http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=en&id=6854&type=4
Paling
fenomenal lagi menyentak kita semua mungkin geliat Jepang dan Cina. Ya,
kedua negara seolah-olah kompak “menolak US dollar” dalam setiap
transaksinya. Itu berarti perusahaan di Cina dan Jepang dapat
mengkonversi mata uangnya secara langsung, tanpa terlebih dahulu
mengkonversi ke dolar AS. Luar biasa. Sikap tersebut diperkirakan mampu
menimbulkan gelombang imitasi global, ditiru oleh negara-negara lain,
baik karena efek langsung maupun tak langsung, atau oleh sebab snawball
process alami. Maknanya, bahwa tidak lama lagi bakal muncul “tsunami
dolar”. Ya. Dolar akan mudik menerjang negeri asalnya, menjadi tumpukan
kertas-kertas tidak berharga.
Kembali ke gejala PD III, bahwa
tema sentral yang ditabuh adalah nuklir dengan Iran sebagai lakon
sekaligus “kambing hitam”, sedang banyak negara juga memproduksi nuklir
namun tak menjadi masalah apa-apa.
Tak gentar sedikitpun, kendati titik
bidik superpower dan sekutu mengarah ke Jalur Sutra (Timur Tengah dan
Afrika Utara), terutama fokus bidikan kini ada di Syria dan Iran.
Tatkala timbul pertanyaan kenapa dipilih Jalur Sutra, kemungkinan besar
asumsi Tony Cartalucci dari Central for Research on Globalization
(CRG), Kanada, mengilhami para pengambil kebijakan di Gedung Putih,
yakni: “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda
akan menguasai dunia”.
Buku Killing Hope: US Military and CIA
Intervention Since World War II karya dari William Blum menyebut, bahwa
AS memiliki rekor tertinggi sebagai agresor dalam sejarah perang
modern. Ia mengungkap, bahwa AS pasca kemerdekaan dekade 1776-an justru
aktif menciptakan gelombang pertempuran serta mengobarkan sembilan
perang besar. Sekitar 200-an kali bahkan mungkin lebih invasi militer
yang ia ciptakan. Dan terhitung semenjak 1977 - 1993 telah menyerbu
32-an wilayah di luar negaranya. Data dalam buku Blum tersebut,
tidak termasuk sinergi smart dan hard power-nya yang dimulai dari
Tunisia, Yaman, Mesir, Libya dan seterusnya berkedok “Musim Semi Arab”.
Itulah potret kembara militer AS sejak kemerdekaan hingga kini. Akan
tetapi gerakannya kali ini sungguh membuat cemas bersama, karena dalam
desain global militer di Pentagon bertajuk “Penaklukan Dunia” sesuai
paparan Jenderal Wesley Clark (2005) mantan Komandan NATO benar-benar
mengancam perdamaian dunia. Tak kurang Michel Chossudovsky, Pendiri dan
Direktur CRG dan Finian Cunningham, peneliti pada CRG (The Globalizaton
of War: The “Military Roadmap” to World War III, di
www.globalresearch.ca), menggambarkan jika perang nuklir diluncurkan,
seluruh Timur Tengah/Asia Tengah akan masuk ke dalam suatu kebakaran
besar!
Ya,
sepertinya AS hendak memaksakan grand design-nya di Jalur Sutra. Entah
kenapa. Indikasi terlihat dari penyebaran militer secara bersamaan di
berbagai belahan dunia. Maka harap maklum ketika kini banyak bertebar
stigmaisasi dan dalih-dalih pembenar mengawali pagelaran perang,
termasuk gerakan tambahan oleh AS Cs dalam rangka ‘pemanasan’. Sebagai
contoh, Iran dianggap ancaman untuk Israel, AS dan dunia; atau tuduhan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat kepada rezim Bashar al Assad;
ataupun sanksi diplomasi, finansial dan ekonomi terhadap Iran agar ia
tidak bisa menjual minyak, dan sebagainya. Dan agaknya, sanksi terakhir
ini justru dibalik oleh Iran dengan ancaman penutupan Selat Hormuz
sehingga menyulut pro-kontra dunia mengingat betapa vitalnya selat
tersebut dalam skema distribusi (minyak) kargo baik antar negara maupun
antar benua.
Menyimak hal di atas, sepertinya skenario yang
tengah dijalankan Paman Sam mirip atau bahkan persis tatkala George W.
Bush dulu memblokade ekonomi Irak sekitar 10-an tahun, sebelum akhirnya
Saddam Husain diserbu (2003), kemudian digantung (2007); atau blokade
ekonomi selama 18 bulan oleh Israel terhadap Palestina yang berujung
Perang Gaza dekade 2008-an (baca: Pesta Kabaret di Gaza, di
www.theglobal-review.com), demikian seterusnya. Ya. Ada semacam shock
and awe untuk langkah awal, sebagai permulaan. Disinyalir, begitulah
pola tetap yang sering ia mainkan sebelum menggelar suatu peperangan ---
artinya “sasaran target” dibuat lemah terlebih dahulu dari sisi
internal, baru kemudian diserang habis-habisan!
Tambahan lain
yang layak dicermati ialah penciptaan destabilisasi politik melalui
perang sipil atau pemberontakan. Fase ini digelar ketika methode smart
power ala “Musim Semi Arab” gagal membuat lengser rezim yang ditarget.
Hal ini tergambar di Libya dan Syria. Artinya untuk methode di kedua
negara tadi memang berbeda dengan pola-pola di Tunisia, Yaman dan Mesir
yang cukup melalui gerakan massa secara terus menerus, sehingga membikin
gerah para elit “boneka” seperti Ben Ali, Abdullah dan Mobarak pun
terbirit turun takhta.
Namun diluar dugaan, timbul “kebangkitan
Islam” sebagai fenomena yang mencengangkan bahkan membuat babak-belur AS
dan sekutu karena misinya tidak juga memetik hasil. Misalnya,
perlawanan maha dahsyat dari Taliban dan tentara lokal di Irak dan
Afghanistan ---dalam konsep militer modern, mereka cuma sekelas pengacau
keamanan, atau sejenis insurgent--- selama kurang lebih 10 tahun, dan
ternyata mengakibatkan AS dan sekutu (sekitar 42 negara) tergabung dalam
Pakta Pertahanan Atlantik Utara/NATO dan International Security
Assistance Force (ISAF), terpaksa menarik mundur pasukan tanpa membawa
hasil apa-apa kecuali khabar tentang tentara tewas, gila, cacat permanen
dan yang vital adalah krisis ekonomi bagi negara-negara yang terlibat
perang dan sharing saham!
Agaknya kisah “kebangkitan” di Irak dan
Afghnaistan terulang lagi, meski dengan kemasan berbeda.
Setidak-tidaknya di Yaman, Tunisia dan Mesir yang dianggap “Musim
Semi”-nya kepentingan-kepentingan Barat oleh media mainstream, niscaya
berubah 180 derajat menjadi “Musim Gugur” bagi AS dan sekutunya. Betapa
gelombang kedua revolusi kembali marak di jalan-jalan bertajuk
“perubahan sistem”, tak cuma sekedar ganti rezim sebagaimana target
“revolusi warna”-nya CANVAS (baca: Melacak Revolusi Warna, Virus Ganti
Rezim di Berbagai Negara, di Global Future Institute (GFI),
www.theglobal-review.com).
Isyarat Hugo Chaves, bahwa perang
kolonial yang ditebar AS hendak memulihkan sistem kapitalis yang
cenderung bangkrut (baca: Modus dan Seri Baru Perang kolonial, Waspada
buat Indonesia, di GFI, www.theglobal-review.com), maka menyamakan tata
cara pemulihan suatu sistem dengan menjiplak pola pemulihan Great
Depression (1930) via PD, merupakan gebyah uyah dan cermin generalisasi
tindakan yang lahir dari kerangka logika teramat panik. Saya jadi
teringat tesis Bung Karno, Proklamator Indonesia: “Kapitalisme yang
terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah
perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut”.
Akhirnya
tibalah pada retorika dari catatan singkat ini, yakni manakala AS dan
sekutunya bernafsu mengobarkan PD III dengan tujuan jahat memulihkan
sistem kapitalis yang telah bangkrut, apakah roadmap itu merupakan
kecerdasan, kebandelan, kebodohan, atau cermin keputus-asaan dari para
elit kapitalis yang meremote jalannya perang dari kejauhan; bukankah di
Jalur Sutra kini banyak fenomena yang tidak pernah ditemui sewaktu pecah
PD II doeloe? Silahkan kita semua mencermatinya. Terimakasih. (Dari berbagai sumber)
27-12-2011 |
Perang Sipil di Syria, Pancingan Perang Dunia III atau Holocaust? |
Author : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI) |
|
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=en&id=6792&type=4
Setidaknya
pasca gagal terbitnya Resolusi PBB bagi Syria karena terjegal oleh veto
Cina dan Rusia, maka ibarat “memakan bubur panas” ia memulai dari
pinggir-pinggirnya. Disinilah letak kesamaan pola. Seperti halnya di
Libya, sebelum terbit resolusi 1973 --- AS dan sekutu juga mengobarkan
dulu pemberontakan atau perang sipil. Demikian pula di Syria, kegagalan
gerakan massa melalui ‘musim semi Arab’ guna menerbitkan resolusi PBB,
menjadikan perang sipil sebagai alternatif terakhir.
Sasaran
antara yang ingin diraih ialah intervensi massiv militer Syria terhadap
perang sipil. Setelah fase ini maka bisa ditebak, niscaya gelombang
laporan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “komprador” lokal
ingin ada intervensi internasional dan hadirnya pasukan asing di Syria
melalui resolusi PBB. Itulah skenario yang dapat dibaca.
Tak
boleh dielak, bahwa saat ini telah ada pengepungan berasal dari tiga
negeri tetangga saling berbatas teritori dengan Syria. Misalnya,
perbatasan Jordan-Syria via al Mafraq. Lalu Turki bersumber dari kota
Hakkari (baca: Genderang Perang Syria: Konspirasi dari Jordan dan Turki,
oleh Dina Y. Sulaeman dan M Arief Pranoto, di www.indonesian.irib.ir).
Sedang dari Lebanon melalui daerah Ersal. Tak kurang Menteri Pertahanan
Lebanon, Fayez Gessen mengkonfirmasi data terkait dengan keberadaan
operasi penyelundupan senjata dan masuknya teroris al - Qaeda untuk
Suriah, yang mengaku menjadi anggota oposisi Suriah, pada titik-titik
perbatasan ilegal antara Suriah dan Lebanon, khususnya melalui daerah
perbatasan ERSAL (SANA, 20/12/2011). Syria tengah dikepung!
Mencermati
tahapan di atas, sepertinya AS dan sekutu ingin memaksakan grand design
penaklukan dunia sebagaimana paparan Wesley Clark, mantan Komandan NATO
lima tahun lalu (2005) di Pentagon, yang dimulai dari Irak, Suriah,
Lebanon, Libya, Iran, Somalia, Sudan dan seterusnya.
Secara
kuantitatif, roadmap penaklukan cuma tinggal dua langkah lagi, yakni
Syria dan Iran; tetapi dari sisi kualitatif sejatinya mengalami banyak
kegagalan. Fakta menyatakan, bahwa kekalahan-kekalahan militer AS dan
sekutu jarang bahkan tak pernah diekspos. Para media mainstream
senantiasa melakukan edit dan counter berita atas kegagalan superpower
dan sekutunya. Sebagai contoh kekalahan di medan tempur Irak,
Afghanistan, dan terakhir kemarin di Libya merupakan data riil. Kedok
atau dalihnya mirip-mirip, yakni penarikan pasukan melalui skenario
tayangan video kematian tokoh sentral. Untuk penarikan di Irak dan
Afghanistan berdalih “kematian Osama”, sedang penarikan pasukan di Libya
berdalih “kematian Gaddafi”, sementara di medan laga perlawanan rakyat
lokal dan tentara (setempat) masih berlangsung sengit, massiv lagi
dahsyat.
Kembali ke Syria, perang sipil yang kini meletus di
Baba, kota terbesar ketiga di Syria, sejatinya merupakan pancingan agar
militer Bashar al Assad turut campur tangan lebih dalam. Selanjutnya
jika merujuk isyarat Andrew Gavin Marshal, peneliti serta kontributor di
Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, bahwa gejolak yang
terjadi kini merupakan taktik politik rahasia untuk memperluas pengaruh
NATO dan AS ke perbatasan Rusia dan Cina.
Hal
ini sesuai salah satu strategi dan tujuan membentuk New World Order
(Tatanan Dunia Baru), dengan membatasi gerak Cina dan Rusia serta
mencegah munculnya tantangan apapun bagi kekuasaan AS di kawasan itu.
Marshall menyebutnya sebagai “Revolusi Warna”. Ia mengisyaratkan bahwa
revolusi yang kini berlangsung merupakan awal Perang Dunia (PD) III.
Pertanyaanya ialah, apakah AS dan sekutu menginginkan meletus PD III
sebagaimana isyarat Marshall di atas?
Jika
merujuk sinyalemen Hugo Chaves, Presiden Venezuela kepada PBB: "Ada
ancaman yang sangat serius terhadap perdamaian dunia. Sebuah seri baru
perang kolonial yang dimulai di Libya dengan tujuan jahat untuk
memulihkan sistem kapitalisme global" (Lizzie Phelan, 2011), maka
jawaban pertanyaan tadi adalah: YA! Pertanyaan berikut yang menyeruak,
apa motivasi utama AS dan sekutu mengobarkan PD III di tengah krisis
ekonomi dan bencana negeri yang tak kunjung usai; tidak gentarkah ia
dengan Rusia, Cina, Iran dan negeri-negeri lain di belakang Syria?
Sesuai
isyarat Chaves di atas bahwa perang kolonial seri baru bertujuan
memulihkan sistem kapitalisme. Dan agaknya para elit kekuasaan Paman Sam
ingin menjiplak model pemulihan Great Depression dekade 1930-an doeloe
di AS melalui PD. Terbukti 10 tahun pasca PD II ekonomi AS memang
kembali pulih. Dan meletusnya PD III bakal menaikkan oplah dan lapangan
pekerjaan, terutama industri peralatan tempur, senjata, para kontraktor
perang dan bidang-bidang lain di sekelilingnya. Ya, PD III bakal
memulikan kembali sistem kapitalisme yang kini tengah sekarat lagi
cenderung bangkrut.
Bagi
AS dan sekutu, secara formal modal awal yang diperlukan dalam PD III
adalah Resolusi PBB untuk Syria. Dan sepertinya ia tak bakal terbit
selama veto Cina dan Rusia menghadang. Belum lagi permasalahan tuntutan
kedua adidaya untuk penyelidikan secara mendalam soal kebenaran mengenai
ada atau tidaknya pelanggaran HAM berat oleh rezim Gaddafi di Libya.
Hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi PBB.
Selanjutnya
senada dengan ancaman Bashar al Assad, jika Syria diserang pihaknya akan
membombardir Israel dengan berbagai senjata dan roket-roket yang ia
persiapkan lama. Maka ada dua pilihan pasti, yakni PD III yang
diinginkan AS dan sekutu guna memulihkan sistem kapitalis global,
jangan-jangan justru Holocaust yang menyapu Israel. Manusia boleh saja
berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Siapa menebar duka bakal memetik
sengsara! (Dari berbagai sumber)
18-12-2011 |
Holocaust Segera Terjadi di Israel |
Author : M Arief Pranoto / Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute |
|
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=en&id=6700&type=4
Adalah
Salim Hatom, seorang mayor yang gagal melakukan kudeta terhadap
Presiden Suriah Nureddin al-Atassi dan Salah Jadid dekade 1968-an,
kemudian melarikan diri ke Jordan dan mendirikan kamp-kamp militer di Al
Mafraq. Dari tempat ini pula, ia memulai karir politiknya sebagai
pemberontak terhadap rezim syah di Syria (1970-1980).
Tampaknya
kisah Hatom meskipun tak sukses, mengilhami Ikhwanul Islam, kelompok
atau semacam organisasi massa di Syria meniru pola dan kiprahnya. Ya.
Berbekal pola-pola sama, bersama sayap milter ‘Al-Taleah al-Islamiyah
al-Muqatilah’-nya melakukan perjuangan ---jika tidak boleh disebut
pemberontakan--- militer kepada Hafez Assad, Presiden Syria (1971-
2000).
Konspirasi
terlihat, ketika mereka semua dilatih oleh militer Jordan dan intelijen
Israel. Modusnya turun di jalanan kota-kota di Syria melakukan
kekacauan, merusak fasilitas umum bahkan kalau perlu melakukan
pembunuhan terhadap orang-orang tidak bersalah. Tujuannya, tidak lain
ialah menciptakan destabilisasi politik dalam negara. Maka harap maklum
ketika unjuk rasa dan demostransi mengatasnamakan gejolak rakyat tetapi
mampu menyerang markas militer menggunakan roket-roket di Damaskus.
Retorikanya, adakah demonstrasi massa di negeri manapun berani menyerang
kamp-kamp militer? Kalau membakar mobil dan kantor polisi mungkin
banyak terjadi.
Agaknya
peristiwa tempo doeloe bakal terulang lagi. Dimulai sejak musim semi
lalu, banyak pelarian serdadu Syria ditampung dalam kamp-kamp di sebelah
barat kota Salt, Jordan, kemudian diinvestigasi oleh intelijen militer
Israel (AMAN), dibawah pengawasan militer Jordan. Sasarannya mencari
informasi tentang isue-isue terkait perkembangan terbaru baik
persenjataan, pelatihan, personel maupun hal-hal lain yang dimiliki
Syria, terutama kemajuan teknologi militer dekade 2006-an ke atas.
Hal
di atas, tampaknya sejalan dengan rumor yang berkembang, bahwa ada
pejabat Barat meminta Raja Jordan mendirikan stasiun mata-mata
elektronik di wilayah dekat perbatasan Syria guna mengakses info dan
melakukan kontak dengan perwira tinggi Syria, untuk meyakinkan agar
melakukan kudeta militer atau setidaknya memberontak terhadap rezim.
Beberapa
tahun terakhir ini memang bersliweran banyak militer asing di
perbatasan Jordan-Syria. Diperkirakan jumlahnya mencapai ratusan
menyebar di sekitar Al Mafraq. Mereka bicara dengan bahasa luar selain
Arab, dan hilir - mudik antara Pangkalan Udara Raja Hussein hingga
desa-desa di wilayah perbatasan, menggunakan kendaraan-kendaraan
militer.
Ketika
dilacak lebih dalam, berdasarkan “posting katak”-nya Nizar dan James
Corbett Nayouf, kontributor Centre for Research on Globalization,
Kanada, ditulis begini:
“Kamis
lalu, beberapa pasukan Amerika Serikat (AS) yang meninggalkan basis
udara Ain al-Assad di Irak, tidak kembali ke AS atau Jerman, namun
dipindahkan ke Jordan pada malam hari” (Global Research, 12 Desember
2011).
Posting katak tersebut, diperkuat pula hasil wawacara Nizar dengan seorang karyawan yang berbasis di London. Ia mengatakan:
“Setidaknya
satu pesawat AS yang membawa personel militer mendarat di Pangkalan
Udara Pangeran Hassan, terletak sekitar 100 km ke arah timur kota
Al-Mafraq” (Global Research, 12 Desember 2011).
Kenyataannya,
gelombang penarikan pasukan AS dan sekutu memang tengah berlangsung
tahap demi tahap di Irak dan Afghanistan. Inikah mengecoh langit
menyeberangi lautan? Itu data-data yang bisa dicatat. Masalah valid,
akurat atau tidak, mutlak harus diuji terlebih dahulu. Artinya nyambung
atau tidak tentang sejarah serta informasi konspirasi Al Mafraq terkait
berbagai peristiwa yang telah, sedang dan diperkirakan bakal terjadi.
Tak bisa tidak.
Situasi
terakhir “musim semi Arab” di negerinya al-Assad memang semakin panas.
Ternyata sangsi untuk Syria melalui resolusi pun gagal terbit, ketika
Cina dan Rusia kembali menggunakan hak vetonya di sidang PBB. Lalu
merapatnya kapal perang Rusia memasuki laut Syria merupakan indikasi
kuat, bahkan dianggap sebagai isyarat Moskow siap melindungi sekutu
dekatnya dari unsur luar (asing) yang akan campur tangan di internal
Syria. Hipotesa pun bertebar, salah satunya adalah kegagalan NATO dan
sekutu melakukan “intervensi fisik” via jalur perairan ---oleh sebab
kapal induk AS, USS George H Bush pun sebenarnya telah standby pula di
perairan sama--- maka harus segera diubah strategi, atau jika tidak
bakal ada perang terbuka antara para adidaya mengambil lokasi di Syria
sebagai proxy war (lapangan tempur).
Ya.
Sepertinya Paman Sam hendak memaksakan roadmap-nya di lintasan Jalur
Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) sebagaimana paparan Clark, mantan
Komandan NATO doeloe (baca: Peta Serangan ke Iran, Bagian Penaklukan
Dunia oleh Amerika, di www.theglobal-review.com). Apaboleh buat,
barangkali sudah tidak ada alternatif lain. Grand desaign penaklukan
dunia oleh Pentagon telah terbuka. Kepak dan denyut rencana sering
terlihat serta dirasakan oleh publik secara nyata. Tak ada pilihan lain,
pantang bila kuku-kuku elang “superpower” ditarik kembali.
Tanda-tandanya
jelas. Tatkala beberapa pejabat terkait mengatakan bahwa rezim Assad
bakal tumbang dalam beberapa minggu kedepan. Maka merujuk uraian di
muka, pernyataan tadi mengisyaratkan bahwa “Konspirasi Al Mafraq” ialah
titik awal tergelarnya perang darat antara AS Cs versus Pemerintah
Syria. Inilah yang akan terjadi esok. Dan sesuai janji Bashar al Assad
jika Syria diserang, akan membombardir Israel dengan berbagai senjata
dan roket-roket yang telah ia persiapkan lama. Ya, Holocaust atau
pembataian-pembataian jilid II bagi Israel tinggal menunggu waktu!
*)
Analisa ini dirangkum dari berbagai sumber, terutama web di Global
Future Institute, Jakarta dan Central for Research on Globalization,
Kanada.
05-01-2012 |
"Prakiraan Politik Global 2012 Versi GFI" |
Author : Tim Redaksi Global Review |
|
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=en&id=6875&type=4
Adapun prakiraan tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Syria dan sekitarnya bakal menjadi pemicu sekaligus proxy war
(lapangan tempur) Perang Dunia (PD) III di Abad XXI antara AS dan
sekutu (NATO, ISAF, P-GCC dst) Versus Syria, Iran dibantu oleh Rusia,
Cina, Venezuela, Kuba dan lainnya;
(2) Israel bakal hancur lebur,
bahkan mungkin terhapus dari peta dunia, lalu digantikan oleh
Hamas-Fatah, atau Pemerintahan Palestina Baru yang lebih kondusif dan
konstruktif bagi Dunia Arab dan sekitarnya;
(3) US Dollar tak
lagi dipercaya dan tidak digunakan oleh dunia. Uniqnya, sikap "menolak
dolar" ini justru dipelopori Cina dan bahkan Jepang itu sendiri selaku
sekutu dekat AS di Asia (aneh dan fenomenal?). Dolar mudik atau pulang
basamo ke negeri asalnya. Inilah “tsunami dolar” yang diperkirakan
menjadi momentum munculnya revolusi sosial di Paman Sam. Skenario
keruntuhan Dinasti Amerika ditandai dengan merebaknya rusuh massa
dimana-mana, dan niscaya AS terpecah - belah menjadi beberapa negara
merdeka sebagaimana ramalan Igor Panarin doeloe, ilmuwan politik Rusia,
oleh sebab ada beberapa “kekuatan luar” yang masuk juga berkepentingan
dalam revolusi tersebut;
(4) Uni Afrika semakin kokoh membentuk kekuatan tersendiri (new emerging force) yang mempunyai bargaining position
tinggi di dunia, terutama terhadap Dunia (Uni) Eropa dan sekitarnya
dalam koridor lain serta kepentingan selain militer (asimetris);
(5)
Keruntuhan AS mengakibatkan hubungan antar negara di Asia khususnya
Asia Tenggara lebih mesra dan soft dibanding era sebelum-sebelumnya baik
formal maupun forum non formal, terutama pihak Malaysia tak lagi berani
menebar “provokasi”-nya di perairan Indonesia dikarenakan pudarnya
peran International Security Assistance Force (ISAF), andalannya
beberapa dekade lalu;
(6) Sikap Singapura pun berubah “sopan”
sebab keangkuhannya selama ini ternyata didukung oleh superpower dan
para adidaya Barat, serta menganggap seolah-olah dirinya adalah
“Israel”-nya Asia;
(7) Bagaimana dengan Ibu Pertiwi tercinta?
Niscaya bakalan bangkit. Entah dengan cara apa dan bagaimana. Maka
ibarat putri raja bangun dari tidur panjang, melengang tanpa bersolek
pun tetap mempesona dunia. Apalagi setelah ia tanggalkan segala ujud dan
bentuk kemasan (ideologi) kapitalisme yang pernah melingkarinya. Di
awal kebangkitan, Indonesia mutlak bersikap keras lagi tegas, terutama
terhadap organisasi massa (ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang selama ini gencar mempromosikan isue aktual (demokrasi, korupsi,
HAM, kebebasan, legalisasi narkoba dan lainnya) tetapi menginduk kepada
luar negeri/negara lain, ataupun terikat jaringan LSM asing. Diyakini
akan ada langkah-langkah audit oleh negara cq pemerintah secara ketat,
cermat lagi teliti atas aliran dana yang selama ini dinikmati oleh
segelintir oknum individu, ormas dan LSM ‘komprador’ justru di atas
serta mengakibatkan lemahnya sifat kegotong-royongan, hancur nilai
persatuan dan kesatuan bangsa, serta leburnya nilai-nilai musyawarah
mufakat milik bangsa ini.
Akan tetapi, ramalan tetaplah ramalan.
Hukumnya sunah, boleh percaya boleh tidak. Artinya jangan sekali-kali
diyakini sepenuh hati.
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar