Memetakan Dugaan Korupsi Sisminbakum
November 19th, 2008 § 55 Comments
http://febridiansyah.wordpress.com/2008/11/19/memetakan-dugaan-korupsi-sisminbakum/#comment-710
Beberapa hal yang kontras mulai diperdebatkan ketika salah seorang akademisi dan praktisi yang sering terlibat aktivitas pemberantasan korupsi justru ditahan atas tuduhan korupsi.
Dimuat di: Jawa Pos, Rabu 19 November 2008
Romly Atmasasmita, guru besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran, mantan pejabat Departemen Hukum dan HAM (Depkum HAM), menjadi ahli yang berpihak pada pemberantasan korupsi. Kemudian, banyak yang bilang bahwa Romly harus dibela. Sebab, dia korban buruknya sistem. Penegakan hukum yang dilakukan kejaksaan lebih dilihat sebagai upaya serangan balik koruptor, bahkan kental urusan politis. Tapi, bukankah tidak ada maaf untuk koruptor? Termasuk, teman dekat atau bahkan saudara.
Karena itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak memilih berada pada posisi membela. Perdebatan terpenting agaknya terletak pada bagaimana sesungguhnya konstruksi hukum kasus yang sedang ditangani kejaksaan tersebut. Dengan demikian, bisa dipahami siapa yang pantas atau tidak pantas diseret. Dalam penegakan hukum dikenal satu asas penting, equality before the law. Siapa pun itu harus diproses jika terlibat korupsi.
Namun, benarkah Romly melakukan korupsi? Kita punya mekanisme peradilan yang terbuka dan hukum acara mengatur tata cara pembuktian. Di sanalah benar atau tidaknya Romly harus diuji oleh pengadilan yang terbuka, independen, dan imparsial.
Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan Surat Perintah Penahanan No: Print-47/F2/Fd.1/11/2008, kejaksaan mendalilkan tindak pidana korupsi terkait dengan pemungutan accsess fee dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Sehingga, digunakanlah pasal 2 ayat (1); pasal 3; pasal 12 huruf e, f dan g; pasal 12 B ayat (1) huruf a dan b UU 31 Tahun 1999 serta UU 20 Tahun 2001.
Pada prinsipnya, ICW mencoba memetakan kasus sistem administrasi badan hukum (sisminbakum) ini menjadi dua level korusi. Pertama, level kebijakan. Kedua, level implementasi saat aliran uang haram diindikasikan sampai ke saku pejabat-pejabat Depkum HAM, bahkan istri-istri mereka.
Karena itu, tindak-tanduk kejaksaan harus diawasi. Sebab, kejaksaan akan sangat mudah bermain hanya di level implementasi. Publik sangat mencemaskan dan ragu, terutama terkait kebiasaan menerbitkan SP3 dan “pilih bulu”. Kita paham, praktik inilah yang menjadi salah satu potret buruk penanganan kasus korupsi di institusi adhyaksa tersebut.
Di Mana Menteri?
Pemilihan prioritas pada level implementasi semata dan indikasi permainan seperti dijelaskan di atas tentu punya konsekuensi serius. Kejaksaan, baik langsung atau tidak, justru berpotensi melindungi koruptor induk jika penanganan kasus hanya berhenti sampai dirjen.
Pemilihan prioritas pada level implementasi semata dan indikasi permainan seperti dijelaskan di atas tentu punya konsekuensi serius. Kejaksaan, baik langsung atau tidak, justru berpotensi melindungi koruptor induk jika penanganan kasus hanya berhenti sampai dirjen.
Padahal, untuk masuk di level kebijakan, ada dua hal yang bisa diposisikan sebagai grand design unsur melawan hukum. Pertama, dugaan pungutan liar. Surat keputusan menteri yang ditandatangani Yusril saat itu diduga melanggar beberapa ketentuan hukum. Di level Keputusan Presiden, ia dinilai melanggar Kepres 7 tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam pembangunan dan infrastruktur, serta Kepres 17 tahun 2000 tentang pelaksanaan kegiatan pendapatan dan belanja negara, khususnya Pasal 16 ayat (2). Pasal itu mengatur begini: departemen lembaga pemerintahan atau non-departemen tidak diperkenankan mengadakan pungutan atau tambahan pungutan yang tidak tercantum di Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.
Dalam logika hukum tata negara, perintah dua pasal di atas bersifat limitatif. Yakni, bicara tentang materi yang hanya boleh diatur di level UU dan PP. Norma ini juga didasarkan pada asas bahwa masyarakat atau rakyat hanya bisa diwajibkan membayar sepanjang aturan tersebut berasal dari legislatif atau pihak yang dipilih rakyat untuk duduk mewakilinya di parlemen. Apakah keputusan menteri memenuhi syarat itu? Tentu saja tidak. Dengan kata lain, dapat diargumentasikan bahwa sisminbakum masuk dalam kategori pungutan liar.
Pertanyaan berikutnya, siapa sesungguhnya pelaku yang bisa diseret? Di sinilah, konsep penyertaan dalam hukum pidana seperti diatur pada pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dapat diterapkan. Dijelaskan, dalam tindak pidana dikenal tiga pelaku. Pertama, yang menyuruh melakukan. Kedua, yang melakukan. Ketiga, yang ikut melakukan.
Maka, posisi menteri kehakiman dan HAM mau tidak mau masuk pada kategori pertama, yaitu pihak yang menyuruh melakukan. Dengan kata lain, melalui kewenangannya sebagai menteri dia menyuruh orang membentuk sisminbakum, menunjuk PT SRD, dan memungut accsess fee dalam rangka pendaftaran badan hukum di seluruh Indonesia.
Inilah dugaan penyalahgunaan wewenang yang pada akhirnya merugikan keuangan negara dan memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Berdasar analisis dokumen ICW, indikasi terlibatan tersebut terletak pada empat titik.
Pertama, kehadiran menteri pada rapat penyelesaian tunggakan pendaftaran badan hukum yang mencapai 3.500 berkas. Kedua, SK Menkeh tentang pemberlakuan sisminbakum (Nomor: 01.Ht.01.01 Tahun 2000, 4 Oktober 2000). Ketiga, SK Menkeh yang menunjuk PT SRD sebagai pelaksana (Nomor 19/K/Kep/KPP DK/X/2000, 10 Oktober 2000). Keempat, penandatanganan perjanjian kerja sama BoT antara Koperasi Pengayoman Depkeh dengan PT SRD (Nomor: 135/K/UM/KPPDK/XI/2000, 8 November 2000).
Tercatat, pada dokumen dua, tiga, dan empat terdapat tanda tangan menteri kehakiman dan HAM yang saat itu dijabat Yusril Ihza Mahendra. Terlibatkah Yusril? Kejaksaan dan Pengadilan yang paling bertanggung jawab menjawabnya.
Meskipun masih sulit percaya dengan Kejaksaan Agung, terutama terkait prioritas dan mindset pemberantasan korupsi tanpa road map, pilihan penyelesaian pungutan liar di Depkum HAM dapat menjadi awal untuk pembersihan birokrasi di departemen lain. (*)
Febri Diansyah
Be the first to like this post.
jadi emang bener yaa hukum itu berlaku surut?? trus bos juga engga ngungkapin tuh apa-apa aja yang masuk PNBP apa yang engga sesuai dengan Undang-undang yang kita punyai.. sori, aku kan orang bodo, jadi kalo belajar tuh kudu lebih detail, moga bos bisa kasih pencerahan lebih dalem lagi…
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/11/17/penjelasan-tentang-sisminbakum/
Saya sendiri sudah baca tulisan ini melalui koran cetaknya (Indopos kalau nggak salah)
ternyata banyak pendukung yusril disini… baguslah, saya dah baca semua pembelaan saudara mantan menteri tersebut.
sekarang begini saja, rekans…
kemukakan analisis anda dan tulis..
tentu diskusi jadi akan lebih baik.
tentang bukti indikasi keterlibatan yusril, jangan khawatir…semua lengkap.
tuk bung Khafidhin..
anda benar, saya sedang belajar. belajar untuk menjerat orang yang katanya “licin”…hingga mampu loloskan dana Tommy Soeharto dengan “bersih”.
dan, salam tuk tuan penghujat lainnya
pendapat bos adalah ..
“dalam tindak pidana dikenal tiga pelaku. Pertama, yang menyuruh melakukan. Kedua, yang melakukan. Ketiga, yang ikut melakukan.”
untuk menentukan seseorang sudah melakukan tindak pidana atau belum harus di teliti dan disertai saksi2 dan data-data yang akurat,
memang bener Pak Yusril yang menyuruh untuk melakukan/pemberi kebijakan, tapi kan untuk tujuan yang baik ( baca blog Yusril yang di kasih Vavai)
kalau dalam implementasinya ada yang menyimpang itu diluar sepengetahuan yang memberikan kebijakan itu adalah tergantung iman dan Moral pribadi masing2….
salah satu contoh oknum polisi yang menilang kendaran dan menerima sogokan dari si pengendara …apakah itu kesalahan para pemberi kebijakan / atasan polisis tsb, tentu tidak..
padahal tujuan Atasan membuat aturan tilang untuk membuat si pengendara sadar akan kesalahan yang dilakukan…
tidak bisa kesalahan 1 atau 2 orang oknum di simpulkan menjadi kesalahan satu departemen/pembuat kebijakjan.
semua aturan pemerintah yang dibuat adalah baik dan untuk kebaikan semua lapisan masyarakat. tergantung implementasinya di lapangan….
Sekian dan terimakasih
notes of Prof. yusril Blog.
Teman-teman “pembela-pembela tak resmi” dari mantan menteri, sepertinya cuma membebek saja dari “pledooi” tuan Mantan Menteri yang ada di Websitenya…
Apalagi yang mengutip soal Nullum Delictum. Sepertinya Perlu diberi sedikit pelurusan.
1. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sina Pravia Lege Poenalis”, tolong dipahami ini hanya berlaku dalam konteks Hukum Pidana. Dalam teori hukum Asas ini secara umum diterjemahkan ke dalam beberapa pengertian:
a. annulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang;
b. nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
c. nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Paling tidak ada empat makna dari asas legalitas.
Pertama, terhadap ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif).
Kedua, ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan (lex scripta).
Ketiga, rumusan ketentuan pidana harus jelas (lex certa).
Keempat, ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (lex stricta).:
Nah, yang tidak boleh berlaku surut adalah pengaturan soal pemidanaan terhadap Korupsi.
UU soal Korupsi sudah ada dari tahun 1971, sekarang berubah menjadi UU No. 20 tahun 2001.
Jadi, Untuk Tuan Batman, harus paham bahwa kalau Tuan Mantan Menteri itu dikenai tindakan atas dugaan korupsi, tidak ada pemberlakuan peraturan yang mundur disana, karena UU Korupsi udah lahir duluan. Tuan Mantan Menteri itu dikenakan Pasal-pasal dalam UU Korupsi, bukan pasal-pasal dalam uu pengadaan barang. Paham???
Menggunakan mobil dinas, tidak untuk tujuan dinas, katakanlah mengantar anak kesekolah, walaupun itu mobil dirawat, diisi bensinnya, tidak ada rusaknya, itu tetap aja korupsi kawan.
Nah, soal keterlibatan Mantan Menteri itu dalam kasus ini, harus dilihat dari pasal-pasal (dan penguraian unsur) dalam UU tersebut.
2. Dalam Pasal 2 dab 3 UU kORUPSI, dalam penguraian unsurnya, dimana unsur “melawan hukum” atau menyalahgunakan kewenangan” sebagai titik pijak melihat keterlibatan Yusril…
Melawan Hukum atau adanya penyalahgunaan wewenang sebagaimana dijelaskan oleh Bung Febri bisa dilihat dari fakta ini, walaupun memang harus diperdalam lagi, tapi setidaknya dugaan kearah sana cukup jelas:
- SK pemberlakuan SISMINBAKUM,
- PENUNJUKAN PT. SRD tanpa Tender (Baca Keppres soal Pengadaan Barang,
- Penandatanganan Kerjasama
Unsur melawan Hukum dalam hukum Pidana juga mendapat penguraian yang lebih jelas:
Pertama, SMH diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
Kedua, kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
Ketiga, SMH formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi.
Keempat, SMH material mengandung dua pandangan. Pertama, dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat UU dalam rumusan delik. Kedua, dari sudut sumber hukumnya, SMH mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat.
Perkembangan berikut, SMH material dibagi menjadi SMH material dalam fungsi negatif dan fungsi positif. SMH material dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun SMH material dalam fungsi positif mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.
Bung Febri dalam artikelnya sudah menjelaskan:
” Surat keputusan menteri yang ditandatangani Yusril saat itu jelas melanggar ketentuan UUD 1945, tepatnya pasal 23A dan 23C serta UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Di sana diatur bahwa pungutan lain yang bersifat memberatkan masyarakat diatur pada level UU (pasal 23A) dan hal lain mengenai keuangan negara diatur pada UU (pasal 23C).
Dalam logika hukum tata negara, perintah dua pasal di atas bersifat imperatif. Yakni, bicara tentang materi yang hanya boleh diatur di level UU”
Nah, dengan adanya pengaturan tersebut, ditambah adanya fakta-fakta diatas, memang beralasan kuat bahwa Tuan Mantan Menteri itu terlibat penuh dalam kasus ini.
3. Bung Feb menuliskan:
“Pertanyaan berikutnya, siapa sesungguhnya pelaku yang bisa diseret? Di sinilah, konsep penyertaan dalam hukum pidana seperti diatur pada pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dapat diterapkan. Dijelaskan, dalam tindak pidana dikenal tiga pelaku. Pertama, yang menyuruh melakukan. Kedua, yang melakukan. Ketiga, yang ikut melakukan.”
Menurut ku, malah Tuan Mantan Menteri itu masuk dalam Kategori “Yang Melakukan”. Sebab, dia yang langsung menandatangani. Kalau dalam kategori “menyuruh melakukan” berarti bukan tuan mantan menteri itu yang menandatangani…
Lagipula dalam hukum pidana, pengertian Menyuruh Melakukan (Doen Pleger), orang yand disuruh melakukan haruslah mereka-mereka yang tidak cakap atau setidak-tidaknya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum.
Contoh: Tuan Kunyuk menyuruh seorang yang kurang waras untuk melemparkan batu kearah Tuan Vavai yang menyebabkan Tuan Vavai menderita kepala bocor dan geger otak.
4. Bagaimana dengan Prof. yang ditahan itu?
Hohoho, dilihat dulu kemungkinannya…Kalau benar beliau yang mendapat semacam “jatah resmi” sekian juta, maka beliau patut diseret dalam kasus ini, namun bukan dalam konteks pengadaan sisminbakum.
Harus juga diperhatikan fakta beliau adalah pelaksana dari Suatu Surat Keputusan yang diambil Mantan Menteri itu. Nah, dalam lapangan hukum pidana, dikenal dengan alasan Alasan Pembenar, yakni sifat melawan hukum atas suatu perbuatan pidana menjadi tidak ada, karena dianggap dibenarkan.
Alasan Pembenar bisa lahir karena adanya Perintah Jabatan yang lahir dari SK tersebut. (SK Mantan Tuan Menteri dilaksanakan oleh Prof. itu) atau karena adanya perintah UU. (Prof itu melaksanakan hal tersebut karena adanya ketentuan mengenai kewajibannya untuk mengambil suatu tindakan)
Dan ini, kita tunggu saja di Pengadilan, biar Pembela Tuan Prof itu yang mengungkapkannya.
5. Administrasi Vs Hukum Pidana
Bung LP, jangan membebek gitu dunks dengan pendapat Tuan Mantan Menteri. Dalam Kasus Korupsi, yang bermasalah adalah Kewenangan yang salah dipergunakan. Kewenangan itu sering dikonkritkan dalam bentuk pengambilan keputusan, yang bentuk formalnya beragam, setidaknya adalah Surat Keputusan. Nah, ini sering kita sebut “Legalisasi Korupsi”. Jadi korupsi yang ditutupi dengan kebijakan. Ini yang sering dilakukan oleh kawan-kawan pejabat di eksekutif dan Legislatif.
Contohnya banyak, salah satu modus yang cukup sering dipergunakan adalah di Pengadaan Barang (Procurement) yang tidak sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Hukum itu suatu sistem, satu kesatuan, tidak ada dikotomi yang benar-benar nyata antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana. Pembedaan hanya dilakukan untuk mempermudah mempelajarinya/mengadakan pengkhususan.
gini,…penunjukan langsung pengelolaan sisminbakum pada PT SRD. menurut brother febri Hal ini jelas melanggar keputusan presiden tentang pengadaan barang dan jasa. Seharusnya, menteri paham bahwa penunjukan langsung (tanpa tender) hanya dimungkinkan untuk barang atau jasa yang bersifat sangat khusus, tidak diproduksi atau dihasilkan pihak lain. Atau, barang dan jasa tersebut berkaitan dengan kerahasiaan negara. Apakah kasus sisminbakum demikian? ya, sangat iya, ingat,…sisminbakum berhubungan dengan kerja notaris yang sebagian membawa gezaag atau kewibawaan pemerintah khusus dibidang keperdataan dan segala hal yang ada didalamnya bukan rahasia tetapi sangat rahasia, menyangkut hak2 keperdataan orang2 yang membuat PT, artinya ini menyangkut kerahasiaan akta notaris yang hanya dapat dilihat para pihak atau kuasa hukumnya yang pengaturannya ada dalam UU JN dan segala hal yang ada dalam UUPT.karenanya segala rangkaian administratifnya memang harus terjaga, sebelum tahun pemberlakuan sistem anda harus memahami betapa lusuhnya administrasi dunia usaha kita yang dalam pengurusan awal saja sudah harus bolak balik jakarta mengurus pengesahan menteri. kehadiran sisminbakum telah mempermudah semuanya, dan kira2 apa apresiasi kita terhadap inventor sistem yang telah mempermudah kehidupan usaha dinegeri kita? menjebaknya dengan euforia pmberantasan korupsi?sejauh itukah itikad pemberantasan korupsi yang melibas hak-hak keperdataan dari mungkin kita kehilangan landasan filosofis hukum dalam memandang korupsi sebagai persoalan bangsa ini. Korupsi musuh kita semua bung,…tapi jangan kehilangan arah dalam mencapai tujuan hukum.
tampaknya sedikit alergi pada uraian…
ayo, bagian mana yang tidak jelas?
Kl boleh saya terjemahkan kira2 begini komentar brother yg satu ini:
“sisminbakum kan tidak merugikan negara, justru memperlancar urusan2 hukum. harusnya diberi penghargaab donk, masa malah dituduh korupsi”
yah, kl begini “susah” sekali menanggapinya….
gini.. saya punya kenalan, dia punya tanah warisan seluas 100.000 m2, lokasinya dekat dengan pusat kota, kurang lebih 10 km,kemudian dia pengen ngebangun mal, tapi gak punya modal…temanku nawarin ke saya, untuk ngebangun mal tsb. seluruh biaya pembanguna mal dibebankan ke saya, dengan perjanjian, kalau sudah jadi, maka seluruh penghasilan dari mal tersebut disetor kepada yang punya tanah ditambah pajaknya ditanggung oleh saya, menurut pengunjung disini, tawaran itu saya trima gak ya ? thanks atas pendapatnya, kepada tuan rumah tq atas numpang lewatnya.
untuk saudara Bobs, asas legalitas (ngulum delictum) tidak hanya harus dibaca apakah aturan pidana (misalnya UU 20/2001) diundangkan setelah perbuatan terjadi atau tidak, tapi termasuk setiap perubahan hukum yang dapat mengakibatkan dapat dipidananya seseorang.
sebagai ilustrasi misalnya UU tahun 1997 menyatakan bahwa setiap orang dilarang memiliki narkotika yang dilarang. dalam UU tersebut dinyatakan ketentuan mengenai jenis-jenis narkotika yang dilarang diatur dalam PP. misalkan pada tahun 1998 PP tidak menyatakan bahwa ganja termasuk narkotika yang dilarang. Pada tahun 1999 saya memiliki ganja sebanyak 2 ton. berdasarkan hukum yang ada pada saat itu tentunya saya tidak dapat dipidana. namun tiba-tiba pada tahun 2002 PP tersebut diubah yang isinya menyatakan bahwa ganja termasuk dalam jenis narkotika yang dilarang. apakah dengan demikian saya dapat dipidana atas kepemilikan ganja pada tahun 1999? tentu tidak, walaupun UU yang mengatur pemidanaannya sudah ada sejak tahun 1998.
Jadi menurut saya logika dari sdr Yusril dalam blognya sudah cukup tepat, hanya saja dia lupa, sebelum Keppres 42/2002 telah ada kepres No. 17/2000 seperti saya ungkapkan di atas.
pertanyaan saya untuk sdr febri, unsur melawan hukum/menyalahgunakan kewenangan mungkin sudah terpenuhi, unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain juga terpenuhi, pertanyaan berikutnya dimana unsur “dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara”nya? sepertinya anda belum mengelaborasi unsur ini.
salam
krupukulit aka tukang sindang
dalam kasus ini menurut saya pointnya adalah besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat. 800 ribu mungkin untuk satu perusahaan tidak ada artinya, tapi bayangkan 800 ribu di kali sekian ratus atau ribu pendaftaran. berapa yang akan didapat oleh pejabat tersebut? dan masalahnya lagi bukan sekedar berapa banyak yang akan didapat oleh si pejabat, namun berapa besar kerusakan sistem yang diakibatkan oleh pejabat tersebut.
Negara telah menetapkan suatu pungutan sebesar x rupiah melalui peraturan perundang-undangan. kemudian oleh pejabat yang bertanggung jawab ternyata dapat dinaikan pungutan tersebut seenak udelnya. apa ga kurang ajar namanya? Jika masyarakat menganggap bahwa pungutan yang resmi yang ditetapkan oleh peraturan dirasa terlalu berlebihan maka kita memiliki mekanisme untuk membatalkannya, melalui Hak Uji misalnya. Namun terhadap tambahan pungutan yang dilakukan oleh pejabat tersebut apa mekanisme hukumnya? ga ada bos!
Modus korupsi semacam ini juga merusak sistem manajemen kepegawaian. kita semua tahu gaji PNS kecil. pungutan-pungutan semacam ini sebagian memang akan menjadi bagian dari peningkatan kesejahteraan PNS, namun biasanya pembagiannya tidak merata. pejabat atau pegawai yang menduduki jabatan di tempat2 model sisminbakum ini biasanya yang akan mendapatkan jatah lebih besar. apa yang akan terjadi kemudian? pejabat/pegawai tersebut akan berusaha mempertahankan posisinya. untuk mempertahankan posisi tersebut maka ia akan berusaha loyal kepada atasannya, bukan loyal kepada jabatannya. ketika pejabat/pegawai tersebut tidak lagi disukai oleh atasannya maka ia akan kehilangan posisinya tersebut, dipindahkan ke tempat lain yang tidak “basah”, bentuknya tak hanya demosi melainkan bisa saja promosi. ketika ia tak lagi menduduki posisi basah tersebut maka ia akan kehilangan sumber penghidupannya. …hubungan patron-klien yang kemudian terbangun dalam sistem birokrasi kita. ujung-ujungnya birokrasi hanya akan melayani kekuasaan, bukan rakyatnya. saya rasa anda juga tahu soal ini.
menurut saya ini masalahnya, bukan sekedar soal sisminbakum, PT SRD, Yusril atau Romli. bukan sekedar 800 rebu atau 400 milyar. saya sepakat bahwa tujuan hukum bukan untuk mengacaukan sesuatu yang sudah tertib. hukum seharusnya menjadi instrumen untuk menjaga ketertiban itu sendiri. Dalam kasus seperti ini jika memang terbukti bahwa terjadi pelanggaran2 hukum namun jika tujuan pelanggaran hukum tersebut ternyata untuk tujuan yang lebih baik maka hukum pidana juga mengenal ajaran melawan hukum materil negatif, artinya terhadap pelaku bisa tidak dipidana. jika seandainya hal ini yang terjadi bagi saya tidak ada masalah, namun segala perjanjian dan aturan yang mengatur sisminbakum berikut kontrak kerja antara Depkum-koperasi-PT SRD harus ditertibkan. jika memang model kerjasama semacam ini dibutuhkan oleh birokrasi untuk meningkatkan kinerjanya maka harus dibuat kerangka hukumnya, untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan dikemudian hari maupun kerusakan sistem yang lebih luas.
1. Pasal 1 ayat 1 KUHP berbunyi:
“(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”
Ilmu hukum pidana sering merujuk ketentuan ini sebagai “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”. Asas ini merupakan produk aliran klasik (pada awal abad 19) yang bertujuan melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan negara dan bukan untuk melindungi masyarakat dan negara dari kejahatan sebagaimana tujuan hukum pidana modern.
Asas tersebut dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach, dan asas ini dibicarakan dalam lapangan Pemidanaan. HARAP DICATAT BAHWA ASAS YANG DIKEMUKAKAN OLEH VAN FEURBACH TERSEBUT TIDAKLAH MENCAKUP APA YANG TERCANTUM DALAM PASAL 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
“(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”
Jadi Pernyataan anda yang mengatakan “Asas Nullum Delictum” mencakup Pasal 1ayat (2), dalam penafsiran Historis dan Teleologis menurut saya adalah Keliru besar.
Kalau ada yang berbicara soal “asas legalitas” dalam lapangan hukum pidana (red: pemidanaan), yang menjelaskannya sebagai turunan dari “asas Nullum Delictum” sebagaimana yang saya uraikan (lihat uraian tanggal 21-11-08 diatas), maka penjelasannya pun harus sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Van Feurbach tersebut. (Silahkan baca buku teori hukum Pidana karangan siapa saja, dan Saudara tidak akan menemukan pasal 1 ayat (2) sebagai bagian dari interpretasi asas Nullum Delictum Von Feurbach. Kalau saudara temukan tolong beritahu saya, perlu untuk dipelajari:-))
Dengan demikian asas legalitas dalam hukum pidana meliputi hukum pidana materiil dan formil.
Dalam hukum pidana materiil asas legalitas berarti tidak ada yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Sementara dalam hukum pidana formil yang lebih menitikberatkan pada fungsi instrumentasi dengan bersandar pada frasa ketiga, nullum crimen sine poena legali, asas legalitas berarti setiap perbuatan pidana harus dituntut.
Dan kawan Arsil, anda mengambil contoh sangat keliru soal perubahan dalam peraturan perundang-undangan terkait pemidanaan. (contoh soal UU Psikotropika).
Bung, bukankah pada saat kita belajar Hukum Tata Negara, silahkah juga baca UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kita belajar soal Muatan apa yang diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan, sekelas UU, Perpu, PP dsb???
Pasal 1 ayat (2) tersebut terkait soal adanya Perubahan mengenai “Perbuatan Pidana (dan ancaman pidana)”.
Nah, SANGAT TIDAK MUNGKIN terjadi perubahan mengenai Perbuatan Pidana dalam peraturan sekelas Peraturan Pemerintah (PP).
Bung Krupuk kulit, contoh yang anda sampaikan juga keliru (untuk tidak menyebutnya salah besar:-))
Carilah contoh yang lebih baik, misalkan:
“Pasal 134-137 KUHP telah dinyatakan “dicabut” oleh MK karena JR oleh Rekan Eggy Sudjana. Nah, pada saat pasal tersebut dinyatakan “dicabut”, dalam putusan PN, beliau masih dikenai penjatuhan Pidana (agak ngaco hakimnya, walaupun logikanya karena tempus delicti). Nah, padahal, seharusnya, berdasarkan pasal 1 ayat 2 KUHP tersebut, ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa adalah terdakwa tidak dipidana, karena telah terjadi perubahan mengenai perbuatan pidana.
Jadi, kenapa pasal 1 ayat 2 tidak masuk asas legalitas (Von Feurbach) menurut hemat saya yang sederhana ini adalah karena tidak semua perubahan yang terjadi dalam UU meyangkut perubahan soal Perbuatan Pidana (dan tentu ancaman pidana).
Bisa ajakan dalam UU Pemberantasan Korupsi yang diubah katakanlah hanya soal cara pembuktian…
2. Nah, berlakukah ASAS LEGALITAS VON FEURBACH dalam Lapangan Hukum Administrasi, Perdata dan lain sebagainya?
Hohoho, jangan keliru, secara historis, asas tersebut hanya berlaku untuk PEMIDANAAN. Kenapa PEMIDANAAN? Karena perampasan Hak Asaasi yang paling mendasar banyak terjadi di lapangan hukum PIDANA. ITU KENAPA ASAS TERSEBUT LAHIR DAN DIBESARKAN OLEH HUKUM PIDANA.
Dan dicatat, asas “Non Retroaktif” hanya salah satu bagian saja dari pengertian asas legalitas dalam hukum Pidana.
Ok, katakanlah Kita hendak membuatnya tampak kontemporer dengan Kondisi saat ini, Bagi saya tidak masalah, tetapi mohon jangan dikatakan, atau dipersamakan sedemikian rupa secara sembarangan bahwa Asas Non Retroaktif (larangan berlaku surut) adalah Asas Legalitas yang ada dalam lapangan hukum Pidana (sebagimana yang dikemukanan oleh Von Feurbach tadi).
Silahkan katakan saja: Bahwa ada asas Non Retroaktif (larangan berlaku surut) dalam lapangan hukum Perdata, administrasi dan lain sebagainya. Namun jangan sebutkan “Berlaku asas Legalitas dalam lapangan Hukum Perdata, Administrasi dan lain sebagainya”. (Mari kita belajar teori dengan alur berfikir yang benar secara historis.)
3. Nah, kemudian dalam kalimatnya teman Febri, disebutkan:
“Di sisi lain, ku kira dalam konstruksi ilmu hukum kita memang masih jadi perdebatan, apakah asas non-retroaktif hanya berlaku diwilayah hukum Pidana saja, dan tidak untuk wilayah hukum lainnya”
Perdebatan yang terjadi di kalangan profesor hukum kita karena ketidakmampuan membaca perjalanan asas legalitas dan tidak berjalannya pembaharuan hukum secara menyeluruh. Mau gampangnya saja, asal comot.
Kalau mau, asas “Non Retroaktif” tersebut sebaiknya secara tegas disebutkan bahwa “ASAS NON RETROAKTIF” memang berlaku dalam seluruh lapangan hukum baik yang sifatnya privat maupun publik. Dan agar kalangan Positivistik gembira, silahkan dituangkan dalam pasal yang konkret.
Toh sampai sekarang belum ada toh yang menyebutkan secara jelas bahwa “Non retroaktif berlaku di bidang perdata”?
Namun, sebagai contoh bahwa asas tidak berlaku surut juga berlaku di Perdata, dapat kita baca dalam salah satu putusan hakim menyangkut gugatan Kejaksaan terhadap tommy Soeharto mengenai tukar guling (kasus BULOG kalau ndak salah), dimana kejaksaan pakai UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terrbatas dalam menjelaskan adanya perbuatan melawan hukum dalam proses tukar guling… Dan Hakim, akhirnya menolak gugatan kejaksaan.
Btw, Terima Kasih tanggapan dari Bung Arsil dan Teman Febri.
“Lawan dalam diskusi biasanya adalah teman dalam Perjuangan”…
Gb
saya cukup sepakat dengan anda mengenai asas non retroaktif, khususnya ketika anda mengatakan bahwa asas ini pada prinsipnya berlaku untuk semua lapangan hukum, bahkan menurut saya berlaku untuk semua norma. saya sendiri pernah menulis masalah ini yang intinya sejalan dengan pemikiran anda. bisa lihat di blog saya krupukulit.wordpress.com. dengan judul “seputar asas non retroaktif”. tulisan tsb sebenarnya dibuat untuk memperjelas masalah apakah KPK berwenang menangani perkara korupsi yang terjadi sebelum terbentuknya KPK. Di dalamnya saya juga mencoba mematahkan argumentasi pihak yang menyatakan bahwa asas ini hanya berlaku dalam hukum pidana materil.
mengenai contoh psikotropika, saya tidak sependapat dengan anda. mungkin ilustrasi saya kurang menggambarkan. ok kalau begitu saya ulangi.
Dalam pasal 2 ayat 2 UU 5/97 (psikotropika) psikotropika digolongkan menjadi 4 gol. apa yang termasuk dalam golongan2 tersebut diatur dalam lampiran UU tersebut. dalam ayat 4 pasal yang sama dikatakan bahwa ketentuan lebih lanjut dan perubahan jenis2 psikotropika diatur oleh Menteri.
Misalkan minggu lalu Nikotin tidak masuk dalam jenis2 zat yang terdapat dalam lampiran UU tersebut. dan muinggu lalu saya punya banyak stok Nikotin (yang sebagian saya simpan di paru2 saya). tiba-tiba hari ini Menteri Kesehatan berdasarkan wewenang dari pasal 2 ayat 4 UU tersebut mengeluarkan Kepmen (atau bentuk hukum lainnya) mengenai Jenis-Jenis psikotropika, di dalamnya misalnya dinyatakan bahwa Nikotin masuk dalam psikotropika golongan 4. Dengan demikian maka kepemilikan Nikotin menjadi sesuatu yang melanggar hukum yang dapat dipidana berdasarkan UU 5/97. Namun pertanyaannya apakah perbuatan saya minggu lalu secara serta merta menjadi dapat dipidana?
apakah ilustrasi ini cukup menggambarkan apa yang saya maksudkan bahwa asas legalitas (ngulum delictum) tidak hanya harus dibaca apakah aturan pidana diundangkan setelah perbuatan terjadi atau tidak, tapi termasuk setiap perubahan hukum yang dapat mengakibatkan dapat dipidananya seseorang walaupun hukum yang diubah tersebut bukanlah hukum yang memuat aturan pemidanaan itu sendiri? kalau dirasa masih kurang saya dengan senang hati akan mencari ilustrasi lainnya.
btw, mengenai pernyataan anda yang berbunyi: “Jadi Pernyataan anda yang mengatakan “Asas Nullum Delictum” mencakup Pasal 1ayat (2), dalam penafsiran Historis dan Teleologis menurut saya adalah Keliru besar.”
…dalam komen saya sebelumnya sama sekali saya tidak pernah menulis soal pasal 1 ayat (2) apalagi soal penafsiran Historis dan Teleologis.
Ok, senang berdiskusi dengan anda. saya pikir pada dasarnya kita sejalan.
Hohoho, teman krupukulit or bung Arsil:-)
1. Soal Retroaktif, tidak berlaku surut, kita sepakat… Saya juga pernah menuliskan hal tersebut dalam salah satu tulisan. (sama, menyangkut kewenangan kpk ambil alih kasus BLBI…bobbylawyer2003.wordpress.com)
2. Soal Ilustrasi yang anda sampaikan, menurut saya itu masih kurang tepat sebagai contoh penerapan dari asas legalitas. Itu lebih cocok diberikan pada penjelasan atas unsur ‘sifat melawan” hukum nya suatu perbuatan atau setidak-tidaknya mengenai perluasan delik…
Karena, Perbuatan Pidananya sudah jelas dalam pasal-pasal UU Psikotropika, masalah lampiran yang diperbaharui, sama sekali tidak merubah mengenai ada tidaknya suatu perbuatan pidananya, sifatnya lebih kearah memperluas delik, bukan menciptakan atau meniadakan delik.
Katakanlah dalam uu tersebut, dalam salah satu pasalnya, ada unsur “memiliki atau menggunakan psikotropika”, nah apa yang dimaksud dalam uu tersebut dengan jenis psikotropika adalah sebagaimana yang diatur dalam lampiran. Nah, lampiran bisa berubah-ubah sesuai perkembangan zaman, namun deliknya tetap, ancaman pidananya pun tak berubah.
Dan bagi saya, Perubahan lampiran sebagaimana yang anda maksudkan dalam contoh sama sekali tidak mengakibatkan terjadinya perubahan atas suatu perbuatan pidana (dan ancaman pidana), toh yang diperluas hanya melawan hukumnya”.
Deliknya sama, penguasaan atau penggunaan atas psikotropika. Toh, kalaupun mau, tanpa perubahan lampiran, sesuai perkembangan zaman, hakim dengan penafsiran ekstensif (dalam contoh anda tersebut: Nikotin) tanpa perubahan lampiran, hakim bisa memasukkannnya sebagai bagian dari dari Psikotropika yang dilarang. (dan anda langsung akan membantah: MK tidak memperbolehkan sifat melawan hukum fungsi positif..Tapi Btw, MK emang sok teu soal pidana ya ).
Atau kalaupun kalau anda nantinya membantah lagi dengan tulisan berikutnya, saya tetap bersikukuh bahwa ilustrasi anda tidak terkait soal legalitas, paling banter menurut saya, ilustrasi teman ini hanyalah contoh mengenai perubahan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 (walaupun masih kurang tepat juga menurut saya), dan bukan dalam contoh dalam kaitannya dengan perdebatan “legalitas”(yang dimaksud oleh Von Feurbach, yang dirangkum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP)
Kenapa Perubahan sebagaimana yang anda maksudkan dalam contoh anda tersebut menurut saya tidak masuk dalam perdebatan ranah “legalitas” (von feurbach), karena sebagaimana yang kita ketahui, dalam penjelasan saya soal asas legalitas, pasal 1 ayat 2 KUHP, tidak pernah dibicarakan oleh Van Feurbach ketika membicarakan soal “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Lege Poenalis”.
Pasal 1 ayat 2 KUHP, ada setelah pembicaraan mengenai pendapat Van Feurbach soal “Nullum Delictum…” tadi.
Itulah kenapa, dalam pendapat saya yang pertama (yang kemudian anda tanggapi), saya tidak memasukkan pasal 1 ayat 2 KUHP dalam rezim asas Nullum Dellictum Nulla Poena Sine Lege Poenalis. Dasar pijakan saya berdasarkan penafsiran Historis dan Teleologis mengenai asas tersebut.
Dan kenapa pasal 1 ayat 2 KUHP itu tidak dimasukkan ke dalam rezim asas “Nullum Delictum …”? Menurut saya, seperti yang sudah saya kemukakan, karena mengenai perubahan atas UU, tidak semua perubahan bisa mempengaruhi pemidanaan. (Misal: Soal Pembuktian)
Nah, kita beda titik pandangnya di hal tersebut.
Anda berpendapat bahwa setiap perubahan hukum yang dapat mengakibatkan dapat dipidananya seseorang itu masuk dalam asas legalitas.
Okelah, sebatas itu bisa saya setuju. Cuma sebagaimana yang saya sebutkan dan kita ketahui bersama, tidak semua perubahan atas suatu uu menyangkut pemidanaan. Nah, masa kita mau memasuk pasal 1 ayat 2 ke dalam asas legalitas (sebagaimana yang dijelaskan Von Feurbach ) juga?
Karena menurut saya, mengenai perubahan uu tidak bisa kita ambil sepotong-sepotong hanya sebatas jika menyangkut dapat dipidananya seseorang”.
Itu kenapa KUHP memisahkannya teman, diatur tersendiri dalam ayat 2, terpisah dari ayat 1. Karena memang, pasal 1 ayat 1 itu, lahir dan dibesarkan dari asas nulllum delictum yang disebutkan oleh Von Feurbach. Karena asas legalitas adalah turunan dari omongan Von Feurbach tadi, maka tidak tepatlah kalau kita membicarakan soal asas legalitas, pasal 1 ayat 2 tersebut kita masukkan sebagai bagian dari penafsiran asas nullum delictum.
Namun, kalau bung arsil hendak mengatakan: pasal 1 ayat 2 tersebut patut dibicarakan ketika berbicara mengenai pemberlakuan surut, saya bisa terima dengan lapang hati. Itulah kenapa pasal 1 masuk dalam bab mengenai wilayah berlakunya hukum pidana.
Sengaja saya sedikit menguraikan mengenai asas legalitas dari Von Feurbach tersebut, maksud saya, agar para kalangan sarjana hukum, tidak maen asal comot saja mengenai asas legalitas dalam hukum pidana, kemudian dicangkokkan tanpa pengertian historis ke dalam lapangan hukum lain:-)
Terima Kasih atas diskusinya:-)
Gb
Mungkin kita berbicara dalam 2 bahasa yang berbeda, antara asas legalitas dan asas non retroaktif. Untuk menghindari kesimpangsiuran, saya tidak akan menggunakan kedua istilah tersebut, namun hanya akan bertanya kepada anda.
dengan ilustrasi Nikotin sebelumnya, apakah menurut anda jika saya memiliki Nikotin sebelum keluarnya Kepmen Kesehatan tersebut, apakah saya dapat dipidana? Jika ya mengapa dan apa dasar hukumnya, jika tidak mengapa?
sebaliknya, jika saya memiliki Nikotin setelah keluarnya Kepmen tersebut apakah saya dapat dipidana?
Jawaban anda akan mungkin akan membantu saya mengetahui, apakah maksud kita sama atau tidak. Ilustrasi kasus nikotin ini juga memiliki kesamaan dengan pernyataannya bung Yusril.
salam.
Di Indonesia, hari gini, pejabat gak ada yang korupsi? Mimpi kali ye…
Untuk Febry. Lo nyebutin Sisminbakum diteken Yusril 4 Oktober 2000. Tapi lo juga bilang dia melanggar Pasal 23 A dan 23 C UUD 1945. Lo pasti tau kedua pasal itu hasil amendemen ketiga UUD 1945, sekitar Agustus 2001. Lo juga bilang, Yusril melanggar UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Coba lo jelasin lebih gamblang, apa alasan lu bilang dia melanggar, biar jelas bagi s
Bagaimana bisa disebut korupsi kalo blom jelas itu PNBP atau bukan, lagian semua orang ampe tukang cilok juga tau kalo undang2 korupsi ntu uda ada sejak jaman fir’aun pake popok.. cuma yang jadi soal kalo baru sekarang access fee sisminbakum itu dikategorikan PNBP (emang ada ya kepmennya?), apa emang bener berlaku surut buat kontrak yang uda ada sebelomnya.. wis ra mudeng aku.. jadi bukan undang2 korupsinya yg berlaku surut Tuan Bob (hasan).. btw, betah ga di nusakambangan?
…contoh loe itu ga ada kaitannya langsung dengan masalah retroaktif ini. masalah ini seperti halnya aturan peralihan, “dengan diundangkannya undang-undang ini segala peraturan pelaksana dari UU sebelumnya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan uu ini.” kira-kira gitu (sori ga sempet copy paste).
…asas yang lebih tepat dalam contoh loe itu bukan non retroaktif, tapi asas lex superiori derograt lex inferiori dan asas lex posteriori derogat lex priori.
tapi terlepas dari itu, dibatalkannya uu tahun 50 karena adanya konstitusi baru tidak mengakibatkan batalnya segala perbuatan hukum yang timbul karena UU tahun 50 tersebut, karena sebelum adanya konstitusi baru ini UU tersebut sah dan tidak bertentangan dengan konstitusi yang mendasarinya (konstitusi sebelumnya). masalah retroaktif-retroaktifan baru muncul jika dalam konstitusi baru tersebut dinyatakan “konstitusi baru ini sah dan berlaku surut hingga 17 agustus 1945″.
…tulisan loe mungkin belum berhasil memetakan kasus sisminbakum ini secara jelas, tapi menurut gue loe cukup berhasil memprovokasi orang untuk diskusi. hehehe.
aturan mengenai cara manual menyebutkan:
jika dalam satu daerah tidak terdapat line telpon (kasarnya), baru bisa dilaksanakan secara manual pendaftaran perseroan secara manual
mengenai pertanyaan loe apakah suatu pasal di konstitusi dapat dikesampingkan karena suatu asas…bukan dikesampingkan bro, tapi tidak dapat diberlakukan untuk tindakan hukum yang terjadi sebelum diundangkannya konstitusi tersebut. ada satu contoh menarik dari komentator di blognya Yusril, yang mengomentari tulisan loe. pertanyaan dia adalah apakah dengan adanya konstitusi baru yang mengatur presiden dipilih langsung oleh rakyat berimplikasi pada inkonstitusionalnya pemilihan-pemilihan presiden yang terjadi sebelum konstitusi baru ini disahkan? Dengan amandemen UUD tahun 2000-2002 ini apakah berarti pemilu tahun 1955 s/d 1999 itu inkonstitusional? Kalo loe jawab pemilu sebelum th 2000 inkonstitusional berarti loe terlalu banyak makan dodol, hehehe (becanda). tapi kalo loe jawab tetap konstitusional maka jawaban loe ini tidak konsisten dengan tulisan loe sebelumnya. gitu lho bro.
mengenai pertanyaan loe terakhir, soal romli dan yusril. jawaban gue, belum tentu. Dalam kasus ini gue melihat setidaknya ada 2 peristiwa hukum yang berbeda. pertama peristiwa penunjukkan pelaksana proyek sisminbakum, kedua peristiwa pemungutan akses fee sisminbakum. ada dimana posisi 2 orang tersebut, gue ga tau. apakah peristiwa hukum tersebut merupakan peristiwa pidana? kita tidak bisa sekedar berasumsi. gue bukan pendukung atau fans 2 orang itu. tapi gue rasa kita sudah harus mulai belajar untuk tidak menjudge orang terlalu cepat.
gue bukan muslim yang taat (apa masih muslim gue juga bingung, hehehe), tapi ada hadits (atau firman? yang jelas bukan firmansyah arifin) yang bilang “janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil”…kayak asas praduga tak bersalah ya?
koruptor harus dihukum, gue sepakat, sepakat abis. tapi bukan berarti kita bisa menghukum orang seenaknya. tindakan menghukum orang seenaknya, termasuk mendorong negara untuk menghukum orang seenaknya, justru pada akhirnya akan mendorong negara semakin korup, bukan sebaliknya. asas praduga tak bersalah itu penting, karena mengingatkan kita untuk tidak prejudice…prejudice hanya akan menghilangkan sifat kekritisan kita.
…apakah sebuah pasal di konstitusi dapat dikesampingkan normanya karena suatu asas tertentu (yang kebetulan dituangkan dalam norma hukum positif hanya selevel undang-undang)…kenapa gue mendapat kesan loe jadi over-legalistik ya? :p
oke sekian dulu. laper.
Kedua…. tentang “over legalistik”. Ku kira ini hanya soal sebutan. Aku cenderung mengajakmu untuk bicara soal “keberpihakan”. Karena, menurutku ilmu hukum ini tidak akan berguna tanpa apa yang kita sebut “keberpihakan”. Sengaja kuberi tanda kutip.
Dari perspektif empiris, kita tau, Yusril sering bikin aturan seenaknya, seperti main tunjuk langsung (tidak hanya di Sisminbakum tapi juga pada kasus AFIS). Kemudian, loloskan uang untuk Tommy Soeharto. Tidak ada yang bisa jamin bahwa sebagian keuntungan tersebut dijadikan atau tidak dijadikan dana politik partainya Yusril. Memang belum ada yang buktikan aliran tersebut (karena kasus selalu berhenti ditengah jalan). Namun, dalam teori korupsi politik, praktek seperti ini menjadi common sense, terutama berkaitan dengan kewenangan yang seringkali “disalahgunakan” namun berkelit disela-sela celah aturan hukum positif.
perbuatan tersebut mungkin bisa saja kita jerat dengan term “unsur melawan hukum materil”, namun MK (dengan pertimbangan yang sangat aneh) telah membatalkan itu. Apa boleh buat, dari pada debat sampai bibir rontok lebih ku pikir lebih baik kita coba maksimalkan saja UMH Formil tersebut.
Tentang asas praduga tak bersalah, ku kira dalil ini juga yang sering ku dengar dari pihak yang seringkali menyalhgunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi, teman atau bahkan pemenuhan pundi-pundi pendanaan politik. Aku percaya dengan asas tersebut, namun aku mahfum -tanpa harus dipertentangkan- bahwa sistem hukum kita juga menganut asas praduga bersalah. Posisi Jaksa yang harus menuntut si terdakwa sedemikian rupa adalah bentuk aktualisasi asas praduga bersalah tersebut.
Dan, menurutku asas praduga tak bersalah justru ada untuk menjamin hak-hak tersangka tidak terabaikan dalam sebuah proses hukum.
Agar seimbang, biarkanlah si pengacara tersangka atau terdakwa yang memikirkan bagaimana membebaskan klien mereka dan bagiamana menyatakan si klien tidak bersalah.
Aku tidak tertarik berada di posisi itu. Karena ku kira, energi kita yang terbatas akan lebih maksimal digunakan dalam kerangka berpikir “keberpihakan” mendesak agar aktor utama kasus Sisminbakum ini dijerat tanpa tebang pilih.
Arsil tentu punya cara berpikir berbeda, dan cara melihat yang berbeda. Fine…
So, tentang over-legalistik, poin ku sederhana, memikirkan cara untuk menjerat orang yang diduga kuat menyalahgunakan kewenangannya namun cukup mengerti dimana celah hukum untuk meloloskan diri. Ku kira sikap seperti ini yang sering dilupakan banyak pihak yang tenggelam dalam perdebatan-perdebatan.
sekitar 1 minggu yang lalu kita sempat diskusi tentang bagaimana menjerat seseorang yang menyalahgunakan kewenangannya, namun -ternyata- tidak ada uang negara yang dirugikan, dan tidak cukup aturan positif untuk menjeratnya. Dan kita coba susun itu dalam salah satu ayat pada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dengan satu asumsi simpel, bahwa secara empiris hal itu terjadi, tapi hukum positif yang ada selama ini tidak mampu menjerat perbuatan tersebut. Dan, kau mencontohkan kasus Sisminbakum disana.
Ku pikir sederhana saja, Yusril tanda tangan untuk membentuk Sisminbakum, dan kemudian tandatangan lagi untuk MENUNJUK LANGSUNG perusahaan yang sengaja dibentuk 3 bulan menjelang penandatanganan kontrak (PT. SRD), dan kemudian memberikan alokasi keuntungan 90% terhadpa perusahaan, kemudian hanya 10% untuk koperasi.
di tataran implementasi, alokasi untuk koperasipun dimanfaatkan jadi dana non-budgeter untuk pejabat depkumham, dan bahkan mengalir pada ister-isteri pejabat. Dan, PT SRD?
Pertanyaan sederhana, kita mau berjibaku dalam alasan teknis dan perdebatan asas presumption of innocence yang pada akhirnya hanya akan menguntungkan mantan Menteri yang jadi penyebab awal semuanya? Atau berpikir konstruktif? Aku justru menantangmu pak, apakah kau punya alternatif untuk menjerat aktor utama kasus SISMINBAKUM ini?
best regards
soal keberpihakan. pada prinsipnya gue setuju. pertanyaannya adalah keberpihakan pada apa dan siapa? pada kejaksaan kah? marwan kah? apakah ada jaminannya negara dalam menjalankan kewenangannya -dalam konteks ini kewenangan memidana- tidak disalahgunakan? gue ga bilang bahwa dalam kasus ini telah disalahgunakan, tapi hanya mengingatkan, bahwa kekuasaan pada dasarnya potensial korup. belum lama ini kita baru ada kasus salah tangkap, kasus anshori. apakah menurut loe kasus serupa tidak akan terjadi dalam kasus korupsi?
setiap orang pasti punya kesalahan. tapi apakah adil menghukum seseroang karena perbuatan yang tidak dilakukannya? lalu kita berkata, tokh dia dulu korup, ya sekarang salah hukum ya gapapa, paling ga untuk menghukum perbuatan yang dulu tidak bisa kita buktikan. …wah cara berfikir loe berbahaya sekali bos. prinsip dasar hak asasi manusia telah dilanggar di sini. cara berfikir seperti ini pada satu titik dapat menjustifikasi tindakan torture yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, “ya mungkin dalam kasus ini dia ga bersalah, tapi kan dia preman yang suka malakin orang”.
perdebatan kita menurut gue tidak menguntungkan mantan menteri atau mantan dirjen yang loe maksud. gue bahkan membantu tulisan loe dengan menunjukkan adanya Keppres yang lebih tepat digunakan untuk menganalisis masalah ini (kepres no. 17/2000). apakah ini berarti gue menguntungkan mereka?
seperti apakah berpikir yang konstruktif itu? apakah menurut loe diskusi kita dan komentator lainnya tidak konstruktif? atau menurut loe yang konstruktif itu yang menyalah-nyalahkan orang saja? apa dengan hanya menyalah2kan orang tersebut akan membuat orang tersebut dihukum atau lebih mengklirkan masalah?
dari diskusi kita ini (dan yang kita lakukan jumat lalu) hampir berhasil membuktikan bahwa uu tipikor yang ada ternyata masih memiliki kekurangan. perbuatan penyalahgunaan kewenangan yang tidak merugikan keuangan negara bisa tidak dipidana. ini merupakan sesuatu yang lebih konstruktif dibanding sekedar nyalahin orang.
perdebatan kita soal retroaktif2an ini sebenarnya hanya terkait dengan unsur melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan. dengan gue tunjukan kepres no. 17/2000 sebenarnya masalah ini sudah selesai, karena unsur ini telah terpenuhi. pun apabila jika ternyata kepres tersebut tidak ada tetap masih dapat dianggap memenuhi unsur melawan hukum, yaitu melawan hukum materil. MK memang telah membatalkan penjelasan pasal 2 UU tipikor namun dalam praktek MA tetap menafsirkan unsur melawan hukum termasuk melawan hukum secara materil. loe bisa buka2 putusan.net mengenai hal ini. jadi soal ini gue rasa kita sebenarnya sama. dari putusan2 ma loe juga bisa lihat bagaimana MA menafsirkan apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan kewenangan.
pertanyaan gue sebelumnya yang belum terjawab adalah mengenai unsur kerugian negara. bukan berarti gue menilai bahwa unsur ini tidak terpenuhi. tapi sebagai suatu diskursus menurut gue menarik untuk kita bahas, dibanding sekedar meminta bung marwan untuk mencarinya sendiri. kalo seperti itu ya dari awal aja kita ga usah debat bukan, biarkan dia membuktikan semua unsurnya sendiri aja, tokh memang tugas dia. tapi kalo seperti itu kan ga asik juga. kapan pinternya kita kalo semua urusan biar diselesaikan sama negara? untuk apa kita pinter? supaya ga dibodo-bodoin terus sama negara ini tentunya.
…mengenai pembagian 90%-10%…kalo masalah ini yang difokuskan menurut gue tak akan ada aktor yang terjerat. mengapa? pembagian 10% itu urusan privat, urusannya internal koperasi. jika 10% itu masuk sepenuhnya ke koperasi pun siapa yang diuntungkan? negara kah? jika 100% masuk ke koperasi pun apakah negara diuntungkan atau tidak dirugikan? …kecuali kalo loe berfikir bahwa NKRI kepanjangan dari Negara Koperasi Republik Indonesia, hehehe.
gimana menurut loe?
Maaf saya harus kembali menjalani pemeriksaan,
Salam,
RAS
coba deh baca tulisan ini…
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0210/21/opini/mame04.htm
———————
PADA kasus money politics (baca: korupsi) yang melibatkan sejumlah anggota parlemen baik di pusat maupun daerah seperti isu suap yang menimpa Komisi IX DPR dalam kasus Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), isu pembagian uang sebesar Rp 250 juta kepada tiap anggota DPRD Jawa Barat, dan kasus suap Jogja Expo Center (JEC) yang menjadikan Herman Abdurrahman, anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai terdakwa (Kompas, 6/10), para wakil rakyat yang mulia itu dengan tanpa rasa risi dan malu masih tegar tampil di hadapan publik seolah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya.
Bahkan, di antara mereka masih ada yang tampil memimpin sidang di Dewan dengan alasan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah.
Ini tidak mengherankan. Ibarat, pepatah mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari, terpidana kasus penyalahgunaan dana Yanatera Bulog, Ir Akbar Tandjung yang juga Ketua Umum Partai Golkar, masih tetap bersikukuh tidak melepaskan jabatannya sebagai Ketua DPR kendati vonis telah dijatuhkan.
Alasan yang dikemukakan Tandjung maupun para fungsionaris Golkar lainnya adalah putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van geweisde), maka dengan tameng yang sama, yakni asas praduga tidak bersalah, Tandjung berkeberatan menon-aktifkan dirinya apalagi diberhentikan.
Demikian pula kasus yang sedang menimpa Jaksa Agung MA Rachman karena tidak mencantumkan kepemilikan rumah di Graha Cinere, Depok, dan deposito Rp 800 juta dalam Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN) 10 Juli 2001 kepada KPKPN (Kompas, 8/10). Meski didesak mundur, tampaknya dia tidak akan mundur hanya karena persoalan tidak melaporkan harta kekayaan sebagaimana mestinya, lagi-lagi dengan alasan asas praduga tidak bersalah.
Dari berbagai kasus yang sedang menimpa para penyelenggara negara kita, baik di pusat maupun daerah, perlu kiranya tulisan ini mengulas tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan asas praduga bersalah dan asas praduga tidak bersalah. Ulasan ini bertujuan agar para penyelenggara negara yang terlibat perkara pidana tidak bersembunyi di balik asas praduga tidak bersalah untuk tetap bercokol di singgasana kekuasaan.
uuu
DALAM perspektif criminal procedure (hukum acara pidana), Hebert L Packer dalam The Limited of The Criminal Sanction mengemukakan dua model dalam beracara. Kedua model itu adalah crime control model dan due process model. Crime control model memiliki karakteristik efisiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt (praduga bersalah) sehingga tingkah laku kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan. Crime control model ini diumpamakan seperti sebuah bola yang digelindingkan dan tanpa penghalang.
Sementara due process model memiliki karakteristik menolak efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent (praduga tidak bersalah) sehingga peranan penasihat hukum amat penting dengan tujuan jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah. Due process model ini diumpamakan seperti orang yang sedang melakukan lari gawang.
Masih menurut Packer, di antara kedua model itu ada nilai-nilai yang bersaing tetapi tidak berlawanan; dan sebagai catatan penting, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang menerapkan salah satu model itu secara konsisten.
Oleh karena itu, sebagaimana diungkapkan M King dalam A Framework of Criminal Justice yang masih menambahkan empat model lain dalam criminal procedure, masing-masing medical model, bureaucratic model, status passage model dan power model masih membagikannya ke dalam dua pendekatan. Ketiga model yang pertama, yaitu crime control model, due process model, dan medical model dikategorikan ke dalam participant approach. Sedangkan ketiga model yang kedua, yaitu bureaucratic model, status passage model, dan power model dikategorikan ke dalam social approach.
Menurut King, participant approach ini adalah cara pandang dari sudut pandang para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Ketiga model pertama itu telah mengidentifikasi berbagai nilai dalam proses acara pidana dan aparat penegak hukum diberi kebebasan memilih mana yang akan digunakan.
Masih menurut King, ketiga model itu tidak ada satu pun mengungguli yang lain, semuanya memiliki keunggulan masing-masing. Karena itu, para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana biasanya tidak menerapkan satu model secara tegas, tetapi tergantung pada individu atau kasus yang dihadapi.
Sementara, social approaches ini dilihat dari sudut pandang masyarakat terhadap sistem peradilan pidana. Ketiga model terakhir didasarkan analisis teori sosial mengenai hubungan antara institusi penegak hukum sebagai struktur tersendiri dengan struktur lain di masyarakat. Para penegak hukum coba menjelaskan proses beracara secara keseluruhan kepada masyarakat dengan tujuan-tujuan tertentu, mengapa terjadi kesenjangan antara retorika dan kenyataan hukum.
Khusus mengenai asas praduga bersalah dan asas praduga tidak bersalah perlu dipahami. Kedua asas itu tidak bertentangan satu dengan yang lain. Bahkan, oleh Packer dengan tegas dikatakan, keliru jika memikirkan asas praduga bersalah sebagaimana yang dilaksanakan dalam crime control model sebagai suatu yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah yang menempati posisi penting dalam due process model. Ibarat kedua bintang kutub dari proses kriminal, asas praduga tidak bersalah bukan lawannya, ia tidak relevan dengan asas praduga bersalah, dua konsep itu berbeda, tetapi tidak bertentangan.
Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir.
Asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual. Artinya, berdasar fakta-fakta yang ada si tersangka akhirnya akan dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tahap peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan.
Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, kendati secara universal asas praduga tidak bersalah diakui dan dijunjung tinggi, tetapi secara legal formal Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita juga menganut asas praduga bersalah.
Sikap itu paling tidak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAP yang menyebutkan, Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Artinya, untuk melakukan proses pidana terhadap seseorang berdasar deskriptif faktual dan bukti permulaan yang cukup, harus ada suatu praduga bahwa orang itu telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dimaksud.
Oh ya Tuan Praduga, artikel yang bagus tuh…:-) (Penulisnya kayaknya kukenal deh…hehe)
untuk febri. tawaran gue untuk menjerat yusril? dalam diskusi ini gue ga berpretensi untuk menjerat siapa pun. pernyataan gue soal praduga tak bersalah yang gue tulis sebelumnya menurut gue udah cukup clear. kalo posisi gue ini loe nilai sebagai bentuk dukungan terhadap sang mantan menteri, ya silahkan. kalo mau dianggap sebagai bentuk dukungan untuk pak romli juga silahkan.
…sekali lagi, coba loe baca baik2 isi kepres no. 17/2000 pasal 16 atau 17, lihat juga tanggal pengesahannya. kenapa point ini penting? coba loe baca blognya YIM.
…point gue soal privat-privatan, maksudnya jangan hanya fokus pada masalah itu bung. soal kontrak yang sekarang antara depkum dan pt srd…you’re missing my point. mungkin loe perlu simak lagi koment2 gue sebelumnya. gue ga pernah bilang bahwa model kerjasama sebelumnya tidak bermasalah. kita udah selesai dengan masalah penyalahgunaan wewenang. kenapa loe mau mencoba balik ke masalah ini lagi? gue ga bilang bahwa kalo kontraknya antara pt dengan departemen itu semata urusan privat. hubungan hukum antara koperasi dengan PT jelas berbeda dengan departemen dengan PT dalam urusan ini.
secara ringkas kan masalahnya seperti ini, pada suatu ketika 2 institusi privat mengadakan kerjasama untuk pihak ketiga, dimana pihak ketiga tersebut adalah suatu institusi negara. apakah kedua institusi tersebut mendapatkan mandat dari institusi negara tersebut untuk melakukan pekerjaan dimaksud, sejauh ini kita (paling ga gue) belum mendapatkan kejelasan soal itu. apa yang dikerjakan oleh kedua institusi privat tersebut adalah layanan publik yang merupakan tugas dari institusi negara tersebut. salah satu pihak dari institusi privat tersebut terdiri dari subyek2 yang juga berada dalam institusi negara itu sendiri. dari sini kita bisa melihat adanya potensi conflict of interest.
setelah sistem yang dikerjakan selesai kemudian user dapat menggunakan layanan tersebut namun dengan biaya yang lebih tinggi dari yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku, sementara terdapat peraturan yang melarang pungutan diluar yang telah ditetapkan oleh peraturan. dari selisih biaya tersebut ternyata diterima oleh 2 institusi privat tadi, sementara biaya PNBP sesuai yang ditetapkan oleh peraturan tetap disetorkan ke kas negara. diantara 2 institusi privat tersebut kemudian diperjanjikan pembagian hasil 90:10. dari yang 10 tersebut kemudian dilakukan pembagian lagi, 60:40 (atau sebaliknya) antara institusi privat tersebut dengan pejabat2 yang ada di institusi negara tadi.
apakah seperti ini kasusnya? kalo memang seperti ini dimana saja titik masalah hukumnya? …soal 90:10 atau 60:40 hanya rangkaian akhir dari masalah sesungguhnya bung.
…yang gue tawarkan dari awal sebenarnya adalah mencoba menguraikan masalah ini satu persatu. satu masalah yang sejauh ini belum bisa kita uraikan adalah soal kerugian negara. apakah gue punya tawaran untuk menjawab masalah ini? lha, kan dari awal gue yang nanya? gue tidak menjadi “devil’s advocate” disini, karena memang gue devil tapi bukan advocate. hehehe.
kenapa gue menanyakan masalah ini? karena masalah ini akan terkait dengan penyusunan naskah akademis ruu tipikor kita, untuk menguji hipotesis kita bahwa pasal 3 uu yang ada kurang memadai. begitu lo bos. selain itu untuk dapat melihat persoalan secara lebih jernih lagi.
…apakah dengan demikian loe atau yang lainnya akan menilai gue pro koruptor? silahkan, ora urus. apakah pendapat2 gue bisa dipake untuk membebaskan koruptor? ora urus juga. apakah dengan demikian gue menjadi tidak berpihak? ora kurus lagi. gue ga terlalu peduli penilaian orang atas gue, karena ga akan bikin gue gemuk juga.
btw, loe bisa baca juga komen gue di blognya YIM. komen no. 96 dan 100.
salam, salam juga untuk pak romli, semoga masalah ini bisa cepat selesai.
see u besok pagi.
aku coba buka link dari Mr. Praduga itu…
jadi ingat materi kuliah hukum pidana dulu…
dengan mas Eddy,
hehe2
terutama tentang diskusi panjang di kelas tentang praduga bersalah dan praduga tak bersalah.
banyak orang memang hanya pakai praduga tak bersalah, dan justru terkesan berbusa bicara HAM, tp justru berpotensi untungkan kekuatan koruptif.
tapi sebagai wacana g p2 lah
—
untuk Arsil (krupukulit)
terimakasih banget tuk partisipasi kmentar, analisis dan masukannya…
Sepertinya kawan Arsil mencoba melihat kasus ini secara “lebih objektif”, “tidak tendensius”…Ya, patut dihargai dunks bung Feb:-)…
Kasus ini emang cukup unik, “semacam tak ada kerugian negara”, karena kewajiban terhadap negara (pnbp) sudah dipenuhi…
Perdebatan “dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara”, memang sepertinya perlu dikaji lebih. Audit BPKP yang menyatakan Sisminbakum melanggar UU PNBP tidak serta merta menjelaskan bahwa unsur ketiga dari Delik (dalam pasal 2 dan 3) bisa dipenuhi, walaupun kita tahu, delik tersebut adalah delik formal, potensi saja sudah cukup, tapi memang kali ini karena tak ada uang negara yang terlibat, arah ke pembuktian unsur ketiga (“dapat merugikan” keuangan negara) memang sulit…
Memang, dalam kasus korupsi HGB Hilton, Korupsi ECW Nelloe (Bank Mandiri), Korupsi Jamsostek, unsur kerugian negara masih bersifat potensi saja, bedanya kali ini adalah kalau ketiga kasus tersebut melibatkan uang/aset negara (gampang diinterpretasikan merugikan keuangan negara), dalam kasus sisminbakum, hampir tidak ada unsur aset/uang negara didalamnya.
Dalam bahasa awamnya Ini swasta yang keluar modal, membantu negara…(kok bisa ya depkeu tidak menganggarkan bidang ini, padahal sanat potensial..ckckc, memang swasta pintar mengendus bisnis, hehe)
Mungkin dengan pertimbangan itu, Kejaksaan Agung, tidak segera menahan Tn. Mantan Menteri. Tapi bercermin dari penetapan Tn. Guru Besar, dkk yang langsung dijadikan tersangka, maka Tn. Mantan Menteri juga bisa, dengan fakta, mengalirnya “Aliran Dana” ke kantong pribadi beliau selama menjabat…
Kalaupun nanti pasal 2 dan 3 tidak mampu menjerat Tn. Mantan Menteri, sebaiknya difikirkan alternatif untuk mengarahkannya ke Pasal 12 (Pemberian uang/gratifikasi)… Toh, kalau yang dikejar ancaman pidana, sama-sama berat.
Oh, ya, soal kajian yang sedang dilakukan banyak pihak terhadap arah dihilangkannya unsur “kerugian negara” dalam pasal 2 dan 3, mohon dikaji secara perlahan. Mohon dimengerti sampai saat ini, perlu tetap dibedakan antara ranah publik dan ranah privat. Pemidanaan terhadap semua bentuk kesalahan administrasi juga perlu dikaji lebih dalam. Hilangnya unsur kerugian negara sangat berpotensi untuk dijadikan “senjata pamungkas” buat seseorang untuk menembak jatuh lawannya dalam lakon politik tanah air. Jangan nantinya malah bersifat kontraproduktif dengan tujuan awalnya, yakni pemberantasan korupsi.
Di tengah krisis korupsi seperti sekarang, tindakan progresif sangat diperlukan, keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi adalah suatu keharusan, cuma kita juga harus perhatikan sisi lain dari penegakan hukum, “who man behind the gun”, juga patut dicermati dengan sangat.
Terima Kasih…
kerugian keuangan negara= kerugian keuangan negara. tapi dalam pasal 2 masih ada unsur alternatifnya, kerugian perekonomian negara, jadi ga semata hanya keuangan negara.
kasus korupsi BUMN…mungkin perlu dibaca putusan kasasi ECW Neloe, no. 1144 K/pid/2006 (atau 7?). pertimbangan MA sangat menarik di situ.
…menggunakan pasal 12 sebagai pisau analisis?…menarik, patut dicoba.
dalam surat panggilan dan penahanan Romly, Kejaksaan dah bilang mau jerat menggunakan:
“pasal 2 ayat (1); pasal 3; pasal 12 huruf e, f dan g; pasal 12 B ayat (1) huruf a dan b UU 31 Tahun 1999 serta UU 20 Tahun 2001.”
So, alternatif menjerat dengan gratifikasi sudah dipikirkan sejak awal.
dan, bahkan Pasal 12 huruf e…
Namun, memperhatikan unsur-unsur pasal disana,
aku agak ragu dengan unsur “memaksa seseorang memberikan sesuatu”
—-
Pasal 12 huruf e
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
—-
Unsur “Melawan Hukum” saya kira sudah banyak kita explore diatas…
Unsur “memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar”…
?
Apakah SK pembentukan Sisminbakum dan penunjukan PT. SRD yang dapat dianggap sebagai penyalahgunaan kewenangan bisa ditafsirkan sama dengan “memaksa” publik menggunakan mekanisme online dan memaksa publik membayar sejumlah uang pada swasta?
Sekalipun didalilkan pihak tersangka, bahwa publik punya pilihan untuk menempuh cara manual atau otomatis, akan tetapi kondisi saat itu sebebanarnya adalah kondisi yang menempatkan pengguna layanan pendaftaran badan hukum (notaris) pada posisi “terpaksa”. Dapatkah ditafsirkan demikian?
Diskusi dengan pak Arsil minggu lalu mengingatkanku, agaknya Putusan No. 95/K/Pid/2007 patut dipelajari untuk jadi pertimbangan tafsir mengancam atau memaksa.
kalau unsur “membayar” tentu cukup clear…
atau ada masukan lain?
–
oh ya, untuk Pak Arsil..
(diluar konteks kasus Sisminbakum)
“Kerugian Keuangan Negara” merupakan term yang ada pada UU 31/1999 dan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sedangkan,
“Kerugian Negara” merupakan term yang ada pada UU 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
–> Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Sedangkan arti “Kerugian Keuangan Negara” jauh lebih luas…
Tapi aku masih ragu, apakah Defenisi dan Ruang Lingkup “Keuangan Negara” pada UU 17 tahun 2003 tentang KEuangan Negara berlaku untuk memberi arti lebih luas pada Unsur Kerugian Keuangan Negara seperti pada Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Karena banyak kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan akhirnya divonis bebas Hakim Peradilan Umum gunakan term “Kerugian Negara” seperti diatur pada UU 1 tahun 2004, apalagi jika uang negara tersebut sudah dipisahkan pada BUMN atau Koperasi, dsb.
So,
yang mau investasi itu saya bukan temen saya, dia justru nawarin ke saya, beliau hanya punya modal tanah…dengan pembagian seperti yang saya terangin, dan saya jelas punya kewenangan penuh, yaitu uang saya.
by the way..saya tidak menganalogikan masalah saya dengan masalah orang lain, karena kebetulan mampir, jadi saya sekalian nanya or minta pendapat…tapi kalo sekedar tanya or minta pendapat nantinya dikenakan pasal tertentu…ya gimana…
eh usul anda kurang jelas.. maksud bikin warung kopi tuh yang seperti apa ? STARBUCK?
kalo minta pendapat ga akan saya kenakan pasal mas dharmo, tapi kalo minta pendapatan saya baru saya kenain pasal.
cukup jelas?
begini bung feb,
persoalan sisminbakum sepertinya diarahkan pada siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab atas kebijakan itu yang tak lain adalah bung yusril.
mainsteam tersebut sepertinya ditundukkan pada pure pidana seperti secara kontekstual pada ketentuan pasal 55 KUHP J UU No 31 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Alur analisis tersebut tidak bisa di simplifikasi seperti itu dengan secara liar untuk mengarahkan kebijakan menteri dalam frame pidana.akan tetapi hal itu harus dibaca lebih tertib pada persoalan HAN.dalam teori hukum dikatakan hakim (Judge) tidak dapat mengadili aturan kebijakan (Beleidrehel) sekalipun aturan kebijakan bukanlah komponen peraturan perundang-undangan,oleh karena hal tersebut merupakan instrumen freissermessen yang secara konservatif diperlengkapi oleh setiap organ pemerintahan (state aparatus), kapasitas yusril saat itu sebagai menteri yang tentunya secara administratif juga mengemban dan diberi kewenangan legal untuk mengatur kebijakan khusus yang terkait fungsi pelayanan publik.persoalan lain adalah apakah kebijakan pengaturan tersebut dikualifisir sebagai hal yang bertentangan dengan hukum baik UU No 13 2003 Maupun ketentuan Pasal 23 D UUD 45 haruslah dibaca dalam dimensi lain dan bukan dalam konteks pidana sebab ada mekanisme ketatanegaraan yang dapat digunakan untuk menilai apakah produk kebijakan menteri itu bertentangan dengan hirarkies perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 tahun 2004 atau tidak, sehingga tidak semudah itu seorang menteri dikriminalkan dengan alasan keliru dalam produk kebijakan, persoalan implementasi dari kebijakan yusril yang dianasir mengandung korupsi maka hal itu harus didudukkan secara disparitas dan jangan dielaborasi secara sesat dan potensi penyalahgunaan kebijakan yang terjadi kmudian. problen lain yang harus diingat,dinegeri ini persoalan pengaturan komponen PNBP tidak pernah jelas, selama ini kita cuman mengatakan bahwa UU No 1 tahun 2003 tentang perbendaharaan negara Jo UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara telah jelas mengatur tentang hal itu, tapa meletakkan titik penjelas. sebagai contoh perseteruan antara MA dan BPK mengenai biaya perkara bahwa biaya perkara masuk kategori PNBP atau bukan.tolong saudara ICW mencermati itu, jangan setengah2 melakukan pelibasan.jadi persoalan pengaturan komponen PNBP harus diselesaikan pada level legislasi dan jangan dibiarkan hidup pada ruang perdebatan publik. Negara kita negara hukum mr, ….tidak satupun yang bisa diadili seenaknya dengan opini memberatkan sebelum semuanya jelas.
So, sepertinya kurang tepat (untuk tidak mengatakan “salah kaprah”) kalau bung bilang, penegakan hukum pemberantasan korupsi tidak bisa menyentuh “kebijakan”.
Dalam term Korupsi Politik (silahkan baca disertasi Artidjo Alkostar yang diterbitkan jadi buku, judul “Korupsi Politik di Negara Modern”). Entry poin terpenting korupsi politik berangkat dari kekuatan politik dan “kebijakan” yang disalahgunakan.
Tau term “discretionary corruption”?
itulah yang diterapkan sedemikian rupa dalam kasus Sisminbakum ini.
hanya ingin bilang, bung…
Hukum Adminitrasi itu bukan “tempat berlindung” koruptor.
Dan, dalam kasus ini, saya kira hakim pun tidak akan mengadili kebijakannya, tapi lebih melihat apakah penerbitan kebijakan tersebut (yang melanggar sejumlah aturan hukum dan menjadikan negara tidak mendapatkan keuntungan yang seharusnya didapatkan) masuk dalam kualifikasi salah satu unsur melawan hukum seperti diatur pada Pasal 2 atau Pasal 3 UU 31/1999.
Jika menteri boleh sembarangan keluarkan kepmen tuk pungut uang dari rakyat, dan tidak perlu khawatir akan diseret ke pengadilan pidana…. wah…berbahaya sekali bung…
Tapi, terimakasih atas pelurusannya…
(anda memang luar biasa, sampai berniat meluruskan hukum yang sama sekali tidak mungkin lurus dalam arti harfiah)
Salam
Seorang dosen waktu kuliah dulu juga pernah bilang, asas Praduga tidak bersalah (presumption of innocent) itu baru ada setelah adanya praduga bersalah (presumption of guilty). Yah, tentu mudah diingatlah sifat komplementernya itu.
Dalam praktiknya kita melihat asas praduga tidak bersalah menjadi senjata orang berpunya dan berkuasa dihadapan hukum. Saya pernah mendebat seorang teman di kampus tentang ketidaksamaan penerapan itu, sebab biasanya bagi orang miskin yang disangka membunuh dan mencuri tidak berlaku asas praduga tidak bersalah. Berita kriminal setiap siang hari misalnya menampilkan pemukulan dan penembakan orang2 (yang barangkali tidak berpunya dan tidak berkuasa) yang disangka melakukan tindak pidana klasik seperti pembunuhan, pencurian dan pengrusakan. Teman yang saya debat itu menyatakan bahwa asas praduga tidak bersalah yang diadopsi oleh KUHAP memang merupakan upaya penguasa pada saat itu (Orde Baru) untuk melindungi elit politik dan konglomerat. Dalam penerapannya memang dimungkinkan bersifat manipulatif. Katanya sih demikian, namun dia juga tidak mampu membuktikannya secara lebih jelas berkaitan dengan politik hukum pembentukan KUHAP.
Soal sisminbakum. Saya pikir persoalan sisminbakum tidak hanya pada aras pidana korupsi dan hukum administrasi saja. Tapi juga pada kerjasama, berbentuk perjanjian yang tentu saja kalau sepakat dengan pencabangan ilmu hukum akan masuk pada lapangan hukum perdata. Saya bukan ahli dalam tiga cabang itu. Tapi, mungkin baik juga melihat persoalan ini dari sisi kerjasama itu. Yaitu apa yang dinamakan kerjasama Bangun, Guna, Serah (Built Operate and Transfer) yang biasa juga diringkas BOT.
Saya tidak menghitung berapa kalkulasinya, tetapi pola BOT ini diterapkan oleh banyak instansi pemerintah di pusat maupun daerah, mulai dari membangun pasar terpadu, pelayanan sampah, sampai ke sisminbakum. Alasannya, sebagaimana Sang Menteri, negara tidak punya modal untuk membangun. Pola ini memadukan antara aspek publik, seperti pelayanan yang merupakan kewenangan instansi pemerintah, dengan aspek dagang yang ditarik dengan sejumlah pungutan.
Barangkali mengaitkan dengan BOT ini tidak begitu berkontribusi bagi menjerat keterlibatan Yusril, namun sebagaimana dikatakan Yusril di dalam blognya, bahwa sisminbakum akhirnya akan menjadi “milik” Koperasi Pengayoman setelah perjanjian BOT dengan PT SRD selesai, sebab seluruh aset sisminbakum diserahkan kepada Koperasi Pengayoman. Mengapa koperasi terkesan menjadi pemilik sisminbakum, bukan Departemen? Bisa saja agar koperasi tetap melakukan pungutan bagi kesejaterahaan anggota koperasi yang tidak lain adalah pejabat dan pegawai Departemen.
Ajakan untuk mendiskusikan BOT dalam kasus ini mungkin membuatnya menjadi tidak fokus, tapi barangkali perlu juga. Sebab bisa saja banyak kerjasama antara instansi pemerintah di pusat maupun di daerah dengan pihak swasta yang dilakukan dengan pola BOT sarat dengan korupsi. Kalau benar demikian, maka jaksa-jaksa di daerah akan bergelimang kasus yang bisa disidiknya.
Kalau ada kasus soal BOT yang mirip dengan sisminbakum ini, mungkin teman yang tahu bisa mengemukakannya. Kalau sekiranya belum ada, maka kasus sisminbakum ini menjadi suatu terobosan bagi hadirnya penanganan yang serupa.
Salam,
Yance Arizona
sekedar menyambung komunikasi terdahulu,
konsep discretionary corruption seperti disertasi termaksud telah saya cermati, tetapi satu hal yang menjadi note kritis dalam konteks akademik adalah bahwa hal tersebut haruslah dibaca pada optic ius constituendum (Hukum yang dicita-citakan). dan belum pada ranah ius constitutum.. Hemat saya hakim akan menemukan kesulitan dalam melahirkan vonis terkait dengan korupsi (dalam sudut pandang peletakan kebijakan sebagai korupsi) atau yang bung feb katakan perbuatan melawan hukum karena sudut pandang hakim hanya akan menyentuh peristiwa dan fakta hukum bukan asumsi.kepmen sisminbakum secara substantif mempunyai cita hukum karena mengandung asas manfaat. ……..
Sebenarnya sudah ada rancangan UUD 1945 tertanggal 22.6.1945 yang dihasilkan BPUPKI, yang mana dalam mukadimahnya, al. “kewajiban melaksanakan syariah Islam bagi pemeluknya”…. Coba bapak2 yang pinter2 mau sedikit meluangkan waktu untuk menelaah…dan mengambil manfaat bagi sebesar-besar umat manusia, khususnya bangsa Indonesia ini. Bagaimana kalau dasar2 dari UU yang dialpikasikan di negara kita itu merujuk kepada Aturan Firman Allah SWT… yang nota bene adalah wahyu Allah kepada Rasulullah SAW untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia, Insya Allah..
Semoga urun rembug saya dapat bermanfaat… Terimakasih. Wassalam