NIKAH MUTH’AH DAN NIKAH SIRRI:
DALAM TINJAUAN NORMATIF DAN HISTORIS-SOSIOLOGIS
Oleh: Anjar Nugroho
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/09/01/nikah-muthah-dan-nikah-sirri/
A. Nikah Muth’ah
Nikah
Muth’ah menjadi varian dalam pernikahan yang diatur oleh Islam yang
diperdebatkan keabsahannya antara kaum Sunni dan Syi’ah. Secara umum
(mayoritas mutlak), kaum Sunni menganggap pernikahan muth’ah adalah
jenis pernikahan yang tidak sah atau haram berdasarkan keterangan hadis,
fatwa Umar ibn Khattab dan Ijma’ ulama Sunni. Sedangkan kaum Syi’ah,
khususnya Syi’ah Istna ‘Asy’ariyah (Syi’ah Imam Dua Belas),
menganggap pernikahan muth’ah adalah boleh atau halal, walaupun dalam
prakteknya mereka berbeda pada beberapa sisi pelaksanaannya.
Di
Indonesia, karena mayoritas umat Islam adalah kaum Sunni, maka
pandangan terhadap nikah muth’ah sejalan dengan pandangan kaum Sunni
secara umum, yaitu pernikahan jenis ini adalah terlarang. Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam
Indonesia) tidak memberi ruang sedikitpun terhadap praktek nikah muth’ah
di Indonesia. Sehingga, dalam masyarakat Muslim Indonesia, sangat
jarang dijumpai praktek nikah muth’ah, kecuali hanya sedikit
dipraktekkan oleh kalangan Syi’ah Indonesia dan beberapa kelompok kecil
lainnya. Beberapa mahasiswa Bandung dan Yogyakarta dilaporkan telah
melakukan praktek nikah muth’ah yang setelah diteliti ternyata motifnya
adalah faktor ekonomi.
Nikah
muth’ah di Indonesia sampai hari ini bukanlah gejala yang
mengkhawatirkan yang perlu disikapi secara lebih. Pandangan kaum Sunni
yang secara tegas mengharamkan nikah muth’ah, telah menjadi pemahaman mainstream (arus
besar) umat Islam di Indonesia. Andaikan kajian tentang nikah muth’ah
masih diperlukan, maka ini hanya sebatas kajian komparatif antara
pemahaman Sunni dan Syi’ah tentang nikah muth’ah.
A.1. Pengertian Nikah Muth’ah
Nikah Muth’ah adalah sebuah pernikahan yang dinyatakan berjalan selama batas waktu tertentu.[1] Disebut juga pernikahan sementara (al-zawaj al-mu’aqqat)[2]. Menurut Sayyid Sabiq, dinamakan muth’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja[3].
Muth’ah merupakan perjanjian pribadi dan verbal antara pria dan wanita
yang tidak terikat pernikahan (gadis, janda cerai maupun janda ditinggal
mati).
Dalam nikah muth’ah, jangka waktu perjanjian pernikahan (ajal) dan besarnya mahar yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang hendak dinikahi (mahr, ajr), dinyatakan secara spesifik dan eksplisit. Seperti dinyatakan di muka, tujuan nikah muth’ah adalah kenikmatan seksual (istimta’), sehingga berbeda dengan tujuan penikahan permanen, yaitu prokreasi (taulid an-nasl).
Hanya
sedikit kewajiban timbal-balik dari pasangan nikah muth’ah ini. Pihak
laki-laki tidak berkewajiban menyediakan kebutuhan sehari-hari (nafaqah)
untuk istri sementaranya, sebagaimana yang harus ia lakukan dalam
pernikahan permanen. Sejalan dengan itu, pihak istri juga mempunyai
kewajiban yang sedikit untuk mentaati suami, kecuali dalam urusan
seksual[4].
Dalam
pernikahan permanen, pihak istri, mau tidak mau, harus menerima
laki-laki yang menikah dengannya sebagain kepala rumah tangga. Dalam
pernikahan muth’ah, segala sesuatu tergantung kepada ketentuan yang
mereka putuskan bersama. Dalam pernikahan permanen, pihak istri atau
suami, baik mereka suka atau tidak, akan saling berhak menerima warisan
secara timbal balik, tetapi dalam pernikahan muth’ah keadaanya tidak
demikian[5].
A.2. Pandangan Kaum Sunni
Seperti
telah dinyatakan di muka, pandangan kaum Sunni terhadap nikah muth’ah
sangat jelas, yakni haram. Alasan keharamannya adalah karena pernikahan
model seperti ini tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang dinyatakan
dalam al-Qur’an. Disamping itu, pernikahan muth’ah juga bertentangan
dengan ketentuan dalam pernikahan yang telah dinyatakan dalanm al-Qur’an
dan al-Hadits, yaitu dalam masalah thalaq, iddah dan warisan.
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dasar tujuan pernikahan diantaranya adalah:
Q.S. Adz-Dzariyah: 49
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami Ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)
Q.S. An-Nisa’: 1
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
Wahai manusia bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) , dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa)dari (diri)nya, dan dari keduanya Allah telah mengembang biakan laki2 dan perempuan yang banyak.
Q.S. Ar-Rum: 21
وَمِنْ
ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Hadis-hadis yang diperguakan oleh kaum Sunni untuk mengharamkan nikah muth’ah diantaranya adalah sebagai berikut:
1- حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ
الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ
النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ
سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا و حَدَّثَنَاه
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ قَالَ رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا بَيْنَ
الرُّكْنِ وَالْبَابِ وَهُوَ يَقُولُ بِمِثْلِ حَدِيثِ ابْنِ نُمَيْرٍ [6]
2- حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ
أَبِيهِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
الْعُزْبَةَ قَدِ اشْتَدَّتْ عَلَيْنَا قَالَ فَاسْتَمْتِعُوا مِنْ هَذِهِ
النِّسَاءِ فَأَتَيْنَاهُنَّ فَأَبَيْنَ أَنْ يَنْكِحْنَنَا إِلَّا أَنْ
نَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اجْعَلُوا بَيْنَكُمْ
وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا فَخَرَجْتُ أَنَا وَابْنُ عَمٍّ لِي مَعَهُ بُرْدٌ
وَمَعِي بُرْدٌ وَبُرْدُهُ أَجْوَدُ مِنْ بُرْدِي وَأَنَا أَشَبُّ مِنْهُ
فَأَتَيْنَا عَلَى امْرَأَةٍ فَقَالَتْ بُرْدٌ كَبُرْدٍ فَتَزَوَّجْتُهَا
فَمَكَثْتُ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ ثُمَّ غَدَوْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ
وَهُوَ يَقُولُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ
لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ أَلَا وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَهَا إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيلَهَا وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا[7]
3- حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ قَالَ أَخْبَرَنِي الرَّبِيعُ بْنُ
سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَيْنَا عُمْرَتَنَا قَالَ
لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَمْتِعُوا
مِنْ هَذِهِ النِّسَاءِ قَالَ وَالِاسْتِمْتَاعُ عِنْدَنَا يَوْمُ
التَّزْوِيجِ قَالَ فَعَرَضْنَا ذَلِكَ عَلَى النِّسَاءِ فَأَبَيْنَ إِلَّا
أَنْ يُضْرَبَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا قَالَ فَذَكَرْنَا ذَلِكَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ افْعَلُوا
فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَابْنُ عَمٍّ لِي وَمَعَهُ بُرْدَةٌ وَمَعِي بُرْدَةٌ
وَبُرْدَتُهُ أَجْوَدُ مِنْ بُرْدَتِي وَأَنَا أَشَبُّ مِنْهُ فَأَتَيْنَا
امْرَأَةً فَعَرَضْنَا ذَلِكَ عَلَيْهَا فَأَعْجَبَهَا شَبَابِي
وَأَعْجَبَهَا بُرْدُ ابْنِ عَمِّي فَقَالَتْ بُرْدٌ كَبُرْدٍ قَالَ
فَتَزَوَّجْتُهَا فَكَانَ الْأَجَلُ بَيْنِي وَبَيْنَهَا عَشْرًا قَالَ
فَبِتُّ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أَصْبَحْتُ غَادِيًا إِلَى
الْمَسْجِدِ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَيْنَ الْبَابِ وَالْحَجَرِ يَخْطُبُ النَّاسَ يَقُولُ أَلَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ
هَذِهِ النِّسَاءِ أَلَا وَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ
حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهَا وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا[8]*
4- و
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ
عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ
أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ الْفَتْحِ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ [9]*
5- حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ
أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ
وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ و حَدَّثَنَاه عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا
جُوَيْرِيَةُ عَنْ مَالِكٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ سَمِعَ عَلِيَّ
بْنَ أَبِي طَالِبٍ يَقُولُ لِفُلَانٍ إِنَّكَ رَجُلٌ تَائِهٌ نَهَانَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ
يَحْيَى بْنِ يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ[10]
Hadis-hadis
di atas tidak diragukan lagi nilai keshahihannya. Apalagi yang
meriwayatkan diantanya adalah Bukhari dan Muslim. Walaupun sebenarnya
tinjauan sanad saja tidak cukup untuk menjadikan hadis bisa dinilai
otentik sebagai sumber ajaran Islam. Akan tetapi, dengan dukungan
nilai-nilai al-Qur’an tentang pernikahan yang maknanya sesuai dengan
semangat larangan nikah muth’ah dalam hadis-hadis tersebut, maka
kedudukannya menjadi sangat kokoh dan otentik sebagai sumber ajaran
Islam.
Dilihat
dari perspektif hadis (sebagaimana yang telah dikemukakan di atas),
dapat disimpulkan bahwa nikah muth’ah memang telah diharamkan oleh
Rasulullah. Sebab-sebab pengharamannya telah banyak diulas oleh
ulama-ulama Sunni, diantaranya adalah karena nikah muth’ah semata-mata
sebagai tempat untuk melampiaskan nafsu syahwat, sehingga tidak jauh
berbeda dengan zina (komunisme seksual).
Disamping
itu, nikah muth’ah menurut kalangan Sunni, telah menempatkan perempuan
pada titik bahaya, karena ibarat sebuah benda yang bisa pindah dari satu
tangan ke tangan yang lain. Pernikahan jenis ini juga dinilai merugikan
anak-anak, karena mereka tidak mendapatkan kasih sayang sempurna sebuah
keluarga dan jaminan kesejahteraan serta pendidikan yang baik.
Pernikahan,
seperti yang telah menjadi cita-cita Islam, haruslah bertumpu pada
pondasi yang stabil, suatu pasangan, ketika mula-mula dipersatukan oleh
sebuah ikatan pernikahan, harus memandang diri meraka terpaut satu sama
lain untuk selamanya, dan gagasan perceraian tidak boleh memasuki
pikiran mereka. Oleh karena itu, sebagaimana pendapat kalangan Sunni,
pernikahan muth’ah tidak dapat menjadi tumpuan kebersamaan hidup suami
istri yang damai dan sejahtera.
A.3. Pandangan Kaum Syi’ah (Itsna ‘Asy’ariyah)
Dasar legitimasi kaum Syi’ah terhadap nikah muth’ah adalah al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 24:
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ
ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا
بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ - فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
(Dan diharamkan menikahi perempuan yang bersuami, kecuali maa lakat aimanukum/ hamba sahaya perempuan yang kamu miliki -1- sebagai ketetapan Allah atas kamu, dan dihalalkan selain perempuan yang demikian itu -2- jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya dan bukan untuk berzina, Maka karena keni'matan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata diantara kamu telah saling merelakannya setelah ditetapkan -3- Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Maha Bijaksana.)
--1. Perempuan2 yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya. Penjelasan selanjutnya lihat QS 4 -An Nisaa-ayat 3
--2 Selain dari perempuan2 yang disebut dalam QS 4 -An Nisaa-ayat 3
--3 Menambah atau mengurangi ataw sepakat tidak ada pembayaran sama sekali maskawin yang telah ditetapkan.
Dalam
Tarikh al-Fiqh al-Ja’fari dijelaskan, bahwa ketika Abu Nashrah bertanya
kepada Ibn Abbas tentang nikah muth’ah, Ibn Abbas menerangkan, nikah
itu diperbolehkan dengan bersarkan al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 24
seperti telah ditulis di atas. Akan tetapi menurut Ibn Abbas, lengkapnya
ayat itu adalah (terdapat kalimat tambahan الى اجل مسم ):
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ (الى اجل مسم) فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
= sampai waktu yang ditetapkan/ disepakati
Sahabat
lain yang sependapat dengan Ibn Abbas (termasuk membenarkan bacaan Ibn
Abbas terhadap Q.S. an-Nisa’: 24) adalah Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’ab, dan
Said Ibn Zubair[11].
Kaum
Syi’ah berpendirian bahwa praktek nikah muth’ah terdapat pada masa Nabi
dan Khalifah Pertama. Baru pada periode Khalifah Kedua, yakni Khalifah
Umar Ibn Khattab, nikah muth’ah dilarang. Ucapan Umar saat itu adalah:
“Saya
telah melarang dua jenis muth’ah yang ada di masa Nabi dan Abu Bakar,
dan saya akan berikan hukuman kepada mereka yang tidak mematuhi
perintah-perintah saya. Kedua muth’ah itu adalah muth’ah mengenahi haji
dan muth’ah mengenai wanita.”[12]
Kalau
melihat ucapan Khalifah umar di atas, maka dapat dipahami bahwa nikah
muth’ah dipraktekkan oleh para sahabat pada baik pada masa Nabi maupun
Khalifah Abu Bakar. Dalam Sunnah Baihaqy 7: 206, terdapat pula
keterangan yang menunjukkan larangan Umar terhadap nikah muth’ah,
walaupun banyak para shahabat yang melakukannya di era Nabi dan Khalifah
Kedua. Sehingga unggapan yang sering dilontarkan kalangan Syi’ah dalam
masalah ini adalah: ”Manakah yang harus kita pegang: taqrir Nabi yang
membiarkan shahabatnya melakukan muth’ah atau hadis larangan Umar?”
Kaum
Syi’ah yang mengikuti ajaran-ajaran para Imam dari Ahlu al-Bait masih
menganggap nikah muth’ah tetap berlaku menurut syari’att sebagaimana
halnya masa hidup Nabi itu sendiri. Thabathaba’I dalam masalah ini
mengutip beberapa ayat tentang suami-istri:
Q.S. al-Mu’minun: 5-7
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5)إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(6) فَمَنِ ابْتَغَى
وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(7)
(5) Dan orang yang memelihara kemaluannya (6) kecuali terhadap isteri2 mereka ataw maa lakat aimanukum/ hamba2 yang mereka miliki ?, maka sesungguhnya mereka tiada tercela (7) Tetapi barangsiapa mencari dibalik itu (memanipulasikannya), maka mereka itulah orang2 yang melampaui batas.
Q.S. al-Ma’arij: 29-31
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(29) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(30) فَمَنِ ابْتَغَى
وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(31)
(5)
Dan orang yang memelihara kemaluannya (6) kecuali terhadap isteri2
mereka ataw maa lakat aimanukum/ hamba2 yang mereka miliki ?, maka
sesungguhnya mereka tiada tercela (7) Tetapi barangsiapa mencari dibalik
itu (memanipulasikannya), maka mereka itulah orang2 yang melampaui
batas.
Menurut
Thabathaba’i, ayat-ayat ini diturunkan di Mekah, dan semenjak
diturunkan hingga hijrah, nikah muth’ah dipraktekkan oleh kaum Muslimin.
Apabila nikah muth’ah itu bukan merupakan pernikahan yang sebenarnya
(halal/sah), dan para perempuan yang telah menikah berdasarkan itu bukan
istri-istri yang sah menurut syari’ah, maka, lanjut Thabathaba’i,
ayat-ayat al-Qur’an tersebut tentulah akan menganggap para perempuan itu
sebagai pelanggar hukum dan sudah pasti mereka dilarang untuk
mempraktekkan muth’ah. Sehingga Thabathaba’i menegaskan kembali bahwa
nikah muth’ah merupakan pernikahan yang sah menurut syari’ah dan bukan
bentuk perzinahan.[13]
Sampai
hari ini, kaum Syi’ah, khususnya di Iran, masih tetap memelihara
legitimasi pernikahan muth’ah. Akan tetapi selama rezim Pahlevi
(1925-1979), walaupun bukan ilegal, pernikahan muth’ah dipandang secara
negatif. Kebanyakan kaum terpelajar Iran dan kelas menengah lainnya
menganggap pernikahan seperti ini sebagai bentuk pelecehan terhadap
perempuan dan nilai moral universal, sehingga mereka tidak tertarik
untuk melakukannya. Sebaliknya, pernikahan muth’ah di Iran banyak
dilakukan oleh kaum perkotaan pinggiran, dan populer terutama di sekitar
pusat-pusat ziarah.[14]
A.4. Tinjauan Historis-Sosilogis
Sebagaimana
terdapat dalam sumber-sumber Syi’ah, nikah muth’ah merupakan suatu
fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pernikahan jenis ini
dipraktekkan oleh para shahabat sejak era permulaan Islam, yaitu sejak
wahyu pertama dan hijrah Nabi ke Madinah. Seperti dalam peristiwa Zubair
As-Shahabi yang menikahi Asma’, putri Abu Bakar dalam suatu pernikahan
sementara (muth’ah).
Masih
menurut sumber Syi’ah, nikah muth’ah juga dipraktekkan semenjak hijrah
hingga wafatnya Nabi. Bahkan setelah peristiwa itu, selama pemerintahan
Khalifah Pertama dan sebagian dari masa pemerintahan Khalifah Kedua,
kaum muslimin meneruskan praktek itu sampai saat dilarang oleh Umar Ibn
Khattab sebagai Khalifah Kedua.
Tentu
saja historisitas seperti ini ditolak oleh kalangan Sunni yang
menganggap Nabi sudah melarang nikah muth’ah sejak Perang Khaibar dan
peristiwa Fathul Makkah, seperti tertuang dalam hadis yang telah
dikemukakan di muka. Mengapa kaum Syi’ah mengabaikan hadis-hadis seperti
ini? Jawabannya adalah, karena kaum Syi’ah mempunyi argumen tersendiri
mengenai jalur-jalur sanad dalam sebuah periwayatan Hadis. Kaum Syi’ah
hanya bisa menerima jalur sanad yang melalui Ahlu al-Bait, dan jika terdapat hadis yang bertentangan dengan riwayat Ahlu al-Bait, maka hadis tersebut ditolak.
Mengenai
larangan Umar terhadap praktek nikah muth’ah, menarik untuk dicermati
bahwa larangan ini juga diakui ada dalam beberapa kitab fiqih kaum
Sunni. Analisis yang bisa dikemukakan di sini adalah, apakah laranga itu
terkait dengan kewenangan Umar sebagai pemimpin agama atau ini hanya
sekedar strategi dakwah Islam (kebijakan politik). Jika dipahami ini
sebagai kebijakan politik yang terkait dengan dakwah Islam, maka akan
ditemukan relevansinya dengan persoalan umat saat itu. Pada era Umar,
umat Islam (para shahabat) banyak yang bertebaran di wilayah-wilayah
taklukan dan mereka bercampur baur dengan masyarakat yang baru saja
memeluk Islam. Jika para shahabat itu diberi kebebasan untuk melakukan
nikah muth’ah, maka yang dikhawatirkan adalah akan muncul
generasi-generasi baru Islam hasil pernikahan muth’ah yang tidak jelas
warna keislamannya. Dengan alasan inilah, maka Umar melarang nikah
muth’ah. Sehingga dapat dipahami, larangan ini bukan larangan mermanen,
tetapi hanya sementara waktu karena terkait dengan persoalan keummatan
saat itu.
Sepintas,
nikah muth’ah adalah implementasi paling kasat mata bagaimana kedudukan
perempuan tidak begitu dihargai. Berbeda dengan nikah permanen yang
diasumsikan telah menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki.
Menurut Ustadz Ahmad Baraghah, nikah muth’ah justru meningkatkan derajat
kaum perempuan. Alasannya, dalam muth’ah perempuan dimungkinkan membuat
persyaratan tertentu yang harus disetujui oleh pihak laki-laki. Dengan
kewenangan ini, masih menurut Baraghah, perempuan dapat meningkatkan bergainning position-nya bila akan melaksanakan nikah muth’ah.[15]
Secara
sosiologis, nikah muth’ah menjadi bukan persoalan serius ketika
dipraktekkan dalam kondisi masyarakat Muslim yang sudah mempunyai
tingkat kesejahteraan yang memadai dan pendidikan yang maju. Anggota
masyarakat Muslim ini mempunyi otonomi pribadi atau kewenangan
individual yang penuh dalam menentukan nasibnya. Dalam tradisi Persia
atau Iran sekarang, nikah muth’ah bukanlah sumber penyakit sosial
seperti yang disumsikan oleh kalangan Sunni. Para perempuan Iran
khususnya, mempunyai nilai tawar yang tinggi sebelum melakukan nikah
muth’ah, sehingga dalam prakteknya mereka jarang yang melakukan
pernikahan model ini. Tetapi, kondisinya adalah jauh berbeda jika nikah
muth’ah dilegalisasi di dalam komunitas masyarakat Muslim yang tingkat
kesejahteraan dan pendikannya masih rendah, seperti di Indonesia
misalnya.
Nikah muth’ah dalam komunitas masyarakat Muslim yang rata-rata
miskin dan bodoh, hanya menjadi komuditas pemuas nafsu laki-laki
berkuasa yang pada akhirnya akan mengakibatkan kesengsaraan berlipat
bagi perempuan dan anak-anak.
B. Nikah Sirri
Nikah
adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Sesuatu yang
sebelumya haram bagi dia, berubah menjadi halal dengan sarana
pernikahan. Implikasi pernikahan pun besar, luas dan beragam. Pernikahan
adalah sarana awal mewujudkan sebuah tatanan masyarakat. Jika unit-unit
keluarga baik dan berkualitas, maka bisa dipastikan bangunan masyarakat
yang diwujudkan akan kokoh dan baik. Oleh karean itu, Nabi mengajarkan
umatnya untuk menikah:
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ الْأَزْهَرِ حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ
مَيْمُونٍ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ
يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ
بِكُمُ الْأُمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ
فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ [16]
Karena
sifatnya yang menjangkau kehidupan luas di luar keluarga, pernikahan
memiliki makna sangat strategis dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam
konteks ini, pemerintah menjadi berkepentingan untuk mengatur institusi
pernikahan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan tentram bisa
diwujudkan. Undang-Undang no. 1 tahun 1974 adalah bentuk kongkret
pengaturan pemerintah soal pernikahan.
Dalam
pasal 2 ayat 2 Undang-Undang I ini tertulis: “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku”. Ketentuan
ini lebih lanjut diperjelas dalam Bab 11 Peraturan Pemerintah (PP) no. 9
tahun 1975 yang intinya: sebuah pernikahan baru diangap memiliki
kekuatan hukum di hadapan undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan
agama dan telah dicatatkan oleh pegawa pencatat pernikahan yang
ditentukan undang-undang. Aturan inilah yang akhirnya menimbulkan
istilah yang disebut: nikah sirri.
Nikah
sirri menurut hukum Islam – berdasarkan penelusuran dalil secara
tekstual – adalah sah apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya
nikah meskipun tidak dicatatkan. Karena syariat Islam dalam Al-Quran
maupun Sunnah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan
perkawinan. Sedangkan menurut hukum positif, nikah sirri ini tidak sah
karena tidak memenuhi salah satu syarat sah perkawinan yaitu pencatatan
perkawinan kepada Pejabat Pencatat Nikah. Tanpa adanya pencatatan, maka
pernikahan itu tidak mempunyai akta otentik yang berupa buku nikah.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkamu al-Zawaj,
menyatakan bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi
perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya[17]. Sehingga langsung dapat sisimpulkan, bahwa pernikahan ini bathil menurut jumhur ulama.
Wahbah
Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri –seperti yang didefinisikan dalam
fiqh- yakni nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang
terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua mempelai
diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorangpun dari
mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain[18].
Dalam konteks masyarakat Indonesia, sebenarnya nikah sirri mempunyi beberapa devinisi, diantaranya adalah:
1. Pernikahan
yang dipandang sah dari segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke
KUA (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan).
2. Pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan (catatan: laki-laki memerlukan wali pada saat pernikahan).
3. Pernikahan
yang sah dilakukan baik oleh agama maupun secara negara (juga tercatat
di KUA), namun tidak disebarluaskan (tidak diadakan walimah/resepsi).
Nikah
sirri yang dimaksud dalam pembahasan ini bukanlah seperti yang
dinyatakan Ibn Taimiyah atau Wahbah Huzaili, akan tetapi merupakan
praktek pernikahan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Muslim
Indonesia yaitu pernikahan yang namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku
lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan). Nikah Sirri dalam
satu sisi mengandung beberapa kemudharatan, tetapi dalam sisi lain
banyak dipraktekkan oleh kalangan Muslim Indonesia dengan segala
variannya. Pada titik inilah maka nikah sirri perlu dikaji secara
komprehensif, tidak semata-mata dengan pendekatan tekstual-normatif
tetapi perlu dipertimbangkan aspek-aspek kultural-sosiologisnya.
B.1. Problem Sosiologis Nikah Sirri
Dalam penelusuran di internet, berdasar data KUA Situbondo, diperkirakan ada 3.000 kasus kawin sirri
di daerahnya. Di Jawa Timur lebih dari 30.000 kasus. Kasus serupa
merebak pula di sentra industri seperti Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
Itulah yang saat itu menjadi perhatian serius Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan. Lewat Pusat Studi Gender IAIN Sunan Ampel,
Surabaya, persoalan ini dibedah dalam sebuah penelitian tentang dampak
perkawinan di bawah tangan bagi kesejahteraan istri dan anak di daerah
“Tapal Kuda”, Jawa Timur. Kawasan yang meliputi Pasuruan, Probolinggo,
Bondowoso, dan Situbondo ini dikenal paling subur untuk kawin sirri.
Dalam
analisis berikutnya, penyebab maraknya nikah sirri dikarenakan
ketidaktahuan masyarakat terhadap dampak pernikahan sirri. Masyarakat
miskin hanya bisa berpikir jangka pendek, yaitu terpenuhi kebutuhan
ekonomi secara mudah dan cepat. Sebagian yang lain mempercayai, bahwa
istri simpanan kiai, tokoh dan pejabat mempercepat perolehan status
sebagai istri terpandang di masyarakat, kebutuhannya tercukupi dan bisa
memperbaiki keturunan mereka. Keyakinan itu begitu dalam berpatri dan
mengakar di masyarakat. Cara-cara instan memperoleh materi, keturunan,
pangkat dan jabatan bisa didapatkan melalui pertukaran perkawinan. Dan
anehnya perempuan yang dinikah sirri merasa enak saja dengan status
sirri hanya karena dicukupi kebutuhan materi mereka, sehingga menjadi
hal yang dilematis dan menjadi faktor penyebab KDRT (kekerasan dalam
rumah tangga) semakin subur di kalangan masyarakat miskin, awam dan
terbelakang. Mereka menganggap nikah sirri sebagai takdir yang harus
diterima oleh perempuan begitu saja.
Faktor
ketidaktahuan ini menyebabkan keterbelakangan masyarakat. Mereka miskin
akses invormasi, pendidikan dan ekonomi. Mereka tidak tahu dan tidak
mengerti hukum. Mereka tidak sadar hukum dan tidak tahu bagaimana
memperoleh perlindungan hukum apabila mengalami kekerasan terhadap anak
dan perempuan. Sementara sikap masyarakat masih menganggap, nikah sirri
merupakan hak privasi yang tabu diperbincangkan. Masyarakat enggan
terlibat terhadap urusan rumah tangga orang. Setelah perempuan menjadi
istri simpanan ialah terampasnya hak-hak istri. Istri simpanan rentan
dipermainkan oleh laki-laki tidak bertanggung jawab. Contoh, ada kasus
mahasiswi pendatang menikah secara sirri, kemudian ditinggal oleh
suaminya. Si istri datang ke Pengadilan Agama (PA) dan meminta tolong.
Tetapi pihak aparat tidak bisa menolong secara hukum, karena mereka
melakukan nikah sirri yang tidak dicatat secara syah oleh hukum. Istri
sirri tidak punya kekuatan hukum. Istri sirri tidak memperoleh hak milik
berupa harta benda, dan status anak mereka. Nikah sirri tidak diakui
oleh hukum. Kasus yang terjadi, ada sebagian istri sirri ditinggalkan
begitu saja, ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup, tidak ada
kepastian dari suami akan status mereka.
Istri
sirri, mudah menerima ketidak-adilan. Misalnya, apabila suami ingin
menceraikan istri, maka istri tidak punya kekuatan hukum untuk
menggugat. Para perempuan di desa-desa karena keawamannya tidak mengerti
hukum agama, hukum negara, sehingga para perempuan tersebut menikah
beberapa kali dan bahkan ada yang menikah lagi sebelum masa iddahnya
selesai. Dorongan emosi sesaat (impulsive) perempuan mendorong mereka
untuk menikah lagi dengan orang lain. Kasus itu tidak sekali tetapi
berkali-kali, bahkan sebelum masa iddah sudah menikah sirri dengan
laki-laki lain. Ironinya, pihak yang menikahkan adalah orang yang
dianggap tokoh atau mereka yang dianggap sesepuh, atau wali hakim.
Anak
yang dilahirkan dari pernikahan sirri tersebut rentan dengan kekerasan,
kemiskinan yang terus mendera. Anak-anak kurang memperoleh kasih sayang
yang utuh dari bapak-ibu. Anak tidak memiliki akta kelahiran, anak
sulit diterima secara sosial, anak diacuhkan di lingkungannya dan anak
sulit mendaftar ke sekolah negeri karena tidak memiliki akta kelahiran.
Akibatnya, anak jadi terlantar dan tidak tumbuh dengan baik.
Ada tujuh kerugian pernikahan sirri bagi anak dan istri yang terjadi di lapangan:
1. Istri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami.
2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat.
3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mitsaqon ghalidha) karena tidak tercatat secara hukum.
4. Apabila
memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta
kelahiran. Karena untuk memperoleh akte kelahiran, disyaratkan adanya
akta nikah.
5. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja.
6. Apabila suami sebagai pegawai, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.
B.2. Pandangan Komprehensif Islam
Islam memandang bahwa pernikahan adalah sebuah perjanjian yang agung (mitsaqan ghalidha)
yang membawa konsekwensi suci atas pasangan laki-laki dan perempuan.
Pernikahan bukan semata untuk melampiaskan nafsu syahwat, tetapi
terkandung tujuan mulia untuk menjaga kelestarian generasi manusia.
Pernikahan juga merupakan pintu gerbang menuju kehidupan keluarga yang
sakinah dan sejahrera. Dalam tinjauan sosiologi, kedudukan keluarga
sangat urgen dalam mewarnai kehidupan masyarakat secara umum.
Untuk
mencapai tujuan pernikahan itu, diperlukan persyaratan khusus yang
harus dipenuhi sebagaimana yang telah disyari’atkan oleh Islam.
Pernikahan dianggap sah misalnya, jika dalam pernikahan itu melibatkan
wali dan dua orang saksi. Sebagaimana hadis riwayat Ahmad:
لا نكاح الا بولي وشهدي عدل
Kedudukan wali dalam
pernikahan sangat urgen, agar perempuan yang hendak menikah mendapat
kontrol positif dari pihak keluarga yang secara simbolik-operasional
diwakili oleh wali pihak perempuan. Dalam konteks masyarakat Arab saat
itu, fungsi wali sangat penting agar perempuan yang hendak menikah
mendapat pertimbangan yang matang menyangkut siapa calon suaminya. Wali
sebelum menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya secara
otomatis akan melakukan penelusuran atas asal-usul dan latar belakang
laki-laki yang akan menjadi calon suami perempuan itu. Dan secara timbal
balik, wali punya kewajiban pula untuk meminta persetujuan perempuan
yang akan dinikahkan, sebagaimana hadis Nabi berikut:
حَدَّثَنَا
مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى
تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ [19]
Pernikahan
bagi pasangan laki-laki dan perempuan adalah proses menuju kehidupan
sesungguhnya dalam masyarakat yang lebih luas. Setelah mereka menjadi
pasangan suami-istri, meraka akan menjalin relasi dan berurusan dengan
banyak pihak sebagai konsekwensi atas kedudukan mereka sebagai bagian
dari anggota masyarakat. Semakin modern masyarakat, akan lebih banyak
mensyaratkan sebuah relasi antara keluarga dan masyarakat secara
prosedural-administratif. Pencatatan pernikahan adalah manifestasi
prosedur-administratif yang dijalankan untuk sebuah tertib
masyarakat. Dengan tercatat, maka akan ada data penting menyangkut
status seorang warga sehingga berbagai penyelewengan status dapat
dieliminasi.
Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974, adalah hukum positif yang mengatur proses
pernikahan di Indonesia. Di samping segala persyaratan formil
sebagaimana yang telah disyari’atkan Islam, ada ketentuan tambahan yang
terdapat dalam undang-undang itu yang mengatur secara administratif
sebuah proses pernikahan, yaitu pencatatan pernikahan oleh institusi
pencatat nikah (KUA, Kantor Urusan Agama). Diharapkan dengan pernikahan
yang tercatat dan terdata, akan lebih memudahkan kontrol terhadap
pelaksanaan syari’at dalam pernikahan warga masyarakat. Hak perempuan
dan anak akan lebih terjamin dalam sebuah pernikahan yang legal secara
hukum (baik hukum Islam maupun hukum nasional).
Pernikahan
yang tercatat (sesuai dengan UU no. 1 tahun 1974 dan PP no. 9 tahun
1975) sesuai dengan semangat kemashlahatan yang menjadi landasan
syari’at Islam. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ulama Usûl fiqh, setiap hukum (Syarî’at) itu terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah (manusia), baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Maslahat
menurut Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, adalah suatu ketentuan yang
dalam merumuskan hukum dengan menarik manfaat dan menolak mafsadat dari
manusia.[20] Sedangkan al-Khawârizmi mendefinisikan mendefinisikan maslahat adalah memelihara maqâsid asy-syarî’ah dengan menolak mafsadat dari umat.[21]
Al-Buti memandang memandang maslahat adalah suatu manfaat yang
dikehendaki oleh syari’ untuk hamba-Nya dengan memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta.[22] Asy-Syâtibî mendifinisikan maslahat sesuatu yang merujuk atau dikembalikan kepada tegaknya kehidupan manusia.[23]
Dalam hal ini Asy-Syâtibî menandaskan bahwa Syarî’at diberlakukan adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat.[24] Dengan demikian orang yang meneliti hukum (Syarî’at)
akan menemukan bahwa tujuan dan permasalahan hukum adalah memelihara
kehidupan masyarakat dan mewujudkan kemaslahatannya dengan meraih
manfaat dan menghilangkan mafsadat.[25]
Sebagaimana telah disampaikan di muka, bahwa secara sosiologis, nikah sirri banyak mengandung persoalan (mafsadat/mudharat). Sehingga dalam perspektif syari’at, nikah sirri, walaupun sah secara fiqhiyah, tetapi perlu dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, Usûl al-Fiqh Mazhab al-Imâm Ahmad Dirâsat Usûliyyah Muqâranah, cet. 2, Riyadh : Maktabat ar-Riyad al-Hadisah, 1980
Aboebakar Aceh, Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam, Semarang: Ramadhani, 1980
Al-‘Alamah Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Ahkam al-Zawaj, Beirut: Dar al-Kutub, tt.
Allamah M.H. Thabathaba’I, Syi’ah Islam: Asal-Usul dan Perkembangannya, Djohan Effendi (terj.), Jakarta: PT. Pustaka Utama Graffiti, 1989
Badran Abu al-‘Ainain Badran, Usûl al-Fiqh al-Islamî, (t.t.p : t.n.p, t.t.), hlm. 236
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Ghufron A. Mas’adi (terj.), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usûl , cet. I, Surabaya : Syirkah Maktabat Ahmad bin Sa’ad Ibn Nabhan, t.t.
Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti, Dawâbit al-Mahlahah fî as-Syarî’ah al-Islamîyah, cet.2, Beirut : Muassisah ar-Risâlat , 1977
Murtadha Muthahhari, The Rights Women in Islam, Teheran: WOFIS, 1981
Rahman Zaenuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik di Indonesia, Bandung: Mizan, 2000
Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Beirut: Dâr Al-Fikr, tt..
Shahla Hairi, law of Desire: Tempiorery Marriage in Shi’I Iran, New York: Syracuse, 1989
Syâtibî, al-Muwâfaqât fî As-Syarî’ah, (Beirut ; Dâr al-Kutub al-Timiyyah, t.t.) II, hlm. 29
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adilatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1989
[1] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Ghufron A. Mas’adi (terj.), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 291
[4] Shahla Hairi, law of Desire: Tempiorery Marriage in Shi’I Iran, (New York: Syracuse, 1989), hlm. 60
[6] HR. Muslim, hadis no.2502
[7] HR. Ibn Majah, hadis no. 1902
[8] HR. Ahmad, hadis no. 14810
[10] HR. Muslim, hadis no. 2510; dengan matan yang sejenis diriwayatkan pula oleh Bukhari, hadis no.3894 dan 4723; Tirmidzi, hadis no. 1040; Nasa’I, hadis no. 3312; Ibn Majah, hadis no. 1951; dan Ahmad, hadis no. 558
[11] Lihat Aboebakar Aceh, Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam, (Semarang: Ramadhani, 1980), hlm. 221
[12] Lihat Allamah M.H. Thabathaba’I, Syi’ah Islam: Asal-Usul dan Perkembangannya, Djohan Effendi (terj.), (Jakarta: PT. Pustaka Utama Graffiti, 1989), hlm. 264
[15] A. Rahman Zaenuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 112
[17] Al-‘Alamah Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Ahkam al-Zawaj, (Beirut: Dar al-Kutub, tt.), hlm. 202
[20] Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, Usûl al-Fiqh Mazhab al-Imâm Ahmad Dirâsat Usûliyyah Muqâranah, cet. 2, (Riyad : Maktabat ar-Riyad al-Hadisah, 1980), hlm. 513
[21] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usûl , cet. I, (Surabaya : Syirkah Maktabat Ahmad bin Sa’ad Ibn Nabhan, t.t.), hlm 242
[22] Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti, Dawâbit al-Mahlahah fî as-Syarî’ah al-Islamîyah, cet.2, (Beirut : Muassisah ar-Risâlat , 1977), hlm. 23
[25] Badran Abu al-‘Ainain Badran, Usûl al-Fiqh al-Islamî, (t.t.p : t.n.p, t.t.), hlm. 236
Nikah Mut’ah Bukanlah Zina? Menggugat Salafy
Posted on Februari 28, 2011 by secondprince
http://secondprince.wordpress.com/2011/02/28/nikah-mut%E2%80%99ah-bukanlah-zina-menggugat-salafy/
Nikah Mut’ah Bukanlah Zina? Menggugat Salafy
Tulisan ini bukan mempermasalahkan hukum
nikah mut’ah. Baik yang mengharamkan dan yang menghalalkan nikah mut’ah
sama-sama memiliki hujjah. Masalah yang kami bahas pada tulisan kali ini
adalah ulah mulut gatal sebagian pengikut salafy yang berkata “nikah mut’ah adalah zina”.
Tidak diragukan kalau Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah
menghalalkan nikah mut’ah dan para sahabatpun pernah melakukan nikah
mut’ah. Berdasarkan fakta ini maka perkataan “nikah mut’ah adalah zina”
memiliki konsekuensi kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
pernah menghalalkan zina dan para sahabat pernah melakukan zina.
Na’udzubillah, bukankah ini adalah tuduhan yang keji.
Terdapat dalil yang menyebutkan kalau
Nikah mut’ah bukanlah sesuatu yang keji melainkan sesuatu yang “baik”.
Hal ini pernah disebutkan dalam hadis Ibnu Mas’ud dengan sanad yang
shahih.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ قَالَ
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَلَيْسَ لَنَا شَيْءٌ فَقُلْنَا أَلَا نَسْتَخْصِي فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ
ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ ثُمَّ قَرَأَ عَلَيْنَا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ
وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Telah menceritakan kepada kami
Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir
dari Isma’il dari Qais yang berkata Abdullah berkata “kami berperang
bersama Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] dan kami tidak membawa
wanita [istri], kami berkata “apakah sebaiknya kita mengebiri” maka
Beliau [shallallahu 'alaihi wasallam] melarang kami melakukannya
kemudian mengizinkan kami untuk menikahi wanita dengan selembar pakaian
kemudian Beliau [shallallahu 'alaihi wasallam] membacakan kepada kami “janganlah
kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada
kalian dan janganlah kalian melampaui batas, sesungguhnya Allah SWT
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas [Al Maidah ayat 87]“ [Shahih Bukhari 7/4 no 5075]
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن بن أبي خالد عن قيس
عن عبد الله قال كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن شباب
فقلنا يا رسول الله ألا نستخصي فنهانا ثم رخص لنا في ان ننكح المرأة بالثوب إلى الأجل ثم قرأ عبد الله { لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم }
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ibnu Abi Khalid dari Qais dari
Abdullah yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
dan kami masih muda, kami berkata “wahai Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] tidakkah kami dikebiri?. Beliau [shallallahu ‘alaihi
wasallam] melarang kami melakukannya kemudian Beliau [shallallahu
‘alaihi wasallam] memberi keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan mahar berupa pakaian sampai waktu yang ditentukan. Kemudian ‘Abdullah membaca [Al Maidah ayat 87] “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian” [Musnad Ahmad 1/432 no 4113, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim]
Perhatikan baik-baik, Ibnu Mas’ud ketika
menyebutkan nikah mut’ah ia membaca ayat sebagaimana Rasulullah
[shallallahu 'alaihi wasallam] membacakan ayat “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian”. Ini berarti nikah mut’ah itu termasuk dalam “thayyibaat” [hal yang baik]. Jadi keliru sekali kalau mengatakan Nikah mut’ah adalah zina.
Bagaimana mungkin zina disebut sesuatu yang baik?. Perkara pada
akhirnya nikah mut’ah diharamkan [menurut sebagian orang] tetap saja
tidak mengubah kalau nikah mut’ah itu sesuatu yang baik.
Seandainya nikah mut’ah itu hukumnya
haram tetap saja sangat tidak benar menyatakan nikah mut’ah adalah zina.
Apa yang akan mereka katakan terhadap para sahabat yang melakukan nikah
mut’ah. Apakah mereka akan menuduh para sahabat telah berzina?.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا بهز قال وثنا عفان قالا ثنا همام ثنا قتادة
عن أبي نضرة قال قلت لجابر بن عبد الله ان بن الزبير رضي الله عنه
ينهى عن المتعة وان بن عباس يأمر بها قال فقال لي على يدي جرى الحديث تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عفان ومع أبي بكر
فلما ولي عمر رضي الله عنه خطب الناس فقال ان القرآن هو القرآن وان رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الرسول وأنهما كانتا متعتان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم إحداهما متعة الحج والأخرى متعة النساء
Telah menceritakan kepada kami Bahz
dan telah menceritakan kepada kami Affan , keduanya [Bahz dan Affan]
berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang berkata telah
menceritakan kepada kami Qatadah dari Abi Nadhrah yang berkata “aku
berkata kepada Jabir bin Abdullah RA ‘sesungguhnya Ibnu Zubair telah
melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya’. Abu Nadhrah berkata
‘Jabir kemudian berkata kepadaku ‘kami pernah bermut’ah bersama
Rasulullah’. [Affan berkata] “ dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar
menjadi pemimpin orang-orang, dia berkata ‘sesungguhnya Al Qur’an adalah
Al Qur’an dan Rasulullah SAW adalah Rasul dan sesungguhnya ada dua
mut’ah pada masa Rasulullah SAW hidup, salah satunya adalah mut’ah haji
dan yang satunya adalah mut’ah wanita’ [Musnad Ahmad 1/52 no 369, Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim]
Hadis di atas menyebutkan kalau para sahabat [termasuk Jabir] pernah bermut’ah bersama Abu Bakar.
Apakah Jabir, Abu Bakar dan sahabat lainnya akan dikatakan telah
melakukan zina?. Na’udzubillah, tetapi itulah konsekuensi dari perkataan
“Nikah mut’ah adalah zina”. Sangat jelas bahwa sebagian
sahabat tetap menghalalkan nikah mut’ah selepas Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] wafat. Hadis di atas menjadi bukti dimana Jabir
mengatakan kalau para sahabat [termasuk dirinya] tetap melaksanakan
mut’ah dimasa Abu Bakar.
قال عطاء قدم جابر بن عبدالله معتمرا فجئناه في منزله فسأله القوم
عن أشياء ثم ذكروا المتعة فقال نعم استمتعنا على عهد رسول الله
صلى الله عليه و سلم وأبي بكر وعمر
Atha’ berkata “Jabir bin Abdullah
datang untuk menunaikan ibadah umrah. Maka kami mendatangi tempatnya
menginap. Beberapa orang dari kami bertanya berbagai hal sampai akhirnya
mereka bertanya tentang mut’ah. Jabir menjawab “benar, kami melakukan mut’ah pada masa hidup Rasulullah SAW, masa hidup Abu Bakar dan masa hidup Umar”. [Shahih Muslim 2/1022 no 15 (1405) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi]
Sekali lagi jika nikah mut’ah adalah zina, maka konsekuensinya adalah Jabir dan para sahabat lainnya bersepakat melakukan zina dan menghalalkan zina.
Kami yakin hal ini tidak akan diterima oleh siapapun yang mengaku
muslim. Semoga pengikut salafy yang bermulut usil itu dapat menahan diri
untuk tidak mengatakan kalau nikah mut’ah adalah zina. Karena perkataan itu sama saja telah mencaci para sahabat Nabi? Dan bukankah menurut mereka pengikut salafy, mencaci sahabat Nabi adalah kafir. Memang barang siapa yang mulutnya terlalu mudah mengumbar kata kafir maka kata kafir itu akan berbalik pada dirinya sendiri. Salam Damai
Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah?
Posted on Maret 1, 2011 by secondprince
http://secondprince.wordpress.com/2011/03/01/ibnu-abbas-dan-pengharaman-nikah-mut%E2%80%99ah/
Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah?
Diriwayatkan kalau Ibnu Abbas telah
menghalalkan mut’ah dan mengizinkan orang lain untuk melakukan mut’ah.
Dan diriwayatkan pula kalau Imam Ali menegur Ibnu Abbas dan menyatakan
kalau nikah mut’ah telah diharamkan di Khaibar.
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا
أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ
Telah menceritakan kepada kami Malik
bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah
yang telah mendengar dari Az Zuhriy yang mengatakan telah mengabarkan
kepadaku Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy dan saudaranya ‘Abdullah bin
Muhammad dari ayah keduanya bahwa Ali radiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan makan daging himar jinak di masa Khaibar [Shahih Bukhari 7/12 no 5115]
Atsar ini menunjukkan kalau Imam Ali
telah mengingatkan Ibnu Abbas bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di
Khaibar. Peristiwa ini [jika benar] terjadi di masa Imam Ali masih
hidup, anehnya setelah peristiwa ini Ibnu Abbas masih saja menghalalkan
mut’ah.
وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس قال ابن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة
فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل
على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم )
فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك
Telah menceritakan kepadaku Harmalah
bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang
berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu Syihab telah
mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri
[menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang
dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya yaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh
kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku mut’ah telah
dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406]
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
menyatakan bahwa yang berdebat dengan Ibnu Zubair di atas adalah Ibnu
Abbas radiallahu ‘anhu [Syarh Shahih Muslim 5/88]. Hadis Shahih Muslim
di atas menunjukkan bahwa Ibnu Abbas setelah diberitahu Imam Ali bahwa nikah mut’ah diharamkan di Khaibar,
ia tetap saja menghalalkan mut’ah. Perhatikan kembali hadis di atas,
Ibnu Zubair menyindir Ibnu Abbas bahwa ia seorang yang buta mata hatinya
sebagaimana Allah SWT telah membutakan matanya. Ibnu Abbas memang
menjadi buta matanya ketika usianya telah lanjut. Hal ini menunjukkan
bahwa jauh setelah Imam Ali mengabarkan kepadanya kalau mut’ah itu diharamkan di Khaibar, Ibnu Abbas tetap menghalalkan mut’ah.
Bukankah ini sesuatu yang aneh. Sahabat
sekelas Ibnu Abbas tidak menghiraukan larangan Rasululullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] yang disampaikan oleh Imam Ali. Setidaknya ada tiga
kemungkinan jika kita mengkonfrontir hadis Imam Ali dan hadis tentang
Ibnu Abbas di atas.
- Atsar Imam Ali itu tidak benar, dalam arti Imam Ali tidak pernah mengabarkan hal itu kepada Ibnu Abbas sehingga Ibnu Abbas tidak tahu kalau nikah mut’ah itu diharamkan di Khaibar.
- Atsar Imam Ali itu benar jadi Ibnu Abbas sudah tahu kalau nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi ia tetap saja menghalalkannya. Na’udzubillah
- Atsar Imam Ali itu benar tetapi Ibnu Abbas tidak mengakui hadis Imam Ali tersebut. Artinya Ibnu Abbas menganggap Imam Ali tidak dipercaya dalam hadis yang disampaikannya. Na’udzubillah
Ketiga kemungkinan ini benar-benar
membuat bingung. Soal atsar Imam Ali itu, memang secara zahir sanadnya
shahih tetapi matannya diperselisihkan oleh sebagian ulama [idhthirab].
Ada yang mengatakan kalau mut’ah tidak diharamkan di Khaibar karena pada
saat itu di Khaibar hanya terdapat wanita yahudi [ahlul kitab] dimana
hukum bolehnya menikahi wanita ahlul kitab ditetapkan setelah peristiwa
Khaibar. Seandainya atsar Imam Ali itu shahih dan benar maka Ibnu Abbas
itu memang sudah keterlaluan. Telah sampai larangan Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] kepadanya tetapi ia tetap saja
menghalalkan nikah mut’ah. Ini namanya menghalalkan sesuatu yang ia
sudah tahu kalau itu haram, na’udzubillah. Silakan kepada para pembaca
sekalian untuk memberikan masukannya dalam perkara ini.
Perhatikan, bahwa Ibnu Abbas memberikan keringanan (rukhshah), artinya pada dasarnya mut’ah tersebut adalah sesuatu yang dilarang, dibolehkan sebagai bentuk keringanan dengan syarat kondisi sebagaimana disebutkan yaitu dalam keadaan yang bisa disebut darurat, Fatwa yang seperti ini saja banyak ditentang oleh sahabat2 yang lain.
Logika anda yang salah. Maksudnya Ibnu Abbas
membolehkan mut’ah dengan syarat-syarat tertentu untuk menjaga agar
mut’ah itu tidak disalahgunakan. Bukannya Ibnu Abbas malah menganggap
mut’ah itu haram, itu anda aja yang maksa. Lagian kata siapa fatwa ini
ditentang para sahabat. Justru fatwa ini sesuai dengan ijma’ sahabat
buktinya Jabir mengatakan kalau mayoritas sahabat melakukan mut’ah di
zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar sampai akhirnya Umar melarangnya.
Coba bandingkan dengan praktek mut’ah kaum syi’ah saat ini, sungguh sangat jauh sekali kelewatannya, maka bener-bener mereka telah berzina dengan berkedok agama, ga ada angin ga ada hujan mut’ah!, bahkan menurut mereka semakin banyak melakukan mut’ah maqam mereka menjadi semakin tinggi…
memang anda sok tahu kali ya seolah tahu bagaimana
kaum syiah melakukan mut’ah. Apakah anda pernah melihat bagaimana kaum
syi’ah melakukan mut’ah sehingga anda bisa mengatakan “kelewatan”?.
Orang yang lebih pantas anda tuduh adalah Ibnu Abbas. Ibnu Abbas itu
sudah mendapat peringatan oleh Imam Ali kalau nikah mut’ah itu haram lha
kok setelah itu Ibnu Abbas menghalalkan mut’ah. Menurut logika anda
berarti Ibnu Abbas itu menghalalkan zina. begitukah?
Kemudian setelah Ibnu Abbas menyaksikan sendiri, bahwa banyak orang-orang yang mempermudah persoalan ini dan tidak membatasi dalam situasi yang terpaksa, maka ia hentikan fatwanya itu dan ditarik kembali sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah:
وقد روي عن بعض الصحابة وبعض التابعين أن زواج المتعة حلال، واشتهر ذلك عن ابن عباس رضي الله عنه، وفي تهذيب السنن: وأما ابن عباس فانه سلك هذا المسلك في إباحتها عند الحاجة والضرورة، ولم يبحها مطلقا، فلما بلغه إكثار الناس منها رجع.
فقال ابن عباس: (إنا لله وإنا إليه راجعون)! والله ما بهذا أفتيت، ولا هذا أردت، ولا أحللت إلا مثل ما أحل الله الميتة والدم ولحم الخنزير، وما تحل إلا للمضطر، وما هي إلا كالميتة والدم ولحم الخنزير.
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi (ucapan Ibnu Abbas di atas disebutkan oleh al Baihaqi di dalam Sunan-nya (7/205) Ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
Maaf kayaknya riwayat Ibnu Abbas yang anda jadikan
hujjah di atas dhaif jiddan. anda menyebutkan referensinya dari Sunan
Baihaqi 7/205. Riwayat yang dimaksud adalah dari Hasan bin Umarah dari
Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. Hasan bin Umarah
ini matruk. Ahmad berkata “matruk al hadits”. terkadang berkata
“mungkar al hadis meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ dan tidak ditulis
hadisnya”.Abu Hatim, Muslim, Daruquthni dan Nasa’i berkata “matruk” [At
Tahdzib juz 2 no 532]. Begitu pula riwayat Abdussalam bin Harb dari
Hajjaj dari Abu Khalid dari Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair dari
Ibnu Abbas. Riwayat ini dahif karena Hajjaj bin Arthah seorang mudallis
martabat keempat dan riwayatnya disini dengan ‘an ‘anah [Thabaqat
Mudallisin no 118] dan Abu Khalid yaitu Yazid bin ‘Abdurrahman adalah
mudallis martabat ketiga [Thabaqat Mudallisin no 113] disini riwayatnya
juga dengan ‘an ‘anah sehingga dhaif. Riwayat dari kedua orang mudallis
ini jelas dhaif sekali.
Telah shahih bahwasanya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meralat fatwanya dan melarang mut’ah sebagaimana yang di jelaskan dengan cara yang bagus oleh Imam Syaukani (Nailul Authar6/169-170).
Sayangnya hadis-hadis yang menjelaskan ruju’nya Ibnu
Abbas itu dhaif. Kalau tidak percaya ya silakan bawakan saja hadis
lengkapnya nanti ditunjukkan kalau hadis tersebut dhaif :)
soal anda mau memilih hukum atau pendapat yang mana itu semua terserah anda. Fokus saya disini adalah ada riwayat yang cukup membuat saya “bertanya-tanya”. Ibnu Abbas itu tetap saja menghalalkan mut’ah walaupun terdapat riwayat kalau Imam Ali sudah menegur dan memperingatkan soal keharaman nikah mut’ah di khaibar. Sikap Ibnu Abbas ini bagi saya ya aneh atau sebaliknya mungkin hadis Imam Ali yang keliru.
Logika anda yang salah. Maksudnya Ibnu Abbas membolehkan mut’ah dengan syarat-syarat tertentu untuk menjaga agar mut’ah itu tidak disalahgunakan. Bukannya Ibnu Abbas malah menganggap mut’ah itu haram, itu anda aja yang maksa. Lagian kata siapa fatwa ini ditentang para sahabat. Justru fatwa ini sesuai dengan ijma’ sahabat buktinya Jabir mengatakan kalau mayoritas sahabat melakukan mut’ah di zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar sampai akhirnya Umar melarangnya.Justru logika anda yang lebih salah, saya tidak maksa kok, coba baca pelan-pelan,
5116 – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ
سُئِلَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَرَخَّصَ فَقَالَ لَهُ مَوْلًى لَهُ
إِنَّمَا ذَلِكَ فِي الْحَالِ الشَّدِيدِ وَفِي النِّسَاءِ قِلَّةٌ أَوْ
نَحْوَهُ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ نَعَمْ
(7/12)
“Dari Abi Jamrah berkata aku mendengar Ibnu Abbas ditanya tentang mut’ah dengan wanita, kemudian dia memberikan keringanan (rukhshah). Lantas seorang bekas hambanya bertanya: Apakah yang demikian itu dalam keadaan terpaksa dan karena sedikitnya jumlah wanita atau yang seperti itu? Ibnu Abbas menjawab: Ya!” (Riwayat Bukhari 7/12 No. 5116).
Jadi Ibnu Abbas memberi rukhshah melakukan mut’ah jika dalam keadaan terpaksa, maka tanpa diragukan lagi selain dalam keadaan terpaksa Ibnu Abbas tidak membolehkannya atau mengharamkannya. Jelas sekali itu.
memang anda sok tahu kali ya seolah tahu bagaimana kaum syiah melakukan mut’ah. Apakah anda pernah melihat bagaimana kaum syi’ah melakukan mut’ah sehingga anda bisa mengatakan “kelewatan”?. Orang yang lebih pantas anda tuduh adalah Ibnu Abbas. Ibnu Abbas itu sudah mendapat peringatan oleh Imam Ali kalau nikah mut’ah itu haram lha kok setelah itu Ibnu Abbas menghalalkan mut’ah. Menurut logika anda berarti Ibnu Abbas itu menghalalkan zina. begitukah?Yang kelewatan itu ya kaum syi’ah yang melakukan mut’ah padahal mut’ah telah dilarang oleh Imam Ali, sedangkan Ibnu Abbas membolehkan mut’ah jika dalam keadaan terpaksa, dan ijtihad beliau ini keliru menselisihi pendapat sahabat2 yang lain. dan yg lebih kelewatan adalah orang yang mengakui Imam Ali sebagai pedoman umat tetapi masih meragukan fatwa beliau tentang keharaman Mut’ah :mrgreen:
Sayangnya hadis-hadis yang menjelaskan ruju’nya Ibnu Abbas itu dhaif. Kalau tidak percaya ya silakan bawakan saja hadis lengkapnya nanti ditunjukkan kalau hadis tersebut dhaif :)Dengan tidak ada penentangan beliau terhadap Umar mengenai mut’ah, bagi saya cukup untuk menyimpulkan bahwa Ibnu Abbas sudah rujuk dari fatwa sebelumnya. Sedangkan Umar, jangankan sahabat seperti Ali atau Ibnu Abbas, terhadap seorang perempuan yang memprotes beliau jika beliau keliru dalam berfatwa, beliau mau menerimanya kok. Dan terbukti tidak ada riwayat mengenai adu argumentasi mengenai mut’ah dengan Umar.
@sok tau banget
Lho jihad atau perang itu juga dalam keadaan terpaksa, dan asbabul wurud dibolehkan mut’ah kan karena sebagian kaum muslimin menanyakan apa boleh berkebiri.
Oh jadi jihad atau perang itu kondisi terpaksa ya, baru tahu saya. btw kalau Fathul Makkah itu kondisinya terpaksa juga?.
Saya sudah jawab di komentar saya yang lalu mengenai pengharaman mut’ah di Khaibar. bahwa yang diharamkan di khaibar adalah daging khimar, hanya karena waktu penyebutannya berbarengan dengan mut’ah di pahami oleh perawi bahwa mut’ah juga diharamkan di khaibar padahal tidak seperti itu.
Ini jawaban orang ngeles, karena bertentangan dengan
zahir hadisnya. sangat jelas hadisnya dengan kata-kata jelas bahwa
mut’ah diharamkan di Khaibar. Bagaimana dengan hadis yang hanya menyebut
mut’ah haram di khaibar tanpa menyebut “daging khimar”?. kalau mau
mengatakan perawinya salah menyebut ya orang lain kan bisa bilang
jangan-jangan perawi itu juga salah sebut sebenarnya gak ada pengharaman
mut’ah di khaibar jadi pengharaman itu hanya dibuat-buat atas nama Imam
Ali. Atau kalau lebih halus sedikit perawi itu keliru sebenarnya tidak
ada soal pengharaman mut’ah di Khaibar. Hadis Imam Ali itu hanya
pengharaman daging khimar jinak saja. Yup beres kan :)
Kalaupun di nasakh, bukankah status akhir mut’ah adalah haram sampai kiamat? maka tetap benarlah Imam Ali mengingatkan Ibnu Abbas.
jadi kalau Imam Ali mengingatkan Ibnu Abbas dengan
hadis yang sudah dinasakh maka Imam Ali tetap benar ya. Terus kalau
memang Ibnu Abbas itu sudah diingatkan oleh Imam Ali berarti ia tahu
dong itu haram, ia tahu dong kalau nikah mut’ah itu zina dan berarti
Ibnu Abbas menghalalkan zina. Itu konsekuensinya, bilang saja iya, beres
:)
Sungguh kelewatan orang yang berhujjah dengan Nabi SAW dan Imam Ali yang jelas-jelas mengharamkan mut’ah tidak mengakui bahwa saat ini Mut’ah adalah Zina.
lha kan logika anda mengatakan mut’ah adalah zina
karena mut’ah telah diharamkan. Nah kalau logika itu dipakai
konsekuensinya anda harus mengakui kalau Rasulullah [shallallahu 'alaihi
wasallam] menghalalkan zina di Fathul Makkah. Kalau logika anda benar
ya anda harus menerima konsekuensinya.
at 4:43 am
Menurut saya tulisan mas Anjar mengenai Nikah Mut’ah baik versi Sunni
maupun Syi’ah cukup berimbang. Namun saya ingin menyampaikan beberapa
catatan yang sebagian pendapat pribadi yang mungkin bisa memperjelas
atau paling tidak bisa membuat kita lebih memahami pandangan Syi’ah
Imamiyah.
1. Baik nikah daim (permanen) maupun mut’ah, kedua-duanya adalah
suatu ikatan/akad antara seorang perempuan dengan seorang laki yang
tidak terikat pernikahan, dengan syarat2 tertentu (baik versi Sunni
maupun Syi’ah). Dengan demikian tentunya SANGAT BERBEDA dengan zina atau
kumpul kebo yang tanpa ikatan apa2.
2. Dasar nikah mut’ah adalah Surat an-Nisa 24
3. Syarat2 Nikah Mut’ah adalah :
– Mahar
– Ajal (tempo)
– Akad
– Perceraian
– Iddah
– Sabitnya nasab
– Tidak sabitnya pusaka dinatara sumai dan
isteri jika ia tidak disyaratkan
– Mahar
– Ajal (tempo)
– Akad
– Perceraian
– Iddah
– Sabitnya nasab
– Tidak sabitnya pusaka dinatara sumai dan
isteri jika ia tidak disyaratkan
4. Saya tidak setuju dengan pendapat bahwa tujuan nikah mut’ah adalah
semata-mata pemuasan/kenikmatan seks laki-laki. Hendaknya kita melihat
latar belakang dan tujuan utama yang lebih luhur dari ketetapan Allah
dalam Surah An-Nissa 24 tsb terlepas dari kontroversi dimansukh atau
tidak dimansukh.
(Dan diharamkan menikahi perempuan yang bersuami, kecuali maa lakat aimanukum/ hamba sahaya perempuan yang kamu miliki -1- sebagai ketetapan Allah atas kamu, dan dihalalkan selain perempuan yang demikian itu -2- jika
kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya dan bukan untuk berzina,
Maka karena keni'matan yang telah kamu dapatkan dari mereka,
berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi
tidak mengapa jika ternyata diantara kamu telah saling merelakannya
setelah ditetapkan -3- Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Maha Bijaksana.)
--1. Perempuan2 yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya. Penjelasan selanjutnya lihat QS 4 -An Nisaa-ayat 3
--2 Selain dari perempuan2 yang disebut dalam QS 4 -An Nisaa-ayat 3
--3 Menambah atau mengurangi ataw sepakat tidak ada pembayaran sama sekali maskawin yang telah ditetapkan.Dengan melihat latar belakang sejarah nikah mutah, kita bisa menangkap tujuan yang lebih agung dari dari sekedar pemuasan seks, yaitu MENCEGAH PERNZINAHAN di masyarakat Islam, yakni menyelamatkan/memelihara kehormatan diri dari maksiat.
Adalah fakta sejarah bahwa sejak diharamkannya nikah mut’ah oleh Khalifah Umar, maka banyak terjadi perzinahan di kalangan masyarakat Sunni.
5. Dalam referensi Sunni kita mendapat informasi bahwa Umarlah orang
pertama yang mengharamkan nikah mut’ah seperti Suyuti dalam “Tarikh
al-Khulafa hal 137, Al_baihaqi dlm al-Sunan,V, hal 206, Al-Raghib dlm
al-Mahadarat II hal 94, Muslim, Sahih I, hal.395,
Ibnu hajar, Tah al-Bari, IX, hal 41, al-Muttaqi al-Hindi, Kanz Umal
VIII hal 294 dll. Jadi hadis yang menyatakan bahwa Nabi pernah melarang
nikah mut’ah versi Bukhari Muslim harus kita ragukan kebenarannya.
6. Nikah mut’ah kalau dilihat dari latar belakangnya adalah bersifat
DARURAT. Sama dengan latar belakang poligami yang esensinya bukan semata
nambah isteri, tapi dalam rangka MENGURUS ANAK YATIM. Kalau situasi
normal tidak perlu nikah mut’ah.
7. Di kalangan Sunni terdapat 15 pendapat yang berbeda dalam status
nikah mut’ah ini : dimansukh atau tidak, sehingga timbul kesan mereka
sendiri tidak yakin apakah telah dimansukh atau tidak. Rasanya mustahil
dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya mempermainkan hukum nikah mut’ah.
8. AlQurtubi menyatakan bahwa penduduk Mekah banyak melakukan nikah
mut’ah (Tafsir,V, hal 132). Begitu juga Ibnu Juraij (w.150H)
berpendapat bahwa nikah mut’ah adalah harus (dalam kondisi tertentu).
Imam Syafei menegaskan bahwa Ibnu Juraij telah bernikah mut’ah dengan 72
orang perempuan, sementara al-Dhahabi pula mengatakan bahwa Ibnu Juraij
telah bermut’ah dengan 90 orang perempuan (Tadhibal-Tadhib,VI, hal.
408).
Perhatikan bahwa Ibnu Juraij adalah seorang dari tabi’in dan Imam Mesjid Mekah dan dia juga TELAH MERIWAYATKAN BANYAK HADIS AHLU SUNNAH seperti Bukhori, Muslim dll. Ini berarti kalau dilihat dari kacamata Sunni mengenai nikah mut’ah, kitab2 Sahih tsb. telah dikotori dan ia tidak menjadi sahih lagi sekiranya orang yang melakukan nikah mut’ah itu dianggap zina !
Perhatikan bahwa Ibnu Juraij adalah seorang dari tabi’in dan Imam Mesjid Mekah dan dia juga TELAH MERIWAYATKAN BANYAK HADIS AHLU SUNNAH seperti Bukhori, Muslim dll. Ini berarti kalau dilihat dari kacamata Sunni mengenai nikah mut’ah, kitab2 Sahih tsb. telah dikotori dan ia tidak menjadi sahih lagi sekiranya orang yang melakukan nikah mut’ah itu dianggap zina !
9. Ayat 24 Surah Nissa tidak dimansukh oleh Surah al-Mukminun 6 dan
Surah al-Ma’arij 30, karena kedua ayat tsb adalah Makiyyah dan ayat
Makiyyah tidak boleh memansukhkan ayat Madaniyah. Begitu pula tidak bisa
dimansukh oleh ayat al-Mirath (pusaka), ayat Thalaq. Ia juga tidak
boleh dimansukh dengan hadis (menurut jumhur ulama).
10. Demikian adanya pandangan bahwa nikah mut’ah merendahkan martabat
wanita saya rasa tidak tepat. Justeru hak-hak wanita terlindungi dengan
adanya ikatan/syarat2 pernikahan dan penyakit masyarakat seperti zina
dapat ditekan.
11. Nikah Mut’ah menurut pendapat pribadi saya hanya boleh dilakukan
ketika kondisi menjadi darurat dan dikhawatirkan terjerumus dalam
perzinahan. Oleh karena itu tentu saja nikah mut’ah yang temporer
berbeda dengan daim (permanen). Namun bisa saja Nikah Mut’ah yang
temporer ini ditingkatkan statusnya menjadi nikah permanen. Sementara
nikah daim bisa saja menjadi tidak daim alias bubar (cerai).
Brangkali ada manfaatnya untuk menambah wawasan kita mengenai nikah
mut’ah yang kontroversial yang mudah-mudahan menjadikan kita lebih bisa
menghormati pendapat mazhab lain yang berbeda.
Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah?
Posted on Maret 1, 2011 by secondprince
Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah?
Diriwayatkan kalau Ibnu Abbas telah
menghalalkan mut’ah dan mengizinkan orang lain untuk melakukan mut’ah.
Dan diriwayatkan pula kalau Imam Ali menegur Ibnu Abbas dan menyatakan
kalau nikah mut’ah telah diharamkan di Khaibar.
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ
Telah menceritakan kepada kami Malik
bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah
yang telah mendengar dari Az Zuhriy yang mengatakan telah mengabarkan
kepadaku Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy dan saudaranya ‘Abdullah bin
Muhammad dari ayah keduanya bahwa Ali radiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan makan daging himar jinak di masa Khaibar [Shahih Bukhari 7/12 no 5115]
Atsar ini menunjukkan kalau Imam Ali
telah mengingatkan Ibnu Abbas bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di
Khaibar. Peristiwa ini [jika benar] terjadi di masa Imam Ali masih
hidup, anehnya setelah peristiwa ini Ibnu Abbas masih saja menghalalkan
mut’ah.
وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس قال ابن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك
فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك
Telah menceritakan kepadaku Harmalah
bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang
berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu Syihab telah
mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri
[menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang
dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya yaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh
kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku mut’ah telah
dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406]
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
menyatakan bahwa yang berdebat dengan Ibnu Zubair di atas adalah Ibnu
Abbas radiallahu ‘anhu [Syarh Shahih Muslim 5/88]. Hadis Shahih Muslim
di atas menunjukkan bahwa Ibnu Abbas setelah diberitahu Imam Ali bahwa nikah mut’ah diharamkan di Khaibar,
ia tetap saja menghalalkan mut’ah. Perhatikan kembali hadis di atas,
Ibnu Zubair menyindir Ibnu Abbas bahwa ia seorang yang buta mata hatinya
sebagaimana Allah SWT telah membutakan matanya. Ibnu Abbas memang
menjadi buta matanya ketika usianya telah lanjut. Hal ini menunjukkan
bahwa jauh setelah Imam Ali mengabarkan kepadanya kalau mut’ah itu diharamkan di Khaibar, Ibnu Abbas tetap menghalalkan mut’ah.
Bukankah ini sesuatu yang aneh. Sahabat
sekelas Ibnu Abbas tidak menghiraukan larangan Rasululullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] yang disampaikan oleh Imam Ali. Setidaknya ada tiga
kemungkinan jika kita mengkonfrontir hadis Imam Ali dan hadis tentang
Ibnu Abbas di atas.
- Atsar Imam Ali itu tidak benar, dalam arti Imam Ali tidak pernah mengabarkan hal itu kepada Ibnu Abbas sehingga Ibnu Abbas tidak tahu kalau nikah mut’ah itu diharamkan di Khaibar.
- Atsar Imam Ali itu benar jadi Ibnu Abbas sudah tahu kalau nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi ia tetap saja menghalalkannya. Na’udzubillah
- Atsar Imam Ali itu benar tetapi Ibnu Abbas tidak mengakui hadis Imam Ali tersebut. Artinya Ibnu Abbas menganggap Imam Ali tidak dipercaya dalam hadis yang disampaikannya. Na’udzubillah
Ketiga kemungkinan ini benar-benar
membuat bingung. Soal atsar Imam Ali itu, memang secara zahir sanadnya
shahih tetapi matannya diperselisihkan oleh sebagian ulama [idhthirab].
Ada yang mengatakan kalau mut’ah tidak diharamkan di Khaibar karena pada
saat itu di Khaibar hanya terdapat wanita yahudi [ahlul kitab] dimana
hukum bolehnya menikahi wanita ahlul kitab ditetapkan setelah peristiwa
Khaibar. Seandainya atsar Imam Ali itu shahih dan benar maka Ibnu Abbas
itu memang sudah keterlaluan. Telah sampai larangan Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] kepadanya tetapi ia tetap saja
menghalalkan nikah mut’ah. Ini namanya menghalalkan sesuatu yang ia
sudah tahu kalau itu haram, na’udzubillah. Silakan kepada para pembaca
sekalian untuk memberikan masukannya dalam perkara ini.
Apa itu Nikah Mut'ah dan hukumnya.
Apa itu Nikah Mut'ah dan hukumnya.
http://www.islam2u.net/index.php?option=com_content&view=article&id=315:apa-itu-nikah-mutah-dan-hukumnya&catid=20:fatwa&Itemid=65
Nikah Mut'ah bukan pernikahan yang membatasi istri hanya empat.
Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata : Nikah mut'ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 455.
Sama seperti barang sewaan, misalnya mobil. Jika kita menyewa mobil harus ada dua kesepakatan dengan si pemilik mobil, berapa harga sewa dan berapa lama kita ingin menyewa.
Batas minimal mahar mut'ah
Di atas disebutkan bahwa rukun akad mut'ah adalah adanya kesepakatan atas waktu dan mahar. Berapa batas minimal mahar nikah mut'ah?
Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut'ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut'ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum atau korma. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 457.
Semua tergantung kesepakatan antara dua belah pihak. Sangat cocok bagi mereka yang berkantong terbatas, bisa memberikan mahar dengan mentraktir makan siang di McDonald, KFC atau nasi uduk.
Tidak ada talak dalam mut'ah
dalam nikah mut'ah tidak dikenal istilah talak, karena seperti di atas telah diterangkan bahwa nikah mut'ah bukanlah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim dilakukan dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak, maka hubungan nikah mut'ah selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Seperti diketahui dalam riwayat di atas, kesepakatan atas jangka waktu mut'ah adalah salah satu rukun/elemen penting dalam mut'ah selain kesepakatan atas mahar.
Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita yang mut'ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 458.
Jangka waktu minimal mut'ah.
Dalam nikah mut'ah tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh saja nikah mut'ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.
Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri? Jawabnya : ya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 460
Orang yang melakukan nikah mut'ah diperbolehkan melakukan apa saja layaknya suami istri dalam pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, sampai habis waktu yang disepakati. Jika waktu yang disepakati telah habis, mereka berdua tidak menjadi suami istri lagi, alias bukan mahram yang haram dipandang, disentuh dan lain sebagainya. Bagaimana jika terjadi kesepakatan mut'ah atas sekali hubungan suami istri? Padahal setelah berhubungan layaknya suami istri mereka sudah bukan suami istri lagi, yang mana berlaku hukum hubungan pria wanita yang bukan mahram? Tentunya diperlukan waktu untuk berbenah dan mengenakan pakaian sebelum keduanya pergi.
Dari Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut'ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya : " tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya". Al Kafi jilid 5 hal 460
Nikah mut'ah berkali-kali tanpa batas.
Diperbolehkan nikah mut'ah dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti diterangkan oleh Abu Ja'far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut'ah bukannya istri, tapi wanita sewaan. Sebagaimana barang sewaan, orang dibolehkan menyewa sesuatu dan mengembalikannya lalu menyewa lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa batas.
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya. Al Kafi jilid 5 hal 460
Wanita mut'ah diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati.
Wanita yang dinikah mut'ah mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya.
Dari Umar bin Handhalah dia bertanya pada Abu Abdullah : aku nikah mut'ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar, jawabnya : ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 452.
Bayaran harus sesuai dengan hari yang disepakati, supaya tidak ada “kerugian” yang menimpa pihak penyewa.
Jika ternyata wanita yang dimut'ah telah bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut'ah tidak terputus dengan sendirinya.
Jika seorang pria hendak melamar seorang wanita untuk menikah mut'ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi tanggung jawab wanita tadi.
Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 462
Ayatollah Ali Al Sistani mengatakan :
Masalah 260 : dianjurkan nikah mut'ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut'ah bukanlah syarat sahnya nikah mut'ah.
Al Sistani. Ali. Minhajushalihin. www.al-shia.com. Jilid 3 hal 82
Tidak usah membuang waktu dengan bertanya, langsung tawar dan bayar.
Nikah mut'ah dengan gadis
Dari Ziyad bin Abil Halal berkata : aku mendengar Abu Abdullah berkata tidak mengapa bermut'ah dengan seorang gadis selama tidak menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya. Al Kafi jilid 5 hal 462.
Yah, ini bukan nikah namanya.
Nikah mut'ah dengan pelacur
Diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah menyewakan dirinya.
Ayatollah Udhma Ali Al Sistani mengatakan :
Masalah 261 : diperbolehkan menikah mut'ah dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai pezina maka sebaiknya tidak menikah mut'ah dengan wanita itu sampai dia bertaubat.Minhajushalihin. Jilid 3 hal. 8
Sebaiknya tidak, tapi jika terpaksa khan namanya tetap nikah walaupun dengan pelacur. Si pelacur akan berbahagia karena disamping mendapat uang dan kenikmatan dalam pekerjaannya, dia juga mendapat pahala.
Pahala yang dijanjikan bagi nikah mut'ah
Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah orang yang bermut'ah mendapat pahala? Jawabnya : jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki itu berbicara padanya pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti Allah mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya, jika dia mandi maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi. Aku bertanya : sebanyak jumlah rambut? Jawabnya : Ya, sebanyak jumlah rambut. Man La yahdhuruhul faqih. Jilid 3. Hal 464
Abu Ja'far berkata "ketika Nabi sedang isra' ke langit berkata : Jibril menyusulku dan berkata : wahai Muhammad, Allah berfirman : Sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut'ah. Man La Yahdhuruhul Faqih jilid 3 hal 464
Hubungan warisan
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah mut'ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini. Minhajushalihin. Jilid 3 Hal. 80
Nafkah
Wanita yang dinikah mut'ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat. Minhajus shalihin. Jilid 3 hal 80.
Begitulah gambaran mengenai fikih nikah mut’ah. Pada seri berikutnya akan kita dapatkan gambaran jelas mengenai perbedaan antara nikah mut’ah dan pelacuran.
Apa kata Ali tentang nikah mut’ah? Barangkali ada yang telah membacanya dari kitab-kitab sunni, ini hal biasa, tetapi kali ini kami nukilkan dari kitab syi’ah. Sebenarnya bagaimana hukum nikah mut’ah menurut Ali? Saya mengajak pembaca menyimak titah imam syiah yang dianggap maksum. Anda akan mendapat informasi berharga.
Bagi syiah Ali adalah sosok imam maksum, suci tanpa cela. Titahnya harus ditaati, mengingat posisinya sebagai imam di mata syiah, yang meyakini bahwa imam adalah penerus dari kenabian. Sedangkan posisi Ali adalah imam pertama setelah Nabi wafat, yang konon dilantik sendiri oleh Rasulullah.
Bagi Syiah, Ali-lah orangnya yang ditunjuk untuk menjadi penerus misi kenabian, beserta sebelas orang anak cucunya. menjadi penerus kenabian artinya meneruskan lagi misi kenabian, yaitu menyampaikan risalah Allah pada manusia di bumi. Tentunya ketika menyampaikan misinya tidak berbohong dan tidak keliru, karena para imam –menurut syiah- adalah maksum, terjaga dari salah dan lupa, maka tidak mungkin keliru dalam menyampaikan amanat risalah, juga tidak mungkin berbohong ketika menyampaikan hadits Nabi.
Salah satu hal aksiomatis dalam mazhab syiah adalah nikah mut’ah, seperti dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili dalam Wasa’ilu Syi’ah jilid 21 hal 13. Al Amili mengatakan : bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”. Bukan Al Hurr Al Amili sendirian yang menganggap bolehnya nikah mut’ah adalah hal aksiomatis dalam mazhab syiah, Al Majlisi juga menyatakan demikian: beberapa hal yang termasuk perkara aksiomatis dalam agama syi’ah, kata Majlisi, adalah menghalalkan mut’ah, haji tamattu’ dan memusuhi Abubakar, Umar, Utsman dan Muawiyah. Bisa dilihat dalam Al I’tiqad hal 90-91.
Yang disebut aksiomatis adalah hal penting yang harus diyakini oleh penganut syiah. Begitulah penganut syiah di masa lalu, hari ini dan sampai akhir nanti akan terus meyakini bolehnya nikah mut’ah. Sesuatu bisa menjadi aksiomatis dalam syiah mestinya karena sudah digariskan oleh para imam syiah yang 12, yang menjadi rujukan syiah selama ini dalam penetapan hukum, paling tidak itulah pengakuan syiah selama ini, yaitu mereka merujuk pada penjelasan para imam. Apalagi imam pertama mereka setelah Nabi yaitu Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi yang – lagi-lagi menurut syiah- paling mengetahui ajaran Islam dibanding sahabat lain.
Demikian pula syiah di Indonesia, mereka meyakini bolehnya mut’ah, dan menyebarkan hal itu pada penganut syiah. hingga akhirnya praktek mut’ah marak di mana-mana, dengan keyakinan bahwa mut’ah adalah ajaran keluarga Nabi yang boleh dikerjakan. Di sini pelaku mut’ah mendapatkan tiga kenikmatan, yang pertama kenikmatan melakukan “ajaran” keluarga Nabi, yang pasti mendapatkan pahala dengan melakukannya, yang kedua, kenikmatan hubungan seksual, melampiaskan hasrat yang telah digariskan Allah pada manusia. Sementara yang ketiga, bisa berganti-ganti pasangan, karena mut’ah adalah praktek pembolehan hubungan seksual antara laki-laki dan wanita untuk sementara waktu. Pembaca –yang laki-laki tentunya- bisa membayangkan betapa nikmatnya.
Ahlussunnah menganggap nikah mut’ah adalah haram sampai hari kiamat, meskipun pada beberapa saat pernah dibolehkan oleh Rasulullah SAWW. Pengharaman ini berdasarkan keterangan dari Rasulullah SAWW sendiri yang mengharamkannya. Beberapa tahun kemudian Umar menyampaikan pengharaman tersebut pada para sahabat Nabi ketika menjabat khalifah. Namun syi’ah selalu menghujat ahlussunnah yang dalam hal ini mengikuti sabda Nabi, dan menuduh Umar –lah- yang mengharamkan nikah mut’ah, bukan Nabi. Artinya di sini Umar telah mengharamkan perbuatan yang halal dilakukan. Dan hujatan-hujatan lainnya, yang intinya adalah Rasulullah tidak pernah mengharamkan mut’ah, karena yang mengharamkan adalah Umar mengapa kita mengikuti Umar dan meninggalkan apa yang dihalalkan oleh Rasulullah SAWW? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Namun ada yang janggal di sini, ternyata Ali malah dengan tegas meriwayatkan sabda Nabi tentang haramnya nikah mut’ah. Riwayat ini tercantum dalam kitab Tahdzibul Ahkam karya At Thusi pada jilid 7 halaman 251, dengan sanadnya dari :
Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda: Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.
Bagaimana perawinya? Kita lihat bersama dari literatur syiah sendiri:
Muhammad bin Yahya : dia adalah tsiqah, An Najasyi mengatakan dalam kitabnya [no 946] : guru mazhab kami di jamannya, dia adalah tsiqah [terpercaya]
Abu Ja’far , Tsiqah [terpercaya] lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits
Abul Jauza’, namanya adalah Munabbih bin Abdullah At Taimi , haditsnya Shahih lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits
Husein bin Alwan, Tsiqah [terpercaya], lihat Faiqul Maqal, Khatimatul Mustadrak, dan Al Mufid min Mu’jam Rijalul Hadits.
Amr bin Khalid Al Wasithi: Tsiqah, lihat Mu’jam Rijalil Hadits, Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.
Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu ahlul bait Nabi, jelas tsiqah.
Di sini Ali mendengar sendiri sabda Nabi dan menyampaikannya pada umat. Menghadapi riwayat ini mungkin kita bingung, ternyata bukan anda saja yang bingung, saya pun ikut kebingungan karena dua hal:
Pertama, bagaimana ulama syiah dan ustadz syiah tidak menyampaikan hal ini pada umatnya? Hingga umatnya dengan suka ria melakukan mut’ah yang memang mengasyikkan. Kita mempertanyakan apakah mereka tidak membaca riwayat ini? Ataukah mereka membacanya tetapi tidak menjelaskan pada umat tentang kenyataan ini? Atau kenyataan ini tidak sesuai dengan kepentingan mereka, karena tidak dipungkiri lagi bahwa bolehnya nikah mut’ah membuka kesempatan bagi syiah guna menghilangkan kebosanan dan menambah variasi dalam hubungan seksual. Ketika orang hanya berhubungan dengan istrinya, maka bukan tidak mungkin suami bosan dengan istrinya, dan dengan mut’ah suami bisa mencari variasi dengan pasangan yang berbeda, baik dengan daun-daun muda, maupun janda-janda muda yang kesepian. Dan hubungan ini tidak mengakibatkan konsekuensi apa pun, kecuali kesepakatan tentang uang jasa dan jangka waktu mut’ah. Bisakan kita percaya para ustadz syiah dan santri-santri muda syiah belum membaca riwayat ini?
saya teringat ayat Al Qur'an, yang terjemahnya sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela'nati, (QS. 2:159)
Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. 2:160)
Kedua, ketika para ulama syiah menghadapi hadits shahih dari Nabi maupun imam yang tidak sesuai dengan mazhab syiah, mereka mengatakan bahwa Nabi atau imam mengatakan hadits itu dalam kondisi taqiyah, artinya yang disabdakan tidaklah benar adanya. Misalnya hadits ini, ketika ulama syiah tidak mampu menolak hadits ini karena sanadnya yang shahih, maka mereka mengatakan bahwa hadits ini disabdakan dalam kondisi taqiyah. Maksudnya adalah Nabi sebenarnya tidak mensabdakan hadits ini tetapi Ali bertaqiyah hingga menyebutkan hadits ini.
Al Hurr Al Amili dalam Wasa’il menyatakan:
“Syaikh [At Thusi] dan [ulama] lainnya menafsirkan riwayat ini sebagai taqiyyah, karena bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”
Kita perlu mempertanyakan mengapa sabda Ali tidak sesuai dengan ajaran syiah, itu dianggap sebagai taqiyah. Tetapi kita ketahui bahwa taqiyah tidak mungkin dilakukan tanpa sebab, yaitu ketakutan. Lalu apa yang Imam Ali takutkan hingga bertaqiyah dalam masalah ini? Apakah kita mempertanyakan kembali sifat pemberani Ali bin Abi Thalib karena di sini digambarkan takut untuk menyampaikan kebenaran?
Juga kita mempertanyakan sumber informasi Syaikh At Thusi dan ulama syiah lainnya hingga mereka tahu bahwa imam Ali bertaqiyah ketika meriwayatan sabda Nabi itu. Jika tidak ada informasi yang valid apakah kita mengatakan bahwa ulama syiah hanya mengira-ngira saja, tanpa berdasari informasi yang valid. Hanya dengan satu alasan, yaitu menyelisihi hal yang aksiomatis dalam mazhab lalu begitu saja sabda imam bisa divonis taqiyah.
Satu lagi konsekuensi berat bagi ulama syiah yang menyatakan bahwa Ali bertaqiyah dalam hadits itu, berarti Ali mengarang-ngarang hadits Nabi SAWW padahal Nabi SAWW tidak pernah mengucapkannya. Karena pernyataan Ali di atas adalah riwayat,bukan pendapat Ali sendiri, tapi menceritakan sabda Nabi SAWW. Perbuatan ini dikenal dalam istilah hadits dengan “berdusta atas nama Nabi”. Sedangkan perbuatan berdusta atas nama Nabi adalah perbuatan dosa besar, Kitab Tafsir Surat Al Hamd karya Muhammad Baqir Al Hakim –ulama syiah Irak- pada hal. 40 memuat sebuah riwayat yang panjang dari Ali, yang dinukil dari Wasa’ilu Syi’ah –karya Al Hurr Al Amili-, dalam riwayat itu Ali menukil sabda Nabi:
siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja hendaknya menyiapkan tempatnya di neraka.
Hadits ini juga dinukil oleh As Shaduq dalam Al I’tiqadat hal 119-120, juga tercantum dalam Al Ihtijaj jilid 1 hal 394.
Apakah Ali mengarang hadits Nabi SAWW hingga harus bersiap-siap masuk neraka? Atau Ali mendengar sabda Nabi dan menyampaikannya sesuai yang didengarnya? Saya tidak percaya Ali berdusta atas nama Nabi SAWW, juga mestinya syiah –yang percaya Ali adalah maksum- tidak percaya bahwa Ali telah berdusta.
Maka jelaslah Ali mengikuti sabda Nabi SAWW, bahwa nikah mut’ah adalah haram dilakukan saat ini, meskipun pernah dihalalkan oleh Nabi dalam beberapa kondisi, yaitu dalam kondisi perang. Tetapi syiah saat ini menghalalkan mut’ah dalam segala kondisi, tidak hanya ketika kondisi perang. Ini bedanya nikah mut’ah yang pernah dibolehkan pada jaman Nabi SAWW dan mut’ah yang menjadi sebuah aksioma dalam mazhab syiah hari ini.
Dengan ini muncul keraguan dan pertanyaan tentang hubungan mazhab syi’ah hari ini dengan Ali bin Abi Thalib. Rupanya memang tidak semua omongan orang sesuai dengan kenyataan. Contohnya syiah yang selalu mengaku mengikuti Ali, tetapi kenyataannya sungguh berbeda. Ternyata hal aksiomatis dalam mazhab syiah berbeda dengan ajaran Ali bin Abi Thalib/
Saya ingatkan para pembaca tentang kenikmatan sorga beserta bidadari-bidadari yang menyambut penghuninya, beserta isteri-isteri sorga. Tentunya kenikmatan “jannah” lebih menggairahkan dibanding kenikmatan dunia. Allah berfirman dalam surat Yasin yang terjemahnya sebagai berikut:
Sesungguhnya penghuni jannah pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). (QS. 36:55)
Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertekan di atas dipan-dipan. (QS. 36:56)
Ayat di atas menceritakan penghuni sorga bersenang-senang dalam kesibukan bersama isteri mereka. Kira-kira apa kesibukan penghuni sorga hingga membuat mereka gembira, yang dilakukan bersama istri di atas dipan? Pembaca pasti tahu jawabnya!
'
Tulisan ini dibuat dengan tujuan memaparkan kepada para pembaca yang ingin mengenal mazhab Syi’ah secara objektif. Mengapa Syi’ah menghalalkan nikah mut’ah?. Jawaban mereka adalah Al Qur’an dan hadis Ahlul Bait telah menghalalkannya. Kalau kita tanya ayat Al Qur’an mana yang menyatakan tentang nikah mut’ah maka mereka akan menjawab ayat berikut
Pajajaran Anyar, 17 April 2013
Nikah Mut’ah Antara Hukum Islam Dan Fitnah Wahabi (1)
Bantahan atas artikel blog “haulasyiah” -Syiah Menghalalkan Zina-
Banyak sekali fitnah beracun yang dihembuskan kaum wahhabi terhadap Syi’ah. Di antaranya adalah kekejian dan kepalsuan yang tersebar hampir dalam setiap paragraf tulisannya seperti dalam artikel: SYIAH MENGHALALKAN ZINA. Mengingat kejinya fitnah itu dan rancunya tulisan dalam artikel tersebut maka kami akan menaggapinya dalam dua tahapaan, pertama, kami akan paparkan permasalahan Nikah Mut’ah jauh dari tuduhan keji dalam artikel tersebut, kedua, menaggapi butir-butir fitnah dan kesalahan fatal dalam artikel tersebut. Selamat mengikuti.
Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?
Salah satu masalah fikih yang diperselisihkan antara pengikut Ahlulbait (Syiah) dan Ahlusunnah adalah hukum nikah Mut’ah. Tentang masalah ini ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, berikut ini akan kita bahas bersama.
Pertama: Defenisi Nikah Mut’ah.
Kedua: Tentang ditetapkannya mut’ah dalam syari’at Islam.
Ketiga: Tidak adanya hukum baru yang me-mansukh-kannya.
Keempat: Hadis-hadis yang menegaskan disyari’atkannya.
Kelima: Bukti-bukti bahwa Khalifah Umar-lah yang mengharamkannya.
Difinisi Nikah Mut’ah:
Ketika menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa’-seperti akan disebutkan di bawah nanti, Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya_pen), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.” [1] Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas.
Nikah Mut’ah Telah Disyari’atkan
Dalam masalah ini telah disepakati bahwa nikah mut’ah telah disyari’atkan dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah daa’im (permanen). Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah sepakat bahwa nikah Mut’ah telah ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal dharuruyyat minaddin (yang gamblang dalam agama). Alqur’an dan sunah telah menegaskan disyari’atkannya nikah Mut’ah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak?
Al-Maziri seperti dikutip al-Nawawi mengatakan, “Telah tetap (terbukti) bahwa nikah Mut’ah adalah boleh hukumnya di awal Islam… .” [2] Ketika menjelaskan sub bab yang ditulis Imam Bukhari: Bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (Bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
Ibnu Hajar mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.” [3]
Al-Syaukani juga menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan dan disyari’atkan dalam Islam, sebelum kemudian, katanya dilarang oleh Nabi saw., ia berkata, “Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini ialah nikah mut’ah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan tambahan إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu) [4]
Ibnu Katsir menegaskan, “Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah mut’ah, dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu ditetapkan dalam syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan… .” [5]
Ayat Tentang Disyari’atkannya Nikah Mut’ah
Salah satu ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di atas ialah firman Allah SWT.
“Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…” (QS:4;24)
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Dalam bahasa Arab kata mut’ah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja istamta’a artinya mengambil manfaat [6]
Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikah tersebut, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:
dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari, Al-Syaukani dan lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama mereka. Qadhi Iyaadh seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, awal Bab Nikah Mut’ah bahwa Ibnu Mas’ud membacanya dengan tambahan tersebut. Jumhur para ulama pun, seperti telah Anda baca dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah.
Catatan:
Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: اسْتَمْتَعْتُمْ, dan ia bukti kuat bahwa para sahabat itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!
Klaim Pe-mansukh-an Hukum Nikah Mut’ah Dalam Al qur’an
Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak disangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat naasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan ayat-ayat tersebut.
Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6) Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya menggauli seorang wanita karena dua sebab; pertama, hubungan pernikahan (permanen).Kedua, kepemilikan budak.
Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan bukan seorang istri.
Tanggapan:
Pertama-tama yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent) maupun akad nikah Mut’ah.
Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahulu dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!
Ketiga, Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az- zamakhsyari menukil Ibnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak mansukh)”. Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu Uyainah.
Keempat, Para imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.
Kelima, Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanen dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam, seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan antara keduanya.
Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:
1. Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saw. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan -dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!
2. Tafsiran para ulama dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saw. oleh para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.
4. Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akad nikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.
Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab(33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat di atas kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
Ayat Kedua dan Ketiga:
Allah SWT berfirman:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS:3;12)
Dan
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)iddahnya (yang wajar).” (QS65;1)
Keterangan:
Ringkas syubhat mereka dalam masalah ini ialah bahwa seorang istri itu dapat mewarisi suaminya, dan dapat diceraikan dan baginya hak mendapatkan nafkah dari suami. Semua ini adalah konsekuensi ikatan tali pernikahan. Sementara itu, dalam kawin Mut’ah hal itu tidak ada, seorang istri tidak mewarisi suaminya, dan hubungan itu berakhir dengan tanpa talak/tidak melalui proses penceraian, dan tiada atas suami kewajiban nafkah. Maka dengan memperhatikan ini semua Mut’ah tidak dapat disebut sebagai akad nikah, dan wanita itu bukanlah seorang istri!
Tanggapan Atas Syubhat di Atas
1. Syarat yang diberlakukan dalam akad Mut’ah sama dengan yang diberlakukan dalam nikah daim (permanen), sebagimana dalam nikah daim disyaratkan beberapa syarat, seperti, harus baligh, berakal (waras jiwanya), bukan berstatus sebagai hamba sahaya, harus ada saling rela, dan …demikian pula dalam nikah Mut’ah tanpa ada sedikitpun perbedaan. Adapun masalah talak, dan saling mewarisi, misalnya, ia bukan syarat sahnya akad pernikahan… ia adalah rentetan yang terkait dengannya dan tetap dengan tetap/sahnya akad itu sendiri. Oleh sebab itu hal-hal di atas tidak disebutkan dalam akad. Ia berlaku setelah terjadi kematian atau penceraian. Seandainya seorang istri mati tanpa meninggalkan sedikitpun harta waris, atau ia tidak diceraikan oleh suaminya hingga ia mati, atau suami menelantarkan sebagian kewajibannya, maka semua itu tidak merusak kebashan akad nikahnya. Demikian pula tentang nafkah dan iddah.
2. Redaksi akad yang dipergunakan dalam nikah daim tidak berbeda dengan yang dipergunakan dalam nikah Mut’ah, hanya saja pada Mut’ah disebutkan jangka waktu tertentu.
3. Antara dua ayat yang disebutkan dengan ayat Mut’ah tidak ada sedikit pertentangan. Anggapan itu hanya muncul karena ketidak fahaman semata akan batasan Muthlaq (yang mutlak tanpa ikatan) dan Muqayyad (yang diikat), yang umum dan yang khusus. Karena sesungguhnya ayat Mut’ah itu mengkhususkan ayat tentang pewarisan dan talak.
4. Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad nikah Mut’ah itu bukan seorang istri, maka anggapan itu tidak benar karena:
A. Sebab pewarisan itu bukanlah konsekuensi yang berkalu selamanya dalam pernikahan, yang tidak dapat berpisah sama sekali. Di sana ada pengecualian- pengecualian. Seorang wanita ditetapkan sebagai sitri namun demikian ia tidak mewairisi suaminya, seperti seorang istri yang berbeda agama (Kristen misalnya) dengan suaminya (Muslim), atau istri yang membunuh suaminya, atau seorang wanita yang dinikahi seorang laki-laki dalam keadaan sakit kemudian suami tersebut mati sebelum sempat berhubungan badan dengannya, atau apabila istri tersebut berstatus sebagai budak sahaya… bukankan dalam contoh kasus di atas wanita itu berstaus sebagai isri, namun demikian -dalam syari’at Islam- ia tidak mewarisi suaminya.
B. Ayat tentang warisan (ayat 12 surah An Nisaa’) adalah ayat Makkiyah sementara ayat Mut’ah adalah madaniyah. Maka bagaimana mungkin yang menasakh turun lebih dahulu dari yang dimansukh?!
5. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab tidak ada keharusan atas suami untuk memberi nafkah, maka anggapan ini juga tidak tepat, sebab:
A. Nafkah, seperti telah disinggung bukan konsekusensi pasti/tetap berlaku selamanya atas seorang suami terhadap istrinya. Dalam syari’at Islam, seorang istri yang nasyizah (memberontak kepada suaminya, tidak mau lagi berumah tangga), tiada kewajiban atas suami memberinya nafkah. Demikian disepakati para ulama dari seluruh mazhab.
B. Dalam akad Mut’ah sekali pun, kewajiban nafkah tidak selamanya gugur. Hal itu dapat ditetapkan berdasarkan syarat yang disepakati antara keduannya. Demikian diterangkan para fuqaha’ Syi’ah.
6. Adapun anggapan karena ia tidak harus melakukan iddah (menanti janggak waktu tertentu sehingga dipastikan ia tidak sedang hamil dari suami sebelumnya = tiga kali masa haidh) maka ia bukan seoarng istri. anggapan ini adalah salah, dan sekedar isu palsu, sebab seorang wanita yang telah berakhir janggka waktu nikah Mut’ah yang telah ditentukan dan disepakati oleh keduanya, ia tetap wajib menjalani proses iddah. Dalam fikih Syi’ah para fuqaha’ Syi’ah menfatwakan bahwa masa iddah atasnya adalah dua kali masa haidh.
7. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab ia berpisah dengan suaminya tanpa melalui proses perceraian, sementara dalam Al qur’an ditetapkan hukum perceraian bagi suami istri yang hendak berpisah. Maka hal itu tidak benar, sebab:
A. Perceraian bukan satu-satunya yang merusak akad penikahan. Seorang istri dapat saja berpisah dengan suaminya dengan tanpa perceraian, seperti pada kasus, apabila istri tersebut murtad, atau apabila ia seorang hamba sahaya kemudian ia dijual oleh tuannya, atau istri yang masih kanak-kanak, kemudian istri suami tersebut menyusuinya (sehingga ia menjadi anak susunya), atau ketika ibu suami itu menyusui anak istrinya… Atau istri seorang laki-laki yang murtad, atau istri yang terbukti terdapat padanya cacat, ‘uyuub yang menyebabkan gugurnya akad nikah, seperti apabila istri itu ternyata seorang wanita gila dan …. Bukankah dalam semua kasus di atas istri itu berpisah dari suaminya tanpa melalui proses talak?!
B. Seorang wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah tidak berarti selamanya menjadi monopoli suami itu yang tidak akan pernah bisa berpisah. Dalam nikah Mut’ah ketetapan tentang waktu berada di tangan si wanita dan pri itu. Merekalah yang menetukan jangka waktu bagi pernikahan tersebut.
C. Kedua ayat itu tidak mungkin dapat menasikhkan hukum nikah Mut’ah yang disepakati kaum Muslim (Sunni-Syi’ah) akan adanya di awal masa Islam.
Dan saya cukupkan dengan memaparkan contoh-contoh ayat yang diasumsikan sebagai penasakh hukum nikah Mut’ah yang telah ditetapkan dalam Ayat Mut’ah (ayat 24 surah An Nisaa’).
Dalil Sunnah
Adapun bukti dari sunnah Nabi saw. bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain” yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkam (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya. Selain riwayat dari “Imraan ibn Hushain”, sahabat-sabahat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Salamah ibn al-Akwa’, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Akwa’ ibn Abdullah, seperti diriwayatkan hadis-hadis mereka oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga Imam Muslim dalam Shahihnya juga menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah. Al-hasil, hadis tentang pernah disyari’atkannya bahkan masih tetap dihalalkannya nikah mut’ah banyak sekali dalam buku-buku hadis andalan Ahlusunah.
Hukum Nikah Mut’ah Tidak Pernah Dimansukhkan
Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.
Dan seperti telah Anda baca sebelumnya bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan Islam; Alqur’an turun untuk membenarkan praktik nikah tersebut, Nabi saw. mengizinkan para sahabat beliau melakukannya, dan beliau juga memerintahkan juru penyampai untuk mengumandangkan dibelohkannya praktik nikah mut’ah. Jadi atas yang mengaku bahwa hukum nikah mut’ah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya itu sekarang dilarang, maka ia harus mengajukan bukti.
Sementara itu, seperti akan Anda saksikan nanti, bahwa klaim adanya pengguguran (pe-mansuk-han) hukum tersebut adalah tidak berdasar dan tidak benar, ayat-ayat Alqur’an yang kata mereka sebagai pemansukh ayat mut’ah tidak tepat sasaran dan hanya sekedar salah tafsir dari mereka, sedangkan hadis-hadis yang mereka ajukan sebagai bukti adanya larangan juga centang perentang, saling kontradiksi, di samping banyak darinya yang tidak sahih. Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa hadis yang tegas-tegas mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah halal dan tidak pernah ada hukum Allah SWT yang mengharamannya.
Hadis Pertama: Hadis Abdullah ibn Mas’ud
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Qais ibn Abi Hazim ia mendengar Abdullah ibn Mas’ud ra. berkata:
“Kami berperang keluar kota bersama Rasulullah saw., ketika itu kami tidak bersama wanita-wanita, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengebiri diri?”, maka beliau melarang kami melakukannya lalu beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) bitstsaub, sebuah baju. Setelah itu Abdullah membacakan ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS:5;87)“
Hadis di atas dapat Anda temukan dalam:
1. Shahih Bukhari:
Kitabut tafsir, bab Qauluhu Ta’ala يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ . xxxx [7]
Kitabun Nikah, bab Ma Yukrahu minat Tabattul wal Khashbaa’. [8]
2. Shahih Muslim:
Kitabun Nikah, bab Ma Ja’a fi Nikah al-Mut’ah [9]
Ketika menerangkan hadis di atas, Ibnu Hajar dan al-Nawawi mengatakan:
“kata-kata ‘beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) sebuah baju’ sampai jangka waktu tertentu dalam nikah mut’ah… .” Ia juga mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut oleh Ibnu Mas’ud adalah isyarat kuat bahwa beliau meyakni dibolehkannya nikah mut’ah, seperti juga Ibnu Abbas.
Hadis Kedua: Hadis Jabir Ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’ ra.
A. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan ibn Muhammad dari Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn Al-Akwa’ keduanya berkata:
“Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah rasul (utusan) Rasulullah sa., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.”
Hadis di atas dapat Anda baca dalam:
1. Shahih Bukhari: Kitabun Nikah, bab Nahyu Rasulillah saw ‘An-Nikah al-Mut’ah ‘Akhiran. [10]
2. Shahih Muslim: Kitabun Nikah, bab Nikah al-Mut’ah. [11]
B. Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’: Sesungguhnya Rasulullah saw. datang menemui kami dan mengizinkan kami untuk bermut’ah. [12]
Hadis Ketiga: Hadis Jabir ibn Abdillah:
A. Muslim meriwayatkan dari Atha’, ia berkata:
“Jabir ibn Abdillah datang untuk umrah, lalu kami mendatanginya di tempat tinggalnya dan orang-orang bertanya kepadanya banyak masalah, kemudian mereka menyebut-nyebut mut’ah, maka Jabir berkata, “Kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.” [13]
B. Dari Abu Bashrah, ia berkata:
“Aku berada di sisi Jabir lalu datanglah seseorang dan berkata, ” Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang dua jenis mut’ah”. Jabir berkata,” Kami melakukannya bersama Rasululah saw., kemudian Umar melarang melaksanakan keduanya, maka kami tidak kembali (melakukannya) lagi.” [14]
C. Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata:
“Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.” [15]
Ibnu Jakfari berkata:
Jelaslah bahwa maksud Jabir dengan ucapannya bahwa “Kami bermut’ah di masa Rasulullah…”, “Kami melakukannya bersama Rasululah saw” bukanlah bahwa saya sendirian melakukannya hanya sekali saja, akan tetapi ia hendak menjelaskan bahwa kami (saya dan rekan-rekan sahabat Nabi saw.) melakukannya banyak kali, dan dengan sepengetahuan Nabi saw., beliau membenarkannya dan tidak melarangnya sampai beliau dipanggil Allah SWT ke alam baqa’. Dan ini adalah bukti kuat bahwa tidak pernah ada pengharaman dari Allah dan Rasul-Nya, nikah mut’ah tetap halal hingga hari kiamat, sebab “halalnya Muhammad saw. adalah halal hingga hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram hingga hari kiamat”, kecuali jika kita meyakini bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad saww dan ada wahyu baru yang diturunkan Jibril as. setelah sempurnanya agama Islam.
Adapun arahan sebagian ulama, seperti al-Nawawi yang mengatakan bahwa para sahabat mulia itu mempraktikan nikah mut’ah di masa hidup Nabi saw. dan juga di masa kekhalifahan Abu Bakar dan beberapa tahun masa kekhalifahan Umar itu dikarenakan mereka belum mengetahui pemansukhan hukum tersebut, adalah ucapan tidak berdasar, sebab bagainama mungkin pemansukhan itu samar atas para sahabat itu -dan tidak jarang dari mereka yang dekat persahabatannya dengan Nabi saw.-, sementara pemansukhan itu diketahui oleh sahabat-sabahat “cilik” seperti Abdullah ibn Zubair atau yang lainnya?!
Bagaimana mungkin juga hukum pengharaman mut’ah itu juga tidak diketahui oleh Khalifah Umar, sehingga ia membiarkan praktik nikah mut’ah para sabahat, dan baru sampai kepadanya berita pemansukhan itu di masa akhir kekhalifahannya?! Ketika menerangkan ucapan Jabir, “sampai Umar melarangnya”, Al-Nawawi berkata, “Yaitu ketika sampai kepadanya berita pemansukhan.”[16]
Selain itu jelas sekali dari ucapan Jabir bahwa ia menisbatkan pengharaman/ larangan itu kepada Umar “sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits”. Jadi larangan itu bukan datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, ia datang dari Khalifah Umar dalam kasus Amr ibn Huraits. Umar sendiri seperti telah Anda baca dalam pidatonya menegakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada di masa Rasululah saww. dan beliau menghalalkannya, namun ia (Umar) melarangnya!
Coba Anda perhatikan hadis di bawah ini: Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubranya dari Abu Nadhrah dari Jabir ra.:
saya (Abu Nadhrah) berkata, ” Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya”. Maka jabir berkata, “Di tangan sayalah hadis ini berputar, kami bermut’ah bersama Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. dan ketika Umar menjabat sebagai Khalifah ia berpidato di hadapan orang-orang, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah saw. adalah Rasul utusan Allah, dan Alqur’an adalah Alqur’an ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah saw., tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya, salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.” [17]
Dan selain hadis yang telah disebutkan di atas masih banyak hadis-hadis lain yang sengaja saya tinggalkan, sebab apa yang telah disebut sudah cukup mewakili.
Dan kini mari kita meyimak hadis-hadis yang mengharamkan nikah Mut’ah.
Riwayat-riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah
Setelah kita simak sekelumit hadis yang menerangkan tetap berlakunya hukum kehalalan nikah mut’ah, maka sekarang kami akan mencoba menyajikan beberapa hadis terkuat yang dijadikan hujjah oleh mereka yang meyaniki bahwa hukum halalnya nikah mut’ah telah dimansukhkan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa kasus pengharaman nikah mut’ah -dalam pandangan yang mengharamnkan- adalah terbilang kasus aneh yang tidak pernah dialami oleh satu hukum Islam lainnya, yaitu dihalalkan kemudian diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi. Dan sebagiannya hanya berlangsung beberapa hari saja. [18]
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menulis sebuah judul, “Bab Nikah-ul Mut’ah wa Bayaanu ‘Annahu Ubiiha Tsumma Nusikha Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha wa istaqarra Tahriimuhu Ila yaumil Qiyamah (Bab tentang Nikah mut’ah dan keterangan bahwa ia dibolehkan kemudian dimansukkan kemudian dibolehkan kemudian di mansukhkan dan tetaplah pengharaman hingga hari kiamat)”.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.” [19]
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:
“Masalah kesepuluh: para ulama berselisih pendapat berapa kali ia dibolehkan dan mansukhkan… ia mengatakan bahwa mut’ah pada awalnya dilarang kemudian dibolehkan kemudian Nabi melarang pada perang Khaibar kemudian mengizinkan lagi pada fathu Makkah kemudian mengharamkannya setelah tiga hari berlaku dan ia haram hingga hari kiamat. Ibnu al-Arabi berkata: “Adapun nikah mut’ah ia termasuk hukum syari’at yang aneh sebab ia dibolehkan pada awal masa Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar kemudian dibolehkan pada perang Awthas kemudian di haramkan setelah itu dan tetaplah pengharaman, dan tidak ada yang menyamainya kecuali masalah kiblat… ulama lain yang telah merangkum hadis-hadis masalah ini mengatakan ia meniscayakan adanya penghalalan dan pengharaman sebanyak tujuh kali…”. [20]
Kemudian ia menyebutkan tujuh peristiwa dan kesempatan penghalalan dan pengharaman nikah mut’ah tersebut yang terbilang aneh yang tetuntunya mengundang kecurigaan akan kebenarnnya itu. Sebab kesimpulan ini diambil sebenarnya karena mereka menerima sekelompok hadis yang mengharamkan nikah tersebut, sementara hadis-hadis itu tidak sepakat dalam menyebutkan waktu ditetapkannya pengharaman, akaibatnya harus dikatakan bahwa ia terjadi bebarapa kali. Hadis-hadis tentangnya dapat kita kelompokkan dalam dua klasifikasi global,
pertama, hadis-hadis yang dipandang lemah dan cacat baik sanad maupun matannya oleh para pakar dan ulama Ahlusunnah sendiri. Hadis-hadis kelompok ini tidak akan saya sebutkan dalam kajian kali ini, sebab pencacatan para pakar itu sudah cukup dan tidak perlu lagi tambahan apapun dari saya, dan sekaligus sebagai penghematan ruang dan pikiran serta beban penelitian yang harus dipikul.
Kedua, hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun pada dasarnya ia tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia diproduksi belakangan oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan Allah SWT”, hasbatan, untuk mendukung dan membenarkan kebijakan para khulafa’.
Dan untuk membuktikan hal itu saya perlu melakukan uji kualitas kesahihan hadis sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar dan ulama.
Hadis Pertama:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Nasa’i, al-Baihaqi dan Mushannaf Abdir Razzaq, (dan teks yang saya sebutkan dari Mushannaf) dari Ibnu Syihab al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan keduanya putra Muhammad ibn Ali (Hanafiyah) dari ayah mereka, bahwa ia mendengar Ali berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya kamu benar-benar seorang yang taaih (bingung dan menyimpang dari jalan mustaqiim), sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarangnya (nikah mut’ah) pada hari peperangan Khaibar dan juga mengharamkan daging keledai jinak.” [21]
Hadis di atas dengan sanad yang sama dan sedikit perbedaan dalam redaksinya dapat Anda jumpai dalam Shahih Bukhari, Sunan Abu Daud, Ibnu Majah, al-Turmudzi, al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan al-Thayalisi dll.[22]
Hadis kedua:
Para muhaddis meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari ra. bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya nikah mut’ah itu hanya dihalalkan khusus untuk kami para sahabat Rasulullah saw. untuk jangka waktu tiga hari saja kemudian setelahnya Rasulullah saw. melarangnya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Itu dibolehkan karena rasa takut kita dan karena kita sedang berperang.” [23]
Hadis Ketiga:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Darimi, Ibnu Majah, Abu Daud, dan lainnya (redaksi yang saya sebutkan in dari Muslim) dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia berperang bersama Rasulullah saw. menaklukkan kota Mekkah. Ia berkata,
“Kami tinggal selama lima belas hari (tiga puluh malam dan siang), maka Rasulullah saw. mengizinkan kami menikahi wanita dengan nikah mut’ah. Lalu saya dan seseorang dari kaumku keluar, dan aku memiliki kelebihan ketampanan di banding dia, ia sedikit jelek, masing-masing kami membawa selimut, selimutku agak jelek adapun selimut miliknya baru, sampailah kami dibawah lembah Mekkah atau di atasnya, kami berjumpa dengan seorang wanita tinggi semanpai dan lincah, kami berkata kepadanya, “Apakah Anda sudi menikah mut’ah dengan salah seeoarng dari kami?” wanita itu bertanya, “Apa yang akan kalian berikan sebagai mahar?”. Maka masing-masing dari kami membeberkan selimutnya, wanita itu memperhatikan kami, dan ia melihat bahwa temanku memperhatikan dirinya dari kaki hingga ujung kepala, temanku berkata, “Selimut orang ini jelek sedangkan selimutku baru”. Kemudian wanita itu megatakan, “Selimut orang itu lumayan. Ia ucapkan dua atau tiga kali. Kemudian saya menikahinya dengan nikah mut’ah, dan aku belum menyelesaikan jangka waktuku melainkan Rasululah saw. telah mengharamkannya. [24]
Dalam riwayat lain: Rasulullah saw. bersabda, “Hai manusia! Sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian bermut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sekarang hingga hari kiamat.” [25]
Dalam riwayat lain: “Aku menyaksikan Rasulullah berdiri diantara rukun dan maqam (dua sudut ka’bah) sambil bersabda…. (seperti sabda di atas)”. [26]
Dalam riwayat lain: “Rasululah memerintah kami bermut’ah pada tahun penaklukan kota Mekkah ketika kami memasuki kota tersebut, kemudian kami tidak keluar darinya melainkan beliau telah melarangnya”. [27]
Dalam riwayat lain: “Aku benar-benar telah bermut’ah di masa Rasulullah saw. dengan seorang wanita dari suku bani ‘Amir dengan mahar dua helai selimut berwarna merah kemudian Rasulullah saw. melarang kami bermut’ah”. [28]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada Fathu Makkah”. [29]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang mut’ah, beliau bersabda, “Sesungguhnya ia haram sejak hari ini hingga hari kiamat”. [30]
Dalam Sunan Abu Daud, al-Baihaqi dan lainnya diriwayatkan dari Rabi’ ibn Saburah, ia berkata, “Aku bersaksi atas ayahku bahwa ia menyampaikan hadis bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada haji wada“. [31]
Dalam riwayat lain: “Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada fathu Mekkah”. [32]
Hadis Keempat:
Dalam Shahih Muslim, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan lainya (dan redaksi yang saya kutip adalah dari Muslim) diriwayatkan dari Salamah ibn al-Akwa’, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan pada tahun perang Awthas untuk bermut’ah selama tiga hari kemudian beliau melarangnya.” [33] Awthas adalah lembah di kota Thaif. Dan perlu Anda ketahui bahwa peristiwa Awthas terjadi beberapa bulan setelah fathu Mekkah, walaupun dalam tahun yang sama. [34]
Inilah beberapa hadis yang menjadi andalah dan sandaran terkuat pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi saw. dan saya berusaha meriwayatkannya dari sumber-sumber terpercaya. Dan kini mari kita telaah hadis-hadis di atas tersebut.
Tentang hadis Imam Ali as. Ada pun tentang hadis Imam Ali as. yang diriwayatkan Zuhri melalui dua cucu Imam Ali as.; Abdullah dan Hasan putra Muhammad ibn Ali as. yang mendapat sambutan luar biasa sehingga hampir semua kitab [35] hadis berebut “hak paten” dalam meriwayatkannya, -tidak seperti biasanya dimana kitab- kitab itu kurang antusias dalam meriwayatkan hadis-hadis dari beliau as. dan tidak memberikan porsi layak bagi hadis-adis Imam Ali as. seperti porsi yang diberikan kepada riwayat-riwayat para sahabat yang berseberangan dengan beliau dan yang diandalkan oleh para penentang Ali as. dan Ahlulbait Nabi saw.-.
Adapun tentang hadis Imam Ali di atas maka ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentangnya.
Pertama,
ia dari riwayat Zuhri, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az Zuhri lahir pada tahun 58 H dan wafat tahun 124H. Ia dekat sekali dengan Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik dan pernah dijadikan qodhi (jaksa) oleh Yazid bin Abdul Malik. Ia dipercaya Hisyam menjadi guru privat putra-putra istana. Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib-nya [36] menyebutkan, “Hisyam memerintahnya untuk mengajarkan kepada putra-putranya hadis, lalu ia mendektekan empat ratus hadis”.
Tampaknya Zuhri sangat diandalkan untuk meramu riwayat demi mendukung kepentingan rezim bani Umayyah yang berkuasa saat itu dengan menyajikan riwayat-riwayat yang berseberangan dengan ajaran Ahlulbait as. namun justru dia sajikan dengan menyebut nama para pemuka Ahlulbait as. sendiri, atau riwayat-riwayat yang justru melecehkan keagungan Ahlulbait as., namun sekali lagi ia sajikan dengan mengatas-namakan pribadi-pribadi agung Ahlulbait as., seperti tuduhannya melalui riwayat yang ia produksi bahwa Imam Ali dan Fatimah as. melakukan tindakan kekafiran dengan menentang Nabi saw. Zuhri tampaknya memilih spesialisasi dalam bidang ini. Dan adalah aneh seorang Zuhri yang dikenal benci kepada Imam Ali as. tiba-tiba sekarang tampil sebagai seorang muhaddis yang sangat peduli dalam menyampaikan riwayat-riwayat dari Ali as.
Ibnu Abi al-Hadid, ketika menyebut nama-nama para perawi yang membenci Imam Ali as, ia menyebut, “Dan Zuhri adalah termasuk yang menyimpang dari Ali as”. [37]
Sufyan bin Wakii’ menyebutkan bahwa Zuhri memalsukan banyak hadis untuk kepentingan Bani Marwan. Ia bersama Abdul Malik melaknat Ali as. Asy-Syadzkuni meriwayatkan dari dua jalur sebuah berita yang menyebutkan bahwa Zuhri pernah membunuh seorang budaknya tanpa alasan yang dibenarkan. [38]
Kedua,
terlepas dari penilaian kita terhadap kualitas salah satu mata rantai perawi dalam hadis tersebut yang telah Anda baca, maka di sini ada beberapa catatan yang perlu Anda perhatikan. Pertama: Dalam hadis tersebut ditegaskan bahwa Imam Ali as. menegur dan menyebut Ibnu Abbas ra. sebagai seorang yang menyimpang karena ia masih menghalalkan nikah mut’ah padahal nikah tersebut telah diharamkan pada peristiwa peperangan Khaibar. Selain nikah mut’ah, daging keledai jinak juga diharamkan saat itu. Jadi menurut Imam Ali as. keduanya diharamkan pada peristiwa tersebut.
Di sini kita perlu meneliti kedua masalah ini, akan tetapi karena yang terkait dengan masalah kita sekarang adalah nikah mut’ah maka telaah saya akan saya batasi pada pengharaman nikah mut’ah pada hari Khaibar.
Pengharaman nikah Mut’ah pada hari Khaibar
Pengharaman Nabi saw. atas nikah mut’ah pada peristiwa Khaibar, seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah sendiri, seperti Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar dkk. tidak sesuai dengan kanyataan sejarah, sebab beberapa tahun setelah itu nikah mut’ah masih dibolehkan oleh Nabi saw., seperti contoh pada tahun penaklukan kota Mekkah. Oleh karenanya sebagian menuduh Imam Ali as. bodoh dan tidak mengetahui hal itu, sehingga beliau menegur Ibnu Abbas dengan teguran yang kurang tepat, sebab, kata mereka semestinya Imam Ali as. berhujjah atas Ibnu Abbas dengan pengharaman terakhir yaitu pada penaklukan kota Mekkah agar hujjah sempurna, dan kalau tidak maka hujjah itu tidak mengena[39]
Selain itu, dalam peristiwa penyerangan ke kota Khaibar, tidak seorangpun dari sahabat Nabi saw. yang bermut’ah dengan wanita-wanita yahudi, dan mereka tidak juga memohon izin kepada Nabi saw. untuk melakukannya. Tidak seorangpun menyebut-nyebut praktik sabahat dan tidak ada sebutan apapun tentang mut’ah. Di kota Khaibar tidak ada seorang wanita muslimahpun sehingga sah untuk dinikahi secara mut’ah, sementara dihalalkannya menikah dengan wanita yahudi itu belum disyari’atkan, ia baru disyari’atkan setelah haji wada’ dengan firman Allah ayat 5 surah al-Maidah. Demikian ditegaskan Ibnu Qayyim dalam Zaad al-Ma’aad. [40]
Ketika menerangkan hadis Imam Ali as. dalam kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, Ibnu Hajar al-Asqallani menegaskan, “Dan kata pada hari Khaibar bukan menunjukkan tempat bagi diharamkannya nikah mut’ah, sebab dalam ghazwah (peperangan) itu tidak terjadi praktik nikah mut’ah”. [41]
Ibn Hajar juga menukil al-Suhaili sebagai mengatakan, “Dan terkait dengan hadis ini ada peringatan akan kemusykilan, yaitu sebab dalam hadis itu ditegaskan bahwa larangan nikah mut’ah terjadi pada peperangan Khaibar, dan ini sesuatu yang tidak dikenal oleh seorangpun dari ulama pakar sejarah dan perawi atsar/data sejarah. [42]
Al-hasil, hadis tersebut di atas tegas-tegas mengatakan bahwa pada peristiwa Khaibar Nabi mengharamkan nikah mut’ah dan juga keledai, Ibnu Hajar berkomentar, “Yang dzahir dari kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar adalah menunjuk waktu pengharaman keduanya (mut’ah dan daging keledai)” [43] , sementara sejarah membuktikan bahwa pada peristiwa itu sebenarnya tidak terjadi pengharaman, sehingga untuk menyelamatkan wibawa hadis para muhadis agung itu, mereka meramu sebuah solusi yang mengatakan bahwa hadis Imam Ali as. itu hanya menujukkan pengharaman keledai saja, adapun pengharaman nikah mut’ah sebenarnya hadis itu tidak menyebut-nyebutnya barang sedikitpun!
Penafsiran nyeleneh ini disampaikan oleh Sufyaan ibnu Uyainah, ia berkata, “Kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar hanya terkait dengan waktu pengharaman keledai jinak bukan terkait dengan nikah mut’ah.” [44]
Dan upaya untuk mengatakan bahwa hadis itu tidak menunjukkan pengharaman nikah mut’ah pada zaman Khaibar yang dilakukan sebagian ulama hanya karena mereka terlanjur mensahihkan hadis-hadis yang mengatakan bahwa sebenarnya nikah mut’ah itu masih dibolehkan setelah zaman Khaibar. Demikian diungkap oleh Ibnu Hajar. [45]
Akan tetapi arahan itu sama sekali tidak benar, ia menyalahi kaidah bahasa Arab dan lebih mirip lelucon, sebab;
A. Dalam dialek orang-orang Arab dan juga bahasa apapun, jika Anda mengatakan, misalnya
أَكْرَمْتُ زَيْدًا و عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ
“Saya menghormati Zaid dan ‘Amr pada hari jum’at”
maka semua orang yang mendengarnya akan memahami bahwa penghormatan kepada keduanya itu terjadi dan dilakukan pada hari jum’at.
Bukan bahwa dengan kata-kata itu Anda hanya bermaksud menghormati ‘Amr saja, sementara terkait dengan pak Zaid Anda tidak maksudkan, penghormatan itu mungkin Anda berikan pada hari lain. Sebab jika itu maksud Anda semestinya Anda mengatakan
أَكْرَمْتُ زَيْدًا و أَكْرَمْتُ عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ
“Saya menghormati Zaid , dan saya menghormati ‘Amr pada hari jum’at”.
Dalam riwayat itu kata kerja nahaa itu hanya disebut sekali, oleh karena itu ia mesti terkait dengan kedua obyek yang disebutkan setelahnya. Dan saya tidak yakin bawa para ulama itu tidak mengerti kaidah dasar bahasa Arab ini.
B. Anggapan itu bertentangan dengan banyak riwayat hadis Imam Ali as. dan juga dari Ibnu Umar yang diriwayatkan para tokoh muhadis, seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad yang tegas-tegas menyebutkan bahwa waktu pengharaman nikah mut’ah adalah zaman Khaibar. Merka meriwayatkan:
“Rasulullah saw. melarang nikah kmut’ah pada hari Khaibar, dan juga daging keledai”. [46]
Ibnu Jakfari berkata:
Bagaimana kita dapat benarkan riwayat-riwayat kisah pengharaman itu baik di hari Khaibar maupun hari dan kesempatan lainnya, sementara telah datang berita pasti dan mutawatir bahwa Khalifah Umar ra. berpidato mengatakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada dan berlaku di masa hidup Nabi saw. akan tetapi saya (Umar) melarang, mengharamkan dan merajam yang melakukan nikahnya:
“Ada dua bentuk mut’ah yang keduanya berlaku di sama Rasulullah saw., aku melarang keduannya dan menetepkan sanksi atas (yang melaksanakan) keduanya: haji tamattu’ dan nikah mut’ah. [47]
Bagaiamana dapat kita benarkan riwayat-riwayat itu sementara kita membaca bahwa Jabir ibn Abdillah ra. berkata dengan tegas, “kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.” [48]
Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.” [49]
Bagaimana kita dapat menerima riwayat hadis-hadis yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di masa Nabi saw. oleh beliau sendiri, sementara itu Khalifah Umar tidak pernah mengetahuinya, tidak juga Khalifah Abu Bakar dan tidak juga para sahabat dan tabi’in mengetahuinya, bahkan sampai zaman kekuasaan Abdullah ibn Zubair -setelah kematian Yazid ibn Mu’awiyah- dan tidak juga seorang dari kaum Muslim mengetahui riwayat-riwayat sepeti itu. Andai mereka mengetahuinya pasti ia sangat berharga dan sangat mereka butuhkan dalam mendukung pendapat mereka tentang pengharaman nikah mut’ah tersebut.
Dan pastilah para pendukung kekhalifahan akan meresa mendapat nyawa baru untuk membela diri dalam pengharaman sebagai tandingan bukti-bukti sunah yuang selalu di bawakan sahabat-sabahat lain yang menhalalkan nikah mut’ah seperti Ibnu Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Jabir, misalnya.
Dalam perdebatan yang terjadi antara pihak yang mengharamkan dan pihak yang menhalalkan mereka yang mengharamkan tidak pernah berdalil bahwa Rasulullah saw. telah mengharamkannya di Khaibar… atau pada peristiwa penaklukan kota Mekkah dan lain sebaigainya. Bagaimana mungkin hadis Imam Ali as. dapat kita terima sementara kita menyaksikan bahwa beliau bersabda:
“Andai bukan karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah pastilah tidak akan berzina kecuali orang yang celaka”.Demikian disebutkan ar Razi dari al-Thabari. [50]
Dan Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dari Imam Ali as. beliau bersabda:
“Andai bukan karena Umar ibn Khaththab sudah melarang nikah mut’ah pastilah akan aku perintahkan dengannya dan kemudian tidaklah menlakukan zina kecuali orang yang celaka”. [51]
Bagaimana mungkin kita menerima riwayat para ulama itu dari Imam Ali as. yang menegur Ibnu Abbas ra. sementara kita menyaksikan Ibnu Abbas adalah salah satu sahabat yang begitu getol menyuarakan hukum halalnya nikah mut’ah, beliau siap menerima berbagai resiko dan teror dari Abdullah ibn Zubair pembrontak yang berhasil berkuasa setelah kematian Yazid?
Apakah kita menuduh bahwa Ibnu Abbas ra. degil, angkuh menerima kebenaran yang disampaikan maha gurunya; Imam Ali as. sehingga ia terus saja dalam kesesatan pandangannya tentang halalnya nikah mut’ah? Adapun dongeng-dengeng yang dirajut para sukarelawan bahwa Ibnu Abbas bertaubat dan mencabut fatwanya tentang halalnya nikah mut’ah, adalah hal mengelikan setelah bukti-bukti tegak dengan sempurna bahwa ia tetap hingga akhir hayatnya meyakni kehalalan nikah mut’ah dan mengatakannya sebagai rahmat dan kasih sayang Allah SWT untuk hamb-hamba-Nya:
Tiada lain mut’ah itu adalah rahmat, dengannya Allah merahmati umat Muhammad saw., andai bukan karena larangan Umar maka tiada membutuhkan zina kecuali seorang yang celaka. [52]
Bagaimana dongeng rujuknya Ibnu Abbas ra. dapat dibenarkan sementara seluruh ahli fikih kota Mekkah dan ulama dari murid-muridnya meyakini kehalalan nikah mut’ah dan mengatakan bahwa itu adalah pendapat guru besar mereka?!
Pertama,
seperti Anda saksikan bahwa banyak atau kebanyakan dari riwayat-riwayat para muhadis Ahlusunnah tentang pengharaman nikah mut’ah adalah dari riwayat Rabii’ -putra Saburah al-Juhani- dari ayahnya; Saburah al-Juhani. Hadis-hadis riwayat Saburah al-Juhani tentang masalah ini berjumlah tujuh belas, Imam Muslim meriwayatkan dua belas darinya, Imam Ahmad meiwayatkan enam, Ibnu Majah meriwayatkan satu hadis. Dan di dalamnya terdapat banyak berbeda-beda dan ketidak akuran antara satu riwayat dengan lainnya.
Di antara kontradiksi yang ada di dalamnya ialah:
A. Dalam satu riwayat ia menyebutkan bahwa yang bermut’ah dengan wanita yang ditemui adalah ayahnya, sementara dalam riwayat lain adalah temannya.
B. Dalam sebuah riwayat ia menyebutkan bahwa bersama ayahnya adalah temannya dari suku bani Sulaim, sementara dalam riwayat lain adalah anak pamannya.
C. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa mahar yang diberikan kepada wanita itu adalah sehelai kain selimut, sementara dalam riwayat lainnya ia mengatakan dua selimut berwarna merah.
D. Sebagian riwayatnya mengatakan bahwa wanita itu memilih ayahnya karena ketampanan dan ayahnya masih muda sementara yang lain mengatakan karena selimut ayahnya masih baru.
E. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sempat bersama wanita itu selama tiga hari sebelum akhirnya dilarang Nabi saw. sementara yang lainnya mengatakan bahwa hanya semalam, dan keesokan harinya telah dilarang.
F. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sejak hari pertama kedatangan di kota Mekkah telah keluar mencari wanita yang mau dinikahi secara mut’ah, sementara yang lainnya mengatakan bahwa itu setelah lima belas hari, setelah Nabi saw. mendapat laporan bahwa wanita-wanita di Mekkah tidak mau kecuali nikah dengan jangka waktu, kemudian Nabi saw. mengizinkan dan Saburah pun keluar mencari wanita yang mau dinikahi. Dan masih banyak pertentangan lain yang dapat disaksikan dalam riwayat-riwayat yang dikutip dari Rabi’ ibn Saburah, seperti apakah ayahnya sebelumnya telah mengetahui konsep nikah mut’ah, atau belum, ia baru tahu dan diizinkan Nabi saw. setelah wanita-wanita kota Mekkah enggan kecuali nikah dengan jangka waktu.
Kedua,
disamping itu kita menyaksikan bahwa Saburah ayah Rabi’ -sang perawi- mendapat izin langsung dari Rasulullah saw. untuk bermut’ah, atau dalam riwayat lain Nabi-lah yang memerintah para sahabat beliau untuk bermut’ah dihari-hari penaklukan (fathu) kota Mekkah, dan setelah ia langusng merespon perintah atau izin itu, dan ia mendapatkan pada hari itu juga wanita yang ia nikahi secara mut’ah tiba-tiba keesokan harinya ketika ia salat subuh bersama Nabi saw. beliau berpidato mengharamkan nikah mut’ah yang baru saja beliau perintahkan para sahabat beliau untuk melakukannya, logiskah itu?! Dalam sekejap mata, sebuah hukum Allah SWT berubah-ubah, hari ini memerintahkan keesokan harinya mengharamkan dengan tanpa sebab yang jelas!Tidakkah para pakar kita perlu merenungkan kenyataan ini?!
Ketiga,
terbatasnya periwayatan kisah Saburah hanya pada Rabi’ putranya mengundang kecurigaan, sebab kalau benar ada pe-mansuk-han kehalalan nikah mut’ah pastilah para sahabat besar mengetahuinya, seperti tentang penghalalan yang diriwayatkan oleh para sahabat besar dan dekat.
Keempat,
riwayat Rabi’ ibn Saburah itu bertentangan dengan riwayat para sahabat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, ‘Imraan ibn Hushain, Salamah ibn al-Akwa’ dan kawan-kawan.
Dan riwayat-riwayat mereka tidak mengahadapi masalah-masalah seperti yang menghadangf riwayat-riwayat Rabi’ ibn Saburah.
Catatan Penting!
Sebenarnya dalam peristiwa itu tidak ada pengharaman yang ada hanya Nabi saw. memerintah para sahabat yang bermut’ah dan jangka waktunya belum habis agar meninggalkan wanita-wanita itu sebab Rasulullah saw. bersama rombongan akan segera meninggalkan kota Mekkah. Akan tetapi para sukarelawan itu memanfaatkan hal ini dan memplesetkannya dengan menambahkan bahwa Nabi berpidato mengharamkannya. Sekali lagi, Nabi saw. hanya memerintahkan para sahabat beliau yang bermut’ah agar menghibahkan sisa waktu nikah mut’ah mereka kepada wanita-wanita itu sebab rombongan segera meninggalkan kota suci Mekkah.
Hal ini dapat Anda temukan dalam riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, dan al-Baihaqi dalam Sunannya, juga dari Sabrah. Dari Rabi’ ibn sabrah al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan kami bermut’ah, lalu aku bersama seorang berangkat menuju seeorang wanita dari suku bani ‘Amir, wanita itu muda, tinggi semampai berleher panjang, kami menawarkan diri kami, lalu ia bertanya, “Apa yang akan kalian berikan?” Aku menjawab, “Selimutku”. Dan temanku berkata, “Selimutku”. Selimut temanku itu lebih bagus dari selimutku tapi aku lebih muda darinya. Apabila wanita itu memperhatikan selimut temanku, ia tertarik, tapi ketika ia memandangku ia tertarik denganku. Lalu ia berkata, “Kamu dan selimutmu cukup buatku! Maka aku bersamanya selama tiga hari, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di sisinya ada seorang wanita yang ia nikahi dengan mut’ah hendaknya ia biarkan ia pergi/tinggalkan”. [53]
Dalam pernyataan itu tidak ada pengharaman dari Nabi saw. Ada pun hadis Abu Dzar, adalah aneh rasanya hukum itu tidak diketahui oleh semua sahabat sepanjang masa hidup mereka sepeninggal Nabi saw. termasuk Abu Bakar dan Umar, hingga sampai dipenghujung masa kekhalifahan Umar, ia baru terbangun dari tidur panjangnya dan mengumandangkan suara pengharaman itu. Jika benar ada hadis dari Nabi saw., dimanakah hadis selama kurun waktu itu.Yang pasti para sukarelawan telah berbaik hati dengan membantu Khalifah Umar ra. jauh setelah wafat beliau dalam memproduksi hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw., agar kebijakan pengharaman itu tidak berbenturan dengan sunah dan ajaran Nabi saw. dan agar Khalifah Umar tampil sebagai penyegar sunah setelah sekian belas tahun terpasung.
Dan kebaikan hati sebagian ulama dan muhadis berhati luhur dengan memalsu hadis bukan hal aneh, dan saya harap anda tidak kaget. Karena memang demikian adanya di dunia hadis kita; kaum Muslim. Tidak semua para sukarelawan yang memalsu hadis orang bejat dan jahat, berniat merusak agama, tidak jarang dari mereka berhati luhur, rajin dan tekun beribadah, hanya saja mereka memiliki sebuah kegemaran memalsu hadis atas nama Rasulullah saw. Dan para sukarelawan model ini adalah paling berbahaya dan mengancam kemurnian agama, sebab kebanyakan orang akan terpesona dan kemudian tertipu dengan tampilan lahiriah yang khusu’ dan simpatik mereka. Demikian ditegaskan ulama seperti Al Nawawi dan Al Suyuthi. (bersambung )
CATATAN KAKI
[1] Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506
[2] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9179, bab Nikah al-Mut’ah.
[3] Fathu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
[4] Tafsir Fathu al-Qadir.1,449.
[5] Tafsir Ibnu Katsir.1,474.
[6] Ibid.
[7] Fathu al-Baari.17,146, hadis no.4615.
[8] Ibid.19,142-143, hadis no.5075.
[9] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182.
[10] Fathu al-Baari.19,206-207, hadis no.5117-5118.
[11] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182. hanya saja kata rasul (utusan) diganti dengan kata munaadi (pengumandang pengumuman).
[12] Ibdi.183.
[13] Ibid.183.
[14] Ibdi.184.
[15] Ibid.183-184.
[16] Ibid.183.
[17] Al-Sunan al-Kubra, Kitab al-Mut’ah, Bab Nikah-ul Mut’ah.7,206 dan ia mengatakan bahwa hadis ini juga diriwayatkan Muslim dari jalur lain dari Hummam.
[18] Keterangan lebih lanjut baca Fath al-Baari.19,201 203 dan Syarah al-Nawawi atas Shahih Muslim,9179-180.
[19] Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.
[20] Al-Jaami’ Li Ahkaami Alqur’an.5130-131.
[21] Shahih Muslim (dengan syarah al-Nawawi), Kitab al-Nikah, bab Nikah-ul Mut’ah.9,189-190, dua hadis terakhir dalam bab tersebut, Sunan al-Nasa’i, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan al-Baihaqi, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah.7,201, Mushannaf Abdur Razzaq.7,36 dan Majma’ al-Zawaid.4,265.
[22] Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, dan bab Nahyu Rasulillah ‘an nikah al-mut’ah akhiran, bab al-hiilah fi al-nikah, Sunan Abu Daud.2,90, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan Ibnu Majah.1,630, Kitab-un Nikah, bab an-nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah, hadis no.1961, Sunan al-Turmudzi (dengan syarah al-Mubarakfuuri).4,267-268, bab Ma ja’a fi Nikah al-Mut’ah(27), hadis no.1130 Muwaththa’, bab Nikah mut’ah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.4,292 Sunan al-Darimi.2,140 bab al-Nahyu ‘an Mut’ah al-Nisa’, Musnad al-Thayalisi hadis no.111 dan Musnad Imam Ahmad.1,79,130 dan142, dan Anda dapat jumpai dalam Fathu al-Baari dalam baba-baba tersebut di atas.
[23] Baca Sunan al-Baihaqi.7,207.
[24] Shahih Muslim.9,185.
[25] Ibid.186.
[26] Ibdi.
[27] Ibid.187.
[28] Ibdi.188-189.
[29] Ibid.187.
[30] Ibid.189.
[31] Abu Daud.2,227, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah dan Sunan al-Baihaqi.7,204.
[32] Sunan al-Baihaqi.7,204.
[33] Shahih Muslim.9,184, Mushannaf.4,292, Musnad Ahmad.4,55, Sunan al-Baihaqi.7,204 dan Fath al-Baari.11,73.
[34] Baca Sunan al-Baihaqi.7,204.
[35] Seperti Anda saksikan bahwa hadis tersebut telah saya kutipkan dari empat belas sumber terpercaya.
[36] 9, 449.
[37] Syarh Nahjul Balaghah 1, 371-372.
[38] Ash-Shirath al-Mustaqim.3,245.
[39] Fathu al-Baari.19,202 menukil pernyataan al-Baihaqi.
[40] Zaad al-Ma’aad.2,204, pasal Fi Ibaahati Mut’ati al-Nisaa’i tsumma Tahriimuha (tentang dibolehkannya nikah mut’ah kemudian pengharamannya). Dan keterangan panjang Ibnu qayyim juga dimuat Ibnu Hajar.
[41] Fath al-Baari.16,62. hadis no.4216.
[42] Ibid.19,202.
[43] Ibid.201.
[44] Ibdi.202.
[45] Ibid.
[46] Bukhari Bab Ghazwah Khaibar, hadis no.4216, Kitab al-Dzabaaih, bab Luhuum al-Humur al-Insiyyah, hadis no.5523, Shahih Muslim, bab Ma Ja’a Fi Nikahi al-Mut’ah (dengan syarah a-Nawawi).9,190, Sunan Ibnu Majah.1, bab al-Nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah (44) hadis no1961 dan Sunan Al-Baihaqi.7,201, dan meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu Umar. Dan di sini sebagian ulama melakukan penipuan terhadap diri sendiri dengn mengatakan bahwa sebenarnya dalam hadis itu ada pemajuan dan pemunduran, maksudnya semestinya yang disebut duluan adalah Luhum Humur insiyah bukan Mut’ah al-Nisaa’. (Fath al-baari.16,62) Mengapa? Sekali lagi agar riwayat Bukhari dkk. di atas tetap terjaga wibawanya dan agar tidak tampak bertentang dengan kenyataan sejarah.
[47] Ucapan pengharaman ini begitu masyhur dari Umar dan dinukil banyak ulama dalam buku-buku mereka, di antaranya: Tafsir al-Razi.10,50, Al-Jashshash. Ahkam Alqur’an.2,152, Al-Qurthubi. Jami’ Ahkam Alqur’an.2,270, Ibnu Qayyim. Zaad al-Ma’ad.1,444 dan ia megatakan” dan telah tetap dari Umar…, Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah.1,182 dan 12,251 dan 252, Al-Sarakhsi al-Hanafi. Al-Mabsuuth, kitab al-Haj, bab Alqur’an dan ia mensahihkannya, Ibnu Qudamah. Al-Mughni.7,527, Ibnu Hazam. Al-Muhalla.7,107, Al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-Ummal.8,293 dan294, al-Thahawi. Syarh Ma’ani al-Akhbaar.374 dan Sunan al-Baihaqi.7,206.
[48] Ibid.183.
[49] Ibid.183-184.
[50] Mafaatiih al-Ghaib (tafsir al-Razi).10,51
[51] Kanz al-Ummal.8,294.
[52] Dan dalam sebagian riwayat إلاَّ شفي dengan huruf faa’ sebagai ganti huruf qaaf, dan artinay ialah jarang/sedikit sekali. Pernyataan Ibnu Abbas diriwayatkan banyak ulama, seperti Ibnu al-Atsir dalam Nihayahnya, kata kerja syafa.
[53] Shahih Muslim.9,184-185, Sunan al-Baihaqi.7,202, dan Musnad Ahmad.3,405.
Nikah
mut'ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan
maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan
habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan
nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan
pewarisan antara keduanya.
Ada 6 perbedaan prinsip antara nikah mut'ah dan nikah sunni (syar'i):
1. Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
2.
Nikah mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad
atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal
dunia.
3. Nikah mut'ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
4. Nikah mut'ah tidak membatasi jumlah istri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang.
5. Nikah mut'ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
6.
Nikah mut'ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri,
nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri.
Dalil-Dali Haramnya Nikah Mut'ah
Haramnya
nikah mut'ah berlandaskan dalil-dalil hadits Nabi saw juga pendapat
para ulama dari 4 madzhab. Dalil dari hadits Nabi saw yang diwayatkan
oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari
Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini, ia berkata: "Kami bersama Rasulullah saw
dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama
saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami
mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang)
yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: "Ada
selimut seperti selimut". Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya
satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, dan tiba-tiba
aku melihat Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan
Hijr Ismail. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, aku pernah
mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Maka sekarang
siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia
menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya,
janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah azza wa jalla telah
mengharamkan nikah mut'ah sampai Hari Kiamat (Shahih Muslim II/1024).
Dalil
hadits lainnya: Dari Ali bin Abi Thalib ra. ia berkata kepada Ibnu
Abbas ra bahwa Nabi Muhammad saw melarang nikah mut'ah dan memakan
daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar (Fathul Bari IX/71).
Pendapat Para Ulama
Berdasarkan hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
-
Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam
kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: "Nikah mut'ah ini bathil menurut
madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H)
dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i (II/272)
mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah
mut'ah".
-
Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya
Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan,
"hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat
mutawatir" Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam
kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, "Apabila seorang
lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
-
Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm
(V/85) mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah
yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku
nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan."
Sementara
itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu' (XVII/356)
mengatakan, "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu
pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah
apabila dibatasi dengan waktu."
-
Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya
Al-Mughni (X/46) mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang
bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat
242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.
Rujukan:
1. Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Dirasat fil ahwa wal firaq wal Bida' wa Mauqifus Salaf minha.
2. Drs. KH Dawam Anwar dkk, Mengapa Kita menolak Syi'ah.
3. H. Hartono Ahmad Jaiz, Di bawah Bayang-bayang Soekarno-Soeharto.
4. Abdullah bin Sa'id Al-Junaid, Perbandingan antara Sunnah dan Syi'ah.
5. Dan lain-lain, kitab-kitab karangan orang Syi'ah.
Indahnya Nikah Mut'ah |
http://hakekat.com/content/view/30/1/
Kita jarang sekali mendengar penjelasan
mengenai fikih nikah mut’ah, sebagaimana nikah biasa memiliki ketentuan
dalam hukum fikih, begitu juga nikah mut’ah juga memiliki
ketentuan-ketentuan yang dijelaskan oleh imam yang diyakini maksum oleh
syi’ah. Di sinilah letak "keindahan" nikah mut'ah.
Nikah Mut'ah bukan pernikahan yang membatasi istri hanya empat.
Dari Abubakar bin Muhammad Al Azdi dia berkata :aku bertanya kepada Abu
Hasan tentang mut'ah, apakah termasuk dalam pernikahan yang membatasi 4
istri? Dia menjawab tidak. Al Kafi. Jilid 5 hal. 451 .
Wanita yang dinikahi secara mut'ah adalah wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan 1000 wanita sekaligus, karena akad mut'ah bukanlah pernikahan. Jika memang pernikahan maka dibatasi hanya dengan 4 istri.
Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 452.
Begitulah wanita bagi imam maksum syi’ah adalah barang sewaan yang dapat disewa lalu dikembalikan lagi tanpa ada tanggungan apa pun. Tidak ada bedanya dengan mobil yang setelah disewa dapat dikembalikan. Duhai malangnya kaum wanita. Sudah saatnya pada jaman emansipasi ini wanita menolak untuk dijadikan sewaan, namun kita masih heran, mengapa masih ada mazhab yang menganggap wanita sebagai barang sewaan.
Syarat Utama Nikah Mut'ah
Dalam nikah mut'ah yang terpenting adalah waktu dan mahar. Jika keduanya telah disebutkan dalam akad, maka sahlah akad mut'ah mereka berdua. Karena seperti yang akan dijelaskan kemudian bahwa hubungan pernikahan mut'ah berakhir dengan selesainya waktu yang disepakati. Jika waktu tidak disepakati maka tidak akan memiliki perbedaan dengan pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam.
Wanita yang dinikahi secara mut'ah adalah wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan 1000 wanita sekaligus, karena akad mut'ah bukanlah pernikahan. Jika memang pernikahan maka dibatasi hanya dengan 4 istri.
Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 452.
Begitulah wanita bagi imam maksum syi’ah adalah barang sewaan yang dapat disewa lalu dikembalikan lagi tanpa ada tanggungan apa pun. Tidak ada bedanya dengan mobil yang setelah disewa dapat dikembalikan. Duhai malangnya kaum wanita. Sudah saatnya pada jaman emansipasi ini wanita menolak untuk dijadikan sewaan, namun kita masih heran, mengapa masih ada mazhab yang menganggap wanita sebagai barang sewaan.
Syarat Utama Nikah Mut'ah
Dalam nikah mut'ah yang terpenting adalah waktu dan mahar. Jika keduanya telah disebutkan dalam akad, maka sahlah akad mut'ah mereka berdua. Karena seperti yang akan dijelaskan kemudian bahwa hubungan pernikahan mut'ah berakhir dengan selesainya waktu yang disepakati. Jika waktu tidak disepakati maka tidak akan memiliki perbedaan dengan pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam.
Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata : Nikah mut'ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 455.
Sama seperti barang sewaan, misalnya mobil. Jika kita menyewa mobil harus ada dua kesepakatan dengan si pemilik mobil, berapa harga sewa dan berapa lama kita ingin menyewa.
Batas minimal mahar mut'ah
Di atas disebutkan bahwa rukun akad mut'ah adalah adanya kesepakatan atas waktu dan mahar. Berapa batas minimal mahar nikah mut'ah?
Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut'ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut'ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum atau korma. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 457.
Semua tergantung kesepakatan antara dua belah pihak. Sangat cocok bagi mereka yang berkantong terbatas, bisa memberikan mahar dengan mentraktir makan siang di McDonald, KFC atau nasi uduk.
Tidak ada talak dalam mut'ah
dalam nikah mut'ah tidak dikenal istilah talak, karena seperti di atas telah diterangkan bahwa nikah mut'ah bukanlah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim dilakukan dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak, maka hubungan nikah mut'ah selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Seperti diketahui dalam riwayat di atas, kesepakatan atas jangka waktu mut'ah adalah salah satu rukun/elemen penting dalam mut'ah selain kesepakatan atas mahar.
Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita yang mut'ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 458.
Jangka waktu minimal mut'ah.
Dalam nikah mut'ah tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh saja nikah mut'ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.
Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri? Jawabnya : ya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 460
Orang yang melakukan nikah mut'ah diperbolehkan melakukan apa saja layaknya suami istri dalam pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, sampai habis waktu yang disepakati. Jika waktu yang disepakati telah habis, mereka berdua tidak menjadi suami istri lagi, alias bukan mahram yang haram dipandang, disentuh dan lain sebagainya. Bagaimana jika terjadi kesepakatan mut'ah atas sekali hubungan suami istri? Padahal setelah berhubungan layaknya suami istri mereka sudah bukan suami istri lagi, yang mana berlaku hukum hubungan pria wanita yang bukan mahram? Tentunya diperlukan waktu untuk berbenah dan mengenakan pakaian sebelum keduanya pergi.
Dari Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut'ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya : " tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya". Al Kafi jilid 5 hal 460
Nikah mut'ah berkali-kali tanpa batas.
Diperbolehkan nikah mut'ah dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti diterangkan oleh Abu Ja'far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut'ah bukannya istri, tapi wanita sewaan. Sebagaimana barang sewaan, orang dibolehkan menyewa sesuatu dan mengembalikannya lalu menyewa lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa batas.
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya. Al Kafi jilid 5 hal 460
Wanita mut'ah diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati.
Wanita yang dinikah mut'ah mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya.
Dari Umar bin Handhalah dia bertanya pada Abu Abdullah : aku nikah mut'ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar, jawabnya : ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 452.
Bayaran harus sesuai dengan hari yang disepakati, supaya tidak ada “kerugian” yang menimpa pihak penyewa.
Jika ternyata wanita yang dimut'ah telah bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut'ah tidak terputus dengan sendirinya.
Jika seorang pria hendak melamar seorang wanita untuk menikah mut'ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi tanggung jawab wanita tadi.
Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 462
Ayatollah Ali Al Sistani mengatakan :
Masalah 260 : dianjurkan nikah mut'ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut'ah bukanlah syarat sahnya nikah mut'ah.
Al Sistani. Ali. Minhajushalihin. www.al-shia.com. Jilid 3 hal 82
Tidak usah membuang waktu dengan bertanya, langsung tawar dan bayar.
Nikah mut'ah dengan gadis
Dari Ziyad bin Abil Halal berkata : aku mendengar Abu Abdullah berkata tidak mengapa bermut'ah dengan seorang gadis selama tidak menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya. Al Kafi jilid 5 hal 462.
Yah, ini bukan nikah namanya.
Nikah mut'ah dengan pelacur
Diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah menyewakan dirinya.
Ayatollah Udhma Ali Al Sistani mengatakan :
Masalah 261 : diperbolehkan menikah mut'ah dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai pezina maka sebaiknya tidak menikah mut'ah dengan wanita itu sampai dia bertaubat.Minhajushalihin. Jilid 3 hal. 8
Sebaiknya tidak, tapi jika terpaksa khan namanya tetap nikah walaupun dengan pelacur. Si pelacur akan berbahagia karena disamping mendapat uang dan kenikmatan dalam pekerjaannya, dia juga mendapat pahala.
Pahala yang dijanjikan bagi nikah mut'ah
Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah orang yang bermut'ah mendapat pahala? Jawabnya : jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki itu berbicara padanya pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti Allah mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya, jika dia mandi maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi. Aku bertanya : sebanyak jumlah rambut? Jawabnya : Ya, sebanyak jumlah rambut. Man La yahdhuruhul faqih. Jilid 3. Hal 464
Abu Ja'far berkata "ketika Nabi sedang isra' ke langit berkata : Jibril menyusulku dan berkata : wahai Muhammad, Allah berfirman : Sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut'ah. Man La Yahdhuruhul Faqih jilid 3 hal 464
Hubungan warisan
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah mut'ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini. Minhajushalihin. Jilid 3 Hal. 80
Nafkah
Wanita yang dinikah mut'ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat. Minhajus shalihin. Jilid 3 hal 80.
Begitulah gambaran mengenai fikih nikah mut’ah. Pada seri berikutnya akan kita dapatkan gambaran jelas mengenai perbedaan antara nikah mut’ah dan pelacuran.
Ali bin abi Thalib dan nikah mut'ah |
http://hakekat.com/content/view/30/1/ |
Apa kata Ali tentang nikah mut’ah? Barangkali ada yang telah membacanya dari kitab-kitab sunni, ini hal biasa, tetapi kali ini kami nukilkan dari kitab syi’ah. Sebenarnya bagaimana hukum nikah mut’ah menurut Ali? Saya mengajak pembaca menyimak titah imam syiah yang dianggap maksum. Anda akan mendapat informasi berharga.
Bagi syiah Ali adalah sosok imam maksum, suci tanpa cela. Titahnya harus ditaati, mengingat posisinya sebagai imam di mata syiah, yang meyakini bahwa imam adalah penerus dari kenabian. Sedangkan posisi Ali adalah imam pertama setelah Nabi wafat, yang konon dilantik sendiri oleh Rasulullah.
Bagi Syiah, Ali-lah orangnya yang ditunjuk untuk menjadi penerus misi kenabian, beserta sebelas orang anak cucunya. menjadi penerus kenabian artinya meneruskan lagi misi kenabian, yaitu menyampaikan risalah Allah pada manusia di bumi. Tentunya ketika menyampaikan misinya tidak berbohong dan tidak keliru, karena para imam –menurut syiah- adalah maksum, terjaga dari salah dan lupa, maka tidak mungkin keliru dalam menyampaikan amanat risalah, juga tidak mungkin berbohong ketika menyampaikan hadits Nabi.
Salah satu hal aksiomatis dalam mazhab syiah adalah nikah mut’ah, seperti dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili dalam Wasa’ilu Syi’ah jilid 21 hal 13. Al Amili mengatakan : bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”. Bukan Al Hurr Al Amili sendirian yang menganggap bolehnya nikah mut’ah adalah hal aksiomatis dalam mazhab syiah, Al Majlisi juga menyatakan demikian: beberapa hal yang termasuk perkara aksiomatis dalam agama syi’ah, kata Majlisi, adalah menghalalkan mut’ah, haji tamattu’ dan memusuhi Abubakar, Umar, Utsman dan Muawiyah. Bisa dilihat dalam Al I’tiqad hal 90-91.
Yang disebut aksiomatis adalah hal penting yang harus diyakini oleh penganut syiah. Begitulah penganut syiah di masa lalu, hari ini dan sampai akhir nanti akan terus meyakini bolehnya nikah mut’ah. Sesuatu bisa menjadi aksiomatis dalam syiah mestinya karena sudah digariskan oleh para imam syiah yang 12, yang menjadi rujukan syiah selama ini dalam penetapan hukum, paling tidak itulah pengakuan syiah selama ini, yaitu mereka merujuk pada penjelasan para imam. Apalagi imam pertama mereka setelah Nabi yaitu Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi yang – lagi-lagi menurut syiah- paling mengetahui ajaran Islam dibanding sahabat lain.
Demikian pula syiah di Indonesia, mereka meyakini bolehnya mut’ah, dan menyebarkan hal itu pada penganut syiah. hingga akhirnya praktek mut’ah marak di mana-mana, dengan keyakinan bahwa mut’ah adalah ajaran keluarga Nabi yang boleh dikerjakan. Di sini pelaku mut’ah mendapatkan tiga kenikmatan, yang pertama kenikmatan melakukan “ajaran” keluarga Nabi, yang pasti mendapatkan pahala dengan melakukannya, yang kedua, kenikmatan hubungan seksual, melampiaskan hasrat yang telah digariskan Allah pada manusia. Sementara yang ketiga, bisa berganti-ganti pasangan, karena mut’ah adalah praktek pembolehan hubungan seksual antara laki-laki dan wanita untuk sementara waktu. Pembaca –yang laki-laki tentunya- bisa membayangkan betapa nikmatnya.
Ahlussunnah menganggap nikah mut’ah adalah haram sampai hari kiamat, meskipun pada beberapa saat pernah dibolehkan oleh Rasulullah SAWW. Pengharaman ini berdasarkan keterangan dari Rasulullah SAWW sendiri yang mengharamkannya. Beberapa tahun kemudian Umar menyampaikan pengharaman tersebut pada para sahabat Nabi ketika menjabat khalifah. Namun syi’ah selalu menghujat ahlussunnah yang dalam hal ini mengikuti sabda Nabi, dan menuduh Umar –lah- yang mengharamkan nikah mut’ah, bukan Nabi. Artinya di sini Umar telah mengharamkan perbuatan yang halal dilakukan. Dan hujatan-hujatan lainnya, yang intinya adalah Rasulullah tidak pernah mengharamkan mut’ah, karena yang mengharamkan adalah Umar mengapa kita mengikuti Umar dan meninggalkan apa yang dihalalkan oleh Rasulullah SAWW? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Namun ada yang janggal di sini, ternyata Ali malah dengan tegas meriwayatkan sabda Nabi tentang haramnya nikah mut’ah. Riwayat ini tercantum dalam kitab Tahdzibul Ahkam karya At Thusi pada jilid 7 halaman 251, dengan sanadnya dari :
Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda: Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.
Bagaimana perawinya? Kita lihat bersama dari literatur syiah sendiri:
Muhammad bin Yahya : dia adalah tsiqah, An Najasyi mengatakan dalam kitabnya [no 946] : guru mazhab kami di jamannya, dia adalah tsiqah [terpercaya]
Abu Ja’far , Tsiqah [terpercaya] lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits
Abul Jauza’, namanya adalah Munabbih bin Abdullah At Taimi , haditsnya Shahih lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits
Husein bin Alwan, Tsiqah [terpercaya], lihat Faiqul Maqal, Khatimatul Mustadrak, dan Al Mufid min Mu’jam Rijalul Hadits.
Amr bin Khalid Al Wasithi: Tsiqah, lihat Mu’jam Rijalil Hadits, Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.
Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu ahlul bait Nabi, jelas tsiqah.
Di sini Ali mendengar sendiri sabda Nabi dan menyampaikannya pada umat. Menghadapi riwayat ini mungkin kita bingung, ternyata bukan anda saja yang bingung, saya pun ikut kebingungan karena dua hal:
Pertama, bagaimana ulama syiah dan ustadz syiah tidak menyampaikan hal ini pada umatnya? Hingga umatnya dengan suka ria melakukan mut’ah yang memang mengasyikkan. Kita mempertanyakan apakah mereka tidak membaca riwayat ini? Ataukah mereka membacanya tetapi tidak menjelaskan pada umat tentang kenyataan ini? Atau kenyataan ini tidak sesuai dengan kepentingan mereka, karena tidak dipungkiri lagi bahwa bolehnya nikah mut’ah membuka kesempatan bagi syiah guna menghilangkan kebosanan dan menambah variasi dalam hubungan seksual. Ketika orang hanya berhubungan dengan istrinya, maka bukan tidak mungkin suami bosan dengan istrinya, dan dengan mut’ah suami bisa mencari variasi dengan pasangan yang berbeda, baik dengan daun-daun muda, maupun janda-janda muda yang kesepian. Dan hubungan ini tidak mengakibatkan konsekuensi apa pun, kecuali kesepakatan tentang uang jasa dan jangka waktu mut’ah. Bisakan kita percaya para ustadz syiah dan santri-santri muda syiah belum membaca riwayat ini?
saya teringat ayat Al Qur'an, yang terjemahnya sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela'nati, (QS. 2:159)
Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. 2:160)
Kedua, ketika para ulama syiah menghadapi hadits shahih dari Nabi maupun imam yang tidak sesuai dengan mazhab syiah, mereka mengatakan bahwa Nabi atau imam mengatakan hadits itu dalam kondisi taqiyah, artinya yang disabdakan tidaklah benar adanya. Misalnya hadits ini, ketika ulama syiah tidak mampu menolak hadits ini karena sanadnya yang shahih, maka mereka mengatakan bahwa hadits ini disabdakan dalam kondisi taqiyah. Maksudnya adalah Nabi sebenarnya tidak mensabdakan hadits ini tetapi Ali bertaqiyah hingga menyebutkan hadits ini.
Al Hurr Al Amili dalam Wasa’il menyatakan:
“Syaikh [At Thusi] dan [ulama] lainnya menafsirkan riwayat ini sebagai taqiyyah, karena bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”
Kita perlu mempertanyakan mengapa sabda Ali tidak sesuai dengan ajaran syiah, itu dianggap sebagai taqiyah. Tetapi kita ketahui bahwa taqiyah tidak mungkin dilakukan tanpa sebab, yaitu ketakutan. Lalu apa yang Imam Ali takutkan hingga bertaqiyah dalam masalah ini? Apakah kita mempertanyakan kembali sifat pemberani Ali bin Abi Thalib karena di sini digambarkan takut untuk menyampaikan kebenaran?
Juga kita mempertanyakan sumber informasi Syaikh At Thusi dan ulama syiah lainnya hingga mereka tahu bahwa imam Ali bertaqiyah ketika meriwayatan sabda Nabi itu. Jika tidak ada informasi yang valid apakah kita mengatakan bahwa ulama syiah hanya mengira-ngira saja, tanpa berdasari informasi yang valid. Hanya dengan satu alasan, yaitu menyelisihi hal yang aksiomatis dalam mazhab lalu begitu saja sabda imam bisa divonis taqiyah.
Satu lagi konsekuensi berat bagi ulama syiah yang menyatakan bahwa Ali bertaqiyah dalam hadits itu, berarti Ali mengarang-ngarang hadits Nabi SAWW padahal Nabi SAWW tidak pernah mengucapkannya. Karena pernyataan Ali di atas adalah riwayat,bukan pendapat Ali sendiri, tapi menceritakan sabda Nabi SAWW. Perbuatan ini dikenal dalam istilah hadits dengan “berdusta atas nama Nabi”. Sedangkan perbuatan berdusta atas nama Nabi adalah perbuatan dosa besar, Kitab Tafsir Surat Al Hamd karya Muhammad Baqir Al Hakim –ulama syiah Irak- pada hal. 40 memuat sebuah riwayat yang panjang dari Ali, yang dinukil dari Wasa’ilu Syi’ah –karya Al Hurr Al Amili-, dalam riwayat itu Ali menukil sabda Nabi:
siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja hendaknya menyiapkan tempatnya di neraka.
Hadits ini juga dinukil oleh As Shaduq dalam Al I’tiqadat hal 119-120, juga tercantum dalam Al Ihtijaj jilid 1 hal 394.
Apakah Ali mengarang hadits Nabi SAWW hingga harus bersiap-siap masuk neraka? Atau Ali mendengar sabda Nabi dan menyampaikannya sesuai yang didengarnya? Saya tidak percaya Ali berdusta atas nama Nabi SAWW, juga mestinya syiah –yang percaya Ali adalah maksum- tidak percaya bahwa Ali telah berdusta.
Maka jelaslah Ali mengikuti sabda Nabi SAWW, bahwa nikah mut’ah adalah haram dilakukan saat ini, meskipun pernah dihalalkan oleh Nabi dalam beberapa kondisi, yaitu dalam kondisi perang. Tetapi syiah saat ini menghalalkan mut’ah dalam segala kondisi, tidak hanya ketika kondisi perang. Ini bedanya nikah mut’ah yang pernah dibolehkan pada jaman Nabi SAWW dan mut’ah yang menjadi sebuah aksioma dalam mazhab syiah hari ini.
Dengan ini muncul keraguan dan pertanyaan tentang hubungan mazhab syi’ah hari ini dengan Ali bin Abi Thalib. Rupanya memang tidak semua omongan orang sesuai dengan kenyataan. Contohnya syiah yang selalu mengaku mengikuti Ali, tetapi kenyataannya sungguh berbeda. Ternyata hal aksiomatis dalam mazhab syiah berbeda dengan ajaran Ali bin Abi Thalib/
Saya ingatkan para pembaca tentang kenikmatan sorga beserta bidadari-bidadari yang menyambut penghuninya, beserta isteri-isteri sorga. Tentunya kenikmatan “jannah” lebih menggairahkan dibanding kenikmatan dunia. Allah berfirman dalam surat Yasin yang terjemahnya sebagai berikut:
Sesungguhnya penghuni jannah pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). (QS. 36:55)
Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertekan di atas dipan-dipan. (QS. 36:56)
Ayat di atas menceritakan penghuni sorga bersenang-senang dalam kesibukan bersama isteri mereka. Kira-kira apa kesibukan penghuni sorga hingga membuat mereka gembira, yang dilakukan bersama istri di atas dipan? Pembaca pasti tahu jawabnya!
'
Shahih Ayat Tentang Nikah Mut’ah
Dalam Mazhab Syi’ah
Posted on Mei 21, 2014 by secondprince
http://secondprince.wordpress.com/2014/05/21/shahih-ayat-tentang-nikah-mutah-dalam-mazhab-syiah/
Shahih Ayat Tentang Nikah Mut’ah
Dalam Mazhab Syi’ah
Dalam Mazhab Syi’ah
Tulisan ini dibuat dengan tujuan memaparkan kepada para pembaca yang ingin mengenal mazhab Syi’ah secara objektif. Mengapa Syi’ah menghalalkan nikah mut’ah?. Jawaban mereka adalah Al Qur’an dan hadis Ahlul Bait telah menghalalkannya. Kalau kita tanya ayat Al Qur’an mana yang menyatakan tentang nikah mut’ah maka mereka akan menjawab ayat berikut
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ
غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan [diharamkan juga bagi kamu
menikahi] wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu
miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari
istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka
istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [QS An Nisaa’ : 24]
Sebelumnya dalam salah satu tulisan
disini, kami sudah menunjukkan kepada pembaca bahwa terdapat dalil
shahih dalam kitab Ahlus Sunnah bahwa An Nisa ayat 24 di atas yaitu
lafaz “maka istri-istri yang telah kamu nikmati diantara mereka” merujuk pada nikah mut’ah. Silakan lihat selengkapnya disini.
Menurut kami, agak rancu jika pengikut
Syi’ah ketika berdalil dengan ayat Nikah mut’ah di atas mengambil hujjah
dengan riwayat shahih Ibnu ‘Abbaas yang ada dalam kitab Ahlus Sunnah.
Mengapa kami katakan rancu karena hadis ahlus sunnah tidaklah menjadi
pegangan bagi kaum Syi’ah begitupun sebaliknya. Untuk perkara diskusi
dengan pengikut Ahlus Sunnah memang sangat baik jika Syi’ah berhujjah
dengan hadis Ahlus Sunnah tetapi ketika diminta dalil di sisi mereka
soal Ayat Nikah Mut’ah maka hadis Ibnu ‘Abbas di atas tidak bisa
dijadikan hujjah
Seharusnya yang mereka lakukan adalah
membawakan riwayat ahlul bait dalam mazhab Syi’ah sendiri yang
menjelaskan kalau ayat tersebut memang tentang Nikah Mut’ah. Begitu
banyaknya dari pengikut Syi’ah yang menukil riwayat Ibnu ‘Abbas sehingga
berkesan seolah-olah dalam mazhab Syi’ah tidak ada keterangan tentang
itu. Oleh karena itu kami berusaha meneliti secara objektif adakah dalil
tentang ayat nikah mut’ah di atas dalam kitab hadis Syi’ah.
.
.
عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد، وعلي بن إبراهيم، عن أبيه جميعا،
عن ابن أبي نجران، عن عاصم بن حميد، عن أبي بصير
قال سألت أبا جعفر (عليه السلام) عن المتعة،
فقال نزلت في القرآن فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة
فلا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة
Dari sekelompok sahabat kami dari
Sahl bin Ziyaad. Dan dari ‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya, keduanya [Sahl
bin Ziyaad dan Ayahnya Aliy bin Ibrahim] dari ‘Ibnu Abi Najraan dari
‘Aashim bin Humaid dari Abi Bashiir yang berkata aku bertanya kepada Abu
Ja’far [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah?. Beliau
berkata telah turun dalam Al Qur’an “Maka istri-istri yang telah kamu
nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai
suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/448]
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
- ‘Abdurrahman bin ‘Abi Najraan Abu Fadhl seorang yang tsiqat tsiqat mu’tamad apa yang ia riwayatkan [Rijal An Najasyiy hal 235 no 622]
- ‘Aashim bin Humaid Al Hanaath seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 301 no 821]
- Abu Bashiir adalah Laits bin Bakhtariy Al Muradiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 476]
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن علي بن الحسن بن رباط،
عن حريز، عن عبد الرحمن بن أبي عبد الله
قال سمعت أبا حنيفة يسأل أبا عبد الله (عليه السلام)
عن المتعة فقال أي المتعتين تسأل قال سألتك عن متعة الحج فأنبئني
عن متعة النساء أحق هي فقال سبحان الله أما قرأت كتاب الله عز وجل؟
فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة
فقال أبو حنيفة والله فكأنها آية لم أقرأها قط
Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari
Ibnu ‘Abi Umair dari Aliy bin Hasan bin Rabaath dari Hariiz dari
‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah yang berkata aku mendengar Abu Hanifah
bertanya kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah. Maka
Beliau berkata “apakah engkau bertanya tentang dua Mut’ah?”. [Abu
Haniifah] berkata “aku telah bertanya kepadamu tentang Mut’ah haji maka
kabarkanlah kepadaku tentang Nikah Mut’ah apakah itu benar?. Beliau
berkata “Maha suci Allah, tidakkah engkau membaca Kitab Allah ‘azza
wajalla “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban”. Abu Haniifah berkata “demi Allah seolah-olah aku belum pernah membaca ayat tersebut” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/449-450]
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
- Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
- Aliy bin Hasan bin Rabaath Abu Hasan Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 251 no 659]
- Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy orang kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118]
- ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah adalah seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 30 no 62 biografi Ismail bin Hamaam cucu ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah]
Kedua riwayat shahih dalam kitab Syi’ah di atas membuktikan bahwa dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalil kalau ayat An Nisa 24 tersebut adalah berkenaan dengan Nikah Mut’ah.
.
.
.
Syubhat Atas Dalil
Ada syubhat yang disebarkan oleh para
pembenci Syi’ah dimana mereka mengatakan bahwa dalam mazhab Syi’ah orang
yang menikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan atau ia bukan
termasuk muhshan padahal ayat di atas jelas menggunakan lafal
muhshiniin. Berikut dalil dalam kitab Syi’ah yang dimaksud
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام، وحفص بن البختري عمن ذكره،
عن أبي عبد الله عليه السلام في الرجل يتزوج المتعة أتحصنه؟
قال: لا إنما ذاك على الشئ الدائم عنده
‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari
Ibnu Abi ‘Umair dari Hisyaam dan Hafsh bin Bakhtariy dari orang yang
menyebutkannya dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seorang
laki-laki yang nikah mut’ah apakah itu membuatnya ihshan?. Beliau
berkata “tidak, sesungguhnya hal itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di
sisinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/178]
Riwayat di atas dhaif sesuai standar Ilmu
Rijal Syi’ah karena di dalam sanadnya terdapat perawi majhul yang tidak
disebutkan siapa dia.
أبو علي الأشعري، عن محمد بن عبد الجبار، عن صفوان، عن إسحاق بن عمار
قال: سألت أبا إبراهيم عليه السلام عن رجل إذا هو زنى وعنده السرية
والأمة يطأها تحصنها الأمة وتكون عنده؟ فقال: نعم إنما ذلك لان عنده ما يغنيه
عن الزنى، قلت: فان كانت عنده أمة زعم أنه لا يطأها فقال: لا يصدق،
قلت: فإن كانت عنده امرأة متعة أتحصنه؟ قال لا إنما هو على الشئ الدائم عنده
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy dari Muhammad
bin ‘Abdul Jabbaar dari Shafwaan dari Ishaaq bin ‘Ammaar yang berkata
aku bertanya kepada Abu Ibrahim [‘alaihis salaam] tentang seorang
laki-laki yang berzina sedangkan di sisinya terdapat budak wanita yang
sudah digaulinya, apakah membuat ihshan, budak wanita yang ada di
sisinya?. Beliau berkata “benar, sesungguhnya hal itu karena di sisinya
terdapat hal yang mencukupkannya dari zina”. Aku berkata “maka jika di
sisinya terdapat budak yang ia mengaku bahwa ia tidak menggaulinya”.
Beliau berkata “itu tidak dibenarkan”. Aku berkata “maka jika di sisinya
ada istri mut’ah apakah itu membuatnya ihshan”. Beliau berkata “tidak,
sesungguhnya itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di sisinya” [Al Kafiy
Al Kulainiy 7/178]
Riwayat ini sanadny muwatstsaq
berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Para perawinya tsiqat termasuk
Ishaq bin ‘Ammaar hanya saja ia bermazhab menyimpang Fathahiy. Berikut
keterangan mengenai para perawinya
- Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris seorang yang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis dan shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228
- Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391
- Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524]
- Ishaaq bin ‘Ammaar adalah seorang yang tsiqat tetapi bermazhab Fathahiy [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 54]
Ihshan yang dimaksud dalam riwayat di
atas adalah sesuatu yang disifatkan pada seseorang untuk menentukan
hukuman yang akan ia peroleh jika ia berzina, kalau disifatkan dengan
ihshan maka hukumannya rajam kalau tidak disifatkan dengan ihshan maka
hukumannya cambuk. Maka ihshan disini adalah istilah khusus yang
memiliki kategori-kategori tertentu yang bisa dilihat dalam berbagai
riwayat shahih mazhab Syi’ah.
Terdapat dua pendapat dalam mazhab Syi’ah
mengenai apakah status nikah mut’ah itu membuat seseorang disifatkan
ihshan atau tidak.
- Pertama dan ini yang masyhur dari para ulama Syi’ah adalah menyatakan secara mutlak bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan ihshan. Dalilnya berdasarkan riwayat di atas dimana mereka memahami lafaz “da’im di sisinya” dengan makna nikah da’im.
- Kedua yaitu ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah juga disifatkan dengan ihshan jika istrinya tersebut menetap bersamanya masih bersamanya sebagai istri dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Dalilnya adalah hadis yang menetapkan kriteria muhshan sebagai orang yang di sisinya terdapat wanita yang mencukupkannya dari zina dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Termasuk hadis di atas menjadi dalil, dimana lafaz “da’im di sisinya” ditafsirkan dengan makna menetap bersamanya.
Dalam tulisan ini kami tidak akan
membahas secara lebih rinci pendapat mana yang lebih rajih berdasarkan
kaidah ilmu dalam mazhab Syi’ah. Kami akan kembali memfokuskan pada
syubhat yang dilontarkan oleh para pembenci Syi’ah.
.
.
Syubhat mereka adalah dengan adanya riwayat di atas bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan
maka hal ini bertentangan dengan An Nisaa’ ayat 24 yang menyebutkan
pernikahan tersebut dengan lafaz muhshiniin. Oleh karena itu An Nisaa’
ayat 24 bukan berbicara tentang Nikah Mut’ah.
Syubhat ini jika dianalisis dengan
objektif akan tampak tidak nyambung. Sebenarnya mereka mempertentangkan
pikiran mereka sendiri. Mereka hanya melihat kesamaan lafaz tanpa
memahami bahwa maksud sebenarnya yang diinginkan oleh setiap lafaz itu
berbeda. Lafaz Muhshiniin dalam An Nisaa’ ayat 24 itu bermakna orang
yang menjaga diri dengan pernikahan. Artinya setiap muslim yang menikah
baik itu dengan nikah da’im atau nikah mut’ah maka ia masuk dalam
kategori muhshiniin. Apalagi dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalilnya
bahwa nikah mut’ah masuk kedalam kategori muhshiniin An Nisaa’ ayat 24
sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya.
Adapun lafaz ihshan dalam riwayat di atas
terkait istilah yang berkaitan dengan hukum rajam. Lafaz ini memiliki
kriteria atau persyaratan sendiri. Dalam mazhab Syi’ah berdasarkan
riwayat-riwayat shahih maka tidak semua yang masuk kategori muhshiniin
jika berzina disebut ihshan
Bahkan orang yang tidak menikah tetapi
memiliki budak wanita yang bisa digaulinya maka ia masuk dalam kategori
ihshan berdasarkan riwayat shahih mazhab Syi’ah di atas, walaupun
berdasarkan An Nisaa’ ayat 24 dia belum masuk kategori muhshiniin karena
belum menikah. Dan orang yang menikah walaupun dengan nikah da’im
[masuk dalam kategori muhshiniin] bisa saja dikatakan bukan ihshan
berdasarkan riwayat berikut
عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن فضالة بن أيوب،
عن رفاعة، قال: سألت أبا عبد الله عليه السلام عن رجل يزني قبل أن يدخل بأهله أيرجم؟ قال: لا
Dari sekelompok sahabat kami dari
Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Fadhalah bin Ayuub dari
Rifa’ah yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam]
tentang seseorang yang berzina sebelum ia menyetubuhi istrinya, apakah
dirajam?. Beliau berkata “tidak” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/179]
Di sisi Al Kulainiy lafaz “sekelompok
sahabat kami” dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa tidak bermakna majhul
sebagaimana yang dinukil An Najasyiy
وقال أبو جعفر الكليني: كل ما كان في كتابي عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن عيسى،
فهم محمد بن يحيى وعلي بن موسى الكميذاني
وداود بن كورة وأحمد بن إدريس
وعلي بن إبراهيم بن هاشم
Abu Ja’far Al Kulainiy berkata
“setiap apa yang ada dalam kitabku, sekelompok sahabat kami dari Ahmad
bin Muhamad bin ‘Iisa maka mereka adalah Muhammad bin Yahya, Aliy bin
Muusa Al Kumaydzaaniy, Dawud bin Kawrah, Ahmad bin Idris dan Aliy bin
Ibrahim bin Haasyim [Rijal An Najasyiy hal 377-378 no 1026]
Maka dari itu sanad riwayat Al Kafiy di
atas kedudukannya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut
keterangan mengenai para perawinya
- Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]. Ahmad bin Idris Al Qummiy seorang yang tsiqat faqiih shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim seorang yang tsiqat dalam hadis dan tsabit [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
- Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
- Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy disebutkan oleh An Najasyiy bahwa ia tsiqat dalam hadis dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850]
- Rifa’ah bin Muusa Al Asdiy meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah, seorang yang tsiqat dalam hadisnya [Rijal An Najasyiy hal 166 no 438]
.
Kesimpulannya adalah lafaz Muhshiniin
dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut bukan berarti bermakna ihshaan yang
mengharuskan hukuman rajam. Kalau kita melihat ke dalam fiqih ahlus
sunnah maka hal serupa ini juga ada yaitu orang yang masuk dalam
kategori muhshiniin dengan dasar pernikahan tetapi tidak ditetapkan
ihshan. Imam Syafi’i pernah berkata
وإن أصابها في الدبر لم يحصنها
Dan sesungguhnya menggaulinya [istri] di dubur tidak disifatkan ihshan [Al Umm Asy Syafi’i 8/276]
Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i adalah
seorang laki-laki yang baru menikah dan menggauli istrinya bukan pada
kemaluan tetapi pada duburnya kemudian ia berzina maka laki-laki
tersebut tidak disifatkan ihshan. Bukankah kondisi ini serupa dengan
Nikah Mut’ah yaitu masuk dalam kategori muhshiniin tetapi tidak
disifatkan dengan ihshan [berdasarkan pendapat yang masyhur dalam mazhab
Syi’ah].
Contoh lain sebenarnya dapat dilihat dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut. Dalam ayat tersebut digunakan lafaz Istimta’ dan lafaz ini dalam banyak hadis shahih bermakna Nikah Mut’ah.
Kemudian bagaimana tanggapan dari sebagian ulama ahlus sunnah. Mereka
membantah bahwa lafaz istimta’ disana bermakna nikah mut’ah. Menurut
mereka lafaz istimta’ bermakna bersenang-senang atau mencari kenikmatan
dan ini juga berlaku pada nikah da’im.
Jadi dengan kata lain mereka mengatakan
bahwa Istimta’ di ayat tersebut adalah nikah da’im bukan nikah mut’ah
dan menurut mereka, hal ini tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang
menggunakan lafaz istimta’ sebagai nikah mut’ah. Bukankah disini mereka
sendiri beranggapan bahwa lafaz yang sama antara Al Qur’an dan Hadis
tidak selalu menunjukkan arti yang sama. Jadi sebenarnya para pembenci
Syi’ah tersebut ketika menyebarkan syubhat di atas mereka secara tidak
sadar malah menentang diri mereka sendiri.
.
Penutup
Dalam tulisan ini kami tidak sedang
menyatakan nikah mut’ah sebagai perkara yang halal secara mutlak
sebagaimana yang ada dalam mazhab Syi’ah. Kami hanya menunjukkan kepada
para pembaca bahwa dalam mazhab Syi’ah dalil nikah mut’ah tersebut ada
dan shahih sesuai dengan standar keilmuan mazhab mereka. Kedudukan
pengikut Syi’ah dalam hal ini hanya mengikuti pedoman shahih mereka sama
seperti kedudukan pengikut Ahlus sunnah yang mengharamkan nikah mut’ah
berdasarkan dalil dalam kitab Ahlus Sunnah.
Nikah Mut'ah dan Pelacuran |
http://hakekat.com/content/view/31/1/
Apakah nikah mut’ah sama dengan pelacuran?
Barangkali banyak yang marah membaca judul di atas. Namun sebelum marah,
hendaknya membaca dulu selengkapnya.
Kita
bisa mengatakan motorku sama dengan motormu ketika kedua motor kita
setype, kita bisa mengatakan rumahmu sama dengan rumahku ketika rumah
kita sama-sama dicat dengan warna yang sama. Kita bisa mengatakan Hpku
sama dengan Hpmu ketika HP kita setype. Antara HP kita dan HP teman kita
ada faktor kesamaan sehingga bisa kita katakan sama. Sama artinya
adalah ketika ada sesuatu yang ada pada dua hal yang kita perbandingkan.
Semakin banyak kesamaan yang ada, semakin bisa kita katakan bahwa dua
hal itu sama.
Walaupun
banyak faktor kesamaan yang ada, kadang ada juga perbedaan-perbedaan
yang bisa jadi penting dan bisa jadi tidak penting. Misalnya seluruh
manusia adalah sama, artinya sama-sama manusia walaupun ada perbedaan
yang kadang banyak, misalnya perbedaan suku, warna, ras, bahasa,
perilaku, sifat dan watak, namun semua tetap disebut manusia. Sama-sama
manusia walaupun beda. Namun dalam kacamata Islam, ada kriteria tertentu
yang membedakan manusia, yang mana Islam mengklasifikasikan manusia
melalui kriteria-kriteria itu. Kriteria itu adalah iman, artinya dalam
segala kesamaan yang ada di antara seluruh manusia, ada perbedaan inti
di antara mereka, yaitu iman. Meskipun ada ribuan persamaan di antara
manusia, ketika ada perbedaan iman disitu manusia berbeda. Orang beriman
berbeda dengan orang kafir, meskipun keduanya memiliki banyak
persamaan, walaupun keduanya –misalnya- saudara kembar. Allah membedakan
antara keduanya dengan iman. Dalam kasus ini -dan juga banyak kasus-
satu perbedaan dapat menghapus semua kesamaan yang ada.
Ada
banyak persamaan antara pernikahan dan perzinaan, yang mana perbedaan
yang ada hanya pada akad nikah yang mensyaratkan adanya wali, saksi dan
akad dan syarat lainnya, sementara perzinaan tidak perlu ada saksi dan
wali, tinggal tawar dan bayar. Bahkan seringkali tanpa ada pembayaran,
asal kedua belah pihak suka sama suka maka mereka berdua bisa langsung
berzina tanpa syarat apa pun.
Meskipun
ada banyak persamaan, sedikit perbedaan dapat membedakan perzinaan dan
pernikahan, hal ini tidak perlu dibahas lagi panjang lebar. Dalam hal
ini perbedaan yang sedikit membawa implikasi yang begitu besar.
Sebaliknya
ketika perbedaan yang ada tidak membawa implikasi apa pun maka bisa
dianggap tidak ada, seperti perbedaan rupa manusia tidak membawa
implikasi apa pun, yang berbeda dengan implikasi perbedaan iman.
Pada
aritkel lalu pembaca telah menelaah fikih nikah mut’ah, yang memberikan
lebih banyak gambaran tentang “keindahan” nikah mut’ah bagi pembaca.
Kali ini kita akan membandingkan “keindahan” nikah mut’ah dengan realita
pelacuran yang ada di lapangan, pada akhirnya kita menemukan tidak ada
perbedaan signifikan antara nikah mut’ah dan pelacuran, yang ada hanya
perbedaan simbolik dengan isi dan substansi yang sama.
Kita akan melihat lagi point-point “keindahan” nikah mut’ah dan membandingkannya dengan realita pelacuran.
1. Nikah mut’ah adalah praktek penyewaan tubuh wanita, begitu juga pelacuran.
Kita
simak lagi sabda Abu Abdillah : menikahlah dengan seribu wanita, karena
wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 452.
Dari
sini kita bisa menyimpulkan bahwa nikah mut’ah adalah bentuk lain dari
pelacuran, karena Imam Abu Abdillah terang-terangan menegaskan status
wanita yang dinikah mut’ah: mereka adalah wanita sewaan.
2. yang penting dalam nikah mut’ah adalah waktu dan mahar
sekali
lagi inilah yang ditegaskan oleh imam syi’ah yang maksum : Nikah mut'ah
tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan
bayaran tertentu. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 455.
Begitu
juga orang yang akan berzina dengan pelacur harus sepakat atas bayaran
dan waktu, karena waktu yang leibh panjang menuntut bayaran lebih pula.
Pelacur tidak akan mau melayani ketika tidak ada kesepakatan atas bayaran dan waktu. Sekali lagi kita menemukan persamaan antara nikah mut’ah dan pelacuran.
3. Batas minimal “mahar” nikah mut’ah.
Dalam
nikah mut’ah ada batasan minimal mahar, yaitu segenggam makanan berupa
tepung, gandum atau korma. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 457. Sedangkan dalam
pelacuran tidak ada batas minimal bayaran, besarnya bayaran tergantung
dari beberapa hal. Kita lihat disini perbedaan antara mut’ah dan
pelacuran hanya pada minimal bayaran saja, tapi baik mut’ah maupun
pelacuran tetap mensyaratkan adanya bayaran. Banyak cerita yang kurang
enak mengisahkan mereka yang berzina dengan pelacur tapi mangkir
membayar.
4. batas waktu mut’ah
tidak
ada batasan bagi waktu nikah mut’ah, semua tergantung kesepakatan.
Bahkan boleh mensepakati waktu mut’ah walau untuk sekali hubungan badan.
Dari Khalaf bin
Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan
tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah
dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan badan? Jawabnya : ya.
Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 460
Begitu
juga tidak ada batasan waktu bagi pelacuran, dibolehkan menyewa pelacur
untuk jangka waktu sekali zina, atau untuk jangka waktu seminggu, asal
kuat membayar saja. Demikian juga nikah mut’ah.
4. Boleh nikah mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali.
Suami
istri diberi kesempatan untuk tiga kali talak, setelah itu si istri
harus menikah dengan lelaki lain. Tidak demikian dengan nikah mut’ah,
orang boleh nikah mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali, asal
tidak bosan saja. Karena wanita yang dinikah secara mut’ah pada
hakekatnya sedang disewa tubuhnya oleh si laki-laki. Sama persis dengan
pelacuran.
Dari
Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah
mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia dinikahi
oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi
dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali
dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah
dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah
mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita
merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya. Al
Kafi jilid 5 hal 460
Begitu juga orang boleh berzina dengan seorang pelacur semaunya, tidak ada batasan.
5. Tidak usah bertanya menyelidiki status si wanita
Laki-laki
yang akan nikah mut’ah tidak perlu menyelidiki status si wanita apakah
dia sudah bersuami atau tidak. Begitu juga orang tidak perlu bertanya
pada si pelacur apakah dia bersuami atau tidak ketika ingin berzina
dengannya.
Dari
Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang
berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut
jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur.
Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya. Al Kafi .
Jilid. 5 Hal. 462
6. Hubungan warisan
Nikah
mut’ah tidak menyebabkan terbentuknya hubungan warisan, artinya ketika
si “suami” meninggal dunia pada masa mut’ah maka si “istri” tidak berhak
mendapat warisan dari hartanya.
Ayatullah
Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah
mut'ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan
jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih
dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal
ini. Minhajushalihin. Jilid 3 Hal. 80
Begitu juga pelacur tidak akan mendapat bagian dari harta “pasangan zina”nya yang meninggal dunia.
7. Nafkah
Istri
mut’ah yang sedang disewa oleh suaminya tidak berhak mendapat nafkah,
si istri mut’ah hanya berhak mendapat mahar yang sudah disepakati
sebelumnya. Bayaran dari mut’ah sudah all in dengan nafkah, hendaknya
istri mut’ah sudah mengkalkulasi biaya hidupnya baik-baik sehingga bisa
menetapkan harga yang tepat untuk mahar mut’ah.
Ayatollah Ali Al Sistani mengatakan:
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita tidak
wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil dari
bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah
disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat. Minhajus
shalihin. Jilid 3 hal 80.
Begitu juga laki-laki yang berzina dengan pelacur tidak wajib memberi nafkah harian pada si pelacur.
http://muslimsaja.wordpress.com/2010/08/31/siapakah-maa-malakat-aimanukum-itu/
“Maa Malakat Aimaanukum” adalah salah satu idiom yang paling disalahpahami, salah penggunaan dan menyalah-gunakan istilah yang dipakai oleh Al-Quran. Pada umumnya dipakai dengan arti “budak wanita”.
Sebelum membahas arti yang benar dari istilah ini, harus diingat terlebih dahulu bahwa ada kata spesifik di dalam bahasa Arab untuk menyebut budak wanita dan kata ini telah digunakan sedikitnya dua kali di dalam Al-Quran, sekali sebagai bentuk tunggal “amatun” yang telah digunakan oleh ayat 2:221 dan yang kedua dalam bentuk jamaknya “imaaun”, yang telah digunakan oleh ayat 24:32.
“Maa Malakat Aimaanukum” secara harafiah mempunyai arti yang berikut:
- Apa yang tangan kananmu menguasai
- Apa yang kamu punyai dengan hak sepenuhnya
- Apa yang telah kamu punyai
- Apa yang menjadi hak milikmu
Sekarang apa saja yang dimaksud dengan ”apa yang tangan kananmu menguasai”, ”apa yang kamu punyai dengan hak sepenuhnya”, ”apa yang telah kamu punyai” dan ”apa yang menjadi hak milikmu” ? Hal itu bisa menyangkut:
- Isterimu
- Pasanganmu
- Pelayanmu
- Kepemilikanmu
- Budakmu, baik wanita atau pria sebab “Maa Malakat Aimaanukum” mengacu pada jenis kelamin netral, sehingga dapat digunakan untuk wanita atau pria.
- Tawanan perangmu
Sekarang mari kita selidiki setiap kata kunci dalam istilah “Maa Malakat Aimaanukum”, sedikit lebih lanjut.
Kata “Malakat” itu mempunyai akar mim-lam-kaf (M-L-K). Pengertian utamanya adalah:
- menguasai atau memiliki sesuatu atau seseorang, terutama sekali dengan kemampuan untuk memilikinya bagi dirinya sendiri secara eksklusif
Pengertian lainnya meliputi:
- mempunyai kekuasaan untuk memerintah atau menerapkan otoritas
- memperoleh
- mengambil alih
- menikahi
Sebagaimana yang dapat dilihat bahwa salah satu artinya adalah “menikahi”. Ini adalah menurut salah satu dari kamus bahasa Arab yang dianggap otentik, Lisan-Ul-Arab oleh Ibn-Manzoor Vol. 13, halaman 184. Kamus otentik Arab Modern lainnya juga menguraikan arti ini, Kamus modern bahasa Arab Hans weir, halaman 1081.
Menurut Lisan-Ul-Arab, al-milaak berarti
- Perkawinan pernikahan
- Ikatan pernikahan yang suci
Menurut kamus yang sama, milaakun juga berarti
- Isteri
Kata “milkun” yang jamaknya “amlaak” berarti:
- Kepemilikan
- Tanah
- Keuntungan
- Kekayaan
- Real estate
- Properti
Kata “mulkun” berarti:
- Kedaulatan
- Kerajaan
- Kepemilikan
- Hak kepemilikan (apa yang menjadi hak milikmu)
Dalam istilah “Maa Malakat Aimaanukum”, kata MALAKAT adalah dengan pola masa lalu (madhi), yang mengandung pengertian “Apa yang TELAH kamu PUNYAI”, atau “apa yang TELAH kamu kuasai” atau “YANG TELAH menjadi milikmu”. Secara gramatikal, tidak bisa dipakai dengan pengertian “apa yang AKAN kamu kuasai” atau “apa yang AKAN kamu punyai”. Bentuk masa yang akan datang atau waktu sekarang (mudori’) kata ini sama sekali berbeda dan telah digunakan dalam berbagai ayat Al-Quran 5:17, 5:76, 10:31, 13:16, 16:76, 17:56, 19:87, 20:89, 25:3, 29:7, 34:22, 34:42, 35:13, 39:43, 43:86, 82:19
Sekarang mari kita lihat kata “Aimaanukum”.
Kata “Aimaanun” adalah jamak dari ”Yaminun” dan bermakna “tangan kanan”. Akar dari kata ini adalah ya-mim-nunn Y-M-N.
Kata “Yaminun” juga berarti:
- Sebuah perjanjian
- Sebuah sumpah
Kata “Yumnun”, mempunyai akar yang sama dan bermakna:
- Kemakmuran
- Kesuksesan
- Keberuntungan
- Pertanda baik
- Kesempatan yang menguntungkan
Sekarang mari kita renungkan tentang “pernikahan” yang juga merupakan sebuah perjanjian sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Quran pada ayat 4:21 dan juga merupakan sebuah peristiwa yang menguntungkan, kemudian terlihat adanya kecocokan dengan penggunaan kata “Aimaanun” dalam konteks pernikahan.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa “Maa Malakat Aimaanukum”, tidak hanya mengacu pada “budak” yang bisa berjenis kelamin wanita atau pria tetapi juga untuk:
- Para pasangan
- Para isteri
- Para pelayan
- Para tawanan perang
- Para bawahan
- Segala hal yang menjadi hak milikmu
Selanjutnya, ada kata penting lain yang telah digunakan sebagai kata penghubung yang harus pula dipahami maknanya. Kata tersebut adalah “AW”, yang telah digunakan pada ungkapan “aw maa malakat aymanukum”. “AW” pada umumnya diterjemahkan sebagai “ATAU”. Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa “ATAU” adalah salah satu dari arti “AW”, tetapi pada kenyataannya, kata ini digunakan tidak kurang dari 12 makna yang berbeda yang juga diterangkan dalam kamus Arabic-English Lane. Salah satu dari penggunaan kata ini adalah TAFSEEL, yaitu bersifat menguraikan atau menjelaskan. Dengan kata lain, “aw” juga digunakan untuk menambahkan beberapa maksud arti kepada kata yang sebelumnya atau untuk menjelaskan kata sebelumnya atau untuk memberi beberapa atribut atau karakter kata sebelumnya.
Tolong perhatikan ayat 17:110. Pada ayat ini, ada suatu ungkapan “Ud ‘u Allaha AW ud ‘u arrahmana”. Perhatikan secara hati-hati bagaimana kata “Allah” dan “Rahman” dipisahkan oleh kata “aw”. Di sini kata “aw” tidak menyiratkan bahwa “Allah” dan “Rahman” adalah dua makhluk yang berbeda. Tidak perlu diragukan lagi, bahwa “Allah” dan “Rahman” adalah sama. “Rahman” adalah salah satu atribut Allah”.
Sekarang kita perhatikan ayat 23:6 dan 70:30.
Pada ayat 4:24, istilah “maa malakat aymaanukum” mengacu pada wanita-wanita yang telah menikah, yaitu para isteri kafiriin sebagaimana yang diterangkan oleh ayat 60:10. Ayat 4:24 menjadikan tidak-syahnya menikahi semua wanita yang telah bersuami kecuali para wanita tersebut adalah isteri orang-orang kafir yang menjadi tawanan perang ataupun isteri orang-orang kafir yang hijrah ke komunitas muslimin meninggalkan suaminya yang kafir. Setelah menjadi wanita-wanita beriman, Al-Quran memandang bahwa perkawinan mereka sebelumnya merupakan ikatan tak beriman, alias tidak sah batal.
Pada ayat 4:3, istilah “maa malakat aymaanukum” bermakna “apa yang telah menjadi hak kuasamu” atau “apa yang telah kamu miliki”.
Pasa ayat 33:52, Nabi dilarang untuk menikahi wanita-wanita lainnya kendati mereka cantik, kecuali MENIKAHI ”ma malakat yamiinuka” (para wanita baik dari kelompok budak wanita yang telah dimiliki Nabi jika ada, pada wanita tawanan perang, para wanita isteri kafiriin yang hijrah (60:10), untuk menjadikan mereka bagian dari keluarga dan mengangkat status mereka (dari pada status mereka sebelumnya yang menjadi budak atau tawanan perang atau janda).
1. Bagaimana caranya berhubungan sex dengan Maa Malakat Aymanukum?.
Karena Al-Quran sudah menggunakan kata AMATUN/ IMAAUN (2:221, 24:32) untuk menyebut budak wanita dan kata ASROO (2:85, 33:26, 76:8) untuk menyebut tawanan perang, maka siapa sebenarnya ’maa malakat aimanukum’ itu ?
Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, maka (ia boleh mengawini) wanita muda yang beriman dari ’maa malakat aimanukum’. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Quran 4:25)
Apakah ayat di atas tidak cukup jelas bahwa Allah sedang menceritakan kepada kita bahwa jika ingin berhubungan sex dengan wanita ini (Maa Malakat Aymanukum) maka HARUS menikahi mereka!.
Pada kenyataannya Al-Quran membeberkan aturan sebuah perkawinan sebagai berikut:
1. Meminta ijin ahlinya/ penanggungjawabnya.
2. Memberikan mas kawin kepada mereka.
Jadi sama sekali tidak ada kesan langsung bisa melampiaskan nafsunya kepada ’maa malakat aimanukum’ ini sebagaimana yang terkesan pada ajaran para Mulah.
Ayat tersebut sedang membicarakan tentang PERKAWINAN dengan peraturannya.
2. Lantas siapakah ’maa malakat aimanukum’ ini ?
Sekarang kita akan membahas inti tentang: ‘Siapakah orang-orang ini’?.
Petunjuk 1: Orang ini dapat TINGGAL di rumah kita!.
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah MALAKAT AIMANUKUM, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat al-fajr, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya. (Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (24:58)
Petunjuk 2: Orang ini TERGANTUNG secara finansial kepada kita !.
Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara ‘maa malakat aimanuku’ sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal. (30:28)- Juga 4:36
Petunjuk 3: Mereka adalah suatu ‘pengecualian’ terhadap perkawinan pada umumnya.
“dan (diharamkan juga menikahi) wanita-wanita yang telah dinikahi, kecuali ’maa malakat aimanukum’. Allah telah menetapkan bagi kamu …” (4:24)
Ayat ini menunjukkan bahwa ‘maa malakat aimanukum’ adalah kelompok wanita yang bersuami namun boleh dinikahi.
Ringkasan:
Perkawinan kepada para wanita ini diijinkan oleh Allah dengan tatacara yang sedikit berbeda dibandingkan dengan wanita lainnya.
Siapakah “maa malakat aimanukum” itu?
Maa malakat aimaanukumhttp://muslimsaja.wordpress.com/2010/08/31/siapakah-maa-malakat-aimanukum-itu/
“Maa Malakat Aimaanukum” adalah salah satu idiom yang paling disalahpahami, salah penggunaan dan menyalah-gunakan istilah yang dipakai oleh Al-Quran. Pada umumnya dipakai dengan arti “budak wanita”.
Sebelum membahas arti yang benar dari istilah ini, harus diingat terlebih dahulu bahwa ada kata spesifik di dalam bahasa Arab untuk menyebut budak wanita dan kata ini telah digunakan sedikitnya dua kali di dalam Al-Quran, sekali sebagai bentuk tunggal “amatun” yang telah digunakan oleh ayat 2:221 dan yang kedua dalam bentuk jamaknya “imaaun”, yang telah digunakan oleh ayat 24:32.
“Maa Malakat Aimaanukum” secara harafiah mempunyai arti yang berikut:
- Apa yang tangan kananmu menguasai
- Apa yang kamu punyai dengan hak sepenuhnya
- Apa yang telah kamu punyai
- Apa yang menjadi hak milikmu
Sekarang apa saja yang dimaksud dengan ”apa yang tangan kananmu menguasai”, ”apa yang kamu punyai dengan hak sepenuhnya”, ”apa yang telah kamu punyai” dan ”apa yang menjadi hak milikmu” ? Hal itu bisa menyangkut:
- Isterimu
- Pasanganmu
- Pelayanmu
- Kepemilikanmu
- Budakmu, baik wanita atau pria sebab “Maa Malakat Aimaanukum” mengacu pada jenis kelamin netral, sehingga dapat digunakan untuk wanita atau pria.
- Tawanan perangmu
Sekarang mari kita selidiki setiap kata kunci dalam istilah “Maa Malakat Aimaanukum”, sedikit lebih lanjut.
Kata “Malakat” itu mempunyai akar mim-lam-kaf (M-L-K). Pengertian utamanya adalah:
- menguasai atau memiliki sesuatu atau seseorang, terutama sekali dengan kemampuan untuk memilikinya bagi dirinya sendiri secara eksklusif
Pengertian lainnya meliputi:
- mempunyai kekuasaan untuk memerintah atau menerapkan otoritas
- memperoleh
- mengambil alih
- menikahi
Sebagaimana yang dapat dilihat bahwa salah satu artinya adalah “menikahi”. Ini adalah menurut salah satu dari kamus bahasa Arab yang dianggap otentik, Lisan-Ul-Arab oleh Ibn-Manzoor Vol. 13, halaman 184. Kamus otentik Arab Modern lainnya juga menguraikan arti ini, Kamus modern bahasa Arab Hans weir, halaman 1081.
Menurut Lisan-Ul-Arab, al-milaak berarti
- Perkawinan pernikahan
- Ikatan pernikahan yang suci
Menurut kamus yang sama, milaakun juga berarti
- Isteri
Kata “milkun” yang jamaknya “amlaak” berarti:
- Kepemilikan
- Tanah
- Keuntungan
- Kekayaan
- Real estate
- Properti
Kata “mulkun” berarti:
- Kedaulatan
- Kerajaan
- Kepemilikan
- Hak kepemilikan (apa yang menjadi hak milikmu)
Dalam istilah “Maa Malakat Aimaanukum”, kata MALAKAT adalah dengan pola masa lalu (madhi), yang mengandung pengertian “Apa yang TELAH kamu PUNYAI”, atau “apa yang TELAH kamu kuasai” atau “YANG TELAH menjadi milikmu”. Secara gramatikal, tidak bisa dipakai dengan pengertian “apa yang AKAN kamu kuasai” atau “apa yang AKAN kamu punyai”. Bentuk masa yang akan datang atau waktu sekarang (mudori’) kata ini sama sekali berbeda dan telah digunakan dalam berbagai ayat Al-Quran 5:17, 5:76, 10:31, 13:16, 16:76, 17:56, 19:87, 20:89, 25:3, 29:7, 34:22, 34:42, 35:13, 39:43, 43:86, 82:19
Sekarang mari kita lihat kata “Aimaanukum”.
Kata “Aimaanun” adalah jamak dari ”Yaminun” dan bermakna “tangan kanan”. Akar dari kata ini adalah ya-mim-nunn Y-M-N.
Kata “Yaminun” juga berarti:
- Sebuah perjanjian
- Sebuah sumpah
Kata “Yumnun”, mempunyai akar yang sama dan bermakna:
- Kemakmuran
- Kesuksesan
- Keberuntungan
- Pertanda baik
- Kesempatan yang menguntungkan
Sekarang mari kita renungkan tentang “pernikahan” yang juga merupakan sebuah perjanjian sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Quran pada ayat 4:21 dan juga merupakan sebuah peristiwa yang menguntungkan, kemudian terlihat adanya kecocokan dengan penggunaan kata “Aimaanun” dalam konteks pernikahan.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa “Maa Malakat Aimaanukum”, tidak hanya mengacu pada “budak” yang bisa berjenis kelamin wanita atau pria tetapi juga untuk:
- Para pasangan
- Para isteri
- Para pelayan
- Para tawanan perang
- Para bawahan
- Segala hal yang menjadi hak milikmu
Selanjutnya, ada kata penting lain yang telah digunakan sebagai kata penghubung yang harus pula dipahami maknanya. Kata tersebut adalah “AW”, yang telah digunakan pada ungkapan “aw maa malakat aymanukum”. “AW” pada umumnya diterjemahkan sebagai “ATAU”. Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa “ATAU” adalah salah satu dari arti “AW”, tetapi pada kenyataannya, kata ini digunakan tidak kurang dari 12 makna yang berbeda yang juga diterangkan dalam kamus Arabic-English Lane. Salah satu dari penggunaan kata ini adalah TAFSEEL, yaitu bersifat menguraikan atau menjelaskan. Dengan kata lain, “aw” juga digunakan untuk menambahkan beberapa maksud arti kepada kata yang sebelumnya atau untuk menjelaskan kata sebelumnya atau untuk memberi beberapa atribut atau karakter kata sebelumnya.
Tolong perhatikan ayat 17:110. Pada ayat ini, ada suatu ungkapan “Ud ‘u Allaha AW ud ‘u arrahmana”. Perhatikan secara hati-hati bagaimana kata “Allah” dan “Rahman” dipisahkan oleh kata “aw”. Di sini kata “aw” tidak menyiratkan bahwa “Allah” dan “Rahman” adalah dua makhluk yang berbeda. Tidak perlu diragukan lagi, bahwa “Allah” dan “Rahman” adalah sama. “Rahman” adalah salah satu atribut Allah”.
Sekarang kita perhatikan ayat 23:6 dan 70:30.
- 23:6. Illa ’Ala azwaajihim aw maa malakat aymaanuhum fainnahum ghayru maluumiina
- 70:30. Illa ’Ala azwaajihim aw maa malakat aymaanuhum fainnahum ghayru maluumiina
Pada ayat 4:24, istilah “maa malakat aymaanukum” mengacu pada wanita-wanita yang telah menikah, yaitu para isteri kafiriin sebagaimana yang diterangkan oleh ayat 60:10. Ayat 4:24 menjadikan tidak-syahnya menikahi semua wanita yang telah bersuami kecuali para wanita tersebut adalah isteri orang-orang kafir yang menjadi tawanan perang ataupun isteri orang-orang kafir yang hijrah ke komunitas muslimin meninggalkan suaminya yang kafir. Setelah menjadi wanita-wanita beriman, Al-Quran memandang bahwa perkawinan mereka sebelumnya merupakan ikatan tak beriman, alias tidak sah batal.
Pada ayat 4:3, istilah “maa malakat aymaanukum” bermakna “apa yang telah menjadi hak kuasamu” atau “apa yang telah kamu miliki”.
Pasa ayat 33:52, Nabi dilarang untuk menikahi wanita-wanita lainnya kendati mereka cantik, kecuali MENIKAHI ”ma malakat yamiinuka” (para wanita baik dari kelompok budak wanita yang telah dimiliki Nabi jika ada, pada wanita tawanan perang, para wanita isteri kafiriin yang hijrah (60:10), untuk menjadikan mereka bagian dari keluarga dan mengangkat status mereka (dari pada status mereka sebelumnya yang menjadi budak atau tawanan perang atau janda).
1. Bagaimana caranya berhubungan sex dengan Maa Malakat Aymanukum?.
Karena Al-Quran sudah menggunakan kata AMATUN/ IMAAUN (2:221, 24:32) untuk menyebut budak wanita dan kata ASROO (2:85, 33:26, 76:8) untuk menyebut tawanan perang, maka siapa sebenarnya ’maa malakat aimanukum’ itu ?
Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, maka (ia boleh mengawini) wanita muda yang beriman dari ’maa malakat aimanukum’. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Quran 4:25)
Apakah ayat di atas tidak cukup jelas bahwa Allah sedang menceritakan kepada kita bahwa jika ingin berhubungan sex dengan wanita ini (Maa Malakat Aymanukum) maka HARUS menikahi mereka!.
Pada kenyataannya Al-Quran membeberkan aturan sebuah perkawinan sebagai berikut:
1. Meminta ijin ahlinya/ penanggungjawabnya.
2. Memberikan mas kawin kepada mereka.
Jadi sama sekali tidak ada kesan langsung bisa melampiaskan nafsunya kepada ’maa malakat aimanukum’ ini sebagaimana yang terkesan pada ajaran para Mulah.
Ayat tersebut sedang membicarakan tentang PERKAWINAN dengan peraturannya.
2. Lantas siapakah ’maa malakat aimanukum’ ini ?
Sekarang kita akan membahas inti tentang: ‘Siapakah orang-orang ini’?.
Petunjuk 1: Orang ini dapat TINGGAL di rumah kita!.
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah MALAKAT AIMANUKUM, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat al-fajr, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya. (Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (24:58)
Petunjuk 2: Orang ini TERGANTUNG secara finansial kepada kita !.
Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara ‘maa malakat aimanuku’ sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal. (30:28)- Juga 4:36
Petunjuk 3: Mereka adalah suatu ‘pengecualian’ terhadap perkawinan pada umumnya.
“dan (diharamkan juga menikahi) wanita-wanita yang telah dinikahi, kecuali ’maa malakat aimanukum’. Allah telah menetapkan bagi kamu …” (4:24)
Ayat ini menunjukkan bahwa ‘maa malakat aimanukum’ adalah kelompok wanita yang bersuami namun boleh dinikahi.
Ringkasan:
- Wanita yang bisa dijadikan pilihan untuk dinikahi (4:3, 25, 23:5-6, 33:50, 52, 70:29-30)
- Adalah merupakan pengecualian dari kelompok wanita bersuami yang boleh dinikahi (4:24), misalnya isteri-isteri orang-orang kafir yang meninggalkan suami mereka dan meminta perlindungan kepada kita (60:10).
- Atau wanita yang mempunyai wali atau penanggungjawab (4:25), karenanya harus meminta ijin Ahlinya jika ingin menikahi mereka;
- Lelaki atau wanita yang tergantung secara finansial kepada kita (4:36, 16:71, 30:28);
- Lelaki atau wanita yang tinggal serumah dengan kita (24:31, 58, 33:55);
- Lelaki atau wanita yang terikat perjanjian (24:33)
Perkawinan kepada para wanita ini diijinkan oleh Allah dengan tatacara yang sedikit berbeda dibandingkan dengan wanita lainnya.
Tujuh Tingkatan Ruhani & Makna "Maa Malakat Aimanukum (Apa yang Dimiliki Tangan Kanan Kamu)
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 100
Tujuh Tingkatan Ruhani &
Makna “Mā
Malakat Aimanukum”
(Apa yang Dimiliki Tangan Kanan Kamu)
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
http://kilanglang.blogspot.com/2013/04/tujuh-tingkatan-ruhani-makna-maa.html
Dalam bagian akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
adanya persamaan antara rahim ibu dengan hati manusia dan makna kata ‘alaqah
(darah yang lengket) serta hubungannya dengan rahim, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا
الۡاِنۡسَانَ مِنۡ سُلٰلَۃٍ مِّنۡ طِیۡنٍ ﴿ۚ﴾ ثُمَّ جَعَلۡنٰہُ نُطۡفَۃً
فِیۡ قَرَارٍ مَّکِیۡنٍ ﴿۪﴾ ثُمَّ
خَلَقۡنَا النُّطۡفَۃَ عَلَقَۃً
فَخَلَقۡنَا الۡعَلَقَۃَ مُضۡغَۃً فَخَلَقۡنَا الۡمُضۡغَۃَ عِظٰمًا
فَکَسَوۡنَا الۡعِظٰمَ لَحۡمًا ٭ ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ ؕ فَتَبٰرَکَ
اللّٰہُ اَحۡسَنُ الۡخٰلِقِیۡنَ ﴿ؕ﴾
Dan
sungguh Kami benar-benar telah
menciptakan insan (manusia) dari sari
tanah liat, kemudian Kami menjadikannya air mani di dalam tempat
penyimpanan yang kokoh. Kemudian
Kami menciptakan air mani menjadi ‘alaqah (segumpal darah lengket), maka
Kami menciptakan segumpal darah lengket itu
menjadi segumpal daging, maka Kami
menciptakan dari segumpal daging itu
tulang-tulang, kemudian Kami membungkus tulang-tulang itu dengan
daging, kemudian Kami menumbuhkannya
menjadi makhluk lain, maka Maha Berkat Allah, sebaik-baik Pencipta.
(Al-Mu’minūn
[23]:13-15).
Sesudah
mengemukakan berbagai tingkat evolusi
ruhani manusia dalam sepuluh ayat pertama Surah Al-Mu’minūn ini, selanjutnya Al-Quran menjelaskan dalam ayat 13 dan
dalam beberapa ayat berikutnya berbagai tingkat perkembangan fisiknya dalam rahim
ibu, dan dengan demikian membuktikan adanya kesejajaran
ajaib di antara kelahiran dan pertumbuhan jasmani dengan kelahiran
dan pertumbuhan ruhaninya, yaitu ada
tujuh tingkatan perkembangan (QS.23:18).
Tujuh Tingkatan Perkembangan
Ruhani Manusia
Berikut
adalah ketujuh tingkatan perkembangan
ruhani manusia yang akan mewarisi surga
Fir’aus, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قَدۡ اَفۡلَحَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ ہُمۡ فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ مُعۡرِضُوۡنَ ﴿ۙ۳﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِلزَّکٰوۃِ فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ
ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ
اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی
وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ
لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ
یُحَافِظُوۡنَ ۘ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sungguh telah berhasil orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang
yang berpaling dari hal yang sia-sia, dan orang-orang yang membayar zakat,
dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa
mencari selain dari itu maka mereka itu
orang-orang yang melampaui batas. dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian
mereka, dan orang-orang yang
memelihara shalat-shalat mereka. Mereka itulah pewaris, yaitu orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus,
mereka akan kekal
di dalamnya. (Al-Mu’minūn [23]:1-12).
Ayat 1 menunjuk kepada orang-orang beriman yang mempunyai tingkat keruhanian yang amat
tinggi – “Sungguh telah berhasil orang-orang yang beriman” -- sifat-sifat istimewa dan ciri-ciri khususnya
disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya. Orang-orang beriman semacam itu akan
memperoleh falah (sukses) dan bukan hanya najat (keselamatan),
sebab mencapai falah menandakan tingkat
ruhani yang jauh lebih tinggi dari hanya mencapai najat.
Dengan
ayat 2 mulai pelukisan mengenai kondisi-kondisi
atau prasyarat-prasyarat yang seorang
beriman harus penuhi sebelum dapat menaruh harapan untuk memperoleh falah (sukses)
dalam kehidupan dan mencapai tujuan utama, yang untuk itu Allah Swt. telah menciptakan dia (QS.51:57).
Syarat-syarat tersebut dapat
dianggap sekian banyak tingkat
perkembangan ruhani manusia. Tingkat atau pal pertama dalam perjalanan ruh manusia ialah bahwa
seorang beriman harus menghadap kepada
Tuhan dengan penuh kerendahan diri,
merasa gentar oleh keagungan Ilahi, dan dengan hati yang menyesal dan merendahkan diri:
“orang-orang
yang khusyuk dalam shalatnya.”
Tingkat
kedua terletak dalam berpaling dari
segala macam percakapan dan khayalan tidak berguna, dan dari amal perbuatan sia-sia, percuma serta
tidak membawa manfaat. Kehidupan
merupakan suatu kenyataan yang suram dan serius, dan seorang beriman harus menanggapinya demikian.
Ia harus mempergunakan setiap saat dalam kehidupannya dengan cara yang
bermanfaat dan menjauhi semua kesibukan
sia-sia yang tidak berguna: “dan orang-orang yang berpa-ling dari hal yang
sia-sia.”
Tujuan zakat bukan hanya menyediakan
sarana-sarana untuk meringankan beban
orang-orang yang keadaannya menyedihkan, atau untuk memajukan kesejahteraan
golongan masyarakat yang secara ekonomis kurang beruntung, melainkan mencegah
juga penimbunan uang dan bahan-bahan
keperluan dan dengan demikian menjamin kelancaran perputaran kedua-duanya, agar
mengakibatkan terciptanya keseimbangan
ekonomi yang sehat: “orang-orang yang membayar zakat.”
Pernikahan dan Upaya Penjagaan Kesucian Diri
Tingkatan atau keadaan ruhani berikutnya dikemukakan oleh ayat selanjutnya, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ
ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ
اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی
وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka
sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa
mencari selain dari itu maka mereka itu
orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn
[23]:5-8).
Dalam ayat-ayat ini nampak sekali kesakralan tujuan pernikahan dalam ajaran
Islam berkenaan dengan pentingnya
menjaga kesucian farji (kemaluan),
baik farji secara jasmani maupun farji secara ruhani, yakni panca indera. Dalam ayat-ayat ini
dikemukakan dua macam istri yang sah berdasarkan status sosial mereka, yakni (1) “ajwajikum” (istri-istri mereka) dari
kalangan perempuan-perempuan beriman yang merdeka,
(2) istri-istri yang sah dari kalangan mā malakat aimanukum (apa yang dimiliki tangan kanan mereka).
Secara
umum kalimat “mā malakat aimanukum” berarti perempuan-perempuan berstatus tawanan
perang yang tidak ditebus dan berada dalam tahanan serta jatuh ke dalam
kuasa orang-orang Islam, karena mereka telah ikut secara aktif dalam peperangan
yang dilancarkan dengan maksud menghancurkan Islam, maka dengan demikian secara hukum mencabut hak
diri mereka sendiri untuk memperoleh kemerdekaan.
Istilah itu digunakan dalam Al-Quran sebagai pengganti sebutan ibad dan ima
(budak laki-laki dan budak perempuan) untuk mengisyaratkan kepada pemilikan yang sah dan benar menurut hukum.
Ungkapan, milk yamin
berarti milik penuh dan sah menurut hukum (Lisan-ul-‘Arab). Istilah itu mencakup budak-budak laki-laki dan perempuan, dan hanya letaknya dalam
kalimat saja yang menetapkan apa yang dimaksud oleh ungkapan itu pada satu
tempat tertentu. Banyak sekali terjadi kesalahpahaman,
mengenai ungkapan “yang dimiliki tangan kanan kamu” dan apa hak serta kedudukan orang-orang yang menjadi tujuan pernyataan itu. Islam telah mengutuk perbudakan dengan kata-kata yang tidak samar-samar.
Menurut Islam, memahrumkan (meluputkan) seseorang dari kemerdekaannya merupakan dosa yang amat besar kecuali, tentu saja
ia — baik laki-laki maupun perempuan — membuat dirinya layak dirampas kemerdekaannya,
karena keikutsertaannya dalam peperangan yang dilancarkan dengan
maksud menghancurkan agama Islam atau
negara Islam.
Memperjualbelikan budak-budak itu merupakan dosa besar pula. Ajaran Islam dalam hal ini, lugas, tegas, dan tidak
samar-samar. Menurut Islam, seseorang yang membuat orang lain menjadi budaknya, berbuat dosa besar terhadap Tuhan dan terhadap manusia (Bukhari, Kitab-ul-Bai’,
dan Dawud, seperti ditukil
oleh Fath al-Bari).
Ada baiknya dicatat bahwa, ketika
Islam lahir ke dunia perbudakan
merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan
kemasyarakatan umat manusia dan terdapat banyak sekali budak di tiap-tiap
negeri, terutama semenanjung Arabia. Oleh karena itu tidak mungkin, bahkan
tidak pula bijaksana menghapuskan sekaligus
suatu tatanan yang telah menjadi
demikian eratnya terjalin dalam seluruh tatanan masyarakat, tanpa mendatangkan kerugian besar kepada keadaan akhlaknya. Oleh karena itu Islam
berusaha menghapuskannya secara bertahap
tetapi jitu lagi mantap.
Al-Quran telah meletakkan
peraturan yang sangat sehat untuk
menghapuskan perbudakan dengan cepat
lagi sempurna sebagai berikut: (1) Tawanan-tawanan hanya dapat diambil dalam
peperangan regular (tetap); (2) mereka tidak boleh ditahan sesudah peperangan
berakhir, tetapi (3) harus dibebaskan sebagai isyarat belas-kasih atau
tukar-menukar tawanan (QS.47:5).
Tetapi perempuan-perempuan tawanan yang bernasib
malang yang tidak memperoleh kemerdekaannya,
lewat salah satu dari cara-cara itu, atau
terpaksa memilih tinggal bersama majikan-majikan
mereka yang Muslim, dapat menebus kebebasan mereka dengan membuat perjanjian dengan mereka yang disebut mukatabah,
(QS.24: 34).
Jika seorang perempuan tertawan dalam peperangan
yang sifatnya seperti tersebut di atas dan dengan demikian ia kehilangan kemerdekaannya serta menjadi milk
yamin, lagi pula ia tidak berhasil memperoleh kemerdekaannya dengan jalan pertukaran
tawanan perang, dan kepentingan pemerintah juga tidak membenarkan pembebasannya yang segera sebagai tanda belas-kasih, atau kaumnya ataupun
pemerintahnya sendiri tidak menebusnya,
lagi pula ia tidak berupaya membeli (menebus) kemerdekaannya dengan mengadakan mukatabah, dan majikannya — demi keselamatan akhlaknya — lalu menikahinya tanpa meminta
persetujuannya lebih dahulu, maka bagaimanakah peraturan ini dapat dianggap tercela?
Dilarang Melakukan Hubungan Intim dengan
Budak-budak
Perempuan Tanpa Nikah
Adapun mengenai mengadakan hubungan intim dengan seorang tawanan perang perempuan atau seorang budak perempuan tanpa menikahinya, sekali-kali tidak didukung oleh ayat ini atau ayat-ayat Al-Quran lain manapun.
Al-Quran bukan saja tidak membenarkan
memperlakukan tawanan-tawanan perang perempuan sebagai istri tanpa menikahinya secara sah, bahkan ada perintah-perintah
yang jelas dan tegas bahwa tawanan-tawanan perang ini -- seperti halnya pula perempuan-perempuan merdeka -- harus dinikahi jika mereka akan
diperlakukan sebagai istri.
Antara kedua macam perempuan itu
hanya ada perbedaan sementara dalam kedudukan sosial, yaitu minta
persetujuan sebelumnya tidak dianggap perlu dari diri tawanan perempuan untuk menikahi
mereka, sebagaimana sudah seyogianya diminta dari perempuan-perempuan merdeka (QS.4:20).
Sebenarnya mereka itu kehilangan hak, karena keikutsertaan
dalam perang terhadap Islam. Oleh
karena itu ungkapan, mā malakat aimanukum, yang berarti tawanan-tawanan
perempuan, menurut Al-Quran sedikit
pun tidak memberi dukungan kepada
anggapan bahwa Islam melestarikan
pergundikan. Selain ayat ini, sekurang-kurangnya dalam empat ayat lain perintah itu telah diletakkan dengan
kata-kata yang jelas dan tidak samar-samar, bahwa tawanan-tawanan perang perempuan
hendaknya jangan dibiarkan terus hidup
tanpa bersuami (QS.2:222; QS.4:4; QS.4:26; QS.24: 33).
Nabi Besar Muhammad saw. pun sangat tegas dalam hal ini. Menurut
riwayat beliau pernah bersabda:
“Orang yang
mempunyai budak perempuan dan memberi didikan yang baik kepadanya, serta
memeliharanya dengan cara yang patut dan selanjutnya memerdekakan serta
mengawininya, bagi dia ada ganjaran dua kali lipat” (Bukhari, Kitab al-‘Ilm).
Hadits ini berarti bahwa manakala
seorang orang Islam ingin memperistri
seorang budak perempuan, ia hendaknya pertama-tama memerdekakan budak perempuan itu lebih dahulu sebelum menikahinya.
Contoh Nyata Amal Nabi Besar Muhammad saw.
Amal Nabi Besar Muhammad saw. amat sejalan dengan perintah beliau saw. itu. Dua dari antara istri-istri beliau, Juwairiah r.a. dan Shafiyyah r.a., jatuh ke
tangan beliau saw. sebagai tawanan perang.
Mereka itu milk yamin beliau saw.. Tetapi beliau saw. menikahi keduanya menurut syariat Islam.
Nabi Besar Muhammad saw. menikahi
juga Mariyah yang dikirim Raja
Muda Mesir untuk beliau saw. dan istri beliau saw. yang ini pun menikmati
kedudukan sebagai perempuan merdeka,
seperti istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. yang
lainnya. Beliau mengenakan burkah (kudungan) dan termasuk salah satu di
antara Ummul Mukminin (Ibu orang-orang yang beriman).
Al-Quran menjelaskan bahwa perintah berkenaan dengan pernikahan yang berlaku untuk “yang dimiliki tangan kanan engkau” adalah sama dengan perintah yang berlaku untuk “putri-putri para paman dan bibi Rasulullah
saw. dari pihak ayah dan ibu.”
Kedua kelas perempuan itu harus dinikahi oleh Nabi Besar Muhammad
saw. sebelum mereka diperlakukan sebagai istri-istri.
Ketiga kategori yang disebut di
atas semuanya dihalalkan bagi Nabi Besar Muhammad saw. melalui
pernikahan (QS.33:51). Selanjutnya,
ayat yang berbunyi: “Dan diharamkan
juga bagi kamu perempuan-perempuan yang
bersuami, kecuali yang dimiliki
tangan kanan kamu” (QS.4:25) bersama-sama dengan ayat sebelumnya
(QS.4.23-24), membahas perempuan-perempuan
muhrim dan di antara mereka
ini termasuk perempuan-perempuan yang bersuami.
Tetapi ayat itu membuat suatu pengecualian,
yaitu perempuan-perempuan bersuami yang ditawan dalam peperangan agama dan kemudian mereka memilih tetap bersama orang-orang Islam
dapat dinikahi oleh majikan-majikan mereka. Kenyataan
bahwa mereka memilih tidak kembali
kepada suami-lama mereka, dianggap
sama dengan pembatalan pernikahan
mereka yang sebelumnya (QS.60:11).
Dapat juga dicatat secara
sepintas lalu, bahwa adalah tidak
diperkenankan menikahi
perempuan-perempuan kerabat budak-perempuan dalam batas yang tidak
diizinkan, mengenai kerabat perempuan-merdeka. Misalnya: ibu, saudara-perempuan,
anak-perem-puan, dan sebagainya dari budak-perempuan yang diperistri, tidak boleh dinikahi.
Selanjutnya dapat dikatakan,
bahwa mengingat keadaan pada saat turun Al-Quran maka terpaksa harus mengadakan
perbedaan kedudukan sosial di antara
kedua golongan perempuan itu.
Pembedaan itu dinyatakan dengan sebutan zauj (perempuan-merdeka yang dinihahi)
dan milk yamin (budak-perempuan yang dinikahi).
Sebutan pertama menyandang arti persamaan derajat antara suami dan istri, sedangkan yang kedua mengisyaratkan kepada kedudukannya yang agak rendah sebagai istri. Tetapi hal itu berlaku sementara. Al-Quran dan Nabi Besar
Muhammad saw. memerintahkan dengan keras sekali, bahwa budak-budak perempuan yang akan dinikahi
pertama-tama harus diberi kemerdekaan
dan kedudukan penuh dan kemudian dinikahi, sebagaimana Nabi Besar Muhammad saw. telah
melakukannya.
Perintah yang Bersifat Sementara
Kecuali itu, Islam tidak
memperkenankan perempuan yang ditawan dalam peperangan-kecil
untuk diperlakukan sebagai budak-budak
perempuan. Izin menikahi budak perempuan tanpa persetujuannya
lebih dahulu, berlaku hanya apabila satu
bangsa yang bersikap tidak-bersahabat
berinisiatip melancarkan perang agama
terhadap Islam untuk menghapuskan dan memaksa orang-orang Islam meninggalkan
agama mereka di bawah ancaman pedang (senjata), dan kemudian memperlakukan tawanan-tawanan mereka — laki-laki
maupun perempuan — sebagai budak-budak
seperti dilakukan di masa Nabi Besar Muhammad saw..
Pada masa itu musuh-musuh membawa perempuan-perempuan Muslim sebagai tawanan dan memperlakukan mereka sebagai budak-budak. Perintah Islam hanya merupakan tindak balasan dan bersifat sementara.
Perintah itu mempunyai tujuan sampingan
pula, yakni untuk melindungi akhlak
tawanan-tawanan perempuan. Keadaan yang demikian itu sudah tidak berlaku lagi. Sekarang tidak ada lagi peperangan agama dan karenanya tawanan-tawanan perang tidak boleh diperlakukan sebagai budak-budak.
Demikianlah penjelasan mengenai
makna ungkapan “mā malakat aimanukum” (apa yang dimiliki tangan
kanan kamu) pada tingkatan atau keadaan ruhani berikutnya dikemukakan oleh firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ
ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ
اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی
وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka
sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa
mencari selain dari itu maka mereka itu
orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn
[23]:5-8).
(Bersambung) Rujukan: The
Holy Quran. Editor: Malik Ghulam Farid ***
Nikah Mut’ah Antara Hukum Islam dan Fitnah Wahhabi (1)
Posted on Oktober 2, 2007 by Ibnu Jakfari
http://jakfari.wordpress.com/2007/10/02/nikah-mutah-antara-hukum-islam-dan-fitnah-wahhabi/
Nikah Mut’ah Antara Hukum Islam Dan Fitnah Wahabi (1)
Bantahan atas artikel blog “haulasyiah” -Syiah Menghalalkan Zina-
Banyak sekali fitnah beracun yang dihembuskan kaum wahhabi terhadap Syi’ah. Di antaranya adalah kekejian dan kepalsuan yang tersebar hampir dalam setiap paragraf tulisannya seperti dalam artikel: SYIAH MENGHALALKAN ZINA. Mengingat kejinya fitnah itu dan rancunya tulisan dalam artikel tersebut maka kami akan menaggapinya dalam dua tahapaan, pertama, kami akan paparkan permasalahan Nikah Mut’ah jauh dari tuduhan keji dalam artikel tersebut, kedua, menaggapi butir-butir fitnah dan kesalahan fatal dalam artikel tersebut. Selamat mengikuti.
Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?
Salah satu masalah fikih yang diperselisihkan antara pengikut Ahlulbait (Syiah) dan Ahlusunnah adalah hukum nikah Mut’ah. Tentang masalah ini ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, berikut ini akan kita bahas bersama.
Pertama: Defenisi Nikah Mut’ah.
Kedua: Tentang ditetapkannya mut’ah dalam syari’at Islam.
Ketiga: Tidak adanya hukum baru yang me-mansukh-kannya.
Keempat: Hadis-hadis yang menegaskan disyari’atkannya.
Kelima: Bukti-bukti bahwa Khalifah Umar-lah yang mengharamkannya.
Difinisi Nikah Mut’ah:
Ketika menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa’-seperti akan disebutkan di bawah nanti, Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya_pen), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.” [1] Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas.
Nikah Mut’ah Telah Disyari’atkan
Dalam masalah ini telah disepakati bahwa nikah mut’ah telah disyari’atkan dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah daa’im (permanen). Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah sepakat bahwa nikah Mut’ah telah ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal dharuruyyat minaddin (yang gamblang dalam agama). Alqur’an dan sunah telah menegaskan disyari’atkannya nikah Mut’ah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak?
Al-Maziri seperti dikutip al-Nawawi mengatakan, “Telah tetap (terbukti) bahwa nikah Mut’ah adalah boleh hukumnya di awal Islam… .” [2] Ketika menjelaskan sub bab yang ditulis Imam Bukhari: Bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (Bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
Ibnu Hajar mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.” [3]
Al-Syaukani juga menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan dan disyari’atkan dalam Islam, sebelum kemudian, katanya dilarang oleh Nabi saw., ia berkata, “Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini ialah nikah mut’ah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan tambahan إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu) [4]
Ibnu Katsir menegaskan, “Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah mut’ah, dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu ditetapkan dalam syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan… .” [5]
Ayat Tentang Disyari’atkannya Nikah Mut’ah
Salah satu ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di atas ialah firman Allah SWT.
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّأُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً … (النساء:24
“Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…” (QS:4;24)
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Dalam bahasa Arab kata mut’ah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja istamta’a artinya mengambil manfaat [6]
Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikah tersebut, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ – إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari, Al-Syaukani dan lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama mereka. Qadhi Iyaadh seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, awal Bab Nikah Mut’ah bahwa Ibnu Mas’ud membacanya dengan tambahan tersebut. Jumhur para ulama pun, seperti telah Anda baca dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah.
Catatan:
Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: اسْتَمْتَعْتُمْ, dan ia bukti kuat bahwa para sahabat itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!
Klaim Pe-mansukh-an Hukum Nikah Mut’ah Dalam Al qur’an
Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak disangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat naasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan ayat-ayat tersebut.
Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:
و الذين هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حافِظُونَ
إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ، فَإِنَّهُمْ غيرُ
مَلُوْمِيْنَ. (المؤمنون:5-6
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6) Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya menggauli seorang wanita karena dua sebab; pertama, hubungan pernikahan (permanen).Kedua, kepemilikan budak.
Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan bukan seorang istri.
Tanggapan:
Pertama-tama yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent) maupun akad nikah Mut’ah.
Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahulu dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!
Ketiga, Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az- zamakhsyari menukil Ibnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak mansukh)”. Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu Uyainah.
Keempat, Para imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.
Kelima, Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanen dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam, seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan antara keduanya.
Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:
1. Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saw. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan -dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!
2. Tafsiran para ulama dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saw. oleh para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.
4. Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akad nikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.
Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab(33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat di atas kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
Ayat Kedua dan Ketiga:
Allah SWT berfirman:
وَلَكُمْ نِصْفُ ما تَرَكَ أَزْواجُكُمْ. (النساء:12
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS:3;12)
Dan
وَ إِذا طَلَّقْتُمُ النِساءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ. (الطلاق:1
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)iddahnya (yang wajar).” (QS65;1)
Keterangan:
Ringkas syubhat mereka dalam masalah ini ialah bahwa seorang istri itu dapat mewarisi suaminya, dan dapat diceraikan dan baginya hak mendapatkan nafkah dari suami. Semua ini adalah konsekuensi ikatan tali pernikahan. Sementara itu, dalam kawin Mut’ah hal itu tidak ada, seorang istri tidak mewarisi suaminya, dan hubungan itu berakhir dengan tanpa talak/tidak melalui proses penceraian, dan tiada atas suami kewajiban nafkah. Maka dengan memperhatikan ini semua Mut’ah tidak dapat disebut sebagai akad nikah, dan wanita itu bukanlah seorang istri!
Tanggapan Atas Syubhat di Atas
1. Syarat yang diberlakukan dalam akad Mut’ah sama dengan yang diberlakukan dalam nikah daim (permanen), sebagimana dalam nikah daim disyaratkan beberapa syarat, seperti, harus baligh, berakal (waras jiwanya), bukan berstatus sebagai hamba sahaya, harus ada saling rela, dan …demikian pula dalam nikah Mut’ah tanpa ada sedikitpun perbedaan. Adapun masalah talak, dan saling mewarisi, misalnya, ia bukan syarat sahnya akad pernikahan… ia adalah rentetan yang terkait dengannya dan tetap dengan tetap/sahnya akad itu sendiri. Oleh sebab itu hal-hal di atas tidak disebutkan dalam akad. Ia berlaku setelah terjadi kematian atau penceraian. Seandainya seorang istri mati tanpa meninggalkan sedikitpun harta waris, atau ia tidak diceraikan oleh suaminya hingga ia mati, atau suami menelantarkan sebagian kewajibannya, maka semua itu tidak merusak kebashan akad nikahnya. Demikian pula tentang nafkah dan iddah.
2. Redaksi akad yang dipergunakan dalam nikah daim tidak berbeda dengan yang dipergunakan dalam nikah Mut’ah, hanya saja pada Mut’ah disebutkan jangka waktu tertentu.
3. Antara dua ayat yang disebutkan dengan ayat Mut’ah tidak ada sedikit pertentangan. Anggapan itu hanya muncul karena ketidak fahaman semata akan batasan Muthlaq (yang mutlak tanpa ikatan) dan Muqayyad (yang diikat), yang umum dan yang khusus. Karena sesungguhnya ayat Mut’ah itu mengkhususkan ayat tentang pewarisan dan talak.
4. Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad nikah Mut’ah itu bukan seorang istri, maka anggapan itu tidak benar karena:
A. Sebab pewarisan itu bukanlah konsekuensi yang berkalu selamanya dalam pernikahan, yang tidak dapat berpisah sama sekali. Di sana ada pengecualian- pengecualian. Seorang wanita ditetapkan sebagai sitri namun demikian ia tidak mewairisi suaminya, seperti seorang istri yang berbeda agama (Kristen misalnya) dengan suaminya (Muslim), atau istri yang membunuh suaminya, atau seorang wanita yang dinikahi seorang laki-laki dalam keadaan sakit kemudian suami tersebut mati sebelum sempat berhubungan badan dengannya, atau apabila istri tersebut berstatus sebagai budak sahaya… bukankan dalam contoh kasus di atas wanita itu berstaus sebagai isri, namun demikian -dalam syari’at Islam- ia tidak mewarisi suaminya.
B. Ayat tentang warisan (ayat 12 surah An Nisaa’) adalah ayat Makkiyah sementara ayat Mut’ah adalah madaniyah. Maka bagaimana mungkin yang menasakh turun lebih dahulu dari yang dimansukh?!
5. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab tidak ada keharusan atas suami untuk memberi nafkah, maka anggapan ini juga tidak tepat, sebab:
A. Nafkah, seperti telah disinggung bukan konsekusensi pasti/tetap berlaku selamanya atas seorang suami terhadap istrinya. Dalam syari’at Islam, seorang istri yang nasyizah (memberontak kepada suaminya, tidak mau lagi berumah tangga), tiada kewajiban atas suami memberinya nafkah. Demikian disepakati para ulama dari seluruh mazhab.
B. Dalam akad Mut’ah sekali pun, kewajiban nafkah tidak selamanya gugur. Hal itu dapat ditetapkan berdasarkan syarat yang disepakati antara keduannya. Demikian diterangkan para fuqaha’ Syi’ah.
6. Adapun anggapan karena ia tidak harus melakukan iddah (menanti janggak waktu tertentu sehingga dipastikan ia tidak sedang hamil dari suami sebelumnya = tiga kali masa haidh) maka ia bukan seoarng istri. anggapan ini adalah salah, dan sekedar isu palsu, sebab seorang wanita yang telah berakhir janggka waktu nikah Mut’ah yang telah ditentukan dan disepakati oleh keduanya, ia tetap wajib menjalani proses iddah. Dalam fikih Syi’ah para fuqaha’ Syi’ah menfatwakan bahwa masa iddah atasnya adalah dua kali masa haidh.
7. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab ia berpisah dengan suaminya tanpa melalui proses perceraian, sementara dalam Al qur’an ditetapkan hukum perceraian bagi suami istri yang hendak berpisah. Maka hal itu tidak benar, sebab:
A. Perceraian bukan satu-satunya yang merusak akad penikahan. Seorang istri dapat saja berpisah dengan suaminya dengan tanpa perceraian, seperti pada kasus, apabila istri tersebut murtad, atau apabila ia seorang hamba sahaya kemudian ia dijual oleh tuannya, atau istri yang masih kanak-kanak, kemudian istri suami tersebut menyusuinya (sehingga ia menjadi anak susunya), atau ketika ibu suami itu menyusui anak istrinya… Atau istri seorang laki-laki yang murtad, atau istri yang terbukti terdapat padanya cacat, ‘uyuub yang menyebabkan gugurnya akad nikah, seperti apabila istri itu ternyata seorang wanita gila dan …. Bukankah dalam semua kasus di atas istri itu berpisah dari suaminya tanpa melalui proses talak?!
B. Seorang wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah tidak berarti selamanya menjadi monopoli suami itu yang tidak akan pernah bisa berpisah. Dalam nikah Mut’ah ketetapan tentang waktu berada di tangan si wanita dan pri itu. Merekalah yang menetukan jangka waktu bagi pernikahan tersebut.
C. Kedua ayat itu tidak mungkin dapat menasikhkan hukum nikah Mut’ah yang disepakati kaum Muslim (Sunni-Syi’ah) akan adanya di awal masa Islam.
Dan saya cukupkan dengan memaparkan contoh-contoh ayat yang diasumsikan sebagai penasakh hukum nikah Mut’ah yang telah ditetapkan dalam Ayat Mut’ah (ayat 24 surah An Nisaa’).
Dalil Sunnah
Adapun bukti dari sunnah Nabi saw. bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain” yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkam (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya. Selain riwayat dari “Imraan ibn Hushain”, sahabat-sabahat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Salamah ibn al-Akwa’, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Akwa’ ibn Abdullah, seperti diriwayatkan hadis-hadis mereka oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga Imam Muslim dalam Shahihnya juga menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah. Al-hasil, hadis tentang pernah disyari’atkannya bahkan masih tetap dihalalkannya nikah mut’ah banyak sekali dalam buku-buku hadis andalan Ahlusunah.
Hukum Nikah Mut’ah Tidak Pernah Dimansukhkan
Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.
Dan seperti telah Anda baca sebelumnya bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan Islam; Alqur’an turun untuk membenarkan praktik nikah tersebut, Nabi saw. mengizinkan para sahabat beliau melakukannya, dan beliau juga memerintahkan juru penyampai untuk mengumandangkan dibelohkannya praktik nikah mut’ah. Jadi atas yang mengaku bahwa hukum nikah mut’ah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya itu sekarang dilarang, maka ia harus mengajukan bukti.
Sementara itu, seperti akan Anda saksikan nanti, bahwa klaim adanya pengguguran (pe-mansuk-han) hukum tersebut adalah tidak berdasar dan tidak benar, ayat-ayat Alqur’an yang kata mereka sebagai pemansukh ayat mut’ah tidak tepat sasaran dan hanya sekedar salah tafsir dari mereka, sedangkan hadis-hadis yang mereka ajukan sebagai bukti adanya larangan juga centang perentang, saling kontradiksi, di samping banyak darinya yang tidak sahih. Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa hadis yang tegas-tegas mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah halal dan tidak pernah ada hukum Allah SWT yang mengharamannya.
Hadis Pertama: Hadis Abdullah ibn Mas’ud
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Qais ibn Abi Hazim ia mendengar Abdullah ibn Mas’ud ra. berkata:
“Kami berperang keluar kota bersama Rasulullah saw., ketika itu kami tidak bersama wanita-wanita, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengebiri diri?”, maka beliau melarang kami melakukannya lalu beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) bitstsaub, sebuah baju. Setelah itu Abdullah membacakan ayat:
يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ
تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَ لاَ تَعْتَدُوا، إِنَّ
اللهَ لا يُحِبُّ المعْتَدِيِنَ.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS:5;87)“
Hadis di atas dapat Anda temukan dalam:
1. Shahih Bukhari:
Kitabut tafsir, bab Qauluhu Ta’ala يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ . xxxx [7]
Kitabun Nikah, bab Ma Yukrahu minat Tabattul wal Khashbaa’. [8]
2. Shahih Muslim:
Kitabun Nikah, bab Ma Ja’a fi Nikah al-Mut’ah [9]
Ketika menerangkan hadis di atas, Ibnu Hajar dan al-Nawawi mengatakan:
“kata-kata ‘beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) sebuah baju’ sampai jangka waktu tertentu dalam nikah mut’ah… .” Ia juga mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut oleh Ibnu Mas’ud adalah isyarat kuat bahwa beliau meyakni dibolehkannya nikah mut’ah, seperti juga Ibnu Abbas.
Hadis Kedua: Hadis Jabir Ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’ ra.
A. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan ibn Muhammad dari Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn Al-Akwa’ keduanya berkata:
“Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah rasul (utusan) Rasulullah sa., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.”
Hadis di atas dapat Anda baca dalam:
1. Shahih Bukhari: Kitabun Nikah, bab Nahyu Rasulillah saw ‘An-Nikah al-Mut’ah ‘Akhiran. [10]
2. Shahih Muslim: Kitabun Nikah, bab Nikah al-Mut’ah. [11]
B. Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’: Sesungguhnya Rasulullah saw. datang menemui kami dan mengizinkan kami untuk bermut’ah. [12]
Hadis Ketiga: Hadis Jabir ibn Abdillah:
A. Muslim meriwayatkan dari Atha’, ia berkata:
“Jabir ibn Abdillah datang untuk umrah, lalu kami mendatanginya di tempat tinggalnya dan orang-orang bertanya kepadanya banyak masalah, kemudian mereka menyebut-nyebut mut’ah, maka Jabir berkata, “Kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.” [13]
B. Dari Abu Bashrah, ia berkata:
“Aku berada di sisi Jabir lalu datanglah seseorang dan berkata, ” Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang dua jenis mut’ah”. Jabir berkata,” Kami melakukannya bersama Rasululah saw., kemudian Umar melarang melaksanakan keduanya, maka kami tidak kembali (melakukannya) lagi.” [14]
C. Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata:
“Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.” [15]
Ibnu Jakfari berkata:
Jelaslah bahwa maksud Jabir dengan ucapannya bahwa “Kami bermut’ah di masa Rasulullah…”, “Kami melakukannya bersama Rasululah saw” bukanlah bahwa saya sendirian melakukannya hanya sekali saja, akan tetapi ia hendak menjelaskan bahwa kami (saya dan rekan-rekan sahabat Nabi saw.) melakukannya banyak kali, dan dengan sepengetahuan Nabi saw., beliau membenarkannya dan tidak melarangnya sampai beliau dipanggil Allah SWT ke alam baqa’. Dan ini adalah bukti kuat bahwa tidak pernah ada pengharaman dari Allah dan Rasul-Nya, nikah mut’ah tetap halal hingga hari kiamat, sebab “halalnya Muhammad saw. adalah halal hingga hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram hingga hari kiamat”, kecuali jika kita meyakini bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad saww dan ada wahyu baru yang diturunkan Jibril as. setelah sempurnanya agama Islam.
Adapun arahan sebagian ulama, seperti al-Nawawi yang mengatakan bahwa para sahabat mulia itu mempraktikan nikah mut’ah di masa hidup Nabi saw. dan juga di masa kekhalifahan Abu Bakar dan beberapa tahun masa kekhalifahan Umar itu dikarenakan mereka belum mengetahui pemansukhan hukum tersebut, adalah ucapan tidak berdasar, sebab bagainama mungkin pemansukhan itu samar atas para sahabat itu -dan tidak jarang dari mereka yang dekat persahabatannya dengan Nabi saw.-, sementara pemansukhan itu diketahui oleh sahabat-sabahat “cilik” seperti Abdullah ibn Zubair atau yang lainnya?!
Bagaimana mungkin juga hukum pengharaman mut’ah itu juga tidak diketahui oleh Khalifah Umar, sehingga ia membiarkan praktik nikah mut’ah para sabahat, dan baru sampai kepadanya berita pemansukhan itu di masa akhir kekhalifahannya?! Ketika menerangkan ucapan Jabir, “sampai Umar melarangnya”, Al-Nawawi berkata, “Yaitu ketika sampai kepadanya berita pemansukhan.”[16]
Selain itu jelas sekali dari ucapan Jabir bahwa ia menisbatkan pengharaman/ larangan itu kepada Umar “sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits”. Jadi larangan itu bukan datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, ia datang dari Khalifah Umar dalam kasus Amr ibn Huraits. Umar sendiri seperti telah Anda baca dalam pidatonya menegakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada di masa Rasululah saww. dan beliau menghalalkannya, namun ia (Umar) melarangnya!
Coba Anda perhatikan hadis di bawah ini: Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubranya dari Abu Nadhrah dari Jabir ra.:
saya (Abu Nadhrah) berkata, ” Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya”. Maka jabir berkata, “Di tangan sayalah hadis ini berputar, kami bermut’ah bersama Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. dan ketika Umar menjabat sebagai Khalifah ia berpidato di hadapan orang-orang, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah saw. adalah Rasul utusan Allah, dan Alqur’an adalah Alqur’an ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah saw., tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya, salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.” [17]
Dan selain hadis yang telah disebutkan di atas masih banyak hadis-hadis lain yang sengaja saya tinggalkan, sebab apa yang telah disebut sudah cukup mewakili.
Dan kini mari kita meyimak hadis-hadis yang mengharamkan nikah Mut’ah.
Riwayat-riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah
Setelah kita simak sekelumit hadis yang menerangkan tetap berlakunya hukum kehalalan nikah mut’ah, maka sekarang kami akan mencoba menyajikan beberapa hadis terkuat yang dijadikan hujjah oleh mereka yang meyaniki bahwa hukum halalnya nikah mut’ah telah dimansukhkan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa kasus pengharaman nikah mut’ah -dalam pandangan yang mengharamnkan- adalah terbilang kasus aneh yang tidak pernah dialami oleh satu hukum Islam lainnya, yaitu dihalalkan kemudian diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi. Dan sebagiannya hanya berlangsung beberapa hari saja. [18]
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menulis sebuah judul, “Bab Nikah-ul Mut’ah wa Bayaanu ‘Annahu Ubiiha Tsumma Nusikha Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha wa istaqarra Tahriimuhu Ila yaumil Qiyamah (Bab tentang Nikah mut’ah dan keterangan bahwa ia dibolehkan kemudian dimansukkan kemudian dibolehkan kemudian di mansukhkan dan tetaplah pengharaman hingga hari kiamat)”.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.” [19]
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:
“Masalah kesepuluh: para ulama berselisih pendapat berapa kali ia dibolehkan dan mansukhkan… ia mengatakan bahwa mut’ah pada awalnya dilarang kemudian dibolehkan kemudian Nabi melarang pada perang Khaibar kemudian mengizinkan lagi pada fathu Makkah kemudian mengharamkannya setelah tiga hari berlaku dan ia haram hingga hari kiamat. Ibnu al-Arabi berkata: “Adapun nikah mut’ah ia termasuk hukum syari’at yang aneh sebab ia dibolehkan pada awal masa Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar kemudian dibolehkan pada perang Awthas kemudian di haramkan setelah itu dan tetaplah pengharaman, dan tidak ada yang menyamainya kecuali masalah kiblat… ulama lain yang telah merangkum hadis-hadis masalah ini mengatakan ia meniscayakan adanya penghalalan dan pengharaman sebanyak tujuh kali…”. [20]
Kemudian ia menyebutkan tujuh peristiwa dan kesempatan penghalalan dan pengharaman nikah mut’ah tersebut yang terbilang aneh yang tetuntunya mengundang kecurigaan akan kebenarnnya itu. Sebab kesimpulan ini diambil sebenarnya karena mereka menerima sekelompok hadis yang mengharamkan nikah tersebut, sementara hadis-hadis itu tidak sepakat dalam menyebutkan waktu ditetapkannya pengharaman, akaibatnya harus dikatakan bahwa ia terjadi bebarapa kali. Hadis-hadis tentangnya dapat kita kelompokkan dalam dua klasifikasi global,
pertama, hadis-hadis yang dipandang lemah dan cacat baik sanad maupun matannya oleh para pakar dan ulama Ahlusunnah sendiri. Hadis-hadis kelompok ini tidak akan saya sebutkan dalam kajian kali ini, sebab pencacatan para pakar itu sudah cukup dan tidak perlu lagi tambahan apapun dari saya, dan sekaligus sebagai penghematan ruang dan pikiran serta beban penelitian yang harus dipikul.
Kedua, hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun pada dasarnya ia tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia diproduksi belakangan oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan Allah SWT”, hasbatan, untuk mendukung dan membenarkan kebijakan para khulafa’.
Dan untuk membuktikan hal itu saya perlu melakukan uji kualitas kesahihan hadis sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar dan ulama.
Hadis Pertama:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Nasa’i, al-Baihaqi dan Mushannaf Abdir Razzaq, (dan teks yang saya sebutkan dari Mushannaf) dari Ibnu Syihab al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan keduanya putra Muhammad ibn Ali (Hanafiyah) dari ayah mereka, bahwa ia mendengar Ali berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya kamu benar-benar seorang yang taaih (bingung dan menyimpang dari jalan mustaqiim), sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarangnya (nikah mut’ah) pada hari peperangan Khaibar dan juga mengharamkan daging keledai jinak.” [21]
Hadis di atas dengan sanad yang sama dan sedikit perbedaan dalam redaksinya dapat Anda jumpai dalam Shahih Bukhari, Sunan Abu Daud, Ibnu Majah, al-Turmudzi, al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan al-Thayalisi dll.[22]
Hadis kedua:
Para muhaddis meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari ra. bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya nikah mut’ah itu hanya dihalalkan khusus untuk kami para sahabat Rasulullah saw. untuk jangka waktu tiga hari saja kemudian setelahnya Rasulullah saw. melarangnya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Itu dibolehkan karena rasa takut kita dan karena kita sedang berperang.” [23]
Hadis Ketiga:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Darimi, Ibnu Majah, Abu Daud, dan lainnya (redaksi yang saya sebutkan in dari Muslim) dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia berperang bersama Rasulullah saw. menaklukkan kota Mekkah. Ia berkata,
“Kami tinggal selama lima belas hari (tiga puluh malam dan siang), maka Rasulullah saw. mengizinkan kami menikahi wanita dengan nikah mut’ah. Lalu saya dan seseorang dari kaumku keluar, dan aku memiliki kelebihan ketampanan di banding dia, ia sedikit jelek, masing-masing kami membawa selimut, selimutku agak jelek adapun selimut miliknya baru, sampailah kami dibawah lembah Mekkah atau di atasnya, kami berjumpa dengan seorang wanita tinggi semanpai dan lincah, kami berkata kepadanya, “Apakah Anda sudi menikah mut’ah dengan salah seeoarng dari kami?” wanita itu bertanya, “Apa yang akan kalian berikan sebagai mahar?”. Maka masing-masing dari kami membeberkan selimutnya, wanita itu memperhatikan kami, dan ia melihat bahwa temanku memperhatikan dirinya dari kaki hingga ujung kepala, temanku berkata, “Selimut orang ini jelek sedangkan selimutku baru”. Kemudian wanita itu megatakan, “Selimut orang itu lumayan. Ia ucapkan dua atau tiga kali. Kemudian saya menikahinya dengan nikah mut’ah, dan aku belum menyelesaikan jangka waktuku melainkan Rasululah saw. telah mengharamkannya. [24]
Dalam riwayat lain: Rasulullah saw. bersabda, “Hai manusia! Sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian bermut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sekarang hingga hari kiamat.” [25]
Dalam riwayat lain: “Aku menyaksikan Rasulullah berdiri diantara rukun dan maqam (dua sudut ka’bah) sambil bersabda…. (seperti sabda di atas)”. [26]
Dalam riwayat lain: “Rasululah memerintah kami bermut’ah pada tahun penaklukan kota Mekkah ketika kami memasuki kota tersebut, kemudian kami tidak keluar darinya melainkan beliau telah melarangnya”. [27]
Dalam riwayat lain: “Aku benar-benar telah bermut’ah di masa Rasulullah saw. dengan seorang wanita dari suku bani ‘Amir dengan mahar dua helai selimut berwarna merah kemudian Rasulullah saw. melarang kami bermut’ah”. [28]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada Fathu Makkah”. [29]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang mut’ah, beliau bersabda, “Sesungguhnya ia haram sejak hari ini hingga hari kiamat”. [30]
Dalam Sunan Abu Daud, al-Baihaqi dan lainnya diriwayatkan dari Rabi’ ibn Saburah, ia berkata, “Aku bersaksi atas ayahku bahwa ia menyampaikan hadis bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada haji wada“. [31]
Dalam riwayat lain: “Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada fathu Mekkah”. [32]
Hadis Keempat:
Dalam Shahih Muslim, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan lainya (dan redaksi yang saya kutip adalah dari Muslim) diriwayatkan dari Salamah ibn al-Akwa’, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan pada tahun perang Awthas untuk bermut’ah selama tiga hari kemudian beliau melarangnya.” [33] Awthas adalah lembah di kota Thaif. Dan perlu Anda ketahui bahwa peristiwa Awthas terjadi beberapa bulan setelah fathu Mekkah, walaupun dalam tahun yang sama. [34]
Inilah beberapa hadis yang menjadi andalah dan sandaran terkuat pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi saw. dan saya berusaha meriwayatkannya dari sumber-sumber terpercaya. Dan kini mari kita telaah hadis-hadis di atas tersebut.
Tentang hadis Imam Ali as. Ada pun tentang hadis Imam Ali as. yang diriwayatkan Zuhri melalui dua cucu Imam Ali as.; Abdullah dan Hasan putra Muhammad ibn Ali as. yang mendapat sambutan luar biasa sehingga hampir semua kitab [35] hadis berebut “hak paten” dalam meriwayatkannya, -tidak seperti biasanya dimana kitab- kitab itu kurang antusias dalam meriwayatkan hadis-hadis dari beliau as. dan tidak memberikan porsi layak bagi hadis-adis Imam Ali as. seperti porsi yang diberikan kepada riwayat-riwayat para sahabat yang berseberangan dengan beliau dan yang diandalkan oleh para penentang Ali as. dan Ahlulbait Nabi saw.-.
Adapun tentang hadis Imam Ali di atas maka ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentangnya.
Pertama,
ia dari riwayat Zuhri, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az Zuhri lahir pada tahun 58 H dan wafat tahun 124H. Ia dekat sekali dengan Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik dan pernah dijadikan qodhi (jaksa) oleh Yazid bin Abdul Malik. Ia dipercaya Hisyam menjadi guru privat putra-putra istana. Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib-nya [36] menyebutkan, “Hisyam memerintahnya untuk mengajarkan kepada putra-putranya hadis, lalu ia mendektekan empat ratus hadis”.
Tampaknya Zuhri sangat diandalkan untuk meramu riwayat demi mendukung kepentingan rezim bani Umayyah yang berkuasa saat itu dengan menyajikan riwayat-riwayat yang berseberangan dengan ajaran Ahlulbait as. namun justru dia sajikan dengan menyebut nama para pemuka Ahlulbait as. sendiri, atau riwayat-riwayat yang justru melecehkan keagungan Ahlulbait as., namun sekali lagi ia sajikan dengan mengatas-namakan pribadi-pribadi agung Ahlulbait as., seperti tuduhannya melalui riwayat yang ia produksi bahwa Imam Ali dan Fatimah as. melakukan tindakan kekafiran dengan menentang Nabi saw. Zuhri tampaknya memilih spesialisasi dalam bidang ini. Dan adalah aneh seorang Zuhri yang dikenal benci kepada Imam Ali as. tiba-tiba sekarang tampil sebagai seorang muhaddis yang sangat peduli dalam menyampaikan riwayat-riwayat dari Ali as.
Ibnu Abi al-Hadid, ketika menyebut nama-nama para perawi yang membenci Imam Ali as, ia menyebut, “Dan Zuhri adalah termasuk yang menyimpang dari Ali as”. [37]
Sufyan bin Wakii’ menyebutkan bahwa Zuhri memalsukan banyak hadis untuk kepentingan Bani Marwan. Ia bersama Abdul Malik melaknat Ali as. Asy-Syadzkuni meriwayatkan dari dua jalur sebuah berita yang menyebutkan bahwa Zuhri pernah membunuh seorang budaknya tanpa alasan yang dibenarkan. [38]
Kedua,
terlepas dari penilaian kita terhadap kualitas salah satu mata rantai perawi dalam hadis tersebut yang telah Anda baca, maka di sini ada beberapa catatan yang perlu Anda perhatikan. Pertama: Dalam hadis tersebut ditegaskan bahwa Imam Ali as. menegur dan menyebut Ibnu Abbas ra. sebagai seorang yang menyimpang karena ia masih menghalalkan nikah mut’ah padahal nikah tersebut telah diharamkan pada peristiwa peperangan Khaibar. Selain nikah mut’ah, daging keledai jinak juga diharamkan saat itu. Jadi menurut Imam Ali as. keduanya diharamkan pada peristiwa tersebut.
Di sini kita perlu meneliti kedua masalah ini, akan tetapi karena yang terkait dengan masalah kita sekarang adalah nikah mut’ah maka telaah saya akan saya batasi pada pengharaman nikah mut’ah pada hari Khaibar.
Pengharaman nikah Mut’ah pada hari Khaibar
Pengharaman Nabi saw. atas nikah mut’ah pada peristiwa Khaibar, seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah sendiri, seperti Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar dkk. tidak sesuai dengan kanyataan sejarah, sebab beberapa tahun setelah itu nikah mut’ah masih dibolehkan oleh Nabi saw., seperti contoh pada tahun penaklukan kota Mekkah. Oleh karenanya sebagian menuduh Imam Ali as. bodoh dan tidak mengetahui hal itu, sehingga beliau menegur Ibnu Abbas dengan teguran yang kurang tepat, sebab, kata mereka semestinya Imam Ali as. berhujjah atas Ibnu Abbas dengan pengharaman terakhir yaitu pada penaklukan kota Mekkah agar hujjah sempurna, dan kalau tidak maka hujjah itu tidak mengena[39]
Selain itu, dalam peristiwa penyerangan ke kota Khaibar, tidak seorangpun dari sahabat Nabi saw. yang bermut’ah dengan wanita-wanita yahudi, dan mereka tidak juga memohon izin kepada Nabi saw. untuk melakukannya. Tidak seorangpun menyebut-nyebut praktik sabahat dan tidak ada sebutan apapun tentang mut’ah. Di kota Khaibar tidak ada seorang wanita muslimahpun sehingga sah untuk dinikahi secara mut’ah, sementara dihalalkannya menikah dengan wanita yahudi itu belum disyari’atkan, ia baru disyari’atkan setelah haji wada’ dengan firman Allah ayat 5 surah al-Maidah. Demikian ditegaskan Ibnu Qayyim dalam Zaad al-Ma’aad. [40]
Ketika menerangkan hadis Imam Ali as. dalam kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, Ibnu Hajar al-Asqallani menegaskan, “Dan kata pada hari Khaibar bukan menunjukkan tempat bagi diharamkannya nikah mut’ah, sebab dalam ghazwah (peperangan) itu tidak terjadi praktik nikah mut’ah”. [41]
Ibn Hajar juga menukil al-Suhaili sebagai mengatakan, “Dan terkait dengan hadis ini ada peringatan akan kemusykilan, yaitu sebab dalam hadis itu ditegaskan bahwa larangan nikah mut’ah terjadi pada peperangan Khaibar, dan ini sesuatu yang tidak dikenal oleh seorangpun dari ulama pakar sejarah dan perawi atsar/data sejarah. [42]
Al-hasil, hadis tersebut di atas tegas-tegas mengatakan bahwa pada peristiwa Khaibar Nabi mengharamkan nikah mut’ah dan juga keledai, Ibnu Hajar berkomentar, “Yang dzahir dari kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar adalah menunjuk waktu pengharaman keduanya (mut’ah dan daging keledai)” [43] , sementara sejarah membuktikan bahwa pada peristiwa itu sebenarnya tidak terjadi pengharaman, sehingga untuk menyelamatkan wibawa hadis para muhadis agung itu, mereka meramu sebuah solusi yang mengatakan bahwa hadis Imam Ali as. itu hanya menujukkan pengharaman keledai saja, adapun pengharaman nikah mut’ah sebenarnya hadis itu tidak menyebut-nyebutnya barang sedikitpun!
Penafsiran nyeleneh ini disampaikan oleh Sufyaan ibnu Uyainah, ia berkata, “Kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar hanya terkait dengan waktu pengharaman keledai jinak bukan terkait dengan nikah mut’ah.” [44]
Dan upaya untuk mengatakan bahwa hadis itu tidak menunjukkan pengharaman nikah mut’ah pada zaman Khaibar yang dilakukan sebagian ulama hanya karena mereka terlanjur mensahihkan hadis-hadis yang mengatakan bahwa sebenarnya nikah mut’ah itu masih dibolehkan setelah zaman Khaibar. Demikian diungkap oleh Ibnu Hajar. [45]
Akan tetapi arahan itu sama sekali tidak benar, ia menyalahi kaidah bahasa Arab dan lebih mirip lelucon, sebab;
A. Dalam dialek orang-orang Arab dan juga bahasa apapun, jika Anda mengatakan, misalnya
أَكْرَمْتُ زَيْدًا و عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ
“Saya menghormati Zaid dan ‘Amr pada hari jum’at”
maka semua orang yang mendengarnya akan memahami bahwa penghormatan kepada keduanya itu terjadi dan dilakukan pada hari jum’at.
Bukan bahwa dengan kata-kata itu Anda hanya bermaksud menghormati ‘Amr saja, sementara terkait dengan pak Zaid Anda tidak maksudkan, penghormatan itu mungkin Anda berikan pada hari lain. Sebab jika itu maksud Anda semestinya Anda mengatakan
أَكْرَمْتُ زَيْدًا و أَكْرَمْتُ عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ
“Saya menghormati Zaid , dan saya menghormati ‘Amr pada hari jum’at”.
Dalam riwayat itu kata kerja nahaa itu hanya disebut sekali, oleh karena itu ia mesti terkait dengan kedua obyek yang disebutkan setelahnya. Dan saya tidak yakin bawa para ulama itu tidak mengerti kaidah dasar bahasa Arab ini.
B. Anggapan itu bertentangan dengan banyak riwayat hadis Imam Ali as. dan juga dari Ibnu Umar yang diriwayatkan para tokoh muhadis, seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad yang tegas-tegas menyebutkan bahwa waktu pengharaman nikah mut’ah adalah zaman Khaibar. Merka meriwayatkan:
نَهَى رسولُ اللهِ (ص) عن مُتْعَةِ النساءيَومَ خيْبَر، و عن لُحُومِ الحمرِ الإنْسِيَّةِ.
“Rasulullah saw. melarang nikah kmut’ah pada hari Khaibar, dan juga daging keledai”. [46]
Ibnu Jakfari berkata:
Bagaimana kita dapat benarkan riwayat-riwayat kisah pengharaman itu baik di hari Khaibar maupun hari dan kesempatan lainnya, sementara telah datang berita pasti dan mutawatir bahwa Khalifah Umar ra. berpidato mengatakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada dan berlaku di masa hidup Nabi saw. akan tetapi saya (Umar) melarang, mengharamkan dan merajam yang melakukan nikahnya:
مُتْعَتانِ كانَتَا على عَهْدِ رَسُول ِاللهِ أنا أَنْهَى عَنْهُما وَ أُعاقِبُ عليهِما : مُتْعَةُ الحج و متعة النِّسَاءِ.
“Ada dua bentuk mut’ah yang keduanya berlaku di sama Rasulullah saw., aku melarang keduannya dan menetepkan sanksi atas (yang melaksanakan) keduanya: haji tamattu’ dan nikah mut’ah. [47]
Bagaiamana dapat kita benarkan riwayat-riwayat itu sementara kita membaca bahwa Jabir ibn Abdillah ra. berkata dengan tegas, “kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.” [48]
Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.” [49]
Bagaimana kita dapat menerima riwayat hadis-hadis yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di masa Nabi saw. oleh beliau sendiri, sementara itu Khalifah Umar tidak pernah mengetahuinya, tidak juga Khalifah Abu Bakar dan tidak juga para sahabat dan tabi’in mengetahuinya, bahkan sampai zaman kekuasaan Abdullah ibn Zubair -setelah kematian Yazid ibn Mu’awiyah- dan tidak juga seorang dari kaum Muslim mengetahui riwayat-riwayat sepeti itu. Andai mereka mengetahuinya pasti ia sangat berharga dan sangat mereka butuhkan dalam mendukung pendapat mereka tentang pengharaman nikah mut’ah tersebut.
Dan pastilah para pendukung kekhalifahan akan meresa mendapat nyawa baru untuk membela diri dalam pengharaman sebagai tandingan bukti-bukti sunah yuang selalu di bawakan sahabat-sabahat lain yang menhalalkan nikah mut’ah seperti Ibnu Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Jabir, misalnya.
Dalam perdebatan yang terjadi antara pihak yang mengharamkan dan pihak yang menhalalkan mereka yang mengharamkan tidak pernah berdalil bahwa Rasulullah saw. telah mengharamkannya di Khaibar… atau pada peristiwa penaklukan kota Mekkah dan lain sebaigainya. Bagaimana mungkin hadis Imam Ali as. dapat kita terima sementara kita menyaksikan bahwa beliau bersabda:
,لَوْ لاَ أَنَّ عُمر نَهَى الناسَ عَنِ المُتْعَةِ ما زَنَى إلاَّ شَقِيٌّ.
“Andai bukan karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah pastilah tidak akan berzina kecuali orang yang celaka”.Demikian disebutkan ar Razi dari al-Thabari. [50]
Dan Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dari Imam Ali as. beliau bersabda:
لَوْ لا ما سَبَقَ مِنْ نَهْيِ عُمر بن الخطاب لأَمَرْتُ بالمُنْعَةِ، ثُمَّ ما زنى إلا شقي
“Andai bukan karena Umar ibn Khaththab sudah melarang nikah mut’ah pastilah akan aku perintahkan dengannya dan kemudian tidaklah menlakukan zina kecuali orang yang celaka”. [51]
Bagaimana mungkin kita menerima riwayat para ulama itu dari Imam Ali as. yang menegur Ibnu Abbas ra. sementara kita menyaksikan Ibnu Abbas adalah salah satu sahabat yang begitu getol menyuarakan hukum halalnya nikah mut’ah, beliau siap menerima berbagai resiko dan teror dari Abdullah ibn Zubair pembrontak yang berhasil berkuasa setelah kematian Yazid?
Apakah kita menuduh bahwa Ibnu Abbas ra. degil, angkuh menerima kebenaran yang disampaikan maha gurunya; Imam Ali as. sehingga ia terus saja dalam kesesatan pandangannya tentang halalnya nikah mut’ah? Adapun dongeng-dengeng yang dirajut para sukarelawan bahwa Ibnu Abbas bertaubat dan mencabut fatwanya tentang halalnya nikah mut’ah, adalah hal mengelikan setelah bukti-bukti tegak dengan sempurna bahwa ia tetap hingga akhir hayatnya meyakni kehalalan nikah mut’ah dan mengatakannya sebagai rahmat dan kasih sayang Allah SWT untuk hamb-hamba-Nya:
ما كانَتْ المُتْعَةُ إلاَّ رَحْمَةً رَحِمَ اللهُ بِها أُمَّةَ محمد (ص)، لَوْ لاَ نَهْيُهُ (عمر) ما احْتاجَ إلى الزنا إلاَّ شقِي
Tiada lain mut’ah itu adalah rahmat, dengannya Allah merahmati umat Muhammad saw., andai bukan karena larangan Umar maka tiada membutuhkan zina kecuali seorang yang celaka. [52]
Bagaimana dongeng rujuknya Ibnu Abbas ra. dapat dibenarkan sementara seluruh ahli fikih kota Mekkah dan ulama dari murid-muridnya meyakini kehalalan nikah mut’ah dan mengatakan bahwa itu adalah pendapat guru besar mereka?!
Telaah terhadap Hadis Rabi’ ibn Saburah
Adapun tentang riwayat-riwayat Rabi’ ibn saburah, Anda perlu memperhatikan poin-poin di bawah ini.Pertama,
seperti Anda saksikan bahwa banyak atau kebanyakan dari riwayat-riwayat para muhadis Ahlusunnah tentang pengharaman nikah mut’ah adalah dari riwayat Rabii’ -putra Saburah al-Juhani- dari ayahnya; Saburah al-Juhani. Hadis-hadis riwayat Saburah al-Juhani tentang masalah ini berjumlah tujuh belas, Imam Muslim meriwayatkan dua belas darinya, Imam Ahmad meiwayatkan enam, Ibnu Majah meriwayatkan satu hadis. Dan di dalamnya terdapat banyak berbeda-beda dan ketidak akuran antara satu riwayat dengan lainnya.
Di antara kontradiksi yang ada di dalamnya ialah:
A. Dalam satu riwayat ia menyebutkan bahwa yang bermut’ah dengan wanita yang ditemui adalah ayahnya, sementara dalam riwayat lain adalah temannya.
B. Dalam sebuah riwayat ia menyebutkan bahwa bersama ayahnya adalah temannya dari suku bani Sulaim, sementara dalam riwayat lain adalah anak pamannya.
C. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa mahar yang diberikan kepada wanita itu adalah sehelai kain selimut, sementara dalam riwayat lainnya ia mengatakan dua selimut berwarna merah.
D. Sebagian riwayatnya mengatakan bahwa wanita itu memilih ayahnya karena ketampanan dan ayahnya masih muda sementara yang lain mengatakan karena selimut ayahnya masih baru.
E. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sempat bersama wanita itu selama tiga hari sebelum akhirnya dilarang Nabi saw. sementara yang lainnya mengatakan bahwa hanya semalam, dan keesokan harinya telah dilarang.
F. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sejak hari pertama kedatangan di kota Mekkah telah keluar mencari wanita yang mau dinikahi secara mut’ah, sementara yang lainnya mengatakan bahwa itu setelah lima belas hari, setelah Nabi saw. mendapat laporan bahwa wanita-wanita di Mekkah tidak mau kecuali nikah dengan jangka waktu, kemudian Nabi saw. mengizinkan dan Saburah pun keluar mencari wanita yang mau dinikahi. Dan masih banyak pertentangan lain yang dapat disaksikan dalam riwayat-riwayat yang dikutip dari Rabi’ ibn Saburah, seperti apakah ayahnya sebelumnya telah mengetahui konsep nikah mut’ah, atau belum, ia baru tahu dan diizinkan Nabi saw. setelah wanita-wanita kota Mekkah enggan kecuali nikah dengan jangka waktu.
Kedua,
disamping itu kita menyaksikan bahwa Saburah ayah Rabi’ -sang perawi- mendapat izin langsung dari Rasulullah saw. untuk bermut’ah, atau dalam riwayat lain Nabi-lah yang memerintah para sahabat beliau untuk bermut’ah dihari-hari penaklukan (fathu) kota Mekkah, dan setelah ia langusng merespon perintah atau izin itu, dan ia mendapatkan pada hari itu juga wanita yang ia nikahi secara mut’ah tiba-tiba keesokan harinya ketika ia salat subuh bersama Nabi saw. beliau berpidato mengharamkan nikah mut’ah yang baru saja beliau perintahkan para sahabat beliau untuk melakukannya, logiskah itu?! Dalam sekejap mata, sebuah hukum Allah SWT berubah-ubah, hari ini memerintahkan keesokan harinya mengharamkan dengan tanpa sebab yang jelas!Tidakkah para pakar kita perlu merenungkan kenyataan ini?!
Ketiga,
terbatasnya periwayatan kisah Saburah hanya pada Rabi’ putranya mengundang kecurigaan, sebab kalau benar ada pe-mansuk-han kehalalan nikah mut’ah pastilah para sahabat besar mengetahuinya, seperti tentang penghalalan yang diriwayatkan oleh para sahabat besar dan dekat.
Keempat,
riwayat Rabi’ ibn Saburah itu bertentangan dengan riwayat para sahabat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, ‘Imraan ibn Hushain, Salamah ibn al-Akwa’ dan kawan-kawan.
Dan riwayat-riwayat mereka tidak mengahadapi masalah-masalah seperti yang menghadangf riwayat-riwayat Rabi’ ibn Saburah.
Catatan Penting!
Sebenarnya dalam peristiwa itu tidak ada pengharaman yang ada hanya Nabi saw. memerintah para sahabat yang bermut’ah dan jangka waktunya belum habis agar meninggalkan wanita-wanita itu sebab Rasulullah saw. bersama rombongan akan segera meninggalkan kota Mekkah. Akan tetapi para sukarelawan itu memanfaatkan hal ini dan memplesetkannya dengan menambahkan bahwa Nabi berpidato mengharamkannya. Sekali lagi, Nabi saw. hanya memerintahkan para sahabat beliau yang bermut’ah agar menghibahkan sisa waktu nikah mut’ah mereka kepada wanita-wanita itu sebab rombongan segera meninggalkan kota suci Mekkah.
Hal ini dapat Anda temukan dalam riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, dan al-Baihaqi dalam Sunannya, juga dari Sabrah. Dari Rabi’ ibn sabrah al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan kami bermut’ah, lalu aku bersama seorang berangkat menuju seeorang wanita dari suku bani ‘Amir, wanita itu muda, tinggi semampai berleher panjang, kami menawarkan diri kami, lalu ia bertanya, “Apa yang akan kalian berikan?” Aku menjawab, “Selimutku”. Dan temanku berkata, “Selimutku”. Selimut temanku itu lebih bagus dari selimutku tapi aku lebih muda darinya. Apabila wanita itu memperhatikan selimut temanku, ia tertarik, tapi ketika ia memandangku ia tertarik denganku. Lalu ia berkata, “Kamu dan selimutmu cukup buatku! Maka aku bersamanya selama tiga hari, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di sisinya ada seorang wanita yang ia nikahi dengan mut’ah hendaknya ia biarkan ia pergi/tinggalkan”. [53]
Dalam pernyataan itu tidak ada pengharaman dari Nabi saw. Ada pun hadis Abu Dzar, adalah aneh rasanya hukum itu tidak diketahui oleh semua sahabat sepanjang masa hidup mereka sepeninggal Nabi saw. termasuk Abu Bakar dan Umar, hingga sampai dipenghujung masa kekhalifahan Umar, ia baru terbangun dari tidur panjangnya dan mengumandangkan suara pengharaman itu. Jika benar ada hadis dari Nabi saw., dimanakah hadis selama kurun waktu itu.Yang pasti para sukarelawan telah berbaik hati dengan membantu Khalifah Umar ra. jauh setelah wafat beliau dalam memproduksi hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw., agar kebijakan pengharaman itu tidak berbenturan dengan sunah dan ajaran Nabi saw. dan agar Khalifah Umar tampil sebagai penyegar sunah setelah sekian belas tahun terpasung.
Dan kebaikan hati sebagian ulama dan muhadis berhati luhur dengan memalsu hadis bukan hal aneh, dan saya harap anda tidak kaget. Karena memang demikian adanya di dunia hadis kita; kaum Muslim. Tidak semua para sukarelawan yang memalsu hadis orang bejat dan jahat, berniat merusak agama, tidak jarang dari mereka berhati luhur, rajin dan tekun beribadah, hanya saja mereka memiliki sebuah kegemaran memalsu hadis atas nama Rasulullah saw. Dan para sukarelawan model ini adalah paling berbahaya dan mengancam kemurnian agama, sebab kebanyakan orang akan terpesona dan kemudian tertipu dengan tampilan lahiriah yang khusu’ dan simpatik mereka. Demikian ditegaskan ulama seperti Al Nawawi dan Al Suyuthi. (bersambung )
CATATAN KAKI
[1] Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506
[2] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9179, bab Nikah al-Mut’ah.
[3] Fathu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
[4] Tafsir Fathu al-Qadir.1,449.
[5] Tafsir Ibnu Katsir.1,474.
[6] Ibid.
[7] Fathu al-Baari.17,146, hadis no.4615.
[8] Ibid.19,142-143, hadis no.5075.
[9] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182.
[10] Fathu al-Baari.19,206-207, hadis no.5117-5118.
[11] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182. hanya saja kata rasul (utusan) diganti dengan kata munaadi (pengumandang pengumuman).
[12] Ibdi.183.
[13] Ibid.183.
[14] Ibdi.184.
[15] Ibid.183-184.
[16] Ibid.183.
[17] Al-Sunan al-Kubra, Kitab al-Mut’ah, Bab Nikah-ul Mut’ah.7,206 dan ia mengatakan bahwa hadis ini juga diriwayatkan Muslim dari jalur lain dari Hummam.
[18] Keterangan lebih lanjut baca Fath al-Baari.19,201 203 dan Syarah al-Nawawi atas Shahih Muslim,9179-180.
[19] Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.
[20] Al-Jaami’ Li Ahkaami Alqur’an.5130-131.
[21] Shahih Muslim (dengan syarah al-Nawawi), Kitab al-Nikah, bab Nikah-ul Mut’ah.9,189-190, dua hadis terakhir dalam bab tersebut, Sunan al-Nasa’i, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan al-Baihaqi, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah.7,201, Mushannaf Abdur Razzaq.7,36 dan Majma’ al-Zawaid.4,265.
[22] Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, dan bab Nahyu Rasulillah ‘an nikah al-mut’ah akhiran, bab al-hiilah fi al-nikah, Sunan Abu Daud.2,90, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan Ibnu Majah.1,630, Kitab-un Nikah, bab an-nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah, hadis no.1961, Sunan al-Turmudzi (dengan syarah al-Mubarakfuuri).4,267-268, bab Ma ja’a fi Nikah al-Mut’ah(27), hadis no.1130 Muwaththa’, bab Nikah mut’ah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.4,292 Sunan al-Darimi.2,140 bab al-Nahyu ‘an Mut’ah al-Nisa’, Musnad al-Thayalisi hadis no.111 dan Musnad Imam Ahmad.1,79,130 dan142, dan Anda dapat jumpai dalam Fathu al-Baari dalam baba-baba tersebut di atas.
[23] Baca Sunan al-Baihaqi.7,207.
[24] Shahih Muslim.9,185.
[25] Ibid.186.
[26] Ibdi.
[27] Ibid.187.
[28] Ibdi.188-189.
[29] Ibid.187.
[30] Ibid.189.
[31] Abu Daud.2,227, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah dan Sunan al-Baihaqi.7,204.
[32] Sunan al-Baihaqi.7,204.
[33] Shahih Muslim.9,184, Mushannaf.4,292, Musnad Ahmad.4,55, Sunan al-Baihaqi.7,204 dan Fath al-Baari.11,73.
[34] Baca Sunan al-Baihaqi.7,204.
[35] Seperti Anda saksikan bahwa hadis tersebut telah saya kutipkan dari empat belas sumber terpercaya.
[36] 9, 449.
[37] Syarh Nahjul Balaghah 1, 371-372.
[38] Ash-Shirath al-Mustaqim.3,245.
[39] Fathu al-Baari.19,202 menukil pernyataan al-Baihaqi.
[40] Zaad al-Ma’aad.2,204, pasal Fi Ibaahati Mut’ati al-Nisaa’i tsumma Tahriimuha (tentang dibolehkannya nikah mut’ah kemudian pengharamannya). Dan keterangan panjang Ibnu qayyim juga dimuat Ibnu Hajar.
[41] Fath al-Baari.16,62. hadis no.4216.
[42] Ibid.19,202.
[43] Ibid.201.
[44] Ibdi.202.
[45] Ibid.
[46] Bukhari Bab Ghazwah Khaibar, hadis no.4216, Kitab al-Dzabaaih, bab Luhuum al-Humur al-Insiyyah, hadis no.5523, Shahih Muslim, bab Ma Ja’a Fi Nikahi al-Mut’ah (dengan syarah a-Nawawi).9,190, Sunan Ibnu Majah.1, bab al-Nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah (44) hadis no1961 dan Sunan Al-Baihaqi.7,201, dan meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu Umar. Dan di sini sebagian ulama melakukan penipuan terhadap diri sendiri dengn mengatakan bahwa sebenarnya dalam hadis itu ada pemajuan dan pemunduran, maksudnya semestinya yang disebut duluan adalah Luhum Humur insiyah bukan Mut’ah al-Nisaa’. (Fath al-baari.16,62) Mengapa? Sekali lagi agar riwayat Bukhari dkk. di atas tetap terjaga wibawanya dan agar tidak tampak bertentang dengan kenyataan sejarah.
[47] Ucapan pengharaman ini begitu masyhur dari Umar dan dinukil banyak ulama dalam buku-buku mereka, di antaranya: Tafsir al-Razi.10,50, Al-Jashshash. Ahkam Alqur’an.2,152, Al-Qurthubi. Jami’ Ahkam Alqur’an.2,270, Ibnu Qayyim. Zaad al-Ma’ad.1,444 dan ia megatakan” dan telah tetap dari Umar…, Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah.1,182 dan 12,251 dan 252, Al-Sarakhsi al-Hanafi. Al-Mabsuuth, kitab al-Haj, bab Alqur’an dan ia mensahihkannya, Ibnu Qudamah. Al-Mughni.7,527, Ibnu Hazam. Al-Muhalla.7,107, Al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-Ummal.8,293 dan294, al-Thahawi. Syarh Ma’ani al-Akhbaar.374 dan Sunan al-Baihaqi.7,206.
[48] Ibid.183.
[49] Ibid.183-184.
[50] Mafaatiih al-Ghaib (tafsir al-Razi).10,51
[51] Kanz al-Ummal.8,294.
[52] Dan dalam sebagian riwayat إلاَّ شفي dengan huruf faa’ sebagai ganti huruf qaaf, dan artinay ialah jarang/sedikit sekali. Pernyataan Ibnu Abbas diriwayatkan banyak ulama, seperti Ibnu al-Atsir dalam Nihayahnya, kata kerja syafa.
[53] Shahih Muslim.9,184-185, Sunan al-Baihaqi.7,202, dan Musnad Ahmad.3,405.