Siapa tahu nanti Hendarman dengan bermodalkan ngelmu kasampurnaning uripnya (ilmu tentang kesempurnaan hidup) Pengestu bisa menjadi Jaksa Penuntut Umum bagi jutaan arwah yang berbaris di Padang Mahsyar untuk memutuskan siapa yang bakal masuk surga atau masuk neraka.
Kalau sudah begitu suasana kebatinan   korps Adhyaksa, wa bil khusus suasana batin Al Mukarrom Muhammad Amari yang dikenal selalu manut miturut sama Hendarman, masih adakah obyektifitas mereka dalam menangani perkara saya ini? Mbok ya eling,  al-Mukarrom,  jangan terbawa arus jaman edan.  Kalau grusa-grusu (terbawa hawa nafsu), nanti bukannya kedhuman (kebagian), malah ciloko. Bukannya dapat jabatan lebih tinggi, malah tersingkir. Makanya kata Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito sak bejo-bejone wong edhan, isik bejo sing eling lan wospodo (seuntung-untungnya orang yang ikut gila-gilaan, masih lebih untung orang yang selalu ingat dan waspada). Eling lan wospodo itu kata almarhum Zahid Hussein artinya “zikrullah dan taqwa”. Mudah-mudahan apa yang saya tulis ini menjadi tausiyah bagi Almukarrom. Watawa saubil haqq watawa saubishhabr…
http://yusril.ihzamahendra.com/2010/12/21/almukarrom-muhammad-amari/

2 komentar:

  1. Quote: "Tapi kalau perkara ini tidak cukup bukti sehingga penuntutannya dihentikan, atau saya diadili namun tidak terbukti, maka giliran saya untuk menuntut Amari melanggar Pasal 9 UU No 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu menyatakan “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi” (Ayat 1). “Pejabat yang dengan sengaja melakuan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan ketentuan peraturan perundangan-undangan”. Saya tinggal mencari pasal-pasal undang-undang mana saja yang terkait dengan ketentuan ini untuk mempidanakan Al-Mukarrom. Biar ini nantinya jadi pelajaran bagi semua jaksa dan polisi agar jangan sembarangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang."
    Sesungguhnya, sikap keluhuran budi dan akal budi yang lurus adalah pegangan kita semua dalam hidup ini. Terlebih yang namanya para pemangku jabatan publik yang sangat utama, seperti Kejagung, Kehakiman, KY, Presiden, DPR dll seyogianya mengutamakan keagungan akhlak dan kemuliaan ilmu yang benar. Bukan menjalankan aji mumpung dan pembalasan dendam kesumat dan perilaku keangkuhan dan kesombongan karena sebagai senopati negara yang tanpa tanding, lalu menjadi sewenang-wenang berbuat zhalim dan aniaya. Sungguh sangat disayangkan, kedudukan tinggi itu adalah karunia dan amanah Tuhan. Kalau digunakan untuk jahil dan lancung, apalagi sangat aniaya, maka balasan siksa dan azab Tuhan adalah sangat dahsyat. Semoga ungkapan Bung YIM diatas dapat menjadi hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kita semua. Allahumma afrigh alaina shabran watsabbit aqdamana wanshurna alalqoumilkafirin. Amin...Wassalam

    BalasHapus
  2. Quote: "rizal Says:
    December 22nd, 2010 at 3:56 pm

    Mahkamah Agung hari ini 22 des 2010 Mengabulkan Kasasi Romli Atmasasmita, berita di kontan.co.id jam 13:57. Dalam putusan kasasi yg diputus secara bulat tanpa dissenting opinion dar Majelis Kasasi yg terdiri dari Achmad Taufik, Suwardi, dan Zaharudin Utama, dalam pertimbangannya mengatakan Romli diputus ‘Lepas” dalam arti tidak dapat dihukum. lantaran Romli tidak mendapat keuntungan terkait kasus sisminbakum, Pelayanan Publik lewat Sisminbakum tetap berjalan serta negara “tidak dirugikan”, “tidak ada sifat melawan hukum”. Mudah-mudahan putusan ini berimplikasi positif terhadap Prof.YIM. Amiin Ya Robbal ‘Alamin."
    22 Desember 2010 01.47

    BalasHapus