RAND
Corp adalah Pusat Penelitian dan Kajian Strategis tentang Islam di
Timur Tengah atas biaya Smith Richardson Foundation, berpusat di Santa
Monica-California dan Arington-Virginia, Amerika Serikat (AS).
Sebelumnya ia perusahaan bidang kedirgantaraan dan persenjataan Douglas
Aircraft Company di Santa Monica-California, namun entah kenapa beralih
menjadi think tank (dapur pemikiran) dimana dana operasional berasal
dari proyek-proyek penelitian pesanan militer.
Garis besar
dokumen Rand berisi kebijakan AS dan sekutu di Dunia Islam.
Inti
hajatannya adalah mempeta-kekuatan (MAPPING), sekaligus memecah-belah
dan merencanakan konflik internal di kalangan umat Islam melalui
berbagai (kemasan) pola, program bantuan, termasuk berkedok capacity
building dan lainnya.
Sedang dokumen lain senada, terbit
Desember tahun 2004 dibuat oleh Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat
(National Inteligent Council) atau NIC bertajuk Mapping The Global
Future. Tugas NIC ialah meramal masa depan dunia.
Tajuk NIC di atas pernah dimuat USA Today, 13 Februari 2005 -- juga dikutip oleh Kompas edisi 16 Februari 2005.
Inti
laporan NIC tentang perkiraan situasi tahun 2020-an. Rinciannya ialah
sebagai berikut: (1) Dovod World: Kebangkitan ekonomi Asia, dengan China
dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia; (2)
Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS; (3) A New
Chaliphate: Bangkitnya kembali Khilafah Islamiyah, yakni Pemerintahan
Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai
Barat; dan (4) Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (phobia). Yaitu
ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi
kekacauan di dunia -- kekerasan akan dibalas kekerasan.
Jujur
harus diakui, ke-empat perkiraan NIC kini riil mendekati kebenaran
terutama jika publik mengikuti “opini global” bentukan media mainstream
yang dikuasai oleh Barat.
Isi dokumen NIC di atas menyertakan
pandangan 15 Badan Intelijen dari kelompok Negara Barat. Tahun 2008
dokumen ini direvisi kembali tentang perkiraan atas peran AS pada tata
politik global. Judulnya tetap Mapping The Global Future, cuma diubah
sedikit terutama hegemoni AS era 2015-an diramalkan bakal turun meski
kendali politik masih dalam cengkeraman. Tahun 2007, Rand
menerbitkan lagi dokumen Building Moderate Muslim Networks, yang juga
didanai oleh Smith Foundation. Dokumen terakhir ini memuat
langkah-langkah membangun Jaringan Muslim Moderat pro-Barat di seluruh
dunia. Baik Rand maupun Smith Foundation, keduanya adalah lembaga
berafiliasi Zionisme Internasional dimana para personelnya merupakan
bagian dari Freemasonry-Illuminati, sekte Yahudi berkitab Talmud.
Gerakan
tersebut memakai sebutan “Komunitas Internasional” mengganti istilah
Zionisme Internasional. Maksudnya selain menyamar, atau untuk
mengaburkan, juga dalam rangka memanipulasi kelompok negara non Barat
dan non Muslim lain. Pada gilirannya, kedua dokumen tadi diadopsi oleh
Pentagon dan Departemen Luar Negeri sebagai basis kebijakan Pemerintah
AS di berbagai belahan dunia.
Berikut ialah inti resume dari Agenda dan Strategi Pecah Belah yang termuat pada kedua dokumen tersebut, antara lain:
Pertama,
Komunitas Internasional menilai bahwa Dunia Islam berada dalam frustasi
dan kemarahan, akibat periode keterbelakangan yang lama dan
ketidak-berdayaan komparatif serta kegagalan mencari solusi dalam
menghadapi kebudayaan global kontemporer;
Kedua, Komunitas
Internasional menilai bahwa upaya umat Islam untuk kembali kepada
kemurnian ajaran adalah suatu ancaman bagi peradaban dunia modern dan
bisa mengantarkan kepada Clash of Civilization (Benturan Peradaban);
Ketiga,
Komunitas Internasional menginginkan Dunia Islam yang ramah terhadap
demokrasi dan modernitas serta mematuhi aturan-aturan internasional
untuk menciptakan perdamaian global;
Keempat, Komunitas
Internasional perlu melakukan pemetaan kekuatan dan pemilahan kelompok
Islam untuk mengetahui siapa kawan dan lawan, serta pengaturan strategi
dengan pengolahan sumber daya yang ada di Dunia Islam;
Kelima,
Komunitas Internasional mesti mempertimbangkan dengan sangat hati-hati
terhadap elemen, kecenderungan, dan kekuatan-kekuatan mana di tubuh
Islam yang ingin diperkuat; apa sasaran dan nilai-nilai persekutuan
potensial yang berbeda; siapa akan dijadikan anak didik; konsekuensi
logis seperti apa yang akan terlihat ketika memperluas agenda
masing-masing; dan termasuk resiko mengancam, atau mencemari kelompok,
atau orang-orang yang sedang dibantu oleh AS dan sekutunya;
Keenam, Komunitas Internasional membagi Umat Islam ke dalam Empat Kelompok, yaitu: (1)
Fundamentalis: kelompok masyarakat Islam yang menolak nilai-nilai
demokrasi dan kebudayaan Barat Kontemporer, serta menginginkan
formalisasi penerapan Syariat Islam; (2) Tradisionalis: kelompok
masyarakat Islam Konservatif yang mencurigai modernitas, inovasi dan
perubahan. Mereka berpegang kepada substansi ajaran Islam tanpa peduli
kepada formalisasinya; (3) Modernis: kelompok masyarakat Islam Modern
yang ingin reformasi Islam agar sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga
bisa menjadi bagian dari modernitas; (4) Sekularis: kelompok
masyarakat Islam Sekuler yang ingin menjadikan Islam sebagai urusan
privasi dan dipisah sama sekali dari urusan negara.
Ketujuh, Komunitas Internasional menetapkan strategi terhadap tiap-tiap kelompok, sebagai berikut:
1)
Mengkonfrontir dan menentang kaum fundamentalis dengan tata cara
sebagai berikut:
(a) menentang tafsir mereka atas Islam dan menunjukkan
ketidak-akuratannya;
(b) mengungkap keterkaitan mereka dengan
kelompok-kelompok dan aktivitas-aktivitas illegal;
(c) mengumumkan
konsekuensi dari tindak kekerasan yang mereka lakukan;
(d) menunjukkan
ketidak-mampuan mereka untuk memerintah;
(e) memperlihatkan
ketidak-berdayaan mereka mendapatkan perkembangan positif atas negara
mereka dan komunitas mereka;
(f) mengamanatkan pesan-pesan tersebut
kepada kaum muda, masyarakat tradisionalis yang alim, kepada minoritas
kaum muslimin di Barat, dan kepada wanita;
(g) mencegah menunjukkan rasa
hormat dan pujian akan perbuatan kekerasan kaum fundamentalis,
ekstrimis dan teroris;
(h) kucilkan mereka sebagai pengganggu dan
pengecut, bukan sebagai pahlawan;
(i) mendorong para wartawan untuk
memeriksa isue-isue korupsi, kemunafikan, dan tak bermoralnya lingkaran
kaum fundamentalis dan kaum teroris;
(j) mendorong perpecahan antara
kaum fundamentalis.
2) Beberapa aksi Barat memojokkan kaum
fundamentalis adalah dengan menyimpangankan tafsir Al-Qur’an,
contoh:
a] mengharaman poligami pada satu sisi, namun menghalalkan perkawinan
sejenis di sisi lain;
b] mengulang-ulang tayangan aksi-aksi umat Islam yang
mengandung kekerasan di televisi, sedang kegiatan konstruktif tidak
ditayangkan;
c] kemudian “mengeroyok” dan menyerang argumen narasumber dari
kaum fundamentalis dengan format dialog 3 lawan 1 dan lainnya;
d] lalu
mempidana para aktivis Islam dengan tuduhan teroris atau pelaku
kekerasan dan lain-lain.
3) Mendorong kaum tradisionalis untuk
melawan fundamentalis, dengan cara:
(a) dalam Islam tradisional ortodoks
banyak elemen demokrasi yang bisa digunakan counter menghadapi Islam
fundamentalis yang represif lagi otoriter;
(b) menerbitkan kritik-kritik
kaum tradisionalis atas kekerasan dan ekstrimisme yang dilakukan kaum
fundamentalis;
(c) memperlebar perbedaan antara kaum tradisionalis dan
fundamentalis;
(d) mencegah aliansi kaum tradisionalis dan
fundamentalis;
(e) mendorong kerja sama agar kaum tradisionalis lebih
dekat dengan kaum modernis;
(f) jika memungkinkan, kaum tradisionalis
dididik untuk mempersiapkan diri agar mampu berdebat dengan kaum
fundamentalis, karena kaum fundamentalis secara retorika sering lebih
superior, sementara kaum tradisionalis melakukan praktek politik “Islam
pinggiran” yang kabur;
(g) di wilayah seperti di Asia Tengah, perlu
dididik dan dilatih tentang Islam ortodoks agar mampu mempertahankan
pandangan mereka;
(h) melakukan diskriminasi antara sektor-sektor
tradisionalisme berbeda;
(i) memperuncing khilafiyah yaitu perbedaan
antar madzhab dalam Islam, seperti Sunni - Syiah, Hanafi - Hambali,
Wahabi - Sufi, dll;
(j) mendorong kaum tradisionalis agar tertarik pada
modernisme, inovasi dan perubahan;
(k) mendorong mereka untuk membuat
isu opini-opini agama dan mempopulerkan hal itu untuk memperlemah
otoritas penguasa yang terinspirasi oleh paham fundamentalis;
(l)
Mendorong popularitas dan penerimaan atas sufisme;
4) Mendukung
sepenuhnya kaum modernis, dengan jalan:
(a) menerbitkan dan mengedarkan
karya-karya mereka dengan biaya yang disubsidi;
(b) mendorong mereka
untuk menulis bagi audiens massa dan bagi kaum muda;
(c) memperkenalkan
pandangan-pandangan mereka dalam kurikulum pendidikan Islam;
(d)
memberikan mereka suatu platform publik;
(e) menyediakan bagi mereka
opini dan penilaian pada pertanyaan-pertanyaan yang fundamental dari
interpretasi agama bagi audiensi massa dalam persaingan mereka dengan
kaum fundamentalis dan tradisionalis, yang memiliki Web Sites, dengan
menerbitkan dan menyebarkan pandangan-pandangan mereka dari rumah-rumah,
sekolahan, lembaga-lembaga dan sarana lainnya;
(f) memposisikan
sekularisme dan modernisme sebagai sebuah pilihan “counterculture” kaum
muda Islam yang tidak puas;
(g) memfasilitasi dan mendorong kesadaran
akan sejarah pra-Islam dan non-Islam dan budayanya, di media dan di
kurikulum dari negara-negara yang relevan;
(h) membantu dalam membangun
organisasi-organisasi sipil independen, untuk mempromosikan kebudayaan
sipil (civic culture) dan memberikan ruang bagi rakyat biasa untuk
mendidik diri sendiri mengenai proses politik dan mengutarakan
pandangan-pandangan mereka.
Beberapa bukti tindakan program ini
misalnya mengubah kurikulum pendidikan di pesantren-pesantren dengan
biaya dari Barat, kemudian menghembuskan dogma “Time is Money - dengan
pengeluaran sekecil-kecilnya menghasilkan pendapatan sebesar-besarnya”. 5)
Tempo doeloe, pernah dalam mata pelajaran PMP dtampilkan gambar rumah
ibadah masing-masing agama dengan tulisan dibawahnya: “semua agama
sama”. Mendirikan berbagai LSM yang bergerak dibidang kajian filsafat
Islam, menyebar artikel dan tulisan produk LSM yang dibiayai Amerika.
Intinya menyimpulkan bahwa "semua agama" adalah hasil karya manusia dan
merupakan peradaban manusia. Tujuannya tak lain guna menggoyah keyakinan
beragama, termasuk mendanai beberapa web site di dunia maya dan
lainnya. 6) Mendukung secara selektif kaum sekularis, dengan
cara:
(a) mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai musuh bersama;
(b)
mematahkan aliansi dengan kekuatan-kekuatan anti Amerika berdasarkan
hal-hal seperti nasionalisme dan ideologi kiri;
(c) mendorong ide bahwa
dalam Islam, agama dan negara dapat dipisahkan dan hal ini tidak
membahayakan keimanan tetapi malah akan memperkuat.
7) Untuk
menjalankan Building Moderate Muslim Networks, AS dan sekutu menyediakan
dana bagi individu dan lembaga-lembaga seperti LSM, pusat kajian di
beberapa universitas Islam maupun universitas umum lain, serta membangun
jaringan antar komponen untuk memenuhi tujuan-tujuan AS.
Contoh
keberhasilan membangun jaringan ini ketika mensponsori Kongres Kebebasan
Budaya (Conggress of Cultural Freedom), dimana pertemuan ini berhasil
membangun komitmen antar elemen membentuk jaringan anti komunis.
Hal
serupa juga dilakukan dalam rangka membangun jaringan anti Islam.
Kemudian membangun kredibilitas semu aktivis-aktivis liberal pro-Barat,
demi tercapai tujuan utama memusuhi Islam secara total. Bahkan apabila
perlu, sikap tidak setuju atas kebijakan AS sesekali diperlihatkan para
aktivisnya seolah-olah independen, padahal hanya tampil pura-pura saja.
AS dan sekutu sadar, bahwa ia tengah terlibat dalam suatu
peperangan total baik fisik (dengan senjata) maupun ide. Ia ingin
memenangkan perang dengan cara: “ketika ideologi kaum ekstrimis tercemar
di mata penduduk tempat asal ideologi itu dan di mata pendukung
pasifnya”. Ini jelas tujuan dalam rangka menjauhkan Islam dari
umatnya. Muaranya adalah membuat orang Islam supaya tak berperilaku
lazimnya seorang muslim.
Pembangunan jaringan muslim moderat
ini dilakukan melalui tiga level, yaitu:
(a) menyokong jaringan-jaringan
yang telah ada;
(b) identifikasi jaringan dan gencar mempromosi
kemunculan serta pertumbuhannya;
(c) memberikan kontribusi untuk
membangun situasi dan kondisi bagi berkembangnya sikap toleran dan faham
pluralisme.
Sebagai pelaksana proyek, Departemen Luar Negeri
AS dan USAID telah memiliki mandat dan menunjuk kontraktor pelaksana
penyalurkan dana dan berhubungan dengan berbagai LSM, dan para individu
di negeri-negeri muslim yaitu National Endowment for Democracy (NED),
The International Republican Institute (IRI) The National Democratic
Institute (NDI), The Asia Foundation (TAF), dan The Center for Study of
Islam and Democracy (CSID).
Pada fase pertama, membentuk
jaringan muslim moderat difokuskan pada organisasi bawah tanah, dan
kemudian setelah melalui penilaian AS selaku donatur, ia bisa
ditingkatkan menjadi jaringan terbuka. Adapun kelompok-kelompok yang
dijadikan sasaran perekrutan dan anak didik adalah :
(a) akademisi dan
intelektual muslim liberal dan sekuler;
(b) cendikiawan muda muslim yang
moderat;
(c) kalangan aktivis komunitas;
(d) koalisi dan kelompok
perempuan yang mengkampanye kesetaraan gender;
(e) penulis dan jurnalis
moderat.
Para pejabat Kedutaan Amerika di negeri-negeri muslim
harus memastikan bahwa kelompok ini terlibat, dan sesering mungkin
melakukan kunjungan ke Paman Sam.
Adapun prioritas pembangunan jaringan
untuk muslim moderat ini diletakkan pada sektor:
(a) Pendidikan
Demokrasi. Yaitu dengan mencari pembenaran nash dan sumber-sumber Islam
terhadap demokrasi dan segala sistemnya;
(b) dukungan oleh media massa
melakukan liberalisasi pemikiran, kesetaraan gender dan lainnya -- yang
merupakan “medan tempur” dalam perang pemikiran melawan Islam;
(c)
Advokasi Kebijakan. Hal ini untuk mencegah agenda politik kelompok
Islam.
AS dan sekutu sadar bahwa ide-ide radikal berasal dari
Timur Tengah dan perlu dilakukan “arus balik” yaitu menyebarkan ide dan
pemikiran dari para intelektual moderat dan modernis yang telah berhasil
dicuci otak dan setuju westernisasi yang bukan berasal dari Timur
Tengah, seperti Indonesia dan lainnya. Tulisan dan pemikiran moderat
dari kalangan di luar Timur Tengah harus segera diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab, kemudian disebarkan di kawasan Timur Tengah.
Agaknya
inilah jawaban, kenapa Indonesia seringkali dijadikan pertemuan para
cendikiawan dan intelektual muslim dari berbagai negara yang disponsori
AS dan negara Barat lain. Banyak produk baik tulisan maupun film
diproduksi “Intelektual Islam Indonesia”, kemudian disebarkan dan
diterjemahkan dalam bahasa Arab. Semua bantuan dana dan dukungan politik
ini tujuannya guna memecah-belah umat Islam. Seperti berkembang
banyak LSM memproduk materi-materi dakwah atau fatwa namun isinya justru
“menjerumuskan” Islam, termasuk munculnya banyak tokoh liberal sebagai
opinion maker di tengah masyarakat, merupakan isyarat bahwa konspirasi
menghancur Islam itu ada, nyata dan berada (existance). Yang paling
memprihatinkan, justru jurus pecah belah dilakukan menggunakan
tangan-tangan (internal) kaum muslim itu sendiri di negara tempat mereka
lahir, tumbuh dan dibesarkan, sedang mereka “tak menyadari” telah
menjadi penghianat bagi bangsa, negara dan agamanya! Daftar Bacaan : http://en.wikipedia.org/wiki/Smith_Richardson_Foundation http://www.rand.org/ http://www.dni.gov/nic/NIC_globaltrend2020.html http://arashirin.wordpress.com/2007/12/22/jangan-terjebak-politik-belah-bambuislam-moderat-islam-radikal/ http://www.rand.org/pubs/monographs/MG574.html http://en.wikipedia.org/wiki/Douglas_Aircraft_Company http://www.foreignaffairs.com/articles/60656/gideon-rose/mapping-the-global-future-report-of-the-national-intelligence-co http://forum.detik.com/showpost.php?p=2819467&postcount=376
Infiltrasi Amerika di Indonesia
http://banjarkuumaibungasnya.blogspot.com/2012/06/indonesia-tidak-toleransi-siapa-bilang.html#axzz21tCC8mDK
Dosa Fatal Siti Fadilah Supari
di Mata Duta Besar AS
Islam Times- Sekitar 90% —
sebagian ahli menyebut angka 96% — obat jadi dan bahan baku obat di
Indonesia berasal dari luar negeri. Sementara dari 300 lebih perusahaan
farmasi di Indonesia, 29 di antaranya adalah perusahaan farmasi asing.
Yang terakhir menguasai 25% pangsa pasar yang diperkirakan mendekati Rp
40 triliun pada 2011.
Nama Mantan Menteri Kesehatan
Siti Fadilah Supari hari-hari ini menghiasai ruang pemberitaan
nasional. Pasalnya, mantan Menkes tersebut diketahui dituduh dan telah
ditetapkan oleh kepolisian sebagai tersangka terkait dugaan korupsi
pengadaan proyek alat kesehatan tahun anggaran 2005. Hal itu terungkap
dari kesaksian bekas bawahan dari anggota Dewan Pertimbangan Presiden
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut, dalam sidang di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 12 April 2012.
Pada Jumat,
(13/04/12) mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan akan
mengkonfirmasi berita penetapan status tersangka atas dirinya. "Saya
akan cek ke Markas Besar Kepolisian kenapa nama saya bisa muncul,"
katanya pada Kamis, 12 April 2012.
Dia mengatakan rencananya pada
hari ini, Jumat, 13 April 2012, akan mengkonfirmasi berita tersebut.
"Yang ingin saya cari tahu kasus apa yang sedang ditangani oleh Mabes
sehingga nama saya bisa sampai keluar di persidangan," ucapnya. "Cara
konfirmasinya seperti apa itu urusan saya, bisa datang langsung ataupun
melalui telepon," kata Siti, Tempo.co.
Hanya saja Siti yang
sekarang menjabat sebagai Wakil Tim Pertimbangan Presiden enggan
berkomentar apa benar dirinya pernah diperiksa oleh Mabes Polri. "Saya
tidak mau berkomentar masalah itu," katanya.
Dia hanya mengatakan
pernah diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tujuh kali.
"Kesemuanya terkait dengan tudingan penunjukan langsung di Kementerian
Kesehatan," ucapnya.
Tapi terlepas dari itu semua, ada hal
menarik yang lepas dari sorot media terkait dengan kiprah sosok wanita
yang pernah menjadi musuh nomor wahid Kedutaan Besar AS untuk Indonesia
ini.
Inilah ceritanya. Sebuah kisah yang menghidupkan kembali dua
tahun ketegangan antara Departemen Kesehatan (Fadilah Supari) dan
kongsi raksasa farmasi asing. Analisa ini pernah dipublish di Islam
Times beberapa bulan lalu.
Dalam sebuah wawancara eksklusif
dengan The Jakarta Globe, Duta Besar Scot Alan Marciel pernah mengatakan
kalau dia kecewa dengan hadirnya aturan yang mengharuskan perusahaan
farmasi asing mendirikan pabrik peracikan obat di dalam negeri.
Setidaknya
ada 10 perusahaan farmasi Amerika Serikat yang beroperasi di Indonesia
saat ini. Termasuk di antaranya Pfizer dan Merck, dua raksasa farmasi di
Wall Street sekaligus lumbung uang partai politik di Amerika.
Di
Indonesia, mereka memperebutkan pasar farmasi yang angkanya ditaksir
US$ 3,9 miliar pada 2011. Angka yang besar untuk kompetitor yang
sedikit: kurang dari 100 perusahaan farmasi.
Tahun demi tahun
dalam beberapa dekade terakhir, praktis tak ada kendala bagi operasi
perusahaan ini di Indonesia. Lewat anak usaha di Indonesia, mereka
leluasa mengimpor obat-obatan dari pabrik mereka di Amerika lalu
dipasarkan di sini. Sebuah kegiatan bisnis yang menggiurkan. Ladang
kerja yang seolah tak berkesudahan untuk publik di Amerika.
Mimpi
buruk mereka mulai hadir pada 2008. Ketika Menteri Kesehatan saat itu,
Siti Fadilah Supari, mengeluarkan sebuah aturan yang mengharamkan mereka
berbisnis dengan cara lama – mengimpor dan berjualan obat impor di Indonesia –
sampai mereka mendirikan pabrik peracikan obat di dalam negeri. Tujuan
aturan itu mulia, kata Menteri Siti Fadilah: agar terjadi alih
teknologi, investasi farmasi meningkat plus membuka lapangan kerja baru
di Indonesia.
Menteri Siti kala itu memberi waktu tenggang lima
tahun. Jika pendirian pabrik dirasa berat, dia memberi keleluasaan bagi
mereka untuk bermitra dengan industri farmasi lokal yang sudah punya
pabrik. Dia juga memberi tenggang dua tahun bagi perusahaan farmasi
asing untuk memperbaharui izin edar obat impor yang habis masa
berlakunya lepas lahirnya aturan baru.
Aturan Menteri Siti itu
tak ubahnya lembing yang merobek perut perusahaan farmasi asing.
Pendirian pabrik di Indonesia berarti investasi baru, pengeluaran tetap
yang besar. Dan transfer teknologi berarti melapangkan kemerdekaan
Indonesia dari obat-obat impor.
Sekitar 90% — sebagian ahli menyebut angka 96% —
obat jadi dan bahan baku obat di Indonesia berasal dari luar negeri.
Sementara dari 300 lebih perusahaan farmasi di Indonesia, 29 di
antaranya adalah perusahaan farmasi asing. Yang terakhir menguasai 25%
pangsa pasar yang diperkirakan mendekati Rp 40 triliun pada 2011.
“Jika
perusahaan farmasi asing itu ingin mendapat izin (berjualan obat impor
di Indonesia),” kata Menteri Siti Fadilah ke Dow Jones Newswires saat
itu, “mereka harus berinvestasi (mendirikan pabrik peracikan) di sini,
dan tak sekadar mengambil untung dari pasar Indonesia. Mereka tak boleh
lagi beroperasi layaknya perusahaan kelontong di sini, dengan sebuah
kantor ukuran tiga kali tiga meter tapi mendulang keuntungan miliaran
rupiah. Itu tak adil.”
India dan China telah menerapkan aturan serupa, kata Menteri Siti Fadilah.
Lewat
aturan baru itu, Siti Fadhilah nampaknya ingin meniupkan nafas baru di
sektor farmasi. Minimnya investasi termasuk salah satu faktor utama
kenapa 98% bahan baku obat-obatan di Indonesia saat ini masih diimpor.
Sebuah ironi besar yang menyebabkan harga obat selalu tinggi.
Kongsi
perusahaan farmasi asing di Indonesia meradang dengan aturan baru itu.
Pabrik baru berarti ongkos baru dan kemungkinan berimbas pada tenaga
kerja di Amerika. Pabrik baru berarti transfer teknologi dan suatu saat
Indonesia bisa jadi mandiri dalam produksi obat-obatan.
Nada-nada
ancaman hengkang dari Indonesia bahkan sempat terdengar kala itu.
Sesuatu yang segera ditanggapi oleh Menteri Siti Fadilah. “Kalau mereka
mau angkat kaki, silahkan saja. Aturan baru ini akan memberikan
perlakuan adil ke perusahaan farmasi yang telah berinvestasi dalam
pendirian pabrik peracikan obat di Indonesia.”
Lobi perusahaan
farmasi asing tak pernah berhenti sejak keluarnya aturan itu. Bahkan
setelah Siti Fadilah terdepak dari kabinet. Tapi hingga November lalu,
saat pemerintah semestinya mulai menerapkan aturan tersebut, usaha
mereka gagal.
Scot Alan Merciel nampaknya jadi harapan terakhir kongsi farmasi asing itu.
Dalam
unek-uneknya di The Jakarta Globe, Marciel cerita kalau penerapan
aturan itu bisa “membawa membawa konsekuensi yang tak diinginkan” bagi
Indonesia.
“Hukum dan regulasi dirancang dengan ide menciptakan
lebih banyak bisnis di sini atau menciptakan lebih banyak lapangan
kerja, tapi seringkali aturan yang ada justru membuat investor (asing)
angkat kaki,” katanya.
Tak begitu jelas konsekuensi besar yang
harus ditanggung Indonesia, selain kaburnya investor asing. Tapi di
wawancara yang sama, Marciel sempat menyebut “dampak bantuan Amerika”
untuk Indonesia. Dia bilang pemerintahnya telah berkomitmen memberikan
hibah US$ 165 juta di sektor pendidikan dan US$ 140 juta untuk “isu-isu
lingkungan” ke pemerintah Indonesia.
Hibah itu bukan “investasi atau utang yang harus dikembalikan”, katanya.
Dimana-mana
hibah memang tak harus dikembalikan. Tapi jika untuk kelancaran dana
hibah itu pemerintah Indonesia harus mengalah pada keinginan perusahaan
farmasi asing, bantuan itu sebenarnya setali tiga uang dengan utang luar
negeri.
Dan, akhirnya nasib berpihak pada kongsi farmasi asing.
Pada 22 Oktober 2009, seiring habisnya masa jabatan Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid I, habis pula ‘cinta’ Presiden Susilo pada Menteri Siti
Fadilah. Presiden menunjuk orang baru, Menteri Endang, dan pada yang
terakhir lah kongsi farmasi asing mencantolkan harapan. Di situs
resminya waktu itu, IPMG mengucap selamat pada Menteri Endang. Mereka
menawarkan pujian dan harapan. Mereka ingin menteri baru merevisi
aturan-aturan baru kefarmasian di era Menteri Siti Fadilah.
Pada
30 Juni 2010, BPOM mencabut aturan sebelumnya dan memperbolehkan
peredaran produk-produk yang mengandung alkohol atau babi. Produsen atau
importir bebas memasarkan produk sejenis tanpa perlu izin. BPOM hanya
mewajibkan mereka mencantumkan keterangan berupa pernyataan dan gambar
pada kemasan jika produk tersebut mengandung alkohol dan babi.
Pada
Oktober 2010, sebulan sebelum habisnya tenggat izin edar obat jadi
impor, menteri Endang berbicara ke DPR ihwal rencananya merevisi aturan
registrasi obat impor. Sekitar sepekan setelahnya, Duta Besar Amerika
Serikat untuk Indonesia, Scot Alan Marciel, wadul ke sebuah koran di
Jakarta dan dia mengkritik kewajiban mendirikan pabrik obat bagi
perusahaan farmasi asing di era Menteri Siti.
Pada Januari 2011,
“titik temu” yang diharapkan Scot dan raksasa farmasi di belakangnya
terdengar di DPR. Menteri Endang bilang perusahaan farmasi asing
nantinya boleh mendirikan pabrik obat di Indonesia tanpa harus bermitra
dengan perusahaan lokal. Harapan mulia transfer teknologi – dan
cita-cita besar kemandiran obat orang sebangsa – yang pernah dirancang
Menteri Siti Fadiliah kini kandas di kaki kongsi 29 perusahaan farmasi
asing.
Kini, untuk berita terakhir ini, Anda tak perlu jadi
profesor untuk bisa memastikan kalau tipis kemungkinan bakal ada pejabat
di negara ini, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekalipun, yang
bakal punya nyali untuk sesumbar kalau penyusutan angka kematian ibu
dan bayi dalam lima tahun ke depan karena kerja keras mereka semata.
Ingin tahu alasannya? Sederhana: yang merancang, menyusun, mengawasi dan
mendanai program besar penyelamatan nyawa ibu hamil dan bayi yang baru
lahir di Indonesia saat ini adalah USAid, lengan pendanaan pemerintah
Amerika Serikat.
Kenapa Amerika? Karena semua perusahaan Farmasi
di Indonesia dalam gergasi Amerika dan dengan mudah memainkan harga
obat? Kenapa untuk nyawa kaum ibu dan generasi yang baru pemerintah
sampai membiarkan pihak asing yang bekerja? Cekak kah kas negara kita?
Usah
dijawab semua pernyataan itu sekarang. Sebab di Jakarta, modus operasi
yang sama dalam perusahaan Farmasi dan obat-obatan terulang disini.
Mesin-mesin propaganda Amerika telah bekerja dalam putaran penuh untuk
memastikan ‘kedermawanan’ dan ‘hibah’ mereka, sesuatu yang mereka sebut
sebagai ajang “mempromosikan kemakmuran dan meningkatkan pemahaman
antara Amerika dan Indonesia”, masuk di ruang-ruang pemberitaan.
Intinya
pendek saja: USAid menganggarkan uang “hibah” kesehatan 55 juta dolar
Amerika Serikat. Uang itu, katanya, untuk “pengurangan resiko tingkat
kematian ibu dan anak yang baru lahir di Indonesia”.
Nama besar
hibah lima tahun ini adalah ‘Expanding Maternal and Neonatal Survival’,
disebut “Memperluas Kelangsungan Hidup Ibu dan Anak” disingkat EMAS.
USAiD
“bermitra dengan Kementerian Kesehatan Indonesia, rumah sakit, dan
pusat-pusat kesehatan”, kata pers Jakarta menyalin siaran pers lembaga.
Asisten
Menteri Luar Negeri Amerika untuk Urusan Ilmiah, Kelautan dan
Lingkungan Internasional, Kerri-Ann Jones, yang datang ke Jakarta saat
peluncuran program pada Kamis, 21 Juli 2011, bilang kalau program
“hibah” bakal “memastikan ibu dan anak yang baru lahir menerima
perawatan yang diperlukan, di tempat yang tepat, pada waktu yang tepat”.
“Langkah
ini bagian utama dari Kemitraan Komprehensif Amerika-Indonesia,”
katanya merujuk traktak yang digadang-gadang oleh Presiden Susilo
sebagai dokumen yang mendudukkan Indonesia ‘setara’ dengan Amerika
Serikat.
USAid bilang setiap tahunnya, ada 10.000 orang perempuan
yang meninggal di Indonesia akibat komplikasi selama kehamilan dan
proses persalinan. Lembaga juga bilang kalau sebagian besar kematian itu
dapat dicegah andai rumah sakit atau puskesmas bisa memberi rujukan
yang tepat, perawatan yang tepat, cepat dan efektif.
Betulkah
begitu? Betulkah kematian ibu hamil di Indonesia karena semata karena
kurangnya pengetahuan dan kecakapan dokter dan juru rawat serta minimnya
fasilitas di balai kesehatan, termasuk rumah sakit dan Puskesmas?
Betulkah demikian? Mengapa harga obat-obatan saban hari terus menerus
menyundul langit? Bagaimana dengan sebab lain yang lebih laten semisal
kemiskinan yang merontokkan sumsum ibu hamil? Bagaimana dengan korupsi
yang membunuh peluang sejahtera orang banyak?
Seperti biasa, tak
ada penjelasan yang memuaskan dari siaran pers USAid maupun pemerintah.
Pun tak ada penjelasan kenapa statistik suram itu berbuntut program
besar yang pelopor, pengawas dan pemodalnya adalah mereka – bukannya
oleh pemerintah Indonesia, kalangan pegawai negeri, dari perawat,
dokter, menteri hingga presiden, yang tiap bulan makan gaji dan telah
disumpah untuk membaktikan jiwa dan raganya demi melayani anak bangsa.
Dalam
sebuah dokumen di internet, USAid bilang program hibah kesehatan ini
menyasar dua tujuan:
(1) penyediaan fasilitas perawatan kehamilan dan
neonatal emergency dan komplikasi kehamilan yang berkualitas, dan
(2)
meningkatkan ketepatan dan kejituan dalam sistem perujukan pasien di
tingkat Puskesmas. Kata dokumen, pencapaian dua tujuan itu bakal
bertumpu pada apa yang USAid sebut sebagai good governance, tata kerja
yang rapih, apik dan terbuka, pada rumah sakit dan puskesmas yang
menjadi target dana hibah (rencananya di Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara).
Bagaimana
menghadirkan good governance di tingkat puskesmas dan rumah sakit?
USAid punya solusi. Katanya, khusus dalam program ini, mereka bakal
banyak menggunakan “teknologi-teknologi maju di bidang komputer, telepon
dan jejaring sosial”.
Masih sulit membayangkan wujud “hibah”
setengah triliun Amerika ini. Tapi satu hal yang jelas: pemerintah
Amerika Serikat, dengan sedikit dolar dan tenaga -setelah menguasai pangsa pasar obat-obatan dan mengontrol pasaran kemudian perusahaan-perusahaan farmasi-
sebenarnya sedang menyusun cetak biru sistem pelayanan kesehatan rakyat
Indonesia dan pemerintah kita membukakan jalan untuk semua langkah itu.
Ironis dan tragis! Lalu apa yang ‘masih’ diharapkan rakyat dari
pemerintah?
Dan selamat buat Bu Endang Sedyaningsih. [Islam Times/on/]
Beberapa dokumen PENTING: -- http://www.4shared.com/document/fe9M_uKi/fileA110920100423164213.html -- http://www.4shared.com/document/f1NoFtUW/HK00051233516.html -- http://www.4shared.com/document/q46-qu68/KMK_No_410_ttg_Perubahan_KMK_N.html -- http://www.4shared.com/document/ypWULvgs/permenkes-949-2000-ttg-registr.html -- http://www.4shared.com/document/Z8Xcbwlz/PMK_1120-Rev_KMK_1010.html -- http://www.4shared.com/document/pM0wRwGJ/PMK_No_1010_ttg_Registrasi_Oba.html -- http://www.4shared.com/document/RfrkZnTv/PMK_No_1120_ttg_Perubahan_Atas.html -- http://www.4shared.com/document/s36HpeJ8/PP_No_51_Th_2009_ttg_Pekerjaan.html -- http://www.4shared.com/document/nhVFtHIn/registrasi_obat.html -- http://www.4shared.com/document/kuiTN7LY/regulasi_telekomunikasi_pp_per.html
|
saya yang awam berterimakasih dengan ulasan itu... yg tentu maksudnya utuk tujuan baik...yakni harus berhati-hati...dg adanya upaya2..bangsa asing atau faham yang memecah belah umat....
BalasHapusSemoga kita ummat Islam bisa saling bersilaturahim dan saling belajar ilmulhaq...yakni ilmulQurán dan Sunnaturassulullah saw secara utuh, komprehensif dan kaffah serta istiqomah...berjihad dan memperkuat persatuan ummat Islam seutuhnya...
Memang disayangkan disaat ummat Islam banyak yang di-obok2 oleh berbagai kekuatan yg bersumber dari itu2 juga...dan diadu domba..bahkan seakan disteer oleh grand design program Barat+zionis... Banyak korban kezholiman ini dan berlaku bertahun-tahun tanpa ada kesadaran untuk saling memperbaiki..untuk kemenangan dan kejayaan Islam..
Menjadi pemikiran yg tak masuk akal.. Mengapa Palestina semakin ditindas oleh Israel+AS+Sekutu..?? Mengapa Iraq diinvasi AS+Sekutu?? Mengapa Afghanistan..diinvasi AS +Sekutu+Negara2Teluk?
Juga Mengapa Ghadafy harus diinvasi+ alqaida+Barat+ Negara Liga Arab? Mengapa Syria -Libanon di-obok2 + alqaeda+Barat+Negara Teluk? Mengapa Iran diancam2 oleh AS+Israel+Negara Teluk?..Ada apa ini..??...Ini menjadi tanda tanya...besar.. Mengapa semua negara muslim menjadi sasaran mereka2 Barat+Negara2 kaya Teluk?? ada konspirasi apa??
Ada permainan politik dan gerakan apa..?? Lalu agama dan mazhab di-obok2..??? Mengapa Siti Fadhilah Supari dijadikan sasaran kemarahan AS ?? Mengapa SBY-Budiyono manut-nut bongkok2an.. kpd AS..??...Sungguh mengherankan.. Saya awam yang merindukan Islam dan Ummat yang menyatu dengan keragaman mazhab..yang shoheh.. Semoga..Islam dan Umat Islam semakin bijaksana.. kuat dan maju...aamiin