Putin Merusak Ketenangan New World Order
Presiden Rusia Vladimir Putin melawan agresi Barat bertujuan untuk benar-benar menghancurkan negara-negara tradisional dan nilai-nilai serta menciptakan kediktatoran global melalui Tatanan Dunia Baru (New World Order), demikian kata analis.
Upaya Barat yang sedang bergulir untuk mengacaukan Ukraina, Suriah dan Iran serta negara-negara lainnya adalah "contoh terbaru dari pola agresi yang telah berusia bebera dekade" yang dilawan Presiden Rusia, kata Kevin Barrett , seorang profesor Studi Timur Tengah dan Islam dalam sebuah artikel untuk situs Press TV.
"Singkatnya, New World Order - sebuah kelompok bayangan perbankan oligarki global bertekad membangun kediktatoran terpadu di dunia - sedang mencoba untuk menggulingkan setiap pemimpin yang menolak. Presiden Rusia Putin menolak. Itulah mengapa mesin propaganda Barat mengangkat namanya," kata Barrett.
Dia mencatat bahwa Rusia dan Iran keduanya berhasil menolak kediktatoran New World Order.
Analis ini berpendapat bahwa pembentukan Republik Islam Iran merupakan peristiwa penting yang menandai berakhirnya "gelombang militan sekularisme dan ateisme abad ke-20. Dan kebangkitan agama tradisional."
Dikatakannya, Presiden Rusia menikmati popularitas yang luar biasa di negaranya atas pembelaannya terhadap nilai-nilai keagamaan tradisional.
"Putin sedang menghentikan 'destruksi kreatif' New World Order di Suriah dan Ukraina. Dia adalah bagian dari koalisi yang berkembang menentang NWO- bukan hanya tradisionalis agama, melainkan pula kekuatan-kekuatan anti- globalisasi progresif, termasuk [Venezuela almarhum Presiden] Hugo Chavez yang menjadi inspirasi anti-imperialis di Amerika Latin," tutur Barrett.
Ditambahkannya, dunia saat ini sedang menghadapi perjuangan epik antara mereka yang mendukung nilai-nilai sakral seperti keadilan dan kesantunan dan pihak-pihak yang ingin menghancurkan semua nilai-nilai tersebut.(IRIB Indonesia/MZ)
BRICS Tolak Sanksi terhadap Rusia
Organisasi negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan)menolak sanksi Barat terhadap Rusia dan "bahasa bermusuhan" yang diarahkan kepada Moskow atas krisis di Ukraina.
Para menteri luar negeri negara-negara anggota BRICS dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Senin (24/3) mengatakan, "Eskalasi bahasa bermusuhan, sanksi dan kontra-sanksi, dan kekuatan tidak memberikan kontribusi dalam memberikan solusi damai dan berkelanjutan sesuai dengan hukum internasional, termasuk prinsip-prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa."
BRICS sepakat bahwa tantangan yang ada di dalam wilayah negara-negara anggota kelompok tersebut harus ditangani dalam kerangka PBB dan dengan cara yang tenang dan kepala dingin.
Sebelumnya Amerika Serikat pada Senin menyatakan bahwa Presiden Barack Obama dan para pemimpin dari Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia dan Jepang memutuskan untuk mengakhiri peran Rusia dalam G8 atas krisis di Ukraina dan status Crimea.
Tujuh kekuatan ekonomi utama tersebut (G7) juga mencerca pertemuan yang direncanakan, di mana Presiden Rusia Vladimir Putin akan menjadi tuan rumah di kota Sochi pada bulan Juni.
G7 menyatakan bahwa mereka akan mengadakan pertemuan di Brussels tanpa Rusia, bukan KTT G8. Mereka juga mengancam akan menerapkan sanksi lebih keras terhadap Moskow. (IRIB Indonesia/RA)
Senat AS Ajukan Paket Bantuan $ 1 Milyar untuk Ukraina
(PADAHAL RUSIA MENJANJIKAN DONASI DAN PAKET BANTUAN $ 17 MILYAR...??? ALANGKAH JAUHNYA...BEDA TERSEBUT..??? LALU DIMANA KONSEP PEMIKIRAN PARA PEMIMPIN YANG PRO EROPA ITU..??)
Islam
Times - http://www.islamtimes.org/vdcdzk0sxyt09k6.lp2y.html
"Isu paling penting adalah meluluskan UU ini sesegera mungkin.
Isu-isu lain yang kurang penting [bisa dibahas] di kemudian hari," kata
Senator John McCain menjelang pemungutan suara.
Senat AS
Senat AS mengajukan RUU bantuan keuangan untuk Ukraina dan pemberian sanksi terhadap Rusia.
Para senator AS dengan 78 suara akhirnya memutuskan hal itu hari Senin (24/3/14). Sekitar 20 senator dari kubu Republik bergabung dengan kubu Demokrat dengan mendukung usulan tersebut.
"Isu paling penting adalah meluluskan UU ini sesegera mungkin. Isu-isu lain yang kurang penting [bisa dibahas] di kemudian hari," kata Senator John McCain menjelang pemungutan suara.
RUU itu akan memberi bantuan $ 1 milyar pada pihak berwenang baru di Kiev dan $ 100 juta untuk 'mempromosikan demokrasi dan keamanan' di negara itu.
RUU yang didukung oleh Presiden AS Barack Obama itu bisa digolkan akhir pekan ini. RUU itu juga akan menjatuhkan sanksi terhadap tokoh-tokoh yang diduga terlibat dalam reintegrasi Crimea ke Rusia baru-baru ini.
Sementara Moskow mengatakan sanksi yang dijatuhkan hanya akan mempersulit situasi.
Kelompok G8 juga mengancam akan meningkatkan langkah-langkah terhadap Rusia terkait krisis Ukraina. Dalam pernyataan yang dikeluarkan setelah pembicaraan krisis di Den Haag pada hari Senin (24/3/14), mereka siap mengintensifkan sanksi terkoordinasi terhadap Moskow. Mereka juga menyeru Rusia agar meredakan situasi politik yang memanas.
Bahkan G8 membatalkan rencana pertemuan di resor kota Laut Hitam, Sochi pada bulan Juni dan mengataka, mereka akan mengadakan pertemuan di Brussels tanpa Rusia. Dan G8 yang terbentuk tahun 1998 dan terdiri dari Amerika, Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Jepang, Italia dan Rusia menjadi G7 tanpa kehadiran Rusia.
Baru-baru ini, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Eropa dan Eurasia, Victoria Nuland mengungkapkan bahwa Washington telah menginvestasikan sekitar $ 5 milyar dalam upaya 'mempromosikan demokrasi ' di Ukraina dalam dua dekade terakhir.[IT/r]
Pejabat Iran: AS dan Barat akan Kalah di Ukraina
Islam
Times -
"Amerika dan Barat pasti tidak akan memperoleh apa-apa di
Ukraina karena masyarakat dalam peristiwa tersebut [referendum] telah
menentukan nasib mereka sendiri. Mereka [Barat] akan gagal mencapai
tujuan mereka," kata Mohammad Esmail Kowsari pada hari Senin (24/3/14).
Esmail Keswari
Seorang anggota Parlemen Iran mengecam campur tangan AS dan Barat di Ukraina dan mencatat bahwa usaha mereka akan gagal di negara yang dilanda krisis itu.
"Amerika dan Barat pasti tidak akan memperoleh apa-apa di Ukraina karena masyarakat dalam peristiwa tersebut [referendum] telah menentukan nasib mereka sendiri. Mereka [Barat] akan gagal mencapai tujuan mereka," kata Mohammad Esmail Kowsari pada hari Senin (24/3/14).
Menurut Kowsari, campur tangan AS di Ukraina berakar dari arogansi Washington.
"Upaya intimidasi dan campur tangan negara-negara Barat tidak mengenal batas dan mereka mengatakan bahwa semua wilayah harus berada di bawah dominasi mereka," tambah legislator Iran itu.
Kowsar juga mencatat, meski Amerika dan sekutu Baratnya mengklaim bahwa mereka sangat komitmen pada proses demokrasi tapi pada saat yang sama mereka mengabaikan opini publik di Ukraina.
Ukraina dicengkeram krisis politik sejak November 2013 setelah Presiden Ukrainia, Viktor Yanukovych yang menolak penandatanganan Perjanjian Asosiasi dengan Uni Eropa digulingkan.[IT/r]
Analis: Saatnya Jatuhkan Sanksi untuk Amerika Serikat!
Islam
Times- http://www.islamtimes.org/vdchwmnxv23n-id.yrt2.html
Kekerasan AS tidak terbatas pada negara lain. "Di dalam negeri,
contoh terbaik diilustrasikan oleh pemenjaraan besar-besaran warga
Amerika keturunan Afrika (berkulit hitam)," ujar Piascik.
Boikot Amerika (http://www.amerikaos.com)
Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi pada Rusia dan akan melakukan yang sama pada Venezuela. Dalam hal ini, penting dicatat, negara mana sebenarnya yang paling merusak dan berbahaya di dunia saat ini? Demikian ungkap analis internasional, Andy Piascik.
"Saat pertanyaan itu diajukan dalam jajak pendapat internasional beberapa dekade terakhir, jawabannya tak lain dari AS. Bukan Iran, Korea Utara, Suriah, Kuba, Venezuela, Rusia, atau salah satu dari banyak negara lain yang dijelek-jelekkan kelas penguasa dan media korporasi di sini secara teratur, tapi Amerika Serikat," ujarnya.
Orang-orang di negara-negara Selatan, kata Piascik, juga tahu betul tentang hal ini dari sejarah panjang dan brutal kebijakan luar negeri AS. "Karena kita hidup dalam masyarakat tertutup seperti itu, bagaimanapun, di mana analisis kritis terhadap imperialisme secara harfiah dikecualikan dari diskusi di Washington dan media nasional, warga di sini harus mencari informasi tersebut dengan penuh kesulitan dan dalam waktu lama," imbuh kritikus kekaisaran AS ini.
Bila informasi semacam ini meresap dalam arus utama, ujar Piascik, maka pihak elit yang berkuasa akan segera menjelek-jelekkan dan menutup-tutupinya, sama seperti mereka menjelek-jelekkan tokoh internasional yang mereka anggap musuh.
Menurut Washington, lanjutnya, sanksi sedang dipertimbangkan terhadap Venezuela karena tindakan represif dan kekerasan yang disandangkan nyaris secara khusus kepada pemerintah. "Pada kenyataannya, kaum kontrarevolusionerlah yang seharusnya bertanggung jawab atas sebagian besar mereka yang tewas, termasuk setidaknya kematian seorang pengendara sepeda motor yang dipenggal oleh kawat yang tergantung di jalan," kata Piascik dengan tegas.
Taktik ini disarankan Jenderal (pur.) Angel Vivas, yang telah menjadi pahlawan kontrarevolusi atas pembangkangan bersenjata terhadap upaya pemerintah untuk menangkapnya menyusul kematian pengendara sepeda motor itu. "Bersamaan dengan itu, AS telah memberlakukan sanksi terhadap Rusia dan mengancam eskalasi militer dalam menanggapi 'serangan' ke Crimea," paparnya.
Sejarah, lanjut Piascik, mendokumentasikan pelbagai agresi langsung dan rentetan kejahatan AS lainnya yang dilakukan lewat pembiayaan bantuan senjata, dan dukungan diplomatik terhadap negara-negara klien. "Karena terlalu banyak, mari kita batasi semua itu hanya dalam 14 tahun pada abad ini," ujarnya.
Pada 2001, AS menginvasi Afghanistan, seolah-olah untuk menanggapi serangan 9/11, padahal tak seorang pun warga Afghanistan yang terlibat, sementara sebagian besarnya (pelaku yang terlibat) adalah warga Saudi. "AS tak mungkin menginvasi Arab Saudi karena ia sekutu setia dan sangat penting," tegas Piascik.
Pada 2002, lanjutnya, kaum reaksioner yang mewakili kelas super kaya Venezuela menerima dana puluhan juta dolar dari CIA, USAID, National Endowment for Democracy, dan sumber-sumber AS lainnya untuk digunakan menggulingkan pemimpin yang terpilih secara demokratis dan sangat populer, mendiang Hugo Chavez. "Rakyat Venezuela segera bangkit dan menggagalkan kudeta, namun dana, sabotase, dan subversi terus berlanjut," terang Piascik.
Kaum oligarki lama, lanjutnya, diliputi kemarahan dan frustrasi akibat kekalahan terus-menerus dalam pemilu dan di jalan-jalan. "Mereka membangkang tanpa dukungan internasional selain dari AS dan tetangganya, Kolombia," ungkap Piascik. Kekerasan baru-baru ini sejak bulan lalu menjadi momen paling serius di Venezuela sejak kudeta gagal 2002, dan kendati sudah sepenuhnya mengisolasi, AS tetap menggenjot propaganda perangnya selama 15 tahun terhadap Revolusi Bolivarian.
Pada 2003, AS secara ilegal menyerbu Irak dan menghancurkan negara itu. "Argumen yang digunakan untuk membenarkan invasi itu adalah bahwa pemimpin Irak waktu itu, Saddam, menjadi ancaman besar karena memiliki senjata pemusnah massal," imbuh Piascik.
AS tahu betul, katanya, senjata semacam itu tak ada dan invasi telah menghasilkan apa yang disebutkan beberapa laporan internasional, kematian lebih dari satu juta warga Irak. "Di tengah kehancuran, kini Irak diganggu pertempuran internal yang pahit. Pusat pertempuran itu adalah al-Qaeda, yang sama sekali tidak hadir di Irak namun sekarang menjadi kekuatan tangguh berkat invasi [AS]," tegas Piascik.
Setelah menekan Muammar Qaddafi selama beberapa dekade untuk menyerahkan senjata Libya, lanjutnya, AS secara ilegal menginvasi negara itu pada 2011, tak lama setelah ia memenuhi [tuntutan AS] itu. "Setidaknya 50 ribu orang tewas sebagai hasilnya, termasuk Qaddafi, dan Libya telah jatuh dalam kekacauan yang terus berlanjut sampai hari ini," papar Piascik.
Di tempat lain di Timur Tengah, tutur Piascik, AS terus mendukung pendudukan "Israel" yang terus meluas atas wilayah Palestina dan kembali menemukan dirinya berada di pihak yang sama dengan al-Qaeda dan teroris lainnya di Suriah saat berupaya melakukan sesuatu yang sama dengan yang diupayakan di Irak, Libya, dan Afghanistan.
Sejak 1990-an, AS mendukung pembunuh massal Paul Kagame di Rwanda seraya menggambarkannya sebagai pahlawan. "Kenyataannya, perang di Rwanda dimulai dengan invasi pada 1990 dari Uganda oleh Front Patriotik Rwanda, pasukan Kagame yang segera menjadi pimpinan," ungkap Piascik.
Mantan Sekretaris Jenderal PBB, Boutros Gali (mengutip Robin Philpot dari Counterpunch) menyalahkan AS atas dukungannya terhadap Kagame dan RPF, yang menurut beberapa laporan, bertanggung jawab atas lebih dari satu juta, bahkan mungkin beberapa juta, kematian di Rwanda. "Genosida Rwanda 100 persen tanggung jawab AS," tegasnya.
Di Amerika Latin, lanjut Piascik, selain mendukung kaum kontrarevolusi di Venezuela, AS terus melancarkan Perang Melawan Narkoba di Kolombia yang kenyataannya merupakan perang melawan rakyat yang dirancang untuk menghancurkan oposisi terhadap dominasi modal global. "Dan pada 2009, AS nyaris sendirian mengakui pemerintahan kudeta yang berkuasa di Honduras setelah menggulingkan pembaharu yang terpilih secara demokratis, Manuel Zelaya," paparnya.
Kekerasan AS tidak terbatas pada negara lain. "Di dalam negeri, contoh terbaik diilustrasikan oleh pemenjaraan besar-besaran warga Amerika keturunan Afrika (berkulit hitam)," ujar Piascik.
Dengan tingkat penahanan tertinggi di dunia dan sebagian besar tahanan berkulit hitam serta kekerasan polisi yang makin hakim sendiri dan kini terus berlangsung nyaris secara khusus ditujukan pada warga kulit hitam, AS tidak jauh beda dari Afrika Selatan di masa apartheid. "Mungkin diperlukan sanksi internasional untuk mengubah AS menjadi negara pariah, dan mengisolasinya secara diplomatik guna membantu negara paling berbahaya di dunia itu mendapatkan dosis peradaban," kata Piascik dengan geram.
Dan rakyat AS memikul tanggung jawab khusus untuk menentang agresi pemerintahnya maupun pendanaan dan upaya mereka mempersenjatai orang-orangnya yang terlibat dalam teror di seluruh dunia. (IT/GR/rj)
Pasukan Pro-Rusia Tangkap Sebuah Kapal Ukraina
Sekelompok orang bersenjata pro-Rusia menangkap sebuah kapal dari Armada Laut Hitam Ukraina di pelabuhan Sevastopol Crimea menyusul dikuasainya fasilitas militer Ukraina di semenanjung Laut Hitam itu oleh pasukan Rusia .
Kementerian Pertahanan Ukraina pada Sabtu (22/3) mengumumkan bahwa pasukan pro-Rusia telah menyita kapal Slavutich yang terblokir di Sevastopol, sebuah kota di barat daya Crimea.
Sementara pada hari yang sama, pasukan pro-Rusia menyerbu sebuah pangkalan udara Ukraina di Crimea. Tembakan dan ledakan terdengar di pangkalan udara Belbek, di luar Sevastopol, setelah kendaraan lapis baja pengangkut personel militer mendobrak gerbang pasca berakhirnya ultimatum yang diberikan Rusia kepada pasukan Ukraina.
Sebelumnya, militer Rusia mengepung pangkalan udara itu dan mengeluarkan ultimatum kepada pasukan yang berada di dalamnya untuk menyerahkan senjata mereka dan meninggalkan pangkalan tersebut, namun Ukraina menolak untuk mengizinkan mereka masuk.
Menurut komandan pangkalan udara Belbek, Yuliy Mamchur, satu warga Ukraina terluka dalam pengambilalihan pangkaaln tersebut.
Pangkalan udara Belbek adalah salah satu fasilitas militer terakhir di Crimea yang masih di bawah kontrol Ukraina.(IRIB Indonesia/RA)
Gurita Korporasi Multinasional
Oleh: Purkon Hidayat
Kesejahteraan ekonomi bagi pengusung Trickle Down Effect
ibarat tetesan air dari atas ke bawah. Para pengusungnya meyakini bahwa
kemakmuran akan tercapai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa
perlu memperhitungkan pemerataan ekonomi. Dalam pandangan teori ini,
ekspansi ekonomi, termasuk peningkatan jumlah orang kaya, akan berdampak
pada multiplier effect terhadap pelaku ekonomi di bawahnya,
sehingga akan berimbas terhadap kemakmuran. Tidak heran, jika kalangan
ini begitu bangga dengan prestasi pertumbuhan jumlah orang kaya di
Indonesia yang dinobatkan termasuk tertinggi di Asia.
November
lalu, Forbes Asia merilis daftar 50 orang terkaya di Indonesia tahun
2013. Beberapa milyarder justru menambah pundi-pundinya yang semakin
membengkak ketika perekonomian Indonesia cenderung bergejolak. Meski
laju pertumbuhan ekonomi masih bertengger di atas lima persen, tapi
nilai tukar rupiah terhadap valuta uang asing jeblok hingga 19 persen
dibandingkan tahun lalu.
Harian Kompas (22/11/2013) melaporkan,
jumlah harta 50 orang terkaya di Indonesia mencapai $95 miliar atau
Rp.1.111,5 triliun, dengan asumsi kurs ketika itu sebesar Rp.11.700
perdolar. Nilai ini setara dengan setengah dari utang pemerintah
Indonesia pada akhir Oktober 2013 sebesar Rp.2.273 triliun. Jumlah
tersebut naik 1,1 persen dibandingkan tahun lalu.
Selain itu,
pertumbuhan orang kaya Indonesia juga dilihat dari pemilik aset di atas
$1 juta yang mencapai 25 persen per tahun. Staf Ahli Asosiasi Perusahan
Ritel Indonesia (Aprindo) Yongki Susilo Kamis (16/1/2014) mengungkapkan
bahwa peningkatan ini menempatkan Indonesia di deretan negara yang
paling besar pertumbuhan orang kayanya di Asia. Meski demikian,
jumlahnya masih lebih kecil dibandingkan Cina. (Metrotv,16/1/2014).
Tentu saja, deretan angka fantastis tersebut memberikan kontribusi
terhadap data rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia. Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia secara kumulatif tumbuh
5,78 persen di tahun 2013. Produk domestik bruto (PDB) per kapita atas
dasar harga berlaku di tahun 2013 mencapai Rp.36,5 juta, atau senilai
$3.499,9, yang meningkat 8,88 persen dibandingkan PDB per kapita tahun
2012.
Tapi, di tengah gebyar naiknya jumlah orang kaya Indonesia
di tahun 2013, awal Januari lalu, BPS merilis data tingkat kemiskinan
Indonesia yang mengkhawatirkan. Kepala BPS Suryamin Kamis (2/1/2014)
mengungkapkan jumlah orang miskin di bulan September 2013 sebesar 28,55
juta atau berkisar 11,47 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah
tersebut bertambah sebanyak 0,48 juta orang dibandingkan dengan penduduk
miskin pada Maret 2013 sebanyak 28,07 juta orang, atau 11,37 persen.
Lebih parah lagi, laporan BPS juga mengungkapkan bahwa indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) Maret-September 2013, terjadi kenaikan dari 1,75 persen menjadi 1,89 persen. Tidak hanya itu, indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index)
juga naik dari 0,43 persen menjadi 0,48 persen. Laporan BPS tersebut
menunjukan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia semakin parah bukan
hanya dari jumlah dan prosentase saja. Tapi, tingkat kedalaman dan
keparahan pun kian mengkhawatirkan.
Kedua indeks tersebut
menunjukkan semakin tingginya tekanan hidup yang dihadapi penduduk
miskin. Melambungnya harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga BBM
menyebabkan daya beli penduduk miskin semakin menurun, tapi di sisi lain
tingkat pendapatan mereka tidak mengalami peningkatan. Akibatnya
kehidupan mereka semakin jauh dari sejahtera. Data tersebut belum
termasuk penduduk "hampir miskin" yang jumlahnya semakin meningkat
melebihi jumlah penduduk miskin. Tampaknya, data BPS tersebut masih
fenomena gunung es yang tidak mencerminkan realitas kemiskinan
sebenarnya di luar deretan angka. Belum lagi banyak pihak yang keberatan
dengan standar kemiskinan yang ditetapkan BPS sekitar Rp 211 ribu per
kapita per bulan, bahkan standar ini berbeda dengan ukuran Bank Dunia.
Potret kontras yang menampilkan realitas kesenjangan sosial
meningkatnya jumlah orang kaya yang segelintir dengan aset begitu besar,
dan jumlah penduduk miskin yang semakin membengkak di tanah air memicu
pertanyaan besar; ketimpangan.
Indonesia mendapat pujian dari
berbagai kalangan karena mampu menampilkan indikator makro ekonomi yang
berkilau, seperti laju pertumbuhan ekonomi yang bertengger rata-rata
5,85 persen dalam kurun waktu 2008-2013. Tapi, di sisi lain tingkat
ketimpangan juga semakin mengkhawatirkan. Data Indeks Gini Indonesia
dari tahun 2004 hingga tahun 2013 memperlihatkan tren yang meningkat,
bahkan pada tahun 2013 menunjukkan angka 0,413.
Dari kepingan laporan ekonomi Indonesia tersebut ada beberapa hal yang bisa dicermati lebih jauh.
Pertama,
berbagai data ini menunjukan ketidakadilan distribusi pendapat yang
bertumpuk di kalangan tertentu saja. Perekonomian Indonesia, terutama
sumber produksinya ternyata dikendalikan oleh segelintir orang yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Dewasa ini hampir seluruh kebutuhan
pokok masyarakat dikendalikan oleh korporasi raksasa, dengan menguasai
begitu banyak sektor strategis, dari bahan bakar, jalan tol hingga air
minum. Besarnya pengaruh korporasi raksasa terhadap kehidupan masyarakat
menyebabkan mereka mampu mendiktekan kepentingan ekonominya terhadap
masyarakat bahkan negara. Akibatnya segelintir konglomerat terus
"menggemukkan" pundi-pundi hartanya, sedangkan jutaan rakyat yang miskin
dan hampir miskin semakin jauh dari sejahtera.
Kedua,
populasi penduduk Indonesia yang besar menjadi pasar potensial bagi
perusahaan raksasa termasuk incaran korporasi multinasional. Laporan
BPS menunjukkan bahwa struktur PDB tahun 2013 masih didominasi oleh
pengeluaran konsumsi rumah tangga yang tumbuh 55,82 persen. Hingga kini
berbagai korporasi asing beroperasi di Indonesia dengan mendulang emas
dari besarnya jumlah penduduk yang dijadikannya sebagai pasar konsumtif.
Ketiga,
meskipun amanat UUD 1945 Pasal 33 menyatakan, "Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", tapi realisasinya masih jauh
panggang dari api. Hal tersebut ditegaskan hasil survei yang dilakukan
Indo Survey dan Strategy yang menunjukkan bahwa sebanyak 53,3 persen
masyarakat tidak percaya terhadap pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945
tersebut. (Kompas,20/10/2013).
Bertebarannya korporasi
multinasional di Indonesia mengeruk kekayaan bangsa ini dan hanya
sedikit saja kontribusinya bagi negara kita, ternyata bukan hanya
fenomena yang menimpa Tanah Air saja. Di tingkat global, segelintir
korporasi multinasional menguasai hajat hidup publik dunia, bahkan
kebutuhan pokok seperti pangan dunia pun berada dalam kendalinya.
Khudori (2011) mengutip laporan South Center (2005) menunjukkan bahwa
sekitar 85-90 persen perdagangan pangan dunia dikontrol hanya lima
korporasi multinasional. Sekitar 75 persen perdagangan serelia dikuasai
oleh dua korporasi multinasional. Dua korporasi raksasa menguasai 50
persen perdagangan dan produksi pisang. Tiga korporasi multinasional
menguasai 83 persen perdagangan kakao. Tiga korporasi menguasai 85
persen perdagangan teh. Lima korporasi mengendalikan 70 persen produksi
tembakau. Tujuh korporasi menguasai 83 persen produksi dan perdagangan
gula. Empat persen mengendalikan hampir dua pertiga pasar pestisida.
Sedangkan empat korporasi raksasa menguasai seperempat bibit (termasuk
paten) dan hampir seratus persen pasar global bibit transgenik.
Keserakahan korporasi menyebabkan dunia timpang, karena mereka menguasai
pasar seluruh kebutuhan pokok masyarakat dunia. Tampaknya, Noreena
Hertz benar, "Pasar yang tidak diatur, keserakahan korporasi, dan lebih
lagi lembaga keuangan akan memiliki konsekuensi global yang serius
terutama berdampak buruk bagi warga biasa".
Cengkeraman
korporasi multinasional di dunia memanfaatkan kelemahan demokrasi
Liberal yang dipaksakan penerapannya di berbagai negara dunia, tanpa
memerdulikan kearifan lokal. Korporasi raksasa multinasional juga
memanfaatkan lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk
menekan kebijakan pemerintah sasaran pasar, termasuk Indonesia agar
memuluskan jalan bagi mereka untuk mendulang pundi-pundi kekayaan di
seluruh dunia. Model "Democracy without Adjectives" yang berkembang
dewasa ini tidak lain dari cara korporasi multinasional membenamkan
cakarnya di seluruh dunia tanpa mengenal batas dan rambu-rambu, bahkan
aturan negara. Saking mengguritanya korporasi multinasional di dunia,
Hertz (1999) menyebut korporasi multinasional menjelma menjadi institusi
dominan yang mengalahkan negara dari sisi kekuasaan dan pengaruhnya di
dunia.
Hertz sejalan dengan tesis Leftwich (1993), Gibson
(1993), Hadenius dan Uggla (1990) yang menunjukkan model baru demokrasi
yang diadopsi saat ini sebagai cara baru korporasi multinasional
mengintervensi negara-negara dunia. Inilah kemasan paling ampuh
Kapitalisme global untuk memasukkan agenda tersembunyi ke negara tujuan
dengan menggusur peran negara dan menggantikannya dengan pasar.
Dalam banyak kasus di Indonesia, buah getir dari agenda tersembunyi itu
memasuki berbagai sektor, termasuk proses pembuatan undang-undang di
DPR. Badan Intelejen Negara (BIN) melaporkan bahwa proses pembuatan 79
undang-undang di DPR dikonsep oleh konsultan asing (beritasatu,2001).
Menurut anggota DPR, Eva Sundari, kebanyakan undang-undang yang menjadi
sasaran intervensi asing di sektor migas, energi dan pertanian. Mungkin
inilah yang disebut Noreena Hertz sebagai "Silent Takeover". Kekayaan
bangsa-bangsa dunia, termasuk sumber daya alam negara kita yang kaya
raya, diambilalih diam-diam oleh korporasi multinasional itu. Tapi, kita
acapkali tidak menyadarinya!(IRIB Indonesia/Liputan Islam)
L’Ukraine Est Une Autre Syrie
Oleh: Dina Y. Sulaeman*
Membaca berbagai berita tentang Ukraina, terasa bagai deja vu. Terlepas dari perbedaan besar isu penyebab konflik di kedua negara, kerusuhan di Ukraina terlihat jelas menggunakan template atau cetakan yang sama dengan Suriah. L'Ukraine est une autre Syrie. Ukraina adalah Suriah yang lain.
Kehadiran tokoh Yahudi-Prancis, Bernard Henri Levy, di depan lautan manusia yang memenuhi Maidan --singkatan dari Maidan Nezalezhnosti atau Lapangan Kemerdekaan—di Kiev, menjadi simbol utama kesamaan template
itu. Levy dulu memprovokasi masyarakat Barat untuk ‘membantu' rakyat
Suriah menggulingkan Assad (bahkan sebelumnya, juga hadir di Libya, di
depan para demonstran anti-Qaddafi). Kini di Kiev, dia berpidato
berapi-api, menyeru rakyat Ukraina, "Les gens de Maidan, vous avez un rêve qui vous unit. Votre rêve est l'Europe!"(wahai orang-orang Maidan, kalian punya mimpi yang mempersatukan kalian. Mimpi kalian adalah Eropa!)
Ya, Ukraina memang tengah diadu-domba dengan menggunakan isu Uni Eropa.
Sebagian rakyat setuju bergabung dengan UE, sebagian lagi menolak.
Pengalaman Yunani yang bangkrut akibat bergabung dengan UE membuat
banyak orang sadar, UE dan pasar bebas Eropa bukanlah gerbang kemakmuran
bagi rakyat banyak. Hanya segelintir yang diuntungkan,dan para
kapitalis kelas kakap Eropalah yang jauh lebih banyak mengeruk laba.
Sebagaimana polisi Suriah yang habis-habisan diberitakan brutal oleh
media Barat dan para pengekornya, Berkut (polisi) Ukraina pun mengalami
nasib yang sama. Tak ada yang peduli bahwa polisi memang bertugas
mengamankan gedung dan para pejabat negara dari aksi-aksi anarkis. Tak
ada yang mencatat (kecuali jurnalis independen) bahwa baik Assad maupun
Yanukovich melarang polisi menggunakan senjata mematikan dalam
menghadapi demonstran, dan akibatnya banyak polisi yang jadi korban,
dipukuli atau kena lemparan batu dan molotov para demonstran.
Gaya para demonstran antipemerintah di Damaskus dan Kiev pun mengikuti
‘cetakan' yang sama dengan gaya demonstrasi oposisi Mesir, Tunisia,
Venezuela, Belarus, Georgia, atau Iran. Mereka memprovokasi polisi,
serta menyerang gedung-gedung pemerintah, yang tentu saja mendatangkan
reaksi keras dari polisi. Tak heran, karena mentor mereka pun sama:
CANVAS, perusahaan konsultan revolusi yang membina kaum oposan di lebih
dari 40 negara. Pentolan CANVAS adalah Srdja Popovic, arsitek gerakan
penggulingan Slobodan Milosevic (Serbia) pada tahun 2000. Para pendukung
dana CANVAS adalah lembaga-lembaga terkemuka seperti United States
Institute for Peace (USIP) yang didanai Kongres AS, New Tactics (didanai
Ford Foundation dan Soros Foundation), dan lain-lain.
Foreign Policy melaporkan, selama enam bulan pertama tahun 2012, 40
aktivis oposisi Syria mengadakan pertemuan di Jerman yang dikoordinir
oleh USIP untuk merancang bentuk dan agenda pemerintahan
pasca-Assad.Tak jauh beda, demonstran Ukraina pun dididik oleh
tangan-tangan Amerika. Pengakuan dari Asisten Menteri Luar Negeri
Amerika, Victoria Nuland, memberikan buktinya. Nuland mengatakan,
Amerika telah menginvestasikan $5 milyar untuk ‘mengorganisir jaringan
guna memuluskan tujuan Amerika di Ukraina'selain untuk memberikan ‘masa
depan yang layak bagi Ukraina.'
Bahkan Menlu Kanada
juga mengakui telah memberikan sumbangan ‘luar biasa' pada sebuah LSM di
Ukraina untuk rumah sakit darurat dan peralatan medis. Bantuan itu
diberikan tepat sehari sebelum kelompok oposisi bersenjata menyerbu
Maidan dan mengakibatkan jatuhnya banyak korban, termasuk tewasnya
sejumlah polisi, pada 18/2.
Di Suriah, dengan alasan
‘melawan kebrutalan rezim', para pemberontak angkat senjata, dan senjata
disuplai dari luar negeri. Tak beda jauh, demonstran Ukraina pun angkat
senjata. Sebelum terang-terangan angkat senjata, kelompok oposisi di
dua negara ini sama-sama menggunakan taktik penembak gelap. Korbannya
rakyat sipil, dan dengan segera di-blow up media massa; disebut sebagai
korban kebrutalan polisi.
Bila di Suriah, ada Turki
yang menikam dari belakang, di Ukraina ada Polandia. Tentu bukan
kebetulan bila Polandia dan Turki sama-sama anggota NATO, dan bahkan
sama-sama negara yang menyediakan wilayahnya untuk pangkalan militer AS.
Turki membuka perbatasannya untuk suplai dana, senjata, dan pasukan
jihadis dari berbagai penjuru dunia menuju Suriah; serta merawat para
pemberontak yang terluka. Pada 20/2, PM Polandia menyatakan negaranya
telah merawat pemberontak bersenjata dari Kiev, dan bahkan sudah
memerintahkan militer dan Kementerian Dalam Negeri untuk mempersiapkan
rumah sakit agar bisa menolong lebih banyak lagi.
Suriah terjebak dalam konflik berdarah-darah, yang entah kapan berakhir.
Kelompok-kelompok radikal merajalela di berbagai penjuru negeri,
menggorok leher orang-orang atas nama Tuhan dan menentengnya dengan
bangga di depan kamera. Gedung-gedung bersejarah, pasar-pasar kuno, dan
warisan budaya berusia ribuan tahun hancur lebur.
Ukraina tak jauh beda, sebuah negeri dengan keindahan alam yang
mengagumkan, menyimpan gedung-gedung kuno eksotis Eropa Timur, dan
bahkan ada jejak-jejak panjang kehadiran Islam di sana. Yanukovich
memang sudah terguling, tapi konflik belum selesai. Perang saudara sudah
di ambang mata. Bila di Suriah, yang maju ke depan untuk ‘berjihad'
adalah kelompok Islam radikal, di Ukraina ada kelompok-kelompok
ultra-kanan. Salah satu kelompok demonstran di Maidan, Ukrainian
People's Self-Defense (UNA-UNSO, organisasi ‘turunan' NAZI), diketahui
dilatih kemiliteran di kamp NATO di Estoniapada 2006.Mereka diajari
membuat peledak dan menembak.
Skenario di Suriah dan
Ukraina sedemikian mirip, sama miripnya dengan berbagai aksi
penggulingan rezim di berbagai negara lain, baik yang berhasil, ataupun
gagal. Terlepas bahwa pemimpin di negara-negara itu pantas atau tidak
digulingkan, terlalu naif bila kita mengabaikan begitu saja kemiripan
skenario ini. Ukraina adalah negara yang sangat subur, lumbung pangan
Eropa, dan tengah membangun kekuatan industri. Tak heran bila Uni Eropa
sangat menginginkannya. AS pun menggunakan kekacauan Ukraina untuk
melemahkan Rusia, rivalnya di Suriah.
Dan jangan
lengah. Alam Indonesia jauh lebih kaya dari Ukraina. Skenario yang sama,
dengan isu berbeda, sangat mungkin akan melanda negeri ini dalam waktu
dekat. Kecerdasan melihat mana kawan, mana lawan, adalah satu-satunya
cara untuk melindungi keselamatan bangsa kita. Persatuan adalah kata
kuncinya. Jangan biarkan Indonesia menjadi une autre Syrie.[IRIB Indonesia/PH]
*mahasiswi Program Doktor Hubungan Internasional Unpad, peneliti di Global Future Institute
(referensi utama: www. voltairenet.org)
25 March 2014
Last updated at 05:53
Washington landslide death toll rises to 14
Authorities
in the US state of Washington have found six more bodies after
Saturday's huge landslide, bringing the number known to have been killed
to 14, say police.
Officials now say as many as 176 people may remain
unaccounted for after the 177ft (54m) wall of mud hit near the town of
Oso, north of Seattle.
Search crews have worked day and night, using helicopters and laser imaging.
But officials admit they have little hope of finding survivors.
President Barack Obama has declared an emergency in
Washington state and ordered federal authorities to co-ordinate the
disaster relief effort.
Speaking earlier after surveying the area from the air,
Washington Governor Jay Inslee said it was "devastation beyond
imagination".
He said the slide "basically cut a mountain in two" and
deposited it on the town below. Nothing in the path of the slide was
still standing.
"It's that absolute devastation that causes us all real pain," he said.
Family members and volunteers were using chainsaws and their bare hands to shift the wreckage and try to find those missing.
Cory Kuntz, helped by others, worked with chainsaws to cut
through the roof of his uncle's house, which was swept about 450ft
(137m) from its location.
He said his aunt, Linda McPherson, had been killed. He and the others pulled files and personal effects from the house.
"When you look at it, you just kind of go in shock," he said.
Half a town gone
Gail Moffett, a retired firefighter, said she knew about 25
people who were missing, including entire families with young children.
At a news conference on Monday evening, Snohomish County
emergency management director John Pennington said the official list of
the missing stood at 176.
But he said he did not think the final death toll would be so
high, because some of those listed as unaccounted for would be found to
be alive, and other names would prove to be duplicates.
But he said authorities no longer expected to find survivors in the debris.
"We as a community, we as a county, are beginning to realise that we are moving toward a recovery operation," he said.
"There is an awful lot of grieving."
The landslide left behind a cliff known as a head scarp 600ft
high, Washington state geologist Dave Norman told reporters on Monday
afternoon.
"This is one of the biggest landslides I've seen," Mr Norman said.
Authorities have continued their search-and-rescue operations
amid a tangled, water-logged field of mud and debris, using rescue
dogs, aerial photography and laser imaging to help the search.
Stable
Officials said the conditions were treacherous, and the threat
of further landslides on Monday forced the authorities to pull rescue
workers back from the scene briefly until scientists determined there
was no further risk.
"Right now it's stable, it's in good shape, and the good news
is the rescue can continue," said Steve Tomsen, Snohomish County public
works director.
More than 30 homes were destroyed and more than half the town of Oso is missing - a recent census put its population at 180.
The landslide cut off the city of Darrington and clogged the north fork of the Stillaguamish River.
Mr Norman said the river had begun to flow over the debris,
relieving the water pressure in the part of the river blocked behind the
landslide and lessening the chances of a catastrophic flood if the
water should break through all at once.
The authorities say the landslide was caused by recent heavy
rain, although Mr Norman said the area's terrain was made up of unstable
glacial sediment and had been subject to landslides since the last ice
age.
He said landslides occurred in the area in 2006 and 1969.
Have you been affected
by the landslide? Email your experiences to haveyoursay@bbc.co.uk with
the subject heading 'US landslide' or fill in the form below.