Ngawur!! Muslim Rohingya Dikatakan Sebagai Pemberontak
JAKARTA (VoA-Islam) – Dalam sebuah Dialog Interaktif bertajuk “Rohingya Terlunta: Wajah Kaum Minoritas yang Tertindas” yang digelar ICIS (International Conference of Islamic Scholars),
dikatakan, bahwa etnis Muslim Rohingya ingin mendirikan negara
terpisah, yakni negara untuk Rohingya sendiri. Stigma ekstrim dan
fundamental pun dilekatkan pada etnis Rohingya. Ini adalah sebuah
penyesatan opini, dan upaya memutar balikkan fakta apa yang sesungguhnya
terjadi di Myanmar.
Hadir sebagai narasumber dalam dialog tersebut, yakni: KH. Hasyim
Muzadi (Sekjen ICIS), Muhammad Nashihin (Pemred Republika), Ifdhal Kasim
(Ketua Komnas HaM), Riefqi Muna, Ph.D (Litbang PP Muhammadiyah), dan
Rafidin Djamin (Wakil RI di Komisi HAM ASEAN).
Muhammad Rofiq, salah seorang pengungsi Rohingya yang kini tinggal di
Cisarua-Boro, tidak benar pendapat, bahwa Muslim Rohingya ingin
mendirikan negara, dan merusak kuil. Mengingat etnis Rohingya secara
jumlah sangat sedikit, sehingga tidak mungkin terpikir untuk mendirikan
negara sendiri.
Muhammad Anshor (Direktur Departemen HAM Kemenlu) mengatakan, Muslim
Rohingya yang terusir di Myanmar, dan yang berteduh di kamp-kamp
pengungsian adalah sebuah konflik komunal. Eskalasi konflik itu
meningkat pada akhir Mei lalu yang diwarnai oleh tragedi kemanusiaan,
baik dalam bentuk pemerkosaan maupun pembunuhan.
Anshor menjelaskan, ada sekitar 30 ribu etnis Muslim Rohingya, dan 14
ribu etnis Rakhin, termasuk yang selamat di Indonesia. Ia menyalahkan
media massa, khususnya media online yang memberitakan secara sepihak,
terkait kondisi Muslim Rohingya. Ia juga menyesalkan, jika banyak foto
yang sudah direkayasa di media maya. Angka yang mati pun terjadi
simpang siur, ada yang mengatakan yang syahid mencapai 7000-9000 orang.
“Di Kemlu, kami menekuni masalah Rohingya sudah lama, terutama masalah
pengungsi dan demokratisasi di Myanmar.”
Bicara sejarah, ternyata banyak pendapat berbeda mengenai asal muasal
etnis Rohingya. Sejak tahun 1970-an dan 1978, Junta militer sudah
melakukan politik diskriminasi pada etnis Rohingya. Politik diskriminasi
kemudian didukung oleh sentimen publik Myanmar secara umum, dimana
dikatakan bahwa etnis Rohingya dianggap sebagai pendatang, bukan sebagai
orang Myanmar.
Diskriminasi semakin mengental pada tahun 1982, ketika dikeluarkan UU
kewarganegaaraan, sehingga berdampak buruk bagi etnis Rohingya, karena
telah dicabut status kewarganegaraannya (stateless).
Anshor malah mengatakan, orang Rohingya sendiri justru lari dari
kampung halamannya ke negara tetangga, Bangladesh, ada sekitar 300-400
ribu di Bangladesh. Di negara itu, mereka beranak pinak, hingga ketika
kembali ke Myanmar menjadi sulit diterima sebagai warga negara Myanmar.
Begitu juga yang ada di perbatasan Thailand.
Tekan Bangladesh
Junta militer Myanmar kemudian memperlakukan etnis Rohingya untuk
kerja paksa. Stigma ektrim dan fundamental pun dilekatkan pada etnis
Rohingya, karena dituduh ingin mendirikan negara terpisah, yakni negara
untuk Rohingya sendiri. Di negeri sendiri terlunta, di negara adopsi
seperti Bangladesh pun tidak diakui. Maka begitu etnis Rohingya masuk ke
negara Bangladesh, mereka akan dicegah dan ditangkap.
Setidaknya, ada tiga LSM internasional yang hendak memberi bantuan,
namun oleh Bangladesh justru dihentikan. Pemerintah Bangladesh khawatir,
etnis muslim Rohingya akan kembali berbondong-bondong untuk datang ke
Bangladesh.
Ansor melihat, masih ada harapan pemerintah Myanmar terus melakukan
perbaikan, sehingga peluang penyelesaian dan kemajuan demokratisasi
baru di Myanmar akan lebih terbuka. Presiden Myanmar mengatakan, untuk
generasi ke-3 orang Rohingya (di negara bagian Rakhine) yang mendaftar
akan mendapat rekomendasi dari negara bagian. Sedangkan untuk generasi
ke-4 dan seterusnya otomatis diterima sebagai warga Myanmar. “Ini suatu
kemajuan.” Desastian
KH. Hasyim Muzadi: Komnas HAM Kadang Humanis, Westenis, & Semau Gue
JAKARTA (VoA-Islam) - http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/08/06/20152/kh-hasyim-muzadi-komnas-ham-kadang-humanis-westenis-semau-gue/
Menyikapi permasalahan
internasional seperti Muslim Rohingya, hendaknya kita membiasakan diri
untuk melihatnya secara komprehensif. Terkadang, media massa
memberitakannya sepotong-potong menurut versi, misi dan “gizi” media
itu sendiri. Akibatnya umat menyikapi berita tersebut juga secara
sepotong-sepotong. Itu tidak baik.
Demikian dikatakan Sekjen ICIS (International Conference of Islamic Scholars)
KH. Hasyim Muzadi dalam Dialog Interaktif bertajuk “Rohingya Terlunta:
Wajah Kaum Minoritas yang Tertindas” yang digelar di kantor ICIS, Jl.
Dempo No. 5A, Matraman Dalam, Pegangsaan, Menteng, Jakarta, Sabtu (4/8)
lalu.
KH. Hasyim mempertanyakan kelamin Komnas HAM di Indonesia. Adakalanya
humanisme, kadang westernis, nasionalis, kadang semau gue. “Pengalaman
ICIS di lapangan, Komnas HAM Indonesia terlalu westenis.”
Sebagai contoh, di Papua, giliran pemberontak yang tewas ditembak
aparat, langsung dikatakan melanggar HAM. Tapi giliran polisi yang
tertembak, tidak dikatakan sebagai pelanggaran HAM terberat. Itulah
sebabnya, kata Kiai, harus Ada ketegasan dari Komnas HAM ASEAN untuk
menjelaskan apa yang terjadi di Myanmar, terutama yang menimpa Muslim
Rohingya.
“Ada tarik menarik kepentingan disini, ada unsur agama, dan ada unsur
etnisnya. Sementara kita tahu, Pemerintah Myanmar tidak mengakui status
kewarganegaraan etnis Rohingya. Ini perlu kejelasan,” ujarnya.
Hasyim Muzadi, tragedi kemanusiaan sudah bercampur antara konflik
etnis dan agama. Penindasan itu harus dilawa dengan cara yang disahkan.
"Hari ini PBB dan ASEAN tidak menyentuh agamanya, hanya kekerasan
militernya saja. Untuk itu Kementrian Luar negeri, PBB dan ASEAN harus
memberi perlindungan bagi muslim Rohingya. Caranya, dengan memberi
pengakuan status kewarganegaraan mereka.
Bangladesh juga harus membuka
akses bagi badan internasional untuk memberi bantuan bagi pengungsi
Rohingya di perbatasan, bukan hanya ekonomi, tapi juga politik."
ICIS memandang HAM baik di tingkat dunia maupun regional, nasib
minoritas kaum muslimin yang ada di belahan dunia, kerap dirundung oleh
kesengsaraan. Boleh jadi, kata KH. Hasyim, hal itu disebabkan oleh
beberapa factor, diantaranya: kesalahan umat Islam itu sendiri, yang
ingin mendirikan negara muslim.
Kedua, terdapat doktrin-doktrin yang terkesan dipaksakan, seperti
Muslim di Mindanau yang ingin merdeka. Akibatnya, yang menjadi korban
adalah umat Islam sebagai kaum minoritas.
Ketiga, ketika suasana terdesak, umat Islam cenderung bergerak
reaktif, bukan konsepsional untuk meluruskan yang bengkok, sehingga
bentrokan bisa dihindarkan.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), dalam hal ini UNHCR menilai etnis
yang paling merana dan tertindas serta terlunta-lunta di muka bumi
adalah Muslim Rohingya. Kondisi ini mendorong kita untuk mendesak
Pemerintah Indonesia dan anggota ASEAN lain untuk membantu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh Muslim Rohingya di Myanmar, dan di
sejumlah tempat pengungsian. Desastian
Bohong Besar, Pernyataan Tidak Ada Genocide Atas Muslim Rohingya
JAKARTA (VoA-Islam) – http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/08/06/20149/bohong-besar-pernyataan-tidak-ada-genocide-atas-muslim-rohingya/
Sangat menyedihkan, jika
ada diplomat Indonesia yang mengatakan bahwa tidak ada proses
pembersihan etnis (genocide) atas muslim Rohingya di Myanmar. Hal itu
dikatakan oleh Muhammad Anshor (Direktur Departemen HAM Kemenlu)dan
Rafidin Djamin (Wakil RI di Komisi HAM ASEAN) dalam sebuah dialog
interaktif di Kantor ICIS, Jakarta, belum lama ini.
Selain menyebut tidak ada genocide di Myanmar, diplomat itu
mengatakan, bahwa ada upaya Muslim Rohingya melakukan upaya
pemberontakan, karena ingin mendirikan negara sendiri. Muhammad Ansor,
diplomat Indonesia yang satu ini juga memberi informasi salah.
Dikatakan, Muslim Rohingya telah merusak 15 kuil Budha. Bahkan, mereka
mengatakan, konflik tersebut tidak bisa dikatakan sebagai konflik
berlatar belakang agama.
Dalam sebuah pernyataan pers, pemerintah Mynamar menyatakan, 77 orang
muslim Rohingya dan Rakhine meninggal, luka 109 orang, dan 4.822 rumah
dibakar, 72 masjid di rusak, 15 kuil dirusak, serta tiga sekolah
dibakar. “Yang terjadi di Myanmar bukan genocide atau pembersihan
etnis.
Padahal, seperti dibantah oleh Muhammad Rofiq, salah seorang
pengungsi Rohingya yang dihadirkan dalam dialog tersebut, tidak
membenarkan pendapat, bahwa Muslim Rohingya ingin mendirikan negara, dan
merusak kuil. Mengingat etnis Rohingya secara jumlah sangat sedikit,
sehingga tidak mungkin terpikir untuk mendirikan negara sendiri.
Rofiq menceritakan, setiap malam terjadi penculikan dan pemerkosaan,
warung-warung disweeping, dirampok, rumah penduduk dibakar oleh junta
militer. Maka, tidak benar, jika Muslim Rohingya mempersenjatai diri,
seperti dituduhkan.
Ini bukan sekedar kejahatan etnis, tapi juga pertarungan antara
Budhis dan Islam. Perlu langkah kongkrit dari Pemeritah Indonesia untuk
protes keras dan tegas di depan anggota ASEAN dan PBBB.
Riefqi Muna, Ph.D dari Litbang Muhammadiyah mengatakan, pelanggaran
kemanusiaan secara defacto telah terjadi di Myanmar. Ini bukan hanya
terjadi dalam rentang yang pendek, tapi sistematik, terulang, dan secara
terus menerus, baik dalam konteks masyarakat muslim maupun Budha. Dalam
hal ini, negara terlibat di dalamnya.
Meski, ia menyayangkan, gambar penderitaan muslim Rohingya yang
tersebar di media online sebagian ada yang keliru. Sebagai contoh, foto
korban yang terbakar, ternyata adalah korban kekerasan yang terjadi di
Kongo, Afrika. Ada juga gambar atau foto dari Tibet, atau todongan
sanapan di Patani. “Saya ingin mengimbau, agar jangan tergesa-gesa
memforward informasi yang tidak jelas.”
Kesimpangsiuran angka korban di media massa, menurut Riefqi, tidak
perlu dipertentangkan. Sedikit ataupun banyak, tetap saja melakukan
pelanggaran HAM. Merujuk pada Al Qur’an, membunuh satu orang sama dengan
membunuh semua makhluk, dan menyelamatkan satu orang sama dengan
menyelamatkan seluruh makhluk.
“Ini bukan lagi sebatas persoalan kemanusian, tapi juga lintas batas,
etnis, yang tidak bisa diselesaikan oleh masyarakat madani atau agama.
Karena di dalamnya ada garis kedaulatan, teritorial, dan peran negara.
Ini persoalan pelanggaran hak kemanusiaan, apapun agamanya.”
Riefqi mendesak agar negara lebih berperan aktif. Sebetulnya,
Indonesia bisa berbuat lebih banyak, mengingat Indonesia adalah negara
yang katanya paling demokratik. Sehingga secara informal peluang itu
ada. Yang harus ditekan, bukan hanya Myanmar, tapi juga Bangladesh yang
menutup akses bantuan internasional untuk muslim Rohingya di
pengungsian.
"Kita harus mendorong Pemerintah Indonesia untuk memiliki keberanian.
Begitu juga Asean perlu dihimbau untuk melakukan tekanan terhadap kedua
negara tersebut. Dalam pertemuan OKI di Kula Lumpur, dan Mekkah akhir
bulan nanti, diharapkan, Pemerintah Indonsia bisa memberi masukan.
Diperlukan kreativitas diplomasi,” ujar Riefqi.
Muhammad Anshor mencatat, tahun 2009, terdapat 400 orang Rohingya
yang terdampar di Aceh. Dan 300 ribu lainnya di Bangladesh. Juga
dikabarkan, ada 394 orang muslim Rohingya di Indonesia, 124 orang
diantaranya sudah mengantongi status pengsungsi, sedangkan 270 orang
tengah diproses statusnya sebagai pencari suaka. Diperlukan waktu 2-3
bulan untuk mendapat status sebagai pengungsi. "Terjadi kesimpangsiuran
data mengenai jumalh etnis Rohingya yang tewas. Ada yang mengatakan 78
tewas, 1.200 hilang, 88 ribu mengungsi."
Mirip kasus Ambon?
Sementara itu dikatakan Pemimpin Redaksi Harian Republika Muhammad
Nashihin, tragedi kemanusiaan Muslim Rohingya tidak berdiri sendiri, dan
bukan bermula sejak kerusuhan bulan Juni lalu, dengan adanya kabar
pemerkosaan oleh etnis Rohingnya.
Menurut Nashihin, peristiwa Rohingya, mirip-mirip dengan peristiwa
Ambon, yakni sebuah peristiwa politik lokal yang seolah agama. Terlebih,
katanya, ini menjelang pemilu di Myanmar. “Ketika kerusuhan terjadi,
AuSan Su Kyi sedang keliling Eropa. Ketika ditanya wartawan, apa
pendapat anda tentang kewarganegaraan etnis Rohingya, ia menjawab
tidak tahu. Katanya, saya harus cek dulu status kewarganegaraan mereka.
Ini membuktikan etnis Muslim Rohingya diabaikan. Ia takut karir
politiknya habis, sehingga tidak berani bersikap.”
Nashihin mencatat, sejak Myanmar merdeka hingga sekarang, sudah 19
kali operasi militer dilakukan, 11 kali diantaranya dilakukan oleh junta
mileter yang berkuasa. Orang Rohingya lalu hukum kerja paksa. Apa yang
terjadi di Myanmar adalah sebuah state violence. “Orang Rohingya tidak boleh sekolah dan bekerja. Maka status komunal violence itu berubah menjadi state violence. Bagaimana pun, mereka yang berada di wilayah suatu negara, harus diakui kewarganegarannya."
Tokoh Katolik Frans Magnis Susesno mengatakan, kasus Rohingya adalah
kasus serius. Ia mengakui, cukup lama mengikuti perkembangan beritanya.
“Ini adalah state violence. Muslim Rohingya berhak hidup
sebagai manusia, dan tentu saja dengan memberi status kewarganegaraan.
Pemerintah Indonesia harus mendesak pemerintah Myanmar agar menghentikan
kekerasan yang disponsori oleh negara. Dan saya kira, adanya
solidaritas umat Islam Indonesia terhadap muslim Rohingya adalah sesuatu
yang wajar.” Desastian
Diplomat Indonesia Alergi Sebut Tragedi Rohingya sebagai Konflik Agama
JAKARTA (VoA-Islam) – http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/08/06/20151/diplomat-indonesia-alergi-sebut-tragedi-rohingya-sebagai-konflik-agama/
Aneh dan disayangkan,
sudah jelas-jelas etnis muslim Rohingya dibantai oleh junta militer
Myanmar yang didukung oleh biksu-biksu Budha, namun diplomat Indonesia
begitu alergi menyebut konflik ini sebagai konflik agama. Diplomat
Indonesia hanya menyebutnya sebagai konflik komunal.
Rafendi Djamin (Wakil RI di KOmisi HAM Asean) menyatakan, konflik
komunal di wilayah itu (Mynamar), bukan pertama kali terjadi, tapi sudah
berlangsung lama. Ia mencatat, politik diskriminasi dilakukan secara
sistematis, mulai dari operasi naga yang digelar, dan dicabutnya
kewarganegaraan, menyebabkan terjadinya pelarian politik besar-besaran
pada etnis Rohingya pada tahun 1978-1980-an.
“Selain kewarganegaraannya dicabut, etnis Rohingya harus memperoleh
izin untuk kawin. Ada 1,5 juta pengungsi yang kini berada di wilayah
Pakistan dan Saudi Arabdia untuk mencari suaka. Tahun 2009, etnis
Rohingya ada di Aceh dan Kupang,” kata Rafendi.
Rafendi tidak ingi menyebut konflik yang terjadi di Myanmar sebagai
konflik agama. Menurutnya, peristiwa itu adalah kelompok komunal yang
berkelahi, tapi seolah melekat dengan konflik agama, padahal itu tak
lebih dari konflik etnik. “Persoalannya, bukan muslimnya, tapi etnis
Rohingya nya yang dianggap jadi masalah,” tukasnya.
Ia mengaku lega, sudah ada upaya pertemuan pimpinan Bangladeh dan
Myanmar untuk membahas solusi terkait masalah Muslim Rohingya. Rafendi
menduga, masalah Rohingya merupakan warisan colonial Inggris, sehingga
timbul masalah.
“Mereka yang lari, dikejar untuk dibunuh dan diperkosa, harus
mendapat proteksi. Ketika mereka terdampar, negara ASEAN yang ditentukan
oleh UNHCR punya tanggung jawab untuk memberi perlindungan sementara.
Jadi bukan hanya tangungjawab Bangladesh saja. Tak dipungkiri, krisis
humanis terjadi di Myanmar. Karena itu, Bangladesh diminta agar tidak
menolak bantuan internasional. Beri mereka makanan, rumah, dan layani
wanita hamil, serta anak-anak,” paparnya.
Pelanggaran HAM Disponsori Negara
Sementara itu, Ifdal Kasim dari Komnas HAM mengatakan, apa yang
terjadi di Myanmar adalah sebuah pelanggran HAM yang disponsori oleh
negara. KOmnas HAM sendiri, diakuinya, sejak 2009 sudah menangani kasus
pengungsi Rohingya di Aceh dan Tanjung Pinang. Komnas HAM juga berupaya
mencarikan jalan untuk memfasilitasi pengungsi. Dalam hal ini Komnas
HAM mengajak IOM dan UNHCR sebagai pihak yang menjembatani.
Ifdhal Kasim mengatakan Komnas HAM Myanmar hendaknya menjaga jarak
dengan kebijakan politik pemerintahnya. Jadi ukurannya adalah
independensi. Ketika melakukan investigasi setidaknya terhindar dari
kompromi yang ketat. Terbukti, Komnas HAM Myanmar ketika mengumumkan
jumlah korban, menunjukkan angka yang kecil, dibanding laporan badan
internasional lainnya. Bahkan, Komnas HAM Myanmar menyebut tidak ada
pembantaian di negaranya.“Jika tidak bisa menjaga jarak, bagaimana
mungkin dapat memproteksi kewarganegaraan etnis Rohingya." Desastian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar