Konspirasi Neolib dan Politikus Jahat dan Regim Penjajah Kriminal Internasional [AS-Israel-NATO-PBB serta Bank Dunia]:
FPI Jadi Korban, FPI Dihujat
Oleh, AM. Waskito
Kalau jujur mau mengakui, di Indonesia ini banyak orang-orang aneh. Lihatlah kelakuan media-media yang kini gencar menyerang FPI. Mereka itu kelihatan pintar, intelektual, cerdas; tetapi moralitasnya ambruk. Sayang, sangat disayangkan sekali. Nas’alullah al ‘afiyah fid dunya wal akhirah.
Sudah jelas-jelas beberapa hari kemarin, saat kunjungan ke Kalimantan Tengah, beberapa tokoh FPI nyaris menjadi sasaran amuk massa dan pengepungan komunitas-komunitas Dayak anarkhis. Buktinya, DPP FPI melaporkan Gubernur dan Kapolda Kalteng ke mabes Polri untuk beberapa tuduhan sekaligus. Salah satunya, upaya pembunuhan pimpinan FPI.
Tapi aneh bin ajaib. FPI yang jadi korban, FPI juga yang dihujat. Dalam demo di Bundaran HI, Ulil Abshar dan kawan-kawan menyerukan agar FPI dibubarkan. Media-media massa, termasuk MetroTV dan TVOne, tidak segan-segan memberi CORONG GRATIS kepada siapa saja yang anti FPI, dengan tentunya -seperti biasa- mereka tinggalkan etika Cover Both Side. Kompas malah sangat kacau (kalau tidak disebut rusak nalar), media itu mengutip pernyataan Din Syamsuddin yang katanya menolak ormas anarkhis. Padahal dalam perkataan Din, tidak ada pernyataan ormas anarkhis.
Paling parahnya, SBY juga ikut-ikutan menyudutkan FPI. Dia meminta agar FPI instropeksi diri. Orang ini aneh sekali. Masalah hukum soal “ancaman pembunuhan” tokoh-tokoh FPI belum dia bahas, malah sudah meminta FPI instropeksi diri. Hal begini ini kan sangat kelihatan kalau kasus FPI itu sebagai pengalihan isu, ketika Partai Demokrat sedang dilanda “Tsunami Besar” akibat kasus-kasus korupsi yang melibatkan elit-elit mereka. Kita mesti ingat, di masa-masa sebelum, setiap ada masalah besar menimpa Pemerintah SBY, selalu saja ada “jalan keluar” berupa kasus-kasus terorisme, kerusuhan agama, dan lainnya.
Nah, disinilah kita saksikan betapa anehnya kelakuan orang-orang Indonesia. Sudah tahu, mereka itu sakit dan banyak menanggung penyakit. Bukannya berobat atau menahan diri, agar sakitnya tidak semakin parah. Malah mereka semakin menghujami dadanya dengan belati tajam, untuk menghancurkan dirinya sendiri. Aneh…aneh…tidak waras!
Kalau dicermati, tampak adanya KAITAN antara insiden di Palangkaraya, respon media-media massa yang begitu cepat, gerakan demo anti FPI dipimpin oleh seorang tokoh Partai Demokrat, serta pernyataan SBY. Semua elemen-elemen ini tampaknya saling berkaitan satu sama lain, menggarap isu FPI, dalam rangka mengalihkan perhatian masyarakat dari bencana korupsi yang kini sedang menimpa jajaran elit Partai Demokrat.
Kalau dianalisis lebih dalam, kita bisa melihat adanya model skenario yang KEMUNGKINAN dijalankan, untuk menjebak FPI dalam pusaran kasus sosial; lalu kasus itu dipakai untuk tujuan-tujuan politik.
Pertama, FPI diundang datang ke Kalteng untuk membela masyarakat yang katanya dizhalimi oleh Gubernur Kalteng. Mengapa FPI ingin dilibatkan? Karena FPI secara gagah berani membela warga Mesuji, Lampung. Kasus Mesuji itu bisa menjadi titik peluang untuk mengundang FPI ke Kalteng.
Kedua, ketika di Kalteng, pihak Gubernur sudah menyiapkan penyambutan bagi tokoh-tokoh FPI yang akan datang. Menurut informasi, gerakan massa dimulai dari kantor Gubernur Kalteng. Aneh sekali, kantor negara dipakai untuk merencanakan gerakan-gerakan anarkhis.
Ketiga, terjadi insiden di lapangan udara Palangkaraya, berupa penolakan dan pengepungan pesawat oleh massa anarkhis, dengan membawa senjata tajam dan mengeluarkan kata-kata makian. Alhamdulillah, tidak ada satu pun tokoh FPI yang cidera secara fisik. Insiden terjadi lagi saat tokoh-tokoh FPI singgah di Banjarmasin.
Keempat, sebelum insiden terjadi pihak FPI sudah mencium ada gelagat tidak beres di Kalteng. Dan lebih mengherankan lagi ketika Kapolda Kalteng angkat tangan, tidak mau tanggung-jawab kalau tokoh-tokoh FPI tetap datang ke Kalteng. Hal ini membuktikan, bahwa ada SKENARIO BESAR yang tak sanggup dihadapi oleh Kapolda Kalteng.
Kelima, setelah terjadi insiden Kalteng, para aktivis LIBERAL dan KOMPRADOR di Jakarta sudah menyiapkan demo untuk menggugat FPI. Media-media massa sudah siap “nampani” amanah untuk menggebuk FPI dari sisi opini media. Kompas, Detik.com, MetroTV, TVOne, Kantor Berita Antara, dll. sudah siap untuk memanaskan situasi. Mereka lupa sama sekali dengan kenyataan, bahwa tokoh-tokoh FPI hampir habis dikeroyok komunitas Dayak anarkhis.
Keenam, sebagai bagian dari skenario ini ialah pernyataan SBY yang meminta agar FPI instropeksi diri. Ditambah lagi pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi, bahwa ormas anarkhis bisa dibekukan.
Hal-hal seperti di atas bisa dibaca secara terpisah-pisah, bisa juga dibaca sebagai sebuah kesatuan skenario, demi menjatuhkan FPI dan mencapai target politik tertentu. Lagi pula hal-hal demikian sudah sering terjadi. Saat kapan saja ketika Pemerintah SBY atau Partai Demokrat sedang terdesak, selalu ada “jalan keluar” untuk mengalihkan perhatian publik. Yang paling sering dipakai adalah isu TERORISME, ormas anarkhis, dan kerusuhan berbasis agama.
Tapi yang paling kasihan dari semua ini ya…masyarakat Indonesia selama ini (dan tentu saja aktivis-aktivis Islam yang sering “digunakan” oleh negara sebagai “jalan keluar”). Masyarakat terus disuduhi kebohongan, penyesatan, skandal, konspirasi, pengkhianatan, kezhaliman, dan seterusnya.
Yah, bagaimana hidup akan aman, tentram, dan damai; kalau cara-cara licik seperti itu selalu dipakai? Mau hidup damai dimana, Pak, Bu, Mas, dan Mbak? Anda hendak sembunyi di dasar inti bumi sekalipun, kalau OTAK LICIK itu masih ada, nonsense akan ada kedamaian. Yang ada hanyalah kemunafikan telanjang; mengaku anti kekerasan, padahal paling terdepan dalam membela kezhaliman. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
Ya Allah ya Rahman, selamatkanlah kaum Mukminin, Mukminat, Muslimin, dan Muslimat; dimana pun mereka berada, khususnya di negeri Nusantara ini. Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.
FPI Dalam Pusaran Media-media
Oleh, Mohamad Fadhilah Zein (Produser TvOne)
Front Pembela Islam (FPI) menjadi bulan-bulanan media. Berangkat dari sinisme terhadap FPI, akhirnya pemberitaan yang dilakukan sebagian media menjadi tidak obyektif. Kecuali media Islam, beberapa media menyajikan pemberitaan yang mengarahkan pembacanya pada citra buruk FPI.
Sikap sinis ini semakin kentara ketika media menghadirkan berita yang tidak sama antara badan berita dengan judul. Misalnya, Kompas.com tertanggal 12 februari pukul 12.40 WIB, yang menurunkan berita tentang statemen Din Syamsudin terkait penolakan kehadiran FPI di Kalimantan Tengah. Judul berita yang diturunkan Kompas.com adalah “Din Syamsudin: Tolak Ormas Anarkis”. Isi berita tersebut adalah pernyataan Din Syamsudin yang menolak segala bentuk kekerasan. Tidak ada satu kalimat pun dari Ketua Umum PP Muhammadiyah, di berita itu, yang menyebut “Tolak Ormas Anarkis.”
Pemberian judul di atas menjadi bias karena seolah-olah Din Syamsudin menolak FPI, padahal dalam pernyataannya, Din hanya mengatakan tolak segala bentuk aksi kekerasan yang bisa dilakukan siapa saja. Bisa disimpulkan, Kompas.com sudah melakukan penghukuman terhadap FPI (Trial by The Press) dengan memberikan judul seperti itu.
Selengkapnya bisa dilihat
Lain pula yang dilakukan Vivanews.com. Media ini menurunkan sejumlah berita terkait kehadiran FPI di Kalimantan Tengah namun mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Salah satu berita yang cukup bombastis adalah berita dengan judul “Usir FPI karena Warga Dayak Trauma Konflik” tertanggal 14 februari pukul 00:02 WIB.
Dengan judul menggunakan tanda kutip, pembaca disuguhi pernyataan langsung dari seorang pengamat. Redaksi tentu sudah memilih siapa pengamat yang jawabannya sesuai dengan keinginan mereka. Uniknya, ada lead yang memperkuat judul dalam berita itu, “Tak ada terkait agama. Mereka tidak menolak Islam, tapi menolak radikalisme.” Pemilihan lead semacam ini menjadi biasa dilakukan awak redaksi untuk mengarahkan kemana pembaca akan digiring.
Selengkapnya bisa dilihat
Detik.com sebagai portal berita internet yang kini dikuasai Transcorp juga tidak kalah menunjukkan sinisme terhadap FPI. Media ini bahkan menghilangkan identitas Habib pada Ketua Umum FPI Muhammad Rizieq Shihab. Di setiap penulisan berita, Detik.com selalu menyebut Ketua Umum FPI Rizieq Shihab. Tidak ada penjelasan mengenai hal ini dari portal berita ini.
Di beritanya lainnya, Detik.com mewawancarai peneliti SETARA Institute yang notabene adalah lawan ideologis FPI. Dalam wawancara itu, FPI digambarkan sebagai organisasi yang kebal terhadap hukum karena merusak tempat-tempat prostitusi , penyebaran miras dan lain sebagainya, namun dibiarkan oleh pemerintah. Statemen peneliti SETARA Institute pun dikutip hanya sebagian oleh Detik.com, karena di akhir badan berita, penulisnya hanya mengutip penggalan kalimat dari berita yang sudah tayang sebelumnya.
Beritanya bisa di lihat
Yang harus diperhatikan lebih di Detik.com adalah komentar-komentar dari pembaca yang kebanyakan anonim. Setiap berita menyangkut FPI atau Islam, pasti banyak komentar-komentar sinis, bahkan menghina, yang sepertinya dibiarkan oleh redaksi Detik.com.
Sementara itu, Antaranews.com yang menjadi kantor berita resmi pun menurunkan sejumlah berita yang bisa disimpulkan tidak setuju dengan adanya FPI. Beberapa judul yang ditulis media ini bahkan menunjukkan sikap redaksi yang demikian. Salah satunya adalah berita dengan judul “Warga Dayak Tolak FPI” tertanggal 11 Februari pukul 15:54 WIB. Beritanya http://www.antaranews.com/berita/296896/warga-dayak-tolak-fpi
Antaranews.com rupanya juga menurunkan berita yang sama dengan Kompas.com tertanggal 12 Februari dengan narasumber Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin. Berbeda dengan Kompas.com, Antaranews.com tidak mengutip satu kata pun tentang ormas anarkis.Dalam artikel itu, Din Syamsudin menekankan tidak ada agama di Indonesia yang menolak keberagaman.
Bagaimana media massa Islam?
Berbeda dengan media-media massa mainstream, media Islam justru melakukan pembelaan terhadap FPI. Sebut saja eramuslim.com, voa-islam.com, arrahmah.com, hidayatullah.com dan republika.co.id. Sebagian dari media massa itu bahkan menyebut Dayak Kafir untuk menunjukkan sikap redaksi.
Mereka mengutip statemen dari seluruh pengurus FPI, pengamat Islam yang menguntungkan FPI, atau statemen-statemen pejabat negara, dalam hal ini kepolisian, untuk memposisikan FPI sebagai pihak yang tidak dirugikan. Hidayatullah.com bahkan tidak ragu menyebut adanya upaya pembunuhan atas apa yang terjadi pada Sabtu (11/2) yang lalu.
Media ini mengutip pernyataan Wasekjen FPI, KH. Awit Masyhuri yang menyebut ada pihak-pihak yang khawatir kepentingan ekonominya terganggu dengan kedatangan FPI. Menurut Awit, sebulan lalu delegasi warga Dayak Kalteng dari berbagai agama mendatangi DPP FPI di Petamburan untuk meminta bantuan untuk menghadapi arogansi Gubernur Kalteng dan Kapolda Kalteng tentang konflik agraria seperti Kasus Mesuji– Lampung.
Voice of Al-Islam atau VOA-Islam.com lebih keras lagi menyebut Dayak Kafir atas apa yang terjadi dengan FPI. Media ini juga menunjukkan pembelaan terhadap Habib Rizieq Shihab dan seluruh pendukungnya. Hal ini jelas karena posisi media ini adalah sesuai dengan visi dan misinya yang khawatir dengan nasib umat Islam yang semakin termarjinalkan dengan kelompok-kelompok Kapitalis dan Zionis.
Eramuslim.com yang lebih dulu menjadi portal berita dunia Islam juga membela FPI. Ada yang menarik dari tulisan editorial Media Islam Rujukan ini. Editorial berjudul “Mengapa Menolak Habib Rizieq?” mempertanyakan sikap ambivalensi media terhadap pelaku-pelaku kekerasan di tanah air.
Dalam tulisan itu, Eramuslim mengkritisi arti kekerasan yang sering disematkan pada FPI. Padahal, pada kenyataannya, banyak kekerasan-kekerasan yang dialami umat Islam di daerah, justru dilakukan kelompok-kelompok non-muslim, namun hal itu tidak diungkap media-media massa mainstream.
Dalam kerusuhan Madura vs Dayak, Eramuslim.com mengungkit kembali kerusuhan antara Muslim vs Kristen. Selengkapnya bisa dilihat http://www.eramuslim.com/editorial/mengapa-menolak-habib-riziq.htm
Arrahmah.com yang mengusung tagline Berita Dunia Islam & Berita Jihad Terdepan, mengeluarkan sikap redaksi yang keras. Meminjam pernyataan Ketua bidang Nahi Munkar DPP FPI Munarman, media online ini menghalalkan darah kafir harbi yang menghalang-halangi dakwah Islamiyah.
Bahkan, Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, dicap sebagai kafir harbi yang darahnya halal untuk ditumpahkan. Beritanya ada disini:
Kebenaran Hakikat vs Kebenaran Prosedural
Dari uraian pemberitaan di atas, terbukti bahwa media-media memiliki banyak kepentingan, bisa ideologis, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Awak redaksi akan menentukan seperti apa wajah media tersebut. Seorang muslimkah dia, liberal, agnostik, kejawen dan sebagainya, akan mempengaruhi berita-berita yang disuguhkan.
Pembaca pun hanya menjadi penonton, yang jika tidak hati-hati dan cerdas, akan terhanyut dan terombang-ambing dalam pusaran informasi yang begitu deras dan terbuka. Independensi media massa pun dipertanyakan, jika melihat dari pemberitaan FPI.
Bahkan, media berperan besar dalam menstigmakan FPI sebagai organisasi pro-kekerasan. Bayangkan saja, setiap ada penggerebekan yang dilakukan FPI, maka jurnalis televisi akan selalu hadir. Tayangan video itu lalu disiarkan secara langsung di setiap program berita. Masyarakat pun tercengang dengan apa yang disaksikannya. Jadilah, FPI tertuduh sebagai ormas kekerasan.
Apakah kekerasan hanya dilakukan FPI? Jawabnya tidak. Kita semua tahu bahwa pelaku kerusuhan di daerah banyak juga yang dilakukan oleh non-muslim. Namun, porsi pemberitaannya tidak sama dengan apa yang dilakukan FPI.
Jika kita melihat hakikat yang dilakukan FPI, maka kebenaran yang diusung tidak terbantahkan. Maksudnya begini, siapa pun pasti setuju bahwa minuman keras, prostitusi, perjudian dan sejenisnya adalah tindak kejahatan yang harus diberantas. Tidak perlu ditanya betapa banyak bukti kehancuran akibat perbuatan-perbuatan tersebut. Kecuali bagi penganut adanya kebenaran relatif, maka hal-hal tersebut tentu tidak berlaku.
Apa yang dilakukan FPI secara hakikat adalah benar, karena mereka menghilangkan penyakit sosial masyarakat yang sudah endemik. Kekerasan yang mereka lakukan biasanya menjadi pilihan terakhir, karena adanya kelompok penentang. Pun hingga saat ini, kekerasan itu tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Bandingkan dengan kekerasan di daerah, misalnya Ambon, Poso, Bima, Makassar dan lainnya sebagainya, yang menyebabkan korban meninggal dunia. Kebenaran hakikat yang diyakini FPI bertabrakan dengan kebenaran prosedural yang ditetapkan dalam kehidupan masyarakat.
Ambil contoh kasus Perda Miras yang ramai beberapa waktu lalu. Kementerian Dalam Negeri berdalih Perda-perda Miras bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 1997. Oleh sebab itu, muncul wacana pencabutan Perda-perda tersebut.
Secara prosedural perundang-undangan, upaya Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi benar untuk mencabut Perda-perda tersebut. Tapi, secara hakikat, dia akan bertabrakan dengan kebenaran yang diyakini umat Islam secara mayoritas.
Inilah contoh kasus yang menyebabkan lahirnya kelompok-kelompok seperti FPI. Selama kebenaran prosedural tidak berdasarkan kebenaran hakikat, maka akan selalu lahir generasi pembela Islam. Dan, bagi mereka yang sungguh-sunggu memerangi FPI dikhawatirkan terjangkit penyakit Islamophobia yang wabahnya sudah mendunia. (*)
Jebakan Hutang dan Jebakan Politik
Oleh, Nuim Hidayat.
"Jebakan hutang dan jebakan politik adalah senjata maut untuk menghancurkan sebuah negara"
Negara kita sejak merdeka, tak lepas dari dua jebakan ini. Jebakan hutang dan jebakan politik. Soekarno presiden I Indonesia, terkena jebakan politik. Politik Rusia dan Cina. Soeharto terkena jebakan kedua-duanya, Jebatan politik dan hutang dari negara-negara Barat. Presiden Habibie meski 'terbebas' dari jebakan hutang, terbelit dengan jebakan liar demokrasi Barat. Presiden Megawati terbius dengan 'sihir Barat' dalam demokrasi dan sistem ekonominya. Presiden Gus Dur tak jauh beda. Malah ia terseret lebih jauh dalam konspirasi Barat melanggengkan negara Israel, dengan mencoba menjalin hubungan dengan negara Zionis Yahudi itu. Gus Dur pun tidak sadar berbangga-bangga ria mendpat Shimon Peres Award.
Bagaimana dengan Presiden SBY yang sekarang? SBY nampaknya tidak mengambil pelajaran pemerintahan-pemerintahan di masa lalu. Mungkin latar pendidikannya yang "American" menyebabkan ia senang hal-hal yang berbau negara adi daya itu. Dan memang SBY telah diicar lama oleh intelijen-intelijen AS untuk menjadi presiden Indonesia 'melawan' Amien Rais. Bagaimanapun Amien --meski ia lulusan AS-- tapi kekritisan dan pribadi tokoh Muhammadiyah ini bila memegang jabatan tertinggi di negara ini dianggap bisa menghancurkan kepentingan-kepentingan AS di Indonesia dan di dunia.
Barat --Amerika, Inggris dan sekutunya-- memang telah berpengalaman membentuk sebuah negara, merekayasa pemimpin sebuah negara, mendidik pemimpin-pemimpin yang akan memagang jabatan-jabatan penting di sebuah negara dan juga berpengalaman menjatuhkan --juga menghinakan-- sebuah pimpinan negara.
Pengalaman Inggris Amerika menjatuhkan Sultan Abdul Hamid II di Turki dan merekayasa berdirinya negara Israel Mei 1948, adalah sebuah pengalaman yang tidak bisa disepelakan. Siapa dibalik Inggris dan Amerika itu? Mereka yang berperan dalam mengambil keputusan di dua negara adi daya itu adalah tokoh-tokoh Yahudi.
Demokrasi adalah jebakan politik maut yang digulirkan ke dunia Islam atau ke negara-negara dunia ketiga. Demokrasi yang dalam sejarahnya berasal dari rahim Barat --yaitu Yunani-- dianggap sesuatu yang ideal bagi barat dan diharuskan negara-negara yang 'dikuasainya' menerapkan sistem ini.
Maka tidak heran, ahli-ahli politik barat, seperti Huntington, Fukuyama atau Leonard Binder selalu mengukur keberhasilan sebuah negara dengan ukuran demokrasi. Mereka yang keluar dari ukuran ini dianggap negara terbelakang, otoriter atau kurang berperadaban. Karena itu, mereka yang belajar ilmu politik Barat mulai dari S1 sampai dengan S3 bahkan post doctoral, selalu mengukur keberhasilan=keberhasilan sebuah negara dengan tolok ukur demokrasi. Tolok ukur kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebaaan organisasi dan lain-lain. Bila sebuah negara menghukum mati orang murtad (orang yang keluar dari Islam misalnya), negara itu dikatakan tidak demokratis. Bila seorang kepala negara yang beragama Islam tidak menghadiri perayaan Natal misalnya, dikatakan kepala negara itu tidak toleran, tidak demokratis dan seterusnya.
Maka dalam sistem demokrasi ini pluralisme --yang menjadi aqidah Islam Liberal-- menjadi wajib adanya. Negara harus membiarkan ajaran-ajaran Kristen disebarkan oleh para pendeta, meskipun negara itu Kristennya cuma 10 persen misalnya. Negara harus mengajarkan kepada murid-murid dari seluruh tingkatan bahwa semua agama sama, sama-sama diridhai Allah SWT, sama-sama masuk surga atau selamat di akhirat nanti.
Dalam demokrasi, akhirnya agama hanya sekedar asesoris belaka. Sekedar slogan atau tempelan untuk pantas-pantasan bagi seseorang atau warganya. Negara sendiri atau aparat pemerintahnya harus sekuler. Yakni aparatnya harus memisahkan agama dari urusan-urusan negara. Para ulama tidak boleh ikut campur dalam menyusun Undang-undang termasuk Undang-undang Dasar Negara. Ulama atau ahli agama Islam, cukup bertabligh aja di umatnya. Ulama dipoisikan sebagai pendeta, rabbi, bhiksu atau 'agamawan lainnya' yang haram ikut dalam urusan politik. Meski seringkali terjadi ulama dilarang berpolitik tapi diam-diam para pendeta berpolitik aktif dibalik layar. Dan itulah yang terjadi di Indonesia selama ini.
Adakah kebebasan --yang merupakan inti demokrasi-- dalam Islam? Jawabnya tentu ada. Bahkan bukan hanya ada, tapi kebebasan yang hakiki hanya ada dalam Islam. Bila demokrasi atau kebebasan barat memperbudak manusia satu dengan yang lainnya, dengan jabatan, uang dan pangkat, maka Islam membebaskan perbudakan manusia dengan manusia lain. Dalam Islam semua manusia adalah derajatnya sama. Sama-sama mengabdi kepada Tuhan yang satu, Allah SWT. Sama-sama harus mengikuti petunjuk Rasulullah saw, apakah itu presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, artis, pegawai negeri, pebisnis, guru, mahasiswa, murid, suami, istri dan lain-lainnya. Kesetaraan atau keadilan sejati hanya ada di Islam.
Jebakan politik selain dilakukan ke sistem sebuah negara, juga dilakukan ke individu-individu yang berpengaruh atau tokoh-tokoh di negara itu. Bagaimana caranya? Bermacam-macam. Kadang dengan pemberian-pemberian gelar, dengan award-award, dengan pemberian beasiswa, dengan undangan-undangan seminar luar negeri, dengan undangan-undangan kunjungan dan lain-lain.
Tidak heran bila tokoh-tokoh Islam sering diundang negara-negara Barat untuk seminar di negaranya. Dan biasanya tokoh kita akan bangga dan 'besar kepalanya' bila diundang mereka. Apalagi kemudian diberikan tepuk tangan yang membahana ketika presentasi. Dan itulah 'tragedi intelektual' yang terjadi di negara kita. Azyumardi Azra, Musdah Mulia, Syafii Maarif, Hasyim Muzadi, Hidayat Nur Wahid terjebak dalam 'politic trap' ini. Sehingga akhirnya mereka seringkali berkomentar kurang menggembirakan terhadap 'gerakan-gerakan Islam fundamentalis' di Indonesia. Mereka seringkali menyerukan agar umat Islam Indonesia ikut dalam sistem demokrasi yang dirancang 'dengan sempurna' oleh barat ini. Musdah Mulia atau Ulil Abshar Abdalla lebih kacau lagi dengan menggelontorkan ide Islam Liberal di Indonesia. Dimana ujung dari Islam Liberal ini, bila dari segi aqidah adalah mengajak kemusyrikan, dari segi politik adalah mengajak kepada demokrasi Barat seutuhnya. Alias mengajak ke sekulerisme dan memisahkan setegas-tegasnya antara Islam dengan kehidupan bernegara (mudah-mudahan secepatnya mereka bertobat dengan ajakan yang sangat membahayakan ini).
Bantuan ekonomi atau debt trap sebenarnya merupakan bagian dari jebakan politik. Kenapa demikian? Karena negara yang dibantu oleh institusi-institusi negara Barat apakah WHO, IMF, IGGI (dulu) atau PBB dengan lembaga-lembaga di bawahnya, memastikan negara itu tidak boleh keluar dari program sang pendonor. Sang majikan akan terus memantau digunakan apa saja bantuan itu. Maka tidak mungkin bantuan itu akan mengalir ke proyek-proyek atau organisasi-organisasi yang kritis atau melawan barat. Makin besar bantuan ekonomi Barat mengalir ke sebuah negara, ma makin terperosok negara itu dalam gurita kekuasaan Barat. Dan negara kita Indonesia tercinta ini telah merasakan kepahitannya.
Barat memang telah berpengalaman dalam membentuk sebuah negara, menghancurkannya atau membangunnya kembali. Bahkan mereka juga berpengalaman dalam mempromosikan atau menghancurkan seorang tokoh di sebuah negara. Juga berpengalaman mendidik orang-orang cerdas agar nanti menjadi tokoh di sebuah negara. Maka tidak heran di negara kita kenapa sejak merdeka 'tidak ada tokoh-tokoh yang berlatar Islam yang kuat' yang tampil memimpin negeri ini. Ya karena mereka menganggap bahaya bila tokoh ini muncul, karena bisa menghancurkan kepentingan-kepentingan dan lebih jauh bisa menghancurkan ideologi mereka yang telah mereka pegang ratusan dan mungkin ribuan tahun lalu.
Ideologi Barat yang bersumber dari Romawi Yunani dan Yahudi memang ideologi yang 'meniadakan Tuhan' alias menempatkan Tuhan di bawah manusia (ideologi komunis adalah ideologi yang lebih esktrim lagi, karena meniadakan Tuhan). Ideologi ini menempatkan manusia dan pemikirannya sebagai 'Tuhan'. Ideologi ini menempatkan otak atau akal adalah segalanya. Segala yang masuk akal, yakni yang terindera oleh manusia, adalah bisa dipercayai. Segala yang tidak terindera oleh alat indera manusia harus ditolak. Maka ujung dari ideologi ini adalah meniadakan para Rasul atau para Nabi sebagai utusan Tuhan. Dan meniadakan apa yang dibawa para Nabi dan Rasul itu sebagai pedoman dalam kehidupan manusia. Maka Nabi Muhammad saw yang lahir pada 571 Masehi dan mukjizat Al Qur'an yang dibawa beliau dianggap tidak ada oleh mereka.
Mereka selalu menyatakan --dan ini terus dilestarikan oleh tokoh-tokoh intelektual mereka-- bahwa teladan Nabi Muhammad saw itu hanyalah cocok untuk masa lalu. Masa kini harus diatur sendiri oleh otak manusia. Untuk masa modern ini tidak cocok diatur dengan petunjuk-petunjuk pada masa tradisional atau primitif itu, begitu kira-kira mereka mengatakan. Maka dalam tradisi mereka, Al Qur'an hanya boleh diterapkan di masjid belaka. Bibel pun hanya sebagai pajangan atau pantas-pantasan atau simbol saja bagi mereka dalam perkawinan, pelantikan pejabat negara atau lainnya. Karena dalam hati dan otak mereka sebenarnya tidak mempercayai agama sedikitpun.
Kekacauan Bibel dan kerusakan tingkah laku para pendetanya, menjadikan orang-orang Barat muak terhadap agama Kristen ini. Mereka --sebagian besar-- berpandangan bahwa orang-orang yang mempercayai Bibel adalah orang yang tidak menggunakan otaknya. Dan mereka trauma terhadap pengalaman masa lalu mereka, dimana ketika para pendeta memegang pemerintahan --abad pertengahan-- masyarakat mereka menjadi rusak, tidak berpengetahuan, percaya-percaya kepada takhayul dan menjadi 'budak para pendeta'. Karena itu ketika Revolusi Perancis mereka mempunyai semboyan "berikan hak kaisar kepada kaisar, berikan hak gereja kepada para pendeta".
Para pendeta pada masa itu memang melakukan hal-hal yang mengerikan. Di Spanyol, bekerjasama dengan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella mereka membunuhi ratusan ribu orang Islam dan ribuan orang Yahudi (baca sejarah mengerikan inkuisi di masa itu). Mereka juga membunuh para intelektual yang menyuarakan pendapat berbeda dengan pemikiran para pendeta. Hingga ahirnya muncullah Martin Luther yang melahirkan aliran Protestan dan tokoh-tokoh yang menolak adanya Tuhan (Kaum Ateis/Komunis). (Baca Buku Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, GIP)
Tapi dua aliran ini sebenarnya keluar dari jurang yang satu masuk ke jurang yang lainnya. Atau keluar dari 'devil trap'satu masuk ke 'devil trap' lainnya. Martin Luther ternyata menunjukkan kesombongannya yang luar biasa sambil mengecam Katolik ia mengecam Al Qur'an dan Nabi Muhammad habis-habisan. Ia menyebut Nabi Muhammad sebagai tokoh syetan (baca buku Adnin Armas tentang Bibel yang diterbitkan GIP). Begitu juga tokoh-tokoh Komunis, seperti Hegel, Karl Marx, Stalin dan lain-lain mendewa-dewakan akal atau otak manusia dan meyakini mereka sendiri yang 'menciptakan otak' itu. Mereka menentang para diktator dan para penguasa otoriter, tapi ketika mereka memerintah seringkali malah lebih diktator dan lebih kejam dari yang mereka protes. Ideologi komunis adalah ideologi dendam atau ideologi marah.
Bagaimana dengan Yahudi? Kaum Yahudi --terutama tokoh-tokohnya-- memang orang-orang yang licik meski pintar. Sejak zaman nabi Musa as hingga Nabi Muhammad saw mereka telah menunjukkan kelicikannya. Rasulullah saw terus menerus diprovokasi oleh kaum ini hingga Rasulullah saw wafat. Rasul saw harus berperang berkali-kali menghadapi persekongkolan jahat kaum ini. Mulai dari provokasi mereka ketika di Madinah (bahkan juga di Mekkah), hingga masa sahabat dan terus masa tabiin, tabiiut tabiin, hingga 'masa sekarang'.
Di masa modern kita lihat bagaimana kelicikan Yahudi dalam permainan politik dunia. Mulai dari menghancurkan khilafah Islamiyah di Turki, mendirikan negara Israel, 'menguasai' negara Saudi, mendirikan universitas-universitas di negeri-negeri Islam (seperti American University di Kairo dll), hingga mendirikan studi-studi Islam di negara-negara Barat. Mereka bekerjasama dengan intelektual-intelektual Kristen dan Ateis (bahkan intelektual Islam pun ia undang untuk memberi beberapa mata kuliah), untuk memainkan politik di dunia ini. Dan banyak intelektual-intelektual Islam terjebak dalam permainan politik Yahudi yang canggih ini. Yang paling mencolok mata adalah rekayasa-rekayasa politik pendidikan Yahudi untuk menampung tokoh-tokoh Islam yang diusir dari negeri-negeri Islam. Tokoh-tokoh ini diusir dari negeri-negeri Islam itu karena tokoh-tokoh ulama yang sholeh di sana setelah meneliti serius, tokoh itu mempunyai prinsip yang berkeyakinan menyimpang dari aqidah atau Syariat Islam. Fazlurrahman dan Nas Hamid Abu Zaid adalah diantara tokoh-tokoh itu.
Mereka juga menggelontorkan dana milyaran ke negeri-negeri Islam, untuk menyukseskan ideologi sekuler mereka. Di samping menampung anak-anak muda cerdas dari negeri-negeri Islam itu untuk dididik di negeri mereka. Negeri kita menjadi lahan yang empuk dalam garapan politik pendidikan mereka ini. Banyak anak-anak muda yang cerdas, di samping karena kesulitan ekonomi, yang bermimpi belajar di negeri-negeri Barat karena tawaran-tawaran yang menggiurkan dari beasiswa mereka. Mahasiswa-mahasiswa IAIN banyak yang terperosok dalam jebakan politik pendidikan ini.
Ketika berangkat mereka masih menjadi santri yang alim, ketika pulang mereka menjadi pelajar atau intelektual yang menzalimi agamanya sendiri. Mereka tidak sadar --atau sadar karena mengikuti hawa nafsunya-- telah menjadi 'boneka' atau intelektual tukang kaum Yahudi. Melihat Islam dengan memakai cara berfikir tokoh-tokoh yang anti Islam atau non Islam. Mereka didorong menjadi analis-analis Islam atau peneliti-peneliti Islam bukan didorong menjadi ulama atau pejuang Islam. Hingga tidak heran ketika pulang ke dalam negeri mereka selalu kritis terhadap Al Qur'an, As Sunnah, ulama-ulama islam yang sholeh tapi kurang kritis kepada Barat dan tokoh-tokohnya. Hingga mahasiswa-mahasiswa di IAIN atau perguruan tinggi umum, akhirnya menjadikan barat sebagi puncak peradaban manusia. Barat dengan tokoh-tokoh intelektualnya dianggap sebagai model atau panutan dalam berfikir. Bahkan sebagai cita-cita tertingginya.
Dan politik pendidikan ini menjebak negeri-negeri Islam, juga negeri-negeri dunia ketiga lainnya dalam kurun ratusan tahun lamanya.
Jebakan politik ini juga terjadi dalam sistem politik di Indonesia. Belanda memang telah meninggalkan Indonesia tahun 1945 atau 1945, tapi warisan sistem politiknya (termasuk politik ekonomi, politik hukum, politik pendidikan, politik budaya, politik militer dan politik ideologi) telah ditancapkan dengan sangat kuat ke negeri kita.
Hingga akhirnya ketika berbicara hukum, tak bisa lepas dari hukum Belanda. Berbicara pendidikan tak lepas dari sistem pendidikan yang diwariskan Belanda (tecermin dari buku-buku sejarah yang mengajarkan kehebatan tokoh-tokoh non islam atau peradaban-peradaban non Islam yang selalu diagung-agungkan di negeri ini). Begitu pula berbicara sistem politik yang lainnya.
Maka jangan heran kemudian terjadi kerumitan politik yang luar biasa di negeri ini. Mulai dari tampilnya tokoh-tokoh politik badut atau tokoh-tokoh politik yang minim kemampuan sampai pencurian uang rakyat yang gila-gilaan (Tentu mereka juga harus dihukum sesuai dengan UU yang berlaku bila mereka melakukan penyelewengan. Dari sini KPK diuji integritasnya untuk berani memeriksa tokoh-tokoh politik, mulai dari menteri, anggota-anggota DPR hingga presiden. Dan hukuman ini diperlukan agar pencuri-pencuri itu --saya lebih suka pakai bahasa pencuri, karena kata korupsi terlalu halus-- merasakan penderitaan rakyat miskin. Yang sehari-hari mereka kadang makan hanya sehari sekali atau kadang tidak makan karena tidak punya uang, sulitnya membeli obat bila keluarga mereka sakit, tidak bisa bepergian kemana-mana karena tidak punya uang di sakunya dan tidak mampunya mereka menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi. Bila tidak demikian mereka sulit jera dan 'penyakit menular berbahaya' ini bisa menyebar ke masyarakat luas).
Walhasil agar negeri kita menjadi adil dan makmur tidak ada jalan lain kecuali kembali ke Islam. Kembali lagi meneriakkan 'Allaahu Akbar' sebagaimana para pejuang Islam dulu yang maju tak kenal menyerah mengusir Belanda, Jepang dan tentara sekutu dari negeri kita. Tanpa jiwa Islam --mengisi dada dengan butir-butir Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw- maka negeri kita akan terus menjadi 'bancakan' negara-negara besar, baik dalam politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Di samping dasar negara atau undang-undangnya harus berdasar pada Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw, maka pemimpin-pemimpinnya --dari semua lini-- harus menjadikan Islam sebagai landasan dalam berfikir dan bertindak. Bila tidak, maka Debt Trap, Politic Trap, Evil Trap dan Devil Trap akan terus menguasai negeri kita.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita menyerahkan segala urusan dan bertawakkal. 'Wakaana haqqan alainaa nashrul mu'miniin.' Walaahu aziizun hakiim.
Pejabat Dibuat Mabuk oleh Fulus Bisnis
Miras?
Empat remaja belasan tahun terpaksa berurusan dengan Satuan Reserse Kriminal, Polres Malang, Minggu (18/9/2011). Dari hasil penyidikan dan pemeriksaan Polisi, keempat remaja tanggung itu baru saja berbuat amoral. Mereka, tega menggagahi Puri (bukan nama sebenarnya) secara bergiliran. Ironisnya, para pelaku menggunakan sebuah Mushola waqaf milik warga Dusun Glendangan, Desa Ngingit, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang untuk berbuat mesum. “Keempat pelaku sudah kami amankan. (Foto/ ruang hati | Sep 18, 2011)
- Sikap Komnas HAM khususnya Johnny Nelson Simanjuntak dan Kemendagri adalah contoh kongkrit bagaimana miras dapat membuat mereka mabuk.
- Meski dalam keadaan tidak mengkonsumsi miras secara langsung, mereka dibuat sedemikian mabuk sehingga argumen mereka mencabut perda miras menjauhi akal sehat.
- Mereka dibuat mabuk oleh dampak fulus yang dihasilkan industri haram miras, yang dalam setahun mencapai Rp 5 triliun (legal), belum termasuk bisnis miras ilegal.
- Saking mabuknya, Kemendagri sama sekali tidak memperhatikan realitas yang ada. Bahwa dampak peraturan miras yang tidak tegas (Keppres) berakibat pada banyaknya korban berjatuhan. Bahkan meski perda sudah diterbitkan, dampak miras masih cukup mengkhawatirkan.
- Kasus di Sidoarjo, tertembaknya seorang Ustadz oleh polisi Briptu Eko Ristanto saat itu penembak masih dalam pengaruh miras.
***
Miras atau Minuman keras adalah kata lain untuk khamar, zat yang memabukkan dan tergolong induk kejahatan (ummul khabaits). Disebut sebagai induk kejahatan, karena pemabok yang sudah dikuasai khamar tidak punya rasa malu dan tidak punya rasa takut untuk melakukan kejahatan besar lainnya, seperti berzina, memperkosa, merampok, bahkan membunuh.
Artinya, dampak miras sudah sedemikian mudah dipahami masyarakat luas. Bahkan meski pemerintah Indonesia sudah memiliki Keppres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, dampak miras tetap saja merajalela, karena Keppres tersebut bukan MELARANG MIRAS atau menempatkan MIRAS sebagai barang HARAM, namun hanya mengatur peredarannya, hanya membatasi peredarannya.
Sehingga, dalam prakteknya Keppres No. 3 Tahun 1997 yang diterbitkan pada tanggal 31 januari 1997 dan ditandatangani oleh Presiden (saat itu) Soeharto, mudah dilanggar. Akibatnya, anak-anak pra remaja hingga remaja dengan mudah bisa memperoleh miras, mengkonsumsi dan menjadi korban.
Dilandasi oleh keprihatinan seperti itu, maka lahirlah sejumlah peraturan daerah (perda) tentang miras, yang tujuannya untuk mencegah semakin parahnya dampak miras di kalangan generasi muda. Jadi, kelahiran perda-perda itu bukan untuk melanggar peraturan yang lebih tinggi (Keppres) tadi. Tapi, justru untuk mempertegas, lebih fokus, dengan tujuan konstruktif.
Lha, sekarang kalau Kemendagri beralasan dicabutnya perda miras di sejumlah daerah karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi (Keppres), itu namanya antilogika dan amoral. Apalagi, Mendagri Gamawan fauzi dalam salah satu argumennya mengatakan bahwa pencabutan perda miras tadi karena mendapat desakan dari Komnas HAM.
Namun Johnny Nelson Simanjuntak (Komisioner Komnas HAM), berkilah, pihaknya tak pernah secara eksplisit menyebutkan agar Perda Larangan Miras ditinjau ulang, tetapi hanya mengkritisi perda-perda syariah dan meminta Kementerian Dalam Negeri untuk meninjau kembali perda-perda tersebut. Namun melalui suratnya kepada pemerintah daerah Kementerian Dalam Negeri beralasan evaluasi peraturan daerah tentang pelarangan minuman keras dilakukan karena didesak oleh Komnas HAM, karena perda-perda itu melanggar HAM.
Sikap Komnas HAM khususnya Johnny Nelson Simanjuntak dan Kemendagri adalah contoh kongkrit bagaimana miras dapat membuat mereka mabuk. Meski dalam keadaan tidak mengkonsumsi miras secara langsung, mereka dibuat sedemikian mabuk sehingga argumen mereka mencabut perda miras menjauhi akal sehat. Mereka dibuat mabuk oleh dampak fulus yang dihasilkan industri haram miras, yang dalam setahun mencapai Rp 5 triliun (legal), belum termasuk bisnis miras ilegal.
Saking mabuknya, Kemendagri sama sekali tidak memperhatikan realitas yang ada. Bahwa dampak peraturan miras yang tidak tegas (Keppres) berakibat pada banyaknya korban berjatuhan. Bahkan meski perda sudah diterbitkan, dampak miras masih cukup mengkhawatirkan.
Menurut Reydonnyzar Moenek, sepanjang tahun 2011 Kementerian Dalam Negeri telah mencabut 351 Perda yang dianggapnya bermasalah, karena dinilai bertentangan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Ketika perda-perda yang dianggap bermasalah itu dicabut satu per satu, sejumlah masalah berkaitan dengan miras justru sedang berlangsung.
Misalnya, pada tanggal 08 April 2011, Sudadyo (46 tahun), warga Desa Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta meninggal akibat mengonsumsi miras jenis ciubersama seorang rekannya. Sudadyo tewas, sedangkan rekannya meski tidak tewas namun harus dirawat intensif di RSUD Wonosari. Beberapa hari kemudian, masih di tempat yang sama, Winda Hadi Saputra (21 tahun), meninggal dunia pada 12 April 2011 sore, setelah mengonsumsi miras jenis ciu bersama dua rekannya.
Dampak langsung miras adalah kematian. Pada contoh kasus berikut, kematian datang setelah pesta miras yang menghasilkan pertikaian, hingga menyebabkan salah satunya mati dibunuh. Hal ini terjadi pada 15 Mei 2011 di Jl. F Kebon Baru Tebet, Jakarta Selatan. Malam itu Lukman (43 tahun) pesta miras bersama sejumlah temannya termasuk Novel (51 tahun). Terjadi keributan antara Lukman dengan Novel. Keduanya dalam keadaan mabuk. Novel serta-merta mengambil badik dan menusuk ke dada Lukman (warga Cipinang Muara Jakarta Timur) hingga tewas.
Mudahnya memperoleh miras akibat peraturan yang banci, membuat tunas bangsa yang masih belia, masih berstatus pelajar SMP, bisa begitu mudah memperoleh miras, dengan harga terjangkau, dan menggelar pesta miras di kawasan pemukiman padat penduduk, siang hari. Contoh kasus ini benar-benar terjadi di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Menurut pemberitaan Metro TV edisi Jumat, 9 September 2011 15:14 WIB, enam pelajar SMP yang sedang pesta miras di gang sempit berhasil diciduk aparat berkat laporan warga. Tiga diantaranya berhasil melarikan diri, sedangkan tiga lainnya berhasil digiring ke Mapolsek Metro Jatinegara, Jakarta Timur.
Contoh kasus di atas jelas menunjukkan dari kelas sosial mana pelaku pesta miras itu berlangsung. Mereka dapat diduga dari kelas sosial menengah ke bawah. Fakta ini seharusnya membuat pemerintah prihatin, dan keprihatinan itu diwujudkan dengan membuat peraturan yang lebih tegas tentang miras.
Salah satu perda yang dicabut oleh Gamawan Fauzi adalah Perda Kota Tangerang Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pelarangan, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Padahal, meski sudah ada perda nomor 7 tahun 2005, pelanggaran masih saja terjadi dan mengakibatkan korban jiwa. Misalnya sebagaimana terjadi pada 25 September 2011 dini hari, saat berlangsung pesta miras di sela-sela pentas dangdut. Dua dari tujuh pelaku pesta miras oplosan itu tewas setelah diangkut ke rumah sakit. Keduanya adalah Jaruddin alias Ambon (29 tahun) dan Rudi alias Aloy (30 tahun), warga RT 04 RW 04, kelurahan Cibodas Besar, Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang.
Seharusnya pemerintah memperkuat perda kota Tangerang nomor 7 tahun 2005, dan mengawasi pelaksanaannya, sehingga korban miras tidak semakin berjatuhan. Tapi yang dilakukan Gamawan justru mengeluarkan jurus mabok.
Pesta miras yang berujung percekcokan dan pembunuhan selain pernah terjadi di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, juga pernah terjadi di Surabaya, pada 11 Oktober 2011 lalu. Abdul Gani bersama Jamal dan lima orang rekan mereka lainnya menggelar peta miras di daerah Pulo Wonokromo, Surabaya. Tanpa diketahui penyebabnya, terjadi percekcokan antara Abdul Gani dengan Jamal. Percekcokan meningkat menjadi perkelahian. Ujungnya, Jamal membacok Abdul Gani di bagian perut hingga usus Abdul Gani terburai, dan tewas. (Indosiar, patroli, edisi Rabu, 12 Oktober 2011).
Berdasarkan Keppres No. 3 Tahun 1997, café merupakan salah satu tempat yang dibenarkan terjadinya peredaran dan konsumsi miras. Dengan asumsi, peredaran dan konsumsi miras tidak berdampak langsung terjadinya tindak kejahatan lanjutan. Benarkah demikian?
Di Sidoarjo, ada tempat hiburan bernama café Ponti. Di tempat ini peredaran dan konsumsi miras dibenarkan secara hukum. Salah satu pengunjung café Ponti ini adalah Briptu Eko Ristanto, anggota Polres Sidoarjo. Kamis malam Jum’at Briptu Eko Ristanto menggelar pesta miras dengan sesama anggota polisi di café Ponti. Pulang dari pesta miras, sebagian dari mereka mengendarai Xenia, dan lainnya mengendarai sepeda motor (Briptu Widianto anggota Reskrim Polres Sidoarjo).
Di tengah perjalanan, sepeda motor yang dikendarai Briptu Widianto bersenggolan dengan mobil yang dikendarai ustadz Riyadhus Sholikin. Pasca senggolan, mobil yang dikendarai ustadz Riyadhus Sholikin tetap melaju, sehingga dikejar oleh rekan Briptu Widianto yang berada di dalam mobil Xenia. Singkat cerita, pengejaran itu berujung pada tertembaknya sang ustadz oleh Briptu Eko Ristanto yang saat itu masih dalam pengaruh miras.
Begitulah faktanya. Meski pesta miras berlangsung di tempat yang dibenarkan oleh ketentuan yang berlaku, namun dampaknya (pembunuhan) bisa terjadi di luar dari tempat yang dibenarkan tadi.
Mudahnya memperoleh miras tidak hanya dirasakan oleh kalangan belia dari kelas sosial menengah ke bawah, tetapi juga dapat dirasakan oleh para belia dari kalangan menengah ke atas, seperti terjadi pada Achmad Al Ghazali alias Al putra pasangan selebriti Achmad Dhani dan Maia Estianty.
Pada 30 Oktober 2011, Al dan kawan-kawan merayakan pesta Halloween di kediaman Maia di kawasan pejaten, Pasar Minggu. Maia Estianty adalah ibu kandung Al yang sudah bercerai dari Achmad Dhani. Pada pesta Halloween itu, Al yang masih berusia (saat itu) 14 tahun, terlihat asyik menghisap rokok dan mengkonsumsi miras. Betapa mudahnya anak belasan tahun seperti Al menggelar pesta miras bersama teman sebayanya, dari mana ia bisa mempeorleh barang haram itu?
Kalau saja foto-foto pesta Halloween plus miras yang digelar Al dan kawan-kawan tidak dipublikasikan di ruang publik, pastilah masyarakat luas, dan masyarakat terdekat (tetangga Maia), tidak mengetahui berlangsungnya pesta Halloween dan miras yang digelar anak selebritis yang juga sudah tumbuh menjadi selebritis belia.
Kondisi seperti itu seharusnya membuat pemerintah prihatin. Artinya, Keppres dan Perda saja ternyata tidak cukup untuk mencegah timbulnya dampak miras. Maka, yang dibutuhkan adalah peraturan yang lebih tinggi, yang tegas, dan dikawal dengan baik, demi menghindarkan rakyat dan generasi muda kita dari kehancuran moral dan fisik akibat mengkonsumsi miras.
Terkuaknya pesta Halloween plus miras di kalangan selebriti belia, boleh jadi bagai mengikuti fenomena gunung es. Maksudnya, dikhawatirkan kasus pesta ala Al itu sebenarnya banyak terjadi, namun karena berlangsung di ruang tertutup yang mewah dan berada dalam lingkungan sosial yang individualistis, sehingga nyaris tak terdeteksi. Lebih dikhawatirkan lagi, hal serupa jauh lebih dahsyat terjadi di kalangan selebritis dewasa: bukan sekadar miras, tapi kemungkinan pesta narkoba dan pesta seks.
Berbagai Kasus Lain
Bagi yang terbiasa mencermati kasus kriminal, ada satu petunjuk yang sering kali tepat untuk menangkap pelaku kriminal. Pelaku perampokan, pencurian dan sebagainya, biasanya menghabiskan uang hasil kejahatannya di tempat-tempat pelacuran atau di tempat-tempat yang menyediakan miras.
Hal ini barangkali yang juga diterapkan aparat Polda Lampung. Pada tanggal 12 Desember 2011, sekitar pukul 09:00 WIB, terjadi perampokan di toko bangunan CV Laris Jaya milik Kuntoro Wiyanto (40 tahun), yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo, Bandar Lampung. Perampok berjumlah enam orang, dan berhasil menggondol uang tunai sebesar Rp 250 juta yang hendak disetorkan Kuntoro ke bank.
Sekitar dua pekan kemudian, tanggal 28 Desember 2011, pada pukul 01:00 dini hari, salah seorang dari pelaku perampokan itu tertangkap saat sedang pesta miras di warung dekat rumahnya. Bermodalkan penangkapan itu, aparat kepolisian kemudian mengejar lima pelaku lainnya.
Pesta miras tidak selalu identik dengan kejahatan dan preman, tetapi juga bisa terjadi di kalangan aparatur negara atau pegawai negeri sipil (PNS). Hal ini sebagaimana terjadi di Bone, Sulawesi Selatan. Pada hari Kamis tanggal 29 Desember 2011, Satuan Polisi Pamong Praja Setda Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, beserta jajaran Polres Bone, Brimob dan Satuan Korem 141 Toddopuli menggelar razia gabungan ke sejumlah lokasi di Kota Bone.
Dari razia itu, berhasil ditangkap 14 orang yang sedang mengkonsumsi miras. Salah satunya, Bur bin Halim (32 tahun), adalah pegawai negeri sipil yang tinggal di BTN Pepabri. Sudah beberapa kali Bur bin Halim tertangkap tangan dalam kasus serupa. Tampaknya ia tak juga jera. Mungkin karena tidak ada tindakan tegas dari instansi tempat Bur Bekerja.
Di Tenggarong, kalimantan Timur pada hari Kamis tanggal 29 Desember 2011, sekitar pukul 20:30 wita, Sat Sabhara Polres Kutai Kartanegara menangkap tiga mahasiswa dari salah satu Universitas di Tenggarong saat sedang menggelar pesta miras di parkiran Lapangan Tenis, dekat Stadion Rondong Demang, Tenggarong. Dari tangan mereka berhasil disita barang bukti berupa dua botol miras merk anggur merah cap orang tua.
***
Begitulah keadaannya, ketika perda miras dicabut oleh Gamawan Fauzi, pesta miras sedang marak di mana-mana. Seolah-olah Gamawan Fauzi ingin berkata, “pesta miras merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar oleh perda-perda yang bertentangan dengan Keppres.” Begitulah barangkali logika orang mabuk.
(haji/tede/nahimunkar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar