Jumat, 25 Februari 2011 15:10 WIB
Zionis Incar Minyak Libya
Jakarta - Minimnya informasi tentang kisruh Libya, tidak http://www.wartanews.com/read/Timur-Tengah/7179c748-26ef-e4e7-c731-b9ed9ce914fb/Zionis-Incar-
Minyak-Libya seperti Mesir dan Tunisia, membuat banyak ragam analisa terkait alasan upaya penggulingan rezim Qadzafi.
Berbeda dengan Mesir dan Tunisia, alasan ekonomi sulit digunakan untuk menganalisis faktor penyebab pemberontakan rakyat Libya. Pendapatan per kapita Libya adalah USD 14581.9. Bandingkan dengan Mesir yang hanya USD 2015.5 dan Tunisia USD 3680.5. Sekedar perbandingan, Indonesia masih di atas Mesir, yaitu USD 2149.7.
Alasan anti AS pun sulit dipakai. Meskipun Qadzafi sering bersuara keras menentang AS dan Israel, namun semua itu hanya lip service belaka. Libya diembargo AS selama 37 tahun dengan alasan "mendukung terorisme". Sejak tahun 2001, sang Kolonel memperlihatkan perubahan sikap dengan menyatakan kecamannya pada aksi teror 9/11. Lalu pada tahun 2002 menyatakan dukungannya pada Perang Melawan Terorisme. Tahun 2003, ia bersedia menyerahkan simpanan senjata nuklirnya kepada AS. Sejak tahun 2004, AS menghentikan embargonya dan kembali membuka kantor perwakilan diplomatiknya di Tripoli. Saat itu bahkan Bush memuji Libya, sebagai negara yang harus ditiru negara pemilik nuklir lain seperti Iran dan Korea Utara.
Dunia saat ini bergantung pada pemberitaan sejumlah media internasional yang sudah terbukti kerap berperan penting dalam upaya penggulingan rezim negara Dunia Ketiga. Laporan yang kita terima kerap bersumber dari "saksi mata lewat telepon", sehingga menimbulkan kecurigaan.
Kita pun belum tahu, siapa yang berperan dalam mobilisasi massa. Belum ada nama tokoh oposisi Libya yang muncul ke permukaan. Berbeda dengan Mesir yang sejak lama ada Ikhwanul Muslimin, atau Tunisia yang meledak setelah ada aksi pembakaran diri seorang sarjana yang sakit hati akibat ulah polisi yang menyita barang dagangan kaki limanya.
Namun ada satu hal menarik dari Libya, yaitu minyak. Ternyata negara itu merupakan produsen minyak terbesar di Afrika. Konsesi minyak Libya diberikan kepada sejumlah perusahaan raksasa seperti British Petroleum, Total, Shell, atau ExxonMobil. Mereka juga mengeruk minyak dan gas di Indonesia dan negara Dunia Ketiga lainnya, yang saham terbesarnya dikuasai Yahudi.
Yang menarik, sejak 2007 lalu pemerintah Libya rupanya memaksa perusahaan minyak asing untuk menegosiasi ulang kontrak. Perusahaan yang ingin memperpanjang kontrak diharuskan membayar bonus yang sangat besar dan hanya mendapatkan hak eksplorasi yang lebih sedikit. Libya mengancam akan melakukan nasionalisasi bila mereka menolak sejumlah syarat yang ditetapkan. Menurut Wall Street Journal, dalam kondisi seperti ini, tender hanya mungkin dimenangkan oleh perusahaan minyak yang dimiliki negara seperti Gazprom dari Rusia atau Sonatrach dari Aljazair. Artinya, perusahaan swasta milik pengusaha Zionis merasa tergencet.
Laporan Wall Street Journal ini sangat bersesuaian dengan doktrin lama kekuatan kapitalis Zionis, yaitu bila sebuah rezim mengancam kepentingan kapitalis, gulingkanlah! Lembaga think-tank Zionis, mulai dari Freedom House, National Democrat Institute, International Republican Institute, USAID, hingga sejumlah LSM swasta yang didanai milyarder Zionis macam Open Society-nya George Soros sudah terbukti menjadi dalang dari upaya-upaya penggulingan rezim (baik yang sudah berhasil maupun belum) di Serbia, Georgia, Ukraina, Kyrgyzistan, Nikaragua, Myanmar, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Palestina, Lebanon, dan Iran.
Tentu saja, upaya ‘pemberian bantuan' untuk penggulingan rezim di sebuah negara bukan mereka lakukan dengan niat tulus membebaskan rakyat dari kediktatoran sebuah rezim, tapi semata-mata demi memuluskan jalan bagi korporasi transnasional milik Zionis. (*/red)
Berbeda dengan Mesir dan Tunisia, alasan ekonomi sulit digunakan untuk menganalisis faktor penyebab pemberontakan rakyat Libya. Pendapatan per kapita Libya adalah USD 14581.9. Bandingkan dengan Mesir yang hanya USD 2015.5 dan Tunisia USD 3680.5. Sekedar perbandingan, Indonesia masih di atas Mesir, yaitu USD 2149.7.
Alasan anti AS pun sulit dipakai. Meskipun Qadzafi sering bersuara keras menentang AS dan Israel, namun semua itu hanya lip service belaka. Libya diembargo AS selama 37 tahun dengan alasan "mendukung terorisme". Sejak tahun 2001, sang Kolonel memperlihatkan perubahan sikap dengan menyatakan kecamannya pada aksi teror 9/11. Lalu pada tahun 2002 menyatakan dukungannya pada Perang Melawan Terorisme. Tahun 2003, ia bersedia menyerahkan simpanan senjata nuklirnya kepada AS. Sejak tahun 2004, AS menghentikan embargonya dan kembali membuka kantor perwakilan diplomatiknya di Tripoli. Saat itu bahkan Bush memuji Libya, sebagai negara yang harus ditiru negara pemilik nuklir lain seperti Iran dan Korea Utara.
Dunia saat ini bergantung pada pemberitaan sejumlah media internasional yang sudah terbukti kerap berperan penting dalam upaya penggulingan rezim negara Dunia Ketiga. Laporan yang kita terima kerap bersumber dari "saksi mata lewat telepon", sehingga menimbulkan kecurigaan.
Kita pun belum tahu, siapa yang berperan dalam mobilisasi massa. Belum ada nama tokoh oposisi Libya yang muncul ke permukaan. Berbeda dengan Mesir yang sejak lama ada Ikhwanul Muslimin, atau Tunisia yang meledak setelah ada aksi pembakaran diri seorang sarjana yang sakit hati akibat ulah polisi yang menyita barang dagangan kaki limanya.
Namun ada satu hal menarik dari Libya, yaitu minyak. Ternyata negara itu merupakan produsen minyak terbesar di Afrika. Konsesi minyak Libya diberikan kepada sejumlah perusahaan raksasa seperti British Petroleum, Total, Shell, atau ExxonMobil. Mereka juga mengeruk minyak dan gas di Indonesia dan negara Dunia Ketiga lainnya, yang saham terbesarnya dikuasai Yahudi.
Yang menarik, sejak 2007 lalu pemerintah Libya rupanya memaksa perusahaan minyak asing untuk menegosiasi ulang kontrak. Perusahaan yang ingin memperpanjang kontrak diharuskan membayar bonus yang sangat besar dan hanya mendapatkan hak eksplorasi yang lebih sedikit. Libya mengancam akan melakukan nasionalisasi bila mereka menolak sejumlah syarat yang ditetapkan. Menurut Wall Street Journal, dalam kondisi seperti ini, tender hanya mungkin dimenangkan oleh perusahaan minyak yang dimiliki negara seperti Gazprom dari Rusia atau Sonatrach dari Aljazair. Artinya, perusahaan swasta milik pengusaha Zionis merasa tergencet.
Laporan Wall Street Journal ini sangat bersesuaian dengan doktrin lama kekuatan kapitalis Zionis, yaitu bila sebuah rezim mengancam kepentingan kapitalis, gulingkanlah! Lembaga think-tank Zionis, mulai dari Freedom House, National Democrat Institute, International Republican Institute, USAID, hingga sejumlah LSM swasta yang didanai milyarder Zionis macam Open Society-nya George Soros sudah terbukti menjadi dalang dari upaya-upaya penggulingan rezim (baik yang sudah berhasil maupun belum) di Serbia, Georgia, Ukraina, Kyrgyzistan, Nikaragua, Myanmar, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Palestina, Lebanon, dan Iran.
Tentu saja, upaya ‘pemberian bantuan' untuk penggulingan rezim di sebuah negara bukan mereka lakukan dengan niat tulus membebaskan rakyat dari kediktatoran sebuah rezim, tapi semata-mata demi memuluskan jalan bagi korporasi transnasional milik Zionis. (*/red)
Senin, 28/02/2011 15:02 WIB
AS Siap Bantu Rakyat Libya Gulingkan Khadafi
Rita Uli Hutapea - detikNews. http://www.detiknews.com/read/2011/02/28/160222/1581239/10/as-siap-bantu-rakyat-libya-gulingkan-khadafi?9911022
Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton kepada wartawan di Washington. Ditekankan Hillary, pemerintah AS terus berhubungan dengan oposisi Libya.
"Saya pikir terlalu dini untuk mengetahui kemana ini akan mengarah. Tapi kami akan siap dan bersiap menawarkan setiap bantuan yang diharapkan siapa saja dari AS," ujar Hillary.
Mantan ibu negara AS itu juga menegaskan bahwa pemerintah AS menginginkan Khadafi mundur. "Pertama kami harus melihat akhir rezim ini dan dengan tanpa pertumpahan darah lagi," tutur Hillary seperti dilansir kantor berita AFP, Senin (28/2/2011).
"Kami ingin dia pergi," tandas istri mantan Presiden A Bill Clinton tersebut.
Sebelumnya Presiden Barack Obama juga telah menyerukan Khadafi untuk mundur sekarang. Namun sejauh ini tidak ada tanda-tanda Khadafi akan meletakkan jabatannya. Pemimpin eksentrik itu bahkan mengklaim bahwa rakyat Libya mendukung dirinya karenanya dia akan terus memimpin negeri Afrika Utara itu.
Khadafi mendapat kecaman dari dunia internasional menyusul kekerasan yang dilakukan pasukan terhadap para demonstran antipemerintah. Lebih dari seribu orang diyakini telah tewas akibat kekerasan tersebut. Badan PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR menyatakan, hampir 100 ribu orang telah meninggalkan Libya akibat krisis ini.
(ita/nrl)
AS Siap Bantu Rakyat Libya Gulingkan Khadafi
Rita Uli Hutapea - detikNews. http://www.detiknews.com/read/2011/02/28/160222/1581239/10/as-siap-bantu-rakyat-libya-gulingkan-khadafi?9911022
Hillary Clinton (AFP)
Washington - Pemerintah Amerika Serikat benar-benar ingin melihat pemimpin Libya Muammar Khadafi terguling. AS pun siap memberikan setiap bantuan untuk rakyat Libya yang berupaya menggulingkan rezim Khadafi.Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton kepada wartawan di Washington. Ditekankan Hillary, pemerintah AS terus berhubungan dengan oposisi Libya.
"Saya pikir terlalu dini untuk mengetahui kemana ini akan mengarah. Tapi kami akan siap dan bersiap menawarkan setiap bantuan yang diharapkan siapa saja dari AS," ujar Hillary.
Mantan ibu negara AS itu juga menegaskan bahwa pemerintah AS menginginkan Khadafi mundur. "Pertama kami harus melihat akhir rezim ini dan dengan tanpa pertumpahan darah lagi," tutur Hillary seperti dilansir kantor berita AFP, Senin (28/2/2011).
"Kami ingin dia pergi," tandas istri mantan Presiden A Bill Clinton tersebut.
Sebelumnya Presiden Barack Obama juga telah menyerukan Khadafi untuk mundur sekarang. Namun sejauh ini tidak ada tanda-tanda Khadafi akan meletakkan jabatannya. Pemimpin eksentrik itu bahkan mengklaim bahwa rakyat Libya mendukung dirinya karenanya dia akan terus memimpin negeri Afrika Utara itu.
Khadafi mendapat kecaman dari dunia internasional menyusul kekerasan yang dilakukan pasukan terhadap para demonstran antipemerintah. Lebih dari seribu orang diyakini telah tewas akibat kekerasan tersebut. Badan PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR menyatakan, hampir 100 ribu orang telah meninggalkan Libya akibat krisis ini.
(ita/nrl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar