Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal Jatuh 19 Agustus 2012
JAKARTA (VoA-Islam)-
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/08/12/20213/muhammadiyah-tetapkan-1-syawal-jatuh-19-agustus-2012/
Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1433 H jatuh pada hari Ahad, 19 Agustus
2012. Penetapan tersebut merupakan hasil hisab wujudul hilal yang
dilakukan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
"Pada tanggal 19 Agustus hari Ahad Kliwon itu kami menginstruksikan
kepada warga Muhammadiyah dan mengajak umat Islam umumnya untuk
menunaikan shalat Idul Fitri," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr
H. Agung Danarto kepada wartawan di kantor Jl Cik Ditiro Yogyakarta,
beberapa waktu lalu (10/8/2012).
Agung mengatakan dasar perhitungan Muhammadiyah bahwa ijtimak jelang
Syawal 1433 H terjadi pada hari Jumat Pon 17 Agustus 2012 pukul 22:55:50
WIB. Tinggi bulan pada saat terbenamnya matahari di Yogyakarta, -7
derajat 48' = 110 derajat 21' BT adalah -04 derajat 37' 51" hilal belum
wujud.
"Di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenamnya matahari tersebut
bulan berada di bawah ufuk," kata Agung didampingi Ketua dan Wakil
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, Prof Dr Syamsul Anwar dan Oman
Fathurohman.
Syamsul menambahkan penggunaan metode hisab untuk menentukan awal
bulan Kamariah terutama awal puasa, 1 Syawal dan Idul Adha merupakan
salah satu wujud apresiasi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan khususnya
ilmu falak dan ilmu hisab.
Hisab lebih menjamin kepastian dan akurasinya dapat
dipertanggungjawabkan karena batas-batasnya dapat diketahui dengan
jelas. Sedangkan rukyat tidak bisa memberi kepastian.
"Untuk menentukan 1 Ramadan misalnya, harus menunggu H-1. Namun
dengan hisab bisa jauh-jauh hari, 1 tahun, 10 tahun hingga 100 tahun
sudah diketahui. Muhammadiyah menggunakan hisab," kata Syamsul.
Syamsul menegaskan hisab merupakan salah satu upaya kontekstualisasi.
Rukyat pada zaman Nabi Muhammad tidak ada masalah karena umat Islam
hanya ada di Jazirah Arab. Namun saat ini umat Islam sudah menyebar dan
mendunia.
Menurutnya dengan hisab kita bisa memperkecil perbedaan. Metode hisab
untuk menentukan awal bulan kamariah ini ikut mendorong terwujudnya
kalender Islam internasional. "Masalah pelaksanaan waktu puasa di Arafah
yang selama ini belum dapat diatasi dapat segera terselesaikan,"
katanya.
Mengenai keputusan tidak mengikuti sidang isbat saat menentukan awal
puasa, dia menambahkan hal itu merupakan keputusan sidang pleno PP
Muhammadiyah tahun sebelumnya.
"Pertimbangannya praktis saja karena Muhammadiyah sudah bisa
menentukan sebelumnya," pungkas Syamsul diamini Ketua PP Muhammadiyah
Haedar Nashir. Desastian/dbs
Ormas Muhammadiyah Tidak Ikut Sidang Isbat
http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/20/why-puasa-today-tgl-20-juli-2012-alasan-dan-isbat-pemerintah/
Penentuan awal
Ramadhan oleh Muhammadiyah sudah sejak diputuskan pada saat Tanwir
Muhammadiyah di Bandung akhir Juni lalu. Muhammadiyah menetapkan bahwa 1
Ramadhan 1433 H jatuh pada tanggal 20 Juli 2012. 1 Syawal 1433 H jatuh
pada tanggal 19 Agustus, dan 10 Dzulhijjah 1433 H jatuh pada tanggal 26
Oktober 2012. Kemungkinan perbedaan awal ramadhan dengan pemerintah
sangat terlihat jelas, ketika pemerintah menggunakan metode Rukyatul
Hilal, dan tidak mungkin terlihat, karena posisi Indonesia di beberapa
tempat tidak akan terlihat. Muhammadiyah sudah menetapkan lebih dahulu
dalam penentuan awal Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah dengan metode
hisab wujudul hilal. Hal itu disampaikan Drs. H. Oman Fathurohman S.W.,
M.Ag., Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah melalui
telpon kepada redaksi.
Menurut Oman Fathurohman, Ijtimak jelang bulan Ramadan 1433 H
terjadi pada hari Kamis Wage tanggal 19 Juli 2012 pukul 11:25:24 WIB.
Ijtimak ini terjadi pada momen yang sama untuk seluruh muka Bumi, hanya
saja jamnya tergantung pada jam di tempat bersangkutan. Kalau ijtimak
terjadi pada pukul 11:25:24 WIB berarti sama dengan pukul 07:25:24 WAS
(Waktu Arab Saudi) karena selisih waktu WIB dengan Arab Saudi 4 jam.
Dengan ijtimak ini berarti kriteria pertama sudah terpenuhi, tinggal
menguji kriteria kedua dan ketiga. Kriteria kedua dengan mudah
diketahui, karena kalau ijtimak terjadi pada pukul 11:25:24 WIB sudah
dapat dipastikan terjadi sebelum terbenam Matahari pada hari dan tanggal
tersebut. Terbenam Matahari di Yogyakarta pada hari itu pukul 17:39
WIB. Kriteria ketiga juga sudah terpenuhi karena berdasarkan perhitungan
tersebut, pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta tanggal 19 Juli
2012 itu Bulan masih di atas ufuk setinggi 01 ͦ 38’ 40”, artinya pada
saat Matahari terbenam Bulan belum terbenam, jadi hilal sudah wujud.
Dengan demikianNegara-negara yang akan keseluruhan kriteria yang
diperlukan sudah terpenuhi, dan karena ketiga kriteria tersebut sudah
terpenuhi, maka ditetapkanlah tanggal 1 Ramadan 1433 H dimulai pada
saat terbenam Matahari tanggal 19 Juli 2012 dan konversinya dengan
kalender Masehi ditetapkan pada keesokan harinya yaitu tanggal 20 Juli
2012. Itulah sebabnya maka dikatakan tanggal 1 Ramadan 1433 H jatuh pada
hari Jum’at Kliwon 20 Juli 2012.
Terkait dengan posisi Muhammadiyah dalam sidang Isbat yang akan
dilakukan pemerintah yang kali ini diwakili oleh Kementrian Agama RI,
Oman Fathurohman mengatakan sidang Isbat sendiri hanya
mengakomodir suara-suara hasil rukyat. Apabila ada saksi yang melihat
bulan baru di atas 2 ͦ tidak akan diakomodir oleh pemerintah, namun
pemerintah lebih mengakui saksi yang tidak melihat bulan. Muhammadiyah
dengan metode hisabnya justru tidak akan diakomodir. Namun Oman mengaharapkan pemerintah memberikan keputusan tersendiri terhadap umat Islam untuk meyakini tentang awal Ramadhan.
Selanjutnya terkait dengan pernyataan Imam Besar
Masjid Istiqlal Jakarta di tvOne pagi tadi, yang menyarankan agar
Pemerintah RI memiliki undang-undang hari raya, seperti di Malaysia
ketika ada kelompok yang tidak mengikuti Pemerintah, Sultan di Kerajaan
Malaysia berhak memerintahkan polisi untuk menangkap kelompok atau
golongan tersebut. “Pemerintah tidak berhak melakukan tindakan seperti
itu, pertama karena Negara Indonesia bukan Negara Agama, kemudian
pembuatan Undang-undang perlu pembahasan di parlementer, selanjutnya,
seandainya Pemerintah sudah menetapkan undang-undang hari raya tersebut,
berarti pemerintah telah melanggar HAM dan UUD 45 pasal 29,” jawab
tegas Oman Fathurohman.
Mengapa menggunakan hisab, alasannya adalah:
1. Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
2. Hisab mempunyai
peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan
dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh
ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem
penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.
Di pihak lain, rukyat mempunyai beberapa problem:
1. Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal baru bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
2. Rukyat tidak
dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan hari puasa Arafah, dan
justeru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di muka bumi ini berbeda
karena garis kurve rukyat di atas muka bumi akan selalu membelah muka
bumi antara yang dapat merukyat dan yang tidak dapat merukyat,
3. Faktor yang
mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu (1) faktor geometris (posisi
Bulan, Matahari dan Bumi), (2) faktor atmosferik, yaitu keadaan cuaca
dan atmosfir, (3) faktor fisiologis, yaitu kemampuan mata manusia untuk
menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan, (4) faktor psikologis,
yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering mendorong
terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal telah
terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong
canggih, hilal masih mustahil terlihat.
Akhirnya, mudah-mudah logika saya relevan,
Indonesia lebih duluan 4 jam dari tanah Arab, tapi why tanah Arab sudah
mulai berpuasa tapi Indonesia belum..?
Selamat Berpuasa, Ramadhan Kareem
Link terkait
Why Puasa Today Tgl 20 Juli 2012, Alasan dan Isbat Pemerintah
OPINI | 20 July 2012 | 10:33
http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/20/why-puasa-today-tgl-20-juli-2012-alasan-dan-isbat-pemerintah/
Marhaba
Sebagai orang awam dalam hal ilmu agama, maka
saya berprinsip mengikuti Ulama. Nah, saya rasa demikian juga anda para
rekan kompasianer, seperti sekarang ini orang banyak kembali
dibingungkan dalam hal penentuan awal puasa. Disinilah perannya nikmat
akal dan logika serta pentingnya belajar ilmu pengetahuan (astronomi)
seiring perkembangan teknologi dan zaman. Adapun sebab dan penjelasan
(permisi Admin,ini hasil copas ) saya dan sebagian umat berpuasa mulai
hari ini; Jum’at 20 Juli 2012 – 1 Ramadhan 1433 Hijriyah, adalah sebagai
berikut, taal.
Alasan Penentuan Puasa Tgl. 20 Juli 2012
Argumen Muhammadiyah dalam berpegang kepada Hisab seperti yang disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
Pertama,semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan”(QS.
55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan
beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau
diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak
kegunaannya. Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya
untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua,jika spirit Qur’an adalah
hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha
dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat
(beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw
adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan
melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat
Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat
yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan
itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan
hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.”
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya
ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat
melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak
ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi.
Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya,
melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang
oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa
menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam
semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui
hisab.
.
Ketiga,dengan
rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat
meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada
H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam
hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas.
Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat
suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat,rukyat
tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya,
rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk
bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak
mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang
dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.
Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang
selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, dimana tidak dapat
melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat
melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran
artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24
jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima,jangkauan
rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10
jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan
sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik
tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena
keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa
apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk
seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta
astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami
kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam,rukyat
menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah
belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di
Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa
terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki
awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung
barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah
jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan
barat itu menunda masuk bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal
hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender
menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat
memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena
itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara
selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan
pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang
muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan
rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah)
menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati
bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat
Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap
hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan
hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
Sebagaimana diketahui pada garis besarnya sistem penetapan awal
bulan Qamariyah ada dua yaitu hisab dan ru’yah. Kedua sistem ini
bermaksud untuk mengamalkan sabda Rasulullah SAW tentang penentuan awal
bulan khususnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu :
Ru’yatuI hilalyang dalam
istilah astronomi disebut observasi secara langsung awal bulan Ramadhan
dan awal bulan Syawwal yaitu sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Berpuasalah kamu ketika melihat bulan (bulan sabit Ramadhan) dan
berbukalah kamu ketika melihat bulan (bulan Syawwal) maka jika mendung
hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari. (hadis ru’yah,
dalam Kitab Shahihul al-Bukhari, hadis yang ke-940). Menurut prinsip
ru’yat penentuan awal bulan harus dibuktikan dengan melihat bulan sabit
(hilal) di atas ufuk pada hari yang ke 29. Jika hilal tidak berhasil
dilihat karena mendung atau tertutup awan maka harus
diistikmalkan/disempurnakan 30 hari. Ru’yah berasal dari akar kata ra’a
yang artinya melihat dengan mata telanjang sebagaimana di zaman
Rasulullah Saw. Jadi golongan ahli ru’yah ini berpatokan kalau sudah
melihat bulan sabit (baru), baru hidup bulan (datang bulan baru). Kalau
tidak melihat bulan karena mendung atau tertutup awan maka bulan masih
belum hidup (masih tanggal 30), sehingga tanggal satu bulan baru pada
besok lusa. demikianlah pendapat ulama dari kalangan mazhab Syafi’i
antara lain Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfah juz ke IIIhal 374
yang intinya mewajibkan puasa dikaitkan dengan ru’yatul hilal yang
terjadi setelah terbenam mata hari bukan karena wujudnya hilal walaupun
bulan sudah tinggi di atas ufuk kalau bulan tidak terlihat belum masuk
bulan baru.
Sistem hisabmenurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431 H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY. “Hisab
yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode
menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru
dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi
atau ijtima’, ijtima’ itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada
saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.”
Pada prinsipnya hisab berdasarkan sistem ijtima, yaitu antara bumi
dan bulan berada pada satu garis lurus astronomi. Bulan menyelesaikan
satu kali putaran mengelilingi bumi dalam waktu 29 hari 44 menit 27
detik atau satu keliling. Jika ijtima terjadi setelah matahari terbenam
pada hari ke 29 maka besoknya terhitung hari yang ke 30 (bulan baru
belum wujud), tetapi jika ijtima terjadi sebelum mata hari terbenam hari
yang 29 maka besoknya terhitungbulan baru atau tanggal 1. Hisab ini
berdasarkan firman Allah Surah Yunus ayat 5 yang artinya :
Dia-lah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.
Dalam hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim yang artinya: Sebenarnya bulan itu dua puluh sembilan hari maka
janganlah kamu berpuasa
sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berhari raya sebelum
kamu melihat bulan, jika mendung “kadarkanlah” olehmu untuknya.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti kata-kata “kadarkanlah”.
Ada yang menafsirkan sempumakanlah 30 hari. Ada pula yang berpendapat
arti “kadarkanlah” tersebut adalah “fa’udduhu bil hisab” artinya kadarkanlah dengan berdasarksn hisab dari pendapat lbnu Rusyd dalam kitabnya Bidayalul Mujtahid.
Demikian pula Ibnu Syauraidi Mutarrif dan Ibnu Qulaibah bahwa yang
dimaksud “kadarkanlah” ialah dihitung menurut ilmu falak. Ulama
Syatriyah yakni Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul Mujtahid Juz III
hal. 148 menyatakan: Bahwa bagi ahli hisab dan orang orang yang
mempercayainya wajib berpuasa berdasarkan hisabnya. Demikian pula kalau
ada orang yang mengaku telah melihat bulan padahal menurut perhitungan
hisab bulan belum terwujud maka kesaksian ituditolak (Tuhfah Juz IIIhal.
382). Aliran baru Imam Qalyubi menjelaskan ada 10 pengertian yang
dikandung dalam hadis shumu liru’yatihi,
diantaranya adalah ru’yah diartikan pada ilmu pengetahuan, maka pendapat
ahli hisab tentang bulan atau tanggal dapat diperpegangi (Qalyubi Juz
II hal 49), jadi ru’yah tidak mesti dengan mata telanjang.
Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?
Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah
setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang
menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai
tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan
awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang
tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya
kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah
tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil
Naqli Al-Qur’an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut
dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya
memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan
dasar Al-Qur’an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru’yah
riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma’qul ma’na/tidak
dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga
ru’yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan
teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit
direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore
menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga
ru’yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta’qul ma’naartinya
dapat dirasionalkan maka ru’yah dapat diperluas, dikembangkan melihat
bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua
sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya.
Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis ru’yah itu ta’aquli ma’na maka
hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini,
bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya
seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi
dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul.
Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itudapat diijtihadi, misalnya
berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi
kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai
dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up todate dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan
memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan
hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar
ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur’an surah Annisa ayat
59 “Athiullah wa athi’u ar rasul wa ulil amri minkum”.
Muhammadiyah tidak melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan
beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal
sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan
keyakinannya, makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi
pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut.
Demikian agar semua menjadi maklum.
Muhammadiyah Tetapkan Kalender Hijriyah Hingga 500 Tahun Ke Depan
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/08/12/20214/muhammadiyah-tetapkan-kalender-hijriyah-hingga-500-tahun-ke-depan/
JAKARTA (VoA-Islam) – Pelaksanaan sidang isbat
penetapan 1 Syawal 1433 H pada 18 Agustus nanti bakal kembali kurang
lengkap. Seperti saat penetapan 1 Ramadan 1433 H lalu, salah satu ormas
Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah, sudah memastikan tidak
akan hadir.
“Sudah tegas dalam surat keputusan PP Muhammadiyah, kami tidak ikut sidang isbat selama 2012,’’ kata Pengurus Pustaka dan Informasi Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya. Selain itu mereka juga tidak akan mengikuti sidang isbat penetapan 10 Dzulhijjah 1433 H (Idul Adha).“Meskipun diundang, bukan berarti wajib datang kan,’’ lanjut Mustofa.
Alasan sikap PP Muhammadiyah tidak mengikuti rangkaian sidang Isbat tahun ini disebabkan karena mereka sudah memiliki pola atau sistem penetapan kalender hijriyah sendiri. Yaitu dengan menggunakan metode hisab.
Mustofa menuturkan, dengan metode hisab tersebut, PP Muhammadiyah sudah memiliki jadwal pasti tentang penetapan kalender hijriyah hingga 500 tahun ke depan. Mulai dari penetapan awal puasa, Lebaran, hingga Idul Adha, mereka sudah memiliki catatannya untuk beberapa tahun ke depan.
Menurut Mustofa, terbitnya maklumat PP Muhammadiyah tentang penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah bukan berarti mereka setiap saat melakukan hisab. ’’Maklumat itu hanya untuk mengingatkan saja. Untuk hisabnya kita sudah lakukan jauh sebelumnya,’’ kata dia.
Alasan lain yang dilontarkan PP Muhammadiyah yang memilih tidak ikut sidang isbat adalah untuk menghindari pertentangan di dalam persidangan. Menurut Mustofa, jika Muhammadiyah ikut sidang isbat kemungkinan besar perdebatan tentang penetapan hari besar dalam kalenderi Islam bisa tambah memanas.
Seperti diketahui, sidang isbat penetapan 1 Ramadan lalu yang tanpa Muhammadiyah pun memang sudah ramai. Sebab, ada ormas yang sepakat dengan Muhammadiyah mengenai waktu dimulainya puasa yang berbeda sehari dengan keputusan akhir sidang isbat.
Mustofa khawatir, jika mereka ikut, perdebatan di dalam sidang isbat tambah sengit dan bisa berujung pada saling menyalahkan. ’’Jika sudah saling tuding siapa yang benar dan siapa yang salah, justru tidak baik dilihat umat,’’ katanya.
Mustofa menegaskan kalaupun nanti ada perbedaan dalam penetapan 1 Syawal tidak perlu dipersoalkan.’’Pelangi itu indah karena berbeda,’’ katanya bertamsil.
Terkait kepastian Muhammadiyah untuk kembali tidak hadir tersebut, Ketua Umum Tanfidziyah PB NU Said Aqil Siroj sangat menyayangkannya. ”Tidak beradab itu, tidak mutamaddin, diundang sidang isbat kok tidak mau,” sesal Said Aqil, saat ditemui di kantor PB NU, Jl. Kramat Raya, Jakarta, kemarin (11/8).
Menurut dia, Muhammadiyah seharusnya datang karena pihak pengundang adalah pemerintah yang sah. Terlebih lagi, mereka diajak untuk membicarakan sesuatu yang baik terkait masalah umat. ”Ini bukan diajak bicara untuk korupsi, atau bukan juga mengajak untuk korupsi,” imbuhnya. (Desastian/dbs)
“Sudah tegas dalam surat keputusan PP Muhammadiyah, kami tidak ikut sidang isbat selama 2012,’’ kata Pengurus Pustaka dan Informasi Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya. Selain itu mereka juga tidak akan mengikuti sidang isbat penetapan 10 Dzulhijjah 1433 H (Idul Adha).“Meskipun diundang, bukan berarti wajib datang kan,’’ lanjut Mustofa.
Alasan sikap PP Muhammadiyah tidak mengikuti rangkaian sidang Isbat tahun ini disebabkan karena mereka sudah memiliki pola atau sistem penetapan kalender hijriyah sendiri. Yaitu dengan menggunakan metode hisab.
Mustofa menuturkan, dengan metode hisab tersebut, PP Muhammadiyah sudah memiliki jadwal pasti tentang penetapan kalender hijriyah hingga 500 tahun ke depan. Mulai dari penetapan awal puasa, Lebaran, hingga Idul Adha, mereka sudah memiliki catatannya untuk beberapa tahun ke depan.
Menurut Mustofa, terbitnya maklumat PP Muhammadiyah tentang penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah bukan berarti mereka setiap saat melakukan hisab. ’’Maklumat itu hanya untuk mengingatkan saja. Untuk hisabnya kita sudah lakukan jauh sebelumnya,’’ kata dia.
Alasan lain yang dilontarkan PP Muhammadiyah yang memilih tidak ikut sidang isbat adalah untuk menghindari pertentangan di dalam persidangan. Menurut Mustofa, jika Muhammadiyah ikut sidang isbat kemungkinan besar perdebatan tentang penetapan hari besar dalam kalenderi Islam bisa tambah memanas.
Seperti diketahui, sidang isbat penetapan 1 Ramadan lalu yang tanpa Muhammadiyah pun memang sudah ramai. Sebab, ada ormas yang sepakat dengan Muhammadiyah mengenai waktu dimulainya puasa yang berbeda sehari dengan keputusan akhir sidang isbat.
Mustofa khawatir, jika mereka ikut, perdebatan di dalam sidang isbat tambah sengit dan bisa berujung pada saling menyalahkan. ’’Jika sudah saling tuding siapa yang benar dan siapa yang salah, justru tidak baik dilihat umat,’’ katanya.
Mustofa menegaskan kalaupun nanti ada perbedaan dalam penetapan 1 Syawal tidak perlu dipersoalkan.’’Pelangi itu indah karena berbeda,’’ katanya bertamsil.
Terkait kepastian Muhammadiyah untuk kembali tidak hadir tersebut, Ketua Umum Tanfidziyah PB NU Said Aqil Siroj sangat menyayangkannya. ”Tidak beradab itu, tidak mutamaddin, diundang sidang isbat kok tidak mau,” sesal Said Aqil, saat ditemui di kantor PB NU, Jl. Kramat Raya, Jakarta, kemarin (11/8).
Menurut dia, Muhammadiyah seharusnya datang karena pihak pengundang adalah pemerintah yang sah. Terlebih lagi, mereka diajak untuk membicarakan sesuatu yang baik terkait masalah umat. ”Ini bukan diajak bicara untuk korupsi, atau bukan juga mengajak untuk korupsi,” imbuhnya. (Desastian/dbs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar