Why Puasa Today Tgl 20 Juli
2012, Alasan dan Isbat Pemerintah
OPINI | 20 July 2012 | 10:33
Marhaba
Sebagai orang awam dalam hal ilmu agama, maka saya berprinsip
mengikuti Ulama. Nah, saya rasa demikian juga anda para rekan
kompasianer, seperti sekarang ini orang banyak kembali dibingungkan
dalam hal penentuan awal puasa.
Disinilah perannya nikmat akal dan logika serta pentingnya belajar ilmu
pengetahuan (astronomi) seiring perkembangan teknologi dan zaman.
Adapun sebab dan penjelasan (permisi Admin, ini hasil copas ) saya dan
sebagian umat berpuasa mulai hari ini; Jum’at 20 Juli 2012 – 1 Ramadhan
1432 Hijriyah, adalah sebagai berikut, taal.
Alasan Penentuan Puasa Tgl. 20 Juli 2012
Argumen Muhammadiyah dalam berpegang kepada Hisab seperti yang
disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
[1] Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini
ada dalam ayat“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan”(QS. 55:5).
Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar
dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam
QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi
bilangan tahun dan perhitungan waktu.
[2] Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw
menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa,
perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat
perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw adalah ummat
yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan
hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari
dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak
bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah
demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan
hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.”
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat.
Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan
hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah
ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qardawi
menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah
sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi
disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan
hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua
keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
[3] Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat
tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa
diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar
bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan
terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa
Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur
dengan baik.
[4] Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara
global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai
awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena
rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi.
Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada
muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas
lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah
kawasan tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa
waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah
besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang
pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin
melebihi 24 jam.
[5] Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan
ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin
menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari
10 jam.
Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan
Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi
rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh
muka bumi.
Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
[6] Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah.
Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan
sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan
sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu
hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya,
hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat
melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan
dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda
masuk bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah
terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi
kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat
memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif.
Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat
Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya
melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional
sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi
menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan
Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal
Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi
(at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah
penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan
problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak
mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab
dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan
hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
Sebagaimana diketahui pada garis besarnya sistem penetapan awal
bulan Qamariyah ada dua yaitu hisab dan ru’yah. Kedua sistem ini
bermaksud untuk mengamalkan sabda Rasulullah SAW tentang penentuan
awal bulan khususnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu :
Ru’yatuI hilal yang dalam istilah astronomi disebut observasi secara
langsung awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawwal yaitu sabda
Rasulullah SAW yang artinya: “Berpuasalah kamu ketika melihat bulan
(bulan sabit Ramadhan) dan berbukalah kamu ketika melihat bulan
(bulan Syawwal) maka jika mendung hendaklah kamu sempurnakan
bulan Sya’ban tiga puluh hari. (hadis ru’yah, dalam Kitab Shahihul
al-Bukhari, hadis yang ke-940). Menurut prinsip ru’yat penentuan
awal bulan harus dibuktikan dengan melihat bulan sabit (hilal) di
atas ufuk pada hari yang ke 29.
Jika hilal tidak berhasil dilihat karena mendung atau tertutup awan
maka harus diistikmalkan/disempurnakan 30 hari. Ru’yah berasal dari
akar kata ra’a yang artinya melihat dengan mata telanjang sebagaimana
di zaman Rasulullah Saw. Jadi golongan ahli ru’yah ini berpatokan kalau
sudah melihat bulan sabit (baru), baru hidup bulan (datang bulan baru).
Kalau tidak melihat bulan karena mendung atau tertutup awan maka bulan
masih belum hidup (masih tanggal 30), sehingga tanggal satu bulan baru
pada besok lusa. demikianlah pendapat ulama dari kalangan mazhab
Syafi’i antara lain Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfah juz ke III
hal 374 yang intinya mewajibkan puasa dikaitkan dengan ru’yatul
hilal yang terjadi setelah terbenam mata hari bukan karena wujudnya
hilal walaupun bulan sudah tinggi di atas ufuk kalau bulan tidak
terlihat belum masuk bulan baru.
Sistem hisab menurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. yang
disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431 H PP Muhammadiyah
di Kampus Terpadu UMY. “Hisab yang dipakai Muhammadiyah
adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal
bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai
apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau
ijtima’, ijtima’ itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat
matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.”
Pada prinsipnya hisab berdasarkan sistem ijtima, yaitu antara bumi
dan bulan berada pada satu garis lurus astronomi. Bulan menyelesaikan
satu kali putaran mengelilingi bumi dalam waktu 29 hari 44 menit 27 detik
atau satu keliling. Jika ijtima terjadi setelah matahari terbenam pada hari
ke 29 maka besoknya terhitung hari yang ke 30 (bulan baru belum wujud),
tetapi jika ijtima terjadi sebelum mata hari terbenam hari yang 29 maka
besoknya terhitung bulan baru atau tanggal 1. Hisab ini berdasarkan
firman Allah Surah Yunus ayat 5 yang artinya :
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian
itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.
Dalam hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim yang artinya:
Sebenarnya bulan itu dua puluh sembilan hari maka janganlah
kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu
berhari raya sebelum kamu melihat bulan, jika mendung
“kadarkanlah” olehmu untuknya.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti kata-kata “kadarkanlah”.
Ada yang menafsirkan sempumakanlah 30 hari. Ada pula yang ber-
pendapat arti “kadarkanlah” tersebut adalah “fa’udduhu bil hisab”
artinya kadarkanlah dengan berdasarkan hisab dari pendapat lbnu
Rusyd dalam kitabnya Bidayalul Mujtahid.
Demikian pula Ibnu Syauraidi Mutarrif dan Ibnu Qulaibah bahwa yang
dimaksud “kadarkanlah” ialah dihitung menurut ilmu falak. Ulama Syatriyah
yakni Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul Mujtahid Juz III hal. 148
menyatakan: Bahwa bagi ahli hisab dan orang orang yang mem-
percayainya wajib berpuasa berdasarkan hisabnya. Demikian pula
kalau ada orang yang mengaku telah melihat bulan padahal menurut
perhitungan hisab bulan belum terwujud maka kesaksian itu ditolak
(Tuhfah Juz IIIhal. 382).
Aliran baru Imam Qalyubi menjelaskan ada 10 pengertian yang
dikandung dalam hadis shumu liru’yatihi, diantaranya adalah ru’yah
diartikan pada ilmu pengetahuan, maka pendapat ahli hisab tentang bulan
atau tanggal dapat diperpegangi (Qalyubi Juz II hal 49), jadi ru’yah tidak
mesti dengan mata telanjang.
Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?
Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah
setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi
yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal
sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya
dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab
Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah
memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan
pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan
dan Syawal.
Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari
dalil Naqli Al-Qur’an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan
pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem
hisab hakiki wujudul hilal artinya memperhitungkan adanya hilal pada
saat matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur’an Surah Yunus ayat 5
di atas dan Hadis Nabi tentang ru’yah riwayat Bukhari. Memahami hadis
tersebut secara taabudi atau gairu ma’qul ma’na / tidak dapat
dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga
ru’yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata
dan teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit
direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore
menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan
sehingga ru’yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta’qul ma’na artinya
dapat dirasionalkan maka ru’yah dapat diperluas, dikembangkan
melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi
termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab
dan sebagainya. Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis
ru’yah itu ta’aquli ma’na maka hadis tersebut akan terjaga dan
terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir
zaman nanti.
Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu
tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan
tersebut sudah baku dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah
ibadah itu dapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan
dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan
hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul.
Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up todate
dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan
memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan
hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah
melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur’an
surah Annisa ayat 59 “Athiullah wa athi’u ar rasul wa ulil amriminkum”. Muhammadiyah tidak melanggar ketentuan pemerintah dalam soal
ketaatan beragama sebab pemerintah membuat pengumuman
bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi umat Islam yang merayakan
hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya, maka dipersilahkan
dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri sudah
menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian agar
semua menjadi maklum.
muhammadiyah-memakai-sistem-hisab–dalam-penetapan-awal
-bulan-qamariyah-detail-268.html
Ormas Muhammadiyah Tidak Ikut Sidang Isbat
Penentuan awal Ramadhan oleh Muhammadiyah sudah sejak diputuskan
pada saat Tanwir Muhammadiyah di Bandung akhir Juni lalu.
Muhammadiyah menetapkan bahwa 1 Ramadhan 1433 H jatuh pada
tanggal 20 Juli 2012. 1 Syawal 1433 H jatuh pada tanggal 19 Agustus,
dan 10 Dzulhijjah 1433 H jatuh pada tanggal 26 Oktober 2012. Kemungkinan perbedaan awal ramadhan dengan pemerintah sangat terlihat jelas,
ketika pemerintah menggunakan metode Rukyatul Hilal, dan tidak
mungkin terlihat, karena posisi Indonesia di beberapa tempat tidak
akan terlihat. Muhammadiyah sudah menetapkan lebih dahulu dalam
penentuan awal Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah dengan metode
hisab wujudul hilal. Hal itu disampaikan Drs. H. Oman Fathurohman S.W.,
M.Ag., Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
melalui telpon kepada redaksi.
Menurut Oman Fathurohman, Ijtimak jelang bulan Ramadan 1433 H
terjadi pada hari Kamis Wage tanggal 19 Juli 2012 pukul 11:25:24 WIB.
Ijtimak ini terjadi pada momen yang sama untuk seluruh muka Bumi,
hanya saja jamnya tergantung pada jam di tempat bersangkutan. Kalau
ijtimak terjadi pada pukul 11:25:24 WIB berarti sama dengan pukul 07:25:24
WAS (Waktu Arab Saudi) karena selisih waktu WIB dengan Arab
Saudi 4 jam.
Dengan [1] ijtimak ini berarti kriteria pertama sudah terpenuhi, tinggal
menguji kriteria kedua dan ketiga. [2] Kriteria kedua dengan mudah
diketahui, karena kalau ijtimak terjadi pada pukul 11:25:24 WIB sudah
dapat dipastikan terjadi sebelum terbenam Matahari pada hari dan
tanggal tersebut. Terbenam Matahari di Yogyakarta pada hari itu pukul
17:39 WIB. [3] Kriteria ketiga juga sudah terpenuhi karena
berdasarkan perhitungan tersebut, pada saat terbenam Matahari
di Yogyakarta tanggal 19 Juli 2012 itu Bulan masih di atas ufuk
setinggi 01 ͦ 38’ 40”, artinya pada saat Matahari terbenam
Bulan belum terbenam, jadi hilal sudah wujud.
Dengan demikian Negara-negara yang akan keseluruhan kriteria yang
diperlukan sudah terpenuhi, dan karena ketiga kriteria tersebut sudah
terpenuhi, maka ditetapkanlah tanggal 1 Ramadan 1433 H dimulai
pada saat terbenam Matahari tanggal 19 Juli 2012 dan konversinya
dengan kalender Masehi ditetapkan pada keesokan harinya yaitu
tanggal 20 Juli 2012. Itulah sebabnya maka dikatakan tanggal
1 Ramadan 1433 H jatuh pada hari Jum’at Kliwon 20 Juli 2012.
Terkait dengan posisi Muhammadiyah dalam sidang Isbat yang akan
dilakukan pemerintah yang kali ini diwakili oleh Kementrian Agama RI,
Oman Fathurohman mengatakan sidang Isbat sendiri hanya
mengakomodir suara-suara hasil rukyat. Apabila ada saksi yang
melihat bulan baru di atas 2 ͦ tidak akan diakomodir oleh
pemerintah, namun pemerintah lebih mengakui saksi yang
tidak melihat bulan. Muhammadiyah dengan metode hisabnya
justru tidak akan diakomodir.
Namun Oman mengaharapkan pemerintah memberikan keputusan
tersendiri terhadap umat Islam untuk meyakini tentang awal
Ramadhan.
Selanjutnya terkait dengan pernyataan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
di tvOne pagi tadi, yang menyarankan agar Pemerintah RI memiliki
undang-undang hari raya, seperti di Malaysia ketika ada kelompok
yang tidak mengikuti Pemerintah, Sultan di Kerajaan Malaysia berhak
memerintahkan polisi untuk menangkap kelompok atau golongan tersebut. “Pemerintah tidak berhak melakukan tindakan seperti itu, pertama
karena Negara Indonesia bukan Negara Agama, kemudian
pembuatan Undang-undang perlu pembahasan di parlementer,
selanjutnya, seandainya Pemerintah sudah menetapkan undang-
undang hari raya tersebut, berarti pemerintah telah melanggar
HAM dan UUD 45 pasal 29,” jawab tegas Oman Fathurohman.
Mengapa menggunakan hisab, alasannya adalah:
1. Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung
tanggal jauh hari ke depan,
2. Hisab mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan,
yang tidak mungkin dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi
Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun 2008 telah
ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan
umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.
Di pihak lain, rukyat mempunyai beberapa problem:
1. Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal baru
bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
2. Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan hari
puasa Arafah, dan justeru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di
muka bumi ini berbeda karena garis kurve rukyat di atas muka bumi
akan selalu membelah muka bumi antara yang dapat merukyat dan yang
tidak dapat merukyat,
3. Faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu (1) faktor
geometris (posisi Bulan, Matahari dan Bumi), (2) faktor atmosferik,
yaitu keadaan cuaca dan atmosfir, (3) faktor fisiologis, yaitu kemampuan
mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan,
(4) faktor psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering
mendorong terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal
telah terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong
canggih, hilal masih mustahil terlihat.
Akhirnya, mudah-mudah logika saya relevan, Indonesia lebih duluan 4 jam
dari tanah Arab, tapi why tanah Arab sudah mulai berpuasa tapi Indonesia
belum..?
Selamat Berpuasa, Ramadhan Kareem
Link terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar