Monday, March 24, 2014 9:42 AM
Israeli diplomats stop working for Tel Aviv all over the world
Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu attends a joint
press conference with his British counterpart in al-Quds (Jerusalem) on
March 12 2014
Israel has been forced to shut down its embassies all over
the world as diplomats have gone on an indefinite strike over their work
conditions.
Employees of Israel's Foreign Ministry went on an all-out strike Sunday
for the first time in regime’s history over a dispute surrounding
workers' salaries and conditions.
The dispute has been going on for nearly two years. Seven months of
negotiations ended on March 4, when workers rejected a proposal by the
Finance Ministry.
Israeli ambassadors abroad will not go to work, no consular services
will be available, and Israel will not be represented at any
international gatherings during the strike.
Even the Foreign Ministry’s political leadership and management will be locked out.
The strike is indefinite and will affect everyone, including employers
bringing foreign workers to the occupied territories for work,
immigrants, and anyone who wants to travel there– including foreign
dignitaries.
“Today, for the first time in Israel’s history, the foreign ministry
will be closed and no work will be done in any sphere under the
ministry’s authority,” a statement by the ministry's workers' committee
reads.
It added that the strike would be “open ended” because of the
“employment conditions for Israeli diplomats and because of the
draconian decision by the Treasury to cut workers’ salaries.”
A number of visits have already been canceled or put on hold, including
Prime Minister Benjamin Netanyahu’s planned trip to Mexico, Panama, and
Colombia next month, as well as Pope Francis’ planned visit to the
occupied territories in May.
Avigdor Lieberman said the worker’s committee has “lost its head” in what was a “miserable decision.”
“This move has no benefit, and will only cause more damage to the
ministry’s workers. I’m sorry that these irresponsible steps will come
at the expense of the country’s citizens,” he said.
The diplomats are demanding an increase in their monthly salaries and
want compensation for their spouses who have to quit jobs because of
foreign postings. They say that one-third of Israeli diplomats have
already quit over the past 10 years because of low salaries.
“The Treasury is determined to destroy the foreign ministry and Israeli
diplomacy,” said Yacov Livne, a spokesman for the Israeli diplomats'
union.
He said the Treasury will not be able to “prevent boycotts of Israel,
will not foster business transactions that yield huge economic benefits
and will not raise our voices at the UN Security Council.”
SHI/SHI
Monday, March 24, 2014 9:42 AM
Israeli diplomats stop working for Tel Aviv all over the world
Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu attends a joint
press conference with his British counterpart in al-Quds (Jerusalem) on
March 12 2014
Israel has been forced to shut down its embassies all over
the world as diplomats have gone on an indefinite strike over their work
conditions.
Employees of Israel's Foreign Ministry went on an all-out strike Sunday
for the first time in regime’s history over a dispute surrounding
workers' salaries and conditions.
The dispute has been going on for nearly two years. Seven months of
negotiations ended on March 4, when workers rejected a proposal by the
Finance Ministry.
Israeli ambassadors abroad will not go to work, no consular services
will be available, and Israel will not be represented at any
international gatherings during the strike.
Even the Foreign Ministry’s political leadership and management will be locked out.
The strike is indefinite and will affect everyone, including employers
bringing foreign workers to the occupied territories for work,
immigrants, and anyone who wants to travel there– including foreign
dignitaries.
“Today, for the first time in Israel’s history, the foreign ministry
will be closed and no work will be done in any sphere under the
ministry’s authority,” a statement by the ministry's workers' committee
reads.
It added that the strike would be “open ended” because of the
“employment conditions for Israeli diplomats and because of the
draconian decision by the Treasury to cut workers’ salaries.”
A number of visits have already been canceled or put on hold, including
Prime Minister Benjamin Netanyahu’s planned trip to Mexico, Panama, and
Colombia next month, as well as Pope Francis’ planned visit to the
occupied territories in May.
Avigdor Lieberman said the worker’s committee has “lost its head” in what was a “miserable decision.”
“This move has no benefit, and will only cause more damage to the
ministry’s workers. I’m sorry that these irresponsible steps will come
at the expense of the country’s citizens,” he said.
The diplomats are demanding an increase in their monthly salaries and
want compensation for their spouses who have to quit jobs because of
foreign postings. They say that one-third of Israeli diplomats have
already quit over the past 10 years because of low salaries.
“The Treasury is determined to destroy the foreign ministry and Israeli
diplomacy,” said Yacov Livne, a spokesman for the Israeli diplomats'
union.
He said the Treasury will not be able to “prevent boycotts of Israel,
will not foster business transactions that yield huge economic benefits
and will not raise our voices at the UN Security Council.”
SHI/SHI
Gejolak Libanon
9 Hari Bentrokan di Tripoli, 27 Tewas
Islam
Times - http://www.islamtimes.org/vdci55aprt1aqy2.k8ct.html
Media setempat hari Sabtu (22/3/14) melaporkan, sekitar 175
orang juga terluka sejak bentrokan antara sekelompok orang bersenjata
di Bab al-Tabbaneh dan Jabal Mohsen terjadi 13 Maret.
Kemelut Tripoli, Lebanon
Jumlah korban tewas dalam bentrokan terbaru di kota Tripoli Libanon meningkat jadi 27 orang setelah bentrokan berlangsung selama 9 hari antara pendukung dan penentang pemerintah Suriah.
Media setempat hari Sabtu (22/3/14) melaporkan, sekitar 175 orang juga terluka sejak bentrokan antara sekelompok orang bersenjata di Bab al-Tabbaneh dan Jabal Mohsen terjadi 13 Maret.
Warga Bab al-Tabbaneh mendukung pemberontak dukungan asing yang beroperasi melawan pemerintah Suriah sementara penduduk tetangga Jabal Mohsen mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Di antara mereka yang terluka, 33 tentara juga dilaporkan terluka.
Banyak warga tewas di Tripoli sejak pecahnya gejolak di Suriah bulan Maret 2011. Tapi Militer Libanon dalam berbagai kesempatan ikut turun tangan menenangkan situasi di Tripoli.[IT/r]
Hegemoni Global
Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel menegaskan kembali hubungan militer AS dengan Riyadh meskipun terdapat perselisihan terkait kebijakan Washington terhadap Iran dan Suriah.
Dalam pertemuan dengan wakil menteri pertahanan Arab Saudi di Washington pada Sabtu, 22/03/14, Hagel memperjelas posisi AS kepada Pangeran Salman Bin Sultan bahwa AS akan terus melanjutkan diplomasi dengan Iran dan menyebut pentingnya kerja sama militer AS-Saudi, kata seorang pejabat pertahanan tanpa menyebutkan namanya.
"Saudi Arabia secara serius menentang keras upaya Washington dan negara-negara besar terakait negosiasi kesepakatan dengan Iran atas program nuklirnya, tapi Hagel menekankan posisi AS terhadap Iran belum berubah," kata pejabat senior AS.
Pejabat itu mengatakan, kedua pejabat itu membahas ketegangan di antara negara-negara Teluk Persia, termasuk Qatar yang telah membuat marah Riyadh dan anggota lain dari PGCC.
Doha selama ini mendukung penuh gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) yang masuk daftar teroris oleh beberapa negara Teluk terutama Arab Saudi. Namun, Saudi dan Qatar sama-sama mendukung ekstremis elemen-elemen takfiri di Suriah.
Kedua pemimpin juga menegaskan kembali komitmen penguatan hubungan AS-Saudi, sementara Sekretaris Hagel menekankan komitmen Amerika Serikat untuk keamanan di wilayah tersebut," kata juru bicara Pentagon Laksamana John Kirby kepada wartawan, sebagaimana dilansir oleh TV al-Alam.
"Mereka juga membahas tantangan regional dan pentingnya kerjasama regional dalam mengatasi masalah keamanan secara umum."
Pangeran Salman sebelumnya bertemu Deputi Menteri Luar Negeri AS William Burns, pada saat kunjungan pertamanya ke Washington sejak mengambil alih sebagai Wakil Menteri Pertahanan pada bulan Agustus 2013 lalu. [IT/Onh/Ass]
Kesepakatan AS-Iran akan membahayakan kepentingan strategis jangka panjang Israel dan Arab Saudi.
WASHINGTON, Jaringnews.com - Amerika Serikat siap memarahi sekutu utamanya yaitu Israel dan Arab Saudi dan terus mengamankan kesepakatan nuklir dengan Iran, meskipun kegagalan pembicaraan terlah terjadi di Jenewa.
Sementara Teheran tetap berada di bawah tekanan untuk mencapai kesepakatan cepat dengan negara-negara besar, para analis melihat Washington sangat ingin mengambil keuntungan dari kesediaan Iran untuk menegosiasikan kesepakatan dan mencegah konflik di masa depan di Timur Tengah.
Perundingan tiga hari yang melelahkan antara Iran, Amerika Serikat, China, Rusia, Inggris, Perancis dan Jerman berakhir Minggu pagi tanpa kesepakatan.
Padahal beberapa pihak telah berharap untuk mencapai kesepakatan yang akan mengekang program nuklir Teheran dalam bentuk pertukaran untuk bantuan sanksi.
"Dengan mencari kesepakatan di Jenewa , AS mencoba untuk pergi sedikit terlalu jauh, terlalu cepat, Itu semua disebabkan oleh antusiasme Iran," terang Hussein Ibish, seorang rekan senior di Satuan Tugas Amerika untuk Palestina.
"Ini benar-benar konvergensi AS dan keinginan Iran untuk menghindari konfrontasi lebih dalam atas nuklir," imbuhnya.
Alireza Nader, seorang analis kebijakan internasional senior di RAND Corporation think-tank, mempertanyakan dugaan bahwa Amerika Serikat "bergegas" untuk mencapai kesepakatan dengan Iran.
"Saya tidak berpikir posisi AS telah berubah dalam beberapa bulan terakhir," kata Nader. "Apa yang kita lihat sekarang adalah kesediaan Iran untuk bernegosiasi."
Iran tertarik untuk melihat pelonggaran sanksi.
Analis bersikeras bahwa Israel dan Arab Saudi tetap tegas menentang kesepakatan antara Washington dan Teheran. "Baik Israel dan Saudi telah menunjukkan pada publik bahwa mereka ingin Amerika Serikat berperang melawan Iran," kata Trita Parsi, Presiden National American Council Iran.
"Jika ada kesepakatan, tidak akan ada perang, itu sebabnya mereka marah."
Nader juga mencatat kecemasan Israel dan Arab Saudi yaitu kesepakatan AS-Iran akan membahayakan kepentingan strategis jangka panjang mereka.
"Mereka khawatir hubungan Iran-Amerika yang meningkatkan merugikan mereka," kata Nader. "Kemungkinan Iran memainkan peran lebih besar dalam urusan regional menciptakan kecemasan bagi Israel dan Arab Saudi."
(Deb / Deb)
Oleh : Prof. James Petras*http://satuislam.org/opini/terorisme-global-dan-arab-saudi-jaringan-teror-bandar/
Arab Saudi punya segala track record yang buruk, dan sama sekali tidak memiliki sisi baik dari sebuah negara yang kaya minyak seperti Venezuela. Negara ini diatur oleh rezim diktator dari sebuah keluarga, yang tidak mentolerir adanya kelompok oposisi dan menghukum berat pendukung hak asasi manusia, serta para pembangkang politik. Ratusan miliar dari pendapatan minyaknya dikendalikan oleh despotisme kerajaan, dan investasi spekulatif bahan bakar di seluruh dunia.
Para elite yang berkuasa ini bergantung pada pembelian senjata dari Barat dan pangkalan militer Amerika Serikat (AS) untuk perlindungan keamanan mereka. Kekayaan Negara yang sekiranya produktif, urung untuk memperkaya kebutuhan yang paling mencolok dari keluarga penguasa Saudi. Elit penguasa negeri petrodollar tersebut membiayai sebuah paham yang paling fanatik,buruk dan misoginis dari Islam. “Wahabi ”
Saat dihadapkan pada perbedaan pendapat internal dari sekelompok orang-orang yang tertindas dan kaum agama minoritas, kediktatoran Arab Saudi merasakan ancaman dan bahaya dari semua sisi, baik itu dari luar negeri, kelompok sekuler, nasionalis dan Syiah yang menguasai pemerintahan, secara internal, nasionalis Sunni moderat, demokrat dan feminis , dalam kubu royalis , tradisionalis dan modernis. Menanggapi perubahan yang mengarah kepada pembiayaan, pelatihan dan persenjataan jaringan teroris internasional Islam, yang diarahkan untuk menyerang, menginvasi dan menghancurkan rezim yang menentang ulama diktator Arab.
Dalang dari jaringan teror Saudi adalah Bandar bin Sultan, yang memiliki hubungan yang sudah lama dan akrab dengan para pejabat tinggi politik, militer dan intelijen AS. Bandar dilatih dan diindoktrinasi di Maxwell Air Force Base dan Johns Hopkins University, ia menjabat sebagai Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat selama lebih dari dua dekade (1983 – 2005). Sekitar tahun 2005 – 2011, ia adalah Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Arab Saudi, dan pada tahun 2012 ia diangkat sebagai Direktur Jenderal Badan Intelijen Arab Saudi. Sampai saat ini, Bandar semakin banyak terlibat dalam proyek operasi teror rahasia.
Berkaitan dengan CIA. Di antara berbagai operasi kotornya dengan CIA selama tahun 1980, Bandar menyalurkan US$ 32.000.000 ke Nikaragua Contra, yang terlibat dalam kampanye teror untuk menggulingkan pemerintahan revolusioner Sandinista di Nikaragua. Selama masa jabatannya sebagai duta besar, ia aktif terlibat dalam upaya perlindungan terhadap Kerajaan Arab Saudi yang diklaim terlibat dengan pemboman Triple Towers dan Pentagon pada 11 September 2001.
Kecurigaan bahwa Bandar dan sekutu-sekutunya di keluarga kerajaan memiliki pengetahuan sebelumnya tentang pemboman oleh teroris Saudi ( 11 dari 19 ), dikuatkan dengan adanya catatan penerbangan mendadak Kerajaan Arab Saudi menyusul aksi teroris pada 11/9. Dokumen intelijen AS mengenai hubungan Saudi – Bandar berada di bawah tinjauan Kongres .
Dengan banyaknya pengalaman dan pelatihan dalam menjalankan operasi teroris klandestin, berangkat dari dua dekade tugasnya untuk bekerja sama dengan badan-badan intelijen AS, Bandar berada dalam posisi yang pas untuk mengatur jaringan teror global tersendiri dalam upayanya menyembunyikan keburukan dan kelemahan monarki despotik Arab Saudi.
Bandar telah membiayai dan mempersenjatai banyak kelompok teroris dengan operasi rahasianya, ia memanfaatkan afiliasi Al Qaeda , sekte Wahabi Saudi yang dikendalikan berbagai kelompok bersenjata ekstrim lainnya. Bandar adalah promotor teroris yang pragmatis : Menindas lawan Al Qaeda di Arab Saudi dan membiayai teroris Al Qaeda di Irak, Suriah, Afghanistan dan di tempat lain, Sementara Bandar adalah aset masa depan badan intelijen AS, baru-baru ini ia mengambil ‘kursus independen’ di mana kepentingan daerah dari wilayah despotik, berbeda dari orang-orang Amerika Serikat.
Dengan maksud yang sama, sementara Arab Saudi memiliki permusuhan lama terhadap Israel , Bandar telah mengembangkan ” pemahaman rahasia ” dan hubungan kerjasama dengan rezim Netanyahu terkait permusuhan bersama mereka atas Iran dan lebih khusus lagi bertentangan dengan perjanjian interim antara rezim Obama – Rohani.
Bandar telah melakukan intervensi secara langsung atau melalui beberapa perwakilannya dalam membentuk kembali keberpihakan politik, menggoyahkan lawan dan memperkuat serta memperluas jangkauan politik kediktatoran Arab Saudi dari Afrika Utara ke Asia Selatan, dari kaukus Rusia ke Ujung Afrika, kadang-kadang dalam keberpihakannya dengan imperialisme Barat, beberapa kali ia menyuarakan aspirasi hegemonik Arab Saudi.
Bandar telah menggelontorkan miliaran dolar untuk memperkuat rezim pro -Islam sayap kanan di Tunisia dan Maroko, memastikan bahwa gerakan pro – demokrasi massa akan ditekan, terpinggirkan dan dihancurkan. Ekstremis Islam menerima bantuan keuangan dari Arab Saudi untuk mendukung kembalinya Muslim “moderat” di pemerintahan, dengan membunuh pemimpin demokrasi sekuler dan pemimpin serikat buruh sosialis dari kelompok oposisi. Kebijakan Bandar sebagian besar bertepatan dengan orang-orang dari Amerika Serikat dan Perancis di Tunisia dan Maroko, tetapi tidak di Libya dan Mesir .
Dukungan finansial Saudi untuk para teroris dan afiliasi Al Qaeda melawan Presiden Libya, Gadhafi, sejalan dengan perang udara NATO. Namun banyak penyimpangan muncul setelahnya : rezim yang didukung NATO yang terdiri dari eks- neo liberal yang berhadapan melawan Saudi, dan didukung Al Qaeda juga kelompok-kelompok teroris islam, mereka juga datang dari berbagai macam kelompok bersenjata dan perampok .
Bandar mendanai Ekstremis Islam Libya yang menjadi bankir untuk memperluas operasi militer mereka ke Suriah, di mana rezim Saudi sedang mengadakan operasi militer besar-besaran untuk menggulingkan rezim Assad. Konflik internal yang terjadi antara NATO dan kelompok-kelompok bersenjata Saudi di Libya pecah, dan menyebabkan pembunuhan umat Muslim dari Duta Besar AS, dan perwakilan CIA di Benghazi.
Setelah Gadhafi dilengserkan, Bandar hampir meninggalkan minatnya dalam pekerjaan bermandikan darah berikutnya, dan kekacauan yang diprovokasi oleh aset bersenjata . Mereka pada akhirnya mencari dana sendiri dengan merampok bank , melakukan pencurian minyak dan mengosongkan kas lokal ” independen ” yang secara relatif ada di bawah kontrol Bandar.
Di Mesir , Bandar berkembang, berkoordinasi dengan Israel (tapi untuk alasan yang berbeda), strategi perusakan independen secara relative lewat sebuah rezim yang terpilih secara demokratis. Ikhwanul Muslimin dengan Mohammad Morsinya. Bandar dan rezim diktator Arab Saudi secara finansial mendukung kudeta militer dan kediktatoran Jenderal Sisi.
Strategai AS berupa perjanjian akan adanya pembagian kekuasaan antara IM dan rezim militer, menggabungkan legitimasi pemilu populer dan militer pro – Israel – pro NATO yang disabotase . Dengan paket bantuan US$ 15 miliar dan janji-janji yang akan datang , Bandar menyediakan kebutuhan militer Mesir,yaitu sebuah jaminan finansial dan kekebalan ekonomi dari setiap transaksi keuangan internasional .
Tidak ada konsekuensi apapun yang diambil. Pihak militer menghancurkan IM dengan cara dipenjara dan militer juga mengancam untuk mengeksekusi para pemimpin yang terpilih . Ini dilarang oleh sayap oposisi liberal – kiri yang telah digunakan sebagai umpan meriam untuk membenarkan kudeta kekuasaannya . Dalam mendukung kudeta militer , Bandar menghilangkan saingan, rezim Islam yang terpilih secara demokratis berdiri kontras dengan despotisme Saudi .
Dia mengamankan rezim diktator yang berpikiran selayaknya pemimpin di banyak negara Arab, meskipun penguasa militer saat itu lebih sekuler, pro-Barat , pro – Israel dan anti – Assad dibandingkan rezim IM. Bandar berhasil menjalankan kudeta Mesir dengan mengamankan sekutu politik tetapi menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Kebangkitan gerakan massa anti – diktator baru-baru ini juga akan menargetkan hubungan dengan Arab Saudi. Apalagi Bandar bersikap acuh dan melemahkan kesatuan Negara Teluk seperti Qatar yang telah membiayai rezim Morsi dan mengeluarkan dana sebesar $ 5 miliar dolar, hal ini juga telah diperluas ke rezim sebelumnya .
Jaringan teror Bandar paling jelas terbukti pada pembiayaan, persenjataan, pelatihan dan pengalokasian besar-besaran jangka panjang puluhan ribu “relawan teroris” dari Amerika Serikat, Eropa , Timur Tengah , kaukus , Afrika Utara dan di tempat lain di beberapa Negara. Teroris Al Qaeda di Arab Saudi menjadi “pejuang jihad” di Suriah . Puluhan kelompok bersenjata Islam di Suriah bersaing untuk mendapatkan suplai senjata dan pendaan dari Arab Saudi. Basis pelatihan dengan instruktur dari AS dan Eropa dan dibiayai oleh Saudi, didirikan di Yordania, Pakistan dan Turki . Bandar membiayai kelompok utama pemberontak teroris bersenjata , Negara Islam Irak dan Levant (ISIL), untuk operasi lintas batas Negara.
Dengan adanya Hizbullah yang mendukung Assad, Bandar mengalirkan dana dan senjata kepada Brigade Abdullah Azzam di Lebanon Selatan untuk mengebom Beirut, kedutaan Iran dan Tripoli. Bandar mengucurkan US$ 3 milyar kepada militer Lebanon untuk ide mengobarkan perang saudara baru antara mereka dan Hizbullah.
Ia berkoordinasi dengan Perancis dan Amerika Serikat, namun dengan dana yang jauh lebih besar dan ruang gerak yang lebih besar untuk merekrut para teroris, Bandar diasumsikan sebagai peran utama dan menjadi direktur utama tiga front militer dan serangan diplomatik terhadap Suriah, Hizbullah dan Iran. Bagi Bandar, pengambilalihan kekuasan atas muslim Suriah akan mengarah pada invasi terhadap mereka dalam mendukung Al Qaeda di Lebanon, untuk mengalahkan Hizbullah dengan harapan mengisolasi Iran. Teheran kemudian akan menjadi target dari serangan Arab -Israel -AS . Strategi Bandar tak kurang hanya sekedar fantasi yang tak akan terwujud menjadi realita.
Oleh karena itu, misalnya, kemampuan Bandar untuk mengamankan AWACs meskipun pihak oposisi AIPAC ini membuatnya mendapatkan bintang jasa. Seperti kelebihannya dalam mengamankan keberangkatan beberapa ratus anggota kerajaan Saudi yang terlibat dalam pemboman 11/9, meskipun tingkat pengamanan nasional setelah pengeboman itu dinilai sangat tinggi.
Ketika ada beberapa kesalahan masa lalu, Gerakan Bandar menjadi lebih menyimpang dari kebijakan US. Dia menjalankan operasi terror dengan cara membangun jaringan teror tersendiri yang diarahkan untuk memaksimalkan hegemoni Arab Saudi – meskipun kebijakan itu bertentangan dengan perwakilan-perwakilan US, para kolega mereka dan operasi-operasi rahasia.
Teroris “Negara Islam Irak dan Suriah(ISIS)”. Ketika AS bernegosiasi mengenai “perjanjian interim” dengan Iran, Bandar menyuarakan ketidaksetujuan dan “membeli” dukungan. Saudi dengan menandatangani traktat pembelian senjata bernilai miyaran dolar selama kunjungan Presiden Perancis, Francois Hollande disana, hal ini terjadi dalam rangka pertukaran sanksi yang lebih besar terhadap Iran. Bandar juga menyatakan dukungannya terhadap keterlibatan Israel untuk pengaturan kekuatan Zionis agar mempengaruhi Kongres, tujuannya adalah sabotase perundingan AS dengan Iran.
Bandar telah bergerak di luar protokol aslinya sebagai pemegang kendali intelijen AS. Hubungan dekatnya dengan AS dan presiden Uni Eropa di masa lalu dan sekarang serta tokoh masyarakat politik telah mendorong dia untuk terlibat dalam “Petualangan Kekuatan Besar”. Dia bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin untuk meyakinkan Putin agar memberikan dukungannya terhadap Suriah, menawarkan wortel atau tongkat: penjualan senjata multi-miliar dolar secara sukarela atau ancaman untuk melepaskan teroris Chechnya agar mengacaukan Olimpiade Sochi.
Dia telah merubah Erdogan yang semula adalah sekutu NATO, menjadi pendukung lawan bersenjata ‘moderat’ Bashar Assad, dalam merangkul Saudi yang didukung oleh ISIS ‘Negara Islam Irak dan Suriah’, afiliasi Al Qaeda. Bandar telah “mengabaikan” upaya cari untung Erdogan untuk menandatangani kesepakatan minyak dengan Iran dan Irak, pengaturan militernya dilanjutkan dengan NATO dan dukungan masa lalunya dari rezim tidak aktif Morsi di Mesir, dalam rangka mengamankan dukungan Erdogan untuk mendukung kemudahan transit besar-besaran teroris binaan Saudi ke Suriah dan kemungkinan juga ke Lebanon .
Bandar telah memperkuat hubungan dengan kelompok bersenjata Taliban di Afghanistan dan Pakistan, dia mempersenjatai dan membiayai perlawanan bersenjata mereka terhadap AS, serta menawarkan sebuah lokasi untuk proses awal negosisasi kepada AS.
Dimungkinkan juga, Bandar mendukung dan mempersenjatai teroris Uighur Muslim di Cina barat, dan Chechnya, juga teroris Islam Kaukasia di Rusia, bahkan saat Saudi melakukan ekspansi perjanjian minyak dengan China dan bekerjasama dengan Gazprom, Rusia.
Satu-satunya wilayah di mana Saudi gagal melakukan intervensi militer langsung adalah Negara teluk kecil, Bahrain. Pasukan Saudi hancur oleh gerakan pro-demokrasi menantang rezim despotik lokal.
Setiap kali jaringan teroris muncul untuk menumbangkan rezim nasionalis, sekuler atau Syiah, mereka dapat mengandalkan dana dan dukungan Saudi. Persis seperti yang digambarkan oleh para ahli Taurat sebagai “upaya lemah dalam liberalisasi dan modernisasi” rezim Saudi yang memburuk, mereka benar-benar meningkatkan kemampuan militer para teroris di luar negeri. Bandar menggunakan teknik-teknik teror modern untuk memaksakan model pemerintahan reaksioner Saudi pada negara tetangga dan rezim-rezim di Negara yang memiliki populasi mayoritas umat Muslim.
Masalahnya adalah bahwa, petualangan operasi konflik luar negeri skala besar Bandar, bertentangan dengan beberapa gaya kepemimpinan keluarga kerajaan Arab Saudi yang cenderung berhati-hati. Mereka ingin dibiarkan sendiri dalam menimbun kumpulan uang sewa minyak bumi yang bernilai ratusan miliar itu, hal ini sengaja dilakukan agar mereka dapat berinvestasi pada bisnis properti mewah di seluruh dunia, dan diam-diam menyewa gadis-gadis panggilan di Washington, London, dan Beirut, di saat yang sama mereka bertindak sebagai wali saleh dari Madinah, Mekkah dan berbagai macam situs suci Islam.
Sejauh ini Bandar belum merasa tertantang, karena ia masih berhati-hati dengan cara memberikan penghormatan kepada raja yang berkuasa dan lingkaran dalamnya. Dia telah membeli dan membawa seluruh perdana menteri, para presiden dan pejabat penting lain dari negara-negara Barat dan Timur, Bandar membawa mereka ke Riyadh untuk menandatangani kesepakatan dan pembayaran upeti dalam usahanya untuk menyenangkan rezim despotik Al Saud. Namun sikap khawatirnya terhadap operasi Al Qaeda di luar negeri, mendorong ekstrimis Saudi untuk pergi ke luar negeri dan terlibat dalam perang antar teroris, hal ini jelas menimbulkan keresahan di kalangan monarki.
Mereka khawatir teroris yang mereka latih dan bina ini kembali dari Suriah, Rusia dan Irak kemudian meledakkan istana kerajaan. Selain itu, rezim luar negeri yang ditargetkan oleh jaringan teror Bandar kemungkinan bisa membalas : Rusia atau Iran , Suriah , Mesir , Pakistan , Irak yang mungkin hanya menyediakan instrumen “balas dendam” mereka sendiri. Meskipun ratusan miliar dihabiskan untuk pembelian senjata, rezim Arab Saudi sangat rentan di semua tingkatan.
Terlepas dari paham kesukuan, elit miliarder hanya didukung oleh segelintir rakyat dan bahkan legitimasi mereka kurang. Hal ini tergantung pada buruh migran luar negeri, pakar asing dan pasukan militer AS. Para elit Saudi juga dibenci oleh Ulama Wahabi yang paling relijius karena mengizinkan “takfiri” berjihad di medan suci. Sementara Bandar memperluas kekuasaan Saudi di luar negeri, fondasi aturan domestik jadi menyempit. Ia menentang kebijakan AS di Suriah, Iran dan Afghanistan, rezim Al Saud tergantung pada Angkatan Udara AS dan Armada Ketujuh untuk melindungi mereka dari berkembangnya kelompok-kelompok yang memusuhi pemerintah.
Bandar, dengan ego -nya, mungkin percaya bahwa ia adalah seorang “Saladin” yang membangun kerajaan Islam baru, tetapi dalam kenyataannya, dengan hanya menjentikkan jari, raja pelindungnya dapat menyebabkan pemecatannya dipercepat. Terlalu banyak pemboman sipil provokatif oleh teroris yang dia manfaaatkan dapat menyebabkan krisis internasional, yang mengarah ke Arab Saudi dan hal ini menjadikan mereka sasaran penghinaan secara global.
Pada kenyataannya, Bandar bin Sultan adalah anak didik dan penerus Bin Laden, ia telah memperdalam dan menstrukturisasi terorisme global. Jaringan teror Bandar telah membunuh banyak korban tak berdosa dibandingkan Bin Laden. Hal itu tentu saja yang paling diharapkan, setelah semua kepemilikannya atas miliaran dolar kas Saudi , pelatihan dari CIA dan jabat tangan Netanyahu!.
)* Pengamat Politik Amerika Latin dan Timur Tengah, Kolumnis globalresearch.ca
Washington Perkuat Hubungan Militer dengan Riyadh
Islam
Times- http://www.islamtimes.org/vdcftjdmxw6dvta.,8iw.html
"Saudi Arabia secara serius menentang keras upaya Washington dan
negara-negara besar terakait negosiasi kesepakatan dengan Iran atas
program nuklirnya, tapi Hagel menekankan posisi AS terhadap Iran belum
berubah," kata pejabat senior AS.
Chuck Hagel dan Salman bin Sultan di Bahrain 6 Desember 2013
Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel menegaskan kembali hubungan militer AS dengan Riyadh meskipun terdapat perselisihan terkait kebijakan Washington terhadap Iran dan Suriah.
Dalam pertemuan dengan wakil menteri pertahanan Arab Saudi di Washington pada Sabtu, 22/03/14, Hagel memperjelas posisi AS kepada Pangeran Salman Bin Sultan bahwa AS akan terus melanjutkan diplomasi dengan Iran dan menyebut pentingnya kerja sama militer AS-Saudi, kata seorang pejabat pertahanan tanpa menyebutkan namanya.
"Saudi Arabia secara serius menentang keras upaya Washington dan negara-negara besar terakait negosiasi kesepakatan dengan Iran atas program nuklirnya, tapi Hagel menekankan posisi AS terhadap Iran belum berubah," kata pejabat senior AS.
Pejabat itu mengatakan, kedua pejabat itu membahas ketegangan di antara negara-negara Teluk Persia, termasuk Qatar yang telah membuat marah Riyadh dan anggota lain dari PGCC.
Doha selama ini mendukung penuh gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) yang masuk daftar teroris oleh beberapa negara Teluk terutama Arab Saudi. Namun, Saudi dan Qatar sama-sama mendukung ekstremis elemen-elemen takfiri di Suriah.
Kedua pemimpin juga menegaskan kembali komitmen penguatan hubungan AS-Saudi, sementara Sekretaris Hagel menekankan komitmen Amerika Serikat untuk keamanan di wilayah tersebut," kata juru bicara Pentagon Laksamana John Kirby kepada wartawan, sebagaimana dilansir oleh TV al-Alam.
"Mereka juga membahas tantangan regional dan pentingnya kerjasama regional dalam mengatasi masalah keamanan secara umum."
Pangeran Salman sebelumnya bertemu Deputi Menteri Luar Negeri AS William Burns, pada saat kunjungan pertamanya ke Washington sejak mengambil alih sebagai Wakil Menteri Pertahanan pada bulan Agustus 2013 lalu. [IT/Onh/Ass]
Analis AS: Arab Saudi dan Israel Ingin Amerika Perangi Iran
Johannes Sutanto de Britto
Pangkalan militer Parchin di Iran (Foto: Ist)
WASHINGTON, Jaringnews.com - Amerika Serikat siap memarahi sekutu utamanya yaitu Israel dan Arab Saudi dan terus mengamankan kesepakatan nuklir dengan Iran, meskipun kegagalan pembicaraan terlah terjadi di Jenewa.
Sementara Teheran tetap berada di bawah tekanan untuk mencapai kesepakatan cepat dengan negara-negara besar, para analis melihat Washington sangat ingin mengambil keuntungan dari kesediaan Iran untuk menegosiasikan kesepakatan dan mencegah konflik di masa depan di Timur Tengah.
Perundingan tiga hari yang melelahkan antara Iran, Amerika Serikat, China, Rusia, Inggris, Perancis dan Jerman berakhir Minggu pagi tanpa kesepakatan.
Padahal beberapa pihak telah berharap untuk mencapai kesepakatan yang akan mengekang program nuklir Teheran dalam bentuk pertukaran untuk bantuan sanksi.
"Dengan mencari kesepakatan di Jenewa , AS mencoba untuk pergi sedikit terlalu jauh, terlalu cepat, Itu semua disebabkan oleh antusiasme Iran," terang Hussein Ibish, seorang rekan senior di Satuan Tugas Amerika untuk Palestina.
"Ini benar-benar konvergensi AS dan keinginan Iran untuk menghindari konfrontasi lebih dalam atas nuklir," imbuhnya.
Alireza Nader, seorang analis kebijakan internasional senior di RAND Corporation think-tank, mempertanyakan dugaan bahwa Amerika Serikat "bergegas" untuk mencapai kesepakatan dengan Iran.
"Saya tidak berpikir posisi AS telah berubah dalam beberapa bulan terakhir," kata Nader. "Apa yang kita lihat sekarang adalah kesediaan Iran untuk bernegosiasi."
Iran tertarik untuk melihat pelonggaran sanksi.
Analis bersikeras bahwa Israel dan Arab Saudi tetap tegas menentang kesepakatan antara Washington dan Teheran. "Baik Israel dan Saudi telah menunjukkan pada publik bahwa mereka ingin Amerika Serikat berperang melawan Iran," kata Trita Parsi, Presiden National American Council Iran.
"Jika ada kesepakatan, tidak akan ada perang, itu sebabnya mereka marah."
Nader juga mencatat kecemasan Israel dan Arab Saudi yaitu kesepakatan AS-Iran akan membahayakan kepentingan strategis jangka panjang mereka.
"Mereka khawatir hubungan Iran-Amerika yang meningkatkan merugikan mereka," kata Nader. "Kemungkinan Iran memainkan peran lebih besar dalam urusan regional menciptakan kecemasan bagi Israel dan Arab Saudi."
(Deb / Deb)
Terorisme Global dan Arab Saudi : Jaringan Teror Bandar
Oleh : Prof. James Petras*http://satuislam.org/opini/terorisme-global-dan-arab-saudi-jaringan-teror-bandar/
Arab Saudi punya segala track record yang buruk, dan sama sekali tidak memiliki sisi baik dari sebuah negara yang kaya minyak seperti Venezuela. Negara ini diatur oleh rezim diktator dari sebuah keluarga, yang tidak mentolerir adanya kelompok oposisi dan menghukum berat pendukung hak asasi manusia, serta para pembangkang politik. Ratusan miliar dari pendapatan minyaknya dikendalikan oleh despotisme kerajaan, dan investasi spekulatif bahan bakar di seluruh dunia.
Para elite yang berkuasa ini bergantung pada pembelian senjata dari Barat dan pangkalan militer Amerika Serikat (AS) untuk perlindungan keamanan mereka. Kekayaan Negara yang sekiranya produktif, urung untuk memperkaya kebutuhan yang paling mencolok dari keluarga penguasa Saudi. Elit penguasa negeri petrodollar tersebut membiayai sebuah paham yang paling fanatik,buruk dan misoginis dari Islam. “Wahabi ”
Saat dihadapkan pada perbedaan pendapat internal dari sekelompok orang-orang yang tertindas dan kaum agama minoritas, kediktatoran Arab Saudi merasakan ancaman dan bahaya dari semua sisi, baik itu dari luar negeri, kelompok sekuler, nasionalis dan Syiah yang menguasai pemerintahan, secara internal, nasionalis Sunni moderat, demokrat dan feminis , dalam kubu royalis , tradisionalis dan modernis. Menanggapi perubahan yang mengarah kepada pembiayaan, pelatihan dan persenjataan jaringan teroris internasional Islam, yang diarahkan untuk menyerang, menginvasi dan menghancurkan rezim yang menentang ulama diktator Arab.
Dalang dari jaringan teror Saudi adalah Bandar bin Sultan, yang memiliki hubungan yang sudah lama dan akrab dengan para pejabat tinggi politik, militer dan intelijen AS. Bandar dilatih dan diindoktrinasi di Maxwell Air Force Base dan Johns Hopkins University, ia menjabat sebagai Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat selama lebih dari dua dekade (1983 – 2005). Sekitar tahun 2005 – 2011, ia adalah Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Arab Saudi, dan pada tahun 2012 ia diangkat sebagai Direktur Jenderal Badan Intelijen Arab Saudi. Sampai saat ini, Bandar semakin banyak terlibat dalam proyek operasi teror rahasia.
Berkaitan dengan CIA. Di antara berbagai operasi kotornya dengan CIA selama tahun 1980, Bandar menyalurkan US$ 32.000.000 ke Nikaragua Contra, yang terlibat dalam kampanye teror untuk menggulingkan pemerintahan revolusioner Sandinista di Nikaragua. Selama masa jabatannya sebagai duta besar, ia aktif terlibat dalam upaya perlindungan terhadap Kerajaan Arab Saudi yang diklaim terlibat dengan pemboman Triple Towers dan Pentagon pada 11 September 2001.
Kecurigaan bahwa Bandar dan sekutu-sekutunya di keluarga kerajaan memiliki pengetahuan sebelumnya tentang pemboman oleh teroris Saudi ( 11 dari 19 ), dikuatkan dengan adanya catatan penerbangan mendadak Kerajaan Arab Saudi menyusul aksi teroris pada 11/9. Dokumen intelijen AS mengenai hubungan Saudi – Bandar berada di bawah tinjauan Kongres .
Dengan banyaknya pengalaman dan pelatihan dalam menjalankan operasi teroris klandestin, berangkat dari dua dekade tugasnya untuk bekerja sama dengan badan-badan intelijen AS, Bandar berada dalam posisi yang pas untuk mengatur jaringan teror global tersendiri dalam upayanya menyembunyikan keburukan dan kelemahan monarki despotik Arab Saudi.
Jaringan Teror Bandar
Bandar bin Sultan telah mengubah Arab Saudi dari apa yang dahulu mereka sebut rezim mandiri yang berbasis kesukuan, menjadi benar-benar tergantung pada kekuatan militer AS untuk kelangsungan hidupnya, menjadi pusat regional utama dari jaringan teror yang luas, seorang penyandang dana aktif diktator militer sayap kanan (Mesir) dan klien rezim (Yaman) serta interventor militer di kawasan Teluk (Bahrain).Bandar telah membiayai dan mempersenjatai banyak kelompok teroris dengan operasi rahasianya, ia memanfaatkan afiliasi Al Qaeda , sekte Wahabi Saudi yang dikendalikan berbagai kelompok bersenjata ekstrim lainnya. Bandar adalah promotor teroris yang pragmatis : Menindas lawan Al Qaeda di Arab Saudi dan membiayai teroris Al Qaeda di Irak, Suriah, Afghanistan dan di tempat lain, Sementara Bandar adalah aset masa depan badan intelijen AS, baru-baru ini ia mengambil ‘kursus independen’ di mana kepentingan daerah dari wilayah despotik, berbeda dari orang-orang Amerika Serikat.
Dengan maksud yang sama, sementara Arab Saudi memiliki permusuhan lama terhadap Israel , Bandar telah mengembangkan ” pemahaman rahasia ” dan hubungan kerjasama dengan rezim Netanyahu terkait permusuhan bersama mereka atas Iran dan lebih khusus lagi bertentangan dengan perjanjian interim antara rezim Obama – Rohani.
Bandar telah melakukan intervensi secara langsung atau melalui beberapa perwakilannya dalam membentuk kembali keberpihakan politik, menggoyahkan lawan dan memperkuat serta memperluas jangkauan politik kediktatoran Arab Saudi dari Afrika Utara ke Asia Selatan, dari kaukus Rusia ke Ujung Afrika, kadang-kadang dalam keberpihakannya dengan imperialisme Barat, beberapa kali ia menyuarakan aspirasi hegemonik Arab Saudi.
Bandar telah menggelontorkan miliaran dolar untuk memperkuat rezim pro -Islam sayap kanan di Tunisia dan Maroko, memastikan bahwa gerakan pro – demokrasi massa akan ditekan, terpinggirkan dan dihancurkan. Ekstremis Islam menerima bantuan keuangan dari Arab Saudi untuk mendukung kembalinya Muslim “moderat” di pemerintahan, dengan membunuh pemimpin demokrasi sekuler dan pemimpin serikat buruh sosialis dari kelompok oposisi. Kebijakan Bandar sebagian besar bertepatan dengan orang-orang dari Amerika Serikat dan Perancis di Tunisia dan Maroko, tetapi tidak di Libya dan Mesir .
Dukungan finansial Saudi untuk para teroris dan afiliasi Al Qaeda melawan Presiden Libya, Gadhafi, sejalan dengan perang udara NATO. Namun banyak penyimpangan muncul setelahnya : rezim yang didukung NATO yang terdiri dari eks- neo liberal yang berhadapan melawan Saudi, dan didukung Al Qaeda juga kelompok-kelompok teroris islam, mereka juga datang dari berbagai macam kelompok bersenjata dan perampok .
Bandar mendanai Ekstremis Islam Libya yang menjadi bankir untuk memperluas operasi militer mereka ke Suriah, di mana rezim Saudi sedang mengadakan operasi militer besar-besaran untuk menggulingkan rezim Assad. Konflik internal yang terjadi antara NATO dan kelompok-kelompok bersenjata Saudi di Libya pecah, dan menyebabkan pembunuhan umat Muslim dari Duta Besar AS, dan perwakilan CIA di Benghazi.
Setelah Gadhafi dilengserkan, Bandar hampir meninggalkan minatnya dalam pekerjaan bermandikan darah berikutnya, dan kekacauan yang diprovokasi oleh aset bersenjata . Mereka pada akhirnya mencari dana sendiri dengan merampok bank , melakukan pencurian minyak dan mengosongkan kas lokal ” independen ” yang secara relatif ada di bawah kontrol Bandar.
Di Mesir , Bandar berkembang, berkoordinasi dengan Israel (tapi untuk alasan yang berbeda), strategi perusakan independen secara relative lewat sebuah rezim yang terpilih secara demokratis. Ikhwanul Muslimin dengan Mohammad Morsinya. Bandar dan rezim diktator Arab Saudi secara finansial mendukung kudeta militer dan kediktatoran Jenderal Sisi.
Strategai AS berupa perjanjian akan adanya pembagian kekuasaan antara IM dan rezim militer, menggabungkan legitimasi pemilu populer dan militer pro – Israel – pro NATO yang disabotase . Dengan paket bantuan US$ 15 miliar dan janji-janji yang akan datang , Bandar menyediakan kebutuhan militer Mesir,yaitu sebuah jaminan finansial dan kekebalan ekonomi dari setiap transaksi keuangan internasional .
Tidak ada konsekuensi apapun yang diambil. Pihak militer menghancurkan IM dengan cara dipenjara dan militer juga mengancam untuk mengeksekusi para pemimpin yang terpilih . Ini dilarang oleh sayap oposisi liberal – kiri yang telah digunakan sebagai umpan meriam untuk membenarkan kudeta kekuasaannya . Dalam mendukung kudeta militer , Bandar menghilangkan saingan, rezim Islam yang terpilih secara demokratis berdiri kontras dengan despotisme Saudi .
Dia mengamankan rezim diktator yang berpikiran selayaknya pemimpin di banyak negara Arab, meskipun penguasa militer saat itu lebih sekuler, pro-Barat , pro – Israel dan anti – Assad dibandingkan rezim IM. Bandar berhasil menjalankan kudeta Mesir dengan mengamankan sekutu politik tetapi menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Kebangkitan gerakan massa anti – diktator baru-baru ini juga akan menargetkan hubungan dengan Arab Saudi. Apalagi Bandar bersikap acuh dan melemahkan kesatuan Negara Teluk seperti Qatar yang telah membiayai rezim Morsi dan mengeluarkan dana sebesar $ 5 miliar dolar, hal ini juga telah diperluas ke rezim sebelumnya .
Jaringan teror Bandar paling jelas terbukti pada pembiayaan, persenjataan, pelatihan dan pengalokasian besar-besaran jangka panjang puluhan ribu “relawan teroris” dari Amerika Serikat, Eropa , Timur Tengah , kaukus , Afrika Utara dan di tempat lain di beberapa Negara. Teroris Al Qaeda di Arab Saudi menjadi “pejuang jihad” di Suriah . Puluhan kelompok bersenjata Islam di Suriah bersaing untuk mendapatkan suplai senjata dan pendaan dari Arab Saudi. Basis pelatihan dengan instruktur dari AS dan Eropa dan dibiayai oleh Saudi, didirikan di Yordania, Pakistan dan Turki . Bandar membiayai kelompok utama pemberontak teroris bersenjata , Negara Islam Irak dan Levant (ISIL), untuk operasi lintas batas Negara.
Dengan adanya Hizbullah yang mendukung Assad, Bandar mengalirkan dana dan senjata kepada Brigade Abdullah Azzam di Lebanon Selatan untuk mengebom Beirut, kedutaan Iran dan Tripoli. Bandar mengucurkan US$ 3 milyar kepada militer Lebanon untuk ide mengobarkan perang saudara baru antara mereka dan Hizbullah.
Ia berkoordinasi dengan Perancis dan Amerika Serikat, namun dengan dana yang jauh lebih besar dan ruang gerak yang lebih besar untuk merekrut para teroris, Bandar diasumsikan sebagai peran utama dan menjadi direktur utama tiga front militer dan serangan diplomatik terhadap Suriah, Hizbullah dan Iran. Bagi Bandar, pengambilalihan kekuasan atas muslim Suriah akan mengarah pada invasi terhadap mereka dalam mendukung Al Qaeda di Lebanon, untuk mengalahkan Hizbullah dengan harapan mengisolasi Iran. Teheran kemudian akan menjadi target dari serangan Arab -Israel -AS . Strategi Bandar tak kurang hanya sekedar fantasi yang tak akan terwujud menjadi realita.
Bandar Menyimpang dari Washington : Serangan terhadap Irak dan Iran
Arab Saudi adalah partner yang menguntungkan bagi Washington, tetapi kadang-kadang mereka menjadi tidak terkontrol. Hal ini terjadi karena Bandar telah diangkat sebagai kepala Intelijen : aset lama CIA, dia juga beberapa kali mengambil keuntungan berupa kebebasannya untuk menikmati hasil kerja kerasnya selama ini, terutama ketika keuntungan itu berupa kenaikan jabatan dalam struktur kekuasan monarki Arab Saudi.Oleh karena itu, misalnya, kemampuan Bandar untuk mengamankan AWACs meskipun pihak oposisi AIPAC ini membuatnya mendapatkan bintang jasa. Seperti kelebihannya dalam mengamankan keberangkatan beberapa ratus anggota kerajaan Saudi yang terlibat dalam pemboman 11/9, meskipun tingkat pengamanan nasional setelah pengeboman itu dinilai sangat tinggi.
Ketika ada beberapa kesalahan masa lalu, Gerakan Bandar menjadi lebih menyimpang dari kebijakan US. Dia menjalankan operasi terror dengan cara membangun jaringan teror tersendiri yang diarahkan untuk memaksimalkan hegemoni Arab Saudi – meskipun kebijakan itu bertentangan dengan perwakilan-perwakilan US, para kolega mereka dan operasi-operasi rahasia.
Teroris “Negara Islam Irak dan Suriah(ISIS)”. Ketika AS bernegosiasi mengenai “perjanjian interim” dengan Iran, Bandar menyuarakan ketidaksetujuan dan “membeli” dukungan. Saudi dengan menandatangani traktat pembelian senjata bernilai miyaran dolar selama kunjungan Presiden Perancis, Francois Hollande disana, hal ini terjadi dalam rangka pertukaran sanksi yang lebih besar terhadap Iran. Bandar juga menyatakan dukungannya terhadap keterlibatan Israel untuk pengaturan kekuatan Zionis agar mempengaruhi Kongres, tujuannya adalah sabotase perundingan AS dengan Iran.
Bandar telah bergerak di luar protokol aslinya sebagai pemegang kendali intelijen AS. Hubungan dekatnya dengan AS dan presiden Uni Eropa di masa lalu dan sekarang serta tokoh masyarakat politik telah mendorong dia untuk terlibat dalam “Petualangan Kekuatan Besar”. Dia bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin untuk meyakinkan Putin agar memberikan dukungannya terhadap Suriah, menawarkan wortel atau tongkat: penjualan senjata multi-miliar dolar secara sukarela atau ancaman untuk melepaskan teroris Chechnya agar mengacaukan Olimpiade Sochi.
Dia telah merubah Erdogan yang semula adalah sekutu NATO, menjadi pendukung lawan bersenjata ‘moderat’ Bashar Assad, dalam merangkul Saudi yang didukung oleh ISIS ‘Negara Islam Irak dan Suriah’, afiliasi Al Qaeda. Bandar telah “mengabaikan” upaya cari untung Erdogan untuk menandatangani kesepakatan minyak dengan Iran dan Irak, pengaturan militernya dilanjutkan dengan NATO dan dukungan masa lalunya dari rezim tidak aktif Morsi di Mesir, dalam rangka mengamankan dukungan Erdogan untuk mendukung kemudahan transit besar-besaran teroris binaan Saudi ke Suriah dan kemungkinan juga ke Lebanon .
Bandar telah memperkuat hubungan dengan kelompok bersenjata Taliban di Afghanistan dan Pakistan, dia mempersenjatai dan membiayai perlawanan bersenjata mereka terhadap AS, serta menawarkan sebuah lokasi untuk proses awal negosisasi kepada AS.
Dimungkinkan juga, Bandar mendukung dan mempersenjatai teroris Uighur Muslim di Cina barat, dan Chechnya, juga teroris Islam Kaukasia di Rusia, bahkan saat Saudi melakukan ekspansi perjanjian minyak dengan China dan bekerjasama dengan Gazprom, Rusia.
Satu-satunya wilayah di mana Saudi gagal melakukan intervensi militer langsung adalah Negara teluk kecil, Bahrain. Pasukan Saudi hancur oleh gerakan pro-demokrasi menantang rezim despotik lokal.
Bandar: Teror Global pada Yayasan Domestik yang Mencurigakan
Bandar telah memulai transformasi yang luar biasa dari kebijakan luar negeri Saudi dan meningkatkan pengaruh global. Semua untuk yang terburuk. Seperti Israel, ketika penguasa reaksioner sampai pada keinginan untuk menguasai dan menjungkirbalikkan tatanan demokrasi, Saudi datang dengan kantong dolarnya untuk menopang rezim despotic tersebut.Setiap kali jaringan teroris muncul untuk menumbangkan rezim nasionalis, sekuler atau Syiah, mereka dapat mengandalkan dana dan dukungan Saudi. Persis seperti yang digambarkan oleh para ahli Taurat sebagai “upaya lemah dalam liberalisasi dan modernisasi” rezim Saudi yang memburuk, mereka benar-benar meningkatkan kemampuan militer para teroris di luar negeri. Bandar menggunakan teknik-teknik teror modern untuk memaksakan model pemerintahan reaksioner Saudi pada negara tetangga dan rezim-rezim di Negara yang memiliki populasi mayoritas umat Muslim.
Masalahnya adalah bahwa, petualangan operasi konflik luar negeri skala besar Bandar, bertentangan dengan beberapa gaya kepemimpinan keluarga kerajaan Arab Saudi yang cenderung berhati-hati. Mereka ingin dibiarkan sendiri dalam menimbun kumpulan uang sewa minyak bumi yang bernilai ratusan miliar itu, hal ini sengaja dilakukan agar mereka dapat berinvestasi pada bisnis properti mewah di seluruh dunia, dan diam-diam menyewa gadis-gadis panggilan di Washington, London, dan Beirut, di saat yang sama mereka bertindak sebagai wali saleh dari Madinah, Mekkah dan berbagai macam situs suci Islam.
Sejauh ini Bandar belum merasa tertantang, karena ia masih berhati-hati dengan cara memberikan penghormatan kepada raja yang berkuasa dan lingkaran dalamnya. Dia telah membeli dan membawa seluruh perdana menteri, para presiden dan pejabat penting lain dari negara-negara Barat dan Timur, Bandar membawa mereka ke Riyadh untuk menandatangani kesepakatan dan pembayaran upeti dalam usahanya untuk menyenangkan rezim despotik Al Saud. Namun sikap khawatirnya terhadap operasi Al Qaeda di luar negeri, mendorong ekstrimis Saudi untuk pergi ke luar negeri dan terlibat dalam perang antar teroris, hal ini jelas menimbulkan keresahan di kalangan monarki.
Mereka khawatir teroris yang mereka latih dan bina ini kembali dari Suriah, Rusia dan Irak kemudian meledakkan istana kerajaan. Selain itu, rezim luar negeri yang ditargetkan oleh jaringan teror Bandar kemungkinan bisa membalas : Rusia atau Iran , Suriah , Mesir , Pakistan , Irak yang mungkin hanya menyediakan instrumen “balas dendam” mereka sendiri. Meskipun ratusan miliar dihabiskan untuk pembelian senjata, rezim Arab Saudi sangat rentan di semua tingkatan.
Terlepas dari paham kesukuan, elit miliarder hanya didukung oleh segelintir rakyat dan bahkan legitimasi mereka kurang. Hal ini tergantung pada buruh migran luar negeri, pakar asing dan pasukan militer AS. Para elit Saudi juga dibenci oleh Ulama Wahabi yang paling relijius karena mengizinkan “takfiri” berjihad di medan suci. Sementara Bandar memperluas kekuasaan Saudi di luar negeri, fondasi aturan domestik jadi menyempit. Ia menentang kebijakan AS di Suriah, Iran dan Afghanistan, rezim Al Saud tergantung pada Angkatan Udara AS dan Armada Ketujuh untuk melindungi mereka dari berkembangnya kelompok-kelompok yang memusuhi pemerintah.
Bandar, dengan ego -nya, mungkin percaya bahwa ia adalah seorang “Saladin” yang membangun kerajaan Islam baru, tetapi dalam kenyataannya, dengan hanya menjentikkan jari, raja pelindungnya dapat menyebabkan pemecatannya dipercepat. Terlalu banyak pemboman sipil provokatif oleh teroris yang dia manfaaatkan dapat menyebabkan krisis internasional, yang mengarah ke Arab Saudi dan hal ini menjadikan mereka sasaran penghinaan secara global.
Pada kenyataannya, Bandar bin Sultan adalah anak didik dan penerus Bin Laden, ia telah memperdalam dan menstrukturisasi terorisme global. Jaringan teror Bandar telah membunuh banyak korban tak berdosa dibandingkan Bin Laden. Hal itu tentu saja yang paling diharapkan, setelah semua kepemilikannya atas miliaran dolar kas Saudi , pelatihan dari CIA dan jabat tangan Netanyahu!.
)* Pengamat Politik Amerika Latin dan Timur Tengah, Kolumnis globalresearch.ca
Lebanon: Future Movement takes Tripoli hostage
The violent clashes between armed militants and the Lebanese army appear to be a repeat of the incidents
in Sidon’s suburb of Abra. Justice Minister Ashraf Rifi – a known
patron of armed groups in the city – will not hesitate to capitalize and
invite the army to take control of the city. But until then, Rifi’s
Future Movement has no qualms about aggravating the situation and
complicating the army’s mission, if only to improve the Future
Movement’s bargaining hand.
Three weeks ago, masked assailants shot and killed two people and
wounded six others in various parts of Tripoli. At the time, many
thought this was just an additional “skirmish” in the bloody war waged
by the takfiris in the city against its Alawi residents. However, the
security services, without making this public, noticed that the victims
this time were not Alawi, and that the majority of them were, in fact,
affiliated with the Lebanese army intelligence.
On Friday, the army announced in an official statement that an improvised explosive device was detonated in the Bahsas area near an army patrol. According to unconfirmed reports, this is the second attack of its kind against the army in less than 48 hours, which indicates just how dramatically things have escalated in the latest round of violence in Tripoli.
To be sure, the fighting has now evolved from being clashes between
Bab al-Tabbaneh and Jabal Mohsen, to a confrontation between dozens of
armed groups and the Lebanese army, with the militants directly
attacking soldiers and army conveys with small arms, grenades, and RPGs.
As far as the public in Tripoli is concerned, there has been a
deafening silence at various levels, even though the militants are the
only ones who benefit from this.
Politically, it’s even worse. Several Tripoli MPs and political
organizations known as the Islamic National Gathering and the
Dignitaries of Bab al-Tabbaneh met at the home of MP Mohammed Kabbara,
who is an opponent of Ashraf Rifi. Their demands were: First, rebuilding
the trust between the city’s people and the army, by conducting a
transparent inquiry into rumored killings of suspects, and reassessing
“heavy-handed” security measures that the army has taken in some
neighborhoods. And second, to punish all those involved in terrorist
acts, beginning with the perpetrators of the bombings outside al-Taqwa
and al-Salam mosques in August 2013.
For his part, Rifi, using his usual channels, has leaked his proposed
solution that is nearly identical to that of Kabbara, ignoring the
Takfiri threat, the fact that there are two – not one – sides in the
historical conflict between Bab al-Tabbaneh and Jabal Mohsen, and the
direct attacks on the army.
Rifi’s demands were: First, for the army to withdraw from Bab
al-Tabbaneh in order to “rebuild confidence,” with Rifi personally
pledging to let the army respond to any fire from Jabal Mohsen. Second,
to replace the leaders of military and security services, and unit
commanders. And third, to disband the Alawi-dominated Arab Democratic
Party and arrest its leader Ali Eid.
However, the demands that the Future Movement, led by Saad Hariri, is
making face many paradoxes on the ground. First of all, the army has
had to face protests, riots, and forced road closures in Future Movement
strongholds, with Future Movement MPs holding the army responsible for
any victims who fall in those areas. Secondly, the identities of those
fighting in Tripoli have been disguised deliberately, with the Future
Movement denying they are Hariri supporters, like Sheikh Nabil Rhim who
denies they are al-Qaeda linked, and Rifi who denies that they are the
same infamous “alleyway fighters.” Thirdly, around 200 fighters have
reportedly been brought in from Syria to Tripoli’s slums.
Based on the above, one can form the following analysis: the Lebanese
army is being distracted by armed mobs in Future Movement strongholds
throughout Lebanon; the army is fighting “invisible fighters” in Tripoli
who enjoy the silence from Tripoli’s officials; politicians are calling
for army commanders to be replaced and endorsing the takfiris’
arguments; and an external party is supporting the army’s enemies, not
only with weaponry, but also with fighters. Meanwhile, the attacks on
the army have evolved from conventional tactics to assassinating army
informants and using IEDs and car bombs.
What is happening in Tripoli now is not just another round of fighting. What the Future Movement is proposing, through Kabbara and Rifi, is to give them in peacetime what they failed to get in wartime: The execution of Ali Eid; purging the city of takfiris; handing over security services to the Future Movement; and declaring an economic state of emergency to pump money and aid through Future Movement MPs and ministers.
But the Future Movement cannot wash its hands clean of the systematic
exhaustion of the Lebanese army in pro-Hariri strongholds, because the
riots are not spontaneous and always take place at well calculated
moments, such as what happened with the recent riots “in solidarity with
Ersal.”
Indeed, even when takfiris like Ahmed al-Assir tried to ambush the
army in June 2013, they failed all too clearly. So is the Future
Movement willing to admit today that there is another party able to
mobilize the street in this way in its own strongholds? If so, then the
international community and Hezbollah must look for that party and deal
with it directly, and cut the middleman out, i.e. the Future Movement.
In regards to the “siege” of Ersal, which the Future Movement likes
to invoke in their incitements and threats, it is merely a security
measure, and has nothing to do with a classical siege involving the
movement of people and goods. Its sole aim is to limit the entry of
explosive-laden cars from the wilderness surrounding Ersal to the rest
of Lebanon, which is something that Future Movement MPs like to ignore
completely.
According to credible sources, there are two main groups fighting the
army in Tripoli today: The first comprises supporters of the Islamic
State in Iraq and Syria (ISIS), al-Nusra Front, and Shadi Mawlawi,
bolstered by more than one hundred fighters who arrived from Syria in
the past two days, with one hundred more expected to join them as soon
as they leave the hospitals where they are being treated.
The second is led by pro-Hariri figure, Amid Hammoud, who would not
have become involved were it not for a green light from the Future
Movement. However, sources do not rule out the possibility that Rifi had
pushed Hammoud into the battle to drag the takfiris into a war with the
army, which would put an end to them once and for all, while also
fulfilling a U.S.-Saudi demand to eliminate takfiri groups outside
Syria.
Some even say that Rifi would not be too upset if Hammoud were to
suffer the same fate, given his sustained attempts to compete with Rifi.
The Future Movement is playing with fire in every sense. It has not
brandished its swords to fight the takfiris, as many had expected, and
it did not disavow them. Instead, the Future Movement is hindering the
work of the army.
Making matters worse, the Future Movement is providing political
cover and logistical and medical support for takfiris who want nothing
more in life than to blow themselves up, inviting the Syrian crisis into
Lebanon. Everything the Future Movement and its allies say from now on
about Hezbollah’s intervention in Syria is meaningless; Hezbollah sends
fighters from Lebanon to Syria, but the Future Movement brings fighters
from Syria to Lebanon.
The public opinion will no doubt notice the difference soon enough.
Every statement that the Future Movement figures make, calling on the
army to do its duty and fight the takfiris, is doublespeak, aimed at
protecting the latter, justifying their actions, and prolonging the
crisis.
Follow Ghassan Saoud on Twitter | @ghassansaoud
This article is an edited translation from the Arabic Edition.
Comments
Submitted by Anonymous (not verified) on Sun, 2014-03-23 06:03.
By far, this is the go-to site for uncensored English news on Lebanon.
Submitted by Anonymous (not verified) on Sat, 2014-03-22 21:36.
This is an attack of a political party and not news coverage.
Al-Akhbar should reconsider the tone of its articles if it wants to keep
the claim of unbiased news.
Submitted by Christopher Rushlau (not verified) on Sat, 2014-03-22 16:22.
It has always been my understanding, since the day I learned what the
"Taef Accord" meant for representation in the Lebanese Parliament, that
the political foundation of this bogus accord is the threat by the
privileged elite minority to spoil the entire state if its
disproportionate demands are not met.
I cannot understand how how the young Hariri and his "movement" (for what "future"?) relate to the legally privileged elite, the so-called Christians. Obviously he has very important ties to foreign powers.
This must be, it may be, the kind of evil compromises we make when we start to equivocate about human rights.
I cannot understand how how the young Hariri and his "movement" (for what "future"?) relate to the legally privileged elite, the so-called Christians. Obviously he has very important ties to foreign powers.
This must be, it may be, the kind of evil compromises we make when we start to equivocate about human rights.
- repMonday, March 24, 2014 9:42 AM
Israeli diplomats stop working for Tel Aviv all over the world
Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu attends a joint press conference with his British counterpart in al-Quds (Jerusalem) on March 12 2014Israel has been forced to shut down its embassies all over the world as diplomats have gone on an indefinite strike over their work conditions.Employees of Israel's Foreign Ministry went on an all-out strike Sunday for the first time in regime’s history over a dispute surrounding workers' salaries and conditions.The dispute has been going on for nearly two years. Seven months of negotiations ended on March 4, when workers rejected a proposal by the Finance Ministry.Israeli ambassadors abroad will not go to work, no consular services will be available, and Israel will not be represented at any international gatherings during the strike.Even the Foreign Ministry’s political leadership and management will be locked out.The strike is indefinite and will affect everyone, including employers bringing foreign workers to the occupied territories for work, immigrants, and anyone who wants to travel there– including foreign dignitaries.“Today, for the first time in Israel’s history, the foreign ministry will be closed and no work will be done in any sphere under the ministry’s authority,” a statement by the ministry's workers' committee reads.It added that the strike would be “open ended” because of the “employment conditions for Israeli diplomats and because of the draconian decision by the Treasury to cut workers’ salaries.”A number of visits have already been canceled or put on hold, including Prime Minister Benjamin Netanyahu’s planned trip to Mexico, Panama, and Colombia next month, as well as Pope Francis’ planned visit to the occupied territories in May.Avigdor Lieberman said the worker’s committee has “lost its head” in what was a “miserable decision.”“This move has no benefit, and will only cause more damage to the ministry’s workers. I’m sorry that these irresponsible steps will come at the expense of the country’s citizens,” he said.The diplomats are demanding an increase in their monthly salaries and want compensation for their spouses who have to quit jobs because of foreign postings. They say that one-third of Israeli diplomats have already quit over the past 10 years because of low salaries.“The Treasury is determined to destroy the foreign ministry and Israeli diplomacy,” said Yacov Livne, a spokesman for the Israeli diplomats' union.He said the Treasury will not be able to “prevent boycotts of Israel, will not foster business transactions that yield huge economic benefits and will not raise our voices at the UN Security Council.”SHI/SHIMonday, March 24, 2014 9:42 AMIsraeli diplomats stop working for Tel Aviv all over the world
Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu attends a joint press conference with his British counterpart in al-Quds (Jerusalem) on March 12 2014Israel has been forced to shut down its embassies all over the world as diplomats have gone on an indefinite strike over their work conditions.Employees of Israel's Foreign Ministry went on an all-out strike Sunday for the first time in regime’s history over a dispute surrounding workers' salaries and conditions.The dispute has been going on for nearly two years. Seven months of negotiations ended on March 4, when workers rejected a proposal by the Finance Ministry.Israeli ambassadors abroad will not go to work, no consular services will be available, and Israel will not be represented at any international gatherings during the strike.Even the Foreign Ministry’s political leadership and management will be locked out.The strike is indefinite and will affect everyone, including employers bringing foreign workers to the occupied territories for work, immigrants, and anyone who wants to travel there– including foreign dignitaries.“Today, for the first time in Israel’s history, the foreign ministry will be closed and no work will be done in any sphere under the ministry’s authority,” a statement by the ministry's workers' committee reads.It added that the strike would be “open ended” because of the “employment conditions for Israeli diplomats and because of the draconian decision by the Treasury to cut workers’ salaries.”A number of visits have already been canceled or put on hold, including Prime Minister Benjamin Netanyahu’s planned trip to Mexico, Panama, and Colombia next month, as well as Pope Francis’ planned visit to the occupied territories in May.Avigdor Lieberman said the worker’s committee has “lost its head” in what was a “miserable decision.”“This move has no benefit, and will only cause more damage to the ministry’s workers. I’m sorry that these irresponsible steps will come at the expense of the country’s citizens,” he said.The diplomats are demanding an increase in their monthly salaries and want compensation for their spouses who have to quit jobs because of foreign postings. They say that one-third of Israeli diplomats have already quit over the past 10 years because of low salaries.“The Treasury is determined to destroy the foreign ministry and Israeli diplomacy,” said Yacov Livne, a spokesman for the Israeli diplomats' union.He said the Treasury will not be able to “prevent boycotts of Israel, will not foster business transactions that yield huge economic benefits and will not raise our voices at the UN Security Council.”SHI/SHI
Monday, March 24, 2014 9:42 AM
Israeli diplomats stop working for Tel Aviv all over the world
Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu attends a joint
press conference with his British counterpart in al-Quds (Jerusalem) on
March 12 2014
Israel has been forced to shut down its embassies all over
the world as diplomats have gone on an indefinite strike over their work
conditions.
Employees of Israel's Foreign Ministry went on an all-out strike Sunday
for the first time in regime’s history over a dispute surrounding
workers' salaries and conditions.
The dispute has been going on for nearly two years. Seven months of
negotiations ended on March 4, when workers rejected a proposal by the
Finance Ministry.
Israeli ambassadors abroad will not go to work, no consular services
will be available, and Israel will not be represented at any
international gatherings during the strike.
Even the Foreign Ministry’s political leadership and management will be locked out.
The strike is indefinite and will affect everyone, including employers
bringing foreign workers to the occupied territories for work,
immigrants, and anyone who wants to travel there– including foreign
dignitaries.
“Today, for the first time in Israel’s history, the foreign ministry
will be closed and no work will be done in any sphere under the
ministry’s authority,” a statement by the ministry's workers' committee
reads.
It added that the strike would be “open ended” because of the
“employment conditions for Israeli diplomats and because of the
draconian decision by the Treasury to cut workers’ salaries.”
A number of visits have already been canceled or put on hold, including
Prime Minister Benjamin Netanyahu’s planned trip to Mexico, Panama, and
Colombia next month, as well as Pope Francis’ planned visit to the
occupied territories in May.
Avigdor Lieberman said the worker’s committee has “lost its head” in what was a “miserable decision.”
“This move has no benefit, and will only cause more damage to the
ministry’s workers. I’m sorry that these irresponsible steps will come
at the expense of the country’s citizens,” he said.
The diplomats are demanding an increase in their monthly salaries and
want compensation for their spouses who have to quit jobs because of
foreign postings. They say that one-third of Israeli diplomats have
already quit over the past 10 years because of low salaries.
“The Treasury is determined to destroy the foreign ministry and Israeli
diplomacy,” said Yacov Livne, a spokesman for the Israeli diplomats'
union.
He said the Treasury will not be able to “prevent boycotts of Israel,
will not foster business transactions that yield huge economic benefits
and will not raise our voices at the UN Security Council.”
SHI/SHI
posting panjanng tapi gak dapat inti pembahasan apa
BalasHapus