Pemerintah akan mengurangi subsidi BBM dengan melarang mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi. Kebijakan tersebut akan secara bertahap dimulai bulan Maret 2011 di Jabodetabek hingga mencakup seluruh Indonesia pada 2013.
Alasan klasik yang diungkapkan Pemerintah dalam melakukan pembatasan BBM bersubsidi ini adalah untuk mengurangi Beban APBN. Menurut Pemerintah, pada tahun 2011 saja dana yang dapat dihemat dari kebijakan tersebut sebesar Rp 3,8 triliun.
Alasan tersebut sebenarnya merupakan kebohongan publik yang terus-menerus dilakukan. Faktanya, berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi belanja APBN 2010 baru mencapai 56,01 persen dari pagu anggaran APBN-P 2010 sebesar Rp 993,136 triliun atau sekitar Rp 556,285 triliun per 22 November 2010. Artinya, sampai November 2010 masih ada dana yang belum terserap sebanyak 437 T, sementara penghematan subsidi hanya Rp 3,8 T. Itu pun akan berkurang menjadi 3,2 T karena pembatasan BBM bersubsidi di undur Maret 2011. Jelas sangat ironis?
Oleh karena itu, alasan sebenarnya dari pembatasan BBM bersubsidi adalah karena pengelolaan BBM menggunakan paradigma Kapitalisme dan untuk memenuhi kepentingan para kapitalis.
BBM Milik Rakyat
Dalam pandangan Islam, BBM dan Gas serta sumber energi lainnya merupakan milik umum atau milik rakyat yang wajib dikelola oleh Negara. Rasulullah saw. telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadis. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
اَلنَّاسُ شُرَكَاءٌ فِي ثَلاَثٍ: اَلْمَاءِ وَ الْكَلأِ وَ النَّارِ
Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).
Anas ra. juga meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan: wa tsamanuhu haram (dan harganya haram); yang berarti dilarang untuk diperjualbelikan.
Barang-barang tambang seperti minyak bumi besarta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain (termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut) semuanya telah ditetapkan syariah sebagai kepemilikan umum. Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh Negara dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum.
Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudera, sungai besar, adalah benda-benda yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum. Dalam konteks ini negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemadaratan bagi masyarakat.
2. Pemanfaatan di bawah pengelolaan Negara.
Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat—karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar—seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka negaralah yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Hasilnya dimasukkan ke dalam Kas Negara (Baitul Mal). Khalifah adalah pihak yang berwenang dalam pendistribusian hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemashlahatan umat.
Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat—untuk konsumsi rumah tangga—dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan semata. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi. Namun, boleh menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar darinya jika dijual untuk keperluan produksi komersial.
Adapun jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, maka boleh pemerintah mencari keuntungan semaksimal mungkin. Hasil keuntungan penjualan kepada rakyat untuk kepentingan produksi komersial dan ekspor ke luar negeri digunakan: Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi. Kedua,
dibagikan kepada kaum Muslim atau seluruh rakyat. Dalam hal ini Pemerintah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan. Barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya emas, perak, tembaga, batubara dapat dijual ke luar negeri dan keuntungannya—termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri—dibagi keseluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya.
Mewujudkan BBM Murah
Bahan Bakar menjadi mahal sebenarnya bersumber dari kekeliruan dalam kebijakan politik APBN dan carut-marutnya pengelolan Migas saat ini. Kebijakan APBN selama ini selalu menganggap subsidi BBM sebagai beban. Padahal sebenarnya istilah tersebut tidak tepat karena itu adalah kewajiban negara dalam menjalankan fungsinya, Justru yang selama ini menjadi beban APBN adalah Bunga Utang Luar Negeri dan Pokoknya. Hampir setiap tahun APBN kita digerogoti oleh Bunga dan Utang Luar Negeri (rata-rata di atas 25 %; lihat tabel 1). Sebagian besar utang tersebut dinikmati para kapitalis melalui dana rekapitulasi perbankan dan para koruptor (30 % dana utang luar negeri dikorupsi). Adapun dana subsidi hanya kurang dari 15% dan itu pun untuk seluruh rakyat Indonesia.
Tabel 1: APBN, Subsidi Energi dan Utang Luar Negeri
APBN | Subsidi Energi | Utang Luar Negeri |
Tahun | Nominal | Nominal | % | Nominal | % |
2005 | 495 | 104 | 21 | 127 | 26 |
2006 | 637 | 95 | 15 | 157 | 25 |
2007 | 707 | 117 | 16 | 181 | 26 |
2008 | 981 | 223 | 23 | 192 | 20 |
2009 | 848 | 95 | 11 | 210 | 25 |
2010 | 992 | 143 | 14 | 230 | 23 |
Adapun karut-marutnya pengelolaan BBM akibat liberalisasi Migas telah menyebabkan Sumber Migas saat ini hampir 90% dikuasai Asing dan Mafia Rente yang mengambil untung dalam pengelolaan dan distribusi BBM. Menurut sejumlah sumber termasuk temuan BPK tahun 20081 disebutkan sumber inefisiensi Pertamina antara lain: (a) pengadaan minyak mentah dan BBM yang tidak efisien. Hal ini karena Pertamina cenderung mengimpor minyak mentah dan BBM melalui jasa rekanan yang sarat dengan manipulasi tender oleh pihak Pertamina dengan para trader sehingga biaya pengadaan minyak impor semakin mahal bahkan sejumlah pengadaan melalui penunjukan langsung biayanya lebih mahal; (b) Pertamina lebih banyak menggunakan kapal sewa daripada kapal milik sendiri sehingga biaya angkut lebih mahal.
Oleh karena itu, agar BBM murah yang harus dilakukan adalah mengembalikan pengelolaan BBM sesuai dengan syariah melalui kebijakan APBN dan perubahan kebijakan di bidang Migas.
Kebijakan (Politik) APBN
Selama ini pendanaan selalu menjadi alasan minimnya eksplorasi Migas sehingga produksi menurun. Jelas alasan ini tidak benar. Yang sebenarnya adalah masalah prioritas Kebijakan APBN yang salah. Kebijakan APBN seharusnya menjadikan semua pengelolaan Migas dikuasai oleh negara sehingga hasilnya masuk APBN. Di sinilah pentingnya membatalkan UU Migas yang menjadi dasar liberalisasi/swastanisasi Migas.
Masalahnya juga keterbatasan dana, tetapi masalah prioritas yang salah. Mengapa untuk dana rekapitulasi perbankan yang ratusan triliun bisa disediakan, sementara untuk eksplorasi BBM yang menyangkut industri strategis dan kebutuhan publik selalu dibatasi.
Fakta menunjukkan, keterbatasan eksplorasi Migas oleh Pertamina sebenarnya bukan karena faktor dana, tetapi keberpihakan Pemerintah yang salah. Dalam Kasus Blok Cepu yang cadangannya lebih dari 10 miliar barel, secara dana Pertamina siap menyediakan dengan dana investasi dalam negeri. Namun, justru Pemerintah menyerahkan eksplorasi Blok Cepu kepada Perusahaan Amerika, yaitu Exxon Mobile.
Profesionalisme Pengelolaan Migas
Ada 2 hal yang terkait dengan pengelolaan Migas yang menyebabkan harga BBM mahal, yaitu masalah produksi dan distribusi. Masalah produksi sering dikaitkan dengan kemampuan teknologi eksplorasi yang masih belum mampu. Alasan ini juga tidak tepat karena eksplorasi Migas itu ada 2 bentuk: eksplorasi di darat dan di lepas pantai. Untuk eksplorasi di darat Pertamina dengan tenaga-tenaga ahlinya dari dalam negeri sudah mampu mendeteksi dan mengekplorasinya tanpa hambatan. Penemuan cadangan minyak di Blok Cepu adalah tenaga ahli dari Pertamina dan Pertamina menyatakan mampu secara teknologi untuk mengekplorasi-nya tanpa bantuan asing. Namun, karena tekanan Amerika maka dengan begitu mudahnya Blok Cepu tersebut diserahkan kepada Exxon Mobile.
Adapun eksplorasi di lepas pantai (laut). maka menurut BPPT memang saat ini belum mampu dilakukan oleh Pertamina. Namun, yang jadi masalah, mengapa setelah puluhan tahun kok belum mampu? Sebenarnya ketidak-mampuan Pertamina melakukan eksplorasi di laut dalam bukan karena SDM yang tidak mampu. Namun, banyak SDM Indonesia yang bekerja di Perusahaan Asing baik di Indonesia maupun di Luar negeri karena gajinya lebih besar. Misal, ada staf Bakosurtanal yang pernah bekerja di perusahaan marine hidrography untuk memasang oil-rig atau pipeline. Juga ada sebagian SDM Pertamina keluar dan pindah ke Perusahaan Asing seperti Arco yang banyak melakukan eksplorasi di Laut Jawa. Jadi Pernyataan BPPT bahwa Pertamina belum mampu sebenarnya bukan faktor Teknologi dan SDM kita yang tidak mampu, tetapi kebijakan Pertamina atau Pemerintah yang memang tidak pernah serius melakukan itu. Akibatnya, tidak ada upaya transfer teknologi dari perusahaan asing. Padahal selama ini salah satu alasan kerjasama dengan perusahaan asing adalah alih teknologi. Kalaupun saat ini belum mampu sebenarnya Pemerintah (negara) bisa menyewa tenaga ahli di bawah kendali Pemerintah atau Pertamina, bukan menyerahkan eksplorasi tersebut kepada perusahaan asing.
Adapun masalah distribusi seperti temuan BPK, Pertamina lebih banyak menggunakan kapal sewa daripada kapal milik sendiri sehingga biaya angkut lebih mahal, dari 137 Kapal yang dioperasikan Pertamina, 102 di antaranya disewa dari perusahaan lain.2 Yang lebih aneh bahkan cenderung tidak rasional bahkan bodoh adalah kebijakan Pemerintah melakukan Pemecahan Pertamina (unbandling) menjadi perusahaan-perusahaan kecil. Di Industri Hulu dipecah menjadi PT Pertamina, PT Pertamina Hulu Energi, PT Pertamina Geothermal, PT Pertamian Drilling Service dan PT PTC. Industri Hilir adalah PT Limited Petral dan PT Patra Niaga. Padahal unbundling ini akan menambah biaya dan memperpanjang rantai pemasaran sehingga harga akhir menjadi mahal. Apalagi tren perusahaan dunia saat ini adalah merger untuk tujuan efesiensi; misalnya Standar oil of New Jersey dan Anglo-American bergabung menjadi Exxon; Standar Oil of New York dan Vaccum Oil menjadi Mobile. Setelah itu Exxon dan Mobile bergabung menjadi Exxon Mobile.
Penutup
Itulah mekanisme agar BBM murah, yaitu kebijakan APBN yang sesuai syariah serta pengelolaan Pertamina yang professional; bebas dari korupsi dan mafia rente. Kalau BBM dijual kepada rakyat berdasarkan harga pokok maka harganya murah. Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan keuangan Pertamina (lihat Tabel 2 diatas), harga pokok produksi BBM sangat rendah yaitu Rp 804 (bahkan bisa lebih rendah dari itu karena biaya cost recovery Pertamina untuk mendapatkan Minyak Mentah lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Minyak Lain dan komponen biaya lainnya juga boros). Namun, harganya menjadi mahal ketika Pemerintah menggunakan asumsi harga internasional, misalnya dengan asumsi Harga Minyak Mentah US$ 50 harga pokok BBM menjadi Rp 3.220 dan Rp 5.500 kalau harga minyak mentah internasional US$ 90.
Tabel 2: Harga Pokok Produksi BBM
KOMPONEN BIAYA | HARGA PRODUKSI | HARGA INTERNASIONAL |
US$/bbl | Rp/L | US$/bbl | Rp/L | US$/bbl | Rp/L |
Minyak Mentah | 10,00* | 589 | 50,0 | 3.005 | 90,0 | 5.303 |
Pengolahan | 1,53 | 90 | 1,5 | 90 | 1,5 | 90 |
Angkutan Laut | 0,80 | 47 | 0,8 | 47 | 0,8 | 47 |
Distribusi | 0,97 | 57 | 1,0 | 57 | 1,0 | 57 |
Bunga, Kantor Pusat & Penyusutan | 0,00 | 20 | 0,0 | 20 | 0,0 | 20 |
JUMLAH BIAYA POKOK BBM | 13,30 | 804 | 53,3 | 3.220 | 93,3 | 5.517 |
Sumber: Laporan Keuangan Pertamina (diolah kembali)
Berdasarkan perhitungan tersebut maka harga jual BBM untuk kepentingan konsumsi rakyat sebesar Rp 805, sementara untuk untuk keperluan produksi komersial dalam negeri boleh mengambil keuntungan sewajarnya. Adapun untuk dijual keluar negeri boleh mengambil untung sebesar-besarnya.
Namun, Pemerintah kita memang aneh. Untuk keperluan rakyat sendiri dijual dengan harga yang sangat mahal, tetapi kalau untuk asing dijual dengan harga yang sangat murah. Wallahu a’lam bi ash-shawab. []
Catatan kaki:
1 BPK, Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang Tahun 2007 dan 2008 (Semester I) pada Pertamina.
2 Pertamina,
Annual Report 2007.
2 February 2011 pada 07:53