LAWAN PEMERINTAH, OPOSISI SURIAH AKAN DIGAJI ARAB DAN BARAT...???
REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL — Negara Arab dan Barat berjanji akan memberikan 100 juta dolar AS memberi peralatan komunikasi dan menggaji pihak oposisi Suriah, Ahad (1/4). Negara-negara yang dipimpin oleh Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab membuat penawaran pada Ahad di sebuah konferensi Istanbul yang dinamai “Sahabat Suriah”. Konferensi dihadiri sekitar 83 negara-negara Barat dan Arab.
Konferensi mengakui pihak oposisi Dewan Nasional Suriah (SNC). Sementara SNC, mengatakan pemberontak akan dibayar untuk melawan pemerintah Presiden Bashar al-Assad. Pembiayaan berupa uang juga akan diberikan kepada tentara yang terluka dan membelot.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, mengatakan saat konferensi, pasokan peralatan komunikasi akan membantu aktivis untuk mengatur dan menghindari serangan pemerintah Suriah.
Pemerintah AS juga akan memberi bantuan langsung dalam bidang komunikasi kepada kubu oposisi. “Pemahaman saya, oposisi meningkatkan intensitasnya, bukan berkurang. Mereka tidak hanya menjadi lebih terfokus dan terorganisasi namun juga meluas dan lebih banyak,”katanya.
Clinton juga menegaskan agar mitra internasional mendukung rencana tersebut. “Tidak ada waktu lebih untuk alasan atau keterlambatan. Ini adalah momen kebenaran,” kata Clinton.
AS Nyatakan Dukung Oposisi Suriah
Kamis, 26 Juli 2012, 04:33 WIB. http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/07/26/m7qi1u-as-nyatakan-dukung-oposisi-suriah
Menteri Luar Negeri AS, Hillary Rodham Clinton.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, Selasa, mengatakan bahwa Washington akan bekerja sama dengan oposisi Suriah dalam perjuangannya untuk memaksa Presiden Suriah Bashar al-Assad mengundurkan diri.
Setelah gagal untuk memastikan tercapainya resolusi Dewan Keamanan PBB untuk Suriah pasca veto dari Rusia dan Cina, Amerika Serikat melakukan upaya di luar Dewan Keamanan untuk memberikan "pesan jelas tentang dukungan mereka pada oposisi", katanya.
"Kami percaya bahwa ini belum terlambat bagi rezim Assad untuk mulai merencanakan sebuah transisi guna mencari cara untuk mengakhiri aksi kekerasan dan memulai suatu perundingan serius yang hingga kini belum dimulai," katanya seperti dilansir AFP..
Mengacu pada pertempuran hebat di kota kedua negara itu, Aleppo, Hillary mengatakan, "Kami sangat sadar bahwa semua berjalan cepat di Suriah."
"Kami harus bekerja sama dengan oposisi karena semakin banyak wilayah yang mampu dikuasai dan itu pada akhirnya akan menjadi tempat berlindung di dalam Suriah yang akan menjadi markas bagi aksi-aksi lebih lanjut dari oposisi," katanya.
Amerika Serikat juga terus memberikan bantuan yang tidak mematikan kepada oposisi untuk mendukung perjuangannya yang telah berlangsung selama 16 bulan guna menggulingkan Bashar al-Assad.
Dia menambahkan bahwa oposisi juga "harus bersiap". Mereka harus mulai bekerja mempersiapkan pemerintahan sementara.
"Mereka harus menyiapkan upaya tanggap darurat yang juga dapat kami bantu. Mereka harus menjaga keamanan senjata biologi dan kimia yang kami tahu dimiliki oleh rezim Suriah, jadi sesungguhnya ada banyak yang harus dilakukan."
Redaktur: Taufik Rachman. Sumber: antara
Liga Arab Serukan Oposisi Suriah Bersatu
Selasa, 03 Juli 2012, 11:02 WIB.
http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/07/03/m6kgkh-liga-arab-serukan-posisi-suriah-bersatu
Bendera negara-negara peserta Liga Arab
REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO- Liga Arab, Senin (2/7), menyeru kelompok oposisi Suriah agar bersatu dan memetingkan rakyat dibanding bertengkar diantara mereka sendiri.
Pemimpin Liga Arab, Nabil al-Arabi mengatakan peluang yang datang untuk merebut pemerintahan tak boleh disia-siakan.
"Hari ini, kita tak boleh memberi kesempatan apa pun kepada mereka yang meragukan kemampuan oposisi Suriah untuk memikul tanggung jawab," kata al-Arabi dalam konferensi tentang Suriah yang diprakarsai Liga Arab
Al-Arabi juga mengecam pemerintah Suriah karena mengambil pilihan militer dan bukan penyelesaian politik, demikian laporan Xinhua.
"Liga Arab tak bisa berdiam diri dalam menghadapi kejahatan ini, tapi semua pengaturan yang diperlukan mesti disahkan guna menyelesaikannya, guna mencegah Suriah terperosok ke dalam perang saudara, yang akan mempengaruhi keamanan dan kestabilan di seluruh wilayah ini," katanya.
Konferensi Senin tersebut dihadiri oleh sebanyak 250 tokoh oposisi Suriah, menteri luar negeri dari Mesir, Kuwait, Irak dan Turki, dan wakil pengemban misi utusan PBB-Liga Arab Kofi Annan. Redaktur: Hafidz Muftisany. Sumber: Antara/Xinhua-Onana
AS Kerahkan Militan Al-qaidah ke Suriah'
Kamis, 26 Juli 2012, 07:41 WIB. http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/07/26/m7qskt-as-kerahkan-militan-alqaidah-ke-suriah
Suriah
REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Seorang analis politik terkemuka, Webster Griffin Tarpley, menyebut Amerika Serikat menghalalkan segala cara untuk mengambil alih kendali Suriah, termasuk mengerahkan militan teroris Al-qaidah.
"Obama telah mengerahkan pesawat mata-mata, ia kerahkan pasukan khusus, ia kerahkan pasukan reguler dan non-reguler termasuk Al-qaidah. Seluruh kelompok teroris di muka bumi kini telah direkrut oleh AS dalam strateginya," kata dia seperti dilansir Press TV, Kamis (26/7).
Menurut Tarpley, segala upaya yang telah dilakukan AS itu tidak membuahkan hasil. Karena terlalu fokus pada Suriah, Tarpley memandang AS telah mengacuhkan gerakan demokrasi di Bahrain dan Arab Saudi.
"Saya pikir penting artinya untuk mengalihkan perhatian pada Bahrain, Arab Saudi, Kuwait, Oman, dan Uni Emirat Arab, di mana terjadi reaksi terhadap kekuasaan monarki," imbuhnya.
Suriah dilanda kerusuhan sejak Maret tahun lalu menyusul maraknya aksi demonstrasi menentang rezim Presiden Bashar Al Assad. Negara-negara Barat menuding pemerintah melakukan pembunuhan terhadap para demonstran.
Sementara Damaskus gerakan pemberontakan tersebut didalangi oleh pihak-pihak asing.
Redaktur: Hazliansyah. Reporter: Adi Wicaksono. Sumber: Press Tv
'AS-Israel adalah Dalang Terorisme Dunia'Kamis, 26 Juli 2012, 06:09 WIB.
AS-Israel
REPUBLIKA.CO.ID, Seorang anggota parlemen Iran mengatakan Amerika Serikat dan sekutunya terutama Israel adalah sponsor utama terorisme di dunia.
"Perilaku intimidasi AS dan Eropa terhadap negara-negara yang bertekad independen bukan rahasia umum bagi siapa pun di dunia," kata Mousa Ghazanfarabadi, sebagaimana dilansir Fars News.
Anggota parlemen Iran Komisi Yudisial itu mengemukakan bahwa sikap standar ganda Amerika Serikat dan negara Barat lainnya berkaitan dengan isu-isu global sudah diketahui oleh banyak orang.
"Mereka tidak peduli dengan pelanggaran hak asasi manusia, dan membunuh orang di mana pun demi mempertaruhkan kepentingannya," tegas Ghazanfarabadi.
"Ketika memperkenalkan Iran sebagai (negara) teroris bagi dunia, AS sebenarnya sedang melancarkan hiperpropaganda untuk menutupi kejahatan yang dilakukannya di seluruh penjuru dunia, " tambahnya.
Ghazanfarabadi menekankan bahwa Pentagon menyelenggarakan program akademik cyberwar bagi pasukan militernya, yang sebenarnya merupakan bagian dari pelatihan terorisme terhadap negara lain.
Pada bulan Juni lalu, Washington Post mempublikasikan laporan bahwa AS dan bersama Israel menciptakan virus komputer Flame untuk memata-matai Iran.
US National Security Agency, CIA dan militer Israel bekerja sama untuk menciptakan virus Flame, tulis koran Amerika itu sebulan lalu.
Dan Raviv dan Yossi Melman, baru-baru ini menulis buku berjudul "Spies Against Armageddon: Inside Israel's Secret Wars" yang membongkar keterlibatan langsung agen Israel dalam teror terhadap ilmuwan nuklir Iran. Raviv dalam wawancara dengan televisi CNN mengungkapkan adanya unit khusus di Mossad yang disiapkan untuk meneror ilmuwan nuklir Iran. Raviv mengatakan, hingga kini Israel tidak pernah memilih jalan sanksi maupun perang terbuka, apalagi dialog dengan Teheran. Namun Tel Aviv memilih melancarkan operasi rahasia dan aksi teror terhadap Iran.
Wartawan CBS itu menegaskan bahwa agen spionase Israel dan AS bekerja sama dalam melumpuhkan program nuklir sipil Iran. Selain aksi teror terhadap ilmuwan Iran, mereka menyebarkan virus Stuxnet dan mengumpulkan informasi intelejen berkaitan dengan perkembangan nuklir Iran dan ilmuwannya.
New York Times juga mengungkapkan bahwa Presiden Obama diam-diam memerintahkan serangan cyber yang melibatkan virus komputer Stuxnet terhadap Iran untuk menyabotase program energi nuklir negara itu.
"Barack Obama secara pribadi menurunkan instruksi serangan cyber ke struktur sains dan industri Republik Islam Iran guna menghentikan program nuklir Tehran. Serangan ini telah dimulai sejak mantan Presiden George W. Bush berkuasa, namun ketika Obama memimpin AS serangan ini kian gencar dan sejumlah sektor aktivitas nuklir Iran juga terkena dampaknya," tulis New York Times. Redaktur: Endah Hapsari
Kamis, 26 Juli 2012
Hai’ah al Syam Al Islamiyah Kritik Pakta Nasional Versi Konferensi Oposisi Suriah
Hidayatullah.com--
Perjuangan dan revolusi rakyat Suriah tidak hanya lewat demonstrasi tanpa henti dan perjuangan bersenjata. Perjuangan untuk mendapatkan kebebasan juga ditempuh lewat jalur politik dan diplomasi. Baik itu dalam rangka konsolidasi internal/nasional, maupun dengan pihak-pihak di luar Suriah.
Termasuk dalam rangka konsolidasi nasional itu adalah perumusan tentang masa depan Suriah pasca revolusi. Salah satu di antara upaya tersebut adalah penyusunan Pakta Nasional oleh Konferensi Oposisi Suriah yang diselenggarakan di bawah naungan Liga Arab di Kairo pada 3 Juli 2012 silam.
Ironisnya, Pakta Nasional yang disepakati itu terang-terangan abai terhadap nilai-nilai Islam yang merupakan nafas revolusi sekaligus identitas sejati rakyat Suriah. Olehnya, Hai’ah al Syam al Islamiyah, sebuah badan revolusi yang berpusat di Suriah, mengeritik Pakta tersebut sekaligus membuka kepada publik Suriah dan masyarakat dunia terhadap misi tersebunyi yang dikandungnya.
Hai’ah al Syam al Islamiyah (Komite Islam Syam) menyorot beberapa pokok pikiran penting dari Pakta tersebut, antara lain:
(1) pemisahan agama dari identitas negara,
(2) pemberian jaminan terhadap kelompok-kelompok minoritas etnis maupun agama,
(3) hak bagi setiap warga negara untuk menduduki jabatan apa pun di pemerintahan, tanpa melihat etnis atau agamanya,
(4) penegasan terhadap kebebasan serta kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
(5) keharusan untuk menjamin segala hak tersebut dalam setiap undang-undang yang akan dibentuk.
Biro politik Hai’ah mengajukan uji kritis terhadap pokok-pokok pikiran itu, antara lain:
Pertama, terkait identitas negara. Hai’ah mengeritik Pakta yang telah mencoba “mencuri” kehendak rakyat lewat upaya sekularisasi negara dan, paralel dengan itu, mensubordinasikan syariat Islam. Hal itu tampak dari tidak adanya bagian dari Pakta yang menyebutkan Islam sebagai identitas negara. Padahal, undang-undang Suriah versi rezim Bashar yang sekarang saja menyebutkan otoritas referensi Islam bagi negara (pasal 3).
Pakta secara sengaja telah memarjinalkan relasi Suriah dengan dunia Islam lainnya, kecuali dalam konteks keterkaitan historis dan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan pada sisi yang lain, Pakta justru secara eksplisit menegaskan posisi Suriah sebagai bagian dari dunia Arab dan global.
Ketika menyebutkan posisi Suriah dalam konteks global, Pakta menyebutkan bahwa “Suriah merupakan bagian dari sistem global, dia adalah anggota pendiri PBB dan organisasi-organisasi cabangnya.”
Kontras dengan itu, posisi Suriah dalam konteks dunia Islam hanya “terikat dengan bangsa-bangsa Islam lainnya oleh sejarah yang sama dan nilai-nilai kemanusiaan yang dibangun di atas risalah agama-agama.”
Padahal, proyek penting rezim otoriter al Assad selama kurang lebih setengah abad berkuasa adalah sekularisasi. Dan, rezim bersama proyeknya itulah yang kini sedang dan masih terus dilawan oleh rakyat lewat revolusi dan perjuangannya. Revolusi, jihad dan pengorbanan rakyat Suriah, sebagaimana jelas dalam yel-yel dan resolusi revolusi, adalah demi dan untuk Allah subhanahu wata’ala.
Kedua, kewarganegaraan dan isu minoritas dalam masyarakat Suriah. Salah satu karakter masyarakat Suriah adalah keberagaman kelompok masyarakat dan agama. Tidak dapat dipungkiri hak setiap kelompok agama untuk bebas menjalankan ritual agamanya, sebagaimana syariat Islam menjamin hal tersebut. Setiap kelompok etnis juga berhak mempertahankan kekhasan budaya dan bahasanya, dalam konteks negara Suriah yang satu.
Masyarakat Suriah tidak pernah menggunakan istilah “minoritas” terhadap kelompok masyarakat sosial dan agama manapun di dalamnya. Penjajah Prancislah yang kelak menanamkan benih konflik, lewat pembentukan negara-negara kecil yang berdasarkan sekte dan aliran. Upaya yang terbukti a historis dan kontra produktif. Masalahnya, justru upaya itulah yang kini terus diintodusir oleh negara-negara dunia terhadap Suriah.
Bagi Hai’ah, diskursus jaminan terhadap kelompok minoritas tersebut terlalu dipaksakan, bahkan sebenarnya tidak perlu. Berabad-abad kehidupan sosial di Suriah, kelompok minoritas tidak pernah mendapatkan ancaman apa pun dari pihak mayoritas.
Sebaliknya, pihak yang seharusnya mendapatkan jaminan adalah mayoritas. Kelompok yang selama ini dominan merasakan pahitnya kebijakan otoriter-militeristik rezim. Kelompok yang paling banyak berkorban dan menderita, di depan mata masyarakat dunia.
Dan salah satu hak penting mayoritas yang tak boleh dibiarkan begitu saja adalah pengakuan masyarakat dunia terhadap identitas mereka. Bila tidak, maka yang terjadi adalah tirani minoritas, yang mana esensinya adalah perlakuan khusus terhadap kelompok minoritas. Kondisi yang terbukti telah “sukses” merusak tatanan kehidupan masyarakat Suriah selama ini.
Visi untuk menjamin kehidupan yang stabil terletak pada pemenuhan hak mayoritas, yang inheren dengan identitas Arab-Islam.
Dalam penilaian Hai’ah, upaya untuk memaksakan hegemoni minoritas terhadap mayoritas dalam sebuah negara hanya akan berujung pada intimidasi yang sesungguhnya.
Sebab itulah jalan satu-satunya bagi minoritas untuk melanggengkan kekuasaannya. Itulah fakta yang terjadi di Suriah selama ini, dan berakibat pada lahirnya revolusi dan perlawanan. Dosa lama yang tak boleh terulang kembali.
Ketiga, kriteria pemimpin negara. Pakta tersebut menyebutkan bahwa “setiap warga negara berhak menduduki kedudukan apa pun dalam pemerintahan, termasuk presiden, tanpa melihat agama atau rasnya, pria ataupun wanita.”
Hai’ah memandang bahwa jabatan dalam pemerintahan seharusnya mampu menggambarkan sekaligus memelihara identitas bangsa. Sehingga upaya untuk memaksakan jatah atau porsi tertentu secara sektarian terhadap jabatan dalam pemerintahan dengan klaim “persamaan” atau “pemeliharaan terhadap hak minoritas” dsj. sama sekali jauh dari prinsip keadilan dan kebijaksanaan. Politik tersebut justru akan kontra produktif serta merupakan pemicu permanen friksi dan konflik dalam masyarakat.
Keempat, hak perempuan. Pemerintahan sektarian al Assad selama ini telah merampas hak tersebut. Kadang dengan pemaksaan dan upaya sistematis untuk melepaskan identitasnya sebagai muslimah dengan dalih kebebasan dan kemajuan. Kadang pula dengan memasukkan perempuan Suriah dalam situasi yang tidak alami dengan dalih kebebasan dari keterbelakangan. Di lain waktu, rezim menggunakan power-nya dengan klaim perang melawan terorisme.
Bagi Hai’ah, perjuangan membebaskan perempuan Suriah dari cengkeraman rezim otoriter al Assad adalah bagian penting dan tak terpisah dari revolusi dan perjuangan pembebasan rakyat secara keseluruhan. Namun, pembebasan tersebut sudah seharusnya mengakomodasi kekhasan serta identitas keislaman perempuan Suriah. Bukan justru dengan memaksakan “standar impor” milik asing di bawah slogan “penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.”
Kelima, asas-asas di atas undang-undang. Bagian paling krusial dari Pakta Nasional itu adalah upaya “pemaksaan” implementasi isi Pakta tersebut. Hal tersebut terjadi dengan pemberian “legalitas permanen” terhadap Pakta, yang mengikat segala undang-undang yang akan disusun oleh Suriah yang baru.
Faktanya, “pemaksaan” tersebut dilakukan justru di saat rakyat Suriah masih sibuk melawan kekuatan rezim otoriter yang tersisa. Sehingga Pakta tersebut belum pernah dibuka ke publik rakyat Suriah, alih-alih menyetujui atau menerimanya. Dengan kata lain, Pakta tersebut tidak lebih merupakan upaya untuk merampas hak rakyat dan pemaksaan terhadap satu pendapat tertentu.
Bagi Hai’ah, upaya untuk merampas hak rakyat untuk menentukan masa depan serta menyusun undang-undang mereka sendiri, “di bawah ketiak” organisasi-organisasi dunia yang ada, telah membuka kedok klaim imajiner kebebasan dan demokrasi. Terlebih lagi bila pihak yang melakukan itu tidak memiliki legalitas apa pun, bukan pula dipilih oleh rakyat Suriah.*
Berita ini hasil kerjasama antara hidayatullah.com dengan Majalah Internasional Al Bayan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar