BBM Naik.....?? Masyarakat makin Menjerit
http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=24971
Pemerintah Diminta Segera Siapkan Solusi
Padang Ekspres • Kamis, 01/03/2012 12:58 WIB • (mg6/mg17) • 64 klik
Padang, Padek—Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) 1 April mendatang, terus menuai kecaman oleh pengusaha dan sopir angkutan kota (angkot), angkutan kota dalam provinsi (AKDP), dan angkutan kota antar provinsi (AKAP). Mereka menilai kebijakan tersebut tidak prorakyat.
Kebijakan pukul rata kenaikan harga BBM melukai rasa keadilan rakyat kecil, yang notabene penumpang tetap jasa angkutan umum. Tidak ada bedanya antara orang miskin dan orang kaya membeli BBM.
Antara pengendara motor dan mobil mewah membeli BBM dengan harga yang sama. Padahal, alasan kenaikan BBM agar subsidi yang selama ini dinikmati pada 77 persen untuk orang kaya, dialihkan untuk orang miskin.
Sopir AKDP Padang-Pariaman, Herman, 38, ketika ditemui Padang Ekspres saat mengisi penumpang di terminal bayangan Aiatawa Padang, Rabu (29/2), mengaku kecewa dengan kebijakan pemerintah yang memukul rata kenaikan harga BBM.
“Maaf bicara, ongkos Rp 2.500 per kepala, kalau bagi angkutan darat hanya cukup untuk naik angkot dari Pasar Raya-Lubukbuaya.
Tapi kalau naik kereta api, bisa dari Padang-Pariaman. Apa tidak gila kita (sopir angkot) dibuatnya. Sudah jelas penumpang akan lari ke kereta api,” kata Herman, sopir bus PO Arisma itu.
Ongkos bus saat ini Rp 10 ribu. Hari minggu, angkos kereta api Rp10 ribu. Tapi kalau hari biasa, Rp 2.500. “Kadang terpaksa harus jalan meski hanya satu pnumpang. Selain itu yang diharapkan, adalah penumpang yang naik di jalan,” beber bapak tiga anak itu.
Herman mengaku kadang hanya mendapat uang menambang untuk membeli BBM Rp 200 ribu per hari, ditambah biaya makan dan rokok sebungkus.
Celakanya, kata sopir AKDP Padang-Pariaman lainnya, Jhoni, 27, jika mobil yang dibawanya rusak, terpaksa menganggur karena jarang pemilik bus mau memperbaikinya.
“Sekarang saja, sudah banyak bus yang istirahat total karena sulitnya penumpang. Banyak pengeluaran daripada pendapatan yang kita terima,” tuturnya. Ketika sedang jaya, tambah Jhoni, bus Padang-Pariaman mencapai 50 unit. Kini, tinggal 30 unit.
“Biaya bongkar mesin bus sekarang mencapai Rp 15 juta. Jika sempat bongkar mesin, darimana uangnya?” ulas Jhoni.
Agar bisa bersaing, para awak angkutan umum berharap pemerintah mengubah kebijakan ongkos transpor kereta api. “Jika memang kereta api itu harus tetap ada, maka sesuaikanlah ongkosnya dengan bus-bus kami ini. Jika tidak sama, minimal tidak terlalu jauh murahnya dengan ongkos bus,” tukas Jhoni.
Sopir Angkot Mengeluh
Keresahan serupa juga dikatakan sejumlah sopir angkot di Padang. “Banyak motor dan ojek sekarang, membuat kami sulit mendapatkan penumpang, apalagi ditambah harga BBM naik, otomatis naik juga ongkos angkot. Kalau begini, masyarakat tak akan mau lagi naik angkot,” keluh Hendra, sopir angkot jurusan Pasar Raya-Taruko itu.
Dengan harga bensin Rp 4.500 seliter, Hendra menghabiskan Rp 120 ribu untuk membeli 20-30 liter BBM sehari. “Jika BBM naik menjadi Rp 6.000 per liter, untuk membeli minyak saja Rp 180 ribu, belum lagi setoran Rp 120 ribu dan gaji. Artinya, hasil menambang yang dikejar sekitar Rp 350 ribu sehari. Belum lagi nantinya, harga onderdil akan naik pula,” ungkapnya.
Bukan hanya awak angkot atau bus AKDP/AKAP yang merugi, masyarakat kecil yang umumnya penumpang angkutan umum, justru lebih terbebani dengan kenaikan BBM. Padahal, anggaran ongkos transportasi bagi masyarakat menengah ke bawah, adalah pengeluaran terbesar setelah kebutuhan pangan.
“Sekarang saja pengeluaran untuk transportasi saya sehari rata-rata Rp 5.000. Sebulan sudah Rp 150 ribu. Padahal gaji saya pas-pas UMP, Rp 1.000.1000. Belum lagi untuk makan dan sewa rumah,” jelas Doni, pegawai swasta di Padang yang mengaku masih bujangan.
Bayangkan, bagaimana dengan mereka yang telah berkeluarga, beban hidupnya tentu jauh lebih berat.
Sejumlah pedagang juga menyampaikan keluhannya. Salah satunya, Tasrip. Pedagang keliling asal Jawa Tengah ini menggunakan motor untuk menjajakan dagangannya dari satu kompleks ke kompleks lain di Padang. Dia menjuak sayur, cabai, lauk pauk, dan sebagainya.
“Setiap hari, saya membeli dua liter bensin. Jika BBM naik, otomatis biaya operasional akan naik pula. Untuk menutupi biaya itu, tentu harga barang dagangan akan saya naikkan. Tapi dari pengalaman saya selama lima tahun berjualan, pembeli mengeluh jika haraga barang naik.
“Ibu-ibu di kompleks sangat sensitif. Naik Rp 200 saja mereka pertanyakan, dan tidak jarang ada yang pindah langganan untuk mencari yang lebih murah,” imbuhnya.
Hal serupa juga diungkapkan tukang ojek di kawasan Alai, Hasbi, 45. “Jika BBM naik hingga Rp 6.000 seliter, maka ongkos ojek akan naik pula. Sekarang saja, jauh dekat ongkos Rp 2.000, penumpang mengeluh, apalagi penumpang yang masih berstatus pelajar,” ulasnya.
Jika BBM naik, harga suku cadang biasanya akan naik pula. Misalnya ban sepeda motor, oli, bahkan biaya servis. Dengan begitu, mau tidak mau sewa ojek akan naik. “Karena dalam satu hari itu, saya bisa membeli bensin sekitar empat liter,” imbuh pria yang baru dua tahun ini menjadi tukang ojek.
Terpisah, sopir angkot Pasar Raya-Tabing, Rinaldi mengaku kasihan dengan penumpang anak sekolah. “Berapa lagi ongkos yang akan kami minta. Sekarang saja ongkos pelajar Rp 1.500 sudah mahal rasanya,” imbuhnya.
Kaum nelayan juga bakal terimbas. Hengki, 33, nelayan Purus, mengaku jika harga solar naik, tentu biaya operasional melaut akan meningkat pula. Dalam sehari, dia menghabiskan 10 liter solar. “Jika jadi naik Rp 1.500 seliter, tentu biaya yang harus ditambah Rp 15 ribu. Bagi saya jumlah itu sudah besar, apalagi saat ini ikan sulit mencarinya dan harus sampai ke tengah laut dulu untuk mendapatkan ikan banyak,” ujar bapak dua anak ini.
Ibu rumah tangga juga mengkhawatirkan hal serupa. Muslimah, warga Alai Parak Kopi, mengaku jika harga BBM naik, harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak, gula akan naik pula. Sedangkan suaminya yang bekerja di salah satu perusahaan swasta, gajinya tidak naik.
Bos PO Setangkai, Yong Fengki mengatakan, kenaikan harga BBM hendaknya dibedakan antara premium dan solar.
“Saya menilai, saat ini banyak pengusaha bus yang terjepit karena harga solar dan premium sama. Kalau dapat harga bensin lebih tinggi dari solar. Selama ini, faktor kesamaan harga, dimanfaatkan travel liar. Ini membuat pengusaha bus kewalahan,” tutur pengusaha angkutan asal Lintaubuo itu.
Pilih Jalan Kaki
Kenaikan BBM biasanya diikuti kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Yuliwati, warga Bungus, penyortir cabai di Pasar Raya Padang, hanya pasrah dengan kebijakan pemerintah. “Kami masyarakat kecil ini, tidak akan bisa berbuat apa-apa. Terserah pemerintah saja,” kata wanita berusia 50 tahun itu.
“Penghasilan saya tergantung banyaknya cabe yang masuk. Jika cabenya banyak, saya bisa mendapat Rp 50 ribu sehari. Alhamdulillah, dua dari empat anaknya sudah tamat SMA. Dua lagi masih sekolah,” tuturnya.
Marianti, 45, teman Yuliwati, mengatakan, jika ongkos angkot naik, dia memilih berjalan kaki ke tempat kerja. “Mau bagaimana lagi kalau uang ndak ada. Paling, beli rokok dikurangi,” ujarnya. (mg6/mg17)
[ Red/Redaksi_ILS ]
BBM Naik Rakyat Menjerit
2 komentar
http://hasbihtc.blogspot.com/2012/02/bbm-naik-rakyat-menjerit.html
Selain itu, kenaikan ini juga disebabkan oleh harga minyak dunia yang juga semakin naik hingga mencapai US$ 122,9 per barel.
BBM Naik Rakyat Menjerit
Angka ini diperkirakan akan terus naik dikarenakan adanya embargo minyak Iran. Lalu, perlukah menaikkan harga BBM? Mari kita mengkaji lebih jauh tentang kenaikan harga BBM bagi perekonomian secara umum.
Opsi menaikkan harga BBM dipilih karena merupakan opsi yang batten efektif dan mudah untuk diterapkan dibandingkan dengan pembatasan BBM bersubsidi maupun konversi dari BBM ke BBG (Bahan Bakar Gas). Pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya salah satu cara yang tepat, namun dalam prakteknya kebijakan ini sulit dilakukan karena masyarakat masih sulit untuk beralih dari bensin ke Pertamax. Belum lagi, kebijakan ini dikhawatirkan akan meningkatkan potensi penyelewengan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan cara menimbun BBM bersubsidi setelah pemerintah mengumumkan kebijakan tersebut. Opsi lain, yakni konversi gas bisa dikatakan terlambat jika melihat urgensi masalah yang dihadapi. Apalagi pada prakteknya, kebijakan ini cukup sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu, harga advocate kit yang digunakan juga relatif mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat.
Dampak dari kenaikan harga BBM ini cukup signifikan, yakni inflasi yang melambung tinggi. Inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum. Inflasi ini akan berimbas langsung kepada masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan harga-harga kebutuhan pokok meningkat sehingga memberatkan bagi mereka. Selain itu, industi juga akan mendapat imbas langsung dari kenaikan ini. Pasalnya, jika BBM naik maka kos produksi juga naik. Belum lagi, biaya logistik juga semakin tinggi sehingga mereka terpaksa juga akan menaikkan harga produk. Harga produk yang tinggi menyebabkan daya beli masyarakat turun sehingga pendapatan mereka bisa berkurang bahkan merugi. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan kompensasi kepada rakyat sebagai pengganti adanya kenaikan tersebut. Kompensasi tersebut dapat berwujud BLT, pembangunan infrastruktur maupun subsidi-subsidi di sektor lain. Khusus untuk industri, transportasi dan nelayan seharusnya tetap diberikan BBM bersubsidi agar tidak memberatkan.
Kenaikan harga BBM memang selalu menjadi pro-kontra di kalangan masyarakat. Jika kita mempertimbangkan urgensinya, harga BBM memang perlu dinaikkan. Namun yang pasti, subsidi BBM harus tetap diberikan kepada rakyat. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Kata “dikuasai oleh negara” berarti negara sebagai regulator, fasilitator, dan abettor sehingga pemerintah berkewajiban mengatur harga BBM sesuai dengan kemampuan rakyat. Jika kita berkaca dari negara lain, harga BBM di Indonesia juga termasuk yang batten rendah. Meskipun demikian, pemerintah juga harus menyediakan bahan bakar alternatif yang aman dan murah seperti gas sehingga bangsa kita tidak tergantung lagi dengan bensin.Kenaikan harga BBM tentunya akan berdampak pada kelompok masyarakat miskin. Kenaikan itu akan memengaruhi harga barang lainnya, sehingga memengaruhi pula daya beli masyarakat miskin pada kebutuhan lainnya, seperti biaya transportasi dan juga barang-barang kebutuhan dasar.
Pengetahuan umum masyarakat kita tentang kenaikan BBM itu selalu dipersepsi sebagai kenaikan segala barang kebutuhannya. Memang dilematis bagi pemerintah, harga BBM tidak dinaikkan akan menyebabkan subsidi membesar dan akan menyebabkan subsidi semakin besar dan APBN kita dikhawatirkan ''jebol'' habis dipakai mensubsidi BBM dan pembangunan infrastruktur akan mandeg karena ketiadaan anggaran yang memadai.
Sekian info terbaru dari saya hasbihtc BBM Naik Rakyat Menjerit Semoga bermanfaat dan menjadi referensi buat kita semua wassalamDan bila dinaikkan maka efek sosialnya akan memunculkan masalah baru. Masyarakat yang merasakan akibat kenaikan itu akan semakin menjerit, meskipun mereka mendapat bantuan subsidi baru dalam affairs BLT untuk rakyat.
Sumber : http://www.satelit9.com/
PKS: Revisi UU Migas Harus Segera Dibahas
Senin, 14/11/2011 06:55 WIBhttp://news.detik.com/read/2011/11/14/065547/1766636/10/pks-revisi-uu-migas-harus-segera-dibahas
Jakarta Hari Senin ini (14/11/2011) DPR RI memasuki masa sidang ke-2 tahun 2011/2012. Sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU) telah masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Menurut Anggota DPR RI Sohibul Iman, di antara yang mendesak untuk segera dibahas adalah revisi terhadap UU No.22/2001 tentang Migas.
Menurut Sohibul Iman, prioritas tersebut beralasan karena kondisi pengelolaan sektor Migas yang semakin memburuk. "Misalnya masalah pajak dan birokrasi yang rumit, ketentuan Domestic Market Obligation (DMO), lifting minyak terus turun, realisasi investasi dan eksplorasi yang anjlok sejak 1999, tidak ditemukannya cadangan di Blok baru dalam 10 tahun terakhir kecuali Blok Cepu, produksi minyak bumi yang hanya mengandalkan lapangan-lapangan tua yang sudah matured, dan upaya efisiensi dengan teknologi EOR yang tidak memberikan dampak signifikan," jelas Sohibul dalam rilis yang diterima detikcom, Senin (14/11/2011).
Anggota Komisi Energi ini mengingatkan, dalam UU Migas No.22/2001 sebenarnya terdapat cita-cita menata ulang sifat Pertamina sebagai perusahaan yang sekaligus regulator. Namun hasilnya, Pertamina hanya ditempatkan sebagai operator. Tugas sebagai regulator dan pemangku kuasa pertambangan diserahkan kepada institusi baru yaitu Badan Pelaksana Migas (BP Migas) yang berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Implikasinya, terjadi Penerapan Pola B to G yang menghilangkan Kedaulatan Negara atas kekayaan Migasnya.
"Ini perlu kita revisi, karena membuat posisi pemerintah sejajar dengan perusahaan asing/swasta, yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi," ujarnya.
Menurutnya, minimal ada 6 parameter agar UU Migas sejalan dengan sistem pengelolaan sumber daya alam yang efisien berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Politisi PKS ini menyebutkan 6 parameter tersebut adalah penyederhanaan sistem dengan pola B to B, proses investasi yang tidak birokratik, formula penjualan minyak dan gas yang menguntungkan negara, kejelasan status kepemilikan dan pembukuan atas cadangan migas diperut bumi, prinsip lex spesialis dalam kebijakan fiskal, serta pengelolaan BUMN Migas yang terintegrasi.
"Apalagi dengan adanya 3 pasal dalam UU Migas No.22/2001 (pasal 22 ayat 1 tentang DMO, pasal 12 ayat 3 tentang Badan Usaha yang melakukan eksplorasi-eksploitasi, dan Pasal 28 ayat 2 & 3 tentang diserahkannya harga BBM dan Gas Bumi kepada mekanisme persaingan usaha) yang sudah dicabut Mahkamah Konstitusi, yang menyebabkan UU Migas tersebut sudah cacat secara hukum, maka revisi UU Migas perlu digesa sesegera mungkin," tandasnya.
(anw/fiq)
Berdasarkan UUD 1945......seharusnya... Migas untuk Kesejahteraan Rakyat? | ||
Oleh: Dr Haryono Umar | ||
| ||
Pemerintah telah mengisyaratkan dalam waktu dekat ini akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Hal ini dipicu oleh semakin tingginya harga minyak mentah dunia yang berdampak secara langsung terhadap Indonesia sebagai net importer country. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan masyarakat: "Mengapa negara penghasil minyak dan gas ini harus mengimpor minyak dari pihak lain yang bukan penghasil minyak dan gas?" Dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 disebutkan, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah milik negara yang akan dipergunakan untuk sebanyak-banyaknya kemakmuran rakyat." Pasal tersebut merupakan karya emas para pendiri negara yang begitu peduli dan memahami bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan untuk rakyat, bukan sebaliknya. Karena itu, sudah selayaknya apabila pengelolaan kekayaan alam kita "wajib" berpedoman pada pasal tersebut. Meski demikian, yang kita saksikan sekarang ini tidaklah begitu menggembirakan. Setiap hari kita disuguhi tontonan para ibu yang antre berjam-jam untuk membeli beberapa liter minyak atau gas untuk keperluan dapur mereka. Belum lagi antrean kendaraan di SPBU karena kelangkaan bahan bakar minyak. Semua ini telah terjadi untuk waktu yang lama dan mungkin akan terus berlangsung pada masa-masa mendatang. Pada awal masa pembangunan, migas menjadi primadona pendapatan negara untuk membiayai pembangunan dan aktivitas pemerintahan. Sampai akhir Pelita Pertama, Indonesia masih tercatat sebagai negara pengekspor minyak. Namun, dengan semakin majunya perekonomian dan aktivitas industri, posisi Indonesia sebagai negara pengekspor minyak perlahan-lahan bergeser menjadi negara pengimpor minyak. Meningkatnya harga minyak dunia merupakan beban bagi negara yang seharusnya disambut dengan sukacita sebagai negara yang memiliki cadangan migas. Hal tersebut juga telah menimbulkan permasalahan di dalam negeri dengan besarnya beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah, meningkatnya harga BBM yang otomatis meningkatkan harga-harga, yang tentunya akan semakin memberatkan masyarakat. Semua itu memperlihatkan kepada kita bahwa sebagian besar pihak di Indonesia telah dibuat sibuk untuk mendiskusikan permasalahan yang berkaitan dengan sektor hilir migas. Permasalahan di sektor hulu sebagai sumber permasalahan telah luput dari perhatian banyak pihak. Pertanyaan yang muncul bagi masyarakat adalah: ada apa dengan pengelolaan migas Indonesia? Banyak persoalan dalam pengelolaan migas di Indonesia. Sektor hulu industri migas Indonesia adalah aktivitas eksplorasi dan eksploitasi migas yang selama ini sebagian besar dilakukan oleh pengusaha swasta asing. Hampir 95 persen produksi migas setiap tahunnya di Indonesia dihasilkan oleh kontraktor minyak asing yang disebut production sharing contract (PSC), yang harus dibagi antara pemerintah dengan PSC tersebut. Namun, sebelum pembagian hasil migas tersebut, terlebih dulu harus diperhitungkan (dikurangkan) dengan seluruh (100 persen) biaya yang termasuk dalam cost recovery untuk aktivitas operasional PSC. Sebagai pembanding, pada periode tahun 1966-1975 hanya 40 persen dari cost recovery yang ditanggung pemerintah. Permasalahan pengelolaan Persoalan dalam industri migas nasional terkait dengan pengelolaan pada sektor hulu dan hilir. Sektor hilir berkaitan dengan distribusi dan pemasaran migas. Di sektor hilir, terjadi hal yang paradoks, di mana tumbuh banyak SPBU baru namun kelangkaan migas semakin terasa dan sangat memberatkan masyarakat, terutama kalangan rumah tangga. Di sektor hulu, persoalannya adalah bagaimana pemerintah dapat mengelola migas secara akuntabel berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum, serta berwawasan lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Namun, dalam pengelolaan tersebut, terdapat praktek-praktek yang dapat mendorong terjadinya penyimpangan dan sangat merugikan negara, yaitu:
Pembenahan Dari penjelasan di atas terlihat bahwa persoalan pengelolaan migas di Indonesia diawali dari sektor hulu, baru kemudian sektor hilirnya. Permasalahan dengan pengawasan jumlah lifting, cost recovery, manajemen PSC, sampai pada penetapan PSC telah berlangsung lama sejak Indonesia masih menjadi negara pengekspor migas yang disegani. Akumulasi dampak persoalan tersebut kita rasakan sekarang ini, ketika kenaikan harga minyak dunia menjadi beban berat bagi APBN. Agar kita mendapatkan manfaat yang maksimal sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan migas ini perlu dibenahi secara komprehensif. Perbaikan yang perlu dilakukan, pertama yang berkaitan dengan pengelolaan yang ditangani oleh BP Migas. Perlu ada kejelasan mengenai penetapan besaran kebijakan investasi, besaran cost recovery, penetapan budget (authorization for expenditures), pengawasan lifting, penanganan aset negara, penanganan abandonment cost yang telah dibebankan pada cost recovery namun masih berada di pengelolaan kontraktor, dan lain-lain. Kedua, perlu dilakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan sehingga memungkinkan masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan migas Indonesia. Hal ini diperlukan mengingat PSC merupakan kontrak antara negara dan pihak asing, sehingga masyarakat melalui parlemen dapat menyampaikan pemikiran dan informasi yang berguna agar pengelolaan migas dapat dilakukan secara akuntabel, efisien, dan efektif. Ketiga, perlu dibangun good governance pengelolaan migas melalui reformasi birokrasi di Departemen ESDM, BP Migas, BPh Migas, dan PT Pertamina agar lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dalam pengelolaan migas. Hal ini diperlukan agar tercipta suatu kepastian hukum, dan yang lebih penting adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Merupakan suatu ironi ketika terjadi kelangkaan BBM di banyak wilayah Indonesia, yang katanya penghasil minyak. * URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2008/05/13/Opini/krn,20080513,50.id.html Dr Haryono Umar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Pencegahan *) *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=10114&coid=4&caid=33&gid=3 SEBUAH PERENUNGAN Sepuluh Tahun Berlakunya UU MigasTanggal 23 November mendatang akan menjadi hari ulang tahun UU Migas Nomor 22 Tahun 2011 yang ke 10. Rasanya satu dekade itu sudah cukup memberi waktu bagi kita untuk melakukan perenungan, analisis dan evaluasi terhadap Undang-undang yang lahir dari hiruk pikuk berbagai kepentingan dimana pada tahun 2003 nyaris dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Migas sebelumnya, yaitu UU (Prp) Tentang Migas Nomor 44 Tahun 1961, tidak menyebutkan secara eksplisit tujuan diadakannya undang-undang tersebut, tetapi sekedar menyatakan bahwa migas adalah kekayaan alam milik Negara yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 33, sehingga harus diusahakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keinginan bangsa ini secara jelas tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 pasal 3 yang menyatakan bahwa kegiatan usaha migas agar diselenggarakan secara efisien, efektif, terbuka, transparan, akuntabel dan bersaing, dengan upaya meningkatkan kemandirian nasional, untuk memenuhi kebutuhan energi dan bahan baku dalam negeri, memberikan pendapatan negara, serta menciptakan lapangan kerja dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dengan adanya pernyataan tujuan tersebut, pencapaian keinginan menjadi terukur paling tidak secara kwalitatif. Atas dasar tujuan yang jelas tersebut, pertanyaan yang diajukan adalah: apakah pasal-pasal yang mengikutinya mencerminkan rambu-rambu dan strategi pencapaian tujuan secara efektif? Dan bagaimana konsistensi pelaksanaanya? Lebih jauh lagi, apakah UU migas yang berlaku sekarang ini mampu mengakomodasi keinginan daerah di era otonomi yang menuntut peran lebih besar dalam mengelola sumberdaya migas di wilayahnya? Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas karena untuk itu diperlukan kajian dan penelitian yang mendalam. Tulisan ini mencoba mengidentifikasi isue-isue penting yang perlu mendapat perhatian dan pemikiran dalam penyusunan Rencana UU Migas baru yang saat ini masih dalam penggodokan DPR. Penanggung Jawab Sektor Migas Cadangan dan produksi minyak yang terus menurun, siapa yang harus disalahkan? Adalah sifat ketidak-terbaruan minyak dan manajemen investasi yang tidak efektif disebut sebagai penyebabnya. Yang pertama adalah urusan Tuhan, tetapi hal yang kedua siapa yang bertanggung jawab, Menteri ESDM atau Kepala BPMIGAS? Sesuai dengan namanya kegiatan hulu migas dilaksanakan oleh Badan Pelaksana (BPMIGAS) melalui kerjasama dengan Kontraktor KKS (kontrak kerja sama). Tetapi BPMIGAS mengeluh karena kewenangannya sebatas apa yang tertulis dalam Kontrak Kerjasama yang bukan disusun olehnya, tetapi oleh Menteri. BPMIGAS melapor dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, suatu mekanisme yang lucu dan tidak efektif, yang menyebabkan hubungan yang kaku antara BPMIGAS dan Kementrian ESDM. Seyogyanya kedudukan BPMIGAS berada di bawah Menteri, sehingga kinerja sektor hulu migas ini secara sepenuhnya menjadi tanggung jawab Menteri. BPMIGAS ini sebaiknya berbentuk BUMN di bawah Menteri ESDM (bukan Menteri BUMN) yang bekerjasama dengan Kontraktor dalam bentuk KKS. BPMIGAS berperan sebagai perisai Pemerintah apabila terjadi perselisihan dengan pihak Kontraktor yang menuntut penyelesaian di pengadilan. Bentuk Kontrak Kerjasama Pasal 6 ayat 2 UU No.22/2001 mensyaratkan Kontrak Kerjasama yang memberikan kendali manajemen operasi kepada BPMIGAS, sementara modal dan risiko seluruhnya ditanggung Kontraktor. Ini menciptakan sistem manajemen yang tidak efektif: BPMIGAS tidak dapat memerintah Kontraktor untuk melakukan hal yang dirasa perlu, misalnya agar mengembangkan “lapangan marjinal” di wilayah kerjanya, karena yang memegang keuangan adalah Kontraktor. Penentuan prioritas pengembangan lapangan ada di tangan Kontraktor. Seyogyanya KKS tidak menutup kemungkinan pemerintah melakukan intervensi dengan menyediakan modal (sebagian dan tentu saja resiko) melalui BUMN (atau BUMD) yang ditunjuk, dengan kompensasi yang diatur. Ini akan mengefektifkan pengoperasian lapangan-lapangan tidur yang selama ini “disandera” oleh Kontraktor. Hak intervensi BPMIGAS ini perlu dituangkan dalam UU sebagai bentuk kedaulatan hak atas pengusahaan (mining right), disamping hak kepemilikan (mineral right) dan hak ekonomi atas minyak dan gas bumi. Kemandirian Nasional Perhatikan apa yang tersirat dalam UU(Prp) Nomor 44 Tahun 1960 Pasal 6(a): “Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan”. Adalah menjadi keinginan bangsa ini bahwa suatu saat Negara ini memiliki kemampuan sendiri dalam melakukan kegiatan usaha migas, dan kehadiran kontraktor asing hanya bersifat sementara. Apa yang terjadi, bahkan UU Migas yang berlaku sekarang ini mengijinkan Bentuk Usaha Tetap (perusahaan asing) untuk langsung ikut beroperasi, hal yang sebelumnya ditabukan. Lex Specialis di Sektor Hulu Lex specialis derogate lex generalis,sektor migas hulu perlu mendapatkan perlakuan berbeda terutama dalam menghadapi pungutan-pungutan oleh Pemerintah baik pusat maupun daerah. Pada dasarnya yang melaksanakan kegiatan usaha hulu adalah BPMIGAS, dibantu oleh Kontraktor atas dasar KKS. Kontraktor perlu dilindungi dari “mimpi buruk birokrasi yang rumit dan biaya tinggi” yang saat ini terjadi, sebagaimana UU migas terdahulu yang “membungkus” pajak dan pungutan-pungutan lain (tarif impor, PPN, PBB dan lainnya) di luar pajak perusahaan dan pajak deviden, yang dimasukkan sebagai recovery of operating cost. Apakah tidak sebaiknya dikembalikan pada situasi perpajakan sebagaimana UU Migas terdahulu menanganinya? Gas Bumi Untuk Konsumsi Domestik Substitusi BBM oleh gas bumi perlu didorong karena gas lebih bersih, harganya relatif lebih rendah dan cadangannyapun cukup besar. Hambatan utama adalah keterbatasan infrastruktur, yang meliputi pipa dan terminal-terminal pengirim dan penerima gas. Gas dari Tangguh yang telah puluhan tahun menunggu pembeli tidak dapat dikirim ke Jawa yang membutuhkan tambahan pasokan gas karena tiadanya terminal penerima LNG. Pemerintah menyerahkan pembangunan infrastruktur gas kepada pihak swasta. RUU migas yang baru perlu menyebutkan tentang pengutamaan gas bumi untuk pemakaian dalam negeri. Juga perlu menyebutkan bahwa pemerintah wajib atau dapat turut melakukan investasi di infrastruktur gas ini. Badan Pengatur Hilir Gas dan BBM adalah cabang produksi yang dikuasai oleh Negara karena penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. BPH suatu badan regulator yang khusus dibentuk oleh UU migas No.22/2001 untuk mengatur usaha distribusi BBM dan pengangkutan gas bumi melalui pipa. Pembatasan pengaturan pada jenis moda pengangkutan (yaitu pipa) gas bumi dan bukan pada komoditi gas bumi ini membuat pengaturan kurang efektif dan tidak komprehensif, karena akan terjadi persaingan dengan moda pengangkutan lain gas bumi yaitu truk tanker di darat dan kapal tanker di laut. Moda non-pipa tersebut mengangkut gas yang diproses menjadi LNG, CNG atau LPG, dimana pengaturannya dilakukan oleh Ditjen Migas. Penyediaan BBM untuk dalam negeri meliputi produksi kilang dalam negeri dan impor BBM serta penyalurannya. Saat ini kilang-kilang BBM diatur oleh Ditjen Migas, sementara pendistribusian BBM diatur oleh BPH. Kurang lancarnya koordinasi pengaturan antar 2 instansi tersebut akan mengganggu kelancaran distribusi BBM dan sulit menentukan regulator mana yang kurang efektif bekerja. Agar lebih efektif, peranan BPH diperluas secara utuh mengatur sisi usaha hilir migas, meliputi pengolahan, pengangkutan, penimbunan dan niaga, sedangkan Ditjen Migas mengatur sisi keteknikan dan sisi KKK serta LH. Peranan Daerah Dalam UU No.22/2001, peranan daerah terbatas pada waktu penyiapan lahan yang akan ditawarkan, yaitu sekedar “konsultansi dengan Gubernur”. Sejalan dengan perkembangan otonomi daerah, peranan daerah penghasil sebagai pemangku kepentingan (stake holder) dan menerima bagian dari bagi hasil migas, mestinya mendapat kepercayaan untuk ikut mengawasi pelaksanaan pengusahaan migas di daerahnya. Harus diakui bahwa pengalaman dan kemampuan daerah rata-rata masih kurang dan dikuatirkan akan justru menghambat, tetapi harus diakui pula bahwa pengawasan oleh daerah terhadap kegiatan usaha migas diwilayahnya sangat efektif karena faktor jarak dan kepentingan. Daerah sangat berkepentingan bahwa KKK dan LH ditaati benar karena menerima dampak langsung operasi migas terhadap lahan setempat. Pemerintah (Pusat) seyogyanya memperlakukan Pemerintah Daerah sebagai rekan untuk berbagi tugas dan wewenang. Kemampuan daerah penghasil migas juga meningkat dengan berjalannya waktu dan menyebarnya tenaga berpendidikan tinggi di daerah yang mampu memberikan remunerasi bersaing. Paling tidak daerah berhak mendapatkan informasi tentang kekayaan alam yang akan disedot dari daerahnya, berapa akan dapat bagian darinya, dan juga masalah community development. Salinan POD, WP&B dan laporan realisasi yang telah diaudit perlu sampai di tangan Pemerintah Daerah Penghasil sebagai tambahan pengawasan dari salah satu stake holder. Hak khusus (privilege) yang diberikan kepada Pertamina sebagai BUMN (yang 100% dikuasai pemerintah pusat) juga harus diberikan kepada B UMD yang dikuasai oleh gabungan Pemerintah Daerah yang menjadi Kontraktor. Makin banyak sumberdaya nasional menangani sector migas, makin banyak serapan kandungan domestiknya, walaupun berakibat turunnya efisiensi pengusahaan migas dalam jangka pendek. Apabila hal ini dapat dianggap sebagai cost of learning, maka untuk jangka panjang kemandirian nasional dapat dicapai. Peranan daerah harus disebut dalam satu pasal undang-undang untuk mengakomodasi perkembangan di masa depan, yang akan diatur lebih lanjut dalam derivatnya (PP atau PerMen). Dr. Arsegianto (Pakar FKDPM, Pengamat Perminyakan Nasional, Dosen Perminyakan ITB) |
Kemerdekaan bagi sebagian besar Rakyat adalah hayalan belaka... kenyataan hidup Rakyat adalah pahit.... sangat pahit....
BalasHapusDimana-mana Rakyat hidup sulit dan pahit....
Hanya sekitar 5% Rakyat Indonesia menimati kehidupan layak dan mampu menaggulangi setiap perubahan2..
sedangkan 95% Rakyat... sangat pahit..dan hidup banting tulang... dan penuh kesengsaraan..
Coba Rakyat mana yang tak ingin punya mobil mewah... dan mampu membeli Petramax.. atau Bensin-Super..?? hayyooo berapa persen yang mampu seperti itu...???
Terlebih didaerah jangankan punya mobil.. atau mobil2 mewah.. yang berbahan bakar Super atau Petramax dsb...
Untuk bisa makan cukup.. dan bisa membiayai anak2 bersekolah.. dan bisa setiap waktu ke Rumah Sakit bila keluarganya ada yang sakit.. atau bisa berkendaraan seperti layaknya..
Coba ada berapa???
Sebagian Rakyat sangat menderita.. dan bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari..??!!
Sebagian besar Rakyat... masih sangat menderita... dan semakin menderita.. setiap beban ditaroh dipundak-pundak Rakyat..
Hayyoo siapa peduli Rakyat...????
Hayyoo Hentikan kenaikan BBM sekarang juga..
Dan cabut UU no 22/2001.. tentang Migas dan Nasionalisasi Semua Perusahaan Migas Asing dan semua harus kembali menjadi milik Nasional Negara Republik Indonesia..
Kembalilah kepada UUD 1945 tgl 18 Agustus 1945.. sejalan dengan UUD 1945 tagl 22 Juni 1945... Merdeka!!!