Kamis, 17 Februari 2011

ARTI dari HADITS LAA NABIYYA BA’DII [Ditafsir oleh Ahmadiyah] dan Komentar ZA: Terhadap tulisan Sdr Ahmadiyah itu [Sdr Ahmadiyah....??], sangat cenderung mencari pembenaran dengan berbagai cara dan cenderung menghalalkan segala cara secara keji. Padahal Jelas perbanyakan masjid di zaman Nabi Muhammad dan zaman2 para Sahabat dan tabiin dan Tabiin-Tabiin telah dilakukan dengan secara layak dan tidak menjadi halangan, bahkan dianjurkan memiliki masjid jamaah [Jami'] yang layak. Namun, dalam hal adanya Nabi baru, baik dizaman Nabi maupun di-zaman2 sahabat dan setelah itu, selalu diperangi. Nah, sesungguhnya penafsiran masjid terakhir, adalah secara faktual dan dicontohkan nabi dan para sahabat dan pengikut Rsulullah sampai kini adalah konsep masjid Nabawi-nya, yaitu, menghadap kiblat, ada tempat imam, makmum dan mimbar untuk khutbah, mungkin ditambah lagi tempat wudhu dan kelangkapan lainnya, misalkan memisahkan tempat laki2 dan perempuan bila memang ada dll. Jadi penafsiran masjid terkhirku, adalah konsep masjid itu. Sedang nabi setelah Nabi Muhammad SAW, jelas tidak ada. bahkan Syd Ali RA, sebagai orang dan sahabat nabi yang secara terang2an Nabi menyatakan didepan khalayak, bhw Bila Saja Masih Boleh Ada Nabi setelahku [Muhammad SAW], maka Ali adalah Nabi, seperti Musa dan Harun yang keduanya sebagai nabi. namun karena tidak ada lagi Nabi setelahku, maka Ali adalah washiku [Pemegang wasiat Nabi]. Nah saya kira, bagi saya yang awam ini. Jelaslah sudah, bhw GA adalah Nabi Palsu, alias Nabi yang Bathil. Insya Allah. [wallahu'allamubishawab]

ARTI dari HADITS LAA NABIYYA BA’DII

1. ARTI dari HADITS LAA NABIYYA BA’DII. http://kodokpurba.wordpress.com/2008/06/16/arti-dari-hadits-laa-nabiyya-ba%E2%80%99dii/#comment-71

Adapun mengenai hadist Laa Nabiyya Ba’dii, ini harus dibaca selengkapnya:
  1. Aku adalah akhir Nabi-nabi dan kamu adalah akhir ummat (Ibnu Majah).
  1. Aku akhir Nabi-nabi dan mesjidku akhir dari mesjid-mesjid (Muslim). Jadi benar-benar memerlukan penafsiran apa yang dimaksudkan dengan akhir di sini (tidak ada lagi macam mesjid yang lain di luar Islam, dan tidak akan ada lagi nabi di luar Islam; yang tidak mengikuti K.S. Alquran dan Sunnah).
Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w. bersabda: “inniy aakhirul-anbiya’ wa inna masjidiy aakhirul-masaajid Artinya: Aku adalah nabi yang terakhir dan mesjidku adalah mesjid yang terakhir. Hadits shahih riwayat Muslim.
Disayangkan, bahwa para pihak yang memusuhi Jemaat Ahmadiyah, terutama para ulamanya, tidak pernah menampil-kan asal-usul terminologi “nabi terakhir (aakhirul anbiya’)” ini, bahkan menyembunyikan bagiannya yang kedua, di mana Nabi saw. juga mengatakan “wa inna masjidiy aakhirul-masaajid“, dan mesjidku adalah mesjid yang terakhir. Hadits ini merupakan referensi yang digunakan oleh ulama Islam mainstream dalam membuat fatwanya untuk menentang Ahmadiyah, dan Hadits ini pun tidak pernah ditampilkan oleh para pihak yang memusuhi Ahmadiyah baik secara lisan maupun di dalam tulisan-tulisan mereka untuk memperkuat konsep mereka bahwa Muhammad s.a.w. sebagai “nabi terakhir.”, apalagi dengan menulisnya secara lengkap. Cara yang jujur dan ksatria ini tidak pernah ulama itu lakukan, kecuali selalu berpijak dan mengekor pada pendapat ijma ulama mainstream di dunia.
Apabila perkataan inniy aakhirul-anbiya’ diartikan bahwa sesudah beliau s.a.w. tidak akan datang lagi nabi apa pun juga, maka perkataan wa inna masjidiy aakhirul-masaajid pun juga akan berarti bahwa sesudah mesjid beliau s.a.w. (Mesjid Nabawi) tidak boleh lagi dan tidak akan dapat lagi didirikan suatu mesjid apa pun. Akan tetapi orang-orang itu, meskipun ada perkataan masjidiy aakhirul-masaajid, tetap ngotot pada pendiriannya untuk menolak segala corak kenabian. Tetapi ulama itu dengan secara tidak konsistennya, walaupun ada kata-kata masjidiy aakhirul-masaajid, mereka telah dan sedang serta terus menerus saja mendirikan mesjid-mesjid yang baru di mana-mana. Kalau secara jujur atau fair, jika apa yang dikatakan atau difatwakan oleh ulama mereka bahwa kedatangan aakhirul-anbiya’ yaitu tidak ada seorang manusia pun dapat menjadi nabi, maka setelahnya Mesjid Nabi Nabawi yang di Medinah itu, mengapa mesjid-mesjid lainnya pun terus-menerus dibangun oleh mereka?
Jawaban yang ulama mereka berikan atas pertanyaan itu ialah: “…mesjid-mesjid ini kepunyaan Rasulullah s.a.w. juga; di mana di dalam mesjid-mesjid itu dilakukan ibadah dengan mengikuti cara yang telah diajarkan oleh Nabi s.a.w., yang untuk melaksanakan ibadah dengan cara itu Rasulullah s.a.w. telah menyuruh untuk mendirikan mesjid-mesjid baru. Jadi, adanya mesjid-mesjid baru ini merupakan bayangan mesjid itu (Mesjid Nabawi), oleh karena itu mesjid-mesjid ini tidak terpisahkan darinya, itulah sebabnya kami tidak menyangkal kehadiran mesjid baru itu.” Jadi jawaban dari mereka ini sungguh tepat!
Maka, dengan jawaban seperti itu pula-lah Jemaat Ahmadiyah dapat mengatakan hal yang sama, bahwa meskipun ada perkataan aakhirul-anbiya’ , itu juga berarti dapat datang nabi lagi setelah Nabi Muhammad s.a.w. yang merupakan bayangan/ikutan kenabiannya Rasulullah s.a.w. Itulah nabi-nabi yang tidak membawa syari’at baru, Nabi yang mengikuti syari’at Rasulullah s.a.w. dan Nabi ini diutus hanya untuk menyebarkan ajaran Nabi Muhammad s.a.w. saja, serta segala sesuatu yang mereka peroleh adalah karena ketaatannya kepada Nabi Muhammad s.a.w. serta keberkatan dari beliau s.a.w. Dengan kedatangan nabi atau nabi-nabi semacam itu sekali-kali tidak mengurangi atau merendahkan kedudukan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai aakhirul-anbiya’ , sebagaimana halnya dengan menyuruh mendirikan mesjid-mesjid baru itu haruslah sesuai dengan model dan tata cara mesjid beliau s.a.w., dan yang penggunaannya sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw., maka yang demikian itu, sama sekali tidaklah mengurangi atau merendahkan kedudukan serta martabat mesjid beliau s.a.w. sebagai aakhirul-masaajid, apalagi jika dikatakan sebagai menodai Islam, menodai kesucian Mesjid Nabi Nabawi yang di Medinah itu.
Dari kalimat aakhirul-anbiya’ itu artinya yang hakiki adalah bahwa sesudah beliau s.a.w. itu tiada seorang nabi pun yang dapat datang lagi, yaitu seorang nabi yang me-mansukh-kan (membatalkan) syari’at beliau s.a.w. Sebab, sesuatu dapat dikatakan barang terakhir jika barang yang lama sudah mulai habis. Jadi, nabi yang datang untuk mengukuhkan kenabian Rasulullah s.a.w., bukanlah seorang nabi yang berdiri sendiri, karena ia berada di dalam lingkup kenabian Rasulullah s.a.w. Ia baru dapat disebut nabi yang berdiri sendiri apabila ia itu datang dengan membatalkan salah satu hukum, salah satu ajaran atau Syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Seorang manusia yang bijaksana biasa merenungkan setiap masalah dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar arti setiap kata. Mungkin karena kekhawatiran terhadap orang-orang yang dapat menjadi mangsa kekeliruan semacam itu, maka Hadhrat Siti Aisyah r.a. istri Nabi s.a.w. berkata:
“Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamul-anbiya’ , tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya ba’dahu (tidak ada nabi sesudahnya). ” (Durrun Mantsur, jld. V, hlm. 204; Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 5)
Apabila menurut pendapat Hadhrat Aisyah r.a. sesudah Rasulullah s.a.w. tidak dapat datang kenabian jenis apa pun juga, maka mengapakah beliau r.a. melarang orang-orang mengatakan laa nabiyya ba’dahu (tidak ada nabi sesudahnya)? Dan apabila pendapat beliau itu salah, mengapa para Sahabat r.a. tidak ada yang menyangkal ucapan Aisyah r.a. itu?
Kesimpulannya, karena Hadhrat Aisyah r.a. telah mencegah mengucapkan perkataan laa nabiyya ba’dahu, hal itu menunjukkan bahwa menurut pendapat beliau, sesudah Rasulullah s.a.w. dapat datang nabi; akan tetapi nabi yang membawa syari’at atau yang berdiri sendiri atau yang setara martabat dan kemuliaannya dengan Rasulullah s.a.w., serta yang tidak terikat dengan Rasulullah s.a.w. tidak dapat datang lagi.
Kenyataan bahwa para Sahabat r.a. tidak ada yang menyangkal ucapan Aisyah r.a. itu menunjukkan bahwa para Sahabat r.a. semuanya juga sepakat dan berpendirian sama mengenai masalah itu. Jadi, selama ini apakah ini berarti bahwa ulama-ulama di zaman sekarang ini yang suka membuat-buat fatwa sesat dan menyesatkan itu, merasa lebih pandai dan lebih bijak dari para sahabat Nabi s.a.w. dan dari Hadhrat Siti Aisyah r.a.?
Untuk memperjelas keterangan Hadhrat Aisyah r.a. dan sikap para Sahabat r.a. tersebut, lebih lanjut kita dapatkan beberapa pendapat para ulama besar mengenai Hadits laa nabiyya ba’diy sebagai berikut:
Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi r.h. dalam kitabnya Futuuhatul Makiyyah menulis:
“Inilah arti dari sabda Rasulullah s.a.w. `Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka tidak ada rasul dan nabi yang datang sesudahku yang bertentangan dengan syari’atku. Apabila ia datang, ia akan ada di bawah syari’atku.” (Futuuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi, Darul Kutubil Arabiyyah Alkubra, Mesir, jld II, hlm. 3)

Imam Abdul Wahab Asy-Syarani r.h. berkata:
“Dan sabda Nabi s.a.w.: `tidak ada nabi dan rasul sesudah aku, adalah maksudnya: tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syari’at.” (Al-Yawaqit wal Jawahir, jld. II, hlm. 42).
Inilah makna sejati dari “nabi terakhir” yaitu tidak akan ada nabi lagi yang membawa Syar’iat yang menggantikan atau mengubah atau menambah atau mengurangi Syari’at yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w.
Demikianlah Nabi yang (akan) datang setelahnya Nabi Muhammad s.a.w., Nabi Isa ibnu Maryam yang dipercayai oleh ulama mainstream akan turun di akhir zaman itu, yang sekarang diyakini dan diimani oleh Jemaat Ahmadiyah, adalah nabi yang tidak membawa Syari’at, yaitu nabi yang patuh, taat, tunduk, setia kepada Syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. 

Komentar: ZA
Bagi saya yang awam, sepertinya tulisan diatas itu sangat cenderung mencari pembenaran dengan berbagai cara. Namun,marilah kita renungkan, bhw secara konseptual Islam secara jelas menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah khatamunNabiyien Walmursalien. Mengenai “mesjidku adalah mesjid yang terakhir” [apabila ini benar adalah hadis shaih??]. menjadi dalih Ahmadiyah untuk mesahkan bhw GA sebagai nabi juga, dan katanya “dengan izin Allah” ?? Tafsir mereka ini menjadi tidak sesuai dengan fakta, karena dizaman Nabi dan zaman para sahabat, telah terjadi perbanyakan pembangunan masjid dengan meniru model masjid Nabawi itu, tetapi tdk ada yang menjadikan seseorang menjadi sebutan Nabi. Sekalipun ada yang meniru-niru atau mengaku sebagai nabi baru, maka langsung diperangi. Ini sejarah dan banyak fakta. Jadi pengertian masjidku yang terakhir adalah dapat ditafsirkan sebagai konsep masjid terakhir yang terdiri dari adanya tempat Imam, dan makmum, dan juga tempat mimbar, menghadap kiblat dan adanya tempat berwudhu dll. Bukan model atau konsep lain ala tempat ibadah2 umat lain, atau model baru yang kehilangan konsep dan fungsinya sebagai masjid,[bisa saja mushala, atau lainnya yang sama sekali bukan konsep mesjid, a.l. mungkin menggunakan altar dan panggung untuk suatu model peribadatan atau model lain dan strukturnya yang bisa saja dimodifikasikan. Tetapi mengenai "Nabi", atau sebutan Nabi, setelah rasulullah dan Nabi Muhammad tidak ada lagi, bahkan kalaupun ada maka diperangi. Sekalipun, Nabi pernah memberi perumpamaan, bahwa jika saja masih ada nabi sesudahku, maka Ali akan seperti/ menjadi nabi, seperti layaknya Nabi Musa dan Harun, maka Aku sebagai nabi dan Ali adalah layak sebagaimana Nabi Harun. Dalam hal ini terungkap jelas, bahwa sedemikan jelas, bahwa setelah nabi Muhammad, tidak ada lagi Nabi, walaupun ada yang layak menjadi nabi, atau setara dengan kemampuan seorang nabi, yaitu Syd Ali RA. Didalam kisah lain, katanya yang layak pula seperti nabi adalah juga menyebut Umar RA memiliki kemampuan seorang Nabi [Mohon dicek dengan hadis2nya, maklum sy sangat kurang berilmu]
Jadi melakukan pembenaran dengan menggunakan celah2 potongan suatu hadis , harusnya dengan dikaitkannya dengan hadis2 lain dan ayat2 lainnya dalam Al Qur’an, tentu diperlukan ketulusan jiwa dan kejujuran nurani. Saya yang awam sangat takut dengan pengakuan seseorang yang kemudian menyatakan dirinya Nabi, padahal Nabi dengan para sahabatnya telah dengan gamblang berpegang teguh kepada ayat2 Allah. Dan saya yakin bahwa Rasulullah Muhammad SAW tidak akan ada penyimpangan dari Al Qur’an sesedikit apapun. Jadi menurut pendapat saya, penafsiran ayat2 diatas oleh Sdr ….??, yang berkaitan dengan upaya pembenaran kenabian GA jelas sangat bathil. Silahkan baca sejarah Nabi dan juga para sahabat dan tabiin dan tabiin-tabiin. Insya Allah tidak menemukan dalil apapun yang membenarkan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Kecuali adanya penafsiran2 oleh pihak2 tertentu untuk pembenaran atas kepalsuannya. Semoga kita dalam naungan futuh, taufiq, hidayah, inayah, maunah dan ma’rifah karunia Allah Maha Agung Maha Mengetahui. Amin. Seyogianya umat Islam kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, dan ikhlas thaat kepadanya dan tak usah menyombongkan diri, betul2 dengan rendah hati dan ridha. Semoga Allah senantiasa membimbing kita dijalanNya yang lurus dan kaffah. Amin.
Komentar oleh arifin | Februari 18, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar