Senin, 13 Februari 2012

Negara Hukum Pancasila..???!!!... Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarnomenyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. >>> ....untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jakarta 22 Juni 1945....>>> ..Panitia Sembilan Soekarno Mohammad Hatta Muhammad Yamin Achmad Soebardjo Abikoesno Tjokrosoejoso Haji Agus Salim A.A. Maramis Andul Kahar Muzakkir Wachid Hasyim>> ...[Note: Sayangnya............ para penadahulu bangsa kita telah lalai dan jumawa.... seperti terbukti dalam sejarah... Sampai hari ini kita sudah lebih 66 tahun merdeka dan menjadi bangsa yang pemimpinnya sombong, tekebur, jumawa, dan kuminter... serta rakus-jahat-jubleg-menjadi orang2 yang linglung.. gak tahu arah mau dibawa kemana Rakyat dan Bangsa serta Negara NKRI ini... ??? Kini tahun 2012.. kita menjadi bangsa linglung.... yang kintir-kiri-kintir kanan... dan terjerumus menjadi antek2 Nekolim (AS-Israel-NATO-Kapitalis-Borjuasi Jahat-dan Antek2nya) ... dan benar2 kita menjadi bangsa terhinakan di dunia ini yakni menjadi bangsa babu..dan kuli dinegeri orang.. dan didalam negeri kita.. manjadi konsumen pasar barang2 konsumsi terbesar... bagi para industrialis dan produk2 asing bangsa2 yang dahulunya jauh dibelakang kita..>>> Tragis..Tragisss...Tragiiisss...>> Karena kita lalai terhadap rahmat Allah SWT.. dan melalaikan pesan2 mulia dalam Pembukaan Piagam Jakarta tanggal 22-6-1945...>>> Hayoo kita kembali kepada Piagam Jakarta..dan mengaplikasikan UUD 1945 yang murni dengan konsekwen dan melaksanakan Syariah Islam bagi pemeluknya...Insya Allah .. kita menjadi bangsa yang Jaya-Berdaulat-Merdeka-Terhormat-Bermartabat-Adil-Makmur-Aman-Sentausa- ... Aamiin] >>




Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD '45, adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini.[1]

Sejarah Awal

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarnomenyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. 
Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945
Pembukaan

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.



Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta 22 Juni 1945
Panitia Sembilan
  1. Soekarno
  2. Mohammad Hatta
  3. Muhammad Yamin
  4. Achmad Soebardjo
  5. Abikoesno Tjokrosoejoso
  6. Haji Agus Salim
  7. A.A. Maramis
  8. Andul Kahar Muzakkir
  9. Wachid Hasyim

[Note: Sayangnya............ para penadahulu bangsa kita telah lalai dan jumawa.... seperti terbukti dalam sejarah... Sampai hari ini kita sudah lebih 66 tahun merdeka dan menjadi bangsa yang pemimpinnya sombong, tekebur, jumawa, dan kuminter... serta rakus-jahat-jubleg-menjadi orang2 yang linglung.. gak tahu arah mau dibawa kemana Rakyat dan Bangsa serta Negara NKRI ini... ???
Kini tahun 2012.. kita menjadi bangsa linglung.... yang kintir-kiri-kintir kanan... dan terjerumus menjadi antek2 Nekolim (AS-Israel-NATO-Kapitalis-Borjuasi Jahat-dan Antek2nya) ...  dan benar2 kita menjadi bangsa terhinakan di dunia ini yakni menjadi bangsa babu..dan kuli dinegeri orang.. dan didalam negeri  kita.. manjadi konsumen pasar barang2 konsumsi terbesar... bagi para industrialis dan produk2 asing bangsa2 yang dahulunya jauh dibelakang kita..>>> Tragis..Tragisss...Tragiiisss...>> Karena kita lalai terhadap rahmat Allah SWT.. dan melalaikan pesan2 mulia dalam Pembukaan Piagam Jakarta tanggal 22-6-1945...>>> Hayoo kita kembali kepada Piagam Jakarta..dan mengaplikasikan UUD 1945 yang murni dengan konsekwen dan melaksanakan Syariah Islam bagi pemeluknya...Insya Allah .. kita menjadi bangsa yang Jaya-Berdaulat-Merdeka-Terhormat-Bermartabat-Adil-Makmur-Aman-Sentausa- ... Aamiin]

Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Daftar isi

  [sembunyikan


Naskah Undang-Undang Dasar 1945

Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

garuda_pancasila

 1. Pendahuluan
Istilah negara hukum dalam berbagai literatur tidak bermakna tunggal, tetapi dimaknai berbeda dalam tempus dan locus yang berbeda, sangat tergantung pada idiologi dan sistem politik suatu negara. Karena itu Tahir Azhary, (Tahir Azhary, 2003: 83) dalam penelitiannya sampai pada kesimpulan bahwa istilah negara hukum adalah suatu genus begrip yang terdiri dari dari lima konsep, yaitu konsep negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah yang diistilahkannya dengan nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa kontinental yang disebut rechtstaat, konsep rule of law, konsep socialist legality serta konsep negara hukum Pancasila. Begitu juga Oemar Seno Adji (Lihat Seno Adjie, 1980) menemukan tiga bentuk negara hukum yaitu rechtstaat dan rule of law, socialist legality dan negara hukum Pancasila. Menurut Seno Adji antara rechtstaat dan rule of law memiliki basis yang sama. Menurut Seno Adji, konsep rule of law hanya pengembangan semata dari konsep rechtstaats. Sedangkan antara konsep rule of law dengan socialist legality mengalami perkembangan sejarah dan idiologi yang berbeda, dimana rechtstaat dan rule of law berkembang di negara Inggris, Eropa kontinental dan Amerika Serikat sedangkan socialist legality berkembang di negara-negara komunis dan sosialis. Namun ketiga konsep itu lahir dari akar yang sama, yaitu manusia sebagai titik sentral (antropocentric) yang menempatkan rasionalisme, humanisme serta sekularisme sebagai nilai dasar yang menjadi sumber nilai
Pada sisi lain konsep nomokrasi Islam dan konsep negara hukum Pancasila menempatkan nilai-nilai yang sudah terumuskan sebagai nilai standar atau ukuran nilai. Konsep nomokrasi Islam mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung pada Al Qur’an dan Sunnah sedangkan negara hukum Pancasila menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai standar atau ukuran nilai sehingga kedua konsep ini memiliki similiaritas yang berpadu pada pengakuan adanya nilai standar yang sudah terumuskan dalam naskah tertulis. Disamping itu kedua konsep ini menempatkan manusia, Tuhan, agama dan negara dalam hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan dari sisi waktu ternyata konsep negara hukum berkembang dinamis dan tidak statis. Tamanaha ( Lihat Tamanaha: 2006 : 91-1001) mengemukakan dua versi negara hukum yang berkembang yaitu versi formal dan versi substantif yang masing-masing tumbuh berkembang dalam tiga bentuk. Konsep negara hukum versi formal dimulai dengan konsep rule by law dimana hukum dimaknai sebagai instrument tindakan pemerintah. Kemudian berkembang dalam bentuk formal legality, dimana konsep hukum diartikan sebagai norma yang umum, jelas, prospektif dan pasti. Sedangkan perkembangan terakhir dari konsep negara hukum versi formal adalah democracy and legality, dimana kesepakatanlah yang menentukan isi atau substansi hukum. Sedangkan versi substantif konsep negara hukum berkembang dari individual rights, dimana privacy dan otonomi individu serta kontrak sebagai landasan yang paling pokok. Kemudian berkembang pada prinsip hak-hak atas kebebasan pribadi dan atau keadilan (dignity of man) serta berkembang menjadi konsep social welfare yang mengandung prinsip-prinsip substantif, persamaan, kesejahteraan serta kelangsungan komunitas.
Menurut Tamanaha konsepsi formal dari negara hukum ditujukan pada cara dimana hukum diumumkan (oleh yang berwenang), kejelasan norma dan dimensi temporal dari pengundangan norma tersebut. Konsepsi formal negara hukum tidak ditujukan kepada penyelesaian putusan hukum atas kenyataan hukum itu sendiri, dan tidak berkaitan dengan apakah hukum itu hukum yang baik atau jelek. Sedangkan konsepsi substantif dari negara hukum bergerak lebih dari itu, dengan tetap mengakui atribut formal yang disebut di atas. Konsepsi negara hukum substantif ingin bergerak lebih jauh dari itu. Hak-hak dasar atau derivasinya adalah menjadi dasarnya konsep negara hukum substantif. Konsep tersebut dijadikan sebagai fondasi yang kemudian digunakan untuk membedakan antara hukum yang baik yang memenuhi hak-hak dasar tersebut dan hukum yang buruk yang mengabaikan hak-hak dasar. Konsep formal negara hukum fokus pada kelayakan sumber hukum dan bentuk legalitasnya sementara konsep substantif juga termasuk persyaratan tentang isi dari norma hukum.
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah perubahan menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Semula istilah negara hukum hanya dimuat pada Penjelasan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaats), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Persoalannya apakah yang dimaksud dengan rechtstaat dalam konsepsi UUD 1945 dan bagaimana impelementasinya dalam kehidupan negara. Dengan dasar kerangka berpikir di atas dalam kajian singkat ini, hendak menguraikan secara ringkas bagimana konsep negara hukum Indonesia dan perbedaannya dengan konsep rechtstaat atapun rule of law serta perkembangan pemahaman dan konsepnya pada tingkat implementasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan hukum dalam praktik (law in action).
2. Konsepsi Negara Hukum Indonesia dan Perbandingannya dengan Konsep Lainnya
Pada awalnya konsep negara hukum sangat lekat dengan tradisi politik negara-negara Barat, yaitu freedom under the rule of law. Karena itu menurut Tamanaha (Ibid: 2) liberalisme yang lahir pada akhir abad ke-17 awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep negara hukum dan negara hukum pada masa kini secara keseluruhan dipahami dalam istilah liberalisme. Tamanaha menulis “… every version of liberalism reserve and essential place for the rule of law, and the rule of law today is thoroughly understood in the terms of liberalism.” Akan tetapi di atas segala-galanya dari liberalisme dalam tradisi politik Barat adalah kebebasan individu, seperti dalam terminologi klasik yang dikemukakan oleh John Stuart Mill “.. the only freedom which divers the name, is that of pursuing our own good in our own way, so long as we do not attempt to deprive others of theirs or impede their efforts to obtain it”, (seperti dikutip Tamanaha: Ibid. : 32). Dibawah hakekat kebebasan setiap individu adalah merdeka untuk mengejar cita-citanya tentang kebaikan. Setiap orang juga mempunyai hak untuk diberi hukuman dan mendapatkan penggantian atas pelanggaran hak-hak dasarnya oleh orang lain. Akan tetapi kebebasan bukanlah berarti melakukan apa saja yang disukainya, sehingga kemudian setiap orang berada di bawah ancaman yang sama yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu Immanuel Kant berkesimpulan kebebasan adalah hak untuk melakukana apapun yang sesuai hukum.
Menurut Tamanaha (Ibid: 34-35), ada empat tema pokok yang menjadi landasan liberalisme Barat, yaitu pertama; setiap orang bebas dalam lingkup dimana hukum dibuat secara demokratis, dimana setiap orang adalah pengatur sekaligus yang diatur, tentunya mereka wajib taat hukum, kedua; setiap orang bebas dalam lingkup dimana pejabat pemerintah diharuskan bertindak berdasarkan hukum yang berlaku, ketiga; setiap orang bebas sepanjang pemerintahan dibatasi dari pelanggaran atas diganggunya otonomi individu, serta keempat; kebebasan mengalami kemajuan ketika kekuasaan dipisahkan dalam beberapa kompartemen dengan tipe legislatif–eksekutif dan yudikatif. Dari landasan pemikiran itulah yang melahirkan konsep negara hukum Barat seperti yang dikemukakan oleh Julius Stahl (seperti dikutip Jimly Asshiddiqie, 2006: 152) yang mengemukakan empat elemen penting dari negara hukum yang diistilahkannya dengan rechtstaat, yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan pemerintahan negara, pemerintahan dilaksanakan berdasarkan undang-undang serta peradilan tata usaha negara. Kemudian Dicey ( Lihat Dicey, 1952: 2002–203) yang dianggap sebagai teoretisi pertama yang mengembangkan istilah rule of law dalam tradisi hukum Anglo-Amerika, rule of law mengandung tiga elemen penting yang secara ringkas dapat dikemukakan, yaitu absolute supremacy of law, equality before the law dan due process of law, dimana ketiga konsep ini sangat terkait dengan kebebasan individu dan hak-hak asasi manusia.
Kesemua konsep negara hukum Barat tersebut bermuara pada perlindungan atas hak-hak dan kebebasan individu yang dapat diringkas dalam istilah “dignity of man” dan pembatasan kekuasan serta tindakan negara untuk menghormati hak-hak individu yang harus diperlakukan sama. Karena itulah harus ada pemisahan kekuasaan negara untuk menghindari absolutisme satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya serta perlunya lembaga peradilan yang independen untuk mengawasi dan jaminan dihormatinya aturan-aturan hukum yang berlaku, yang dalam praktik negara-negara Eropa kontinental memerlukan peradilan administrasi negara untuk mengawasi tindakan pemerintah agar tetap sesuai dan konsisten dengan ketentuan hukum. Pandangan negara hukum Barat didasari oleh semangat pembatasan kekuasaan negara terhadap hak-hak indivu.
Pada sisi lain konsep rule of law ditentang oleh para ahli hukum yang menganut paham Marxis yang memperkenalkan istilah socialist legality. Jika konsep rule of law ditujukan pada satu titik sentral, yaitu dignity of man sehingga kekuasaan negara harus dibatasi maka dalam konsep sosialist legality, hukum sebagai guiding principles yang meliputi segala aktivitas dari organ-organ negara, pemerintahnya, pejabat-pejabatnya serta warga-warganya. Dalam kaitan ini Oemar Seno Adji berkesimpulan bahwa socialist legality lebih memberi kemungkinan bagi uniformitas dan similiaritas dalam asa-asanya daripada variatas yang bermacam-macam. Ia dapat dikembalikan kepada putusan Lenin mengenai “On the precise observance of laws” yang menghendaki agar supaya semua warga negara, organ-organ negara dan pejabat-pejabat mematuhi hukum dan dektrit-dekrit dari penguasa Uni Sovyet (Oemar Seno Adji, 1980: 13). Hak-hak individu dalam konsep socialist legality tetap dihormati, akan tetapi harus dikaitkan dengan dan tunduk pada cita-cita masyarakat sosialis. Karena itu pembatasan tidak saja difokuskan pada kekuasaan negara terhadap individu tetapi juga pada kebebasan individu terhadap negara dan cita masyarakat sosialis. Demikian juga pengadilan yang independen diakui, tetapi memberikan hak kepada pemerintah untuk memberikan rekomendasi, usul dan saran. Walaupun Uni Soviet sudah runtuh sebagai sebuah negara namun konsep socialist legality tetap memiliki pengaruh dan menjadi kajian yang menarik sebagai sumber pengembangan konsep negara hukum pada masa kini dan ke depan.
Setelah mengkaji perkembangan praktik negara-negara hukum moderen Jimly Asshiddieqie (lihat Jimly Asshiddiqie, 2006: 151–162), sampai pada kesimpulan bahwa ada 12 prinsip pokok negara hukum (rechtstaat) yang berlaku di zaman sekarang, yaitu sumpremasi hukum (supremacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata uasaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara serta trasnparansi dan kontrol sosial. Keduabelas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara hukum moderen dalam arti yang sebenarnya.
Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai genus begrip yang tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep negara hukum yang dikenal di Barat. Jika membaca dan memahami apa yang dibayangkan oleh Soepomo ketika menulis Penjelasan UUD 1945 jelas merujuk pada konsep rechtstaat. Karena negara hukum dipahami sebagai konsep Barat, Satjipto Raharjo (Lihat Satjipto Rahardjo, 2006: 48) sampai pada kesimpulan bahwa negara hukum adalah konsep moderen yang tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Negara hukum adalah bangunan yang “dipaksakan dari luar”. Lebih lanjut menurut Satjipto, proses menjadi negara hukum bukan menjadi bagian dari sejarah sosial politik bangsa kita di masa lalu seperti terjadi di Eropa.
Akan tetapi apa yang dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang tertuang dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, demikian juga rumusan terakhir negara hukum dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah suatu yang berbeda dengan konsep negara hukum Barat dalam arti rechtstaat maupun rule of law. Dalam banyak hal konsep negara hukum Indonesia lebih mendekati konsep socialist legality, sehingga ketika Indonesia lebih mendekat pada sosialisme, Wirjono Prodjodikoro berkesimpulan negara bahwa Indonesia menganut “Indonesia socialist legality”. Akan tetapi istilah tersebut ditentang oleh Oemar Seno Adji yang berpandangan bahwa negara hukum Indonesia bersifat spesifik dan banyak berbeda dengan yang dimaksud socialist legality.
Karena terinspirasi dari konsep negara hukum Barat dalam hal ini rechtstaat maka UUD 1945 menghendaki elemen-elemen rechtstaat maupun rule of law menjadi bagian dari prinsip-prinsip negara Indonesia. Bahkan secara tegas rumusan penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Rumusan Penjelasan UUD mencerminkan bahwa UUD 1945 menghendaki pembatasan kekuasaan negara oleh hukum.
Untuk mendapatkan pemahaman utuh terhadap negara hukum Pancasila harus dilihat dan diselami ke dalam proses dan latar belakang lahirnya rumusan Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kehendak lahirnya negara Indonesia serta sebagai dasar filosofis dan tujuan negara. Dari kajian dan pemahaman itu, kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa konsep negara hukum Pancasila disamping memiliki kesamaan tetapi juga memiliki perbedaan dengan konsep negara hukum Barat baik rechtstaat, rule of law maupun socialist legality. Seperti disimpulkan oleh Oemar Seno Adji, antara konsep negara hukum Barat dengan negara hukum Pancasila memiliki “similarity” dan “divergency”.
Jika konsep negara hukum dalam pengertian – rechtstaat dan rule of law – berpangkal pada “dignity of man” yaitu liberalisme, kebebasan dan hak-hak individu (individualisme) serta prinsip pemisahan antara agama dan negara (sekularisme), maka latar belakang lahirnya negara hukum Pancasila didasari oleh semangat kebersamaan untuk bebas dari penjajahan dengan cita-cita terbentuknya Indonesia merdeka yang bersatu berdaulat adil dan makmur dengan pengakuan tegas adanya kekuasaan Tuhan. Karena itu prinsip Ketuhanan adalah elemen paling utama dari elemen negara hukum Indonesia.
Lahirnya negara hukum Pancasila menurut Padmo Wahyono (lihat Tahir Azhary, 2003: 96) berbeda dengan cara pandang liberal yang melihat negara sebagai suatu status tertentu yang dihasilkan oleh suatu perjanjian bermasyarakat dari individu-individu yang bebas atau dari status “naturalis” ke status “civis” dengan perlindungan terhadap civil rights. Tetapi dalam negara hukum Pancasila terdapat anggapan bahwa manusia dilahirkan dalam hubungannya atau keberadaanya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu negara tidak terbentuk karena perjanjian atau “vertrag yang dualistis” melainkan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…”. Jadi posisi Tuhan dalam negara hukum Pancasila menjadi satu elemen utama bahkan menurut Oemar Seno Adji (Lihat Oemar Seno Adji, 1980: 25) merupakan “causa prima”. Begitu pentingnya prinsip Ketuhanan ini dalam negara Indonesia menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai prinsip pertama dari dasar negara Indonesia. Begitu pentingnya dasar Ketuhanan ketika dirumuskan oleh para founding fathers negara kita dapat dibaca pada pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara (philosophische grondslag ) yang menyatakan :
“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan”.
Pidato Soekarno ini, nampaknya merupakan rangkuman pernyataan dan pendapat dari para anggota BPUPK dalam pemandangan umum mengenai dasar negara yang dimulai sejak tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni itu. Kesemuanya mengemukakan pentingnya dasar Ketuhanan ini menjadi dasar negara, terutama pandangan dan tuntutan dari para tokoh Islam yang menghendaki negara berdasarkan Islam. Dengan demikian negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum Barat yang menganut hak asasi dan kebebasan untuk ber-Tuhan maupun tidak ber-Tuhan, serta tidak memungkinkan kampanye anti Tuhan maupun anti agama dalam konsep socialist legality.
Demikian juga posisi agama dalam hubungannya dengan negara yang tidak terpisahkan. Walaupun terdapat sebahagian para founding fathers menghendaki agar agama dipisahkan dengan negara akan tetapi pada tanggal 22 Juni 1945 disepakati secara bulat oleh panitia kecil hukum dasar dan diterima penuh dalam Pleno BPUPK mengenai Mukaddimah UUD atau yang disebut Piagam Jakarta, dasar negara yang pertama adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”. Artinya sejak awal para founding fathers menyadari betul betapa ajaran agama ini menjadi dasar negara yang pokok, khususnya ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dalam perkembangannya Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, mengadopsi Piagam Jakarta dikurangi tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” dan tujuh kata ini diganti dengan kata-kata: “Yang Maha Esa” yang dimaknai sebagai Tauhid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa naskah Piagam Jakarta merupakan materi utama Pembukaan UUD 1945. Piagam Jakarta kembali memperoleh tempat ketika Dektrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 menempatkan kedudukan Piagam Jakarta sebagai “menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Dengan demkian posisi agama dalam negara hukum Pancasila tidak bisa dipisahkan dengan negara dan pemerintahan. Agama menjadi satu elemen yang sangat penting dalam negara hukum Pancasila. Negara hukum Indonesia tidak mengenal doktrin “separation of state and Curch”. Bahkan dalam UUD 1945 setelah perubahan nilai-nilai agama menjadi ukuran untuk dapat membatasi hak-hak asasi manusia (lihat Pasal 28J UUD 1945). Negara hukum Indonesia tidak memberikan kemungkinan untuk adanya kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi anti agama serta tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan. Elemen inilah yang merupakan salah satu elemen yang menandakan perbedaan pokok antara negara hukum Indonesia dengan hukum Barat. Sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan negara, pembentukan hukum, pelaksanaan pemerintahan serta peradilan, dasar ketuhanan dan ajaran serta nilai-nilai agama menjadi alat ukur untuk menentukan hukum yang baik atau hukum buruk bahkan untuk menentukan hukum yang konstitusional atau hukum yang tidak konstitusional.
Di samping kedua perbedaan di atas negara hukum Indonesia memiliki perbedaan yang lain dengan negara hukum Barat, yaitu adanya prinsip musyawarah, keadilan sosial serta hukum yang tuntuk pada kepentingan nasional dan persatuan Indonesia yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Prinsip musyawarah dan keadilan sosial nampak sederhana, tetapi mengandung makna yang dalam bagi elemen negara hukum Indonesia.
Prinsip musyawarah merupakan salah satu dasar yang pokok bagi hukum tata negara Indonesia sehingga merupakan salah satu elemen negara hukum Indonesia. Apa yang nampak dalam praktik dan budaya politik ketatanegaraan Indonesia dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara terlihat jelas bagaimana prinsip musyawarah ini dihormati. Pembahasan undang-undang antara pemerintah dan DPR yang dirumuskan sebagai pembahasan bersama dan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden merupakan implementasi prinsip musyawarah dalam hukum tata negara Indonesia. Demikian juga dalam budaya politik di DPR, perdebatan dalam usaha mendapatkan keputusan melalui musyawarah adalah suatu kenyataan politik yang betul-betul diterapkan. Prinsip musyawarah memberikan warna kekhususan dalam hubungan antarlembaga negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia jika dikaitkan dengan teori pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Artinya pemisahan kekuasaan yang kaku, dapat dicairkan dengan prinsip musyawarah. Rusaknya hubungan antara Presiden dan DPR serta MPR seperti tercermin dalam pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Soekarno adalah akibat telah buntunya musyawarah.
Prinsp keadilan sosial menjadi elemen penting berikutnya dari negara hukum Indonesia. Atas dasar prinsip itu, kepentingan umum, kepentingan sosial pada tingkat tertentu dapat menjadi pembatasan terhadap dignity of man dalam elemen negara hukum Barat. Dalam perdebatan di BPUPK, prinsip keadilan sosial didasari oleh pandangan tentang kesejahteraan sosial dan sifat kekeluargaan serta gotong royong dari masyarakat Indonesia, bahkan menurut Soekarno jika diperas lima sila itu menjadi eka sila maka prinsip gotong royong itulah yang menjadi eka sila itu. Dalam hal ini Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 berkata:
“sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesumo buat Indonesia bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia – semua buat semua. Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, yang tiga menjadi satu maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu perkataan “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan adalah negara gotong royong”.
Prinsip terakhir negara hukum Indonesia adalah elemen dimana hukum mengabdi pada kepentingan Indonesia yang satu dan berdaulat yang melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Indonesia dari Sabang sampai Merauku yang masing-masing memiliki adat dan istiadat serta budaya yang berbeda. Hukum harus mengayomi seluruh rakyat Indonesia yang beragam sebagai satu kesatuan.
Dengan dasar-dasar dan elemen negara hukum yang spesifik itulah dapat dipahami perubahan UUD 1945 ketika mengadopsi hak-hak asasi manusia, diadopsi pula pembatasan hak-hak asasi yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan serta ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa elemen negara hukum Indonesia disamping mengandung elemen negara hukum dalam arti rechtstaat maupun rule of law, juga mengandung elemen-emelemen yang spesifik yaitu elemen Ketuhanan serta tidak ada pemisahan antara agama dan negara, elemen musyawarah, keadilan sosial serta persatuan Indonesia.
3. Negara Hukum Indonesia dan Prinsip Konstitusionalisme
Unsur-unsur negara hukum Indonesia sebagai sebuah konsep seperti telah diuraikan di atas adalah nilai yang dipetik dari seluruh proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum negara Indonesia. Dengan demikian posisi Pembukaan ini menjadi sumber hukum yang tertinggi bagi negara hukum Indonesia. Perubahan UUD 1945 (dalam Perubahan Keempat) mempertegas perbedaan posisi dan kedudukan antara Pembukaan dengan pasal-pasal UUD 1945. Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menegaskan bahwa UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal. Hanya pasal-pasal saja yang dapat menjadi objek perubahan sedangkan Pembukaan tidak dapat menjadi objek perubahan.
Pembukaan UUD 1945 memiliki nilai abstraksi yang sangat tinggi sehingga kita hanya dapat menimba elemen-elemen yang sangat mendasar bagi arah pembangunan negara hukum Indonesia. Nilai yang terkandung dalam pembukaan itulah yang menjadi kaedah penuntun bagi penyusunan pasal-pasal UUD 1945 sehinga tidak menyimpang dari nilai-nilai yang menjadi dasar falsafah dan cita negara Indonesia. Dalam tingkat implementatif, bagaimana kongkritnya negara hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara harus dilihat pada pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Kaedah-kaedah yang terkandung dalam pasal-pasal UUD-lah yang menjadi kaedah penuntun bagi pelaksanaan pemerintahan negara yang lebih operasional. Konsistensi melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi itulah yang dikenal dengan prinsip konstitusionalisme. Karena itu, jika konsep negara hukum bersifat abstrak maka konsep konstitusionalisme menjadi lebih nyata dan jelas.
Konstitusionalisme merupakan faham pembatasan kekuasaan negara dalam tingkat yang lebih nyata dan operasional. Pasal undang-undang dasar mengatur lebih jelas mengenai jaminan untuk tidak terjadinya monopoli satu lembaga kekuasaan negara atas lembaga kekuasaan negara yang lainnya, kewenangan masing masing lembaga negara, mekanisme pengisian jabatan-jabatan bagi lembaga negara, hubungan antarlembaga negara serta hubngan antara negara dengan warga negara yang mengandung jaminan kebebasan dasar manusia yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara. Seperti dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie ( Jimli Asshiddiqie, 2006: 144), konstitusi dimaksudkan untuk mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan kekuasaan organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga yang satu dengan yang lain serta mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
Pada tingkat implementasi pelaksanaan kekuasaan negara baik dalam pembentukan undang-undang, pengujian undang-undang maupun pelaksanaan wewenang lembaga-lembaga negara dengan dasar prinsip konstitusionalisme harus selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan UUD. Karena pasal-pasal UUD tidak mungkin mengatur segala hal mengenai kehidupan negara yang sangat dinamis, maka pelaksanaan dan penafsiran UUDi dalam tingkat implementatif harus dilihat pada kerangka dasar konsep dan elemen-elemen negara hukum Indonesia yang terkandung pada Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung Pancasila. Sehingga pasal-pasal UUD 1945 menjadi lebih hidup dan dinamis. Pembentuk undang-undang maupun Mahkamah Konstitusi memliki ruang penafsiran yang luas terhadap pasal-pasal UUD 1945 dalam frame prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
4. Kecermatan Dalam Pembentukan Hukum
Pembentukan hukum baik yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang yang terdiri dari DPR dan Presiden maupun Mahkamah Konstitusi – dalam makna legislasi negatif seperti istilah Jimly Asshiddiqie – dilakukan melalui proses yang panjang dan berliku. Pada praktiknya pembentukan hukum, paling tidak melibatkan proses dan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
- ketentuan-ketentuan UUD 1945
- situasi dan kekuatan politik berpengaruh pada saat undang-undang itu dibuat
- pandangan dan masukan dari masyarakat
- perkembangan internasional dan perbandingan dengan negara lain
- kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, serta
- cara pandang para pembentuk undang-undang terhadap dasar dan falsafah negara
- Pengaruh teori dan akademisi.
Titik rawan dari pembentukan hukum agar sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum Indonesia adalah pada pengaruh dan perkembangan ketentuan dari negara lain serta pandangan akademisi yang sangat dipengaruhi oleh kerangka teori yang hanya bersumber dari negara lain. Pengaruh itu dapat diperoleh dari studi banding ke negara lain maupun pandangan akademisi baik dari dalam maupun luar negeri. Pernyataan ini tidak dimaksudkan sebagai keengganan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan negara-negara lain atau perkembangan internasional atau teori yang berkembang dari luar, akan tetapi lebih dimaksudkan sebagai kehati-hatian dan kecermatan agar hukum yang dibuat sesuai dengan kondisi Indonesia dan cita negara hukum Indonesia. Karena itu alat ukur dan verifikasi terakhir atas seluruh pembentukan hukum harus dilihat dalam kerangka elemen prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan disamping pasal-pasal UUD 1945. Di sinilah kita letakkan nilai Pancasila dalam Pembukaan sebagai norma standar bagi negara hukum Indonesia .
5. Kesimpulan
Negara hukum dalam perspektif Pancasila yang dapat diistilahkan sebagai negara hukum Indonesia atau negara hukum Pancasila disamping memiliki elemen-elemen yang sama dengan elemen negara hukum dalam rechtstaat mauapun rule of law, juga memiliki elemen-elemen yang spesifik yang menjadikan negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal secara umum. Perbedaan itu terletak pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung Pancasila dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta tidak adanya pemisahan antara negara dan agama, prinsip musyawarah dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara, prinsip keadilan sosial, kekeluargaan dan gotong royong serta hukum yang mengabdi pada keutuhan negara kesatuan Indonesia.
Pembentukan hukum baik oleh pembentuk undang-undang maupun oleh Mahkamah Konstitusi harus menjadikan keseluruhan elemen negara hukum itu dalam satu kesatuan sebagai nilai standar dalam pembentukan maupun pengujian undang-undang. Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengemukakan pandangan Prof. Dr. Satjipto Raharjo (lihat Satjipto Rahardjo, 2006: 53) mengenai keresahannya terhadap negara hukum Indonesia dengan suatu harapan bahwa hukum hendaknya membuat rakyat bahagia, tidak menyulitkan serta tidak menyakitkan. Di atas segalanya dari perdebatan tentang negara hukum, menurut Prof. Satjipto kita perlu menegaskan suatu cara pandang bahwa negara hukum itu adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa Indonesia, bukan sebaliknya. Hukum tidak boleh menjadikan kehidupan lebih sulit. Inilah yang sebaiknya menjadi ukuran penampilan dan keberhasilan (standard of performance and result) negara hukum Indonesia.
————————000——————————
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan konstitusional Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 195 -1959, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Cet.2, 2001, Terjemahan dari judul asli The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: a Socio-Legal Study of the Indonesia Konstituante
——-, Arus Pemikiran Konstitusionalisme, Hukum Tata Negara, Kataharta Pustaka, Jakarta,
Azhary, Tahir., Negara Hukum, Suatu Study tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, 2003.
Bagir Manan, Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia, Makalah, 1999.
Dicey, A.V., Introduction to the study of the Law and the Constitution, Ninth Edition, MacMilland and CO, London 1952
Douglas Greenberg, Stanley N. Katz, at.al., (Editor), Constitutionalism and Democracy, Transition in the Contemporary World, (The American Councel of Learned Sociaties Comparative Constitutionalism Papers), Oxford University Press, New York, 1993
Dyzenhaus, David, Legality and Legitimacy, Carl Schmith, Hans Kelsen and Hermann Heller in Weimar, Oxord University Press, New York, 1999.
Fleming, James, E., Securing Constitutional Democracy, The Case of Autonomy, The University of Chicago Press, USA, 2006
Harahap, Krisna, Konstitusi Republik Indonesia, Grafitri Budi Utami, 2004.
Hart, H.L.A., The Concept of Law, Clarendon Law Series, Second Edition, Oxford University Press, New York, 1997
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, the Presiden of Fellows of Harvard College, Russel & Russel, 1961
Melvin J.Vrofsky, Introduction: The Prinsiples of Democracy, dalam Democracy Papers. 2001.
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas, Negara Hukum, Erlangga Jakarta, 1980
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakulats Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan Hukum Indonesia, Cet. Kedua, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1976.
Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Jakarta 2004, Diterjemahkan dari Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their Hystory and Existing Form, karya J.F.Strong, O.B.E.,M.A.Ph.D., The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, Lonon, 1966.
Tamanaha, Brian Z, On The Rule of Law, History, Politics, Theory, Cambridge University Press, Edisi Keempat, 2006
Wittington, Keith, E., Constitutional Construction, Divided Powers and Constitutional Meaning, Harvard University Press, USA, 2001.
Zoelva, Hamdan, Impeachment Presiden. Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
Tulisan ini adalah makalah yang dismapikan pada Seminar Negara Hukum di UGM Yogyakarta, tanggal 31 Mei 2009, dalam rangka memperingati hari lahrnya Pancasila.
HAMDAN ZOELVA
Lahir di Bima, 21 Juni 1962. Kandidat Doktor dalam Bidang Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung, Magister Hukum Universitas Padjadjaran, 2004, dan Sarjana Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 1986. Sejak tahun 1987 sampai sekarang aktif sebagai advokat berkedudukan di Jakarta.
Anggota DPR RI periode 1999–2004, Anggota Panitia Ad Hoc III/I Badan Pekerja MPR periode 1999–2004 yang membahas dan merumuskan Rancangan Perubahan UUD 1945. Aktif di politik sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang periode 2005–2010, Sekretaris Forum Konstitusi, Anggota Tim Ahli Pimpinan MPR RI mengenai Perubahan UUD 1945, juga aktif dalam berbagai seminar, diskusi serta sosialisasi mengenai UUD 1945.
Buku:
Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, penerbit Konstitusi Press, 2005.
Anggota Tim Penyusun Buku-buku:
- Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi bagi Pelajar SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA, penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
- Naskah Konprehensif Perubahan UUD 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, penerbit Sekretariat Jenderal dan Mahkamah Konstitusi.
- Risalah Perubahan UUD 1945, Perubahan Pertama s.d. Perubahan Keempat, penerbit Sekretariat Jenderal MPR RI.
“Menjernihkan Tafsir Pancasila”
Senin, 16 Mei 2011
Dr. Adian Husaini
HARIAN Republika, Rabu (11/5) menurunkan  berita berjudul:  “Kembalikan Pancasila dalam Kurikulum”. Berita itu mengungkap pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mempertanyakan mengapa Pendidikan Pancasila hilang di kurikulum pendidikan. Kata Aburizal, Pancasila tidak boleh dikerdilkan dengan hanya menjadi bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
“Sikap Partai Golkar jelas, kembalikan materi pendidikan Pancasila menjadi bagian dari kurikulum pendidikan secara khusus, karena materinya harus diajarkan secara tersendiri,” kata Aburizal Bakrie.
Menurut Aburizal Bakrie, penghapusan pendidikan Pancasila adalah sebuah upaya memotong anak bangsa ini dari akar budayanya sendiri. Pancasila adalah pintu gerbang  masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong, budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan, dan toleransi beragama.
Demikian seruan Partai Golkar tentang Pancasila sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umumnya.  Akhir-akhir ini kita sering mendengar seruan berbagai pihak tentang Pancasila.  Tentu saja, ini bukan hal baru. Berbagai seminar, diskusi, dan konferensi telah digelar untuk mengangkat kembali “nasib Pancasila” yang terpuruk, bersama dengan berakhirnya rezim Orde Baru, yang sangat rajin mengucapkan Pancasila.
Partai Golkar atau siapa pun yang menginginkan diterapkannya di Pancasila, seyogyanya bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif  sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.
Contoh terkenal dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang sempat berpengaruh besar dalam penataan kebijakan politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru. Mayjen TNI (Purn) Ali Moertopo yang pernah menjadi asisten khusus Presiden Soeharto merumuskan Pancasila sebagai “Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah agama.  “Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh negara, maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau melarang siapa saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja.”
Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang masalah ini:
“Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan bahwa Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); atau bahwa Tuhan berjumlah banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila. Pun pula jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila.” (J.B. Soedarmanta, Pater Beek S.J., Larut tetapi Tidak Hanyut).
Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Drs. R.M. S.S. Mardanus S.Hn.,  dalam bukunya, “Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila”,  (1968), menulis:“Begitu pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan tidak sekaligus harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan, yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu agama, karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan.”
Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya, ”Ketuhanan di Indonesia” (Semarang, 1968), menulis: “Apakah orang yang tidak beragama harus dipandang ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit yang percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu.” (Dikutip dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, (Semarang: Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35).
Padahal, jika dicermati dengan jujur,  rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo,  menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125.)
Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
Sebenarnya, sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot dalam mempertahankan rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah.  Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. Ia, misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan.  Tapi, karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar “Ketuhanan”, sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk akal dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan. (Ibid).
Dalam bukunya, “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”.  Syafii Maarif selanjutnya menulis: “Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam.”  Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan  sila pertama menurut agama mereka masing-masing.  (hal. 31).
Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan Tauhid, juga ditegaskan oleh tokoh NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan:
Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (Dikutip dari buku Kajian Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama 1975-1990, disunting oleh Sudjangi (Jakarta: Balitbang Departemen Agama, 1991-1992).
Jika para tokoh Islam di Indonesia memahami makna sila pertama dengan Tauhid, tentu ada baiknya para politisi Muslim seperti Aburizal Bakrie dan sebagainya berani menegaskan, bahwa tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia, haram hukumnya disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya, men-SATU-kan Allah. Yang SATU itu harus Allah, nama dan sifat-sifat-Nya.  Allah dalam makna yang dijelaskan dalam konsepsi Islam, yakni Allah yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan; bukan Allah seperti dalam konsep kaum Musyrik Arab, atau dalam konsep lainnya.
Kata “Allah” juga muncul di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah….”. Sulit dibayangkan, bahwa konsepsi Allah di situ bukan konsep Allah seperti yang dijelaskan dalam al-Quran. Karena itu, tidak salah sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut.
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
Kaum Muslim perlu mencermati kemungkinan adanya upaya sebagian kalangan untuk menjadikan Pancasila sebagai alat penindas hak konsotistusional umat Islam, sehingga setiap upaya penerapan ajaran Islam di bumi Indonesia dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Dalam ceramahnya saat Peringatan Nuzulul Quran, Mei 1954, Natsir sudah mengingatkan agar tidak terburu-buru memberikan vonis kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam  akan menghapuskan Pancasila. Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada Proklamasi. ”Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi,” kata Natsir. Lebih jauh Natsir menyampaikan, ”Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita”
Natsir juga meminta agar Pancasila dalam perjalannya tidak diisi dengan ajaran-ajaran yang menentang al-Quran, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar bangsa Indonesia. (M. Natsir, Capita Selecta 2).
Contoh penyimpangan penafsiran Pancasila pernah dilakukan dengan proyek indoktrinasi melalui Program P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar Negara. Tetapi, lebih dari itu, Pancasila dijadikan landasan moral yang seharusnya menjadi wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah berlebihan.  Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981,  mantan anggota DPR dari PPP, Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala Perongrongan Agama”.   Sejarawan dan budayawan Betawi ini mengupas dengan tajam pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4.
”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”
Kuatnya pengaruh Islamic worldview dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 – termasuk Pancasila – terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting. Salah satu makna adab adalah pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad saw sebagai Nabi, utusan Allah. Menserikatkan Allah dengan makhluk – dalam pandangan Muslim – bukanlah tindakan yang beradab.
Meletakkan manusia biasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan utusan Allah SWT tentu juga tidak beradab. Menempatkan pezina dan penjahat lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan orang yang bertaqwa, jelas sangat tidak beradab.
Jadi, jika Golkar atau siapa pun bersungguh-sungguh menegakkan Pancasila di Indonesia, siapkah Golkar menegakkan Tauhid dan adab di bumi Indonesia? Wallahu a’lam bil-sahawab.*
Paparan lebih lengkap tentang Pancasila bisa dilihat dalam buku: Adian Husaini, “Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam” (Jakarta: GIP, 2010).

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM

Antara PancaSila, Rukun Islam, dan AL-QUR’AN

01:04  IBRAHIM AGHIL

1. KETUHANAN YANG MAHA ESA. [AQIDAH]
1. DUA KALIMAT SYAHADAT. [AQIDAH]
-AQIDAH merupakan Pondasi dan Dasar, menempati prioritas Pertama. Pengakuan bahwa TUHAN itu Hanya SATU. Tuhan yang maha Kuasa, tidak Membutuhkan bantuan tuhan2 laen untuk mlaksanakan kehendak-NYA, karena DIA kuasa atas segala sesuatu. Tuhan yang mulia, tidak sama dengan ciptaannya, tidak beranak dan tidak juga diperanakkan. Dia lah ALLAH, Tuhan yang maha ESA.
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”. [QS.AL-IKHLAS]
2. KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
2. MENDIRIKAN SHOLAT
- SHOLAT, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN.Shalat membutuhkan niat yang benar, kedisiplinan, keikhlasan, dan kebersamaan. Dalam Shalat Berjamaah kita diajari kebersamaan. semua[baik kaya,miskin,rakyat,pejabat,dan apapun pangkatnya] harus taat pada suatu aturan shalat, semua harus menghadap kiblat, jika satu berdiri, maka semua berdiri. jika satu duduk, maka semua harus duduk. Harus ADIL, tidak ada yang di Istimewakan. Karena itu Perintah Sholat selalu disandingkan dengan perintah Zakat yang berarti Sholat itu erat kaitannya dengan keadilan.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” [QS.AL-BAQARAAH:43]
-SHOLAT DAN ADAB. Dalam Sholat kita diajari untuk bersabar, taat peraturan dan adab-adab Sholat. Sehingga Mereka yang benar sholatnya akan menjadi pribadi Yang BERADAB. Menghargai sesama, menebar kebaikan dan mencegah keburukan.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS.AL-'ANKABUUT:45]
3. PERSATUAN INDONESIA
3. MEMBAYAR ZAKAT.
-ZAKAT DAN PERSATUAN. Tujuan dari pelaksanaan zakat adalah untuk meratakan ekonomi, membayarkan hak-hak fakir miskin yangada pada orang kaya, serta menghapuskan kesenjangan sosial yang sering menjadikan perpecahan. Ketika kesenjangan sosial teratasi, tidak ada lagi yang merasa didzholimi maka keharmonisan hidup akan tercipta.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS.AT-TAUBAH:103]
4. KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN, DALAM PERMUSYAWARATAN DAN PERWAKILAN.
4. MENGERJAKAN PUASA.
-PUASA merupakan ibadah yang membutuhkan kesabaran, kekuatan mengendalikan nafsu diri, dan kejujuran. Sehingga mereka yang berpuasa dengan baik, akan menjadi pribadi yang BIJAKSANA, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan perkara. Berpuasa juga dilatih untuk merasakan penderitaan dan kesulitan orang lain,terutama fakir miskin. maka terbentuklah manusia-manusia yang punya rasa tenggang rasa, simpati, dan empati yang merupakan modal utama untuk kelancaran MUSYAWARAH. Puasa melatih kita untuk jujur dan mampu menjaga amanat, meskipun tidak ada orang yang tahu, kita tidak akan makan/minum/mlakukan hal lain yang membatalkan puasa dengan sengaja. dengan begitu maka Orang yang puasanya benar akan mmapu menjadi WAKIL dan melaksanakan PERWAKILANnya dengan baik.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” [QS.AL-BAQARAAH:183]
5. KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
5. PERINTAH HAJI BAGI YANG MAMPU.
- PERINTAH HAJI merupakan perintah yang sangat ADIL. Perintah ini mencerminkan KEADILAN Allah. dalam pelaksanaannya mempertimbangkan keadaan masing-masing individu. Hanya rakyat yang mampu lah yang wajib melaksanakannya. Bagi yang tidak mampu maka gugurlah kewajibannya.
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [QS.ALI-IMRAAN:97] 
Posted in: ,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar