Gunawan Mashar - detikNews
Jakarta - Adi kandung Sultan Hamengku Buwono X, GBPH Joyokusumo mempertanyakan pernyataan SBY tentang Indonesia tidak menerapkan sistem monarki. Penyataan SBY dinilai bisa menhancurkan kesatuan RI karena menafikan aspek historis.
"Dengan pernyataan yang tidak punya dasar sejarah, konstitusi, dan demokrasi itu, sadar atau tidak sadar, SBY mau menghancurkan NKRI," kata Joyokusumo melalui surat elektronik ke wartawan, Senin (29/11/2010).
Joyokusumo mengatakan, dengan pernyataan SBY dalam rapat terbatas di Istana Negara itu, seakan mengabaikan sejumlah amanat dan sejarah yang sudah dibuat sebelumnya di republik ini.
"Bagaimana kita memaknai amanat Sri Sultan HB IX dan amanat Paku Alam VIII tanggal 5 September 1945 yang berisi, Yogya & Paku Alaman yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara RI," terang Joyokusumo.
Selain itu, mantan anggota DPR dari Golkar ini juga meminta pemerintah tidak mengabaikan amanat jika Sultan HB dan Paku Alam selaku kepala daerah, memegang seluruh kekuasaan di Yogya Paku Alaman, dan hubungan antara Yogya & Paku Alaman dengan pemerintah pusat bersifat langsung. Sultan dan Paku Alam juga bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.
Menurut Joyokusumo, penetapan Sultan HB sebagai kepala daerah juga telah diamanatkan oleh Presiden Soekarno melalui piagam.
"Bagaimana kita memaknai Piagam Kedudukan Sultan HB IX & Paku Alam VIII yg ditandatangani Presiden Soekarno yang menetapkan Sultan dan Paku Alam pada kedudukannya," tuturnya.
Lebih lanjut, menurut Joyokusumo, jika SBY menilai sistem monarki tidak bisa diterapkan, bagaimana ia menjelaskan soal kenyataan bahwa Sultan HB IX dan Paku Alam VIII sampai akhir hayatnya menjabat sebagai Gubernur dan Wagub DIY.
"Bagaimana kita memaknai kenyataan bahwa Sultan HB IX, dengan berbagai peran dan jabatannya dalam pemerintahan negara RI dan Paku Alam VIII sampai akhir hayatnya adalah Gubernur dan Wagub DIY. Walaupun gubernur dan wagub di provinsi lain silih berganti," jelasnya.
Sebelumnya, Presiden SBY mengungkapkan tidak mungkin Indonesia menerapkan sistem monarki, karena akan bertabrakan baik dengan konsitusi maupun nilai demokrasi.
Untuk itu pemerintah dalam penyusunan rancangan undang undang (RUU) tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) optimistis bisa menemukan satu kerangka yang bisa menghadirkan sistem nasional atau keutuhan NKRI dan keistimewaan Yogyakarta yang harus dihormati.
"Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun
nilai demokrasi," kata Presiden SBY dalam rapat terbatas untuk mendengarkan laporan dan presentasi dari Mendagri tentang kemajuan dalam penyiapan empat RUU di Kantor Presiden Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (26/11/2010).
Pernyataan SBY ini dinilai Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo, sebagai sikap pemerintah yang menginginkan Gubernur DIY dipilih langsung. Klausul utama itu juga yang diduga menjadi penyebab utama tak kunjung dikirimnya draf RUU itu ke DPR.
"Kalau itu sikapnya (SBY) begitu, pasti dia menghendaki gubernur dipilih langsung. Maka keistimewaan Yogya selama ini akan diakhiri oleh SBY," kata Wakil Ketua Komisi II, Ganjar Pranowo, saat dihubungi detikcom, Sabtu (27/11/2010).
Menurut Ganjar, penetapan Gubernur DIY seperti yang berlangsung sampai saat ini adalah bagian dari kekhususan dan keragaman daerah, sebagaimana tertulis dalam pasal 18A ayat 1 UUD 1945. Kekhususan dan keragaman ini juga yang melandasi diberlakukannya hukum syariah di Aceh, otonomi khusus Papua, dan ditunjuknya Walikota di Provinsi DKI Jakarta.
Ganjar mengatakan, jika yang dijadikan landasan presiden adalah pasal 18 ayat 4 UUD bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, kenapa hal yang sama tidak dilakukan pada Walikota DKI yang ditunjuk langsung.
Ganjar menyarankan, Presiden sebaiknya memanggil Sri Sultan Hamengkubowono X untuk membicarakan RUU Keistimewaan DIY, khususnya soal klausul pemilihan langsung atau penetapan itu. Hal ini penting untuk mempercepat penyelesaian UU Keistimewaan DIY, di samping jabatan Sultan yang akan berakhir Oktober 2011.
"Dengan pernyataan yang tidak punya dasar sejarah, konstitusi, dan demokrasi itu, sadar atau tidak sadar, SBY mau menghancurkan NKRI," kata Joyokusumo melalui surat elektronik ke wartawan, Senin (29/11/2010).
Joyokusumo mengatakan, dengan pernyataan SBY dalam rapat terbatas di Istana Negara itu, seakan mengabaikan sejumlah amanat dan sejarah yang sudah dibuat sebelumnya di republik ini.
"Bagaimana kita memaknai amanat Sri Sultan HB IX dan amanat Paku Alam VIII tanggal 5 September 1945 yang berisi, Yogya & Paku Alaman yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara RI," terang Joyokusumo.
Selain itu, mantan anggota DPR dari Golkar ini juga meminta pemerintah tidak mengabaikan amanat jika Sultan HB dan Paku Alam selaku kepala daerah, memegang seluruh kekuasaan di Yogya Paku Alaman, dan hubungan antara Yogya & Paku Alaman dengan pemerintah pusat bersifat langsung. Sultan dan Paku Alam juga bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.
Menurut Joyokusumo, penetapan Sultan HB sebagai kepala daerah juga telah diamanatkan oleh Presiden Soekarno melalui piagam.
"Bagaimana kita memaknai Piagam Kedudukan Sultan HB IX & Paku Alam VIII yg ditandatangani Presiden Soekarno yang menetapkan Sultan dan Paku Alam pada kedudukannya," tuturnya.
Lebih lanjut, menurut Joyokusumo, jika SBY menilai sistem monarki tidak bisa diterapkan, bagaimana ia menjelaskan soal kenyataan bahwa Sultan HB IX dan Paku Alam VIII sampai akhir hayatnya menjabat sebagai Gubernur dan Wagub DIY.
"Bagaimana kita memaknai kenyataan bahwa Sultan HB IX, dengan berbagai peran dan jabatannya dalam pemerintahan negara RI dan Paku Alam VIII sampai akhir hayatnya adalah Gubernur dan Wagub DIY. Walaupun gubernur dan wagub di provinsi lain silih berganti," jelasnya.
Sebelumnya, Presiden SBY mengungkapkan tidak mungkin Indonesia menerapkan sistem monarki, karena akan bertabrakan baik dengan konsitusi maupun nilai demokrasi.
Untuk itu pemerintah dalam penyusunan rancangan undang undang (RUU) tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) optimistis bisa menemukan satu kerangka yang bisa menghadirkan sistem nasional atau keutuhan NKRI dan keistimewaan Yogyakarta yang harus dihormati.
"Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun
nilai demokrasi," kata Presiden SBY dalam rapat terbatas untuk mendengarkan laporan dan presentasi dari Mendagri tentang kemajuan dalam penyiapan empat RUU di Kantor Presiden Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (26/11/2010).
Pernyataan SBY ini dinilai Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo, sebagai sikap pemerintah yang menginginkan Gubernur DIY dipilih langsung. Klausul utama itu juga yang diduga menjadi penyebab utama tak kunjung dikirimnya draf RUU itu ke DPR.
"Kalau itu sikapnya (SBY) begitu, pasti dia menghendaki gubernur dipilih langsung. Maka keistimewaan Yogya selama ini akan diakhiri oleh SBY," kata Wakil Ketua Komisi II, Ganjar Pranowo, saat dihubungi detikcom, Sabtu (27/11/2010).
Menurut Ganjar, penetapan Gubernur DIY seperti yang berlangsung sampai saat ini adalah bagian dari kekhususan dan keragaman daerah, sebagaimana tertulis dalam pasal 18A ayat 1 UUD 1945. Kekhususan dan keragaman ini juga yang melandasi diberlakukannya hukum syariah di Aceh, otonomi khusus Papua, dan ditunjuknya Walikota di Provinsi DKI Jakarta.
Ganjar mengatakan, jika yang dijadikan landasan presiden adalah pasal 18 ayat 4 UUD bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, kenapa hal yang sama tidak dilakukan pada Walikota DKI yang ditunjuk langsung.
Ganjar menyarankan, Presiden sebaiknya memanggil Sri Sultan Hamengkubowono X untuk membicarakan RUU Keistimewaan DIY, khususnya soal klausul pemilihan langsung atau penetapan itu. Hal ini penting untuk mempercepat penyelesaian UU Keistimewaan DIY, di samping jabatan Sultan yang akan berakhir Oktober 2011.
http://www.detiknews.com/read/2010/11/29/134128/1504783/10/adik-sultan-hb-x-sby-ingin-menghancurkan-nkri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar