Menelusuri Khutbah Rasulullah Saw
di Ghadir Khum
http://www.icc-jakarta.com/menelusuri-khutbah-rasulullah-saw-di-ghadir-khum/
Saw
setelah menanggung berbagai derita selama 23 tahun menyebarkan risalah
Ilahi bersabda, “Tidak ada nabi seperti diriku yang menanggung
penderitaan berat dalam menyampaikan risalahnya.” Di akhir masa
kenabiannya, Muhammad Saw saat menunaikan Haji Wada dan ketika berada di
Ghadir Khum menunjuk penggantinya setelah mendapat perintah dari Allah
Swt. Pengganti Nabi ini terkenal keberaniannya, ikhlas, pertama memeluk
Islam, dan berulang kali telah menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang
layak menggantikan sang Nabi.
Disebutkan bahwa Nabi menyadari kekuatan
kaum munafik dan kebencian mereka terhadap Imam Ali bin Abi Talib as.
Nabi sesaat khawatir untuk mengumumkan penggantinya, namun kemudian ayat
al-Quran turun yang mensyaratkan kesempurnaan risalahnya dengan
mengumumkan penggantinya serta Allah Swt akan menjaga Nabi-Nya dari
kejahatan musuh.
Dengan demikian ketika rombongan haji
telah tiba di Ghadir Khum yang merupakan persimpangan bagi para jamaah
haji untuk kembali ke rumah masing-masing, Rasulullah Saw memerintahkan
rombongannya untuk berhenti dan mendirikan kemah. Ketika jamaah haji
lainnya tiba di Ghadir Khum, yang saat itu jumlahnya mencapai sekitar
120 ribu orang, Rasulullah naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya.
Setelah menyampaikan pidatonya, Nabi
meminta Imam Ali naik ke mimbar dan mengangkat tangan Imam serta
mengenalkan kepada umat Islam bahwa Ali bin Abi Talib adalah
penggantinya. Nabi bersabda bahwa ketaatan kepada Ali bin Abi Thalib
sama dengan ketaatan kepada beliau. Selanjutnya Nabi memberitahukan
kepada umat Islam bahwa keluarganya (Ahlul Bait) posisinya setara dengan
al-Quran. Nabi mengingatkan bahwa Ahlul Bait dan al-Quran tidak akan
terpisah hingga Hari Kiamat kelak. Keduanya menurut Nabi merupakan
harapan kebahagiaan umat Islam.
Tak lama setelah itu, Rasulullah Saw
akhirnya menemui Tuhannya. Sang penyebar ajaran Ilahi ini setelah
berjuang selama 23 tahun kemudian meninggalkan dunia yang fana ini.
Adapun Allah Swt berjanji akan menjaga Kitab Suci al-Quran dari
tangan-tangan jahil yang berusaha mengubahnya.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S.15:9)
Kini Ali bin Abi Talib, kelahiran Ka’bah
dan besar di pangkuan Nabi, orang pertama yang memeluk Islam yang
mengikuti setiap detik turunnya wahyu karena berada di sisi Rasul mulai
mengkhawatirkan masa depan umat Islam.
Kini kami akan mengetengahkan khutbah
Rasul dan menjadikannya peta jalan risalah beliau guna membuka kembali
perjalanan umat Islam. Kami berharap dengan upaya ini umat tidak akan
terjebak ke jalan menyimpang dan menjadikan mereka sebagai penyeru pesan
Rasul ke dunia. Tak hanya itu, kami juga berharap pembaca menjadi
rasul-rasul di tengah keluarga dan kerabatnya yang meneruskan misi
Rasulullah Saw dan ajaran Ilahi.
Harapan ini selaras dengan sabda Rasul
yang menyebutkan, “Wahai kalian yang hadir dan mendengar pesan ini!
Wajib bagi kalian ketika pulang ke rumah masing-masing memberitahukan
pesan ini kepada mereka yang tidak hadir.”
Khutbah Rasul di Ghadir Khum
“Puji-pujian hanya milik Allah. Kami
memohon pertolongan, dan keyakinan, serta kepada-Nyalah kami beriman.
Kami mohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa-jiwa kita dan
dosa-dosa perbuatan kita. Sesungguhnya tiada petunjuk bagi seseorang
yang telah Allah sesatkan, dan tiada seorang pun yang sesat setelah
Allah beri petunjuk baginya.”
“Hai, kaum Muslimin! ketahuilah bahwa
Jibril sering datang padaku membawa perintah dari Allah, yang Maha
Pemurah, bahwa aku harus berhenti di tempat ini dan memberitahukan
kepada kalian suatu hal. Lihatlah! Seakan-akan waktu semakin dekat saat
aku akan dipanggil (oleh Allah) dan aku akan menyambut panggilannya.”
“Hai, Kaum Muslimin! Apakah kalian
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba serta
utusan-Nya. Surga adalah benar, neraka adalah benar, kematian adalah
benar, kebangkitan pun benar, dan ‘hari itu pasti akan tiba, dan Allah
akan membangkitkan manusia dari kuburnya?” Mereka menjawab: “Ya, kami
meyakininya.”
Nabi melanjutkan: “Hai, kaum Muslimin!
Apakah kalian mendengar jelas suaraku?” Mereka menjawab: “Ya.” Rasul
berkata: “Dengarlah! Aku tinggalkan bagi kalian 2 hal paling berharga
dan simbol penting yang jika kalian setia pada keduanya, kalian tidak
akan pernah tersesat sepeninggalku. Salah satunya memiliki nilai yang
lebih tinggi dari yang lain.”
Orang-orang bertanya: “Ya, Rasulullah, apakah dua hal. yang amat berharga itu?”
Rasulullah menjawab: “Salah satunya
adalah kitab Allah dan lainnya adalah Itrah Ahlulbaitku (keluargaku).
Berhati-hatilah kalian dalam memperlakukan mereka ketika aku sudah tidak berada di antara kalian, karena, Allah, Yang Maha Pengasih, telah memberitahukanku bahwa dua hal. ini (Quran dan Ahlulbaitku) tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka bertemu denganku di telaga (al-Kautsar).
Aku peringatkan kalian, atas nama Allah mengenai Ahlulbaitku. Aku peringatkan kalian atas nama Allah, mengenai Ahlulbaitku. Sekali lagi! Aku peringatkan kalian, atas nama Allah tentang Ahlulbaitku!”
Berhati-hatilah kalian dalam memperlakukan mereka ketika aku sudah tidak berada di antara kalian, karena, Allah, Yang Maha Pengasih, telah memberitahukanku bahwa dua hal. ini (Quran dan Ahlulbaitku) tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka bertemu denganku di telaga (al-Kautsar).
Aku peringatkan kalian, atas nama Allah mengenai Ahlulbaitku. Aku peringatkan kalian atas nama Allah, mengenai Ahlulbaitku. Sekali lagi! Aku peringatkan kalian, atas nama Allah tentang Ahlulbaitku!”
“Dengarlah! Aku adalah penghulu surga
dan aku akan menjadi saksi atas kalian maka barhati-hatilah kalian
memperlakukan dua hal. yang sangat berharga itu sepeninggalanku.
Janganlah kalian mendahului mereka karena kalian akan binasa, dan jangan
pula engkau jauh dari mereka karena kalian akan binasa!”
“Hai, kaum Muslimin! Tahukah kalian
bahwa aku memiliki hak atas kalian lebih dari pada diri kalian sendiri?”
Orang-orang berseru: “Ya, Rasulullah.” Lalu Rasul mengulangi: “Hai,
kaum Muslimin? Bukankah aku memiliki hak atas kaum beriman lebih dari
ada diri mereka sendiri?” Mereka berkata lagi: “Ya, Rasulullah.”
Kemudian Rasul berkata: “hai Kaum
Muslim! Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan aku adalah Maula semua
orang-orang beriman,” Lalu ia merengkuh tangan Ali dan mengangkatnya ke
atas. la berseru: “Barang siapa mengangkatku sebagai Maula, maka Ali
adalah Maulanya pula (Nabi mengulang sampai tiga kali) Ya, Allah!
Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang
memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah
orang-orang Yang menyelamatkannya, dan jagalah kebenaran dalam dirinya
ke mana pun ia berpaling! (artinya, jadikan ia pusat kebenaran).
Ali adalah putra Abu Thalib, saudaraku,
Washi-ku, dan penggantiku (khalifah) dan pemimpin sesudahku.
Kedudukannya bagiku bagaikan kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak
ada Nabi setelahku. la adalah pemimpin kalian setelah Allah dan
Utusan-Nya.”
“Hai, kaum Muslimin! Sesungguhnya Allah
telah menunjuk dia menjadi pemimpin kalian. Ketaatan padanya wajib bagi
seluruh kaum Muhajirin dan kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dalam kebaikan dan penduduk kota dan kaum pengembara, orang-orang
Arab dari orang-orang bukan Arab, para majikan dan budak, orang-orang
tua dan muda, besar dan kecil, putih dan hitam.”
“Perintahnya harus kalian taati, dan
kata-katanya mengikat serta perintahnya menjadi kewajiban bagi setiap
orang yang meyakini Tuhan yang satu. Terkutuklah orang-orang yang tidak
mematuhinya, dan terpujilah orang-orang yang mengikutinya, dan
orang-orang yang percaya kepadanya adalah sebenar-benarnya orang
beriman. Wilayahnya (keyakinan kepada kepemimpinannya) telah Allah, Yang
Maha kuasa dan Maha tinggi, wajibkan.”
“Hai kaum Muslimin, pelajarilah Quran!
Terapkanlah ayat-ayat yang jelas maknanya bagi kalian dan janganlah
kalian mengira-ngira ayat-ayat yang bermakna ganda! Karena, Demi Allah,
tiada seorang pun yang dapat menjelaskan ayat-ayat secara benar akan
makna serta peringatannya kecuali aku dan lelaki ini (Ali), yang telah
aku angkat tangannya ini di hadapan diriku sendiri.”
“Hai kaum Muslimin, inilah terakhir
kalinya aku berdiri di mimbar ini. Oleh karenanya, dengarkan aku dan
taatilah dan serahkan diri kalian kepada kehendak Allah. Sesungguhnya
Allah adalah Tuhan kalian. Setelah Allah, Rasulnya, Muhammad yang sedang
berbicara kepada kalian, adalah pemimpin kalian. Selanjutnya
sepeninggalku, Ali adalah pemimpin kalian dan Imam kalian atas perintah
Allah. Kemudian setelahnya kepemimpinan akan dilanjutkan oleh
orang-orang yang terpilih dalam keluargaku hingga kalian bertemu Allah
dan Rasulnya.”
“Lihatlah, sesungguhnya, kalian akan
menemui Tuhanmu dan ia akan bertanya tentang perbuatan kalian.
Hati-hatilah! Janganlah kalian berpaling sepeninggalku, saling menikam
dari belakang! Perhatikanlah! Adalah wajib bagi orang-orang yang hadir
saat ini untuk menyampaikan apa yang aku katakan kepada mereka yang tak
hadir karena orang-orang yang terpelajar akan lebih memahami hal ini
daripada beberapa orang yang hadir dari saat ini. Dengarlah! Sudahkah
aku sampaikan ayat Allah kepada kalian? Sudahkah aku sampaikan pesan
Allah kepada kalian?” Semua orang menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi Muhammad
berkata, “Ya, Allah, saksikanlah.”
Belum lagi pertemuan akbar ini bubar, Jibril turun membawa wahyu dari Allah swt kepada Nabi-Nya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
ۚفَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙفَإِنَّ
اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS. 3: 3 )
Kemudian Rasul bertakbir, Allah Akbar!
Selamat atas disempurnakannya agama dan disempurnakannya nikmat dan
keridhaan Allah terhadap risalahku dan kepemimpinan Ali sepeninggalku.
Setelah takbir Nabi tersebut, umat Islam
berduyun-duyun memberikan selamat kepada Imam Ali as. Orang paling
pertama yang mengucapkan selamat kepada Imam Ali adalah Abu Bakar dan
Umar. Keduanya berkata, selamat kepadamu wahai Abu Turab! Kini Kamu
menjadi pemimpin kami dan maula setiap laki-laki serta wanita mukmin.
Ibnu Abbas berkata: “Saya bersumpah
bahwa wilayah terhadap Ali diwajibkan bagi seluruh umat.” Hasan bin
Tsabit berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan Aku mengumandangkan syair
tentang Ali.” Nabi pun kemudian mengijinkan Hasan bin Tsabit membacakan
syair tentang peristiwa Ghadir Khum dan pengangkatan Imam Ali as.
ینhadis yang sama-sama disepakati oleh Syiah dan Sunni maka hadis itu autentik, misalnya hadis 12 khalifah ahlulbait
http://syiahali.wordpress.com/2012/11/03/hadis-yang-sama-sama-disepakati-oleh-syiah-dan-sunni-maka-hadis-itu-autentik-misalnya-hadis-12-khalifah-ahlulbait/
Imam Dua Belas
12 orang Imam adalah manusia suci berketurunan Rasulullah yang
mewarisi seluruh khazanah ilmu dan penjaga umat selepas wafatnya
Rasulullah (s). Dalam kitab Sahih Muslim yang diterbit oleh Klang Book
Centre cetakan 1997, bab pemerintahan (Kitabul Imarah), hadis ke 1787
menyebut pemerintahan 12 orang khalifah daripada bangsa Quraysh, jelas
sekali 12 khalifah ini bukan dari kalangan Bani Umayah dan Abasiyah
kerana bani-bani ini mempunyai lebih dari 12 orang pemerintah.
Menurut sejarah selama pemerintahan dinasti Umayah dan Abasiyah,
kesemua Imam 12 dan pengikut-pengikutnya diburu untuk dibunuh. Dalam
suasana genting ini ramai ulama terpaksa menyembunyikan keimanan mereka.
Nama-nama Imam 12 hari ini masih boleh ditemui dalam Kitab jawi
karangan Syeikh Zainal Abidin al-Fatani berjudul Kasyful Ghaibiyah,
halaman 53:
Transliterasi:
“…daripada keluarga nabi Sallahualaihi Wa Sallam, daripada walad
Fatimah Radiallahuanha, bermula neneknya itu Hasan bin Ali bin Abi
Talib, bermula bapanya Imam Hasan al-Askari ibni Imam Ali al-Taqi bin
al-Imam Muhammad al-Taqi, al-imam Ali al-Ridha, anak al-Imam Musa
al-Kazim anak al-Imam Jaafar al-Sodiq, anak al-Imam Muhammad al-Baqir,
anak al-Imam Zainal Abidin bin Ali, anak al-Imam al-Husein, anak al-Imam
Ali bin Abi Talib Radiallahuanhu ….”
Ternyata Syeikh Zainal Abidin al-Fatani dalam menyatakan jurai
keturunan Imam Mahdi, beliau langsung mengaitkan nama Imam Hasan bin Ali
(a) padahal beliau boleh terus mendaftar sisilah Imam Mahdi melalui
al-Imam Husein bin Ali (a) tanpa menyebut Imam Hasan (a). Maksud
pengarang ini tidak ingin memisahkan Imam Hassan dengan Imam Mahdi.
Dengan ini juga lengkaplah nama-nama 12 Imam dalam menyatakan silsilah
Imam Mahdi.
Lima kitab nabi Musa (Pentateuch) dalam Bible tidak mahu ketinggalan
meramalkan 12 orang khalifah itu daripada keturunan nabi Ismail (a).
Berikut adalah petikan dari Perjanjian Lama Kitab Keluaran, Fasal 17,
ayat ke-20:
Ibnu Kathir menegaskan, kerabat yang dimaksudkan itu adalah Ahlul
Bait nabi (s) yang diwajibkan ke atas kita mencintai mereka. Ibnu Kathir
berulang-ulang menukilkan hadis-hadis thaqalain seperti yang digariskan
berikut (cetakan terbaru Ibnu Kathir telah hilang hadis-hadis ini):
Hadis seperti yang digariskan :
- Rasulullah (s) di Ghadir Khum bersabda “Sesungguhnya aku
meninggalkan kepadamu dua yang beharga itu kitab Allah dan keluargaku,
sesungguhnya tidak berpisah keduanya hinggalah bertemu denganku di
telaga Haudh”
.
- Rasulullah (s) bersabda “Ingatlah wahai sekelian manusia,
sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa. Sebentar lagi akan datang
utusan tuhan menjemputku lalu aku pun menyahutnya, dan aku meninggalkan
kalian dua pusaka, pertamanya kitab Allah di mana di dalamnya terdapat
petunjuk dan cahaya, maka ambillah kitab Allah dan peganilah ia dengan
teguh” kemudian nabi (s) menambah “dan kaum keluargaku, aku memperingati
kamu semua keluargaku (dilafazkan sebanyak tiga kali)”
.
- Sesunguhnya ku tinggalkan kepada kalian yang mana jika kalian
berteguh dengannya pasti tidak akan sesat selama-lamanya, yang satunya
lebih agung dari yang lain iaitu kitab Allah, ia adalah tali yang
dipanjangkan dari langit sampai ke bumi, dan keluargaku, kedua perkara
itu tidak akan terpisah hingga datang di sisiku di telaga Kauthar, maka
lihatlah bagaimana keadaan kamu sepeninggalan ku terhadap kedua perkara
itu”
.
- Rasulullah (s) bersabda: “wahai manusia, sesungguhnya ku
tinggalkan kepadamu jika kamu berpegang keduanya tentu tidak akan sesat
selama-lamanya, kitab Allah dan Ahlul Bait”
.
Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang sangat penting dalam Islam.
Masalah ini adalah dasar penting dalam penerapan kehidupan keislaman,
setidaknya begitu yang saya tahu .
Kata Khalifah sendiri menyiratkan makna yang beragam, bisa sesuatu
dimana yang lain tunduk kepadanya, sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu
yang layak diikuti, sesuatu yang menjadi pemimpin, sesuatu yang
memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada banyak lagi
Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih hidup maka tidak ada alasan
untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk menjadi khalifah bagi umat Islam.
Hal ini cukup jelas kiranya karena sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang
Rasul SAW lebih layak menjadi seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah
Pribadi yang Mulia, Pribadi yang selalu dalam kebenaran, dan Pribadi
yang selalu dalam keadilan. Semua ini sudah jelas merupakan konsekuensi
dasar yang logis bahwa Sang Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat
Islam.
Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang
Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri
menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi
sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan
akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa
- Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW
- Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam
Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan
membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar.
Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang
Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda“Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua
Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara
bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan
berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182,
Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa
hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam
Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid
jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga
disebutkan olehAs Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan
beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)
Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus
menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya
dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam.Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan
Allah berfirman:
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (an-Nisa’: 115)
Rasulullah SAW bersabda:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ
اللّهِ، لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَالَفَهُمْ، حَتَّىٰ
يَأْتِيَ أَمْرُ اللّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ عَلَى النَّاسِ».
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku berdiri menegakkan
perintah Allah, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka
atau yang menyalahi mereka hingga datang putusan Allah sedang mereka
tetap nyata dia atas manusia.”[HR. Muslim dalam kitab Jihad 2/1524.]
Diriwayatkan dari Nabi i beberapa riwayat bahwa:
لاَ تَجْتِمَعَ أُمَّتِي عَلى ضَلاَلَةٍ
“Umatku tidak akan bersatu di atas kesesatan.”[Sakhawi
berkata: hadits masyhur matannya, memiliki banyak sanad dan saksi yang
bermacam-macam dalam hadits marfu’ dan lainnya.” (al-Maqashid al-Hasanah
hal. 460)……..(lihat takhrij Syaikh al-Qifari. Pent)]
maka syi’ah lah firqah dari umat ini yang tidak sesat
menurut syiah maka ijma’ itu diukur dengan imam bukan dengan umat.
Ukurannya adalah orang yang mengimani kepemimpinan 12 imam dan dengan
syarat ada imam didalam kelompok mereka, atau ijma’ mereka itu
mengungkap ucapan imam.
Pokok masalah pembahasan kita sekarang adalah “imamah”. Kami tahu bahwa bagi kami, kaum Syiah,
imamah luar biasa penting, sementara mazhab lain kaum Muslim tidak
memandang sedemikian penting. Alasannya adalah konsepsi imamah kami beda
dengan konsepsi imamah mazhab lain. Tak syak lagi, ada kesamaannya
juga, namun yang memandang luar biasa penting terhadap imamah hanyalah
kaum Syiah. Misal, ketika kami, kaum Syiah, ingin menguraikan
prinsip-prinsip pokok agama menurut ajaran Syiah, kami katakan bahwa
prinsip-prinsip ini adalah Tauhid, Kenabian, Keadilan Ilahi, Imamah dan
Akhirat. Kami memandang imamah sebagai prinsip pokok agama. Sedikit
banyak, kaum Sunni juga tidak sama sekali menolak imamah. Namun menurut
keyakinan mereka, imamah bukan prinsip pokok agama. Mereka memandang
imamah hanya sebagai masalah tambahan. Sesungguhnya ada perbedaan
pendapat yang mendasar mengenai imamah. Kami mempercayai imamah seperti
ini, sedangkan kaum Sunni mempercayai imamah yang lain. Alasan kenapa
kaum Syiah memandang imamah sebagai prinsip pokok agama, sedangkan kaum
Sunni memandangnya sebagai masalah tambahan, adalah konsepsi Syiah
mengenai Imamah beda sekali dengan konsepsi imamah Sunni.
Makna Imam
Imam berarti pemimpin atau orang yang di depan. Kata “imam” dalam
bahasa Arab tidak menunjukkan arti kesucian hidup. Dan imam adalah orang
yang punya pengikut, tak soal dengan fakta apakah dia saleh atau tidak.
Al-Qur’an sendiri menggunakan kata ini dalam kedua arti itu. Di saui
tcmpat Al-Qur’an mengatakan:
Kami tunjuk mereka sebagai Imam yang memberikan panduan dengan izin Kami. (QS. al-Anbiyâ’: 73)
Di tempat lain dikatakan:
Imam-imam yang mengajak orang ke neraka. (QS. al-Qashash: 41)
Mengenai Fir’aun, Al-Qur’an menggunakan frase yang mengandung arti yang sama dengan arti imam atau pemimpin. Dikatakan:
Pada Hari Pengadilan dia akan membawa kaumnya ke api neraka. (QS. Hûd: 98)
Dengan demikian, secara harfiah arti imam adalah pemimpin. Namun
sekarang perhatian kami bukan pada pemimpin yang jahat. Baiklah sekarang
kami bahas konsepsi imamah. Kata “imamah” berlaku untuk beberapa kasus.
Beberapa konsep imamah diakui oleh kaum Sunni juga. Namun mereka
berbeda dengan kami mengenai siapa imam itu dan bagaimana kualitasnya.
Mereka sama sekali tidak mempercayai konsep-konsep imamah tertentu.
Mereka tidak mempercayai imamah dalam arti seperti yang kami percayai.
Mereka tidak sepakat dengan orang yang mengemban jabatan ini. Imamah
versi mereka tak lain adalah pemimpin sosial, dan dalam arti seperti
inilah kata ini digunakah dalam buku-buku teolog akademis lama.
Khâja Nasiruddin Tusi, dalam “at-Tajrid”, mendefinisikan imamah
sebagai kewajiban umum masyarakat. Di sini perlu juga disebutkan poin
lain:
Beragam Aspek Nabi
Nabi saw, dalam masa hidupnya karena khusus posisinya dalam Islam,
memiliki beberapa aspek seperti ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan riwayat
hidupnya. Pada saat yang sama Nabi memiliki beberapa jabatan. Dia adalah
seorang Nabi Allah, dan dalam kapasitas ini dia menyampaikan risalah
dan perintah Allah kepada umat manusia. Al-Qur’an mengatakan:
Apa saja yang diberikan Rasul, ambillah, dan apa saja yang dilarangnya, jauhilah. (QS. al-Hasyr: 7)
Dengan kata lain, apa saja petunjuk dan perintah yang diberikan Nabi
saw kepada umat manusia, maka itu diberikannya atas nama Allah. Dari
sudut pandang ini, Nabi saw hanya menyampaikan wahyu yang diturunkan
kepadanya. Jabatan lain Nabi saw adalah hakim agung, karena itu Nabi
melaksanakan keadilan di tengah kaum Muslim.
Menurut Islam, setiap orang tidak bisa menjadi hakim, karena dari
sudut pandang Islam, memutuskan perkara adalah urusan Allah. Allah
menyuruh keadilan, dan hakim adalah orang yang melaksanakan keadilan
kalau terjadi perselisihan. Jabatan ini juga dengan jelas diberikan
kepada Nabi saw oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an mengatakan:
Demi Tuhanmu, mereka tak akan mempercayai kebenaran sampai mereka
menjadikanmu hakim untuk apa yang mereka perselisihkan dan menerima apa
yang kamu putuskan dan mereka tunduk kepada keputusanmu dengan sepenuh
hati. (QS. an-Nisâ’: 65)
Nabi saw diangkat menjadi hakim oleh Allah. Karena itu, jabatan hakim
ini bukanlah jabatan biasa, melainkan Jabatan ilahiah. Praktisnya dia
juga Nabi-hakim. Jabatan ketiga yang resmi diemban Nabi saw dan jabatan
ini diberikan kepadanya oleh Al-Qur’an adalah jabatan sebagai kepala
negara. Dia adalah kepala negara dan pemimpin masyarakat Muslim. Dengan
kata lain, dalam masyarakat Muslim dia adalah pembuat kebijakan dan
orang yang memiliki kemampuan memerintah dengan baik. Diyakini bahwa
aspek ini, yang terdapat dalam diri Nabi saw, yang digambarkan oleh ayat
Al-Qur’an,
Wahai Orang-orang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya dan pemimpin-pernimpin (kompeten)-mu. (QS. an-Nisâ’: 59)
Sesungguhnya tiga jabatan yang diemban Nabi saw bukan sekadar jabatan
formal atau seremonial. Petunjuk dan perintah yang kita terima darinya
pada dasarnya ada tiga macam:
(1) Macam pertama berupa wahyu Allah. Mengenai wahyu Allah ini Nabi
saw tak dapat berbuat atas inisiatifnya sendiri. Fungsi satu-satunya
adalah menyampaikan kepada umat manusia wahyu yang diturunkan kepadanya.
(2) Petunjuk dan perintah agama. Misal, Nabi mengajarkan bagaimana
salat dan berpuasa. Namun ketika dia melaksanakan keadilan, maka
keputusannya bukan keputusan wahyu. Kalau terjadi perselisihan antara
dua orang, maka Nabi memutuskan perkaranya berdasarkan standar Islam,
dan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Dalam hal seperti
ini, Jibril tidak turun membawa wahyu untuknya. Kalau untuk kasus-kasus
luar biasa, masalahnya lain.
Pada umumnya Nabi saw memutuskan semua perkara hukum berdasarkan
bukti yang ada, persis seperti yang dilakukan orang lain. Paling banter
dapat dikatakan bahwa keputusannya lebih baik dibanding keputusan orang
lain. Nabi sendiri mengatakan bahwa dirinya diperintahkan untuk
menyampaikan pendapat berdasarkan apa yang tampaknya masuk akal. Misal
ada penggugat dan tergugat, dan penggugat mengajukan dua saksi yang tak
tercela. Nabi akan memutuskan perkara ini berdasarkan bukti mereka.
Jadi, keputusan ini akan merupakan keputusan Nabi sendiri, dan bukan
keputusan yang diwahyukan kepadanya.
(3) Dalam kapasitas ketiga ini, ketika Nabi saw memberikan perintah
sebagai pemimpin masyarakat, sifat perintahnya ini beda dengan sifat apa
yang disampaikannya sebagai wahyu Allah. Allah mengangkat Nabi sebagai
pemimpin masyarakat. Dalam kapasitas ini Nabi terkadang bermusyawarah.
Kita tahu bahwa Nabi bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya pada waktu
Perang Badar dan Uhud dan pada banyak kesempatan lainnya. Tampaknya tak
ada musyawarah mengenai perintah wahyu Tuhan. Nabi tak pernah
bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya mengenai bagaimana bersembahyang
maghrib. Kalau ada masalah-masalah tertentu yang ditanyakan kepada
Nabi, sementara Allah memerintahkan begini, maka Nabi harus mengikuti
perintah-Nya.
Namun untuk masalah-masalah yang tak ada ketentuan ilahiahnya, Nabi
sering berkonsultasi dengan sahabat untuk meminta pendapatnya. Kalau
dalam kasus-kasus seperti ini Nabi mengeluarkan ketentuan, ini
dilakukannya karena Nabi mendapat wewenang dari Allah untuk melakukan
demikian. Dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan manajemen sosial,
memang Nabi juga menerima wahyu, namun ini merupakan kasus yang luar
biasa. Biasanya Nabi tidak menerima petunjuk terperinci mengenai
masalah-masalah sosial-politik, dan mengenai masalah-masalah ini Nabi
tidak bcrtindak sebagai rasul semata. Fakta yang tak dapat dipungkiri
moniuijukkan bahwa Nabi, dalam semua kapasitas ini, bekerja simuhan.
Imamah dalam Arti Pemimpin Masyarakat
Makna pertama imamah seperti disebutkan di atas adalah mgas umum
masyarakat. Salah satu jabatan Nabi yang kosong begini Nabi wafat adalah
kepemimpinan masyarakat. Jelas, masyarakat butuh pemimpin. Siapa
pemimpin masyarakat sepeninggal Nabi? Baik kaum Syiah maupun kaum Sunni
sepakat bahwa masyarakat membutuhkan pemimpin dan panglima tertinggi. Di
sinilah timbul masalah khilafah. Kaum Syiah mengatakan bahwa Nabi
sendiri telah menunjuk penerusnya dan mengumumkan bahwa sepeninggal
dirinya Imam Alilah yang memegang kendali urusan kaum Muslim. Kaum Sunni
yang logika lain tidak menerima pandangan ini setidak-tidaknya dalam
bentuk yang diterima kaum Syiah.
Menurut kaum Sunni, Nabi tidak menunjuk siapa pun sebagai penerusnya,
dan tugas kaum Muslim sendiri untuk memilih pemimpin. Kaum Sunni
menerima prinsip Imamah ketika mereka mengatakan bahwa kaum Muslim
membutuhkan pemimpin. Yang mereka katakan adalah bahwa pemimpin dipilih
oleh kaum Muslim. Kaum Syiah justru mengatakan bahwa Nabi sendirilah
yang menunjuk penerusnya berdasarkan wahyu Allah.
Kalau saja masalah imamah sekadar masalah kepemimpinan politik
sepeninggal Nabi, kami, kaum Syiah, tentu tak akan menganggap imamah
sebagai prinsip pokok agama, dan tentu pas kalau menggolongkan masalah
ini sebagai masalah tambahan. Dapat kami katakan bahwa masalah imamah
yang dipercaya kaum Syiah sekadar mendeklarasikan bahwa Imam Ali as
adalah salah seorang sahabat Nabi saw seperti Abu Bakar, Umar, Utsman
dan banyak lainnya atau bahkan seperti Abu Dzar dan Salman, namun Imam
Ali as lebih baik, lebih berilmu, lebih takwa dan lebih mampu dibanding
sahabat-sahabat lain dan bahwa Nabi saw menunjuk Imam Ali as sebagai
penerusnya.
Namun kaum Syiah tidak berhenti di sini saja. Mereka mempercayai dua
ajaran yang tak ada di kaum Sunni. Salah satunya adalah imamah dalam
arti otoritas keagamaan.
Imamah dalam Arti Otoritas Keagamaan
Telah kami kemukakan bahwa Nabi saw menyampaikan wahyu Allah SWT yang
diterimanya kepada orang yang bebas bertanya kepada Nabi apa saja yang
ingin diketahuinya tentang ajaran Islam. Orang juga bertanya kepada Nabi
tentang apa yang tak didapati mereka dalam Al-Qur’an. Sekarang
pertanyaannya adalah apakah isi Al-Qur’an dan apa yang telah disampaikan
Nabi kepada khalayak umum adalah apa yang diinginkan Islam, yaitu
menyampaikan petunjuk, ajaran dan pengetahuan Islam?
Karena itu, Nabi saw mendidik Imam Ali as, penerusnya, sebagai pakar
luar biasa, dan mengajarkan kepada Imam Ali as scgalanya tentang Islam,
setidak-tidaknya semua prinsip dan norma umum Islam. Imam Ali as adalah
sahabat Nabi yang paling mencolok keunggulannya. Dia maksum seperti Nabi
saw, Dia bahkan tahu apa yang disiratkan oleh Allah SWT.
Nabi saw bersabda ketika memperkenalkan Imam Ali as:
“Sepeninggalku, bawalah semua masalah keagamaan kepada Ali, tanyakan
kepada Ali dan penerus-penerusku yang lain apa saja yang ingin kalian
ketahui.”
Dalam hal ini, imamah merupakan spesialisasi dalam Islam, suatu
spesialisasi yang luar biasa dan ilahiah, yang jauh di atas derajat
spesialisasi yang dapat dicapai mujtahid. Para imam adalah pakar dalam
Islam. Pengetahuan istimewa mereka mengenai Islam bukan didapat dari
akal pikiran mereka sendiri yang bisa saja salah. Mereka menerima
pengetahuan dengan cara yang tak kita ketahui. Imam Ali as menerima
pengetahuan tentang ilmu-ilmu Islam langsung dari Nabi saw. Dan
Imam-imam berikutnya menerimanya melalui Imam Ali bin Abi Thalib as.
Dalam kasus imam-imam, pengetahuan ini tak mengandung kekeliruan.
Pengetahuan ini diturunkan dari satu imam ke imam yang lain.
Kaum Sunni tak percaya adanya orang yang berposisi seperti itu.
Dengan kata lain, kaum Sunni tidak mempercayai adanya imam dalam
pengertian seperti ini. Kaum Sunni mengatakan bahwa, alih-alih Ali bin
Abi Thalib, Abu Bakar adalah Imam. Mereka tidak mengakui bahwa sahabat
Nabi, tidak Abu Bakar, tidak Umar, tidak Utsman, memegang jabatan
seperti itu. Itulah sebabnya mereka menganggap begitu banyak kekeliruan
dalam masalah keagamaan berasal dari Abu Bakar dan Umar.
Sebaliknya, kaum Syiah percaya imam-imam mereka maksum, dan tak akan
pernah mengakui bahwa imam-imam mereka pernah berbuat keliru. Namun kaum
Sunni, dalam buku-buku mereka, mengatakan bahwa Abu Bakar pernah
mengatakan begini, namun dia salah. Ketika menyadari kekeliruannya, dia
berkata bahwa ada setan yang selalu mengalahkannya. Kaum Sunni juga
mengatakan bahwa Umar pernah berbuat keliru, dan kemudian, dengan
menyebut-nyebut wanita-wanita tertentu, menyatakan bahwa wanita-wanita
itu lebih alim dibanding dirinya.
Konon ketika Abu Bakar meninggal, anggota keluarganya yang wanita,
termasuk putrinya, Aisyah, istri Nabi saw, menangis. Ketika Umar
mendengar ratapan mereka, Umar mengirim pcsan kepada mereka agar diam,
namun mereka tidak memenuhi pcrmintaan Umar. Umar mengirim pesan lagi
dan kemudian mengancam akan menghukum mereka. Akhirnya Aisyah diberitahu
oleh beberapa wanita bahwa Umar mengancam kalau mereka tak mau diam.
Aisyah menyuruh memanggil Umar. Ketika Umar datang, Aisyah menanyakan
apa yang diinginkan dikatakan Umar dan kenapa Umar mengirim pesan demi
pesan. Umar mengatakan mendengar Nabi saw bersabda:
“Kalau ada orang meninggal, lalu anggota keluarganya menangisinya,
maka orang yang meninggal tersebut akan mendapat hukuman.” Aisyah
berkata, “Anda tidak mengerti. Anda salah. Masalahnya bukan begitu. Aku
tahu bagaimana itu. Ketika seorang Yahudi yang jahat meninggal,
keluarganya menangisinya. Nabi saw bersabda bahwa mereka menangis dan
dia dihukum. Nabi saw tidak mengatakan bahwa dia dihukum karena mereka
menangis. Nabi saw mengatakan bahwa mereka menangisinya, namun mereka
tidak tahu bahwa dia tengah dihukum. Bagaimana hubungannya dengan
masalah ini? Meskipun menangis dilarang, kenapa Allah harus menghukum
orang tak berdosa karena dosa yang kita lakukan?” “Aneh”, kata Umar.
“Begitukah?” “Ya,” kata Aisyah, “begitulah.” Umar pun berkata,
“Seandainya wanita-wanita ini tak ada, Umar akan celaka.”
Kaum Sunni sendiri mengatakan bahwa tujuh puluh (sangat banyak) kali
Umar berkata, “Kalau tak ada Ali, Umar akan celaka.” Umar sendiri
berkali-kali mengakui bahwa Ali sering meluruskan
kesalahan-kesalahannya, dan Umar biasa mengakui kesalahannya. Pendek
kata, kaum Sunni tidak mempercayai imam dalam pengertian seperti yang
kami yakini. Namun fakta yang tak terpungkiri menunjukkan bahwa Nabi
sajalah yang menerima wahyu samawi. Kami tidak mengatakan bahwa para
imam juga menerima wahyu. Risalah Islam disampaikan kepada umat manusia
oleh Nabi saja, dan kepada Nabi saja Allah menurunkan ajaran-ajaran
penting Islam.
Tak ada ajaran dan ketentuan Islam yang tidak diwahyukan kepada Nabi.
Namun pertanyaan apakah semua ajaran Islam disampaikan kepada seluruh
manusia, lain masalahnya. Kaum Sunni mengatakan bahwa Nabi menyampaikan
semua ajaran Islam kepada sahabat-sahabatnya. Namun kaum Sunni berada
dalam dilema ketika menghadapi problem yang tak ada riwayatnya dari
sahabat Nabi. Untuk memecahkan situasi ini, kaum, Sunni mengemukakan
hukum analogi, dengan hukum analogi ini mereka mengaku melengkapi apa
yang tak ada. Dalam hubungan ini Imam Ali as berkata, “Apakah Anda
bermaksud mengatakan bahwa agama Allah tidak lengkap, dan Andalah yang
melengkapinya?” (Nahj al-Balâghah, khotbah 18)
Kaum Syiah justru mengatakan bahwa Allah SWT menurunkan ajaran Islam
dengan lengkap kepada Nabi saw, dan Nabi saw menyampaikannya dengan
lengkap kepada umat manusia. Nabi saw menyampaikannya dengan lengkap,
namun Nabi saw tidak menyebutkan segala sesuatunya kepada manusia pada
umumnya. Sesungguhnya banyak pertanyaan diajukan selama hayat Nabi saw.
Namun, Nabi saw menyampaikah semua ajaran yang diterimanya dari Allah
kepada murid istimewanya, Imam Ali bin Abi Thalib as, dan meminta Imam
Ali as untuk menyampaikannya kepada masyarakat bila diperlukan.
Di sinilah muncul masalah kemaksuman. Kaum Syiah mengatakan bahwa
karena Nabi saw, sengaja atau tidak, tak mungkin salah bicara, murid
istimewanya pun tak mungkin salah, karena Nabi saw mendapat pertolongan
dari Allah SWT, murid istimewa ini pun mendapat pertolongan dari Allah
SWT. Inilah satu lagi karakter imamah.
Imamah dalam Arti Wilayah
Ini merupakan arti ketiga imamah, dan sungguh artinya yang paling
tinggi. Dalam ajaran Syiah, pengertian seperti ini sangat
dititikberatkan. Sedikit banyak, wilayah merupakan titik kesamaan antara
Syiah dan tasawuf. Namun kalau kami kata demikian, jangan salah paham,
karena mungkin Anda mendapati apa yang dikatakan kaum orientalis
mengenai hal ini. Mereka mengatakan bahwa wilayah adalah masalah yang
sangat mendapat perhatian kaum sufi dan mendapat perhatian kaum Syiah
juga sejak masa awal Islam. Saya ingat bahwa sekitar sepuluh tahun silam
seorang orientalis mewawancarai Allamah Thabathaba’i. Salah satu
pertanyaan yang diajukannya adalah apakah Syiah mengambil konsepsi
wilayah dari kaum sufi, atau kaum sufi mengambilnya dari Syiah. Faktanya
adalah doktrin wilayah sudah ada di kalangan Syiah ketika belum ada
tasawuf. Kalau saja terjadi pengambilan dari yang satu oleh yang lain,
maka harus dikatakan bahwa kaum sufilah yang mengambilnya dari Syiah.
Masalah wilayah dapat disamakan dengan masalah manusia sempurna dan
penguasa zaman. Kaum sufi sangat menekankan poin ini.
Maulawi mengatakan bahwa di setiap masa ada seorang wali, qa’im
(penguasa zaman). Di setiap masa ada seorang manusia sempurna yang
memiliki semua keunggulan manusiawi. Tak ada zaman yang tak ada wall
sempurnanya, yang sering digambarkan sebagai quthb (poros, otoritas).
Kaum sufi percaya bahwa wall sempurna adalah juga manusia sempurna.
Mereka menganggap wall sempurna memiliki banyakjabatan, sebagiannya tak
dapat kita mengerti, Salah satu jabatannya adalah mengendalikan hati
manusia, dalam pengertian bahwa dia adalah roh universal yang
mengungguli semua roh. Maulawi secara tidak langsung menyebut jabatan
ini dalam kisahnya tentang Ibrahim bin Adham. Kisah ini tak lebih dari
cerita fiksi belaka. Namun Maulawi bercerita untuk menjelaskan apa yang
dimaksudnya. Dia bercerita hanya untuk menekankan. maksudnya. Maulawi
mengatakan bahwa Ibrahim bin Adham pergi ke sungai, kemudian melemparkan
jarum ke sungai itu. Lalu dia menginginkan kembalinya jarum itu.
Ikan-ikan pada menyembulkan kepalanya dari sungai, masing-masing membawa
satu jarum di mulutnya. Maulawi selanjutnya mengatakan, “Wahai yang tak
memiliki kemampuan, perhatikan hati Anda di hadapan mereka yang
memiliki sifat-sifat unggul hati.”
Selanjutnya dia mengatakan, “Syaikh (pemandu spiritual) itu jadi
sadar akan apa yang ada di hati orang. Syaikh bisa tahu itu karena
dirinya bagaikan singa, sedangkan hati orang bagaikan sarangnya”.
Syiah pada umumnya menggunakan kata wilayah dalam artinya yang paling
tinggi. Mereka percaya bahwa wali dan imam adalah penguasa zaman, dan
selalu ada seorang manusia sempurna di dunia ini. Dalam kebanyakan
ziyarah (penghormatan) yang kami baca, kami mengakui eksistensi wilayah
dan imamah dalam pengertian ini, dan percaya bahwa imam memiliki roh
universal. Dalam ziyarah itu, yang kami baca dan kami anggap sebagai
bagian dari ajaran Syiah, kami mengatakan, “Aku memberikan kesaksian
bahwa engkau melihat di mana aku berada; engkau mendengar perkataanku
dan membalas salamku.” Perlu dicatat bahwa kami sampaikan itu kepada
seorang imam yang telah wafat. Dari sudut pandang kami, dalam hal ini
tak ada bedanya antara imam yang telah wafat dan imam yang masih hidup.
Kami katakan, “Salam atasmu, Ali bin Musa ar-Ridha. Aku menyadari dan
memberikan kesaksian bahwa engkau mendengar dan membalas salamku.”
Kaum Sunni, kecuali kaum Wahabi, percaya bahwa Nabi saw saja yang
memiliki kualitas mengetahui dan mendengar ini. Menurut mereka, di dunia
ini tak ada lagi yang memiliki status spiritual yang tinggi seperti itu
dan persepsi spiritual seperti itu. Namun kami, kaum Syiah, percaya
bahwa posisi ini dimiliki oleh imam-imam kami. Kepercayaan ini merupakan
bagian dari prinsip agama kami, dan kami selalu mengakuinya.
Pendek kata, masalah imamah ada tiga derajatnya, dan kalau kami tidak
membedakan ketiga derajat ini, kami akan menghadapi kesulitan berkenaan
dengan pengambilan kesimpulan tertentu dalam hubungan ini. Berdasarkan
ketiga derajat ini, ada tiga kelompok dalam Syiah. Mereka mengatakan
bahwa Nabi saw mengangkat Imam Ali as sebagai pemimpin masyarakat
sepeninggalnya, dan bahwa Abu Bakar, Umar dan Utsman tak dapat mengklaim
posisi ini. Orang-orang seperti ini menjadi Syiah hanya sebatas ini
saja. Mereka tidak mempercayai dua derajat selanjutnya, atau bungkam
tentang dua derajat ini. Sebagian lainnya mempercayai derajat kedua
meski tidak mempercayai derajat ketiga. Konon almarhum Muhammad Baqir
Durchal, guru Ayatullah Burujerdi di Isfahan, tak mempercayai derajat
ketiga ini. Namun mayoritas Syiah dan ulama Syiah mempercayai derajat
ketiga juga.
Kalau mau membahas imamah, maka harus dibahasnya dalam tiga tahap;
imamah menurut Al-Qur’an, imamah menurut hadis, dan imamah menurut akal.
Pertama-tama man kita lihat apakah ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
dengan imamah menunjukkan arti imamah seperti yang diyakini kaum Syiah.
Dan jika begitu, apakah menunjukkan imamah dalam pengertian kepemimpinan
politik dan sosial saja, ataukah dalam pengertian otoritas keagamaan
dan wilayah spiritual juga. Setelah ini dijelaskan, baru kita lihat apa
yang dikatakan hadis-hadis Nabi mengenai imamah. Akhirnya kita analisis
imamah dari sudut pandang akal, dan kita lihat apa yang dikatakan akal
mengenai tahap-tahapnya itu. Apakah pandangan Sunni yang menyebutkan
bahwa penerus Nabi harus dipilih oleh umat lebih masuk akal, atau apakah
merupakan fakta kalau Nabi sendiri telah mengangkat penerusnya? Begitu
juga, apa yang sesuai dengan akal berkenaan dengan dua lagi arti imamah.
Hadis Imamah
Sebelum mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an tentang imamah, kami ingin
mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Syiah dan Sunni. Biasanya
hadis yang sama-sama disepakati oleh Syiah dan Sunni tak dapat
diabaikan, karena kesepakatan ini menunjukkan bahwa hadis itu autentik,
sekalipun susunan katanya bisa saja berbeda dalam beragam riwayat.
Kami, kaum Syiah, biasanya meriwayatkan hadis ini seperti ini:
“Barangsiapa mati sementara tidak mengenal imam zamannya, maka dia mati
jahiliah.” Kata-kata ini sangat serius, karena pada periode jahiliah
orang tidak mempercayai keesaan Allah (tauhid) dan juga tidak
mempercayai kenabian. Hadis ini terdapat di sebagian besar kitab hadis
Syiah, termasuk “al-Kâfî” yang dianggap sebagai koleksi hadis Syiah
paling andal. Fakta pentingnya adalah hadis ini juga terdapat dalam
kitab-kitab Sunni. Menurut satu riwayat mereka menyebut susunan kata
“Barangsiapa mati tanpa imam, maka matinya mati jahiliah.” Susunan kata
lainnya adalah “Barangsiapa mati dalam keadaan tidak berbaiat, maka
matinya mati jahiliah.” Teks lain mengatakan, “Barangsiapa mati dalam
keadaan tidak berimam, maka matinya mati jahiliah.” Ada beberapa versi
lain, dan itu menunjukkan betapa Nabi saw memandang sangat pending
masalah imamah.
Mereka yang menerima imamah hanya dalam pengertian kepemimpinan
sosial mengatakan bahwa Nabi saw memandang sangat penting masalah
kepemimpinan karena hukum Islam baru dapat dilaksanakan kalau ada
pemimpin yang bajik dan kesetiaan kuat umat kepadanya. Islam bukanlah
agama individualistik. Tak ada yang dapat mengatakan bahwa karena dia
mempercayai Allah dan Nabi-Nya, maka dia tak ada hubungannya dengan
orang lain. Setiap orang harus tahu dan mengerti siapa imam pada
masanya, dan harus beraktivitas di bawah naungan kepemimpinannya.
Mereka yang menerima imamah dalam pengertian otoritas keagamaan
mengatakan bahwa barangsiapa memperhatikan agamanya, maka dia harus
mengenal otoritas keagamaannya, dan harus tahu siapa yang harus
diikutinya dalam masalah agama. Mutlak tidak Islami kalau mempercayai
agama namun mendapatkan agama dari sumber yang bertentangan dengan agama
itu sendiri.
Mereka yang menerima imamah dalam pengertian wilayah spiritual
mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan bahwa orang yang tidak di bawah
perwalian wali yang sempurna, maka dia seperti orang yang mati pada masa
jahiliah. Karena hadis ini mutawatir (diriwayatkan oleh rangkaian
otoritas yang banyak jumlahnya), maka kami sebudcan hadis ini dahulu
untuk pegangan dalam pembahasan lebih lanjut masalah imamah. Kini man
kita lihat ayat-ayat Al-Qur’an.
Imamah dalam Al-Qur’an
Beberapa ayat Al-Qur’an dikutip oleh kaum Syiah berkaitan dengan
imamah. Salah satunya diawali dengan kata-kata, “Walimu hanyalah Allah.”
Dalam semua kasus ini ada hadis-hadis Sunni yang mendukung sudut
pandang Syiah. Bunyi ayat ini adalah:
Walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan mereka yang beriman yang
menegakkan salat, membayar zakat seraya rukuk. (QS. al-Mâ`idah: 55)
Kata yang digunakan dalam ayat ini adalah wait yang artinya wali.
Karena itu wilayah artinya perwalian. Menurut ajaran Islam, zakat tidak
dibayar sembari rukuk. Karena itu membayar zakat sembari rukuk tak dapat
disebut prinsip atau norma umum yang berlaku untuk banyak orang. Ayat
ini berkenaan dengan satu peristiwa yang terjadi hanya sekali. Peristiwa
ini diriwayatkan oleh Syiah maupun Sunni. Imam Ali as tengah rukuk
ketika seorang peminta-minta datang meminta sedekah. Imam Ali as memberi
isyarat dan menarik perhatiannya dengan jarinya. Si peminta-minta
segera mengambil cincin Imam Ali as dari jarinya, lalu pergi. Dengan
kata lain, Imam Ali as tidak menunggu sampai salatnya selesai. Imam Ali
as begitu luar biasa sehingga dalam keadaan tengah salat pun Imam dengan
isyarat menyuruh si peminta-minta untuk mengambil cincin di jari Imam,
menjualnya dan menggunakan uangnya untuk memenuhi kebutuhannya.
Baik kaum Syiah maupun Sunni sepakat bahwa Imam Ali as berbuat
demikian, dan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan ini. Dapat
dicatat bahwa bersedekah dalam keadaan tengah rukuk tidak termasuk dalam
ajaran Islam. Bukan wajib dan bukan pula dianjurkan. Karena itu tak
dapat dikatakan bahwa beberapa orang melakukan demikian. Karena itu
(mereka yang berbuat demikian) jelaslah yang dimaksud adalah Imam Ali
as. Di beberapa tempat Al-Qur’an menggunakan ungkapan “mereka
mengatakan…”, padahal hal itu diucapkan oleh hanya satu orang. Di sini
juga “mereka yang berbuat demikian” artinya adalah si individu yang
berbuat demikian. Karena itu melalui ayat ini Imam Ali as diangkat
menjadi wali umat Muslim. Namun demikian, ayat ini perlu dibahas lebih
lanjut, dan pembahasannya nanti. Ada ayat-ayat lain berkenaan dengan
peristiwa Ghadir. Peristiwa ini sendiri merupakan bagian dari tradisi
Islam. Ini akan dibahas nanti. Salah satu ayat tersebut, yang turun
berkenaan dengan peristiwa Ghadir, berbunyi:
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu,
karena jika tidak, kamu berarti tidak menyampaikan risalah-Nya. (QS.
al-Mâ`idah: 67)
Nada ayat ini sama seriusnya dengan nada hadis, “Barangsiapa mati
dalam keadaan tidak mengenal Imam zamannya, maka matinya mati jahiliah.”
Singkatnya dapat dikatakan bahwa ayat itu sendiri menunjukkan bahwa
pokok masalahnya begitu penting sehingga kalau Nabi tidak
menyampaikannya, berarti Nabi sama sekali tidak menyampaikan risalah
Allah.
Syiah dan Sunni sepakat bahwa Surah al-Mâ`idah adalah Surah terakhir
yang diturunkan kepada Nabi saw, dan ayat ini merupakan satu dari
ayat-ayat terakhir Surah ini. Dengan kata lain, turun ketika Nabi sudah
menyampaikan semua hukum dan ajaran lain Islam selama 13 tahun di Mekah
dan 10 tahun di Madinah sebagai Nabi saw. Ayat ini termasuk petunjuk,
perintah atau ajaran terakhir Islam.
Kini kaum Syiah bertanya petunjuk, ajaran atau perintah seperti apa
yang begitu penting sehingga kalau tidak disampaikan, maka seluruh yang
dikerjakan Nabi di masa sebelumnya jadi batal. Anda tak mungkin dapat
menunjukkan pokok masalah apa pun yang berkaitan dengan tahun-tahun
terakhir hayat Nabi saw yang begitu penting. Namun kami katakan bahwa
masalah imamah begitu penting sehingga kalau imamah hilang, maka tak ada
lagi yang tersisa. Tanpa imamah, seluruh bangunan Islam akan hancur
lebur. Kaum Syiah mengutip riwayat-riwayat dan hadis-hadis Sunni itu
sendiri untuk memperkuat klaim mereka bahwa ayat ini turun berkaitan
dengan peristiwa Ghadir Khum.
Dalam Surah al-Mâ`idah itu sendiri ada ayat lain yang bunyinya,
Hari ini Aku sempurnakan agamamu bagimu, lengkapkan karunia-Ku
kepadamu, dan Aku pilih Islam sebagai agamamu. (QS. al-Mâ`idah: 3)
Ayat ini menunjukkan bahwa pada hari itu terjadi sesuatu, yang begitu
penting sehingga agama jadi sempurna, karunia Allah kepada umat manusia
jadi lengkap, dan tanpa itu Islam tak mungkin seperti yang dikehendaki
oleh Allah SWT. Kaum Syiah berargumen bahwa nada ayat ini menunjukkan
bahwa sesuatu yang berkenaan dengan ayat ini begitu penting sehingga
eksistensi Islam sebagai agama yang benar itu sendiri bergantung pada
sesuatu itu. Sekarang pertanyaannya adalah seperti apa sesuatu itu. Kaum
Syiah mengatakan dapat menunjukkan sesuatu itu. Sedangkan kaum lainnya
tidak. Selain itu, ada riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa ayat ini
turun berkaitan dengan masalah imamah. Tiga ayat ini yang merupakan
substansi argumen-argumen Syiah sudah kami kemukakan.
MAKNA IMAMAH
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata imam. Kata imam[1] sendiriberasal dari kata “amma” yang berarti “menjadi ikutan”. Kata imam berarti
“pemimpin atau contoh yang harus diikuti, atau yang mendahului”. Orang
yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai
contoh dan ikutan. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat.[2]
Dalam al-Quran, kata imam (bentuk tunggal) dipergunakan sebanyak 7 kali, dan kataa‘immah (bentuk plural) 5 kali dengan arti dan maksud yang bervariasi sesuai dengan penggunaanya. Bisa bermakna jalan umum (Q.S. Yasin/36: 12); pedoman (Q.S. Hud/11:
7); ikut (Q.S. al-Furqan: 74); dan petunjuk (Q.S. al-Ahqaf/46: 12).
Begitu pula dalam makna pemimpin, kata ini merujuk pada banyak konteks,
seperti pemimpin yang akan dipanggil Tuhan bersama umatnya untuk
mempertanggungjawabkan amal perbuatan mereka (Q.S. al-Isra/17: 71);
pemimpin orang-orang kafir (Q.S. at-Taubah/9: 12); pemimpin spiritual
atau para rasul yang dibekali wahyu untuk mengajak manusia mengerjakan
kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, yaitu Nabi Ibrahim, Ishaq
dan Ya‘qub (Q.S. al-Anbiya/21: 73); pemimpin dalam arti luas
dan bersifat umum ataupun dalam arti negatif (Q.S. al-Qasas/28: 5 dan
41); dan pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah Swt
(Q.S. as-Sajadah/32: 24).[3]
Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan bahwa kata imam yang
berarti pemimpin, bisa digunakan untuk beberapa maksud, yaitu pemimpin
dalam arti negatif yang mengajak manusia kepada perbuatan maksiat,
pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum, dan pemimpin yang bersifat
khusus yakni pemimpin spiritual.
Kata imam yang berarti pemimpin dalam arti luas dan bersifat
umum bisa digunakan untuk sebutan pemimpin pemerintahan atau pemimpin
politik (sekuler), dan bisa pula untuk pemimpin agama. Sedangkan dalam
arti pemimpin yang bersifat khusus, yakni sebagai pemimpin spiritual,
bisa saja berimplikasi politik karena dipengaruhi oleh tuntutan keadaan.
Karena, pada kenyataannya, upaya melaksanakan ajaran agama dalam
kehidupan bermasyarakat dalam ajaran Islam, tidak hanya menyangkut
pribadi tapi juga kehidupan kolektif, sebab itu, urusan seorang imambisa berdimensi politis.
Nabi Muhammad saaw. misalnya, pada awalnya lebih berfungsi sebagai
nabi dan rasul dalam makna sempit, yakni pemimpin spiritual yang
menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia. Kemudian, dalam
perkembangan berikutnya, pada periode Madinah, kedudukan beliau mulai
bersifat politis, sebab beliau juga melaksanakan tugas politik dan
pemerintahan sebagai pemimpin atau kepala negara bagi masyarakat
Madinah.[4]
Secara istilah, imam adalah seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan juga urusan dunia sekaligus.[5] Dengan
demikian Islam tidak mengenal pemisahan mutlak agama dan negara, dunia
dan akhirat, mesjid dan istana, atau ulama dan politikus. Inilah yang
menjadikan penganut syiah, tidak hanya memandang para imam sebagai
pengajar agama, tetapi juga sebagai pengatur segala urusan umat yang
berhubungan dengan pranata-pranata sosial, politik, keamanan, ekonomi,
budaya, dan seluruh kebutuhan interaksi umat lainya.
PENETAPAN IMAMAH SEBAGAI USHULUDDIN
Salah satu perbedaan pokok yang mendasar antara sunni dan syiah adalah keyakinan tentang imamah,
yaitu bahwa Allah swt melalui lisan Nabi-Nya telah mengangkat
orang-orang yang memiliki kualitas tinggi untuk menjadi pemimpin umat
setelah wafatnya Nabi Muhammad saaw.
Keyakinan pada posisi imamah ini begitu mendasar dalam mazhab syiah imamiyah, sehingga dijadikan salah satu prinsip agama (ushuluddin), selain keyakinan pada ketuhanan (tauhid), keadilan (al-adl), kenabian (an-nubuwah), dan hari kebangkitan (al-ma’ad).
Sehingga secara sederhana dapat dikatakan, seseorang dapat disebut
sebagai penganut syiah jika ia mempercayai adanya imam yang dipilih Nabi
saaw, yang secara formal berhak penuh melanjutkan kedudukan
menggantikan Nabi Muhammad sebagai Imam seluruh umat, yang dalam
keyakinan syiah, orang yang dipilih nabi tersebut adalah Ali bin Abi
Thalib, kerabat dan menantu beliau.
Sebagai dasar pikirnya, syiah meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-ilahiah) menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia. Demikian pula mengenai imamah, yakni
bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut perlunya kehadiran seorang imam
sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat
manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari
penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan
kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta
pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu
kesempurnaan dan kebahagiaan, al-takamul wa al-sa’adah, sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia.[6]
Hal ini juga berdasar pada wahyu ilahi. Misalnya, di dalam al-Quran,
Allah berfirman bahwa manusia diperintahkan untuk bergabung dengan
orang-orang yang takwa dan benar, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar” (QS. Al-Taubah: 119).
Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh
zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalam barisan
orang-orang benar, al-shadiqin,pertanda adanya imam maksum yang
harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak
mufassir sunni dan syiah terhadap makna ayat ini.[7]
KRITERIA IMAMAH: ISHMAH DAN ILMU
Imam yang menggantikan Nabi Saw bukanlah sembarang orang, tetapi
harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi Saw. oleh karena itu,
persyaratan menjadi Imam tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang
diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula memiliki syarat-syarat
lain, yaitu ‘ismah (kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil apa pun) dan ilm (ilmu yang sempurna).[8] Dalam
hal ini, berdasarkan pada nas-nas yang shahih, syiah menegaskan bahwa
orang yang memiliki sifat demikian hanyalah orang-orang tertentu (bukan
semuanya) dari ahlul bait yang memiliki kedekatan dengan Nabi Saaw. Ahlul bait nabi
yang dimaksud sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran (Q.S. al-Ahzab:
33) diantaranya adalah Imam Ali bin Abi Thalib dan kedua anaknya, Imam
Hasan dan Imam Husain.
Imamah yang memiliki sifat ‘ismah perlu, karena
syariat tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak yang
berfungsi memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan murni
(tanpa melakukan kesalahan) terhadap syariat itu. Begitu pula dengan
ilmu imam, mestilah suci dan bersifat hudhuri (kehadiran langsung objek ilmu) dan syuhudi (tersaksikan
dengan mata batin) atau bantuan gaib dan taufik ilahiah. Selain itu,
struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah para imam
sempurna dan senantiasa mendapat pertolongan ilahi. Semua itu, mutlak
diperlukan untuk sampainya pesan-pesan ilahi secara jelas dan sempurna,
tanpa cacat dan kesalahan.[9] Jadi, bagi syiah, orang yang memenuhi syarat untuk berperan sebagai penafsir hukum Tuhan hanyalah perantara ‘supra manusiawi’ yang diberi petunjuk oleh pencipta hukum tersebut, yaitu para Imam. Karenanya, syiah mengembangkan teori tentang Imamah sesuai dengan ketentuan imam yang dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil pilihan umat manusia.[10]
Ishmah dan ilmu berjalan seiring dan saling dukung. Maksudnya, ishmah diperoleh
salah satunya melalui ilmu yang sempurna. Dengan ilmunya, seorang imam
mengetahui hukum-hukum agama dan akibat-akibat yang ditimbulkan karena
melanggar ajaran-ajaran agama tersebut. Dengan ilmu yang yakin (ilmu al-yakin) dan menyaksikan konsekuensi perbuatannya (ain al-yakin),
seorang imam akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan maksiat dan
dosa. Laiknya seperti orang yang mengetahui dengan ilmunya yang pasti
bahwa minyak panas akan dapat melukai dan menghancurkan kulitnya, maka
ia tidak akan mau mencelupkan tangannya ke dalam kuali yang berisi
minyak panas, walaupun hal itu belum pernah dicobanya.
Syiah, selain menggunakan dalil akal untuk menetapkan ‘ishmah para Imam,
juga mengajukan dalil naqli, al-Quran dan hadits. Diantaranya yang
cukup jelas adalah firman Allah kepada Nabi Ibrahim as, bahwa imam akan
diangkat dari keturunannya,“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ’sesungguhnya
Aku menjadikan engkau Imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata:
‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman: “Janjiku
(ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah: 124).
Ayat ini membicarakan tentang kisah Nabi Ibrahim as. yang setelah
melewati fase kenabian dan kerasulan, dan setelah lulus dalam sejumlah
ujian berat, maka Nabi Ibrahim as. diangkat menjadi Imam seluruh
manusia. Dengan kesungguhannya, Nabi Ibrahim meminta kepada Allah agar
jabatan ini diberikan juga kepada sebagian keturunannya, tetapi Allah
menegaskan kepada Nabi Ibrahim bahwa orang-orang zalim dan para pendosa
tidak akan mencapai posisi ini.
Frase terakhir dari ayat di atas menegaskan bahwa ketetapan Allah
tidak akan mengenai orang-orang yang zalim. Allamah Thabathabai
menjelaskan bahwa dalam hal ini, secara terperinci kelompok manusia
dibagi pada empat posisi, yaitu :
- Manusia yang zalim sepanjang umurnya.
- Manusia yang tidak zalim sepanjang umurnya.
- Manusia yang zalim di awal umurnya, dan tidak diakhir umurnya.
- Manusia yang tidak zalim di awal umurnya, tetapi zalim diakhirnya.[11]
Merujuk pada pembagian ini, maka kelompok manusia yang kedualah yang
berhak mendapat dan diangkat menjadi imam, karena tidak pernah berbuat
zalim alias maksum, seperti ditegaskan oleh ayat di atas. Sebab
seseorang yang berbuat dosa adalah orang zalim atas dirinaya, sesuai
dengan firman Allah, “…di antara mereka ada yang manganiaya diri mereka sendiri.” (Q.S. Fatir: 32).
Selain ayat di atas, Allah juga menegaskan kepada manusia untuk mematuhi pemimpin melalui firman-Nya, “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya), dan
ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul, jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. al-Nisa’: 59).
Ayat tersebut menurut Husein al-Habsyi menunjukkan bahwa ulil amri yang
wajib ditaati adalah pemimpin yang senantiasa cocok dengan hukum Allah
Swt. Ketaatan mutlak tidak akan pernah dilaksanakan kecuali jika
pemimpin tersebut adalah orang yang maksum. Sebab, jika mereka berbuat
kesalahan, maka harus ditegur dan ditolak saat itu juga. Sikap semacam
ini bertentangan dengan keharusan taat kepada mereka. Akhirnya dua
perintah Allah akan menjadi saling berbenturan, padahal keduanya
menuntut adanya pelaksanaan untuk menghindari murka Yang Maha Kuasa,
dalam arti kata taat kepada mereka.[12]
Sedangkan ayat yang secara jelas menyebutkan ahlul bait adalah ayat tathir,“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Q.S. al-Ahzab: 33)
Para ulama ahli hadis, tafsir, dan sejarawan menyatakan bahwa ayat di
atas turun kepada lima orang, yaitu Nabi Muhammad Saw, Ali bin Abi
Thalib, Fatimah, Hasan dan Husein. Hal ini dapat ditemukan dalam banyak
literatur baik di kalangan sunni maupun syiah seperti Musnad Ahmad bin Hambal, Mustadrak al-Hakim, Sunanal-Turmizi, tafsir Al-Tabari, Tarikh Baghdadi dan lain-lain.[13] Bahkan beberapa buku ditulis khusus untuk menguraikan tentang ayat tersebut, diantaranya[14]:
- Sayid Syahid al-Qadhi Nurullah al-Tusturi, Al-Sahab al-Mathir fi Tafsiri Ayat Tathir.
- Allamah Baha’uddin Muhammad bin Hasan al-Isfahani yang dikenal dengan gelar al-Fadhil al-Hindi, Tathir at-Tathir.
- Allamah Sayid Abdul Baqi al-Husaini, Syarhu Tathir at-Tahir.
- Syekh Abdul Karim bin Muhammad bin Thahir al-Qummi, Al-Shuwar al-Munthabaah.
- Syekh Ismail bin Zainal Abidin yang bergelar Misbah, Tafsir Ayat at-Tathir.
- Syekh Muhammad Ali bin Muhammad Taqi al-Bahrain, Jala’ul Dhamir fi Halli Musykilat Ayat Takhir.
- Allamah Syekh Abdul Husain bin Mustafa, Aghlab ad-Dawain fi Tafsiri Ayat Tathir.
- Syekh Luthfullah Ash-Shafi, Risalah Qayyimah fi Tafsiri Ayat Tathir.
- Sayid Ja’far Murtadha al-Amili, Ahlulbait fi Ayat at-Tathir.
- Syekh Muhammad Mahdi ash-Shifi, Kitab fi Maqal Ayat Tathir.
- Sayid Ali al-Muwahhid al-Abthahi, Ayat Tathir fi Ahadits al-Fariqain.
- Syekh Ja’far Subhani, Ayat at-Tathir.
- Sayid Kamal haydari, al-Ishmah.
Dengan demikian, nas-nas al-Quran di atas secara jelas mengungkapkan
bahwa, kepemimpinan ilahiah dalam Islam tidaklah berakhir setelah
Rasulullah saw wafat. Akan tetapi, garis imamah dilanjutkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan orang-orang suci dari keturunannya melalui jalur Imam Ali dan Fatimah al-Zahra as.
Dan batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk
mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik
dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, kemaksuman yang menjadikan seseorang terpelihara
dari perbuatan-perbuatan dosa dan kesalahan, serta memiliki ilmu dan
pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agama
serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman.
Setidaknya ada tiga syarat penting yang mesti dimiliki seseorang untuk
menduduki posisi Imamah yaitu :
- Merupakan pilihan dan diangkat oleh Allah swt, bukan diangkat oleh masyarakat umum
- Memiliki keilmuan yang mencakup keseluruhan ilmu yang diperoleh secaraladunni dari sisi Allah swt.
- Maksum dari segala kesalahan dan kekeliruan serta dosa.[15]
Ketiga syarat tersebut mengindikasikan bahwa orang yang menjadi imam
mestilah diangkat oleh Allah, seperti halnya para Nabi, bukan diangkat
oleh manusia. Namun, orang yang diangkat Allah swt haruslah orang yang
memiliki kualitas kenabian secara lahiriah dan ruhaniah seperti yang
disyaratkannya memiliki ilmu dan kemaksuman. Orang-orang yang memiliki
kualitas seperti ini hanya Allah swt yang mengetahuinya, karena hanya
Dialah yang senantiasa mengawasi manusia dengan kecermatan, ketelitian,
dan pengawasan yang tidak mungkin dihinggapi kekeliruan.
Selain itu, Imamah juga merupakan petunjuk pelaksanaan
prinsip-prinsip keadilan Ilahi yang mesti dijalankan manusia. Tuhan
dianggap adil karena Ia ingin manusia berjalan di garis yang benar;
Tuhan pencipta manusia dan tidak akan membiarkan makhluk-Nya dalam
kesesatan. Untuk misi itulah para rasul diutus oleh Tuhan.
PENGANGKATAN DAN PENUNJUKKAN IMAM
Seperti disebutkan di atas bahwa pengangkatan atau penunjukan imam
merupakan hak preogratif Allah swt, yang disampaikan melalui wahyu dan
lisan Rasulullah saaw. Manusia tidaklah memiliki peran dalam pemilihan
tersebut, disebabkan penentuan seorang imam menunut kelayakan zatiah, yakni kelayakan yang mana pada diri seseorang telah tertanam sifat-sifat dan kriteria imam seperti ishmah danilmu secara sempurna dan telah menjadi jati dirinya.
Imamah dalam pandangan kaum syiah tidak hanya merupakan suatu sistem
pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar
syariat, yang kepercayaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan.
Khwajah Nasiruddin at-Thusi sebagaimana dikutip oleh Murtadha Muthahhari
menggunakan ungkapan ilmiah dan mengatakan bahwa Imam adalah luthf (karunia)
Allah. Maksudnya seperti kenabian dan berada di luar otoritas manusia.
Karenanya, Imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti
Nabi Saw, Imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah Swt. Bedanya, Nabi
berhubungan langsung dengan Allah Swt, sedangkan Imam diangkat oleh Nabi saw setelah mendapat perintah dari Allah Swt.[16]
Pandangan ini diperkuat dengan penunjukan langsung Rasulullah Muhammad saaw untuk menjadikan Imam Ali sebagai pemimpin (maula, waliy) seluruh kaum muslimin sesaat setelah menyelesaikan haji wada’. Peristiwa bersejarah ini dikenal dengan “hadits ghadir khum” yang mencapai derajat mutawatir.
Jumhur ulama Islam baik dari sunni dan syiah telah mengakui bahwa
Nabi Saw pada hari ke-18, pada bulan Zulhijjah tahun ke-10 H,
sepulangnya dari haji wada’ menuju Madinah al-Munawarah, beliau berhenti
di Ghadir, di sebuah dataran yang bernama Khum. Beliau memerintahkan
orang yang mendahuluinya untuk kembali dan menanti orang-orang yang
tertinggal di belakang. Sehingga semua orang yang bersama beliau
berkumpul, jumlah mereka pada waktu itu diperkirakan mencapai 70.000
orang atau lebih, dan ada yang berpendapat 120.000 orang.[17]
Rasulullah naik ke atas mimbar, beliau berbicara dengan khutbah yang
sangat istimewa. Pesan-pesan ilahiah mengenai persaudaraan, keimanan,
keutamaan Islam, dan sebagainya disampaikan nabi saaw dengan fasihnya.
Hingga kemudian beliau menyampaikan akan keutamaan Imam Ali bin Abi
Thalib, mendoakannya dan mendoakan orang-orang yang mendukungnya, serta
mereka yang menjadikannya sebagai wali.[18]
Kemudian, beliau memerintahkan para sahabatnya agar menyediakan
tempat bagi Ali, kemudian mendudukkannya di tempat itu. Nabi kemudian
memerintahkan semua yang bersama beliau untuk mendatanginya, baik
perseorangan maupun berjamaah, untuk menyampaikan ucapan selamat
kepadanya atas kepemimpinan Ali kelak terhadap seluruh kaum Muslim.
Setelah itu para sahabat diperintahkan nabi membai’at Imam Ali.
Rasulullah Saw berkata, “Tuhanku telah memerintahkan kepadaku tentang hal ini, dan menyuruh kamu sekalian untuk membai’at kepada Ali.”
Riwayat ini menurut Ayatullah Sayyid Muhammad al-Musawi, terdapat dalam
lebih 60 kitab karangan ulama-ulama terkenal Sunni, lebih dari 300
sumber dan lebih 100 periwayat dari sahabat Nabi. Sumber-sumber itu
antara lain Sunan Abu Daud,Sahih Muslim, Sir al-‘Alamin karya Abu Hamid al-Gazali, Sunan Ibnu Majah, al-Mustadrak al-Hakim, Minhaj al-Sunnah Ibnu Taimiyah, Sunan an-Nasa’i dan lain-lain.[19]
Inilah deklarasi umum kepemimpinan Imam Ali, dengan memproklamirkan, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya juga (man kuntu maula hu fa hadza Ali maula hu .[20]
Hadits ini mempunyai banyak jalur periwayatan baik dari jalur sunni
maupun syiah, sehingga mustahil untuk diragukan. Ridha al-Hakimi dalam Hamaseh Ghadirmenyatakan
“Apabila (kriteria keshahihan) hadits al-Ghadir ini tidak kita terima
kebenarannya, niscaya tidak ada satupun hadits lain yang dapat kita
terima”.[21]
Hadis al-Ghadir termasuk hadis yang paling mutawatir. Husain Ali Mahfuz, dalam risetnya yang mendalam seputar persoalan Ghadir Khum, telah mencatat dengan dokumentasi bahwa hadits al-ghadir ini
telah dirawikan oleh paling sedikit 110 sahabat, 84 thabiin, 355 ulama,
25 sejarawan, 27 ahli hadits, 11 mufasir, 18 teolog, dan 5 filolog.[22] Al-Amini dalam karya monumentalnya al-Ghadir sebanyak
11 jilid dengan panjang lebar menelusuri sumber-sumber rujukan hadits
tersebut. Al-Amini menyebutkan para perawinya dari kalangan sahabat yang
mencapai 110 orang sahabat sebagai berikut :
- Abu Hurairah al-Dausi (w.57/58H). Diantaranya diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad jilid VIII, hlm. 290. Al-Khawarizmi di dalam Manaqib, hlm. 130. Ibn Hajar di dalam Tahzhib al-Tahzhib jilid VII, hlm. 327.
- Abu Laila al-Ansari (w. 37 H). Diantaranya ditulis oleh al-Khawarizmi, Manaqib, hlm. 35. Al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114 dan Samhudi di dalam kitab Jawahir al-Aqidain.
- Abu Zainab bin ‘Auf al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah jilid 3, hlm. 307. dan jilid 5, hlm. 205; Ibn Hajr Asqalani, al-Isabah jilid 3, hlm. 408 dan jilid 4, hlm. 80.
- Abu Fadhalah al-Ansari, sahabat Nabi saaw di dalam peperangan Badr. Di antara orang yang memberi penyaksian kepada ‘Ali AS dengan hadith al-Ghadir di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir dalam Usd al-Ghabahjilid 3, hlm. 307, dan jilid 5, hlm.205.
- Abu Qudamah al-Ansari. Di antara orang yang menyahut seruan ‘Ali AS di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir dalam Usd al-Ghabah jilid 5, hlm. 276.
- Abu ‘Umrah bin ‘Umru bin Muhsin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah Jilid 3, hlm. 307.
- Abu al-Haitsam bin al-Taihan meninggal dunia saat perang al-Siffin tahun 37 H. Diriwayatkan oleh al-Qadhi dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 67.
- Abu Rafi’ al-Qibti, hamba Rasulullah SAWAW. Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi dalam Maqtal dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam Nakhb.
- Abu Dhuwaib Khuwalid atau Khalid bin Khalid bin Muhrith al-Hazali wafat di dalam pemerintahan Khalifah ‘Uthman. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dalamHadith al-Wilayah, al-Khawarizmi di dalam Maqtal.
- Abu Bakr bin Abi Qahafah al-Taimi (w.13H). Lihat Ibn Uqdah dalam Hadith al-Wilayah; Abu Bakr al-Ja’abi dalam al-Nakhb, al-Mansur al-Razi dalam kitabnya Hadith al-Ghadir, Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i dalam Asna al-Matalib, hlm. 3.
- Usamah bin Zaid bin al-Harithah al-Kalbi (w.54H). Diriwayatkan di dalamHadith al-Wilayah dan Nakhb al-Manaqib.
- Ubayy bin Ka’ab al-Ansari al-Khazraji (w. 30/32H). Lihat Abu Bakr al-Ja’abi dalam Nakhb al-Manaqib.
- As’ad bin Zararah al-Ansari. Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari di dalamAsna al-Matalib, hlm. 4.
- Asma’ binti Umais al-Khath’amiyyah. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dalamHadith al-Wilayah.
- Umm Salamah isteri Nabi SAWAW. Lihat al-Samhudi al-Syafii dalam Jawahir al-Aqirain; dan al-Qunduzi al-Hanafi dalam Yanabi al-Mawaddah, hlm. 40.
- Umm Hani’ binti Abi Talib. Lihat al-Qunduzi l-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 40 dan Ibn ‘Uqdah, Hadith al-Wilayah.
- Abu Hamzah Anas bin Malik al-Ansari al-Khazraji hamba Rasulullah saaw (w. 93H). Lihat al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikhnya jilid VII, hlm. 377; Ibn Qutaibah, al-Ma’arif, hlm. 291; al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
- Al-Barra’ bin ‘Azib al-Ansari al-Ausi (w. 72H). Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, IV, hlm. 281; Ibn Majah di dalam Sunan, I, hlm. 28-29.
- Baridah bin al-Hasib Abu Sahl al-Aslami (w. 63H). Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak, III, hlm. 110; al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
- Abu Sa’id Thabit bin Wadi’ah al-Ansari al-Khazraji al-Madani. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307.
- Jabir bin Samurah bin Janadah Abu Sulaiman al-Sawa’i (w. 70H). Diriwayatkan oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-Ummal, VI, hlm. 398.
- Jabir bin Abdullah al-Ansari (w. 73/74H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Birr di dalam al-Isti’ab, II, hlm. 473; Ibn Hajr di dalam Tahdhib al-Tadhib, V, hlm. 337.
- Jabalah bin ‘Umru al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadith al-Wilayah.
- Jubair bin Mut’am bin ‘Adi al-Qurasyi al-Naufali (w. 57/58/59 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 31, 336.
- Jarir bin ‘Abdullah bin Jabir al-Bajali (w. 51/54 H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 106.
- Abu Dhar Janadah al-Ghaffari (w.31 H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah; Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4.
- Abu Junaidah Janda’ bin ‘Umru bin Mazin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 308.
- Hubbah bin Juwain Abu Qadamah al-’Arani (w. 76-79H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 103; al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad, VIII, hlm. 276.
- Hubsyi bin Janadah al-Jaluli. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307, V, hlm. 203; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa Nihayah, VI, hlm. 211.
- Habib bin Badil bin Waraqa’ al-Khaza’i. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 368; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 304.
- Huzaifah bin Usyad Abu Sarihah al-Ghaffari. (w.40/42 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 38.
- Huzaifah al-Yamani (w.36 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 40.
- Hasan bin Tsabit. Salah seorang penyair al-Ghadir pada abad pertama Hijrah.
- Imam Mujtaba Hasan bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
- Imam Husain bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Hilyah al-Auliya’, IX, hlm.9.
- Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Ansari (w.50/51H). Diriwayatkan oleh Muhibuddin al-Tabari di dalam al-Riyadh al-Nadhirah, I, hlm. 169; Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabbah, V, hlm. 6 dan lain-lain.
- Abu Sulaiman Khalid bin al-Walid al-Mughirah al-Makhzumi (w. 21/22H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
- Khuzaimah bin Thabit al-Ansari Dhu al-Syahadataini (w. 37H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah,III, hlm. 307 dan lain-lain.
- 39. Abu Syuraih Khuwailid Ibn `Umru al-Khaza`i (w. 68 H).Di antara orang yang menyaksikan Amiru l-Mukminin dengan hadis al-Ghadir.
- Rifaah bin `Abd al-Munzhir al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadis al-Wilayah.
- Zubair bin al-`Awwam al-Qurasyi (w. 36 H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 3.
- Zaid bin Arqam al-Ansari al-Khazraji (w. 66/68 H). Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, IV, hlm.368 dan lain-lain.
- Abu Sa`id Zaid bin Thabit (w. 45/48 H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib,hlm. 4 dan lain-lain.
- Zaid Yazid bin Syarahil al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, II, hlm. 233; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 567 dan lain-lain.
- Zaid bin `Abdullah al-Ansari.Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abu Ishak Sa`d bin Abi Waqqas (w. 54/56/58 H). Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak , III, hlm. 116 dan lain-lain.
- Sa`d bin Janadah al-`Aufi bapa kepada `Atiyyah al-`Aufi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah , dan lain-lain.
- Sa`d bin `Ubadah al-Ansari al-Khazraji (w. 14/15 H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja`abi di dalam Nakhb.
- Abu Sa`id Sa`d bin Malik al-Ansari al-Khudri (w.63/64/65H). Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Manaqibnya, hlm. 8; Ibn Kathir di dalam Tafsirnya, II, hlm. 14 dan lain-lain.
- Sa`id bin Zaid al-Qurasyi `Adwi (w. 50/51 H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Maghazili di dalam Manaqibnya.
- Sa`id bin Sa`d bin `Ubadah al-Ansari.Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalamHadis al-Wilayah.
- Abu `Abdullah Salman al-Farisi (w. 36/37 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
- Abu Muslim Salmah bin `Umru bin al-Akwa` al-Islami (w. 74H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya didalam Hadis al-Wilayah.
- Abu Sulaiman Samurah bin Jundab al-Fazari (w.58/59/60 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
- Sahal bin Hanif al-Ansari al-Awsi (w. 38 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
- Abu `Abbas Sahal bin Sa`d al-Ansari al-Khazraji al-Sa`idi (w. 91H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi` al-Mawaddah, hlm. 38 dan lain-lain.
- Abu Imamah al-Sadiq Ibn `Ajalan al-Bahili (w. 86 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Dhamirah al-Asadi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Talhah bin `Ubaidillah al-Tamimi wafat pada tahun 35 Hijrah di dalam Perang Jamal. Diriwayatkan oleh al-Mas`udi di dalam Muruj al-Dhahab, II, hlm. 11; al-Hakim di dalam al-Mustadrak, III, hlm. 171 dan lain-lain.
- Amir bin `Umair al-Namiri. Diriwayatkan oleh Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 255.
- Amir bin Laila bin Dhumrah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 92 dan lain-lain.
- Amir bin Laila al-Ghaffari. Diriwayatkan oleh Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 257 dan lain-lain.
- 63. Abu Tufail `Amir bin Wathilah. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 118; al-Turmudhi di dalam Sahihnya, II, hlm. 298 dan lain-lain.
- 64. `Aisyah binti Abu Bakr bin Abi Qahafah, isteri Nabi (s.`a.w.). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abbas bin `Abdu l-Muttalib bin Hasyim bapa saudara Nabi (s.`a.w.). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abdu al-Rahman bin `Abd Rabb al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 408 dan lain-lain.
- Abu Muhammad bin `Abdu al-Rahman bin Auf al-Qurasyi al Zuhri (w. 31 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 3 dan lain-lain.
- Abdu al-Rahman bin Ya`mur al-Daili. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalamHadis al-Wilayah dan lain-lain.
- Abdullah bin Abi `Abd al-Asad al-Makhzumi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abdullah bin Badil bin Warqa’ Sayyid Khuza`ah. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abdullah bin Basyir al-Mazini. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abdullah bin Thabit al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 67.
- Abdullah bin Ja`far bin Abi Talib al-Hasyim (w. 80 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abdullah bin Hantab al-Qurasyi al-Makhzumi. Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam Ihya’ al-Mayyit.
- Abdullah bin Rabi`ah. Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Maqtalnya.
- Abdullah bin `Abbas (w. 68 H). Diriwayatkan oleh al-Nasa`i di dalam al-Khasa`is, hlm. 7 dan lain-lain.
- Abdullah bin Ubayy Aufa `Alqamah al-Aslami (w.86/87H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abu `Abd al-Rahman `Abdullah bin `Umar bin al-Khattab al- `Adawi (w. 72/73 H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 106 dan lain-lain.
- Abu `Abdu al-Rahman `Abdullah bin Mas`ud al-Hazali (w. 32/33H). Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam al-Durr al-Manthur, II, hlm. 298 dan lain-lain.
- Abdullah bin Yamil. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 274; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 382 dan lain-lain.
- Uthman bin `Affan (w. 35 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
- Ubaid bin `Azib al-Ansari, saudara al-Bara’ bin `Azib. Di antara orang yang membuat penyaksian kepada `Ali a.s di Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307.
- Abu Tarif `Adi bin Hatim (w. 68 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi` al-Mawaddah, hlm. 38 dan lain-lain.
- Atiyyah bin Basr al-Mazini. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Uqbah bin `Amir al-Jauhani. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 68.
- Amiru l-Mukminin `Ali bin Abi Talib a.s. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 152; al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 107; al-Suyuti di dalam Tarikh al- Khulafa’, hlm. 114; Ibn Hajr di dalamTahdhib al-Tahdhib, VII, hlm. 337; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, V, hlm. 211 dan lain-lain.
- Abu Yaqzan `Ammar bin Yasir (w. 37H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
- Ammarah al-Khazraji al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalamMajma` al-Zawa’id, IX, hlm. 107 dan lain-lain.
- Umar bin Abi Salmah bin `Abd al-Asad al-Makhzumi (w. 83 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Umar bin al-Khattab (w. 23 H). Diriwayatkan oleh Muhibbuddin al-Tabari di dalam al-Riyadh al-Nadhirah, II, hlm. 161; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, VII, hlm. 349 dan lain-lain.
- Abu Najid `Umran bin Hasin al-Khuza`i (w. 52 H). Diriwayatkan oleh syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
- Amru bin al-Humq al-Khuza`i al-Kufi (w. 50 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Amru bin Syarhabil.Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Maqtalnya.
- Amru bin al-`Asi. Diriwayatkan oleh Ibn Qutaibah di dalam al-Imamah wa al-Siyasah, hlm. 93 dan lain-lain.
- Amru bin Murrah al-Juhani Abu Talhah atau Abu Maryam. Diri-wayatkan oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-`Ummal, VI, hlm. 154 dan lain-lain.
- Al-Siddiqah Fatimah binti Nabi (s.`a.w.).Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalamHadis al-Wilayah dan lain-lain.
- Fatimah binti Hamzah bin `Abdu l-Muttalib. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Qais bin Thabit bin Syamas al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalamUsd al-Ghabah, I, hlm. 368; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 305 dan lain-lain.
- Qais bin Sa`d bin `Ubadah al-Ansari al-Khazraji. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
100. Abu Muhammad Ka`ab bin `Ajrah al-Ansari al-Madani (w. 51 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
101. Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairath al-Laithi (w. 84 H). Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114 dan lain-lain.
102. Al-Miqdad bin `Amru al-Kindi al-Zuhri (w. 33 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
103. Najiah bin`Amru al-Khuza`i. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, V, hlm. 6; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, III, hlm. 542 dan lain-lain.
104. Abu Barzah Fadhlah bin `Utbah al-Aslami (w. 65 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
105. Na’mar bin `Ajalan al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 68 dan lain-lain.
106. Hasyim al-Mirqal Ibn`Utbah bin Abi Waqqas al-Zuhri (w. 37H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 366; Ibn Hajr di dalam _al-Isabah, I, hlm. 305.
107. Abu Wasmah Wahsyiy bin Harb al-Habsyi al-Hamsi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
108. Wahab bin Hamzah.Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi pada Fasal Keempat di dalam Maqtalnya.
109. Abu Juhaifah Wahab bin`Abdullah al-Suwa’i (w. 74 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
110. Abu Murazim Ya’li bin Murrah bin Wahab al-Thaqafi. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah , II, hlm.233; Ibn Hajr di dalam al-Isabah , III, hlm. 542[23].
Demikianlah 110 perawi-perawi hadis al-Ghadir di kalangan sahabat
mengenai penunjukan Ali a.s sebagai imam atau khalifah secara langsung
oleh Rasulullah saaw. Kemudian diikuti pula oleh 84 perawi-perawi dari
golongan para Tabi`in yang meriwayatkan hadis al-Ghadir serta 360
perawi-perawi di kalangan para ulama Sunnah yang meriwayatkan hadis
tersebut di dalam buku-buku mereka. Malah terdapat 26 pengarang dari
kalangan para ulama Ahl al-Sunnah yang mengarang buku secara khusus
tentang hadis al-Ghadir.[24]
Para perawi hadis al-Ghadir tidak berhenti sampai batas ini,
melainkan juga dinukil secara mutawatir pada setiap
tingkatan-tingkatannya. Jumlah para perawinya dari abad kedua hingga
abad keempat belas Hijrah mencapai 360 orang.
Diantara ulama Sunni kontemporer yang menyebutkan peristiwa ini, diantaranya :
- Ahmad Zaini Dahlan al-Makki al-Syafii dalam kitabnya Futuhat al-Islamiyah
- Syeikh Yusuf al-Nabhani al-Beiruti dalam kitabnya al-Syaraf al-Muayyad
- Muhammad Abduh dalam karyanya Tafsir al-Manar
- Abdul Hamid al-Alusi al-Baghdadi dalam kitabnya Natsr al-La’ali
- Sayyid Mukmin Sablanji al-Misri dalam Nur al-Abshar
- Syeikh Muhammad Habibullah Syanqithi dalam Kifayah al-Thalib
- Dr. Ahmad Rifai dalam kitabnya Ta’liqat Mu’jam al-Udaba
- Ahmad Zaki al-Mishri dalam kitabnya Ta’liqat al-Ghani
- Ahmad Nashim al-Mishri dalam kitabnya Ta’liqat Diwan Mihyar Dailami
- Muhammad Mahmud Rifai dalam kitabnya Syarhu al-Hasyimiyat
- Nashir as-sunnah al-Hamdhrani dalam Tasynif al-Adzan
- Dr. Umar al-Faruk dalam Hakim al-Muammarah.[25]
Adapun ulama Syiah diantaranya :
- Syeikh Ahmad bin Ali bin Abi Thalib at-Thabarsi menulis kitab al-Ihtijaj
- Mir Hamid Husain al-Hindi dalam karyanya Abaqat al-Anwar sebanyak 20 jilid
- Syeikh Abdul Husain al-Amini dalam karyanya al-Ghadir sebanyak 11 jilid
- Ali Akbar Shadeqi, Payam Ghadir (Khutbah al-Rasul saw fi Ghadir Khum).
- Syeikh Ayub al-Hairi, al-Ghadir
Hadits al-Ghadir di atas umumnya dipandang sebagai pelantikan Imam
Ali as saja, sedangkan syiah meyakini ada 12 imam. Keyakinan akan 12
imam atau khalifah ini didukung teks-teks hadits yang cukup
terkenal yang diriwayatkan para ahli hadits di dalam kitab-kitab utama
mereka seperti : Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal, serta
kitab-kitab standar lainnya yang jika kita telusuri akan mencapai
setidaknya 270 riwayat, diantaranya Al-Qanduzi al-Hanafi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah, “Yahya bin Hasan telah menyebutkan di dalam kitab al-’Umdah melalui
dua puluh jalan bahwa para khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu
berjumlah dua belas orang khalifah, dan seluruhnya dari bangsa Quraisy.
Dan begitu juga di dalam Sahih Bukhari melalui tiga jalan, di dalam Sahih Muslim melalui sembilan jalan, di dalam Sunan Abu Dawud melalui tiga jalan, di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan, dan di dalam al-Hamidi melalui tiga jalan.
Sebagai misal, di dalam Sahih Bukhari berasal dari Jabir yang
mengatakan, “Rasulullah saw telah bersabda, ‘Akan muncul sepeninggalku
dua belas orang amir’, kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang
saya tidak mendengarnya. Lalu saya menanyakannya kepada ayah saya, ‘Apa
yang telah dikatakannya?’ Ayah saya men-jawab, ‘Semuanya dari bangsa
Quraisy.’” Adapun di dalam Sahih Muslim berasal dari ‘Amir bin Sa’ad
yang berkata, “Saya menulis surat kepada Ibnu Samrah, ‘Beritahukan
kepada saya sesuatu yang telah Anda dengar dari Rasulullah saw.’ Lalu
Ibnu Samrah menulis kepada saya, ‘Saya mendengar Rasulullah saw bersabda
pada hari Jumat sore pada saat dirajamnya al-Aslami, ‘Agama ini akan
tetap tegak berdiri hingga datangnya hari kiamat dan munculnya dua belas
orang khalifah yang kesemuanya berasal dari bangsa Quraisy.”
Ayatullah Ibrahim Amini meneliti hadits-hadits tentang 12 imam atau khalifah dan mengelompokkanya menjadi lima kelompok,[26] yaitu :- Hadits-hadits yang menggambarkan bahwa para khalifah dan umara setelah nabi berjumlah 12 orang. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim Jilid III, “Agama ini akan terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam) semuanya berasal dan suku Quraisy.”
- Hadits-hadits yang menyebutkan bahwa para imam berjumlah dua belas orang dan terakhirnya bernama al-Qaim atau Mahdi.
- Hadits-hadits yang menyebutkan jumlah 12 orang dengan disertai nama-nama setiap imam.
- Hadits-hadits yang menyatakan bahwa para imam ada 12 orang dan semuanya suci.
- Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa ahlul bait akan tetap ada hingga hari kiamat.
Syiah meyakini bahwa tafsiran yang paling tepat mengenai dua belas
khalifah yang ditentukan Nabi Muhammad saaw. itu adalah para Imam maksum
as. dari Imam Ali bin Abi Thalib as hingga Imam Muhammad al-Mahdi afs.
Meskipun begitu, umumnya ulama sunni tetap menganggap bahwa
pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah bukanlah hal yang mutlak, bahkan
sebagiannya ada yang menolak persoalan tersebut. Menurut analisa
Jalaluddin Rakhmat, setidaknya, dalam menanggapi persoalan ini para
pemikir sunni melakukan enam teknik pengalihan fakta[27], yaitu :
- Membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan kata-kata yang kabur. Contoh: Tarikh al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi tentang Ali, “Inilah washiku dan khalifahku untuk kamu”. Kata-kata ini dalam tafsir al-Thabari dan Ibnu Katsir diganti dengan “wa kadza wa kadza (demikianlah-demikianlah)”. Tentu kata ‘washi’ dan ‘khalifah’ sangat jelas, sedangkan” wa kadza” tidak jelas.
- Membuang seluruh beritanya dengan memberithaukan bahwa pembuangan cerita itu ada. Contohnya: Dalam buku ‘Shiffin’ karya Nashr bin Mazahim (w. 212 H) dan Muruj al-Dzahab karya al-Masudi (w. 246 H) diceritakan bahwa Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Muawiyah menjelakan keutamaan Imam Ali sebagai ‘washi’ nabi, dan muawiyah mengakuinya. Namun, al-Thabari yang juga menceritakan kisah tersebut dengan merujuk pada buku-buku di atas sebagai sumber, membuang semua isi surat itu dengan alasan supaya orang banyak tidak resah mendengarnya. Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, juga menghilangkan isi surat itu dengan alasan yang sama.
- Memberikan makna lain (takwil) pada riwayat. Contohnya : al-Thabrani dalamMajma al-Zawaid meriwayatkan ucapan Nabi kepada Salman al-Farisi bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberikan komentar, “Nabi menjadikannya washi untuk keluarganya, bukan untuk khalifah”.
- Membuang sebagian riwayat tanpa menyebutkan petunjuk atau alasan. Contohnya: Ibnu Hisyam mendasarkan kitabnya, Tarikh Ibnu Hisyam pada Tarikh Ibnu Ishaq. Akan tetapi Ibnu Hisyam dalam kata pengantarnya berkata bahwa ia meninggalkan beberapa bagian riwayat Ibnu Ishaq yang jelek bila disebut orang. Diantara yang ditinggalakanya itu adalah kisah “wa andzir ashiratakal aqrabin”, yang dalam Sirah Ibnu Ishaq di riwayatkan Nabi mengatakan “Inilah (Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Muhammad Husein Haikal dalam bukunya Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Pada bukunya cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi, “siapa yang akan membantuku dalam urusan ini akan menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Pada cetakan kedua (tahun 1354 H) ucapan Nabi ini dibuang dari bukunya.
- Melarang penulisan hadits-hadits Nabi saw, dari masa sahabat sampai masa thabiin, sehingga kemungkinan hadits banyak yang hilang.
- Mendhaifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan orang yang kita dukung atau yang menunjukkan kehebatan lawan. Contohnya: Ibnu Katsir mendhaifkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali sebagai washi dan khalifah Nabi. Ia menganggap riwayat ini sebagai dusta yang dibuat-buat orang syiah atau orang-orang bodoh dalam ilmu hadits. Padahal hadits itu diriwayatkan dari banyak sahabat oleh Imam Ahmad, al-Thabari, al-Thabrani, Abu Nuaim al-Isbahani, Ibnu Asakir, dan lainya.
Cara ini telah melahirkan diskusi mazhab yang panjang. Ulama Sunni
menulis buku yang menyerang mazhab syiah, dan Ulama syiah membalasnya
dengan menulis buku juga sebagai jawaban. Al-Hilli menulis buku Minhaj al-Karamah yang
dibantah oleh Ibnu Rouzban (dari sunni) dan dibalas lagi oleh
al-Marasyi al-Tustary (dari Syiah). Kompilasi bantahan ini sekarang
menjadi buku ‘Ihqaq al-Haq’ sebanyak 19 jilid, yang setiap jilidnya sama dengan ukuran Encyclopedia Britannica. Ibnu Taymiyah menulis buku ‘Minhaj al-Sunnah’ juga untuk membantah buku ‘Minhaj al-Karamah’. Akhirnya ditulislah 11 jilid al-Ghadir dan 20 jilid “Abaqat al-Anwar” untuk
membuktikan keshahihan hadits ghadir khum yang didhaifkan Ibnu
Taymiyah. Sampai saat ini belum ada bantahan untuk kedua buku tersebut.
HUBUNGAN IMAMAH DAN WILAYAH
Pada dasarnya, imamah dan wilayah adalah konsepsi yang tak
terpisahkan, antara bagian dan keseluruhan. Maksudnya, wilayah adalah
payung besar yang menaungi seluruh konsepsi kepemimpinan Islam, baik itu
kenabian (an-nubuwah), keimaman (imamah), ataupun keulamaan (fukaha). Ini berarti wilayah merupakan konsepsi yang khas sebagai bentuk distribusi kepemimpinan mulai dari Allah (wilayah Allah), Nabi (wilayah al-nabi), imam (wilayah al-imam), hingga ulama (wilayah al-faqih).
Ayat berikut dipandang oleh syiah sebagai rujukan penting mengenai wilayah:
“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan
rukuk.” (Q.S. al-Maidah: 55)
Ayat ini menetapkan tiga “kewalian” yaitu Allah, Nabi Muhammad Saw,
dan “orang yang beriman”. Frasa terakhir (orang yang beriman) ini,
disebutkan oleh para ahli hadits dan tafsir merujuk kepada Imam Ali bin
Abi Thalib.[28] Jadi, ayat ini mengindikasikan kewalian Imam Ali bin Abi Thalib, dan para imam lainnya yangwilayah mereka ditetapkan melalui penunjukan mereka oleh Nabi Saw.[29]
Menurut A.A. Sachedina, Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir telah melaksanakan tugasnya mengemban wilayah al-ilahiyah. Wilayah al-Ilahiyah berkaitan dengan visi moral wahyu islami.
Wahyu islami memandang kehidupan publik sebagai suatu proyeksi niscaya
dari tanggapan pribadi terhadap tantangan moral untuk menciptakan suatu
tatanan masyarakat yang berdasarkan ajaran-ajaran Allah di muka bumi.
Untuk mewujudkan itu, kepemimpinan amat penting. Sebab hanya melalui
kepemimpinan yang dibimbing oleh Allah, penciptaan masyarakat yang ideal
dapat diwujudkan. Masalah kepemimpinan yang dibimbing oleh Allah dalam
memenuhi rencana Allah, di bawah naungan wilayah al-Ilahiyah, dengan
demikian menempati posisi sentral dalam sistem keimanan atau pandangan
Syiah, yang di dalamnya Nabi Muhammad Saw sebagai wakil aktif Allah yang
transendental di muka bumi, digambarkan sebagai memiliki wilayah Ilahi. Untuk menjamin kontinuitas visi wahyu yang demikian, kontinuitas realisasi kepemimpinan menjadi sebuah keniscayaan.[30]
Fakta ini demikian penting, sehingga baik selama masa hidup Nabi
Muhammad Saw, maupun segera setelah wafatnya, masalah kepemimpinan dalam
Islam menjadi jalin-berjalin demikian erat dengan penciptaan suatu
tatanan Islami. Wahyu Islami tak pelak lagi mengandung arti bimbingan
Allah melalui perwakilan yang ditunjuk oleh Allah, yaitu Nabi Muhammad
Saw, untuk mewujudkan tatanan masyarakat Islami. Dan setelah Rasulullah
Muhammad saaw, amanah untuk menjaga dan mewujudkan tatanan islami itu
dilanjutkan oleh para imam yang diangkat oleh Allah melalui lisan wahyu
Rasulullah saaw.
IMAMAH DAN WILAYAH SEBAGAI KEPEMIMPINAN UNIVERSAL
Kata maula[31] dan al-waliy dalam kamus-kamus Bahasa Arab memiliki beberapa arti, diantaranya : yang bertanggung jawab dalam suatu pekerjaan (al-mutawalli fi al-amr), penolong (nashir), teman (shahib), pecinta (muhib), sekutu (haliif), pewaris (warits).
Akan tetapi, kata al-wali atau maula, sebagaimana terdapat dalam konteks ayat wilayah (Q.S.
al-maidah: 55) dan hadits Ghadir Khum di atas, disepakati oleh ulama
syiah sebagai konsepsi kepemimpinan universal yang dimiliki oleh Imam
Ali bin Abi Thalib. Sedangkan bagi ulama sunni, istilah ini ditafsirkan
bermacam-macam,meskipun ada konsensus di antara mereka bahwa
ayat dan hadits itu diwahyukan untuk memuji kesalehan dan ketakwaan Ali,
namun kata al-wali ditafsirkan sebagai mengandung arti muwalat (persahabatan yang menolong) Ali dan tidak meniscayakan penerimaan akan wilayah (otoritas dalam bentuk kepemimpinan universal/ imamah).
Sebagian dari penulis ahli sunnah menyatakan bahwa al-wali atau maula dalam ayat dan hadis “man kuntu maula”
berarti teman atau kekasih atau dengan kata lain dalam hadis al-Ghadir,
Rasul hanya ingin menegaskan pada kaum muslimin bahwa siapa yang
mencintai beliau harus juga mencintai Imam Ali a.s dan tidak lebih dari
itu.
Memang tidak ada yang memungkiri bahwa kata al-wali atau maula bisa berarti teman atau kekasih. Akan tetapi, menurut pandangan syiah, dalam konteks ayatwilayah dan hadits al-ghadir, tidaklah tepat memaknai kata tersebut dengan teman atau kekasih dikarenakan alasan sebagai berikut: [32]
- Bahwasanya kecintaan terhadap Imam Ali a.s. dan kecintaan kaum muslimin dengan sesama mereka adalah masalah yang sudah tersebar luas dan diketahui oleh seluruh umat Islam, karena diawal-awal dakwah rasul, beliau selalu menyampaikan “innamal mukminuna ikhwah”, sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara “, oleh karena itu tidak perlu lagi rasul mengumpulkan puluhan bahkan ratusan ribu kaum muslimin dalam kondisi dibawah terik matahari hanya untuk menyampaikan bahwa mereka harus mencintai Imam Ali as.
- Ayat tentang wilayah ini mengandung makna pengaturan dan ketaatan khusus pada tiga wali yakni Allah, Nabi dan ‘orang beriman’ (Imam Ali).
- Sesungguhnya sabda Rasul saww, “Bukankah aku lebih berhak atas kalian dibanding dari kalian?”, yang diucapkan sebelum melantik Imam Ali as, menandakan yang dimaksud dengan maula dihadis al-Ghadir bukan hanya sekedar kecintaan, akan tetapi kepemimpinan Imam Ali as. Sebagaimana Rasul adalah pemimpin kaum muslimin dan beliau lebih berhak atas mereka dibanding diri mereka sendiri begitu pula halnya dengan Imam Ali as.
- Doa Nabi Muhammad saaw, “Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Bantulah mereka yang membantunya dan tiggalkanlah mereka yang meninggalkannya”, mengindikasikan kepemimpinan Imam Ali, sebab secara alami dalam kepemimpinan ada yang mendukung dan ada yang memusuhinya.
- Ucapan selamat dan baiat yang disampaikan para sahabat kepada Imam Ali as juga membuktikan akan adanya suatu yang istimewa yang dialami beliau as. Kalau saja yang dimaksud rasul dalam hadis al-Ghadir itu hanya sekedar kecintaan, maka adalah hal yang biasa dan bukan suatu yang istimewa sehingga ayat diturunkan dan para sahabat mengucapkan selamat.
Para ulama Syiah, memaknai maula dalam arti pokoknya yang lain, yaitu al-awla bittasharruf (pemimpin) dan al-ahaq (lebih berhak untuk mengemban otoritas), sebab al-awla dalam
penggunaan umum sering diterapkan pada seseorang yang dapat mengemban
otoritas atau yang mampu mengelola urusan-urusan. Selain itu,al-wali, sebagaimana
terdapat dalam ayat Alquran di atas, tidak selalu berarti seseorang
yang memiliki otoritas untuk mendukung atau menolong, sebab banyak
sekali ayat-ayat Alquran yang lain yang mengandung makna perintah
tolong-menolong antara Rasul dengan kaum Muslim.
Namun, al-wali yang diterapkan pada Nabi Muhammad Saaw, mengandung makna wilayah tasharruf, yang berarti pemilikan akan otoritas yang memberi wali hak
untuk bertindak dengan cara apa pun yang dinilainya paling baik,
menurut kearifannya, sebagai seorang wakil bebas dalam mengelola
urusan-urusan umat. Wilayah al-tasharruf dapat diemban hanya
oleh orang yang ditunjuk untuk ini oleh otoritas mutlak yaitu Allah,
atau oleh orang yang secara eksplisit ditunjuk oleh Nabi Muhammad Saaw,
dalam kedudukan otoritas melalui perwakilan. Konsekuensinya, Imam yang ditunjuk oleh nas sebagai wali memiliki wilayah al-tasharrruf dan diakui sebagai penguasa umat.[33]
Dari hal-hal di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud “maula” dalam hadis al-Ghadir adalah “Khilafah dan Imamah”
bagi Imam Ali as. sebagai pemimpin universal. Kepemimpinan universal
ini akan terus berlangsung melalui garis para imam, yang secara
eksplisit ditunjuk oleh imam-imam sebelumnya. Dalam pengertian terakhir
inilah wilayah imam atas umat terkonseptualisasikan. Karena
itu, secara keagamaan, melecehkan para imam yang ditunjuk oleh Allah ini
sama saja dengan pengingkaran.
Secara kronologis, kepemimpinan umat pasca Nabi Muhammad saaw,
menurut perspektif syiah, dimulai oleh Imam Ali bin Abi Thalib, kemudian
anak beliau yakni Imam Hasan al-Mujtaba, Imam Husain, dan dilanjutkan
sembilan keturunan dari Imam Husain yaitu Ali Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Kazhim, Ali Ridha, Muhammad al-Jawad, Ali
al-Hadi, Hasan al-Askari, dan Muhammad al-Mahdi. Hanya saja, Imam yang
terakhir ini, meskipun telah lahir pada abad ke-3 Hijrah (tahun 255 H)
namun mengalami kegaiban hingga waktu yang tidak diketahui. Dalam masa
ketersembunyian Imam Mahdi ini, wilayah imam terdelegasikan kepada ulama
yang memenuhi syarat-syarat tertentu untuk secara formal memimpin,
membimbing, dan menjelaskan syariat Islam kepada kaum muslimin.
Kepemimpinan ulama ini berlaku hingga hadirnya Imam kedua belas, Imam
Muhammad al-Mahdi afs.
Ketika al-Mahdi, Imam kedua belas datang kembali, maka
otoritas-otoritas temporal dan spiritual akan terpadu pada dirinya
seperti halnya Nabi Muhammad saw. Dia akan mempersatukan dua bidang
pemerintahan islami yang ideal itu. Maka gagasan tentang Imamah yang
ditunjuk di antara keturunan Ali, yang berkesinambungan di sepanjang
sejarah dan dalam segala keadaan politis, diperkuat oleh harapan
berkenaan dengan Imamah dari Imam terakhir yang sedang gaib. Hal ini mengukuhkan kembali harapan Imamiyah akan pemerintahan islami sejati oleh seorang Imam yang absah dari kalangan keturunan Husein.[34]
Kegaiban dalam pemikiran dan keyakinan syiah terbagi dalam dua tingkatan.
Pertama, “kegaiban kecil” (minor occultation/ghaibah ash-shugra) selama 74 tahun (255-329 H), yaitu ketika Imam Mahdi “bersembunyi di dunia fisik dan mewakilkan kepemimpinannya kepada para wakil Imam”. Pada masa ini kesulitan dalam halmarja’ (kepemimpinan agama dan politik) relatif bisa diatasi. Karena, posisi marja’dijabat
oleh empat wakil al-Mahdi, yaitu Abu ‘Ammar Usman bi Sa’id, Abu Ja’far
Muhammad bin Usman, Abu al-Qasim al-Husain bin Ruh dan Abu al-Hasan ‘Ali
bin Muhammad Samari.
Kedua, “kegaiban besar” (major occultation/ ghaibah al-kubra), yaitu pasca meninggalnya keempat wakil Imam di
atas hingga datangnya kembali Imam Muhammad al-Mahdi pada akhir zaman.
Dalam periode “kegaiban besar” inilah kepemimpinan didelegasikan kepada
para faqih. Konsepsi inilah yang dikenal dengan istilah wilayah al-faqih.
[1] Gelar yang paralel dengan imam adalah amir dan khalifah. Pada awal pemerintahan Islam, masa Rasulullah Saw dan Khulafaar-Rasyidun, penguasa daerah disebut amil (pekerja pemerintah, gubernur) sinonim dengan amir. Kata amirberasal dari akar kata amr yang berarti “perintah”. Amir bermakna
“yang memerintah”, kemudian makna ini berkembang sehingga berarti
“pemimpin”. Selama pemerintahan Islam di Madinah, para komandan divisi
militer disebut Amir, yaitu amir al-jaisy atau amir al-jund. Para gubernur yang mulanya adalah pemimpin militer yang menaklukkan daerah, juga disebut Amir. Tugas utama amir pada
mulanya adalah penguasa daerah, yaitu pengelola administrasi politik,
pengumpul pajak, dan pemimpin agama. kemudian pada masa pasca Rasulullah
Saw, tugas amir bertambah meliputi memimpin ekpedisi militer,
menandatangani perjanjian damai, memelihara keamanan taklukan Islam,
membangun mesjid, menjadi Imam salat Jumat, mengurus administrasi
pengadilan, dan bertanggung jawab kepada khalifah di Madinah. Pada masa
Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, makna amir hampir sama dengan masa Rasulullah Saw. Taufik Abdullah. et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid III. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 204-206.
[2] Taufik Abdullah. et.al. Ensiklopedi, h. 204-206.
[3] Taufik Abdullah. et.al. Ensiklopedi, h. 205.
[4] Taufik Abdullah. et.al. Ensiklopedi, h. 205.
[5] Taufik Abdullah. et.al. Ensiklopedi, h. 205.
[6] Pembahasan
mengenai imamah dengan dalil-dalil rasional banyak di bahas dalam
kitab-kitab kalam syiah. Begitu pula dengan dalil-dalil naqliyah yang
bersumber dari al-Quran maupun hadits Nabi Muhammad saaw dan
dikomparasikan dengan berbagai argumen mazhab sunni. Lihat misalnya,
al-Kulaini,Ushul al-Kafi.(Beirut: Muassasah al-a’lami li al-mathbuat, 2005). Abdul Husain Ahmad al-Amini al-Najafi. al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Adab Jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami lil mathbuat, 1994). Syaikh Abdullah Hasan, Munazarah fil Imamah.
[7] Tentang ayat ini, Fakhr al-Razi, berkomentar; “Ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang yang jaiz al-khatha, yang
dapat melakukan kesalahan, harus bergabung dan wajib mengikuti orang
yang dijamin kebenarannva atau maksum. Mereka adalah orang yang dimaksud
oleh Allah sebagai orang-orang yang benar di atas, as-shodiqun.
Prinsip ini bukan hanya berlaku pada satu masa saja, tapi untuk
sepanjang masa. Jadi, pada setiap masa pasti ada orang maksum. Lihat
Fakr al-Razi. Tafsir al-Kabir jilid XVI, h. 221.
[8] Tentang ‘Ismah, dapat di baca secara lengkap dalam Ja’far Subhani. Ma’a al-Syiah al-Imamiyah fi ‘Aqaidihim. (Mu’awiniyatu Syu’uni al-Ta’lim wa al-Buhuts al-Islamiyah, 1413), h. 56-70. Ja’far Subhani. Ishmah Keterpeliharaan Nabi dari Dosa.(Yayasan As-Sajjad, 1991). Sayid Kamal Haydari. Ishmah. (Huquq al-Thab’i Mahfuzhah, 1997); Muhammad at-Tijani as-Samawii. Bersama Orang-orang Yang Benar. (Jakarta: Yayasan as-Sajjad, 1997), h. 213-220.
[9] Ibrahim Amini. Para Pemimpin Teladan. (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 31. dan 40-64.
[10] Munawir Sjadzali. Islam dan Tata Negara. (Jakarta: UI Press, 1993), h. 216.
[11] Allamah Thabathabai. al-Mizan fi Tafsir al-Quran jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami li al-mathbuat, 1991), h. 270.
[12] Lihat Husain Al-Habsyi. Sunnah-Syiah dalam Ukhwah Islamiyah.(Malang: Yayasan Al-Kautsar, 1991), h. 186. Ja’far Subhani. Ma’a al-Syiah, h. 61.
[13] Lihat pembahasan khusus tentang ayat ini dalam Ali Umar al-Habsyi. Keluarga Suci Nabi Saw: Tafsir Surah al-Ahzab Ayat 33. (Jakarta: Ilya, 2004). Husain Al-Habsyi.Sunnah, h. 187, dan Ja’far Subhani. Ma’a al-Syiah, h. 58.
[14] Lihat Ali Umar al-Habsyi. Keluarga, h. 10-11.
[15] Lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 290.
[16] Murtadha Muthahhari. Manusia dan Alam Semesta. (Jakarta: Lentera, 2002), h. 471.
[17] Sayid Muhammad Al-Musawi. Mazhab Syiah. (Bandung: Muthahari Press, 2005), h. 460.
[18] Teks khutbah ini dikumpulkan dengan baik dari berbagai sumber oleh Ali Akbar Shadeqi. Pesan Terakhir Nabi saw: Terjemahan Lengkap Kotbah Nabi saw di Ghadir Khum 18 Dzulhijjah 10 H. (Bandung: Pustaka Pelita, 1998).
[19] Sayid Muhammad Al-Musawi. Mazhab, h. 460.
[20] Ali Akbar Shadeqi. Pesan terakhir, h. 58. lihat juga Al-Mustdrak li al-Hakim juz 3, h. 109. Musnad Ahmad juz 4, h. 437-438. Sunan al-Tirmizi juz 5, h.297. Husain Al-Habsyi. Sunnah, h. 37. Sayid Muhammad Al-Musawi. Mazhab, h. 460-461. Muhammad Baqir al-Majlisi. Bihar al-Anwar Juz al-Hadi wa al-’Isyrun, (Beirut: Muassasatu al-Wafa’, 1983), h. 387.
[21] Ali Akbar Shadeqi. Pesan Terakhir, h. 18.
[22] Sayid Husain Muhammad Jafri. Dari Saqifah Sampai Imamah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 51.
[23] Abdul Husain Ahmad al-Amini al-Najafi. al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Adab Jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami lil mathbuat, 1994), h. 14-158.
[24] Al-Amini. Al-Ghadir, h. 14-158.
[25] Lihat al-Amini. al-Ghadir, h. 147-151.
[26] Lihat Ibrahim Amini. Para, h. 319-321.
[27] Jalaluddin Rakhmat. Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqih: Dari Fiqih al-Khulafa’ al-Rasyidin Hingga Mazhab Liberalisme, dalam Budhy Munawar Rachman. ed.Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 264-266.
[28] Lihat diantaranya : Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim ats-Tsa’labi. Tafsir al-Kasyfwa al-bayan ‘an Tafsir al-Qur’an. al-Hakim al-Hiskani. Syawahid at-Tanzil jilid 1 (Beirut), h. 171-177. Jalaluddin as-Suyuthi. Tafsir ad-Durr al-Mantsur. al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-’Ummal jilid 1, h. 305 dan jilid 15, h. 146. (bab keutamaan Ali); ath-Thabrani.Mu’jamah al-Awsath. Al-Hakim an-Naisaburi. Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits. (Mesir, 1937), h. 102. al-Khawarizmi. Kitab al-Manaqib, h. 187. Ibnu ‘Asakir. Tarikh Dimasyq jilid 2, h. 409. Ibnu Hajar al-’Asqalani. al-Kaff asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf. Mesir, h. 56. Muhibuddin ath-Thabari. Dzakha’ir al-’Ugba, h. 201. dan kitab ar-Riyadh an-Nadhirah jilid 2, h. 227. Ahmad bin Yahya al-Baladzari. Ansab al-Asyraf jilid 2diperiksa oleh Mahmudi (Beirut), h. 150. Al-Wahidi. Asbab an-Nuzul, diperiksa oleh Sayid Ahmad al-Shamad (1389 ), h. 192.
[29] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan Islam Perspektif Syiah. (Bandung: Mizan, 1994), h. 165.
[30] Lihat Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 164.
[31] Al-Amini menyebutkan padanan kata maula hingga mencapai 27 makna yaitu :al-Rab (Tuhan), al-am (paman), ibn al-am (anak paman), al-ibn (anak laki-laki), ibn al-ukht (putra saudari perempuan), al-mu’tiq (pembebas), al-mu’taq (yang dibebaskan), al-abd (hamba), al-malik (penguasa), al-tabi’ (pengikut), al-mun’am alaih (yang diberi nikmat), as-syarik (sekutu), al-halif (sekutu), ash-shahib (teman), al-jar (tetangga), al-nazil (tamu yang berkunjung), al-Shihru (keluarga suami), al-Qarib(teman dekat), al-mun’im (pemberi nikmat), al-faqid (mitra), al-waliy (pelindung), al-aula bi al-syai (yang lebih utama), al-Sayid ghairu al-malik wa al-mu’tiq (tuan), al-muhib (yang mencintai), al-nashir (penolong), al-mutasharrif fi al-amr (yang terlibat dalam urusan), al-mutawalli fi al-amr (yang bertanggung jawab atas urusan). Lihat al-Amini, al-Ghadir, h. 362-363.
[32] Bandingkan dengan Ibrahim Amini. Para, h. 96-97. Tim Penerbit al-Huda (peny).Antologi Islam. (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 301-310.
[33] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 166.
[34] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 167.
Dari Politik ke Teologi
Syiah merupakan bagian otentik dari Islam. Semua sumber buku-buku
otoritatif mengenai teologi Islam tidak ada yang mengeluarkan Syiah ke
luar rumpun Islam. Meskipun Syiah tidak tunggal, namun secara umum tetap
diakui sebagai keluarga Islam.
Syiah merupakan madzhab besar dalam Islam, baik secara teologi maupun
fiqih. Meski demikian, kelahiran Syiah pada awalnya bukan karena
perbedaan dalam menafsirkan ayat suci al-Quran atau hadist Nabi
Muhammad. Syiah lahir karena pertikaian politik umat Islam sejak masa
awal. Bahkan, masalah pertama yang muncul sepeninggal Rasulullah adalah
persoalan politik kekuasaan. Nah, persoalan agama, baik paham teologi,
fiqih, dan juga tafsir muncul belakangan yang digunakan untuk mengikat
dan memperkuat faksi politik.
Jejak-jejak persoalan politik yang melahirkan Syiah bisa ditelusuri
sejak sepeninggal Rasululullah. Ketika jasad Rasulullah belum
dimakamkan, para sahabat umumnya menolak Ali dengan alasan :
a. Terlalu muda
b. Tidak ingin 12 khalifah bani hasyim memonopoli negara kelak
c. Tidak ingin kenabian dan kekhalifahan berkumpul pada Bani Hasyim
Adapun mengapa akhirnya Imam Ali as. memberikan baitannya untuk Abu Bakar? Riwayat-riwayat dari Aisyah mengatakan bahwa Ali memohon perdamaian dengan pihak Abu Bakar dikarenakan permintaan Usman bin Affan pada masa jelang perang Riddah bahwa umat tidak akan mau berperang jika Imam Ali tidak membai’at Abubakar ..
Demikian Aisyah menganalisa sikap politis Imam Ali as. dan itu adalah
hak Aisyah untuk mengatakannya! Sebagaimana orang lain juga boleh
mengutarakan analisanya dalam masalah tersebut. Akan tetapi Imam Ali as.
menerangkan kepada kita sebab mengapa beliau pada akhirnya memberikan
baiat untuk Abu Bakar dan tidak terus mengambil sikap oposisi, apalagi
perlawanan bersenjata!
.
Dalam keterangan-keterangan yang dinukil dari Imam Ali as. ada beberapa sebab
Dalam keterangan-keterangan yang dinukil dari Imam Ali as. ada beberapa sebab
:
Pertama, tidak adanya pembela yang cukup untuk mengambil alih kembali hak kewalian beliau.
Sikap Imam Ali as. itu telah beliau abadikan dalam benyak kesempatan, di antara dalam pidato beliau yang terkenal dengan nama khuthbah Syiqsyiqiyyah
.Pertama, tidak adanya pembela yang cukup untuk mengambil alih kembali hak kewalian beliau.
Sikap Imam Ali as. itu telah beliau abadikan dalam benyak kesempatan, di antara dalam pidato beliau yang terkenal dengan nama khuthbah Syiqsyiqiyyah
Imam Ali as. berpidato:
أَمَا وَاللهِ لَقَدْ تَقَمَّصَهَا إبْنُ اَبِيْ قُحَافَةَ وَإِنَّهُ لَيَعْلَمُ أَنَّ مَحَلِّي مِنْهَا مَحَلُّ اْلقُطْبِ مِنَ الْرُحَى ,
يَنْحَدِرُ عَنِّي اْلسَيْلُ وَ لاَ يَرْقَى إلَىَّ الْطَيْرُ. فَسَدَلْتُ دُوْنَهَا ثَوْبًا وَ طَوَيْتُ عَنْهَا كَشْحًا
.وَ طَفِقْتُ أَرْتَئِ بَيْنَ أنْ أَصُوْلَ بِيَدٍ جَذَّاءَ أوْ أَصْبِرَ عَلَى طِخْيةٍ عَمْيَاءَ ,
يَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ وَ يَشِيْبُ فِيْهَا الْصَغِيْرُ, وَ يَكْدَحُ فِيْهَا الْمُؤْمِنُ حَتَّى يَلْقَى رَبَّهُ!
فَرَاَيْتُ اَنَّ الْصَبْرَ عَلَى هَاتَا أَحْجَى . فَصَبَرْتُ ,
وَ فِي الْعَيْنِ قَذًى, وفِي الْحَلْقِ شَجًا أَرَى تُرَاثِيْ نَهْبًا.
“Demi Allah, sesungguhnya putra Abu Quhafah (Abu ABakar) telah
mengenakan busana kekhilafahan itu, padahal ia tahu bahwa kedudukanku
sehubungan dengan itu adalah bagaikan kedudukan poros pada penggiling.
Air bah mengalir dariku dan burung tak dapat terbang sampai kepadaku.
Maka aku mengulur tabir terhadap kekhilafahan dan melepaskan diri
darinya
.
Kemudian aku mulai berpikir, apakah aku harus menyerang dengan tangan terputus atau bersabar atas kegelapan yang membutakan, dimana orang dewasa menjadi tua bangka dan anak kecil menjadi beruban dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup dalam tekanan sampai ia menemui Tuhannya! Maka aku dapati bahwa bersabar atasnya lebih bijaksana. Maka aku bersabar, walaupun ia menusuk mata dan mencekik kerongkongan. Aku menyaksikan warisanku dirampok … “ [1]
Kemudian aku mulai berpikir, apakah aku harus menyerang dengan tangan terputus atau bersabar atas kegelapan yang membutakan, dimana orang dewasa menjadi tua bangka dan anak kecil menjadi beruban dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup dalam tekanan sampai ia menemui Tuhannya! Maka aku dapati bahwa bersabar atasnya lebih bijaksana. Maka aku bersabar, walaupun ia menusuk mata dan mencekik kerongkongan. Aku menyaksikan warisanku dirampok … “ [1]
.
Kedua, sikap enggan memberikan baiat itu sudah cukup membuktikan hak kewalian beliau yang mereka bekukan
Kedua, sikap enggan memberikan baiat itu sudah cukup membuktikan hak kewalian beliau yang mereka bekukan
.
Dan ketiga, mengingat maslahat umat Islam menuntut agar beliau mengorbankan hak beliau demi meraih maslahat Islam yang lebih abadi. Sebab eksistenti kaum Muslimin dan Dawlah Islam sedang terancam dengan maraknya kaum murtad yang meninggalkan agama Islam dan berniat untuk menyerang kota suci Madinah dan memerangi kaum Muslim!
Dan ketiga, mengingat maslahat umat Islam menuntut agar beliau mengorbankan hak beliau demi meraih maslahat Islam yang lebih abadi. Sebab eksistenti kaum Muslimin dan Dawlah Islam sedang terancam dengan maraknya kaum murtad yang meninggalkan agama Islam dan berniat untuk menyerang kota suci Madinah dan memerangi kaum Muslim!
Dalam sebuah pernyataannya, Imam Ali as. menjelaskan sebab mengapa beliau sudi memberikan baiat untuk Abu Bakar:
فأَمْسَكْتُ يدي حتَّى رأيتُ راجِعَةَ الناسِ قد رجعت عن الإسلامِ , يدعون إلى مَحقِ دين محمد (ص),
فَخَشيتُ إن لم أنصرِ الإسلامِ و أهلَه أن أرى فيه ثَلْمًا أو هدمًا تكون المصيبةُ بِهِ عليَّ أعظَم من فوتِ ولايَتِكم.
“Dan ketika aku saksikan kemurtadan orang-orang telah kembali
meninggalkan Islam, mereka mengajak kepada pemusnahan agama Muhammad
saw., maka aku khawatir jika aku tidak membela Islam dan para
pemeluknya aku akan menyaksikan celah atau keruntuhan Islam yang
bencananya atasku lebih besar dari sekedar hilangnya kekuasaan atas
kalian.”[2]
.
Inilah sebabh hkiki dalam masalah ini, bukan seperti yang diasumsikan sebagian orang.
Adapaun tuduhan Syeikh bahwa dengan demikian kaum Syi’ah menuduh Imam mereka bersikap pengecut, maka kesimpulan miring itu sama sekali tidak berdasar, sebab pada diri Nabi Harun as. terdapat uswah, teladah baik bagi Imam Ali as. ketika beliau berkata, seperti diabadikan dalam Al Qur’an:
Inilah sebabh hkiki dalam masalah ini, bukan seperti yang diasumsikan sebagian orang.
Adapaun tuduhan Syeikh bahwa dengan demikian kaum Syi’ah menuduh Imam mereka bersikap pengecut, maka kesimpulan miring itu sama sekali tidak berdasar, sebab pada diri Nabi Harun as. terdapat uswah, teladah baik bagi Imam Ali as. ketika beliau berkata, seperti diabadikan dalam Al Qur’an:
وَ لَمَّا رَجَعَ مُوسى إِلى قَوْمِهِ غَضْبانَ أَسِفاً قالَ بِئْسَما خَلَفْتُمُوني مِنْ بَعْدي أَ عَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَ أَلْقَى الْأَلْواحَ
وَ أَخَذَ بِرَأْسِ أَخيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُوني وَ كادُوا يَقْتُلُونَني
فَلا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْداءَ وَ لا تَجْعَلْني مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمينَ
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan
sedih hati berkatalah dia: “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu
kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji
Tuhanmu?” Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang
(rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun
berkata: “Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah
dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu
menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan
aku ke dalam golongan orang-orang yang lalim.” (QS.A’râf [7];150)
.Imam Ali as. mengalami kondisi serupa dengan parnah dialami oleh Nabi Harun as. ketika kaumnya membangkang dengan kesesatan akibat provokasi Samiri.
.
Ketertindasan dan ketidak-berdayaan Imam Ali as. itu telah diberitakan Nabi saw. dalam banyak sabda beliau, di antaranya adalah hadis yang sangat terkenal yang berbunyi:
أنتم المستَضْغَفٌون بَعدي
“Sepeninggalku, kalian akan ditindas.”[3]
.
Nabi saw. Mengabarkan Bahwa Umat Akan Mengkhianati Imam Ali as.
Bahkan lebih dari itu, Nabi saw. telah memberitakan dari balik tirai
ghaib, bahwa umat ini akan menelantarkan Ali as. dan tidak memberikan
kesetian pembelaan untuknya. Mereka akan mengkhianatinya!
.
Imam Ali as. berulang kali mengatakan:
Imam Ali as. berulang kali mengatakan:
إنّه ممّا عهد إليّ النبي (صلى الله عليه وآله وسلم) أنّ الاُمّة ستغدر بي بعده.
“Termasuk yang dijanjikan Nabi kepadaku bahwa umat akan mengkhianatiku sepeninggal beliau.”
Hadis ini telah diriwayatkan dan dishahihkan al Hakim dan adz Dzahabi. Ia berkata:
صحيح الاسناد
“Hadis ini sahih sanadnya.”
Adz Dzahabi pun menshahihkannya. Ia berkata:
صحيح
“Hadis ini shahih.” [4]
.
Sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, al Bazzâr, ad Dâruquthni, al Khathib al Baghdâdi, al Baihaqi dkk.
.
Nabi saw. Mengabarkan Bahwa Umat Akan Menuangkan Kedengkian Mereka Kepada Imam Ali as.
Demikian juga, sebagian orang yang memendam dendam kusumat dan kebencian
kepada Nabi saw. akan menuangkannya kepada Imam Ali as., dan puncaknya
akan mereka lakukan sepeninggal Nabi saw.
.Kenyataan itu telah diberitakan Nabi saw. kepada Ali as. Para ulama meriwayatkan banyak hadis tentangnya, di antaranya adalah hadis di bawah ini:
Imam Ali as. berkata:
بينا رسول الله (صلى الله عليه وسلم) آخذ بيدي ونحن نمشي في بعض سكك المدينة، إذ أتينا على حديقة،
فقلت: يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! فقال: إنّ لك في الجنّة أحسن منها، ثمّ مررنا بأُخرى فقلت:
يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! قال: لك في الجنّة أحسن منها، حتّى مررنا بسبع حدائق،
كلّ ذلك أقول ما أحسنها ويقول: لك في الجنّة أحسن منها، فلمّا خلا لي الطريق اعتنقني ثمّ أجهش باكياً، قلت:
يا رسول الله ما يبكيك ؟ قال: ضغائن في صدور أقوام لا يبدونها لك إلاّ من بعدي،
قال: قلت يا رسول الله في سلامة من ديني ؟ قال: في سلامة من دينك.
“Ketika Rasulullah saw. memegang tanganku, ketika itu kami sedang
berjalan-jalan di sebagian kampong kota Madinah, kami mendatangi sebuah
kebun, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah alangkah indahnya kebun ini!’ Maka
beliau bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’
Kemudian kami
melewati tujuh kebun, dan setiap kali aku mengatakannya, ‘Alangkah
indahnya’ dan nabi pun bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’
Maka ketika kami berda di tempat yang sepi, Nabi saw. memelukku dan
sepontan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rrasulullah, gerangan apa yang
menyebabkan Anda menangis?’
Beliau menjawab, ‘Kedengkian-kedengkian yang
ada di dada-dada sebagian kaum yang tidak akan mereka tampakkan kecuali
setelah kematianku.’ Aku berkata, ‘Apakah dalam keselamatan dalam
agamaku?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Dalam keselamatan agamamu.’”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la, al Bazzâr dengan sanad shahih, al Hakim dan adz Dzahabi dan mereka menshahihkannya,[5] Ibnu Hibbân dkk. [6]
Ia juga disebutkan oleh asy Syablanji dalam kitab Nûr al Abshârnya:88
Jadi jelaslah bagi kita apa yang sedang dialami oleh Imam Ali as. dari sebagian umat ini!
.
Imam Ali as. Mengeluhkan Pengkhiatanan Suku Quraisy!
Dalam banyak pernyataannya, Imam Ali as. telah mengeluhkan kedengkian,
kejahatan dan sikap arogan suku Quraisy terhadap Nabi saw. yang
kemudian, ketika mereka tidak mendapatkan jalan untuk meluapkannya
kepada beliau saw., mereka meluapkan dendam kusumat kekafiran dan
kemunafikan kepadanya as.
.
Di bawah ini akan saya sebutkan sebuah kutipan pernyataan beliau as. tersebut.
Di bawah ini akan saya sebutkan sebuah kutipan pernyataan beliau as. tersebut.
اللهمّ إنّي أستعديك على قريش، فإنّهم أضمروا لرسولك (صلى الله عليه وآله وسلم)
ضروباً من الشر والغدر
،
فعجزوا عنها، وحُلت بينهم وبينها، فكانت
الوجبة بي والدائرة عليّ،
اللهمّ احفظ حسناًوحسيناً، ولا تمكّن فجرة قريش
منهما ما دمت حيّاً،
فإذا توفّيتني فأنت الرقيب عليهم وأنت على كلّ شيء
شهيد
.
“Ya Allah, aku memohon dari Mu agar melawan Quraisy, karena mereka telah
memendam bermacam sikap jahat dan pengkhianatan kepada Rasul-Mu saw.,
lalu mereka lemah dari meluapkannya, dan Engkau menghalang-halangi
mereka darinya, maka dicicipkannya kepadaku dan dialamatkannya ke
atasku. Ya Allah peliharalah Hasan dan Husain, jangan Engkau beri
kesempatan orang-orang durjana dari Quraisy itu membinasakan keduanya
selagi aku masih hidup. Dan jika Engkau telah wafatkan aku, maka
Engkau-lah yang mengontrol mereka, dan Engkau Maha Menyaksikan segala
sesuatu.”[7]
Coba Anda perhatikan pernyataan Imam Ali as. di atas, bagaimana dendam dan pengkhianatan Quraisy terhadap Nabi saw. akan mereka luapkan kepadanya! Dan di dalamnya juga terdapat penegasan bahwa mereka tidak segan-segan akan menghabisi nyawa bocah-bocah mungil kesayangan Rasulullah saw.; Hasan dan Husain as. yang akan meneruskan garis keturunan kebanian sebagai melampiasan dendam mereka kepada Nabi saw.!
Masa Abu Bakar diwarnai dengan upaya pengembangan kekuasaan dan pemerangan terhadap gerakan riddah yang mulai muncul. Peperangan dengan kelompok riddah
yang dipimpin oleh Musailamah al-Kadzdzab tidak hanya didasari oleh
ajaran baru yang dibawanya, namun juga karena Musailamah menolak bayar
zakat kepada Abu Bakar. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Muawwiyah, Khalid
bin Walid dan Amr bin Ash untuk menunjukkan loyalitas pada Islam.
Merekalah yang getol memerangi kelompok riddah ini. Akhirnya
kelompok Musailamah dapat ditumpas, walaupun ada sedikit kesalahpahaman
antara Umar bin Khattab yang berposisi sebagai “Waliyyul ‘Ahd” (penanggung jawab kebijakan) yang berposisi langsung di bawah khalifah.
Oleh Umar, Khalid din Walid dianggap salah karena “memperkosa” janda
Musailamah, sedang Khalid bin Walid menganggapnya bukan perkosaan karena
istri musailamah adalah budak yang didapatkan dari perang.
Lambat laun, Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar yang wafat dengan gelar amirul mukminin dan al Faruq.
Watak tegas dan tidak dapat berkompromi dengan siapapun yang
bertentangan dengan al Qur’an dan Sunnah membawa kekhawatiran sendiri
bagi Bani Umayyah yang hidup bergelimang kemewahan sedang Umar bin
Khattab sendiri bergaya hidup sederhana. Utsman bin Affan yang memiliki
kedekatan secara geneologis dengan Bani Umayyah menjadi penasehat Umat.
Penataan sistem keuangan dipusatkan di Baitul Mal, muncul perbaikan
administrasi dan penulisan mushaf al-Quran disamping gerakan ekspansi
juga terus dilakukan. Pada masa inilah Palestina dikuasai umat Islam.
Kemangkatan Umar bin Khattab didahului oleh penunjukan 6 orang tim
formatur yang bertugas memilih khalifah sepeninggalnya nanti. Mereka
adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam,
Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Zubair.
Zubair bin Awwam tidak dapat maju karena ia dan Ali bin Abi Thalib
sama-sama dari Banu Hasyim. Saad bin Abi Waqqash dari Bani Zahrah
memiliki kemungkinan kecil untuk maju karena kecilnya dukungan kabilah
yang dimiliki. Thalhah bin Zubair sama dengan Umar bin Khattab dari Bani
‘Adiy, jadi tidak etis bila wakil bani tersebut maju kembali. Yang
tersisa hanyalah Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan yang sama-sama
dari Bani Umayyah serta Ali bin Abi Thalib dari Bani Hasyim. Maka
pilihan ada di tangan Abdurrahman bin Auf. Akhirnya Abdurrahman memilih
Usman dengan pertimbangan Usman lebih tua dan dari marga yang sama
dengannya.
Pada masa Usman inilah Hakam bin Umayyah, tokoh Makkah yang pernah
diusir Rasulullah dari Madinah walaupun telah mengaku muslim
diperbolehkan Usman kembali ke Madinah, padahal Abu Bakar dan Umar juga
menolak kedatangan Hakam. Oleh Usman, Hakam tidak hanya diperolehkan
masuk Madinah, namun juga diberi tugas sebagai sekretaris khalifah yang
menangani segala bentuk administrasi kekhalifahan. Disisi lain,
kader-kader Bani Umayyah disebar Usman di berbagai kawasan sebagai Amir.
Inilah yang menimbulkan pendapat mayoritas umat Islam waktu itu bahwa
khalifah sudah menjadi kerajaan keluarga.
Sementara itu, figur Ali bin ABi Thalib semakin dikagumi oleh tokoh
seperti Ammar bin Yasir, Khudzaifah bin Yaman, Salman al Farisi, Ubadah
bin Shamit, Abu Dzar al Ghifari serta berbagai sahabat yang tersisa.
Muncullah simpati yang berujung dukungan kepada Ali bin Abi Thalib yang
dikenal sebagai “ahadul mubasysyirin fil jannah” dan “babu madinatul ilmurrasul”
seiring dengan menyusutnya masyarakat muslim akan figur Usman bin
Affan. Kasak-kusuk tentang kudeta santer terdengar di Madinah. Ali bin
Abi Thalib sendiri memerintahkan puteranya Hasan dan Husain secara
bergantian untuk menjaga kediaman Usman bin Affan dari kemungkinan yang
tidak diinginkan.
Gejolak tersebut tidak dapat diredam ketika ada 40 orang penduduk
Mesir, Basrah dan Kufah yang berangkat ke Madinah dalam rangka menuntut
Usman mengakhiri masa kepemimpinan amir yang ditunjuk Usman di wilayah
tersebut. Oleh Usman rombongan ini diterima dengan baik dan dijanjikan
untuk dipenuhi tuntutannya. Kembalilah rombongan tersebut ke daerahnya
masing-masing. Sekonyong-konyong, rombongan orang-orang Mesir mendapati
seseorang dalam perjalanan pulang.
Diketahui bersama orang tersebut
terdapat surat resmi berstempel khalifah Usman bin Affan yang
memerintahkan amir (penguasa) Mesir, Abdullah bin Abi Syarrah untuk
membunuh rombongan orang yang menghadap Usman bin Affan. Melihat itu,
rombongan orang Mesir putar halauan dan kembali ke Madinah untuk
menuntut keadilan pada Usman bin Affan. Ternyata rombongan dari Basrah
dan Kufah juga mendapai hal yang sama. Ketiga kelompok inipun membunuh
khalifah Usman bin Affan yang sedang mengaji setelah melumpuhkan
Hasan-Husein.
Muawwiyah yang memerintah di Damaskus menuduh Ali bin Abi Thalib di
belakang tragedi ini. Dengan bantuan Amr bin Ash, Muawwiyah tidak angkat
baiat terhadap kekhalifahan Ali tapi mengumandangkan perang atas dasar
“tuntut balas darah Usman”. Pecahlah perang Shiffin
Namun, peristiwa yang paling tragis dan menjadi momentum bangkitnya
Syiah adalah konflik politik ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah
hingga pembunuhan terhadap Husain, cucu Rasulullah, oleh penguasa Bani
Umayyah, Yazid bin Mu’awiyah. Sebagaimana ditulis para ahli sejarah, Ali
bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah dalam suasana yang kacau
setelah khalifah sebelumnya, Usman bin Affan, dibunuh. Pembunuhan Usman
bin Affan merupakan permulaan dari fitnah yang amat besar pengaruhnya
kepada terjadinya skisme (perpecahan) dalam Islam yang hingga hari ini
masih bisa dirasakan.
Ali bin Abi Thalib memang tokoh yang populis dan menunjukkan sikap
simpati kepada para pemprotes Usman. Karena itu, para pemrotes Usman
begitu simpati dan mendukung pengangkatan Ali bin Abi Thalib. Tapi,
justru di sinilah letak masalahnya. Keluarga dan simpatisan Usman
menuntut Ali agar segera menangkap dan menghukum pembunuh Usman. Karena
Ali tidak memberi respon yang memuaskan, keluarga dan simpatisan Usman,
terutama dari kalangan Umawi (anak cucu Umayyah ibn Abd Syams) dan juga
tokoh-tokoh seperti Aisyah, puteri Abu Bakar dan istri Rasulullah yang
sangat dicintai, dan Zubayr bin Awwam (seorang tokoh dari keluarga Abu
Bakar) menunjukkan sikap oposisi, bahkan memusuhi Ali bin Abi Thalib
yang dianggap melindungi pembunuh Usman.
Dari kalangan Umawi, tuntutan untuk mengusut pembunuh Usman begitu
keras. Hal ini dipelopori oleh seorang politikus dan gubernur yang
cakap, Mu’awiyah bin Abu Sufyan (anak Abu Sufyan yang menjadi musuh
utama Nabi sampai peristiwa fathu makkah,penaklukan Mekkah) dan dibantu Amru bin ‘Ash, komandan militer yang menaklukkan Mesir.
Situasi itu menyeret pertikaian politik yang koatik (chaos)
yang menyeret umat Islam dalam kancah peperangan diantara mereka dengan
korban jiwa yang tidak sedikit. Ali bin Abi Thalib harus berperang
dengan kelompok Aisyah dan Zubayr bin Awwam dalam pertempuran di dekat
Bashrah yang kemudian dikenal sebagai perang onta. Meski Ali memenangkan
pertempuran, namun peristiwa itu membawa luka yang dalam bagi umat
Islam.
Yang lebih parah dan membawa dampak yang jauh lebih dalam adalah
permusuhan Ali dengan Mu’awiyah. Peperangan antara keduanya semula
berakhir dengan kemenangan Ali. Namun, karena iktikad baik dan sikap
politik yang “polos”, Ali menerima usulan arbitrase. Akibat penerimaan
itu, Ali justru kehilangan dukungan dari sebagian pasukannya yang gigih
dan militan yang sejak awal ingin melakukan penyelesaian militer
terhadap Mu’awiyah. Mereka ini akhirnya membentuk faksi baru di luar Ali
dan Mu’awiyah yang menamakan diri sebagai kaum as-Syurat, atau oleh
para ahli sejarah dijuluki sebagai kelompok Khawarij. Mereka inilah yang
nanti membunuh Ali bin Abi Thalib.
Sepeninggal Ali, secara de facto Mu’awiyah memegang tampuk kekuasaan yang berpusat di Damaskus.
Dengan modal itu, Mu’awiyah memperkuat imperium Bani Umayyah dengan
program-program ekspansi militer. Tetapi, setelah Mu’awiyah meninggal
dan diganti putranya, Yazid bin Mu’awiyah, keadaan kembali pada
kekacauan.
Tantangan yang dihadapi Yazid datang dari para pendukung Ali. Semula
pendukung Ali menginginkan Hasan bin Ali mempertahankan klaim
kekhalifahan untuk menghadapi Mu’awiyah di Damaskus. Namun, sikap Hasan
yang tidak memberi respon memuaskan membuat kecewa para pendukung Ali.
Harapan akhirnya diberikan kepada putra Ali yang lain, yaitu Husein.
Husein bergabung dengan pendukung Ali untuk memberontak di Kufah, Irak
kini. Tetapi, sebelum tentara Syiria (Suriah) datang menyerbu, banyak
kalangan dari penduduk Kufah yang menarik dukungannya kepada Husein
setelah dibujuk Gubernur Syiria. Dengan kekuatan militer yang terbatas,
Husein menolak untuk menyerah sehingga mereka terpojok di padang pasir
Karbala, dekat Kufah. Tentara Yazid berhasil menghancurkan mereka. Dan
Husein-putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, cucu Rasulullah-terbunuh
dengan cara yang sangat kejam dan tragis.
Sejak terjadinya peristiwa Karbala tersebut, para pendukung setia Ali
bin Abi Thalib dan keturunannya dikenal dengan sebutan Syiah
(selengkapnya “Syiah Ali” atau “Partai Ali”). Dengan menggunakan
sentimen kematian tragis Husein, kaum Syiah perlahan-lahan
mengkonsolidasikan diri dan mengembangkan pandangan-pandangan keagamaan,
sosial, dan politik yang kelak mengkristal menjadi doktrin Syi’isme.
Syiah akhirnya berkembang tidak semata sebagai kekuatan politik, tapi
juga menjadi kekuatan pemikiran Islam dalam berbagai bidang, seperti
fiqih, tafsir, hadits, dan teologi. Bahkan, pemikiran-pemikiran filsafat
juga lebih berkembang di dunia Syi’i, daripada Sunni. Tradisi pemikiran
Islam rasional yang dipengaruhi Mu’tazilah juga lebih berkembang dalam
tradisi Syi’i.
Dalam sejarah Islam di Timur Tengah, dinasti yang dikuasai Syiah
antara lain Dinasti Buwaihi (Syiah Zaidiyah berdiri pada 334 H/945 M),
Dinasti Dailamiyah (juga Syiah Zaidiyah, berdiri pada 315 H/927 M),
Hamdaniyah (berdiri pada 317 H/1004 M), dan Fatimiyyah (pecahan Syiah
Ismailiyah, berdiri pada 297 H/900 M). Dinasti-dinasti tersebut tidak
pernah mencoba untuk menumbangkan kekuasaan Sunni yang dikuasai Bani
Abbasiyah di Bagdad.
Dinasti-dinasti ini, meski cukup gencar
mengembangkan paham Syiah, namun mereka tetap memberikan kebebasan
kepada warga Sunni untuk tetap dalam kesunnian mereka. Begitu juga
ketika dinasti-dinasti Sunni berkuasa, seperti Dinasti Saljuk (berdiri
429 H/1037 M) dan Dinasti Ayyubiyah (berdiri 564 H/1169 M), kaum Syiah
tetap hidup dalam kesyiahannya. Bahkan, penguasa-penguasa Sunni sering
bekerjasama dengan otoritas Syiah moderat untuk mencegah pertumbuhan
kelompok-kelompok Syiah ekstrim, termasuk Syiah Qaramithah.
Pertarungan ideologi politik Sunni-Syiah, menurut Azyumardi Azra
(1995), baru muncul sejak Dinasti Safavi berkuasa di Persia (907-1501
H/1145-1732 M). Syeikh Ismail, pendiri Dinasti Safavi, memproklamasikan
paham keagamaan Syiah sebagai “paham agama resmi” negara.
Ia mewajibkan
setiap khatib di mimbar untuk memuja Ali bin Abi Thalib dan imam-imam
Syiah yang lain, sembari mengutuk Abu Bakar, Umar, Usman serta penguasa
Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Kekuatan militer digunakan untuk
menundukkan orang-orang Sunni yang tidak mau mencerca ketiga khalifah
tersebut. Kebangkitan Kesultanan Safavi menjadikan Persia sejak masa itu
hingga sekarang menjadi pusat keagamaan dan politik Syiah. Itulah Iran
yang kita kenal sekarang.
Dari paparan di atas, hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa Sunni
dan Syiah merupakan anak kandung yang absah di dalam Islam. Memang ada
sejumlah perbedaan doktrin antara Sunni dan Syiah, tapi “permusuhan” dua
kelompok besar dalam Islam ini bukan karena persoalan perbedaan dalam
menafsirkan Islam, tapi lebih karena pertentangan politik.
Meski demikian, relasi Sunni-Syiah secara politik tidaklah monoton.
Ada saat dimana keduanya bisa bekerjasama, berbeda tapi tidak saling
mengganggu, namun ada juga fase dimana pertikaian politik dan paham
keagamaan begitu kental. Meski secara politik sering bermusuhan, tapi
Syiah sebagai kekuatan peradaban Islam tak pernah bisa diabaikan.
Bahkan, tidak mungkin bisa melepaskan Syiah dalam mempelajari peradaban
Islam dan perkembangan filsafat Islam.
catatan kaki :
[1]Nahjul Balaghah, pidato ke3.
[2] Ibid. pidato ke74.
[3] Musnad Ahmad,6/339.
[4] Mustadrak al Hakim,3/140 dan 142.
[5] Al Mustadrak,3/139 hanya saja bagian akhir radaksi hadis ini terpotong, sepertinya ada “tangan-tangan terampil” yang sengaja menyensor hadis di atas.
[6]Teks hadis di atas sesuai dengan yang terdapat Majma’ az Zawâid,9/118.
[7] Syarah Nahjul Balaghhah, 20/298
[2] Ibid. pidato ke74.
[3] Musnad Ahmad,6/339.
[4] Mustadrak al Hakim,3/140 dan 142.
[5] Al Mustadrak,3/139 hanya saja bagian akhir radaksi hadis ini terpotong, sepertinya ada “tangan-tangan terampil” yang sengaja menyensor hadis di atas.
[6]Teks hadis di atas sesuai dengan yang terdapat Majma’ az Zawâid,9/118.
[7] Syarah Nahjul Balaghhah, 20/298
Alhamdulillah.... semoga nukilan diatas... bisa memberikan pencerahan kita... agar memperkuat saling bersilaturahim dengan halim dan menguatkan persaudaran muslimin.. seluruhnya.. apapun mazhab dan alirannya... Namun pesan Rasulullah saw.. adalah benar.. dan diakui kebenarannya.. karena semua sesuai titah Allah. swt.
BalasHapusTidak ada yang faham dengan sebenarnya makna dan isi kandungan al Qur'an.. kecuali Rasulullah saw.. dan orang2 yang diberi hidayah oleh Allah... yakni Syd Ali RA sebagai pintu gerbang Ilmu dan Rasulullah saw.. adalah kota ilmu..
Dan dalam hal ini sudah jelas ada arahan bagi kita ummat muslimin akhir zaman.. agar terus menerus bermunajat kepada Allah memohon akan hidayah inayah maunah dan ma'rifahNya.. semoga kita bisa lurus utuh- aman dan dan selamat dunia akhirat..
Kepemimpinan atau pemimpin atau imamah atau apapun namanya... yang terbaik adalah sesuai nash dan petunjuk Allah-Rasulullah saw..dan orang2 terpilih.. karena ketaqwaan -akhlaq dan arahan yang telah dijanjikan sesuai nash Furqon-ajaran Rasulullah saw.. dan para imam shahih... Insya Allah..
Maaf kiranya.. pendapat saya yang awam ini.. karena kepingin mendapatkan ajaran yang benar dan lurus.. Semoga.. semua kita bisa berbagi untuk kebaikan dan kemashlahatan ummat dan kejayaan Islam dan Ummat Islam.. selama-lamanya.. hingga akhir zaman..tuntas.. Aamiin.. Terimakasih atas naskah yang saya nukil ini.. semoga berfaedah.. aamiin...
DR. Majdi Wahbe as Syafi'i (Khatib al Azhar) berhasil menetapkan jumlah para imam Ahlul Bait (as) melalui Al Quran
BalasHapusNama 12 Imam Ahlul Bait Ada Dalam Al Qur'an
http://abna.ir/data.asp?lang=12&Id=187288
Salah seorang pemerhati Agama Mesir dan Khatib Universitas al Azhar berhasil menetapkan jumlah para imam Ahlul Bait (as) melalui Al Quran. Berdasarkan laporan ini disebutkan bahwa beliau mampu membuktikan kebenaran 12 imam yang dimulai dari Imam Ali sampai Imam terakhir, yaitu Imam Mahdi (as).
Nama 12 Imam Ahlul Bait Ada Dalam Al Qur
Menurut kantor berita Abna, DR. Majdi Wahbe as Syafi'i berhasil menetapkan jumlah para imam Ahlul Bait (as) melalui Al Quran. Berdasarkan laporan ini disebutkan bahwa beliau mampu membuktikan kebenaran 12 imam yang dimulai dari Imam Ali sampai Imam terakhir, yaitu Imam Mahdi (as). Berita ini disebutkan dalam salah satu majalah berita Mesir dimana di situ dijelaskan: Tak diragukan lagi bahwa jumlah/angka dalam Al Qur'an itu memiliki dalil tersendiri. Misalnya, kata "yaum" (hari) yang berjumlah 365 kali diulang dalam Al Qur'an menunjukkan bilangan hari selama satu tahun, demikian juga kata "syaher" (bulan) yang berulang sebanyak 12 kali menunjukkan bahwa selama 1 tahun itu terdapat 12 bulan.
Kemudian laporan itu melanjukan: Kata yang merupakan derivasi (pecahan) dari "al imamah" (imam/kepemimpinan) juga berulang sebanyak 12 kali dalam Al Qur'an yang bermakna 12 imam dimana berdasarkan riwayat yang dinukil dari Nabi saw urutannya adalah dari Imam Ali (as), Imam Hasan (as) dan Imam Husain serta mencakup 9 Imam dari keturunan Imam Ketiga.
Disambung .....Sambungan..
Sambungan 12 Imam
BalasHapus12 imam dimana berdasarkan riwayat yang dinukil dari Nabi saw urutannya adalah dari Imam Ali (as), Imam Hasan (as) dan Imam Husain serta mencakup 9 Imam dari keturunan Imam Ketiga.
Dua belas (12) Ayat Al Quran yang mencakup kata "imam dan imamah", yaitu:
- سورة البقرة، الآية 124: {وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَاماً قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِين}.
2- سورة التوبة، الآية 12: {وَإِن نَّكَثُواْ أَيْمَانَهُم مِّن بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُواْ فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُواْ أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَ أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنتَهُونَ}.
3- سورة هود، الآية17: {أَفَمَن كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِّنْهُ وَمِن قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى إَمَاماً وَرَحْمَةً أُوْلَـئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَن يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ فَلاَ تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِّنْهُ إِنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يُؤْمِنُونَ }.
4- سورة الاسراء، الآية70: {يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُوْلَـئِكَ يَقْرَؤُونَ كِتَابَهُمْ وَلاَ يُظْلَمُونَ فَتِيلا}.
5- سورة الانبياء، الآية 72: {وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِين}.
6- سورة القصص، الآية 5: {وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الاَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِين}.
7- سورة الحجر، الآية 79: {فَانتَقَمْنَا مِنْهُمْ وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ }.
8- سورة السجدة، الآية 24: {وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُون}.
9- سورة يس، الآية 12: {إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ }.
10- سورة القصص، الآية 41: {وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لا يُنصَرُون}.
11- سورة الفرقان، الآية 74: {وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}.
12- سورة الأحقاف، الآية 12: {وَمِن قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى إِمَاماً وَرَحْمَةً وَهَذَا كِتَابٌ مُّصَدِّقٌ لِّسَاناً عَرَبِيّاً لِّيُنذِرَ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَبُشْرَى لِلْمُحْسِنِينَ}.
http://abna.ir/data.asp?lang=12&Id=187288
Sambungan 12 imam
BalasHapusYang menarik Khatib Masjid al Azhar ini juga membuktikan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait –sebagaimana yang termaktub dalam surah al Ahzab, ayat 33 itu hanya 5 orang (yaitu Rasul saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain) dan sama sekali tidak mencakup istri-istri Nabi saw, sebagaimana diriwayatkan sendiri oleh Ummu Salamah. Hal ini ditegaskan oleh Nabi saw dalam hadisnya yang terkenal dengan "hadis kisa". (Kisa berarti kain penutup). Beliau menyatakan bahwa kata kisa' pun lima kali disebutkan dalam al Quran, yaitu:
1- سورة البقرة، الآية 233: {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِير}.
2- سورة البقرة، الآية 259: {أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىَ يُحْيِـي هَـَذِهِ اللّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللّهُ مِئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْماً أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِئَةَ عَامٍ فَانظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِّلنَّاسِ وَانظُرْ إِلَى العِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْماً فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير}.
3- سورة المائدة، الآية 89: {لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُون}.
4- سورة المؤمنون، الآية 14: {ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَاماً فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْماً ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقاً آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِين}.
5- سورة النساء، الآية 5: {وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللّهُ لَكُمْ قِيَاماً وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفا}.
http://abna.ir/data.asp?lang=12&Id=187288
Komentar: http://abna.ir/data.asp?lang=12&Id=187288
BalasHapus- amazing
- Subhanallah...Allah hendak menunjukkan kebenaranNYA...
- Kami ingin biografi lengkap dari DR. Majdi Wahbe as Syafi'i, sekaligus karya yang lengkap beliau yang memuat tulisan diatas. Kami ingin buku dan karya beliau itu diterjemahkan segera.
- that is fact ...
- Allahumma shalli 'ala Muhammad wa Aali Muhammad [ksatria alamaya]
- Tolong judul buku yang menjelaskan hal tersebut di terjemahkan ke dalam bahasa indonesia dan di mana kami bisa mendapatkan buku tersebut , terus ungkap kebenaran yang di sembunyikan..... Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad alih sayyidina Muhammad [Alihanzend]
- .tolong diartikan dalam bahasa indonesia tulisan arab dan alquran diatas dan disebutkan surat dan ayat berapa terimah kasih... wassalam [yudi friatna]
- Wakadzali Nunjil Mu'minina. [Ahmad Arwani Qudsi]
- Asalamulaikum...
Para Ikhwan Akhwat seluruh Penjuru Tanah Air Indonesia Yang tercinta...
KEBENARAN AHLULBAYT SUDAH JELAS...
YANG PERLU DIPERHATIKAN ATAU DIKETAHUI DENGAN SANGAT ADALAH IMAM 12 DARI AHLULBAYT ROSULULLOH ADALAH;
1: IMAM ALI BIN ABI THOLIB
2: IMAM HASAN
3: IMAM HUSEIN
4: IMAM ALI ZAINAL ABIDIN
5: IMAM MUHAMMAD AL BAGIR
6: IMAM JA'FAR AS SHADIQ
7: IMAM MUSA AL KHADIM
8: IMAM ALI AR RIDHO
9 IMAM MUHAMMAD AL JAWAD
10: IMAM ALI AL HADI AN NAQI
11: IMAM HASAN AL ASKARI
12: IMAM MUHAMMAD AL MAHDI
INILAH YANG DIMAKSUD DIDALAM AL-QURAN DI SURAT YASEEN AYAT KE 12 YANG AYATNYA ADALAH (FII IMAMIM MUBIN) yang Artinya (IMAM YANG JELAS ATAU NYATA)
WARNING:
INGAT SODARA-SODARAKU SEIMAN.......
AL-QURAN TIDAK BOLEH DITAKWIL-TAWILKAN SECARA ROKYUN.......OX.......
WASALAMUALAIKUM Wr Wb. [Muhammad Khair Lambang]