Soebandrio: Kesaksianku Tentang G30S (BAB IV)
May 6, 2009 BAB 4 : BIO-DATA & KUASA BERPINDAH (Tamat)KARIR SAYA
Jika ada yang bertanya: lantas mengapa PKI dituduh sebagai dalang
G30S? Makasaya akan balik bertanya: siapa yang menuduh begitu? Jika PKI
mendalangi G30Satas inisiatif Aidit, makaIndonesia bakal menjadi lautan
darah. Bukan hanya banjirdarah seperti yang sudah terjadi. Betapa ngeri
memb ayangkan PKI dengan 3 jutaanggota didukung 17 juta anggota
organisasi onderbouwnya berperang melawantentara yang hanya ratusan
ribu. Bila genderang perang benar-benar ditabuh, alangkah hebat
pertempuran yang terjadi.
Namun seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan perlawanan berarti
pada saatdibantai. Itu karena tidak ada instruksi melawan. Aidit malah
lari dan lantas ditembak mati. Bung Karno – yang juga bisa menjadi
panutan PKI – tidak memerintahkan apa-apa. Lantas saya dituduh PKI.
Tuduhan atau stigma terlibat PKI bukan hanya saya terima sendirian.
Banyak tokoh yang tidak disukai oleh Soeharto dituduh PKI. Ini
bertujuan politis, agar kekuasaan Soeharto langgeng. Bagi saya tuduhan
itu lebih keji lagi. Saya tidak hanya dituduh PKI, tapi juga dilontarkan
julukan yang menyakitkan hati. Saya dijuluki Durno.Target penghancuran
diri saya oleh kelompok Soeharto sebenarnya hanya sasaran antara. Tujuan
utamanya adalah menjatuhkan Bung Karno. Seperti sudah saya
sebut, skenario Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada 4 tahap:
1. menyingkirkan para perwira yang menjadi saingan beratnya, seperti A Yani dan Nasution (ini terwujud di G30S)
2. melikuidasi PKI, partai besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno (initerlaksana setelah PKI dituduh mendalangi G30S).
3. memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya (ini tercapai saat menangkapi 15menteri – termasuk saya – sekitar sepekan setelah keluar surat perintah 11 Maret 1966).
4. Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan cara seolah-olah konstitusionil melalui ketetapan MPRS.
2. melikuidasi PKI, partai besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno (initerlaksana setelah PKI dituduh mendalangi G30S).
3. memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya (ini tercapai saat menangkapi 15menteri – termasuk saya – sekitar sepekan setelah keluar surat perintah 11 Maret 1966).
4. Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan cara seolah-olah konstitusionil melalui ketetapan MPRS.
Nah, saya termasuk sasaran antara tahap ke-3. Saya bersama 14 menteri
ditangkap tanpa alasan jelas. Mula-mula saya ditangkap dengan cara sopan
oleh tentara: Maaf, pak, kami diperintahkan agar mengamankan Bapak dari
kemungkinan amukan rakyat, kata tentara yang menangkap saya. Lantas, kami
15 menteri dikumpulkan di suatu ruangan sekitar Senayan. Beberapa hari
kemudian baru kami menyadari bahwa kami bukan diamankan
tapi ditangkap.Para tentara itu mulai bertindak kasar. Akhirnya kami
dipenjarakan. Untuk menghancurkan nama baik kami, Soeharto menuduh kami
teribat PKI. Bahkan menambahi saya dengan julukan Durno. Kami dihinakan
dan tersiksa lahir dan batin di penjara demi tujuan Soeharto meraih
kekuasaan.
Saya memang pernah aktif dalam organisasi politik tapi di PSI (Partai
SosialisIndonesia ). Kalau di PKI, saya sama sekali bukan anggota atau
simpatisan,walaupun pada saat saya masih di puncak kekuasaan dengan
merangkap tiga jabatansangat penting, orang-orang PKI banyak mendekati
saya. PKI juga mendekati BungKarno. Malah, anggota dan pimpinan PKI ada
yang menjadi anggota kabinet, bahkananggota ABRI.Agar lebih jelas, saya
paparkan sekilas biografi saya. Saya lahir di Kepanjen (selatanMalang ),
Jatim, 15 September 1914. Ayah saya, Kusadi, adalah Wedono Kepanjen.
Ibu saya, Sapirah, adalah ibu rumah tangga biasa. Saya adalah anak kedua
dari enam bersaudara.
Saya dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk ukuran posisi
ayah di desakecil Kepanjen saat itu, keluarga kami cukup terhormat. Masa
kanak-kanak sayahabiskan di Kepanjen. Saya sekolah di SR (Sekolah
Rakyat setingkat SD) disana .Lulus SR, saya masuk MULO (setingkat SMP)
di Malang. Sebab, saat itu di Kepanjenbelum ada sekolah MULO. Lulus MULO
saya lanjutkan ke AMS tahun 1928. Sayamasuk sekolah terlalu dini,
sehingga pada usia 14 tahun saya sudah tamat AMS.Tamat AMS, saya memilih
melanjutkan ke sekolah kedokteran diJakarta . Tempatnyadi Jalan Salemba
yang kemudian berubah menjadi UniversitasIndonesia . Saat itu saya
memang ingin menjadi dokter – sebuah keinginan yang bisa dibilang muluk
untuk ukuran rakyatIndonesia saat itu. Anak-anak rakyat biasa saat itu
paling tinggi hanyasekolah SR. Saya bisa ke sekolah lanjutan, sebab ayah
saya merupakan petinggi,walaupun hanya petinggi desa.
Tetapi, darilima saudara saya, hanya saya yang paling menonjol di
sekolah, sehinggabisa melanjutkan sampai ke sekolah kedokteran. Semasa
sekolah kedokteran, sayabanyak kenal dengan para pemuda pejuang,
termasuk Bung Karno. Saya sering ikutdiskusi-diskusi mereka. Darisana
saya juga dikenal para pemuda pejuang itu. Sayasendiri menjadi tertarik
bergaul dengan mereka.Saya menyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal,
yakni tujuh tahun. Tercapailah keinginan saya menjadi dokter. Lantas saya
mengambil brevet dengan spesialisasibedah perut. Saya selesaikan ini
dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka, padatahun 1938 saya sudah
mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itu jumlah dokter umum masih
sangat jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidak salah, dokter ahli
bedah hanya ada lima orang. Tiga dari Jakarta , termasuk saya, dua
dari Surabaya (Universitas Airlangga).
Sebelum lulus, tahun 1936 saya menikah dengan Hurustiati, seorang mahasiswi tapibeda fakultas dengan saya. Ketika saya sudah lulus, ia masih kuliah. Usia kami hanyaberbeda beberapa tahun. Saya sedikit lebih tua.Begitu lulus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter diSemarang (sekarang RS Dr. Karjadi). Hanya beberapa bulan kemudian saya dipindahkan keJakarta (sekarang RS Dr. Cipto Mangunkusumo). Ahli bedah disana saat itu hanya dua orang, termasuk saya. Untuk menyalurkan hobi berdiskusi saat mahasiswa, saya masuk PSI. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, pada 1940 saya sudah menjadi wakil ketua PSI.
Akhirnya saya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak praktek
pribadi. Sepanjanghidup saya juga tidak pernah praktek dokter pribadi.
Karir saya di kedokteran selesai sampai di situ, sebab saya jenuh dengan
pekerjaan yang menurut saya monoton. Saya lebih tertarik berorganisasi.
Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaandikumandangkan oleh Bung Karno.
Sekitar tahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi wakil
pemerintah Indonesia di Inggris, berkedudukan diLondon . Penunjukan itu
tiba-tiba saja. Tidak melalui proses, misalnya, menjadi pegawai negeri
dulu. Mungkin karena saat itu jumlah manusia tidak sebanyak sekarang.
Dan, penunjukan Presiden Soekarno langsung saya terima. Istri saya juga
setuju.
Ini sebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaanIndonesia belum
diakui PBB.Sehingga saya tidak dipanggil duta besar, baik di Indonesia
maupun di Inggris. BungKarno hanya menyebut jabatan saya: Wakil
Pemerintah Indonesia di Inggris. Sebelum berangkat ke London, saya
was-was. Tetapi setelah di Inggris, keberadaansaya ternyata diterima
oleh Pemerintah Inggris. Memang tidak ada penyambutan saat saya datang.
Saya juga tidak membayangkan akan disambut. Lantas saya membuka kantor
di London. Inilah embrio Kedutaan Besar RI untuk Inggris. Dan, itulah
awal saya meniti karir di pemerintahan. Jika banyak orang menempati
jabatan Dubes sebagai pos buangan, saya malah memulai karir dari pos
itu.Tahun 1950 baru saya disebut Duta Besar RI untuk Inggris
berkedudukan di London. Bagi saya sebenarnya tidak ada perubahan. Hanya
sebutannya saja yang berubah. Namun, kemudian reaksi pemerintah Inggris
terhadap keberadaan saya di sana secara bertahap berubah ke arah
positif. Saya sering diundang ke acara-acara kerajaan, sebagaimana
diperlakukan terhadap para duta besar dari negara-negara merdeka
lainnya.
Dari seringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu saya sering
berdekatandengan Ratu Elizabeth. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya
bahwa berdekatan dengan Ratu Elizabeth kelak bisa menyelamatkan nyawa
saya dari eksekusi hukuman mati yang tinggal menunggu hari (soal ini
sudah diungkap di muka). Saya hanya menjalankan tugas negara. Dan, dalam
menjalankan tugas, antara lain, harus menghadiri acara-acara seremonial
tersebut. Pada tahun 1954 Presiden Soekarno menarik saya dari London,
dan memindahkan saya ke Moskow. Resminya jabatan baru saya adalah Duta
Besar RI untuk Uni Soviet di Moskow. Dua tahun di sana, lantas saya
diperintahkan pulang ke Jakarta. Tiba di tanah air saya ditunjuk oleh
Presiden menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar negeri,
menggantikan Roeslan Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlu
menggantikan Ali Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali turun
jabatan menjadi Dubes RI untuk AS di Washington.
Setahun kemudian saya dipanggil oleh Bung Karno. Setelah menghadap,
Bung Karnoberkata demikian: Bandrio, kamu saya tunjuk menjadi Perdana
Menteri. Saya kaget.Itu merupakan suatu loncatan jabatan yang luar biasa
– dari Sekjen Deplu menjadiPerdana Menteri. Menanggapi ini saya
mengatakan, minta waktu berpikir. Sesungguhnya saya menolak tawaran itu.
Saya merasa tidak enak dengan para seniorsaya.
Memang, saya merasa Bung
Karno menaruh simpati pada saya. Tolok ukurnyaadalah bahwa Bung Karno
sering menugaskan saya membuat naskah pidatonya.Bahkan, pada suatu hari
Bung Karno berpidato di Markas PBB. Sebelum tampil Bung Karno meminta
saya membuatkan naskah pidato, padahal saya di Jakarta. Namun, tugas itu
tetap saya laksanakan. Walaupun saya jarang bertatap muka dengan
BungKarno, terasa sekali dia bersimpati pada saya. Tapi, saya merasa
belum mampu menjadi Perdana Menteri. Apalagi saya belum lama pulang ke
tanah air, sehingga saya kurang memahami perkembangan situasi terakhir.
Menolak tawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas jalan keluarnya
adalah bahwasaya bicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya minta tolong
Suwito menghadap BungKarno, untuk menyampaikan keberatan saya. Sambil
menyampaikan ini iamengusulkan nama Djuanda. Ternyata Bung Karno setuju.
Jadilah Djuanda PerdanaMenteri. Untuk menjalankan tugasnya dia dibantu
oleh presidium yang disebut Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Ada dua
Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid dan Waperdam-II Hardi.
Selanjutnya saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan.Setelah Djuanda
meninggal dunia, tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno – saya sendiri,
Menteri Pangan Leimena, dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh.
Tujuannya adalah untuk mencari pengganti Djuanda dari tiga menteri ini.
Proses pemilihannya unik sekali, sehingga tidak saya lupakan. Bung Karno
memberi kami masing-masing tiga batang korek api. Semula kami bingung.
Bung Karno menyatakan bahwa ini pemilihan yang adil dan demokratis.
Masing-masing diberi sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan
(karena sudah dipatahkan oleh Bung Karno), dan setengah batang dengan
pentolan (juga sudah dipatahkan sebelumnya). Bung Karno meletakkan
sebuah kantong di meja. Cara permainannya, batang korek utuh merupakan
simbol saya, setengah batang tanpa pentolan menjadi simbol Leimena, dan
setengah batang dengan pentolan mewakili Chaerul. Bung Karno minta,
masing-masing memilih satu saja untuk dimasukkan ke dalam kantong. Saat
memasukkan korek ke kantong, tangan harus menggenggam supaya tidak
diketahui yang lain.
Pemilihan pun dimulai. Saya memasukkan setengah batang korek tanpa
pentolan. Artinya, saya memilih Leimena. Lantas disusul Leimena dan
Chaerul. Meskipun bentuknya sangat sederhana, tetapi inilah pemilihan
Perdana Menteri Indonesia. Suasana hening. Bung Karno memandang
masing-masing menteri yang memasukkan korek ke sebuah kantong. Sampai
semuanya menggunakan hak pilihnya.
Apa yang terjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan isi kantong itu
secara blak-blakan. Yang tampak: sebatang korek utuh, setengah batang
tanpa pentolan, dan setengah batang dengan pentolan. Lengkap. Bung Karno
geleng-geleng kepala. Hasil suara seimbang untuk tiga kandidat. Pemilihan
macet. Kami saling memandang satu sama lain. Lantas kami saling terbuka.
Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilih saya, Chaerul pilih dirinya
sendiri. Leimena kemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana
Menteri. Alasannya, Indonesia butuh perhatian penuh di bidang luar
negeri. Terutama menyangkut Irian Barat yang statusnya belum jelas. Untuk
itu perlu diplomasi internasional. Orang yang tepat adalah Soebandrio,
ujarnya. Bung Karno ternyata setuju dan memanggil ajudannya Brigjen Sabur
untuk menuliskan keputusan di kertas kop kenegaraan.
Sebelum terlaksana, saya minta bicara. Saya katakan, tidak perlu
merombak kabinet.Sebaiknya Bung Karno selain Presiden juga Perdana
Menteri didampingi oleh paraWaperdam. Nah, Waperdamnya adalah kami
bertiga. Bung Karno juga setuju. Lalu Leimena main tunjuk, saya
Waperdam-I, Leimena Waperdam-II, Chaerul Waperdam-III. Hebatnya, tanpa
banyak bicara lagi semuanya sepakat. Tidak lama kemudian saya dibebani
satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka, saya merangkap tiga jabatan.
Semakin jelas bahwa Presiden mempercayai saya. Walaupun cukup berat,
namun saya laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya masih sempat
melaksanakan ibadah haji. Sebagai imbalan, selain digaji, saya juga
diberi rumah cukup di Jalan Imam Bonjol 16, Menteng, Jakarta Pusat.
Untuk ukuran saat itu rumah tersebut sudah cukup mewah. Di rumah itu
pula saya memiliki perpustakaan. Kelak perpustakaan saya ini dihancurkan
oleh penguasa Orde baru.Tahun 1958 anak saya yang pertama lahir, dan
kami beri nama Budojo. Ternyata hanya itu anak saya, sebab dia tidak
punya adik lagi.
Saat saya menjadi pejabat tinggi negara, ada yang unik. Saya menjadi
tukang khitan beberapa anak pejabat. Ceritanya, para pejabat itu tahu
bahwa saya adalah dokter ahli bedah. Saat itu sudah banyak dokter ahli
bedah. Tapi, entah mengapa mereka minta tolong saya untuk mengkhitankan
anak mereka. Ada beberapa anak pejabat yang sudah saya khitan. Saya
hanya menolong mereka dengan ikhlas. Sejak mengundurkan diri dari RS,
saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapa teman menyayangkan
bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu jumlah dokter masih
sedikit. Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalam
kancah politik, saya tinggalkan bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai
dengan bidang pendidikan saya itu. Ya, saya harus memilih, dan saya sudah
menentukan. Jadinya, saya hanya menjadi tukang khitan anak pejabat.
Sepanjang saya menjadi pejabat tinggi negara, memang ada beberapa
tokoh PKI yang akrab dengan saya. Sebagai pejabat tentu saya akrab
dengan pimpinan PKI, DN Aidit. Juga dengan beberapa tokoh PKI lainnya.
Tetapi, saya tidak masuk ke dalam keanggotaan partai itu. Saya juga tidak
aktif di PSI, sejak menjadi pejabat negara. PKI saat itu adalah partai
besar. Mereka tentu memiliki ambisi politik tertentu, sehingga mereka
tidak hanya mendekati saya, tetapi juga pejabat tinggi negara lainnya,
termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk ke dalam jajaran
kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang partai besar
dan legal. Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI.
Sebagai gambaran, salah satu partai besar saat ini (tidak perlu saya
menyebutnamanya) menempatkan tokohnya di jajaran kabinet. Bahkan, ada
yang masuk kejajaran ABRI. Bukankah itu hal yang wajar? Dan, kalau para
pimpinan partai itumendekati pimpinan puncak, presiden dan orang-orang
terdekatnya, juga wajar.Kondisinya berubah menjadi tidak wajar setelah
partai tersebut dinyatakan sebagaipartai terlarang. Itulah PKI.Saat G30S
meletus – seperti sudah saya sebutkan di muka – saya sedang bertugas
diMedan. Kami keliling daerah untuk memantapkan program-program
pemerintah.Begitu saya diberitahu oleh Presiden Soekarno, saya langsung
pulang, dan tiba diistana Bogor bergabung dengan Presiden Soekarno pada 3
Oktober 1965. Setelah itukondisi negara tidak menentu. Presiden
Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto di Istana Bogor sejak 2 Oktober
1965.
Sejak itu pula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan propaganda
bahwa G30Sdidalangi oleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak mati di Jawa
Tengah. Namun muncul pengakuan tertulis Aidit – yang sangat mungkin
merupakan rekayasa – bahwa ia yang mendalangi G30S. beberapa tokoh PKI
lainnya juga ditembak mati, tanpa proses pengadilan. Semua ini adalah
cara untuk membungkam PKI, agar tidak bicara.
Memang, pada 1 Oktober 1965 Aidit berada di Halim, pusat pasukan G30S
berkumpul. Namun, saya dengar istri Aidit mengatakan bahwa pada tanggal
30 September 1965, malam hari, Aidit diculik dan dibawa ke Halim. Aidit
terbang keYogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan
Halim. Saya sangat yakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya ingat saat
saya dan Aidit sama-sama menjenguk Bung Karno yang sedang sakit. Setelah
saya periksa, Bung Karno ternyata hanya masuk angin. Tetapi, disebarkan
isu bahwa Bung Karno sedang sakit berat, paling tidak bisa lumpuh. Isu
tersebut merupakan propaganda yang ditujukan untuk konsumsi publik di
luar PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui, karena Aidit bersama saya
menjenguk Bung Karno. Propaganda itu bertujuan untuk memberi alasan
keterlibatan PKI dalam G30S. Propaganda itu akan membangun opini public
bahwa PKI bergerak merebut kekuasaan sebelum didahului oleh pihak
lain, mengingat sakit kerasnya Bung Karno.
Yang mengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang didatangkanoleh Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta, Dokter Leimena, dan saya sendiri. Tanpaberniat membela Aidit, saya yakin bahwa bukan Aidit yang mendalangi PKI, sebabsaya tahu persis. Kalau Aidit mendukung pembunuhan anggota Dewan Jenderal,memang ya. Dalam suatu kesempatan, saya dengar Aidit mendukung gerakanmembunuh anggota Dewan Jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Sebab, kalau sampai Presiden terguling oleh kelompok militer, maka nasib PKI selanjutnya bakal sulit.
Tetapi, Aidit hanya sekadar mendukung dalam bentuk ucapan saja.
Tetapi akhirnya propaganda Soeharto melalui media massa sukses. Kesan
bahwa PKI mendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya
dengan cerita pembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok
Gerwani yang menari- nari sambil menyiksa para jenderal. Dikabarkan
bahwa mata para jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya
disayat-sayat. Penyiksaan keji ini diberi nama Upacara Harum Bunga –
suatu nama yang sangat kontras dengan kekejiannya.Sungguh suatu cerita
yang mengerikan.Cerita ini diperkuat dengan pengakuan seorang wanita
bernama Jamilah dan kawan-kawan yang mengaku sebagai orang Gerwani. Saya
tidak tahu, siapa Jamilah itu.Tetapi cerita ini dipublikasikan oleh
pers yang sudah dikuasai Soeharto. Dalamsekejap kemarahan rakyat
terhadap PKI tersulut.
Padahal, cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti,
setelahSoeharto tumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal
dulu bicara ditelevisi: mayat para jenderal itu utuh, Sama sekali tidak
ada tanda-tanda penyiksaan.Memang kulit mayat terkelupas, tetapi
berdasarkan penelitian, itu karena mayattersebut terendam di dalam air
(sumur) selama beberapa hari.
Saya bukan PKI. Memang, saya pernah menyerukan penghentian
pembantaianterhadap pimpinan dan anggota PKI oleh AD pada pertengahan
Oktober 1965. Itusaat-saat awal PKI dibantai. Seruan saya ini atas
perintah Presiden Soekarno yangtidak menghendaki pertumpahan darah. Bung
Karno saat itu masih memegangkendali. Beberapa jam setelah G30S
meletus, ia memerintahkan agar semua pasukanbersiap di tempatnya. Jangan
ada yang bergerak di luar perintah Presiden. Sebab, pada dasarnya Bung
Karno tidak menghendaki pertumpahan darah. Namun perintah Presiden tidak
digubris. Seruan saya juga tidak dihiraukan. Pambantaian PKI terus
berlangsung.
Malah, sejak itu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah
ditugaskan diMoskow. Saya juga pernah ditugaskan berkunjung (sebagai
Menlu) ke Beijing, RRCdan diberi tawaran bantuan senjata gratis oleh
pimpinan RRC. Sedangkan Moskowdan Beijing adalah poros utama komunis.
Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itu lantas saya dicap
pro-PKI. Saya sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidak dapat berbuat
banyak menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah semua itu karena saya
menjalankan tugas negara?
Saya merasa cap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI
dibantai habis-habisan. Pada Sidang Kabinet 11 Maret 1966 di Istana
Negara saya menjadi incaranpembunuhan tentara, meskipun saat itu saya
masih pejabat tinggi negara. KetikaIstana Negara dikepung oleh pasukan
Kostrad pimpinan Kemal Idris dibantu olehpasukan RPKAD (kelak berubah
menjadi Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelassaya diincar. Dari laporan
intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersamapasukannya akan
membunuh saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapi akhirnya saya
lolos.
Beberapa hari setelah itu baru 15 menteri ditangkap, termasuk saya.
Jika sebelumnya cap pro-PKI terhadap diri saya tidak terbuka, sejak saya
ditangkap cap itu semakin menyebar secara luas. Malah, Soeharto
menambahi julukan baru bagi saya: Durno. Sebagai orang Jawa, tentu saya
sangat sakit hati diberi julukan itu. Sebab, Durno adalah tokoh culas
dalam pewayangan. Durno suka mengadu-domba. Soal julukan ini saya tidak
tahu bagaimana asal-usulnya. Yang tahu tentu hanya Soeharto. Tetapi, ini
memang bagian dari penghancuran diri saya sebagai pengikut setia Bung
Karno. Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelah saya ditahan,
setelah Bung karno mendekati ajal politiknya.
Di dalam penjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau
disiksa mental,sudah jelas. Interogasi tak habis-habisnya hanya untuk
tujuan menjatuhkan mental.Sebagai mantan pejabat tinggi negara, saat itu
mental saya sudah jatuh. Daripemegang kekuasaan negara berubah menjadi
orang tahanan. Mungkin sayamengalami depresi. Istri saya tentu mengalami
hal yang sama. Anak saya satu-satunya masih kecil.
Saya diadili di Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan
buat sayabukan sebagai PKI atau terlibat G30S. Sama sekali tidak
menyinggung dua hal pokokitu. Padahal, saya sudah dicap pro-PKI. Saya
sudah dijuluki Durno. Saya diadili karena ucapan saya bisa menimbulkan
kekacauan saat saya berkata:
Kalau ada teror, tentu bakal muncul kontra-teror. Beberapa setelah
G30S meletus,para pemuda yang dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno
diadili. Merekadidukung oleh AD untuk melakukan demonstrasi dan
melancarkan teror bagi BungKarno serta para pendukungnya. Suatu saat
saya mengatakan, jika ada teror (dari para pemuda) maka bakal muncul
kontra-teror (entah dari mana).
Nah, ucapan saya ini dinilai bisa memancing kekacauan. Saya dituduh
melakukansubversi. Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi
hukuman mati. Benar-benar pengadilan sandiwara. Mereka gagal membunuh
saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka
bisa membunuh saya secara’konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini.
Naik banding dan kasasi saya tempuhsekadar semacam reflek menghindari
kematian. Namun upaya hukum itu percuma.Sebab, pengadilannya saja sudah
sandiwara. Dan, pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S dan
PKI di awal kepemimpinan Soeharto, kemudian berdampak sangat buruk bagi
Indonesia.
Sejak itu sampai sekarang, pengadilan sandiwara merupakan hal lumrah.
Pengadilan sandiwara kasus seputar G30S merupakan semacam yurisprudensi
(rujukan) bagi serentetan amat panjang pengadilan sandiwara berikutnya.
Moral aparat hukum rusak berat. Pengadilan berbagai kasus
di-subversi-kan berikutnya: Tanjung Priok, Lampung, demonstrasi
mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diadili dengan
pengadilan sandiwara merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus korupsi.
Salah menjadi benar, benar menjadi salah. Ini sama sekali bukan
pelampiasan dendam saya terhadap Soeharto. Tak kurang Presiden KH
Abdurrahman Wahid (tidak ada hubungannya dengan saya) sampai melontarkan
pernyataan bahwa seluruh hakim Jakarta akan diganti dengan hakim impor.
Di dalam penjara, awalnya saya mengalami depresi. Kesalahan saya
satu-satunyaadalah menjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian
saya tidak menyesalmenjadi pengikut setia Bung Karno, sebab itu sudah
menjadi tekad saya. Dan, inimerupakan risiko bagi semua orang yang
berkecimpung di bidang politik. Saya masuk sel isolasi, terpisah dengan
napi lain. Meskipun saya tidak disiksa fisik, namun direkayasa
sedemikian rupa sehingga batin saya benar-benar tersiksa. Kondisi
penjara yang sangat buruk, suatu saat membuat perut saya terluka dan
mengalami infeksi. Saya tahu, itu obatnya sederhana saja. Tetapi,
pemerintah tidak menyediakan.
Luka saya dibiarkan membusuk digerogoti bakteri. Ketika luka saya sudah benar-benar parah (berulat), baru diberi obat. Rupanya pemberian obat yang terlambat itumemang disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh. Namun sampai kini seringkambuh, rasa nyeri luar biasa. Di dalam, saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau teman (baru beberapa tahun kemudian dibolehkan). Satu-satunya bacaan saya adalah ayat suci Al-Qur’an. Tetapi, bacaan ini seperti mengembalikan saya pada suasana masa kanak-kanak yang agamis. Saya malah mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak saya rasakan ketika saya menjadi pejabat tinggi negara.
Akhirnya saya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi
negaraadidaya, AS dan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur hidup.
Tetapi sayatetap ditempatkan di sel isolasi mulai dari Salemba (Rutan
Salemba), LP Cimahi,sampai LP Cipinang. Pada tahun 1978 anak saya Budojo
meninggal dunia karena serangan jantung. Ibunya benar-benar mengalami
depresi berat. Sejak saya dihukum, hanya Budojo yang membuat ibunya
tabah menghadapi cobaan. Saya bisa membayangkan, betapa isteri saya
hidup nelangsa. Dari seorang istri pejabat tinggi negara, mendadak
berubah menjadi ‘istri Durno’, disusul anak satu-satunya pun meninggal
dunia. Maka, beberapa bulan kemudian istri saya menyusul Budojo,
berpulang ke rahmatullah.
Tinggallah saya sendiri. Tetap kesepian di penjara. Tidak ada lagi
yang menjenguk.Tetapi, diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati pada
saya. Dia adalah mantan isteri Kolonel Bambang Supeno. Bambang adalah
perwira tinggi AD yang ikut mendukung G30S atas instruksi Soeharto.
Namun, seperti nasib perwira pelaku G30S lainnya, Bambang dihukum dan
akhirnya meninggal dunia. Istrinya, SriKoesdijantinah, janda dengan dua
anak, lantas bersimpati pada saya. Kami akhirnyamenikah di LP Cipinang
pada tahun 1990. Saya sangat kagum pada Sri yang relamenikah dengan
narapidana. Sangat jarang ada wanita setulus dia.Kini hidup saya tidak
sendiri lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus,tetapi setiap
pekan ada lagi orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong.Sri
muncul di saat semangat hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia
membawakan saya nasi rawon kesukaan saya. Juga dua orang anak Sri sangat
perhatian. Kepada saya. Sebagai sesama korban Soeharto, kami menjadi
bersatu. Saya lantas menjadi sadar bahwa bukan hanya saya korban
kekejaman Soeharto. Ada banyak korban lain yang jauh lebih sengsara
dibanding saya. Sri benar-benar membuat hidup saya bersinar kembali.
Pada tanggal 16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya pulang bersama Sri
dan anak-anak. Kami menempati rumah besar di Jalan Imam Bonjol 16 yang
dulu saya tinggalkan. Saya seperti bangun tidur di pagi hari. Saya
seperti baru saja bermimpi, 30 tahun dalam kegelapan di penjara. Saya
seperti menemukan hari baru yang cerah.Saya bersujud syukur
alhamdulillah, masih diberi kesempatan menghirup udarabebas.
Setahun menempati rumah itu, kami merasa kewalahan. Biaya
perawatannya sangatmahal. Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan
tinggi swasta, honor Sri tidakseberapa. Apalagi saya, penganggur tanpa
penghasilan. Tiga jabatan sangat pentingsaya di zaman Presiden Soekarno
tidak dihargai sama sekali. Saya tidak diberi uang-pensiun. Akhirnya kami
menjual rumah besar itu. Sebagai gantinya, kami membeli rumah lebih
kecil di Jakarta Selatan. Setelah Soeharto tumbang, banyak orang datang
kepada saya, menganjurkan saya membuat memoar. Saya sesungguhnya tidak
tertarik. Selain tidak memiliki persiapan yang matang, juga tidak ada
gunanya bagi saya mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Toh saya
sudah menjalani hukuman 30 tahun. Toh saya sudah menerima hinaan disebut
Durno, PKI, dan sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah
legowo. Usia saya sudah senja. Tinggal meningkatkan amal soleh dan
ibadah, sebagai bekal menghadap Sang Khalik, suatu saat nanti. Apalagi
Soeharto akhirnya tumbang juga. Kalau saya mengungkap masa lalu, saya
bisa larut dalam emosi. Maka, anjuran itu tidak saya turuti.
Namun, teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun luar negeri terus
menghubungi saya, baik melalui telepon maupun bertemu langsung.
Merekamengatakan, sejarah G30S sudah dibengkokkan. Kata mereka, saya
harus mengatakan yang sebenarnya untuk meluruskan sejarah. Ini bukan
untuk anda, tapi penting bagi generasi muda agar tidak tertipu oleh
sejarah yang dimanipulir, kata salah seorangdari mereka.
Diinformasikan bahwa salah satu pelaku sejarah
G30S yang amat penting, KolonelAbdul Latief juga membuat buku berisi
pledoinya dulu. Tetapi ada dugaan bahwaLatief tidak mengungkap total
misteri G30S. Sebab, Mingguan terbitan Hongkong,Far Eastern Economic
Review edisi 2 Agustus 1990 memberitakan bahwa memoarLatief yang lengkap
disimpan di sebuah bank di luar Indonesia dengan pesan,
bolehdipublikasikan jika Latief dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri.
Saya sempat bimbang. Keinginan saya mengubur masa lalu seperti digoyang
begitu kuat. Apalagi banyak penulis kenamaan datang kepada saya, siap
menuliskan memoir saya. Dalam kebimbangan itu saya ingat pada seorang
wartawan muda yang paling sering mewawancarai saya, Djono W. Oesman. Dia
saya hubungi dan saya minta menuliskan cerita saya, sebab saya percaya
padanya. Dia pun setuju. Dialah penyunting buku ini. Hanya saya dan dia
yang menyusun potongan-potongan peristiwa yang saya alami dan saya
ingat.
Saya menyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam buku ini. Maklum,G30S adalah masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi saya dalah pelakusejarah G30S yang mengalami semua kejadian sebelum, saat meletus, sampai dampak peristiwa itu. Mungkin, inilah sumbangan saya, bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya di akhirat kelak. Semoga ada manfaatnya. Amin.
Saya menyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam buku ini. Maklum,G30S adalah masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi saya dalah pelakusejarah G30S yang mengalami semua kejadian sebelum, saat meletus, sampai dampak peristiwa itu. Mungkin, inilah sumbangan saya, bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya di akhirat kelak. Semoga ada manfaatnya. Amin.
Teror, teror, dan teror. Tidak henti-hentinya. Saling susul-menyusul.
Seolah tiadayang mampu menghentikan teror mental dan fisik yang dimulai
sejak 1965,dilanjutkan pada Pemilu 1972. Gembar-gembor bahaya laten PKI
terus didengung-dengungkan, untuk memperkuat rezim Soeharto. Teorinya,
penguasa Orde Baru selalu menciptakan musuh semu bagi rakyat. Rakyat
diberi musuh semu berupa momok bahaya laten PKI. Inilah teror mental.
Sedangkan bagi mereka yang kritis, seperti para mahasiswa, dikenakan
teror mental dan fisik.
Soeharto yang pada 1966 menggerakkan mahasiswa, dalam perjalanan
kekuasaannya malah meneror mahasiswa. Terhadap mereka yang kritis dan
suka berdemo, dilakukan penangkapan, interogasi, bahkan disiksa. Pada
pertengahan 1970-an sudah beredar anekdot yang mengkritik keserakahan
keluarga Soeharto. Misalnya, kalangan mahasiswa memberi julukan istri
Soeharto, Siti Suhartinah (biasa dipanggil ibu Tien) dengan julukan Ibu
Tien Persen. Artinya Ibu Sepuluh Persen. Menurut pembicaraan di kalangan
mereka, ibu Tien sering minta komisi 10% jika ada investor asing masuk
ke Indonesia.
Teror yang disebar oleh rezim Orde Baru seolah-olah merupakan unjuk
kekuatansetelah membantai jutaan kaum komunis, keluarga, dan
simpatisannya. Seolahdiumumkan, jangan macam-macam dengan penguasa.
Jangan coba-coba melawanpenguasa. Dan, kritik dari generasi muda juga
diartikan sebagai melawan penguasa.Maka, harus dihabisi. Bukti dari
kesimpulan ini sudah kita saksikan bersama, bagaimana perjalanan rezim
Orde baru membunuh kritik dari masyarakat. Mulai dari teror Pemilu 1972,
dilanjutkan dengan teror, penangkapan serta penyiksaan terhadap
mahasiswa yang berdemo pada 5 Januari 1974 (yang dikenal dengan Malari,
yang merupakan singkatan dari Lima Januari).
Lantas dilanjutkan tindakan represif tentara kepada mahasiswa yang
berdemo padatahun 1978. Demo damai umat Islam di tahun 1984 menghasilkan
pembantaianTanjung Priok. Kekerasan demi kekerasan dialami rakyat.
Setelah saya bebas,kemudian Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya,
kekerasan menjadi warisan buruk kepada masyarakat. Perkelahian massal di
Sambas, Kalimantan Barat yang saya baca di media massa, memamerkan
pembantaian yang mengerikan.
Di koran dipasang foto kepala manusia tergeletak di pinggir jalan.
Isu dukun santet diJatim malah lebih gila lagi. Kepala manusia yang
sudah terpenggal, ditusuk denganbambu runcing dan diarak keliling kota.
Di Malang, tidak jauh dari kota kelahiransaya, kepala manusia yang sudah
terpenggal diikat lantas diseret dengan sepeda motor yang melaju
keliling kota. Peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan belakangan ini
sudah bukan dilakukan oleh tentara lagi, tetapi oleh rakyat terhadap
rakyat.
Tetapi, ini semua adalah warisan dari pembantaian kaum komunis yang
sangat brutal di masa lalu – pelajaran buruk yang diwariskan ke generasi
berikutnya.Kudeta merangkak itu bergelimangan darah. Pertama, darah
para jenderal yangdibantai pada tanggal 1 Oktober 1965. Kedua, darah
Untung dan Soepardjo yangdimanipulasi. Ketiga, darah Sjam Kamaruzzaman
yang dikhianati. Keempat darahjutaan kaum komunis, keluarga, simpatisan
komunis, keluarga mereka, kaum buruh,dan para petani.
Pembaca yang budiman, mengetahui kejahatan kemanusiaan dan tidak
mencegah saja sudah merupakan kejahatan terhadap manusia. Lantas, di
mana tempat Soeharto yang luput dari hukum hingga buku ini ditulis?
Saya
berada di rumah sakit (RSPAD Gatot Subroto) sampai menjelang tengah
malam, lantas pulang ke rumah, kata Soeharto. Sekali pun kita mencoba
melupakan sejenak bahwa ucapan Soeharto itu dusta, namun pulang ke rumah
dan tidur pulas setelah mengetahui pasti bahwa beberapa jam lagi
rekan-rekan jenderal akan bertemu maut, betapa pun adalah kejahatan.
Kualifikasi yang bagaimana yang semestinya diberikan terhadap kejahatan
Soeharto yang telah membunuh jutaan manusia dan membuat sebagian lain
merana di penjara? Ya,kualifikasi apa?
Penghancuran PKI yang diikuti dengan pembunuhan jutaan manusia
mendapatdukungan kekuatan imperialisme internasional, terutama Amerika
Serikat yangmengklaim diri sebagai negara demokrasi. Ini bentuk
penghancuran struktur di suatu negara (Indonesia) yang sangat besar
sejak Perang Dunia-II. Kekejamannya tidak pernah dibayangkan sebelumnya,
oleh siapa pun, termasuk oleh kita sendiri, juga termasuk saya yang
menyaksikan langsung semua peristiwa di tingkat elite politik Indonesia
saat itu.
Peristiwa ini bukan hanya peristiwa intern Indonesia, tetapi
Indonesia dan dunia. Ini merupakan letupan konflik yang sebenarnya sudah
lama ada antara maha-kuasa-imperialisme internasional dengan hak
menentukan nasib sendiri bangsa Indonesia di pihak lain. Indonesia
hanyalah tempat peristiwa. Sedangkan karakternya bersifatdunia. Ini
sebuah tragedi yang secara moral merupakan kejahatan peradaban
umatmanusia. Sebagai konsekuensi logis dari peristiwa ini adalah
memfasiskan kehidupan negara, bertentangan dengan harapan ahli-ahli
teori modernisasi.
Hasil dari semua itu adalah penyebaran kapitalisme, termasuk ke
Indonesia. Tetapi di Indonesia, penyebaran kapitalisme tidak diikuti
dengan lahirnya negara borjuisdemokrasi liberal, seperti di AS atau
Eropa Barat. Itu tidak tercipta di sini. Sebagaigantinya, ternyata,
perkembangan kapitalisme di sini melahirkan negara birokrasimiliter.
Pada perkembangan berikutnya melahirkan berbagai persoalan bangsa
yangsulit diatasi oleh generasi penerus.
Di sisi lain, kebungkaman terhadap kejahatan manusia dan kemanusaiaan harussegera diakhiri. Atas nama kawan-kawannya, keluarga dan kerabat saya, atas nama-semua anak bangsa yang dibunuh, atas nama anak yang kehilangan orangtua mereka,atas nama anak-anak yang selama bertahun- tahun ikut ibu di penjara, atas nama-golongan mana pun yang sudah dianiaya dan disembelih oleh rezim Soeharto, saya serukan, akhiri kebungkaman ini. Kepada mereka yang merasa sebagai demokrat,baik di dalam maupun di luar negeri, pecahkan kebungkaman ini. Hari sudah tidaklagi terlalu pagi. Matahari sudah di atas ubun-ubun.
Eksistensi rezim kriminal Soeharto ditegakkan oleh segelintir elite
Indonesia, para-jenderal fasis, pendukung sipil dan teknokratnya, serta
kaum konglomerat yang kemudian terbukti serakah dan rakus. Mereka
mengembangkan model kapitalismeabad ke-18 yang tak manusiawi dalam
memacu kapitalisme di Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Hari ini tidak lagi terlalu pagi kita memasuki titik awal. Saya
bangga, karena titikawal ini dimulai oleh generasi muda Indonesia yang
tidak ragu menghadapi kekuatan kriminal dan uang hasil korupsi rezim
Orde baru. Luruskanlah sejarah yang telah mereka bengkokkan selama tiga
dekade ini. Pecahkan kebungkaman!
Dr. H Soebandrio, Kesaksianku tentang G30S,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar