Analis: Serangan Israel ke Iran, akan Akhiri Kekaisaran AS
Islam
Times- http://www.islamtimes.org/vdcfttdmew6dvea.,8iw.html
"Jika Netanyahu menyerang Iran dan berhasil menyeret Amerika
Serikat dan Rusia dalam perang itu, minggu ini bisa disaksikan bukan
hanya akhir dari Kekaisaran AS, tetapi awal dari akhir peradaban,"
Barack Obama, AS dan Benjamin Netanyahu, Zionis Israel
Jika Israel melakukan serangan militer terhadap Iran, hal itu akan mengakhiri Kekaisaran AS atau yang lebih akurat disebut sebagai bankster kerajaan New World Order.
Pernyataan itu ditulis oleh Kevin Barret dalam sebuah artikel berjudul "Will Israel kill US empire this week?" di Press TV pada Selasa, 25/03/14.
"Jika Netanyahu menyerang Iran dan berhasil menyeret Amerika Serikat dan Rusia dalam perang itu, minggu ini bisa disaksikan bukan hanya akhir dari Kekaisaran AS, tetapi awal dari akhir peradaban," tulis Kevin Barrett, profesor Studi Islam dan Timur Tengah.
Menurutnya, tidak masuk akal jika Israel memikat Kekaisaran AS dan memasuki serangkaian serangan bencana di negara-negara mayoritas Muslim, dan Presiden AS Barack Obama sejauh ini menolak perintah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menyerang Iran.
"AS masih melakukan tender oligarki bankster Zionis yang merupakan kekuatan sesungguhnya di balik tahta Barat. Dan para oligarki - atau setidaknya tokoh penguasa di antara mereka - masih mendorong melakukan perang dunia," tulisnya lagi.
Dikatakannya, tokoh berkuasa Israel dan perdana menteri Israel berada di depan mereka, merasa frustrasi atas perlawanan AS untuk menyerang Iran, yang mencoba untuk memulai Perang Dunia III.
"Sekarang, dengan kekuatan besar yang sudah siap siaga, Netanyahu yang telah menghabiskan $ 3 milyar untuk mempersiapkan rencana menyerang Iran sendirian, dapat menyalakan api Perang Dunia III setiap saat, " jelas Barrett.
Menunjuk pada insiden pesawat MH370 Malaysia adalah upaya mengobarkan opini publik Barat terhadap Iran.
Menuurtnya, setelah hilangnya pesawat Malaysia MH730, banyak media propaganda Amerika dan Zionis terfokus pada kecurigaan cerita palsu tentang dua pria Iran yang diduga naik Flight 370 dengan paspor curian.
Dikatakannya, foto dua pria Iran adalah hasil photoshop nyata di ruang tunggu Penerbangan Malaysia 370. "Apakah ini adalah upaya lain untuk menghasut perang melawan musuh-musuh Israel?", Tanyanya.
"Bahkan jika Kekaisaran yang gila ini terhalangi minggu ini, mereka memiliki banyak kesempatan di masa depan untuk melampiaskan malapetaka- kecuali para pemimpin Barat yang relatif rasional (jika masih ada), memutuskan untuk mengekspos kejahatan paling parah Neocons ' dan mengakhiri hasutan perang mereka," tambah Barrett. [IT/r]
Jalan Panjang Menyatukan Faksi Palestina
Gerakan Hamas menyatakan kesiapan untuk merealisasikan kesepakatan rekonsiliasi nasional antara faksi-faksi Palestina menjelang putaran baru pembicaraan antara pemimpin Otorita Ramallah Mahmoud Abbas dan Menteri Luar Negeri AS John Kerry untuk menindaklanjuti perundingan kompromi.
Hamas dalam sebuah pernyataannya, Selasa (25/3), menegaskan kesiapan kelompok itu untuk melaksanakan butir-butir kesepakatan rekonsiliasi nasional antara faksi-faksi Palestina dan menyeru Mahmoud Abbas untuk menghentikan perundingan kompromi dengan para pejabat Amerika dan Israel.
Menurut rencana, Abbas akan kembali bertemu Kerry pada hari Rabu (26/3) di Yordania untuk mendiskusikan kemajuan proses perundingan kompromi antara Palestina dan Israel.
Namun dalam pidatonya di KTT Liga Arab ke-25 di Kuwait, Selasa, Abbas mengklaim bahwa gerakan Fatah siap untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dan membentuk pemerintahan sementara serta menyelenggarakan pemilu guna mengatasi konflik internal di Palestina.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri AS menyatakan bahwa Menlu Kerry akan berusaha mendorong pemimpin Otorita Ramallah untuk mengurangi perbedaannya dengan Israel dan meningkatkan upaya untuk mencapai kesepakatan damai dengan Zionis.
Dalam kondisi seperti itu, upaya Hamas untuk membujuk Abbas dan menghidupkan kembali proses rekonsiliasi nasional Palestina tampaknya akan sangat sulit. Pada tahun 2011 dan 2012, Hamas dan Fatah mencapai dua perjanjian untuk mengakhiri perselisihan dan membentuk pemerintah persatuan nasional. Akan tetapi, perjanjian itu gagal dilaksanakan karena Otorita Ramallah lebih tertarik untuk berunding dengan Tel Aviv.
Meski demikian, Hamas dan Fatah sempat beberapa kali hampir mencapai kesepakatan rekonsiliasi nasional dan bahkan sepakat untuk menunjuk Abbas sebagai perdana menteri sementara Palestina. Namun menjelang penandatanganan kesepakatan, Amerika Serikat kembali mengeluarkan ancaman kepada para pemimpin Otorita Ramallah dan mendesak mereka untuk menghentikan proses rekonsiliasi nasional.
Sebenarnya, Hamas dalam dua tahun terakhir telah meningkatkan upayanya untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional Palestina. Gerakan ini ingin menyatukan kembali Jalur Gaza dan Tepi Barat setelah tujuh tahun terpisah dan membentuk pemerintahan persatuan nasional.
Dengan demikian, rakyat Palestina dapat tampil lebih kuat di panggung internasional dan menuntut hak-hak mereka yang dirampas oleh rezim Zionis. Hamas dan faksi-faksi lain seperti Jihad Islam Palestina percaya bahwa persatuan adalah solusi terbaik untuk melawan konspirasi Israel dan Amerika di tanah pendudukan.
Persatuan di antara faksi-faksi Palestina diyakini akan membantu mewujudkan cita-cita bangsa Palestina untuk membentuk sebuah negara merdeka dengan Ibukota al-Quds. (IRIB Indonesia/RM)
Gerakan Takfiri Internasional
Sekelompok al-Qaeda menyerbu sebuah pos pemeriksaan militer di provinsi timur Yaman Hadramout dan menewaskan sedikitnya 20 tentara.
Serangan itu dilakukan pada hari Senin, 24/03/14, ketika sebagian besar tentara sedang tidur berada di pos pemeriksaan di distrik Raida, sebelah timur ibukota provinsi Hadramout, al-Mukalla, demikian menukil laporan al-Alam pada Senin, 24/03/14.
Sampai sejauh ini tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Namun, sumber militer menyalahkankelompok Takfiri al-Qaeda di Semenanjung Arab itu melakukan serangan.
Namun, tidak jelas seberapa banyak tentara yang menjaga pos pemeriksaan pada saat terjadi serangan.
Yaman menghadapi gelombang serangan teroris yang mematikan, sebagian besar menargetkan pasukan keamanan dalam beberapa bulan terakhir.
Sana'a berjuang memulihkan otoritas negara setelah protes oposisi pengguligan diktator Ali Abdullah Saleh pada tahun 2012. [IT/Onh/Ass]
Jend.
Abdul Fatah al-Sisi, menteri pertahanan Mesir mengajukan pengunduran
diri dan mengumumkan pencalonan dalam bursa pemilu presiden di negara
ini. berbicara di depan anggota Dewan Tinggi Angkatan Bersenjata Mesir,
al-Sisi menandaskan, "Dari sini, Saya mengumumkan pencalonan diri dalam
pemilu presiden dan Saya akan berusaha meraih dukungan rakyat."
Sejak lama pemerintah interim Mesir mempersiapkan pencalonan diri al-Sisi dalam pilpres. Bahkan sejak tiga bulan lalu telah dibentuk tim sukses untuk mendukung pencalonan al-Sisi. Tim sukses ini dibentuk di saat sejumlah negara Arab juga menyatakan dukungannya dan siap menanggung biaya kampanye al-Sisi.
Mencermati transformasi di Mesir sejak musim panas tahun lalu hingga kini, dapat disaksikan satu poin nyata bahwa militer negara ini tengah berusaha untuk merebut kembali singgasana mereka di Mesir.
Sejak kubu Liberal dengan dukungan militer mengkudeta Muhammad Mursi, presiden dari Ikhwanul Muslimin dan pilihan rakyat, ada satu nama yang terus didengungkan. Nama tersebut adalah Abdul Fatah al-Sisi. Sejak musim panas tahun lalu, al-Sisi diangkat sebagai menteri pertahanan sementara. Namun sejatinya peran al-Sisi lebih dari sekedar menhan.
Mayoritas pengamat menyebut al-Sisi sebagai dalang utama kudeta terhadap Muhammad Mursi dan berbagai peristiwa yang terjadi pasca kudeta hingga pembentukan pemerintahan interim. Tak diragukan lagi bahwa peristiwa baik politik maupun keamanan yang berlaku di Mesir sejak delapan bulan lalu adalah atas ulah al-Sisi.
Al-Sisi membuat kondisi Mesir kacau balau demi mempersiapkan peluang bagi naiknya kembali militer ke puncak kekuasaan. Di Mesir, militer senantiasa yang menguasai berbagai sektor penting mulai dari politik, ekonomi dan keamanan. menyusul berkobarnya revolusi dan disusul dengan naiknya kubu Ikhwanul Muslimin di sektor politik, konstelasi kekuasaan di Mesir yang telah baku sejak beberapa dekade mulai rusak. Hal ini tentu saja menggusarkan militer dan petinggi keamanan.
Militer yang memandang dirinya sebagai unsur utama Mesir, selama dua tahun pasca revolusi terpinggirkan. Ini merupakan motivasi bagi mereka untuk memusuhi Ikhwanul Muslimin yang berhasil merebut kekuasaan pasca revolusi. Namun demikian, hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah dan militer di era pemerintahan Mursi membuat militer negara ini menemukan alasan untuk memusuhi pemerintahan Ikhwanul Muslimin.
Militer melalui persengkokolan dengan kubu anti Mursi dan khususnya kubu Liberal, berhasil menggulingkan Muhammad Mursi dan mengambil alih kendali negara. Meski kini Adly Mansour, menjadi presiden interim Mesir, namun sejatinya kendali pemerintah berada di tangan militer.
Dewan Tinggi Angkatan Bersenjata Mesir memanfaatkan peluang ini dan membulatkan tekadnya untuk mendudukkan al-Sisi di puncak kekuasaan negara ini. rencananya dalam beberapa bulan mendatang pemilu presiden di Mesir bakal digelar. Namun tak diragukan lagi bahwa kondisi negara ini akan dipolitisasi sehingga nantinya nama al-Sisi yang akan menjadi pemenang pilpres.
Mayoritas pengamat meyakini, pada dasarnya motif utama kudeta terhadap Mursi adalah mengembalikan militer dan komandannya yang terpinggirkan ke puncak kekuasaan. Sejumlah pengamat bahkan menilai misi utama pemerintahan interim Mesir adalah menghidupkan kembali Marxisme, namun dalam bentuk lain. Mereka meyakini bahwa Abdul Fatah al-Sisi adalah pelaksana dari program tersebut.
Bagaimana pun juga, yan tak dapat dipungkiri adalah dengan pengumuman resmi pencalolan al-Sisi sebagai kandidat presiden, transformasi Mesir memasuki babak baru. Dan mengingat penentangan luas atas kembalinya militer ke berbagai sektor di Mesir, maka diprediksikan negara ini di masa mendatang akan menghadapi instabilitas yang lebih parah. Penyelewengan tujuan revolusi dan kembalinya militer ke puncak kekuasaan di Mesir adalah hasil dari konspirasi terencana ini. (IRIB Indonesia/MF/RM)
Al-Qaeda Bunuh 20 Tentara Yaman Saat Tidur
Islam
Times-
Serangan itu dilakukan pada hari Senin, 24/03/14, ketika
sebagian besar tentara sedang tidur berada di pos pemeriksaan di distrik
Raida, sebelah timur ibukota provinsi Hadramout, al-Mukalla, demikian
menukil laporan al-Alam pada Senin, 24/03/14.
Tentara Yaman
Sekelompok al-Qaeda menyerbu sebuah pos pemeriksaan militer di provinsi timur Yaman Hadramout dan menewaskan sedikitnya 20 tentara.
Serangan itu dilakukan pada hari Senin, 24/03/14, ketika sebagian besar tentara sedang tidur berada di pos pemeriksaan di distrik Raida, sebelah timur ibukota provinsi Hadramout, al-Mukalla, demikian menukil laporan al-Alam pada Senin, 24/03/14.
Sampai sejauh ini tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Namun, sumber militer menyalahkankelompok Takfiri al-Qaeda di Semenanjung Arab itu melakukan serangan.
Namun, tidak jelas seberapa banyak tentara yang menjaga pos pemeriksaan pada saat terjadi serangan.
Yaman menghadapi gelombang serangan teroris yang mematikan, sebagian besar menargetkan pasukan keamanan dalam beberapa bulan terakhir.
Sana'a berjuang memulihkan otoritas negara setelah protes oposisi pengguligan diktator Ali Abdullah Saleh pada tahun 2012. [IT/Onh/Ass]
Abdul Fatah Al-Sisi Resmi Calonkan Diri di Pilpres Mesir
Sejak lama pemerintah interim Mesir mempersiapkan pencalonan diri al-Sisi dalam pilpres. Bahkan sejak tiga bulan lalu telah dibentuk tim sukses untuk mendukung pencalonan al-Sisi. Tim sukses ini dibentuk di saat sejumlah negara Arab juga menyatakan dukungannya dan siap menanggung biaya kampanye al-Sisi.
Mencermati transformasi di Mesir sejak musim panas tahun lalu hingga kini, dapat disaksikan satu poin nyata bahwa militer negara ini tengah berusaha untuk merebut kembali singgasana mereka di Mesir.
Sejak kubu Liberal dengan dukungan militer mengkudeta Muhammad Mursi, presiden dari Ikhwanul Muslimin dan pilihan rakyat, ada satu nama yang terus didengungkan. Nama tersebut adalah Abdul Fatah al-Sisi. Sejak musim panas tahun lalu, al-Sisi diangkat sebagai menteri pertahanan sementara. Namun sejatinya peran al-Sisi lebih dari sekedar menhan.
Mayoritas pengamat menyebut al-Sisi sebagai dalang utama kudeta terhadap Muhammad Mursi dan berbagai peristiwa yang terjadi pasca kudeta hingga pembentukan pemerintahan interim. Tak diragukan lagi bahwa peristiwa baik politik maupun keamanan yang berlaku di Mesir sejak delapan bulan lalu adalah atas ulah al-Sisi.
Al-Sisi membuat kondisi Mesir kacau balau demi mempersiapkan peluang bagi naiknya kembali militer ke puncak kekuasaan. Di Mesir, militer senantiasa yang menguasai berbagai sektor penting mulai dari politik, ekonomi dan keamanan. menyusul berkobarnya revolusi dan disusul dengan naiknya kubu Ikhwanul Muslimin di sektor politik, konstelasi kekuasaan di Mesir yang telah baku sejak beberapa dekade mulai rusak. Hal ini tentu saja menggusarkan militer dan petinggi keamanan.
Militer yang memandang dirinya sebagai unsur utama Mesir, selama dua tahun pasca revolusi terpinggirkan. Ini merupakan motivasi bagi mereka untuk memusuhi Ikhwanul Muslimin yang berhasil merebut kekuasaan pasca revolusi. Namun demikian, hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah dan militer di era pemerintahan Mursi membuat militer negara ini menemukan alasan untuk memusuhi pemerintahan Ikhwanul Muslimin.
Militer melalui persengkokolan dengan kubu anti Mursi dan khususnya kubu Liberal, berhasil menggulingkan Muhammad Mursi dan mengambil alih kendali negara. Meski kini Adly Mansour, menjadi presiden interim Mesir, namun sejatinya kendali pemerintah berada di tangan militer.
Dewan Tinggi Angkatan Bersenjata Mesir memanfaatkan peluang ini dan membulatkan tekadnya untuk mendudukkan al-Sisi di puncak kekuasaan negara ini. rencananya dalam beberapa bulan mendatang pemilu presiden di Mesir bakal digelar. Namun tak diragukan lagi bahwa kondisi negara ini akan dipolitisasi sehingga nantinya nama al-Sisi yang akan menjadi pemenang pilpres.
Mayoritas pengamat meyakini, pada dasarnya motif utama kudeta terhadap Mursi adalah mengembalikan militer dan komandannya yang terpinggirkan ke puncak kekuasaan. Sejumlah pengamat bahkan menilai misi utama pemerintahan interim Mesir adalah menghidupkan kembali Marxisme, namun dalam bentuk lain. Mereka meyakini bahwa Abdul Fatah al-Sisi adalah pelaksana dari program tersebut.
Bagaimana pun juga, yan tak dapat dipungkiri adalah dengan pengumuman resmi pencalolan al-Sisi sebagai kandidat presiden, transformasi Mesir memasuki babak baru. Dan mengingat penentangan luas atas kembalinya militer ke berbagai sektor di Mesir, maka diprediksikan negara ini di masa mendatang akan menghadapi instabilitas yang lebih parah. Penyelewengan tujuan revolusi dan kembalinya militer ke puncak kekuasaan di Mesir adalah hasil dari konspirasi terencana ini. (IRIB Indonesia/MF/RM)
Tangan-tangan Misterius Dibalik Bentrokan Al-Houthi dan Salafi di Yaman
Bentrokan antara milisi al-Houthi dan Salafi di Yaman utara kembali meletus. Berbagai sumber mengumumkan, babak baru bentrokan ini mengakibatkan lima orang tewas dan puluhan lainnya cidera. Sementara militer Yaman yang ditempatkan di daerah tersebut hanya menyaksikan bentrokan berdarah tersebut tanpa berbuat apa-apa.
Mayoritas pengamat politik meyakini, tak menutup kemungkinan bahwa bantrokan tersebut merupakan konspirasi dan persekongkolan antara pemerintah Sanaa dan pendukung Salafi untuk menumpas al-Houthi. Pemerintah Sanaa senantiasa ketakutan atas pengaruh dan kekuatan al-Houthi di wilayah utara. Dan dengan berbagai dalih selain ingin menyerang milisi ini juga memperlemah posisi al-Houthi di wilayah pegunungan.
Di sisi lain, Arab Saudi yang juga merasa risih dengan keberadaan milisi Syiah al-Houthi di Yaman utara, terlibat dalam provokasi dan pengobaran instabilitas di Yaman utara dengan memanfaatkan kelompok Salafi dan kubu radikal lainnya.
Riyadh tidak pernah mengharapkan keberadaan Yaman yang bersatu dan stabil. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, Arab Saudi dengan berbagai cara berusaha menjadikan Yaman disibukkan dengan beragam isu dan krisis dalam negeri. Sepertinya saat ini, Arab Saudi dengan memprovokasi kubu ekstrim dan radikal di utara serta mendukung sejumlah kubu yang menuntut pemisahan diri di selatan, menginginkan untuk menekan tetangganya ini. Meski petinggi Riyadh di luarnya mendukung pemerintah Sanaa, namun dalam prakteknya Arab Saudi tetap menginginkan Yaman berada dalam gejolak krisis dan instabilitas keamanan serta politik.
Oleh karena itu, tak diragukan lagi bahwa sejumlah bentrokan dan kerusuhan yang terjadi di wilayah utara Yaman merupakan hasil dari strategi Riyadh. Khususnya dukungan Arab Saudi terhadap kelompok Salafi, takfiri dan kubu radikal disadari oleh semua pihak.
Petinggi Riyadh dengan memberi dukungan finansial dan senjata kepada berbagai kelompok teroris dan radikal dalam tiga tahun terakhir secara praktis telah mengobarkan berbagai krisis serius di sejumlah negara kawasan. Akibat pergerakan dan kebijakan Arab Saudi, timbullah krisis berdarah di Suriah dan Irak pun dilanda instabilitas keamanan. Sementara sejumlah wilayah Yaman juga menjadi ajang bentrokan berdarah. Di sisi lain, peran pemerintah Sanaa dalam terbentuknya berbagai bentrokan berdarah ini tak boleh dilupakan.
Pemerintah Yaman selama dua tahun terakhir dihadapkan pada gelombang ide pemisahan diri di Selatan dan sejumlah tuntutan dari milisi al-Houthi di Utara. Ketika pemerintah Yaman tidak mampu meredam tuntutan wilayah Selatan dan mengabulkan permintaan al-Houthi di Utara, Sanaa mulai melancarkan konspirasi kepada dua kubu ini.
Petinggi Yaman menganggap bahwa dengan berlanjutnya tensi dan ketegangan di Utara mampu melepaskan diri dari tekanan al-Houthi. Padahal bentrokan dan ketegangan di wilayah mana pun di Yaman merupakan pukulan serius bagi stabiltias dan keamanan negara ini dan dengan sendirinya hal ini juga membuka peluang intervensi asing dalam transformasi Sanaa.
Melihat kondisi seperti ini, sejumlah pengamat menggulirkan kemungkinan bahwa bentrokan di Yaman Utara juga dapat diketegorikan sebagai bagian dari skenario guna merusak kedaulatan wilayah Yaman.
Asumsi ini diperkuat dengan ulah Arab Saudi terhadap Yaman yang mengalami persatuan antara Utara dan Selatan selama dua dekade. Riyadh dalam berbagai kesempatan bukan saja mendorong Yaman ke arah perang saudara, namun dari berbagai kanal kelompok radikal yang mereka dukung terus merusak stabilitas nasional Sanaa. Harapan Arab Saudi adalah pemerintah Sanaa terus bergantung kepada mereka dan Riyadh pun dengan mudah memaksakan kehendaknya kepada petinggi Yaman. (IRIB Indonesia/MF/RA)
Terrorists bomb Shia shrine in Syria
Al-Qaeda-linked militants have damaged the mosque of Ammar
bin Yasir and Uwais al-Qarani in the northern Syrian city of Raqqa.
(File photo)
Militants from an al-Qaeda splinter group have bombed a
large Shia Muslim shrine in the northern Syrian city of Raqqa.
Photos of the mosque of Ammar bin Yasir and Uwais al-Qarani posted on
the internet on Wednesday showed extensive damage to the exterior walls
and roof of the site.
Other pictures showed concrete and twisted metal strewn on the street
outside the mosque with an interior wall collapsed inward.
The site, seized over a year ago by militants fighting against the
Syrian government, was once a destination for Shia Muslim pilgrims from
Iran, Lebanon and Iraq.
The London-based Syrian Observatory for Human Rights said the so-called
Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) had carried out two
powerful explosions at the mosque earlier in the day.
The al-Qaeda splinter ISIL and other Takfiri militant groups have
targeted many historical and religious sites in Syria over the past
three years.
Among them are the holy shrine of Hazrat Zaynab (AS) -- the daughter of
the first Shia Imam, Imam Ali (PBUH), and Hazrat Fatemeh (PBUH),
Prophet Mohammad (PBUH)'s daughter -- as well as churches in the
Christian village of Maaloula, near the capital city of Damascus.
Syria has been gripped by deadly violence since 2011. Some sources say
over 140,000 people have been killed and millions displaced due to the
violence fueled by Western-backed militants.
According to reports, the Western powers and their regional allies --
especially Qatar, Saudi Arabia and Turkey -- are supporting the
militants operating inside Syria.
A recent British defense study showed that about 100,000 militants,
fragmented into 1,000 groups, are fighting in Syria against the
government and people.
NTJ/NJF
Terrorists bomb Shia shrine in Syria
http://en.alalam.ir/news/1579542
Al-Qaeda-linked militants have
damaged the mosque of Ammar bin Yasir and Uwais al-Qarani in the northern
Syrian city of Raqqa.
(File photo)
Militants from an al-Qaeda
splinter group have bombed a large Shia Muslim shrine in the northern Syrian
city of Raqqa.
Photos of the mosque of Ammar bin Yasir and Uwais
al-Qarani posted on the internet on Wednesday showed extensive damage to the
exterior walls and roof of the site.
Other pictures showed concrete and twisted metal
strewn on the street outside the mosque with an interior wall collapsed inward.
The site, seized over a year ago by militants
fighting against the Syrian government, was once a destination for Shia Muslim
pilgrims from Iran, Lebanon and Iraq.
The London-based Syrian Observatory for Human
Rights said the so-called Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) had
carried out two powerful explosions at the mosque earlier in the day.
The al-Qaeda splinter ISIL and other
Takfiri militant groups have targeted many historical and religious sites in Syria
over the past three years.
Among them are the holy shrine of Hazrat Zaynab
(AS) -- the daughter of the first Shia Imam, Imam Ali (PBUH), and Hazrat
Fatemeh (PBUH), Prophet Mohammad (PBUH)'s daughter -- as well as churches in
the Christian village of Maaloula, near the capital city of Damascus.
Syria
has been gripped by deadly violence since 2011. Some sources say over 140,000 people
have been killed and millions displaced due to the violence fueled by
Western-backed militants.
According to reports, the Western powers and
their regional allies -- especially Qatar,
Saudi Arabia and Turkey -- are supporting the militants operating
inside Syria.
A recent British defense study showed that about
100,000 militants, fragmented into 1,000 groups, are fighting in Syria against
the government and people.
NTJ/NJF
- See more at:
http://en.alalam.ir/news/1579542#sthash.fnc8VpJ4.dpuf
Racism reigns in Lebanon: “But you don’t look Lebanese”
In a country where racial classifications create social
hierarchies that assert the superiority of white skin and Caucasian
features, and the inferiority of “black” skin and Asian features,
interracial and interethnic couples in Lebanon are abhorred, stigmatized
and socially ostracised.
“I’m a stranger in my own country,” Saeb Kayali, a Thai-Lebanese, told Al-Akhbar.
“I remember once a woman asked my friend, who happened to be right next to me, if I spoke Arabic,” Kayali said, “And I always get questions like ‘Where are you from? Lebanon. No, where are you really from? Ummm, Lebanon. No, like where are your parents originally from?’ And even after I explicitly tell them that I’m Lebanese they just continue asking.” As Kayali narrated countless instances of “misunderstandings,” Lebanon’s racial bigotry, whether conscious or unconscious, and the long-ingrained notions of racial inequality, are very clearly present in today’s society.
Power institutions, including the societal body, are not only combating interfaith marriages but also interracial ones. While the need to overcome the former has vigorously surfaced in the last few years, the latter is still to be acknowledged and defied.
Racial intolerance in Lebanon has caused the alienation of mixed-race couples from family members, who disown them for marrying someone they consider to be ‘inferior.’ People of African or Asian heritage are automatically associated with allegedly ‘inferior’ domestic workers by virtue of their phenotype, and their identity is accordingly erased and replaced by an array of racist stereotypes.
“At first we didn’t even hold hands in public. Then I asked him how is it okay for others to express hatred but not for us to express love?” Pi added, “now we act like any endogamous couple and if someone is disturbed he or she can simply look away.”
“His family didn’t speak to him for five years,” Pi said, “they didn’t even know me, but my Filipina features were more than enough reason for them to disapprove of our marriage.”
According to Rana Boukarim, spokeswoman for the Anti Racism Movement in Lebanon, “Many families eventually come to accept the interracial marriages, which may be seen as a decrease in racism. However, when questioned, these family members, who were initially against the idea, often say ‘but she is different from other Filipinas’.”
Moreover, couples who are driven by love to cross the color line face socially-constructed derision because they, and their mixed-race children, provoke the invisible yet existing laws of racial segregation.
Mixed-race children face blatant racism at school as their fellow classmates fail to censor their speech. While interracial couples are mentally and psychologically aware of notions of race and the difficulties that might be ahead in ethnically homogenous communities, their children are not. “Back in preschool, kids used to call me ‘blacky’ or ‘Oreo’ as if my skin color is my name and identity,” Walid Yassine, a 22-year-old Congolese-Lebanese told Al-Akhbar.
“I was called ‘the Chinese kid’,” Kayali said, “even though I’m not half Chinese to begin with.”
Thrust into a world of racial stereotyping, mixed-race children experience disparities in self-esteem, self-degradation, and identity-related struggles. Unless the child is aware of his or her mixed heritage, overcoming the internal turmoil that could result from such confusion could take a lifetime.
“I felt different and I knew I looked different but I didn’t understand why I was treated differently,” Gabi Kheil, a 24-year-old Gabonese-Lebanese told Al-Akhbar.
According to Charles Nasrallah, founder and director of Insan Association, when introducing an Afro-Lebanese to a class full of light-skinned Lebanese children the first reaction has always been very aggressive and abusive.
“We’ve had incidents where the students would spit on the dark-skinned kid, call him names such as ‘chocolate’ or ‘Sri Lanka boy,’ push him around and beat him, throw water at him ‘to wash the dirt off his face,’ and refuse to engage him in playground activities,” Nasrallah said.
“I remember one time, light-skinned Lebanese students refused to sit next to an Afro-Lebanese kid because they thought his dark skin color was ‘contagious’ and they feared they would turn black.”
Ensuring a healthy educational experience for multiracial children by enrolling them in a school that celebrates cultural diversity is not an option in Lebanon. Mixed-race Lebanese experience conflict and periods of maladjustment during their development process, something that the association seeks to address.
“All schools in Lebanon lack racial tolerance,” Nasrallah added, “thats why we founded the Insan school and the Insan program to psychologically support and prepare marginalized students, including biracial ones, for the integration in a Lebanese school.”
“Adaptation and acculturation became easier as I grew up,” Yassine said, “Once my classmates were able to see beyond the color of my skin, making friendships wasn’t a problem anymore.”
“Children can be the meanest, but they are also the first to rise above racist stereotypes and garner acceptance,” Nasrallah declared, “once they get to know each other, the dark skinned student and his classmates tend to become good friends.”
The implications of these stereotypes go so far as to affect the social class and job opportunities of biracial Lebanese.
Kheil experienced direct racism when she worked as a flight attendant for Middle East Airlines.
“A Lebanese woman got furious after I accidentally bumped the trolley into her chair,” Kheil said, “ I apologized but she felt offended when a ‘black’ woman like myself dared to address her and tell her to calm down.”
According to Kheil, the woman, who bragged about holding a British passport, called her demeaning names and directly referred to the “inferiority” of her dark skin.
Even though Kheil called security and filed a complaint, nothing happened.
“If we were in Britain this woman would have been detained and the racism wouldn’t have passed unnoticed,” Kheil exclaimed, “but unfortunately we are in Lebanon.”
Kheil quit her job and hasn’t been able to find one since.
“I thought I was being self-conscious but one company manager made it clear that I’m ‘too dark’ for the position,” Kheil added.
“I wasn't accepted in many jobs because they thought my looks would ‘shock’ customers,” Kayali said, “but I learned to take advantage of my unique looks and I applied to Chinese and Japanese restaurants where I was instantly accepted.”
But according to Ahmad Dhayne, an Afro-Lebanese young man, this has not been the case.
“I have never experienced direct racism in the workforce because my confidence and my attitude demand that people respect me,” Dhayne told Al-Akhbar.
Born to an Ivorian mother, Ahmad’s Lebanese father passed away while his mother was still pregnant with him.
“At age two my uncle brought me with him to Lebanon because my mother wanted me to have a better life,” Dhayne said, “due to multiple reasons I lost contact with her for 18 years.”
In 2011, 20-year-old Ahmad decided to go to Africa and reconnect with his mother.
“I feel Lebanese and despite my skin color I have never felt anything but Lebanese,” Dhayne added, “but I also wanted to embrace my African heritage and my Lebanese family supported me in my decision. It was the best decision I have ever made. I feel very blessed and very special.”
While Dhayne was lucky to have a family that tolerated, embraced, and even celebrated his African heritage, others lack this support system.
“A Congolese acquaintance married a Lebanese man and they had a child. When the husband died, the Lebanese family took the child away from the mother so they ‘could raise him to be Lebanese.’ The child grew up hating his African heritage,” Boukarim stated.
“Lack of knowledge and communication make for hostile attitudes,” Nasrallah affirmed.
However, this is starting to slowly but steadily change.
In today’s ‘global village’ the opportunity to interact with different races has dramatically expanded. Even though today’s generation care less about racial segmentations, in matters of intimacy mixed-race individuals face challenges similar to the ones their parents confronted in the past. “I dated a Lebanese girl for two years until her father found out,” Yassine said, “he almost had a heart attack when he saw that I was dark skinned.”
“And do you know what the funny, or perhaps sad, part is? She is half Lebanese half Ukrainian,” Yassine added, “a man in an interracial marriage and has mixed-race children rejected me because I’m mixed-race.”
“One thing that has always bothered me is that my French-Lebanese friend is endorsed by others despite her mixed-race origins just because she is blonde with European features,” Kayali declared.
Embracing Lebanese mixed-marriages only if they include European or fair-skinned individuals is an unfortunate characteristic still very much present in Lebanon’s society, deeming those with white skin and Caucasian features as superior to others.
The history of systematic subjugation in addition to the enclosed patterns of discrimination still at play has left an enduring scar on the psyche of darker-skinned Lebanese that today many tend to use skin bleaching, straighten and dye their hair, and even undergo surgery to get certain European-based phenotypical characteristics that might give them a sense of belonging.
Nasrallah narrated an incident where a Syrian boy and a Lebanese-Gabonese boy were pulled over by the police as they were on their way to the Insan Association. The officers only demanded the papers of the Lebanese-Gabonese because of the color of his skin.
“The officers wanted the papers of the dark-skinned Lebanese and not the light-skinned non-Lebanese,” Nasrallah stated, “how can one expect the citizens not to be racist when even the police, who supposedly represent the government and state, are racist?”
Even though the Lebanese constitution states that “all Lebanese are equal in the eyes of the law,” having a weak government bureaucracy with legal loopholes permits unequal access and little protection of mixed-race Lebanese. National cohesion is almost non-existent because Lebanon lacks national programs that promote multiculturalism and racial tolerance.
A survey of Lebanese resorts conducted by Lebanese NGO IndyAct in 2013 shows that all of the 20 beaches investigated barred domestic workers from Asia and Africa from going into the pool.
“A dark-skinned ambassador’s wife was asked to get out of the swimming pool in one of Lebanon’s resorts because she was mistaken for a maid,” Nasrallah said, “In Lebanon even the elite cannot escape racial discrimination.”
Even though Lebanon's government has warned beach clubs against any internal regulations based on race or nationality, discriminatory acts persist without legal repercussions.
“Neither the constitution nor the judicial system can help you when you experience chronic racism,” Kheil declared, “you need to fight back on your own every time.”
“I realized that one can fight racial hierarchy with social hierarchy. When I go out with my friends for lunch we sometimes pretend that I’m the son of Thailand’s ambassador in Lebanon and suddenly everyone treats me differently… with more respect,” Kayali said.
“I don’t let race over determine my existence,” Dhayne stated, “on the contrary, I make others feel that they are unfortunate for having a single racial heritage.”
Follow Rana Harbi on Twitter | @RanaHarbi
Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Rabu (26/3) sore, tiba di Brussels untuk kunjungan pertamanya ke markas Uni Eropa (EU), di mana dia bertemu dengan Presiden Dewan EU dan Komisi EU, Herman Van Rompuy dan Jose Manuel Barroso.
Amerika-Eropa mengeluarkan sebuah pernyataan pasca pertemuan yang membahas sejumlah isu penting. Statemen itu menekankan beberapa hal termasuk, isu ekonomi dan politik serta upaya kolektif untuk menciptakan keamanan dan stabilitas di seluruh dunia, dan langkah-langkah untuk mengatasi tantangan global seperti, perubahan iklim.
Perjalanan Obama ke Eropa dipandang sebagai langkah penting di tengah meningkatnya krisis di Ukraina dan status Crimea.
Dalam pertemuan itu, Amerika dan Eropa menyatakan dukungan untuk rakyat Ukraina dan hak mereka untuk menentukan masa depannya serta menjaga keutuhan wilayah teritorial Ukraina. Obama dan para pemimpin Eropa juga mengecam keras integrasi Crimea ke Rusia dan mereka menolak mengakui penggabungan itu.
Amerika dan Eropa juga menyerukan pembicaraan serius dan terarah antara Rusia dan Ukraina.
Obama juga bertemu dengan Sekjen NATO Anders Fogh Rasmussen dan menyampaikan pidato tentang hubungan transatlantik. Dia menyerukan penguatan kehadiran pasukan NATO di negara-negara yang berbatasan langsung dengan Rusia.
Dia menegaskan bahwa jika situasi di kawasan terus memburuk, 28 negara anggota NATO harus siap menghadapi krisis yang muncul. Oleh sebab itu, memperkuat kehadiran pasukan NATO di perbatasan Rusia adalah sebuah urgensitas.
Meski demikian, Obama mengingatkan bahwa sama sekali tidak ada prospek untuk keanggotaan Ukraina dan Georgia di NATO dalam waktu dekat, sebab kedua negara belum bergerak di jalur untuk bergabung dengan NATO.
Pada kesempatan itu, Obama mengancam akan meningkatkan sanksi Amerika dan Uni Eropa terhadap Rusia jika negara itu terus melanjutkan manuvernya di Ukraina. Sanksi itu akan mencakup sektor energi.
Obama memperingatkan bahwa Moskow akan tinggal sendiri setelah penggabungan Crimea ke Rusia. Akan tetapi, dia mengatakan Rusia masih punya kesempatan untuk mencegah berlanjutnya krisis di Ukraina melalui jalur diplomatik.
Sebenarnya, Amerika dan Eropa ingin menegaskan kesamaan sikap terhadap Rusia menyusul pecahnya krisis di Ukraina. Herman Van Rompuy bahkan menyebut pencaplokan Crimea oleh Rusia sebagai sebuah langkah yang memalukan di abad 21.
Mengingat potensi meningkatnya sanksi ekonomi blok Barat terhadap Rusia, Bank Dunia memperingatkan bahwa perekonomian Rusia bisa menyusut 1,8 persen jika krisis Ukraina terus berlanjut.
Pertemuan puncak Amerika-Eropa pada dasarnya ingin memperjelas masa depan hubungan Barat dengan Rusia dan langkah-langkah peringatan terhadap negara itu. Oleh karena itu, Rusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi peningkatan sanksi ekonomi Barat.
Meski demikian, para pejabat tinggi Moskow masih tetap mempertahankan pendirian mereka dan sampai sekarang belum menunjukkan langkah mundur. (IRIB Indonesia/RM)
“I’m a stranger in my own country,” Saeb Kayali, a Thai-Lebanese, told Al-Akhbar.
“I remember once a woman asked my friend, who happened to be right next to me, if I spoke Arabic,” Kayali said, “And I always get questions like ‘Where are you from? Lebanon. No, where are you really from? Ummm, Lebanon. No, like where are your parents originally from?’ And even after I explicitly tell them that I’m Lebanese they just continue asking.” As Kayali narrated countless instances of “misunderstandings,” Lebanon’s racial bigotry, whether conscious or unconscious, and the long-ingrained notions of racial inequality, are very clearly present in today’s society.
Power institutions, including the societal body, are not only combating interfaith marriages but also interracial ones. While the need to overcome the former has vigorously surfaced in the last few years, the latter is still to be acknowledged and defied.
Blatant racism
“Demeaning gestures, head-shaking, stares, and under-the-breath comments are the most passive of the reactions we get in public,” Pi, a Filipina woman married to a Lebanese man, told Al-Akhbar.Racial intolerance in Lebanon has caused the alienation of mixed-race couples from family members, who disown them for marrying someone they consider to be ‘inferior.’ People of African or Asian heritage are automatically associated with allegedly ‘inferior’ domestic workers by virtue of their phenotype, and their identity is accordingly erased and replaced by an array of racist stereotypes.
“At first we didn’t even hold hands in public. Then I asked him how is it okay for others to express hatred but not for us to express love?” Pi added, “now we act like any endogamous couple and if someone is disturbed he or she can simply look away.”
“His family didn’t speak to him for five years,” Pi said, “they didn’t even know me, but my Filipina features were more than enough reason for them to disapprove of our marriage.”
According to Rana Boukarim, spokeswoman for the Anti Racism Movement in Lebanon, “Many families eventually come to accept the interracial marriages, which may be seen as a decrease in racism. However, when questioned, these family members, who were initially against the idea, often say ‘but she is different from other Filipinas’.”
Moreover, couples who are driven by love to cross the color line face socially-constructed derision because they, and their mixed-race children, provoke the invisible yet existing laws of racial segregation.
“They used to call me Oreo”
Mixed-race children face blatant racism at school as their fellow classmates fail to censor their speech. While interracial couples are mentally and psychologically aware of notions of race and the difficulties that might be ahead in ethnically homogenous communities, their children are not. “Back in preschool, kids used to call me ‘blacky’ or ‘Oreo’ as if my skin color is my name and identity,” Walid Yassine, a 22-year-old Congolese-Lebanese told Al-Akhbar.
“I was called ‘the Chinese kid’,” Kayali said, “even though I’m not half Chinese to begin with.”
Thrust into a world of racial stereotyping, mixed-race children experience disparities in self-esteem, self-degradation, and identity-related struggles. Unless the child is aware of his or her mixed heritage, overcoming the internal turmoil that could result from such confusion could take a lifetime.
“I felt different and I knew I looked different but I didn’t understand why I was treated differently,” Gabi Kheil, a 24-year-old Gabonese-Lebanese told Al-Akhbar.
According to Charles Nasrallah, founder and director of Insan Association, when introducing an Afro-Lebanese to a class full of light-skinned Lebanese children the first reaction has always been very aggressive and abusive.
“We’ve had incidents where the students would spit on the dark-skinned kid, call him names such as ‘chocolate’ or ‘Sri Lanka boy,’ push him around and beat him, throw water at him ‘to wash the dirt off his face,’ and refuse to engage him in playground activities,” Nasrallah said.
“I remember one time, light-skinned Lebanese students refused to sit next to an Afro-Lebanese kid because they thought his dark skin color was ‘contagious’ and they feared they would turn black.”
Ensuring a healthy educational experience for multiracial children by enrolling them in a school that celebrates cultural diversity is not an option in Lebanon. Mixed-race Lebanese experience conflict and periods of maladjustment during their development process, something that the association seeks to address.
“All schools in Lebanon lack racial tolerance,” Nasrallah added, “thats why we founded the Insan school and the Insan program to psychologically support and prepare marginalized students, including biracial ones, for the integration in a Lebanese school.”
“Adaptation and acculturation became easier as I grew up,” Yassine said, “Once my classmates were able to see beyond the color of my skin, making friendships wasn’t a problem anymore.”
“Children can be the meanest, but they are also the first to rise above racist stereotypes and garner acceptance,” Nasrallah declared, “once they get to know each other, the dark skinned student and his classmates tend to become good friends.”
Difficulty in entering the workforce
Prejudices and preconceived notions have yet to be dispelled from Lebanon’s society largely because regular and intimate contact with those considered to be racially different is not fostered and encouraged.The implications of these stereotypes go so far as to affect the social class and job opportunities of biracial Lebanese.
Kheil experienced direct racism when she worked as a flight attendant for Middle East Airlines.
“A Lebanese woman got furious after I accidentally bumped the trolley into her chair,” Kheil said, “ I apologized but she felt offended when a ‘black’ woman like myself dared to address her and tell her to calm down.”
According to Kheil, the woman, who bragged about holding a British passport, called her demeaning names and directly referred to the “inferiority” of her dark skin.
Even though Kheil called security and filed a complaint, nothing happened.
“If we were in Britain this woman would have been detained and the racism wouldn’t have passed unnoticed,” Kheil exclaimed, “but unfortunately we are in Lebanon.”
Kheil quit her job and hasn’t been able to find one since.
“I thought I was being self-conscious but one company manager made it clear that I’m ‘too dark’ for the position,” Kheil added.
“I wasn't accepted in many jobs because they thought my looks would ‘shock’ customers,” Kayali said, “but I learned to take advantage of my unique looks and I applied to Chinese and Japanese restaurants where I was instantly accepted.”
But according to Ahmad Dhayne, an Afro-Lebanese young man, this has not been the case.
“I have never experienced direct racism in the workforce because my confidence and my attitude demand that people respect me,” Dhayne told Al-Akhbar.
Born to an Ivorian mother, Ahmad’s Lebanese father passed away while his mother was still pregnant with him.
“At age two my uncle brought me with him to Lebanon because my mother wanted me to have a better life,” Dhayne said, “due to multiple reasons I lost contact with her for 18 years.”
In 2011, 20-year-old Ahmad decided to go to Africa and reconnect with his mother.
“I feel Lebanese and despite my skin color I have never felt anything but Lebanese,” Dhayne added, “but I also wanted to embrace my African heritage and my Lebanese family supported me in my decision. It was the best decision I have ever made. I feel very blessed and very special.”
While Dhayne was lucky to have a family that tolerated, embraced, and even celebrated his African heritage, others lack this support system.
“A Congolese acquaintance married a Lebanese man and they had a child. When the husband died, the Lebanese family took the child away from the mother so they ‘could raise him to be Lebanese.’ The child grew up hating his African heritage,” Boukarim stated.
“Lack of knowledge and communication make for hostile attitudes,” Nasrallah affirmed.
However, this is starting to slowly but steadily change.
Changing faces
In today’s ‘global village’ the opportunity to interact with different races has dramatically expanded. Even though today’s generation care less about racial segmentations, in matters of intimacy mixed-race individuals face challenges similar to the ones their parents confronted in the past. “I dated a Lebanese girl for two years until her father found out,” Yassine said, “he almost had a heart attack when he saw that I was dark skinned.”
“And do you know what the funny, or perhaps sad, part is? She is half Lebanese half Ukrainian,” Yassine added, “a man in an interracial marriage and has mixed-race children rejected me because I’m mixed-race.”
“One thing that has always bothered me is that my French-Lebanese friend is endorsed by others despite her mixed-race origins just because she is blonde with European features,” Kayali declared.
Embracing Lebanese mixed-marriages only if they include European or fair-skinned individuals is an unfortunate characteristic still very much present in Lebanon’s society, deeming those with white skin and Caucasian features as superior to others.
The history of systematic subjugation in addition to the enclosed patterns of discrimination still at play has left an enduring scar on the psyche of darker-skinned Lebanese that today many tend to use skin bleaching, straighten and dye their hair, and even undergo surgery to get certain European-based phenotypical characteristics that might give them a sense of belonging.
Nasrallah narrated an incident where a Syrian boy and a Lebanese-Gabonese boy were pulled over by the police as they were on their way to the Insan Association. The officers only demanded the papers of the Lebanese-Gabonese because of the color of his skin.
“The officers wanted the papers of the dark-skinned Lebanese and not the light-skinned non-Lebanese,” Nasrallah stated, “how can one expect the citizens not to be racist when even the police, who supposedly represent the government and state, are racist?”
Even though the Lebanese constitution states that “all Lebanese are equal in the eyes of the law,” having a weak government bureaucracy with legal loopholes permits unequal access and little protection of mixed-race Lebanese. National cohesion is almost non-existent because Lebanon lacks national programs that promote multiculturalism and racial tolerance.
A survey of Lebanese resorts conducted by Lebanese NGO IndyAct in 2013 shows that all of the 20 beaches investigated barred domestic workers from Asia and Africa from going into the pool.
“A dark-skinned ambassador’s wife was asked to get out of the swimming pool in one of Lebanon’s resorts because she was mistaken for a maid,” Nasrallah said, “In Lebanon even the elite cannot escape racial discrimination.”
Even though Lebanon's government has warned beach clubs against any internal regulations based on race or nationality, discriminatory acts persist without legal repercussions.
“Neither the constitution nor the judicial system can help you when you experience chronic racism,” Kheil declared, “you need to fight back on your own every time.”
“I realized that one can fight racial hierarchy with social hierarchy. When I go out with my friends for lunch we sometimes pretend that I’m the son of Thailand’s ambassador in Lebanon and suddenly everyone treats me differently… with more respect,” Kayali said.
“I don’t let race over determine my existence,” Dhayne stated, “on the contrary, I make others feel that they are unfortunate for having a single racial heritage.”
Follow Rana Harbi on Twitter | @RanaHarbi
Kekerasan Taliban Jelang Pilpres di Afghanistan
Seiring
dengan kian dekatnya penyelenggaraan pemilu presiden dan Dewan
Provinsi, aksi kekerasan milisi Taliban pun semakin meningkat.
Menurut laporan polisi Afghanistan, kelompok bersenjata pada hari Selasa (25/3) menyerbu salah satu kantor komisi independen pemilu di Kabul dan mengakibatkan sejumlah orang tewas dan terluka. Serangan ini terjadi pasca ledakan bom di dekat gedung komisi ini. Dalam beberapa pekan lalu, kantor pemilu sejumlah kandidat pemilu presdien Afghanistan juga diserang milisi bersenjata.
Beberapa waktu lalu, milisi Taliban merilis statemen yang mengancam akan mensabotase proses pemilu presiden mendatang negara ini. Eskalasi instabilitas di Afghanistan menjelang penyelenggaraan pilpres di negara ini akan memberikan dampak negatif. Pasca serangan terbaru ke Hotel Serena di Kabul yang menjadi tempat tinggal pengamat dan delegasi asing yang bakal mengawasi jalannya pemilu presiden mendatang di Afghanistan, sejumlah pengamat asing dilaporkan telah meninggalkan negara ini.
Dampak terbesar dari keluarnya sejumlah pengamat asing bagi pemilu presiden Afghanistan dan Dewan Kota negara ini adalah munculnya iklim tak sehat dan gangguan mental terhadap warga Afghanistan terkait partisipasi dalam pemilu mendatang.
Mengingat berbagai kendala terkait transparansi pemilu presiden dan parlemen Afghanistan tahun 2009 dan 2010, kehadiran luas pengamat internal dan asing dapat meningkatkan kepercayaan rakyat negara ini terhadap proses pemilu.
Berdasarkan laporan berbagai sumber Afghanistan, rencananya pemilu presiden mendatang negara ini akan dipantau oleh sekitar 300 pengamat baik dalam negeri maupun asing. Meski keberadaan 300 pengamat ini dinilai mampu menciptakan penyelenggaraan pemilu yang transparan dan bebas di Afghanistan, namun pemantauan komprehensif membutuhkan adanya jaminan keamanan.
Keamanan sebagai peluang utama untuk menyelenggarakan pemilu presiden dan Dewan Kota di Afghanistan juga dapat menjadi unsur pemantauan bagi proses pemilu itu sendiri. Jika keamanan di seluruh KPU terjamin, peluang bagi kehadiran pengamat dalam dan luar negeri guna memantau jalannya pemuli di Afghanistan dengan sendirinya akan terbuka.
Eskalasi kekerasan pemilu oleh Taliban tidak hanya berujung pada larinya pengamat asing dari Afghanistan. Jika instabilitas di negara ini terus meningkat, selain mempengaruhi partisipasi rakyat dalam pemilu juga minimnya pengawasan akan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap proses pemilu.
Mengingat pengalaman pahit rakyat Afghanistan dalam pemilu parlemen sebelumnya di tahun 2010 terkait pengumuman hasil pemungutan suara, jika di periode mendatang pemilu Afghanistan pemungutan suara dipantau oleh tim pengamat yang lebib besar maka rakyat akan semakin percaya dengan hasil pemilu yang diumumkan. Oleh karena itu, jika pemerintah Kabul dalam langkah awal mampu mengendalikan keamanan dan kemudian menjamin transparansi serta kebebasan dalam pemilu, maka partisipasi rakyat di Tempat Pemungutan Suara (TPU) akan marak.
Sepertinya pemerintah Afghanistan dalam beberapa hari menjelang pemungutan suara harus segera mengambil langkah penting mengontrol keamanan dan menerapkan stabilitas di negara ini. (IRIB Indonesia/MF)
Menurut laporan polisi Afghanistan, kelompok bersenjata pada hari Selasa (25/3) menyerbu salah satu kantor komisi independen pemilu di Kabul dan mengakibatkan sejumlah orang tewas dan terluka. Serangan ini terjadi pasca ledakan bom di dekat gedung komisi ini. Dalam beberapa pekan lalu, kantor pemilu sejumlah kandidat pemilu presdien Afghanistan juga diserang milisi bersenjata.
Beberapa waktu lalu, milisi Taliban merilis statemen yang mengancam akan mensabotase proses pemilu presiden mendatang negara ini. Eskalasi instabilitas di Afghanistan menjelang penyelenggaraan pilpres di negara ini akan memberikan dampak negatif. Pasca serangan terbaru ke Hotel Serena di Kabul yang menjadi tempat tinggal pengamat dan delegasi asing yang bakal mengawasi jalannya pemilu presiden mendatang di Afghanistan, sejumlah pengamat asing dilaporkan telah meninggalkan negara ini.
Dampak terbesar dari keluarnya sejumlah pengamat asing bagi pemilu presiden Afghanistan dan Dewan Kota negara ini adalah munculnya iklim tak sehat dan gangguan mental terhadap warga Afghanistan terkait partisipasi dalam pemilu mendatang.
Mengingat berbagai kendala terkait transparansi pemilu presiden dan parlemen Afghanistan tahun 2009 dan 2010, kehadiran luas pengamat internal dan asing dapat meningkatkan kepercayaan rakyat negara ini terhadap proses pemilu.
Berdasarkan laporan berbagai sumber Afghanistan, rencananya pemilu presiden mendatang negara ini akan dipantau oleh sekitar 300 pengamat baik dalam negeri maupun asing. Meski keberadaan 300 pengamat ini dinilai mampu menciptakan penyelenggaraan pemilu yang transparan dan bebas di Afghanistan, namun pemantauan komprehensif membutuhkan adanya jaminan keamanan.
Keamanan sebagai peluang utama untuk menyelenggarakan pemilu presiden dan Dewan Kota di Afghanistan juga dapat menjadi unsur pemantauan bagi proses pemilu itu sendiri. Jika keamanan di seluruh KPU terjamin, peluang bagi kehadiran pengamat dalam dan luar negeri guna memantau jalannya pemuli di Afghanistan dengan sendirinya akan terbuka.
Eskalasi kekerasan pemilu oleh Taliban tidak hanya berujung pada larinya pengamat asing dari Afghanistan. Jika instabilitas di negara ini terus meningkat, selain mempengaruhi partisipasi rakyat dalam pemilu juga minimnya pengawasan akan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap proses pemilu.
Mengingat pengalaman pahit rakyat Afghanistan dalam pemilu parlemen sebelumnya di tahun 2010 terkait pengumuman hasil pemungutan suara, jika di periode mendatang pemilu Afghanistan pemungutan suara dipantau oleh tim pengamat yang lebib besar maka rakyat akan semakin percaya dengan hasil pemilu yang diumumkan. Oleh karena itu, jika pemerintah Kabul dalam langkah awal mampu mengendalikan keamanan dan kemudian menjamin transparansi serta kebebasan dalam pemilu, maka partisipasi rakyat di Tempat Pemungutan Suara (TPU) akan marak.
Sepertinya pemerintah Afghanistan dalam beberapa hari menjelang pemungutan suara harus segera mengambil langkah penting mengontrol keamanan dan menerapkan stabilitas di negara ini. (IRIB Indonesia/MF)
KTT Amerika Serikat dan Uni Eropa
Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Rabu (26/3) sore, tiba di Brussels untuk kunjungan pertamanya ke markas Uni Eropa (EU), di mana dia bertemu dengan Presiden Dewan EU dan Komisi EU, Herman Van Rompuy dan Jose Manuel Barroso.
Amerika-Eropa mengeluarkan sebuah pernyataan pasca pertemuan yang membahas sejumlah isu penting. Statemen itu menekankan beberapa hal termasuk, isu ekonomi dan politik serta upaya kolektif untuk menciptakan keamanan dan stabilitas di seluruh dunia, dan langkah-langkah untuk mengatasi tantangan global seperti, perubahan iklim.
Perjalanan Obama ke Eropa dipandang sebagai langkah penting di tengah meningkatnya krisis di Ukraina dan status Crimea.
Dalam pertemuan itu, Amerika dan Eropa menyatakan dukungan untuk rakyat Ukraina dan hak mereka untuk menentukan masa depannya serta menjaga keutuhan wilayah teritorial Ukraina. Obama dan para pemimpin Eropa juga mengecam keras integrasi Crimea ke Rusia dan mereka menolak mengakui penggabungan itu.
Amerika dan Eropa juga menyerukan pembicaraan serius dan terarah antara Rusia dan Ukraina.
Obama juga bertemu dengan Sekjen NATO Anders Fogh Rasmussen dan menyampaikan pidato tentang hubungan transatlantik. Dia menyerukan penguatan kehadiran pasukan NATO di negara-negara yang berbatasan langsung dengan Rusia.
Dia menegaskan bahwa jika situasi di kawasan terus memburuk, 28 negara anggota NATO harus siap menghadapi krisis yang muncul. Oleh sebab itu, memperkuat kehadiran pasukan NATO di perbatasan Rusia adalah sebuah urgensitas.
Meski demikian, Obama mengingatkan bahwa sama sekali tidak ada prospek untuk keanggotaan Ukraina dan Georgia di NATO dalam waktu dekat, sebab kedua negara belum bergerak di jalur untuk bergabung dengan NATO.
Pada kesempatan itu, Obama mengancam akan meningkatkan sanksi Amerika dan Uni Eropa terhadap Rusia jika negara itu terus melanjutkan manuvernya di Ukraina. Sanksi itu akan mencakup sektor energi.
Obama memperingatkan bahwa Moskow akan tinggal sendiri setelah penggabungan Crimea ke Rusia. Akan tetapi, dia mengatakan Rusia masih punya kesempatan untuk mencegah berlanjutnya krisis di Ukraina melalui jalur diplomatik.
Sebenarnya, Amerika dan Eropa ingin menegaskan kesamaan sikap terhadap Rusia menyusul pecahnya krisis di Ukraina. Herman Van Rompuy bahkan menyebut pencaplokan Crimea oleh Rusia sebagai sebuah langkah yang memalukan di abad 21.
Mengingat potensi meningkatnya sanksi ekonomi blok Barat terhadap Rusia, Bank Dunia memperingatkan bahwa perekonomian Rusia bisa menyusut 1,8 persen jika krisis Ukraina terus berlanjut.
Pertemuan puncak Amerika-Eropa pada dasarnya ingin memperjelas masa depan hubungan Barat dengan Rusia dan langkah-langkah peringatan terhadap negara itu. Oleh karena itu, Rusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi peningkatan sanksi ekonomi Barat.
Meski demikian, para pejabat tinggi Moskow masih tetap mempertahankan pendirian mereka dan sampai sekarang belum menunjukkan langkah mundur. (IRIB Indonesia/RM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar